BAB II Tinjauan Umum Tentang Perjanjian A. Pengertian dan Hakekat Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Pabrik Kelapa Sawit Antara PT. Bima Dwi Pertiwi Nusantara Dengan PT. Mutiara Sawit Lestari

BAB II Tinjauan Umum Tentang Perjanjian A. Pengertian dan Hakekat Perjanjian Dalam ilmu pengetahuan hukum soal istilah adalah sangat penting. Para

  ahli hukum dalam mempelajari berbagai sudut dari hukum seperti isi, sifat maksud perluasan. Sebagainya dari berbagai peraturan hukum adalah menemukan dan mempergunakan kata-kata, yang dimaksudkan untuk mengemukakan suatu pandangan atau suatu pendapat. Dengan adanya berbagai pandangan dan pendapat ini, sering kali ada perbedaan antara para pihak ahli hukum. Saling debat mendebat ini memang hal ini orang memikirkan pada suatu hal yang jelek, yaitu hal bertegang-tegang leher dalam mana masing-masing pihak secara maju mundur mempertahankan pendirinya, meskipun ada jalan penuh untuk saling mendekati satu sama lain secara melepaskan sebagian dari pendirian itu. Juga dalam hal kedua belah pihak mempunyai penuh goodwill dan kejujuran tentang hal ini, toh masih luaslah lapangannya, dimana mereka baru saja mulai bertukar pikiran satu sama lain. Dalam usaha mereka untuk saling mendekati dalam lapangan yang luasa ini, ada hal pentng yang harus diperhatikan, yaitu janganlah hendaknya ada

   salah paham antara mereka.

8 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian(Bandung: CV. Mandar Maju,2011), hlm 1-

  3

  Untuk seberapa boleh menghindarkan kesalahan paham ini, perlu adanya kata sepakat diantara para ahli hukum tentang arti hukum tentang arti dari kata- kata yang dipergunakannya. Kalau kata sepakat ini tidak ada, niscayalah tidak akan berhasil segala pertukaran pikiran. Masing-masing pandangan akan bersimpang siur dengan tidak terhingga. Dan pada akhirnya orang-orang mengeluarkan berbagai pandangan, berada sama jauhnya satu sama lain seperti semula.

  Mengingat ini semua, adalah perlu sebagai pembukaan dari karangan ini dijelaskan dulu arti kata “Hukum Perjanjian”. Yang kini dimaksudkan. Pertama- tama dikemukakan bahwa Hukum Perjanjian ini adalah bagian dari Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat pentingdalam Hukum Perdata. Oleh karena Hukum Perdata banyak mengandung peraturan-peraturan hukum yang berdasar atas janji seorang.

  Pengertian lebih sempit ini barang kali memerlukan suatu penjelasan. Dengan mempersempitkan pengertian ini, tidaklah masuk dalam istilah “Hukum Perjanjian” : segala hal yang menurut Burgerlijk Wetboek masuk pengertian

  “verbintenissen “uit de wet alleen” (perjanjian yang bersumber pada undang-

  undang saja) dan “verbintenissen “uit onrechmatige daad” (perjanjian yang bersumber pada perbuatan melanggar hukum”. Dua macam verbintenissen ini tidak mengandung anasir janji. Orang tidak dikatakan berjanji hal sesuatu, apabila suatu kewajiban dikenakan kepadanya oleh undang-undang belaka atau perbuatan melanggar hukum (Onrechtmatige daad pasal 1365 B.W) secara bertentangan dengan langsung dengan kemauannya.

  Dalam hal kewajiban-kewajiban yang menurut Hukum melekat pada perbuatan seorang yang tidak melanggar hukum, masih dapat dikatakan, bahwa seorang itu dianggap tahu adanya hukum itu dan oleh karena itu dapat dianggap berjanji akan melaksankan kewajiban yang ditentukan oleh hukum itu.

  Ada baiknya juga kalau dalam bagian pembukaan ini dikemukakan arti sebenarnya dari perkataan “perjanjian” dalam rangkaian kata-kata “Hukum Perjanjian” sebagai pokok soal peninjauan dari karangan ini.

  Perjanjian kini penulis artikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

  Menurut penulis, satu-satunya bagian dari Hukum Perdata yang dalam jangka pendek dapat di kodifikasi ialah Hukum Perjanjian yang saya maksudkan diatas. Maka karangan ini bermaksud juga untuk memberi bahan-bahan kepada pembentuk undang-undang apabila dianggap telah tiba saatnya untuk melaksanakan pasal 102 Undang-undag Dasar sementara perihal bagian hukum

   ini.

