Isu Isu Kontemporer dalam Logistik Perik

Isu-Isu Kontemporer dalam Logistik Perikanan di
Indonesia:
Strategi Pengembangan dan Implementasi Kebijakan
Hafida Fahmiasari, S.T., M.Sc.
Pendahuluan
Pemerintah Indonesia telah membuat kebijakan yang jelas untuk
mempromosikan penggunaan sumber daya maritim di negara ini. Salah
satu masalahnya adalah memastikan produk ikan Indonesia dapat
dipasarkan di dalam negeri dan internasional di lingkungan bisnis yang
kompetitif. Studi ini menyoroti situasi global di pasar ikan dan rantai
pasok terkait dengan pengiriman ikan di pasaran. Tinjauan terhadap
sistem informasi logistik ikan nasional Indonesia dilakukan untuk
mengidentifikasi

hambatan

dalam

menerapkan

kebijakan,


strategi

teknologi, dan cara untuk mengurangi hambatan tersebut.
Makalah ini membahas metodologi yang berbeda untuk menetapkan
prioritas strategi implementasi. Hasil studi menunjukkan bahwa daftar
lokasi untuk pusat logistik laut dapat ditentukan untuk memastikan
bahwa pasokan dan permintaan produk ikan segar dan olahan terpenuhi.
Keberhasilan menarik sektor swasta untuk mengembangkan sentra
logistik laut akan bergantung pada (1) pelabuhan dan infrastruktur
pengolahan ikan, (2) dukungan pemerintah dan industri di wilayah ini,
(3) akses ke jalan dan jalan raya, dan (4) kedekatan dari pasar, dan (5)
ketersediaan tenaga kerja.

Latar Belakang
Laut yang sehat memiliki potensi pekerjaan, pangan, dan perlindungan
bagi milyaran manusia di dunia. Komoditas-komoditas lautan terdiri dari
berbagai macam produk kelautan. Produk-produk kelautan tersebut
adalah berbagai jenis ikan, kerang atau krustasea yang dapat hidup di
lingkungan laut dan berbagai echinoderm, termasuk bagian dari hewan-


1

hewan dan produk turunannya[ CITATION Que06 \l 1033 ]. Potensi ini
memastikan kehidupan 10-12 persen dari populasi manusia di seluruh
dunia dengan lebih dari 90 persen dari populasi ini bekerja sebagai
nelayan skala kecil di negara berkembang [ CITATION The16 \l 1033 ].
Pada sektor perikanan, produksi di 2012 mencapai jumlah lebih dari 160
juta ton[ CITATION The16 \l 1033 ]. Jumlah ini senilai dengan 129 milyar
US$. Produksi perikanan global mengambil jatah 16% dari total protein
hewani di seluruh dunia[ CITATION FAO141 \l 1033 ]. FAO di 2006
mengestimasi bahwa 87% orang yang bekerja di produksi perikanan
berasal dari Asia (41,4 juta). Dimana 13 juta nya adalah dari Cina dan 6,2
juta orang berasal dari Indonesia.
Distribusi

produk-produk

perikanan


harus

optimal

sehingga

dapat

mereduksi biaya total dari produk ini. Produk perikanan melibatkan
kompleksitas tinggi dalam rantai pengadaan dan distribusinya, termasuk
dari poin produksinya ke pelanggan akhir[ CITATION Nic15 \l 1033 ].
Mempertahankan

nilai

nutrisi

sehingga

terjaga


komposisi

dan

keuntungannya, juga menghindari kerusakan ikan atau adanya penyakit
merupakan hal yang penting [ CITATION Met03 \l 1033 ]. Hal-hal di atas
mengarah pada kualitas akhir ikan di tangan pelanggan yang merujuk
pula pada harga produk.
Untuk dapat memahami rantai pasok produk kelautan dengan baik,
terutama produk-produk perikanan, riset dengan tingkat makro dilakukan
dalam penentuan titik-titik logistik produk kelautan: pusat produksi, pusat
distribusi, dan buffer stock. Indonesia merupakan negara yang tepat
dalam studi ini. Hal ini dikarenakan oleh peran dari Indonesia yang
sangat

besar

dalam


mengekspor

produk

perikanan

secara

global[ CITATION The153 \l 1033 ].
Bagian berikutnya menyajikan latar belakang pada produksi kelautan
secara global dan nasional, kemudian diikuti dengan kajian daripada
Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN). Bagian metodologi menjelaskan
penetapan prioritas pada lokasi-lokasi yang berbeda di Indonesia. Hasil
empiris kemudian dipresentasikan untuk menentukan lokasi mana yang

2

akan menjadi simpul logistik produksi perikanan di Indonesia, termasuk
penjelasan lengkapnya.