  Dalam praktik dan istilah kontrak atau perjanjian terkadang masih dipahami secara rancu. Banyak pelaku bisnis mencapuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan pengertian yang berbeda. Burgelijk Wetboek menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal 9 ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III titel kedua tentang “Perikatan-

  Ibid; hlm 4 Perikatan yang lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam bahasa belanda yaitu : “Van verbintenissen die uitcontract of overeenkomst geboren

  worden” pengertian ini di dukung oleh pendapat banyak sarjana antara lain :

  Subekti mempunyai pendapat yang berbeda mengenai istilah perjanjian atau persetujuan dengan kontrak. Menurut Subekti istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. Menurut Pothier tidak memberikan pembedaan antara kontrak dan perjanjian, namun membedakan antara kontrak dan perjanjian, namun membedakan pengertian contract dengan convetion (pacte). Disebut

  

convetion (pacte) yaitu perjanjian dimana dua orang atau lebih menciptakan,

  menghapuskan (opheffen) atau mengubah (wijzegen) perikatan. Sedangkan

   contract adalah perjanjian yang mengharapkan terlaksananya perikatan.

  Peter Mahmud marzuki memberikan argumentasi kritis mengenai penggunaan istilah kontrak atau perjanjian dengan melakukan perbandingan terhadap pengertian kontrak atau perjanjian dalam sistem Anglo-American. Sistematika Buku III tentang Verbintenissenrecht(Hukum Perikatan) mengatur mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak merupakan terjemahan dari bahasa inggris

  

contract. Didalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada

  Buku III BW Indonesia tentang Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa

   10 perjanjian memang berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan (vermogen). 11 Subekti, Loc.cit, hlm 1 Peter, Mahmud Marzuki, “Batas-batasKebebasanberkontrak”Yuridika, Volume 18 no.3, Mei Tahun 2003, hlm. 195 - 196 Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, saya sependapat dengan beberapa sarjana yang memberikan pengertian sama antara kontrak dengan perjanjian. Hal ini disebabkan fokus kajian saya berlandaskan pada perspektif Burgelijk Wetboek, dimana antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian yang sama dengan kontrak (contract).

  Subektimemberikan definisi perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

   melakukan sesuatu hal.

  Menurut Setiawan rumusan pasal 1313 BW selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja.

  Sangat luas karena dengan digunakannya perkataan perbuatan tercakup dengan digunakannya sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan ini, menurut Setiawan perlu kirannya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, ialah :

  1. Perbuatan yang harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;

  2. Menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam pasal 1313 BW.

  3. Sehingga perumusannya menjadi “perjanjian adalah perbuatan hukum

  dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling

   12 mengikatkan drinya terhadap satu orang atau lebih” . 13 Subekti, Loc.cit, hlm 26 Setiawan, Pokok-pokokHukumPerikatanbesertaPerkembangannya. Yogyakarta: Liberty, 1985.hlm. 8 Demikian halnya menurut Suryodiningrat bahwa definisi pasal 1313 BW ditentang beberapa pihak dengan argumentasi sebagai berikut :

  1. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian pula tidak ada sangkut pautnya dengan setiap sumber perikatan.

  2. Definisi pasal 1313 BW hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang tidak berprestasi (misal: schenking atau hibah).

  Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pihak, dimana para pihak saling prestasi.

  3. Pasal 1313 BW hanya mengenai persetujuan obligatoir (melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya (misalnya: perjanjian liberatoir/membebaskan;perjanjian dilapangan hukum keluarga;perjanjian kebendaan;perjanjian pembukti

  

B. Jenis-jenis Perjanjian

  Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan- peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu:

14 Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hlm 17

  1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.

  2. Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan- ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-

  

undang bagi masing-masing pihak.

  Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:

  1. Perjanjian timbal balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya.

  2. Perjanjian sepihak Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu 15 memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak

  R.M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber dariPerjanjian,(Bandung:Tarsito,1978), hlm 10 mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.

  3. Perjanjian dengan percuma Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata.

  4. Perjanjian konsensuil, riil dan formil Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUHPerdata. Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris.

  5. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain- lain. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, perjanjian

   keagenan dan distributor, perjanjian kredit.

  Sedangkan menurut Achmad Busro, jenis perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:

  1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang dapat menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak yang melakukannya. Misalnya: kewajiban yang timbul dalam perjanjian jual beli, pihak penjual mempunyai kewajiban pokok menyerahkan barang yang dijualnya, dipihak lain pembeli mempunyai kewajiban untuk membayar harga yang telah disepakati. Perjanjian sepihak yaitu perjanjian dimana salah satu pihak saja yang dibebani suatu kewajiban. Misal: dalam perjanjian pemberian hibah, hanya satu pihak saja yang mempunyai kewajiban.

  2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian dengan alas hak membebani Perjanjian cuma-cuma yaitu suatu perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak tanpa adanya imbalan dari pihak lain. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang lain, antara prestasi dan kontra prestasi tersebut terdapat hubungan menurut hukum meskipun kedudukannya tidak harus sama. Misal: Disatu pihak berprestasi sepeda, di pihak lain berprestasi kuda. 16 Jadi disini yang penting adanya prestasi dan kontra prestasi.

  Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank,(Bandung: Alfabeta,2003), hlm 82

  3. Perjanjian konsensuil, riil dan formil Perjanjian konsensuil yaitu adanya suatu perjanjian cukup dengan adanya kata sepakat dari para pihak. Misalnya: Masing-masing pihak sepakat untuk mengadakan jual beli kambing. Perjanjian riil yaitu perjanjian disamping adanya kata sepakat masih diperlukan penyerahan bendanya. Misalnya: Dalam jual beli kambing tersebut harus ada penyerahan dan masih diperlukan adanya formalitas tertentu. Adapun untuk perjanjian formil dalam perjanjian jual beli kambing di atas dengan dibuatkan akta tertentu.

  4. Perjanjian bernama, tidak bernama dan perjanjian campuran.

  Perjanjian bernama adalah perjanjian yang telah ada namanya seperti dalam buku III KUHPerdata Bab V sampai dengan Bab XVIII. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak ada namanya. Ketentuannya diatur dalam buku III KUHPerdata Bab I sampai dengan Bab IV yang merupakan ketentuan umum. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang terdiri dari beberapa perjanjian bernama juga kemungkinan pula terdapat perjanjian tidak bernama.

  5. Perjanjian kebendaan dan obligatoir Perjanjian kebendaan yaitu perjanjian untuk menyerahkan hak kebendaan.

  Sedangkan perjanjian obligatoir yaitu perjanjian yang dapat menimbulkan kewajiban kepada pihak-pihak, misal: jual beli.

  6. Perjanjian yang sifatnya istimewa : a. Perjanjian liberatoir yaitu perjanjian untuk membebaskan darikewajiban.

  Misal dalam Pasal 1438 KUHPerdata mengenai pembebasan hutang dan pasal-pasal berikutnya (Pasal 1440 dan Pasal 1442 KUHPerdata).

  b. Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian dimana para pihak sepakat menentukan pembuktian yang berlaku bagi para pihak.Perjanjian untung- untungan, seperti yang ada dalam Pasal 1774 yaitu perjanjian yang pemenuhan prestasinya digantungkan pada kejadian yang belum tentu terjadi.

  c. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa. Contoh: Perjanjian yang dilakukan antara mahasiswa tugas belajar (ikatan dinas).

17 Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang

  memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, pemborongan bangunan, tukar menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban

  Abdulkadir Muhammad juga mengelompokkan perjanjian menjadi beberapa jenis, yaitu:

  1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak

17 Achmad Busro, Hukum Perikatan,(Semarang: Oetama, 1985), hlm 4

  menyerahkan benda yang menjadi obyek perikatan dan pihak yang lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu. Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUHPerdata. Menurut pasal ini salah satu syarat ada pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik

  2. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.

  Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerahlepaskan suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan Pasal 1341 KUHPerdata).

  3. Perjanjian bernama dan tidak bernama.

  Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus karena jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

  4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir.

  Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli.

  Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

  5. Perjanjian konsensual dan perjanjian real.

  Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan pinjam pakai (Pasal 1694, 1740 dan 1754 KUHPerdata). Dalam hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuaidengan sifat hukum adat bahwa setiap prbuatan hukum (perjanjian) yangobyeknya benda tertentu, seketika terjadi persetujuan kehendak serentak ketika itu juga terjadi

   peralihan hak. Hal ini disebut "kontan dan tunai".

  Salim H.S. memaparkan jenis perjanjian dengan cara yang sedikitberbeda dibandingkan dengan para sarjana di atas. Salim H.S di dalambukunya menyebutkan bahwa jenis kontrak atau perjanjian adalah:

  1. Kontrak Menurut Sumber Hukumnya Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrakyang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Perjanjian (kontrak)dibagi jenisnya menjadi lima macam, yaitu:

  a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnyaperkawinan; b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik; c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;

  d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan

  bewijsovereenkomst ;

  e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut denganpublieckrechtelijke overeenkomst;

  2. Kontrak Menurut Namanya Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum didalam 18 Pasal 1319 KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal 1319 AbdulKadir Muhammad, Hukum Perikatan,(Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hlm 86.

  KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominnat adalah kontrak yang dikenal dalam KUHPerdata.

  Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian. Sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak innominat adalah

  

leasing , beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya,

  keagenan, production sharing , dan lain-lain. Namun, Vollmar mengemukakan kontrak jenis yang ketiga antara bernama dan tidak bernama, yaitu kontrak campuran. Kontrak campuran yaitu kontrak atau perjanjian yang tidak hanya diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimana yang terdapat dalam title I, II, dan IV karena kekhilafan, title yang terakhir ini (title IV) tidak disebut oleh Pasal 1355 NBW, tetapi terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan khusus untuk sebagian menyimpang dari ketentuan umum. Contoh kontrak campuran, pengusaha sewa rumah penginapan (hotel) menyewakan kamarkamar (sewa menyewa), tetapi juga menyediakan makanan (jual beli), dan menyediakan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa). Kontrak campuran disebut juga dengan contractus sui generis, yaitu ketentuanketentuan yang mengenai perjanjian khusus paling banter dapat diterapkan secara analogi (Arrest HR

  10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi (absorptietheorie), artinya diterapkanlah peraturan perundangundangan dari perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang paling menonjol, sedangkan dalam tahun 1947 Hoge Raad menyatakan diri (HR, 21 Februari 1947) secara tegas sebagai penganut teori kombinasi.

  3. Kontrak Menurut Bentuknya Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentukkontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantumdalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagimenjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalahkontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisanatau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 KUHPerdata). Dengan adanyakonsensus maka perjanjian ini telah terjadi. Termasuk dalam golongan iniadalah perjanjian konsensual dan riil. Pembedaan ini diilhami dari hukumRomawi. Dalam hukum Romawi, tidak hanya memerlukan adanya katasepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan yang suci dan juga harusdidasarkan atas penyerahkan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensualadalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak.Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dandilaksanakan secara nyata.Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalambentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harusdilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682

  KUHPerdata). Kontrak inidibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan danakta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak.Akta yang dibuat oleh notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya,berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT.Akta yang dibuat di hadapan notaris merupakan akta yang dibuat oleh parapihak di hadapan notaris. Di samping itu, dikenal juga pembagian menurutbentuknya yang lain, yaitu perjanjian standar. Perjanjian standarmerupakan perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk formulir.

  4. Kontrak Timbal Balik Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontraktimbal balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihakmenimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual belidan sewa menyewa. Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam,yaitu timbal balik tidak sempurna dan yang sepihak : a. Kontrak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokokbagi satu pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sinitampak ada prestasi-prestasi seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa berkewajiban untuk melaksanakan pesanyang dikenakan atas pundaknya oleh orang pemberi pesan. Apabila sipenerima pesan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebuttelah mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah,maka pemberi pesan harus menggantinya. b. Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkankewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalahperjanjian pinjam mengganti. Pentingnya pembedaan di sini adalahdalam rangka pembubaran perjanjian.

  5. Perjanjian Cuma-Cuma atau dengan Alas Hak yang Membebani Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak danadanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakanperjanjian, yang menurut hukum hanyalah menimbulkan keuntungan bagisalah satu pihak. Contohnya, hadiah dan pinjam pakai. Sedangkanperjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian,disamping prestasi pihak yang satu senantiasa ada prestasi (kontra) daripihak lain, yang menurut hukum saling berkaitan. Misalnya, Amenjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuahbenda tertentu pula kepada A.

  6. Perjanjian Berdasarkan Sifatnya Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yangditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnyadibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijkeovereenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalahsuatu perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan, diubah ataudilenyapkan, hal demikian untuk memenuhi perikatan. Contoh perjanjianini adalah perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak milik.Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkankewajiban dari para pihak.Disamping itu, dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjianpokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjianyang utama, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang, baik kepada individumaupun pada lembaga perbankan.

  Sedangkan perjanjian accesoirmerupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan haktanggungan atau fidusia.

  7. Perjanjian dari Aspek Larangannya Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakanpenggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihakuntuk membuat perjanjian yang bertentang dengan undang-undang,kesusilaan, dan ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itumengandung praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopolidan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagimenjadi tiga belas jenis, sebagaimana disajikan berikut ini: a. Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usahadengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa. Perjanjianini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan ataupersaingan tidak sehat.

  b. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelakuusaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atassuatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen ataupelanggaran pada pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dariketentuan ini adalah : 1) Suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan, dan: 2) Suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yangberlaku.

  c. Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antarapelaku-pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harusmembayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar olehpembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda.