Kajian Produksi Kelautan Secara Global
Secara global, produksi perikanan dan akuakultur memperlihatkan
tumbuhnya produksi dari perikanan tangkap dan produk akuakultur
dalam 65 tahun terakhir[ CITATION FAO16 \l 1033 ]. Data yang sama
juga memperlihatkan bahwa persentase konsumsi ikan meningkat drastis
dari

7%

di

1975

hingga

39%

di

2004,


bertentangan

dengan

perkembangan populasi manusia yang relatif stabil. Namun demikian,
peningkatan
perkembangan

efek

perubahan

populasi

iklim

yang

menyebabkan


terus-menerus

terjadinya

kelangkaan

dan
pada

produksi perikanan tangkap, contohnya: penurunan produksi ikan teri di
Gambar 1: Pertumbuhan produksi kelautan
secara global
(Sumber: FAO, 2016)

Peru

akibat

efek


El

Nino,

sehingga produksi akuakultur

meningkat secara cepat di negara-negara produsen besar komoditas
kelautan. Tingkat pertumbuhan produksi akuakultur (lihat di Gambar 1)
bahkan melampau pertumbuhan produksi perikanan tangkap di dunia
terutama dengan adanya kenaikan tajam di tahun 1990 ketika industriindustri perikanan tumbuh[ CITATION FAO16 \l 1033 ]. Pada sisi suplai,
pertumbuhan suplai perikanan global, di angka 3,2%, meningkat per
tahunnya

dari

tahun

1969


ke

2013,

dan

mengalahkan

tingkat

pertumbuhan populasi[ CITATION FAO141 \l 1033 ].
Secara spesifik di bidang produksi kelautan, produksi sudah mencapai
108 juta ton di tahun 2014, yang didominasi 80% oleh perikanan tangkap
laut dan 20% dari produksi akuakultur[ CITATION The16 \l 1033 ].
Berkaca dari data di atas, negara-negara terbesar dalam memproduksi
perikanan

tangkap

adalah


Tiongkok, Indonesia, Amerika
Serikat,

Rusia,

dan

Jepang.

Tiongkok dan Indonesia juga
dikategorikan sebagai negara-

3

negara dengan produksi terbesar di komoditas akuakultur bersama
dengan

India,

Vietnam,

dan

Filipina.

Namun,

Tiongkok

memiliki

perbedaan signifikan pada produksi di kedua komoditas ini, yang cukup
jauh untuk dikejar negara-negara lainnya. Produksi besar-besaran di
Tiongkok disebabkan oleh tumbuhnya populasi di sana, sehingga
membawa ke tingkat konsumsi yang tinggi. Faktor-faktor utama yang
meningkatkan

konsumsi

produk

perikanan

di

Tiongkok

adalah

berkurangnya limbah, penggunaan yang efisien dari suplai perikanan,
bertambah baiknya kualitas saluran distribusi, tumbuhnya permintaan
dari pertumbuhan populasi, meningkatnya pendapatan dan urbanisasi,
dan perdagangan internasional yang lebih efisien.

Kajian Produksi Kelautan Secara Nasional
Fokus dari studi ini adalah mengekspos potensi produksi perikanan di
Indonesia. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,
memiliki sepertiga areanya dalam bentuk perairan. Potensi dari produksi
kelautan diperlihatkan dengan posisinya sebagai negara lima besar yang
memproduksi komoditas perikanan tangkap dan akuakultur. Begitupun
jika menilik pada rerata konsumsi ikan per tahun di Indonesia (44,1 kg
perkapita) yang lebih tinggi dari rerata konsumsi per kapita global (20 kg
perkapita)[ CITATION FAO16 \l 1033 ]. Maka dari itu, Indonesia memiliki
pasar

yang

signifikan

untuk

pertumbuhan

industri

produk-produk

perikanan, belum lagi populasinya yang masif.
Pola

perdagangan

perikanan

dunia

menempatkan

Indonesia

di

persilangan penting di dunia. Persilangan ini merupakan pertemuan
beberapa komoditas kelautan utama: tuna cakalang, yellow fin, albacore,
dan big eye), salmon (salmon Atlantis, salmon Pasifik, trout), krustasea
(udang, lobster, kepiting, dan krill), pelagis (sarden, teri, makarel, dan
ikan todak), makanan ikan, dan minyak ikan. Nilai dari tiga komoditas
pertama diklasifikan sebagai yang terbesar, dimana memiliki nilai tambah
lebih lanjut. Untuk penangkapan tuna di 2014, Indonesia memiliki
produksi terbesar di dunia dengan nilai 185.680 metrik ton [ CITATION

4

CEA16 \l 1033 ]. Produksi ini berkontribusi sebanyak 16% dari suplai
global tuna. Dari fakta tersebut, pemerintah Indonesia terbukti telah
menunjukkan kinerja yang serius dalam meningkatkan sektor perikanan.
Pada 2015, Indonesia memperlihatkan pertumbuhan di sektor perikanan
sebesar 8,5%, yang mengalahkan angka pertumbuhan ekonomi sebesar
5%[ CITATION BPS151 \l 1033 ]. Kinerja serius juga diperlihatkan dengan
terbitnya SLIN.
Data umum dari suplai dan permintaan pada perikanan tangkap
diperlihatkan pada Tabel 1. Pertumbuhan per tahun dari suplai perikanan
adalah 9,5% di antara tahun 2010-2013. Di lain hal, konsumsi ikan
tumbuh 7,6% per tahun di rentang waktu yang sama. Untuk dapat
melihat

permintaan

dasar

dari

konsumsi

perikanan

di

Indonesia,

pemetaan konsumsi per kapita rerata di Indonesia diperlihatkan di
Gambar 2. Semakin tua warna biru pada suatu daerah di gambar tersebut
menunjukkan makin tingginya konsumsi ikan perkapita di daerah
tersebut.
Tahun

Tabel 1:
Aitem
201
201
201
201
0
1
2
3
konsumsi
Total
tangkap di
9,1
10,3
11,6
11,9
(1,000 ton)
Suplai
(Sumber:
Average
IkanFish Consumption
Perkapita per Capita, 2015 (kg/year)
Kelautan dan
38,4
42,5
47,2
47,8
(kg /tahun)
2015)
Konsum
si Ikan

Perkapita
(kg /tahun)

30,5

32,3

33,9

35,2

201
4
13,1
51,8

Produksi dan
perikanan
Indonesia
Kementerian
Perikanan,

38,1

Gambar 2: Konsumsi ikan per kapita di Indonesia pada tahun
2015
(Sumber: data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2015)

Lima provinsi dengan konsumsi ikan terbesar adalah Maluku (55,4 kg),
Sulawesi Tenggara (52,6 kg), Kepulauan Riau (52,6 kg), Maluku Utara
(50,8 kg), dan Sulawesi Utara (49 kg). Di lain pihak, lima provinsi dengan
Map based on Longitude and Latitude. Color shows sum of 2015. Details are shown for Province.

konsumsi terkecil adalah Jawa Tengah (22,4 kg), Daerah Istimewa

5

Yogyakarta (23,2 kg), Jawa Barat (26,3 kg), Lampung (28,7 kg), dan Jawa
Timur (28 kg).
Produksi perikanan tangkap di Indonesia berasar dari klasifikasi sepuluh
area, yang dinamakan dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia (WPPNRI). Klasifikasi ini berasal dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Klasifikasi ini diperlihatkan dengan Gambar 3.
Produksi terbesar dihasilkan oleh WPNNRI 712 (Laut Jawa) dengan 1,1
juta ton. Angka ini mewakili 18% dari produksi perikanan tangkap.
Daerah yang paling tidak produktif adalah Selat Cendrawasih dan
Samudera Pasifik, yang hanya memproduksi 161 ribu ton (2,7%).

Gambar 3: Klasifikasi area produksi perikanan tangkap berdasarkan
WPPNRI
(Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014)

Meskipun memiliki potensi produksi dan konsumsi ikan yang tinggi dalam
negeri, Indonesia masih memiliki masalah besar di sektor perikanan dan
maritim, contohnya: (i) persebaran area produksi dan konsumsi yang
sangat luas, (ii) aktivitas nelayan ilegal, tidak terlaporkan, dan tidak
teratur, (iii) armada nelayan yang didominasi oleh kapal skala kecil, (iv)
fasilitas dan infrastruktur yang terbatas, dan (v) sistem produksi yang
tidak terintegrasi secara baik dari hulu dan hilir[ CITATION Sup15 \l 1033
]. Ancaman lain yang disebutkan pada Rencana Strategis Kementerian

6

Kelautan dan Perikanan di 2010-2015 adalah: pencemaran laut dan
pembuangan limbah ilegal dari negala-negara tetangga, degradasi habitat
pesisir, konflik terhadap penggunaan ruang dan SDA, modal yang
terbatas untuk berinvestasi, dan kemiskinan yang masih menyelimuti
mayoritas populasi pesisir, khususnya nelayan-nelayan skala kecil.
Masalah-masalah ini disebabkan pula oleh lemahnya sistem pengawasan
kelautan. Sehingga, bagian berikutnya akan menjelaskan pentingnya
SLIN.

Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN)
SLIN ditetapkan oleh Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan
No. 5 (Permen KP/2014). Definisi dari SLIN adalah system manajemen
rantai pasok dari perikanan dan produk turunannya, material, dan
peralatan produksi, juga pengadaan sistem informasi penyimpaan, dan
distribusi, sebagai bagian integral dari kebijakan untuk meningkatkan
kapasitas dan sistem stabilisasi produksi perikanan hulu-hilir, mengontrol
ketimpangan

harga,

juga

untuk

memenuhi

permintaan

konsumsi

domestik. Tujuan dari SLIN adalah untuk mengembangkan kapasitas dan
stabilisasi produksi dan pemasaran dari perikanan nasional; memperkuat
dan memperluas koneksi antara pusat produksi hulu, produksi hilir, dan
pemasaran secara efisien; dan mengembangkan efisiesi dari manajemen
rantai pasok ikan, material, alat-alat produksi juga system informasi dari
hulu ke hilir.
Komponen-komponen dari SLIN meliputi pengadaan, penyimpanan,
transportasi, dan distribusi. Komponen-komponen pengadaan meliputi:
(i) pengadaan material dan alat produksi dari pabrik (pakan, benih, alat
pakan, benih, obat ikan, alat penangkapan ikan, es, dan bahan bakar
minyak); (ii) pengadaan ikan yang bersumber dari usaha penangkapan
ikan dan usaha pembudidayaan ikan; (iii) dan/atau pengadaan produk
perikanan yang bersumber dari usaha pengolahan ikan. Penyimpanan
mencakup: penyimpanan ikan dan produk perikanan, berupa antara lain
7