  d. Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yangdibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untukmenetapkan harga yang berada di bawah harga pasar, perjanjian inidapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

  e. Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuatantara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuatpersyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjualatau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya.Tindakan ini dilakukan dengan harga yang lebih rendah daripada hargayang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinyapersaingan usaha tidak sehat.

  f. Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antarapelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untukmembagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang danatau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktikmonopoli dan atau persaingan tidak sehat. g. Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yangdibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untukmengahalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usah yang sama,baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.

  h. Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usahadengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untukmempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaransuatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinyapraktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. i. Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama denganmembentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar,dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidupmasing-masing perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untukmengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa,sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan ataupersaingan usaha tidak sehat. j. Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama- samamenguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapatmengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar yangbersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktikmonopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. k. Perjanjian integrasi vertikal, perjanjian yang dibuat antara pelakuusaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasaiproduksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksibarang dan / atau jasa tertentu. Setiap rangkaian produksi itumerupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam saturangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkanterjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikanmasyarakat l. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usahadengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yangmenerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau pada tempat tertentu. m. Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuatantara pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuatketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli danatau persaingan tidak sehat.Dari berbagai perjanjian yang dipaparkan di atas, menurut Salim H.S,jenis atau pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkannamanya, yaitu kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian inimaka lahirlah perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya,sumbernya, maupun dari aspek hak dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jualbeli maka lahirlah perjanjian

   konsensual, obligator dan lain-lain.

19 Salim H.S, Op.cit, hlm 27-32.

C. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

  Dalam kesempatan ini ada baiknya bila kita membahas lebih mendalam mengenai persyaratan untuk melahirkan suatu perjanjian yang sah dan mengikat.

  Mengapa itu perlu, karena persyaratan suatu perjanjian merupakan hal mendasar yang harus diketahui dan dipahami dengan baik. Kita tidak perlu ragu lagi untuk mengatakan bahwa suatu perjanjian atau kontrak yang dibuatnya sudah sah dan mengikat sehingga dapat dilaksanakan, yaitu valid binding and enforceable. Atau sebaliknya, perjanjian itu dianggap tidak pernah ada karena tidak memenuhi persyaratan sehingga dianggap batal dengan sendirinya yang disebut batal demi hukum atau null and void.

  1. Syarat Untuk sahnya Perjanjian Sebagaimana telah disinggung mengenai syarat yang ditetapkan oleh pasal 1320 KUHPerdata, ada 4 syarat yang harus dipenuhi, yaitu : a.

  Kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian c. Mengenai suatu hal tertentu; dan d. Suatu sebab yang halal.

  1). Kesepakatan Tidak mungkin ada suatu kesepakatan apabila tidak ada phak yang saling berkomunikasi, menawarkan sesuatu yang kemudian diterima oleh pihak lainnya. Artinya, tawar-menawar merupakan proses awal yang terjadi sebelum terwujud kata sepakat diantara para pihak yang berjanji.

  Komunikasi yang mendahului itu bertujuan untuk mencari titik temu atau

  a meeting of the minds agar bisa tercapai kata sepakat secara bebas.

  Sesungguhnya yang kita jumpai disini bukanlah suatu kesamaan kepentingan para pihak, melainkan keinginan yang satu justru sebaliknya dari keinginan yang lain. Namun keberlawanan itu menghasilkan kesepakatan. Dengan adanya keterbalikan itu terjadilah pertemuan kehendak yang saling setuju mengenai barang dan harga serta syarat-syarat sehingga terjadilah kesepakatan.

  Sebagai hal mendasar yang harus diketahui adalah bahwa suatu kesepakatan itu harus diberikan secara bebas. Hal in dapat disimpulkan dari pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu sah apabila diberikan tidak ada karena kekhilafan atau tidak dengan paksaan ataupun tidak karena penipuan. Dengan kata lain, suatu kesepakatan harus diberikan bebas dari kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Apabila sebaliknya yang terjadi, kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjian yang dibuat menjadi perjanjian yang cacat.

  Sebenarnya ada dua kemungkinan yang terjadi dalam hal syarat perjanjian tidak dipenuhi.Kemungkinan pertama adalah, pembatalan atas perjanjian tersebut yang pembatalanya dimintakan kepada hakim melalui pengadilan. Ini disebut dapat dibatalkan.Kemungkinan kedua adalah perjanjian adalah, perjanjian itu batal dengan sendirinya, artinya batal demi hukum.

  2). Kecakapan melakukan perbuatan hukum.