gudang beku (cold storage), gudang penyimpan dan mesin pembeku;
penyimpanan ikan hidup berupa antara lain kolam ikan/tambak; dan/atau
penyimpanan bahan dan alat produksi, berupa antara lain gudang
penyimpanan. Transportasi meliputi: transportasi ikan dan produk
perikanan, berupa kapal pengangkut ikan, pesawat udara, kendaraan
angkut ikan yang berpendingin maupun tidak berpendingin; transportasi
ikan hidup berupa kapal pengangkut ikan, pesawat udara, kendaraan
angkut ikan hidup; dan/atau transportasi bahan dan alat produksi berupa
kendaraan angkut. Distribusi mencakup: distribusi ikan dan produk
perikanan, berupa antara lain depo pemasaran ikan, pasar ikan, dan
outlet pemasaran hasil perikanan; dan/atau distribusi bahan dan alat
produksi, berupa antara lain toko dan kios.
SLIN diterapkan dengan enam strategi, yaitu: pengelolaan produksi dan
pemasaran di bidang perikanan, penyediaan dan pengembangan sarana

dan prasarana di bidang perikanan, pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di
bidang perikanan, pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi
dan komunikasi di bidang perikanan, pengembangan jasa logistik di
bidang perikanan, dan pengembangan kelembagaan di bidang perikanan
(Pasal 6 ayat 1). Strategi tersebut dilaksanakan oleh Kementerian dan
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, berupa kebijakan dan
bantuan

teknis

sesuai

kewenangannya

(Pasal

6

ayat

2).

Skema

operasional tersebut diperlihatkan di Gambar 4.
8

Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN)
Untuk melengkapi komponen SLIN, analisis dari penentuan lokasi pusat
produksi, pusat distribusi, dan buffer stock, akan dibahas lebih lanjut di
bagian ini. Berbagai penilaian dibahas untuk mendapatkan lokasi yang
paling tepat. Di akhir, kedua penilaian dibandingkan sesuai dengan
analisa setelahnya.
Metode Analisis Multi Kriteria digunakan pada keseluruhan analisis di
studi

ini

daripada

menggunakan

metode

lainnya

seperti

Analisis

Gambar 4: Skema operasional SLIN (Sumber: Kementerian Kelautan dan
Perikanan, 2016

Efektivitas Biaya, Analisis Biaya Manfaat, Analisis Finansial, dan Analisis
Hirarki Proses. Metode-metode yang disebutkan terakhir ini mendukung
pembuatan kebijakan penentuan lokasi simpul logistik di level stratejik.
Namun demikian, beberapa isu menjadikan Analisis Multi Kriteria
menjadi

metode

terbaik

pada

studi

ini.

Metode-metode

lainnya

membutuhkan data-data yang perlu dimonetisasi dengan tepat di tiap
kriteria. Pada kenyataannya, kandidat-kandidat lokasi kurang memiliki
perhitungan nilai secara kuantitatif dalam rupiah. Analisis Hirarki Proses
juga tidak dapat dilakukan akibat terbatasnya waktu untuk mengadakan
wawancara dengan para pemangku kebijakan. Kami pun yakin, di level
stratejik, Analisis Multi Kriteria dapat menilai pembuatan kebijakan
dalam penentuan lokasi dengan baik. Secara garis besar, Analisis Multi
Kriteria menyajikan konsistensi internal, logika metode yang baik,
transparansi,

kemudahan

dalam

penggunaan,

dan

dapat

dikauntifikasi[ CITATION Com09 \l 1033 ].
Pada penilaian pertama [ CITATION Set16 \l 1033 ] mengemukakan
kriteria-kriteria
konsumsi,

yang

kapasitas

secara
fasilitas

signifikan

memengaruhi

pemrosesan

ikan,

dan

produksi,
kedalaman

pelabuhan. Penilaian ini menggunakan kriteria yang memberikan efek
pada operasional aktivitas logistik secara langsung. Untuk mendapat

9

skor agregat, bobot berbeda diaplikasikan pada tiap kriteria untuk
menentukan lokasi simpul logistik akhir.
Penilaian

kedua

tidak

hanya

melibatkan

kriteria-kriteria

yang

berhubungan langsung dengan operasional logistik tetapi juga terhadap
informasi terkait dengan kesiapan infrastruktur dan sosial. Hal ini
bertujuan

untuk

memberikan

pandangan

holistik

dengan

mengombinasikan faktor-faktor tersebut[ CITATION Mur01 \l 1033 ].
Penilaian

kedua

merujuk

pada

beberapa

kriteria

berikut

ini:

infrastruktur, kedekatan dengan pasar, dukungan pemerintah dan
industri, volum komoditas, dan kemacetan[ CITATION Lon12 \l 1033 ].
Tabel 2 memperlihatkan kriteria-kriteria, kandidat-kandidat, dan sumber
data di kedua penilaian. Daftar dari para kandidat diambil dari lokasilokasi terpilih oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan di 2015. Tiap
penilaian dianalisis dengan menggunakan kriteria dan bobot yang
berbeda. Pusat produksi dan distribusi memiliki kandidat-kandidat yang
sama, yang diambil dari ide awal dari Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Kandidat-kandidat yang berada di area yang sama dijadikan di
dalam satu kluster.
Kriteria infrastruktur mengukur aksesibilitas dari pergerakan barang
dalam satu area. Hal ini diperlihatkan dengan indikator kedalaman
pelabuhan. Kedekatan dengan pasar memperlihatkan jangkauan pasar
dalam satu daerah. Data populasi pada tiap provinsi di tiap area dalam
pelabuhan digunakan. Ketersediaan lahan mengukur kemampuan sebuah
lokasi untuk berkembang. Kekurangan data atas lahan yang tersedia
membatasi studi ini untuk mengeksplor kriteria ini, hingga kemudian
digantikan dengan fasilitas pemrosesan ikan. Dukungan pemerintah dan
industri mengukur tingkat dukungan yang didapatkan dari pemerintah
lokal dan nasional. Kriteria ini diperlihatkan dengan persentase anggaran
infrastruktur

di

tiap

lokasi

dibandingkan

dengan

total

anggaran

pendapatan dan belanja daerah (APBD). Suplai buruh mengidentifikasi
demografi dari daerah tertentu, yang diperlihatkan dengan jumlah orang
yang bekerja di bidang pertanian (termasuk di dalamnya bidang

10

perikanan). Jarak antara asal dan tujuan transportasi memperlihatkan
suplai dan permintaan ikan per lokasi yang berbeda. Jadi, hal tersebut
dapat memperlihatkan konsumsi dan produksi (per kota/kabupaten dan
provinsi). Kemacetan memperlihatkan kecepatan rerata pada akses jalan
ke/dari lokasi. Rasio V/C (kecepatan/kapasitas) diperlihatkan untuk
menunjukkan kriteria kemacetan. Rasio V/C memperlihatkan mobilitas
dan kualitas perjalanan pada tiap fasilitas jalan. Nilai tersebut didapat
dari perhitungan volum kendaraan dengan kapasitas jalan raya.
Penilaian 1

Penilaian 2
Kriteria: kedalaman pelabuhan,
produksi kota/kabupaten, produksi
Kriteria: kedalaman pelabuhan, produksi
provinsi, konsumsi kota/provinsi,
kota/kabupaten, produksi provinsi, konsumsi
kapasitas pemrosesan ikan, populasi,
kota/provinsi, kapasitas pemrosesan ikan
% dari anggaran infrastruktur pada
APBD, % dari suplai buruh di tiap
wilayah, kemacetan
Kandidat dari Pusat Produksi dan Distribusi Kluster 1: Kota Sabang, Kabupaten Aceh
Utara, dan Kota Medan; Kluster 2: Kabupaten Pemangkat, Kabupaten Natuna, dan
Kabupaten Anambas; Kluster 3: Kabupaten Indramayu dan Kota Bandung; Kluster 4:
Kota Semarang, Kabupaten Demak, dan Kabupaten Pati; Kluster 5: Kota Surabaya dan
Kabupaten Pacitan; Kluster 6: Kota Mataram dan Kabupaten Flores Timur; Kluster 7:
Pahuwato dan Kabupaten Banggai; Kluster 8: Kota Makassar dan Kota Kendari;
Kluster 9: Kota Bitung; Kluster 10: Kabupaten Halmahera Selatan dan Kota Ambon;
Kluster 11: Kota Sorong
Kandidat Buffer Stock: Medan, Sibolga, Pontianak, Bandung, Surabaya, Serang,
Semarang, Bali, Makassar, Bitung, Kupang, Ambon, Sorong
Sumber data: Pelindo 1, 2, 3, 4 (2016), Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2016), Statistik Nasional Indonesia (2015),
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan (2015), Provinsi dalam Angka (2015),
World Bank (2016)
Tabel 2: Deskripsi dari Penilaian 1 dan 2

Analisis Lokasi Pusat Produksi, Distribusi, dan Buffer Stock
Penilaian Pertama
Skor

dari

tiap

kriteria

di

penilaian

pertama

berdasarkan

pada

penggunaan interval. Tabel 3 hingga 5 memperlihatkan penetapan yang
berbeda dari parameter interval di tiap kriteria. Interval ditetapkan
berdasarkan perbedaan dari nilai terbesar hingga terendah di tiap
kriteria.
Kriteria

Interval
(m)

Skor

Kedalaman
Pelabuhan

15

2
4
6
8
10

Deskripsi dari
Interval per
Parameter
Interval ditetapkan dari
kedalaman pelabuhan
terdekat (dari
terdangkal hingga
terdalam)

11

Tabel 3: Interval parameter dari kriteria kedalaman pelabuhan
Kriteria

Interval (ton)

Skor

Deskripsi dari
Interval per
Parameter
Interval ditetapkan
dari produksi
terendah hingga
tertinggi di
kota/kabupaten