  Cakap atau bekawan menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur 21 tahun (pasal 330 BW). Dalam hal ini undang- undang beranggapan bahwa ada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan apabila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap untuk membuat perjanjian prinsipnya semua orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali ia dinyatakan tidak cakap. Jadi, pada prinsipnya semua orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali ia dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang. Ini merupakan general legal presumption.Mengenai ketidakcakapan ini, pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan. Pada dasarnya seseoranya yang mempunyai niat serius untuk mengikatkan diri (niat kontraktual), mengerti akan isi dan persyaratan perjanjian, sadar akan tanggung jawab yang dipikulkan di pundaknya serta akibatnya sehingga orang tersebut haruslah cakap menurut hukum.Oleh karena itu, untuk melakukan tindakan hukum orang yang belum dewasa diwakili oleh walinya sedangkan untuk orang yang tidak sehat pikirannya diwakili oleh pengampunya karena tidak mampu untuk bertindak sendiri

  3).Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu maksudnya adalah sedikit-dikit macam atau jenis benda dalam perjanjian itu sudah di tentukan, misalnya jual beli beras sebanyak 100 kilogram adalah dimungkinkan asal disebutkan macam atau jenis dan rupanya sedangkan jual beli beras 100 kilogram tanpa disebutkan macam atau jenis , warna dan rupanya dapat dibatalkan.

  Perjanjian mengenai suatu barang yang akan diterima kelak (hasil panenan) diperkenankan. Satu sama lain kalau mengenai barang-barang harus barang-barang yang di dalam perdagangan. 4). Suatu Sebab yang Halal

  Dari persyaratan tersebut dikatakan bahwa isi suatu perjanjian harus memuat suatu kausa yang diperbolehkan atau legal. Yang dijadikan objek atau isi dan tujuan prestasi yang tertuang dalam perjanjian harus merupakan kausa yang legal sehingga perjanjian tersebut menjadi perjanjian yang valid atau sah dan mengikat (binding). Kausa yang diperbolehkan disini dimaksudkan selain yang dibolehkan berdasarkan undang-undang, juga tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan.Bisa saja yang mejadi latar belakang atau sebab seseorang membeli sebilah pisau adalah untuk menusuk seseorang atau untuk membunuh, tetapi tidak tertuang atau tidak dinyatakan dalam perjanjian.

  Undang-undang tidak melarang maksud atau tujuan apa yang ada dibenak seseorang, namun lebih kepada yang dinyatakan. Jadi, pembelian pisau adalah sah karena pisau merupakan barang yang dapat diperdagangkan (pasal 1332 BW), sedangkan niat untuk membunuh tidak dinyatakan dan tidak tertuang dalam isi perjanjian.Penggunaan istilah halal bisa menimbulkan keraguan atau kerancuan. Misalnya, seseorang pedagang hewan yang biasa melakukan ekspor impor hewan potong, melakukan transaksi dengan objek perjanjian adalah ternk babi. Babi atau daging babi lebih populer dengan konotasi atau sebutan haram. Jangankan dagingnya,minyaknya saja udah bisa menjadi masalah sehingga penjualan

   makanan yang diperkirakan hanya mengandung minyak atau lemak babi.

  Secara hukum sudah tentu jual beli atau transaksi yang demikian adalah sah, namun agar tidak rancu, dalam hubungan ini penulis menyarankan untuk mempergunakan istilah legal sebagai kebalikan atau lawan dari kata “ilegal” yang artinya tidak legal atau tidak sah menurut hukum. Lagi pula kata –kata tersebut sudah menjadi kata baku bahasa Indonesia serta dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.Dengan sendirinya perjanjian yang demikian mejadi tidak legal atau ilegal, dan tidak mempunyai akibat hukum artinya perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak dilindungi oleh hukum. Karea tidak dilindungi, perjanjian tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak dapat dipaksakan pelaksanaanya dan akibatnya. Pihak yang tidak dapat mematuhi perjanjian

   atau yang melakukan wanprestasi, tidak dapat dikenakan sanksi hukum.

D. Konsekuensi Perjanjian

  Akibat dari suatu perjanjian menurut pasal 1338 KUPerdata, yaitu : 1. Perjanjian mengikat para pihak. Siapa yang dimaksud dengan para pihak itu? 20 a. Para pihak yamg membuatnya (para 1340 KUHPerdata). 21 Ibid ; hlm 52

  

I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) (Jakarta: Kesaint Blanc, 2003), hlm 45 b. Ahli waris berdasarkan atas hak umum karena mereka itu memperoleh segala hak dari seseorang secara tidak terperinci c. Pihak ketiga yang diuntungkan dari perjanjian yang dibuat berdasarkan alas hak khusus karena mereka itu memperoleh segala hak dari seseorang secara terperinci/khusus

  2. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara pihak karena (pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata) merupakan kesepakatan diantara kedua belah pihak dan alasan yang oleh undang-undang dinyatakan untuk itu.