< 30,000
2
30,000-60,000
4
60,000-90,000
6
90,000-120,000
8
> 120,000
10
480,000
Tabel 6: Interval parameter dari kriteria fasilitas pemrosesan ikan

Skor akhir diagregat dengan mengalikan skor per kriteria dengan bobot.
Bobot yang berbeda diatur untuk menentukan pusat produksi, pusat
konsumsi, dan persediaan buffer. Tabel 7 menunjukkan bobot kriteria
yang berbeda pada jenis lokasi yang berbeda. Kriteria produksi
kota/kabupaten memiliki bobot tertinggi (0,35) dalam menentukan lokasi
produk. Persediaan buffer ikan tergantung pada fasilitas pengolahan ikan
membuat kriteria ini memiliki bobot tertinggi (0,3). Untuk menentukan
lokasi pusat distribusi, kriteria produksi dan konsumsi harus lebih
seimbang. Oleh karena itu, bobot produksi (baik kota/kabupaten dan
provinsi) lebih kecil dari saat penentuan lokasi pusat produksi. Kriteria

12

konsumsi kota/kabupaten tiga kali lebih besar daripada saat penentuan
lokasi pusat produksi.
Lokasi

Pusat Produksi

Pusat Distribusi

Stok Buffer

Kriteria
Kedalaman Pelabuhan
Produksi Kota/Kabupaten
Produksi Provinsi
Konsumsi Kota/Kabupaten
Kapasitas Fasilitas Pemrosesan
Ikan
Kedalaman Pelabuhan
Produksi Kota/Kabupaten
Produksi Provinsi
Konsumsi Kota/Kabupaten
Kapasitas Fasilitas Pemrosesan
Ikan
Kedalaman Pelabuhan
Produksi Kota/Kabupaten
Produksi Provinsi
Konsumsi Kota/Kabupaten
Kapasitas Fasilitas Pemrosesan
Ikan
Tabel 7: Bobot per kriteria

Bobot
0,2
0,35
0,3
0,05
0,1
0,2
0,2
0,15
0,15
0,3
0,25
0,15
0,1
0,2
0,3

Penilaian Kedua
Penilaian pertama dan kedua memiliki interval parameter yang sama
dengan kriteria kedalaman pelabuhan, produksi, konsumsi, dan fasilitas
pengolahan

ikan.

Kriteria

lain

ditambahkan

untuk

memberikan

pandangan holistik mengenai faktor sosial-demografis dan pemerintahan.
Tabel 8-11 menampilkan interval parameter untuk kriteria ini.
Parameter interval yang berbeda ditetapkan untuk beberapa kriteria
dalam menentukan lokasi stok buffer. Hal ini berkaitan dengan kandidatkandidat yang berbeda pada analisis lokasi pusat produksi dan distribusi.
Namun demikian, kriteria populasi memiliki interval parameter yang
sama karena nilai antar masing-masing provinsi tidak berbeda jauh
dengan analisis sebelumnya (pusat produksi dan distribusi).
Fasilitas

Interval

Skor

Deskripsi dari
Interval Parameter

> 0.8
2
0.73-0.8
4
Pusat Produksi
0.64-0.72
6
dan Distribusi
Interval ditetapkan
0.55-0.63
8
dari rasio V/C
> 0.55
10
tertinggi hingga
> 0.8
2
terendah per
0.73-0.8
4
kota/kabupaten
Stok Buffer
0.64-0.72
6
0.55-0.63
8
> 0.55
10
Tabel 8: Interval parameter dari kriteria rasio V/C

13

Fasilitas
Pusat
Produksi,
Distribusi,
dan Stok
Buffer
Tabel

Deskripsi dari
Interval
Parameter
Interval
< 1,500
2
ditetapkan dari
1,500-16,333
4
populasi terendah
16,334-31,166
6
hingga tertinggi
31,167-46,000
8
per
> 46,000
10
kota/kabupaten
9: Interval parameter dari kriteria populasi
Interval (ribu)

Skor

Interval
(%)

Sko
r

Fasilitas

< 0.014
0.014-0.043
Pusat Produksi
0.039-0.072
dan Distribusi
0.063-0.086
> 0.086
< 0.014
0.015-0.038
Stok Buffer
0.039-0.062
0.063-0.086
> 0.086
Tabel 10: Interval parameter
Fasilitas

Interval

Deskripsi dari
Interval
Parameter

2
4
6
Interval ditetapkan
8
dari APBD
10
terendah hingga
2
tertinggi per
4
provinsi
6
8
10
dari kriteria APBD

Skor

Deskripsi dari
Interval
Parameter

< 0.06
2
Interval
0.06-0.13
4
ditetapkan dari
0.13-0.20
6
persentase
0.21-0.26
8
ketersediaan
> 0.26
10
buruh di jumlah
< 0.06
2
populasi yang
0.06-0.13
4
terendah hingga
Stok Buffer
0.13-0.20
6
tertinggi per
0.21-0.26
8
provinsi
> 0.25
10
Tabel 11: Interval parameter untuk kriteria dukungan ketersediaan tenaga kerja
Pusat
Produksi dan
Distribusi

Untuk mendapatkan skor agregat, proses pembobotan dilakukan. Seperti
dapat dilihat pada Tabel 12, lokasi pusat produksi diputuskan setelah
memberikan bobot yang tinggi dalam kriteria produksi. Pusat distribusi
didapatkan setelah meningkatkan bobot kriteria konsumsi, kriteria
kemacetan,

dan

peningkatan

populasi.