  3. Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Melaksanakan apa yang menjadi hak disatu pihak dan kewajiban dipihak yang lain dari yang membuat perjanjian. Hakim berkuasa menyimpangi isi perjanjian bila bertentangan dengan rasa keadilan.sehingga agar suasana perjanjian dapat dilaksanakan harus dilandasi dengan prinsip iktikad baik, prinsip kepatutan, kebiasaan, dan sesuai undang-undang. Dimasukkannya iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berarti kita harus menafsirkan perjanjian itu berdasarkan

   keadilan dan kepatutan.

  Hal kejujuran dan kepatuhan dalam pelaksanaan, persetujuan berhubungan erat dengan soal penafsiran dari suatu persetujuan, maka dari itu apa yang akan saya singgung dalam bagian ini, mengenai sekaligus afdeling III, yang mengatur hal akibat persetujuan, dan afdeling IV dari titel 2 buku III BW, yang mengatur

22 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia (Yogyakarta: Yustisia, 2009), hlm 58-59

  hal penafsiran persetujuan. Kejujuran dan kepatuhan adalah dua hal yang amat penting dalam soal pelaksanaan persetujuan.

  Suatu persetujuan tertentu berupa rangkaian kata-kata sebagai gambaran dari suatu perhubungan antara kedua belah pihak. Seperti halnya dengan semua buah perbuatan seorang manusia, maka gambaran ini tidak ada sempurna. Kalau orang mulai melaksanakan persetujuan terbentuk, sama sekali tidak atau hanya sedikit nampak pada alam pikiran dan alam perasaan kedua belah pihak.

  Kejujuran dalam pelaksanaan persetujuan harus diperbedakan dari pada kejujuran pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum, seperti hal hal kejujuran pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum, seperti hal kejujuran memang barang benda sebagai salah suatu syarat guna memperoleh milik barang yang dipegang itu, secara lampau waktu (bezit tegoeder trouw dalam pasal 1963

   sebagai syarat memperoleh milik barang secara ‘’verjaring”).

E. Wanprestasi dalam suatu Perjanjian

  1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi berasal dari perkataan Belanda yang berarti suatu keadaan yang menunjukkan debitur tidak berprestasi (tidak melaksanakan kewajiban) dan dia dapat dipersalahkan. Ada tiga unsur yang menentukan kesalahan, yaitu :

  a. Perbuatan yang dilakukan debitur dapat disesalkan kreditur. Contoh: Hari itu panas, si A mengirim es ketempat si B, hal ini menyebabkan 23 esnya mencair sebelum sampai tujuan.

  Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hlm 102-104 b. Debitur dapat menduga akibatnya, dapat dibagi menjadi 2, yaitu: 1). Objektif sebagai manusia normal.

  2). Subjektif sebagai seorang ahli.

  c. Debitur dalam cakap berbuat. Sejak kapan seseorang debitur dapat dikatakan wanprestasi ? penentuannya sangat berkaitan dengan macam prestasi, yaitu : 1). Berbuat sesuatu (pasal 1241 KUHPerdata). Contoh : si A wajib memperbaiki barang yang rusak tapi si A tersebut tidak berbuat sesuatu atau terlambat memenuhi sesuatu yang menyebabkan tidak berguna atau bisa juga si A keliru (tidak pantas dalam memenuhi perjanjian).

  

  2). Jika dalam perjanjian mencantumkan tenggang waktu pelaksanaan prestasi maka debitur dianggap wanprestasi bila setelah melewati tenggang waktu tersebut debitur belum juga melaksanakan prestasi.

  2. Macam-macam Bentuk Wanprestasi Ada 4 macam bentuk dari wanprestasi : a. Tidak berprestasi sama sekali.

  b. Terlambat memenuhi prestasi.

  c. Memenuhi prestasi secara tidak baik.

  d. Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

  3. Akibat Wanprestasi

24 Ibid ; hlm 80-82

  Ada beberapa akibat yang dapat ditimbulkan dari suatu keadaan wanprestasi, yaitu a. Bagi debitur 1). Mengganti kerugian.

  2). Objek perjanjian menjadi tanggung jawab debitur.

  b. Bagi kreditur (lihat pasal 1267 KUHPerdata), yaitu kreditur dapat menuntut : 1). Pemenuhan perikatan. 2). Ganti kerugian (lihat pasal 1243-1252 KUHPerdata).

  c. Bunga, yaitu keuntungan yang diharapkan namun tidak diperoleh kreditur, macam-macamnya : 1). Bunga konvensional adalah bunga uang yang dijanjikan pihak-pihak dalam perjanjian (pasal 1249 KUHPerdata).