Analisis

stok

penyangga

meningkatkan kriteria konsumsi ke nilai tertinggi.

14

Keputusan

Pusat Produksi

Pusat Distribusi

Stok Buffer

Bob
ot

Kriteria
Kedalaman Pelabuhan
Kemacetan
Produksi Kota/Kabupaten
Produksi Provinsi
Konsumsi Kota/Kabupaten
Kapasitas Fasilitas Pemrosesan
Ikan
Populasi
Dukungan Pemerintah
Dukungan Tenaga Kerja
Kedalaman Pelabuhan
Kemacetan
Produksi Kota/Kabupaten
Produksi Provinsi
Konsumsi Kota/Kabupaten
Kapasitas Fasilitas Pemrosesan
Ikan
Populasi
Dukungan Pemerintah
Dukungan Tenaga Kerja
Kedalaman Pelabuhan
Kemacetan
Produksi Kota/Kabupaten
Produksi Provinsi
Konsumsi Kota/Kabupaten
Kapasitas Fasilitas Pemrosesan
Ikan
Populasi
Dukungan Pemerintah
Dukungan Tenaga Kerja

0,15
0,05
0,2
0,15
0,05
0,1
0,1
0,1
0,1
0,04
0,06
0,05
0,05
0,15
0,15
0,3
0,1
0,1
0,07
5
0,02
5
0,05
0,05
0,2
0,3
0,1
0,1
0,1

Tabel 12: Bobot per kriteria total

Hasil Analisis
Analisis lokasi stok penyangga hanya menggunakan 13 kabupaten
yang disebutkan pada Tabel 2. Kabupaten ini telah mewakili setiap
kluster yang terdaftar di pusat produksi dan distribusi. Berdasarkan hasil
penilaian, lokasi lima besar adalah Bitung, Surabaya, Ambon, Bali, dan
Makassar. Hasil ini mengikuti fakta bahwa konsumsi dan produksi
produk perikanan di daerah ini lebih tinggi daripada daerah lainnya (lihat
Gambar 2).
Hasil penilaian pusat produksi ditunjukkan pada Tabel 13. Pusat
produksi di kedua metode hampir menghasilkan hal yang sama.
Meskipun demikian, kluster 9 sampai 12 tidak menerima peningkatan
nilai agregat dari metode kedua. Rendahnya jumlah populasi di Indonesia
Timur

adalah

alasan

utama

untuk

memiliki

skor

rendah

secara

15

keseluruhan. Untuk memperjelas penyebaran pusat produksi, Gambar 5
dibuat.

Gambar 5: Peta Persebaran Pusat Produksi

Kandidat

Klust
er
1

Skor di penilaian 1

Skor di penilaian
kedua
5.6
4.2

Kota Medan
6,4
Kabupaten
3,4
2
Pemangkat
Kabupaten
4,6
3
Indramayu
Kabupaten Pati
4
3,5
Kota Surabaya
5
6,5
Kota Mataram
6
4,3
Kabupaten Banggai
7
3,5
Kota Makassar
8
4,0
Kota Bitung
9
7,4
Kota Ambon
10
8,2
Kota Sorong
11
3,7
Kota Tual
12
6,1
Tabel 13: Hasil dari Penilaian Pusat Distribusi

5.3
4.2
6.8
4.8
4.2
4.4
6.6
6.2
4.2
5.4

Tabel 14 menyajikan hasil penilaian dalam analisis pusat distribusi. Hal
ini diperlihatkan oleh Gambar 6. Penetapan pusat distribusi hampir sama
dengan penatapan pusat produksi, kecuali pada kluster 1. Kluster 1
menghasilkan

Kota

Medan

sebagai

peringkat

pertama.

Hal

ini

disebabkan tingkat konsumsi yang lebih tinggi di Kota Sabang, kemudian
memberikan kontribusi yang signifikan untuk menjadikannya sebagai
pemenang dalam penilaian kedua. Walaupun skor tenaga kerja di Medan
tinggi, bobotnya tetap tidak bisa mengungguli pentingnya konsumsi.
Kabupaten Anambas dipilih di kluster 2, berbeda dengan hasil lokasi
pusat produksi, karena Anambas memiliki nilai konsumsi lebih tinggi
daripada Kabupaten Pemangkat (pusat produksi terpilih di kluster 2).