  2). Bunga moratoire adalah bunga pada perikatan yang presentasinya berupa membayar sejumlah uang, penggantian biaya rugi, dan bunga yang disebabkan karena terlambatnya pelaksanaan perikatan. Hanya terdiri dari bunga yang ditentukan dalam undang-undang atau sejumlah uang yang harus dibayarkan sebagai ganti kerugian dalam perikatan yang prestasinya berupa sejumlah uang.

  3). Bunga kompensatoir adalah bunga uang yang harus dibayar debitur untuk mengganti bunga yang dibayar kreditur pada pihak lain karena debitur tidak memenuhi perikatan atau kurang baik melaksanakan perikatan. Pihak yang menetapkan besarnya jumlah bunga itu adalah hakim dan besarnya jumlah bunga tidak ditentukan berdasarkan perkiraan akan tetapi ditenukan menurut kenyataannya oleh hakim sejak saat kerugian itu benar-benar terjadi. 4). Bunga berganda adalah bunga yang diperhitungkan dari bunga utang pokok yang tidak dilunasi oleh debitur (pasal 1251 KUHPerdata).

  Suku bunganya sudah tidak dianut lagi sedangkan yang berlaku di lingkungan bank swasta untuk kredit umum adalah sebesar 3% perbulan.

F. Berakhirnya perjanjian

  Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, berakhirnya perjanjian juga memiliki sinonim lain, seperti berakhirnya kontrak dan hapusnya perikatan (KUHPerdata pasal 1381). Secara umum, berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya suatu perjanjian yang dibuat diantara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur, tentang sesuatu hal. Pihak kreditur dipahami sebagai pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi sesuai dengan isi perjanjian. Pihak debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi suatu prestasi sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Apabila perjanjian berjalan lancar dan dipenuhi dengan seksama maka pemenuhan itu adalah tanda pengakhiran suatu perjanjian secara otomatis.

  1. Dasar hukum berakhirnya perjanjian Sampai saat ini, pedoman atau dasar hukum yang dipakai sebagai landasan berakhirnya perjanjian (perikatan) masih merujuk pada isi pasal 1381 KUHPerdata, yang dalam beberapa hal telah ketinggalan zaman. Menurut pasal 1381 KUHPerdata, ‘’ Perikatan-perikatan dapat hapus : a. Karena pembayaran;

  b. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; c. Karena pembaruan utang;

  d. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;

  e. Karena percampuran utang

  f. Karena pembebasan utangnya;

  

  g. Karena musnahnya barang yang terutang

  2. Berakhirnya karena Undang-Undang dan Perjanjian Rumusan berakhirnya perjanjian dalam KUHPerdata tidak menjelaskan apakah karena perjanjian atau undang-undang. Namun, secara tersirat

  KUHPerdata dapat memual hal itu secara inklusif. Dari praktik, dapat diamati perjanjian yang berakhir karena undang-undang adalah : a. Pembayaran;

Dokumen yang terkait

Tinjauan Pustaka Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP)

0 0 12

Latar Belakang - Dampak Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan Terhadap Kinerja dan Pendapatan Usahatani Anggota Kelompok Tani

0 1 8

Tanggung Jawah Hukum Perusahaan Patungan (Joint Venture Company) dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 0 10

BAB II PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL PATUNGAN (JOINT VENTURE COMPANY) BERDASARKAN UU NOMOR 25 TAHUN 2007 A. Bentuk-Bentuk Penanaman Modal - Tanggung Jawah Hukum Perusahaan Patungan (Joint Venture Company) dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 0 31

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawah Hukum Perusahaan Patungan (Joint Venture Company) dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 1 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisau Egrek - Pengaruh Proses Deformasi Plastis Dengan Metode Hammering Terhadap Sifat Mekanis Dan Microstruktur Baja Bohler K460 (AISI O1)

0 0 33

Analisis Yuridis Terhadap Peran Pemerintah Daerah Dalam Kegiatan Penanaman Modal Asing Sektor Pariwisata

0 0 36

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Peran Pemerintah Daerah Dalam Kegiatan Penanaman Modal Asing Sektor Pariwisata

0 0 22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM UDARA INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI CHICAGO 1944 A. Sejarah Hukum Udara Internasional - Tinjauan Yuridis Hukum Udara Internasional Dalam Kasus Jatuhnya Pesawat Tempur Rusia Akibat Penembakan Turki

0 0 29

Tinjauan Yuridis Hukum Udara Internasional Dalam Kasus Jatuhnya Pesawat Tempur Rusia Akibat Penembakan Turki

0 0 11