16

Kandidat

Kluster

Skor di
penilaian
1
4,8

Skor di
penilaian 2

Kota Sabang:
4,3
Kabupaten Anambas
2
3,3
4,1
Kota Indramayu
3
4,6
4,3
District Pati
4
3,4
4,1
Kota Surabaya
5
5,3
5,8
Kota Mataram
6
4,2
4,2
District Banggai
7
3,4
3,9
Kota Makassar
8
4,0
4,1
Kota Bitung
9
7,5
6,3
Kota Ambon
10
6,2
4,7
Kota Sorong
11
3,8
3,9
Kota Tual
12
5,0
4,4
Tabel 14: Hasil analisis pusat distribusi
Kota Medan

1

Gambar 6: Peta persebaran pusat distribusi

Tabel 15 mempresentasikan hasil analisis stok buffer pada kedua
penilaian tersebut. Bitung, Surabaya, Ambon, Denpasar, Makassar adalah
lima kota teratas yang menjadi stok buffer pada penilaian pertama.
Sementara itu, penilaian kedua lebih memilih peringkat yang berbeda:
Surabaya, Bitung, Ambon, Denpasar, dan Makassar. Kriteria tambahan
populasi dan ketersediaan tenaga kerja menempatkan Surabaya sebagai
peringkat pertama dari Bitung. Kriteria yang paling signifikan adalah
kapasitas fasilitas pengolahan ikan di Surabaya yang memiliki bobot
terbesar, hingga menjadikannya sebagai pemenang pada penilaian
kedua. Peta hasil stok buffer ditunjukkan oleh Gambar 7.
Dibandingkan dengan penilaian pertama, penilaian kedua mengurangi
selisih antara kandidat produksi, pusat distribusi, dan stok buffer
tertinggi dan terendah. Kriteria tambahan di penilaian kedua sebagian
besar memberikan skor agregat yang lebih tinggi kepada pemenang
masing-masing kelompok. Hal ini disebabkan oleh kriteria sosio-ekonomi

17

yang memiliki bobot yang signifikan, yang tidak dipertimbangkan dalam
metode pertama.
Melihat hasil dari kedua pusat produksi dan distribusi, kluster 2-12
memiliki pemenang yang dominan meskipun bobot dan kriteria lainnya
dimodifikasi dalam penilaian kedua. Untuk memeriksa ketahanan dari
kluster 1, analisis sensitivitas akan dilakukan pada bagian selanjutnya.
Peringk
Penilaian
Penilaian
at
pertama
kedua
1
Bitung
Surabaya
2
Surabaya
Bitung
3
Ambon
Ambon
4
Denpasar
Denpasar
5
Makassar
Makassar
6
Medan
Sibolga
7
Sibolga
Sorong
8
Sorong
Semarang
9
Semarang
Medan
10
Pontianak
Pontianak
11
Kupang
Kupang
12
Serang
Serang
13
Bandung
Bandung
Tabel 15: Hasil Perhitungan Lokasi Stok Buffer

Gambar 7: Peta Persebaran Lokasi Stok Buffer

Analisis Sensitivitas
Analisis Sensitivitas (AS) meneliti bagaimana variasi keluaran dari model
numerik dapat dikaitkan dengan variasi faktor masukannya. Karena
kluster 1 dari pusat distribusi memiliki dua hasil dalam kedua penilaian
tersebut, AS digunakan untuk menguji ketangguhan hasil tersebut. Lima
lokasi stok buffer teratas juga akan diuji oleh SA. Metode kedua
digunakan di AS karena memiliki kriteria yang lebih komprehensif
daripada hanya operasi produksi perikanan.

18

Bobot yang berbeda diterapkan untuk mengecek sensitivitas dari hasilhasil tersebut. Untuk pusat distribusi, bobot fasilitas pengolahan ikan di
tingkat provinsi dan kota/kabupaten mempertahankan tingkat dari
kepentingan, sebagai yang tertinggi, karena ini adalah kriteria yang
paling penting. Perubahan diterapkan ke dalam kriteria lain: kedalaman
pelabuhan,

konsumsi,

kota/kabupaten.
infrastruktur

dan

Perubahan

(kedalaman

produksi

di

tersebut

ditunjukkan

pelabuhan,

tingkat

kemacetan,

dan

provinsi
oleh
%

dan

kriteria
anggaran

infrastruktur) dan kriteria sosial (populasi dan ketersediaan tenaga
kerja). AS untuk stok buffer menerapkan perubahan bobot tetapi
mempertahankan tingkat signifikansi dari fasilitas pengolahan ikan dan
kriteria konsumsi. Penerapan perubahan berat dijelaskan pada Tabel 16.
Perubahan
Kriteria

Aksi

Menambahkan bobot pada kedalaman pelabuhan,
kemacetan, % dari APBD di infrastruktur
Mengurangi bobot pada populasi dan ketersediaan
tenaga kerja
Menambahkan bobot pada populasi dan
Infrastruktur –
ketersediaan tenaga kerja
Sosial ++
Mengurangi bobot pada kedalaman pelabuhan,
kemacetan, % dari APBD di infrastruktur
Tabel 16: Perubahan Bobot pada Analisis Sensitivitas

Infrastruktur ++
Sosial --

Hasil AS menunjukkan bahwa Kota Sabang selalu tampil sebagai lokasi
pilihan daripada Kota Medan dalam kedua SA: infrastruktur ++ dan
infrastruktur --. Meski demikian, perbedaan skor Kota Medan dan Kota
Sabang sangat kecil pada setiap uji coba, kebanyakan hanya 0,1. Kota
Sabang, dengan demikian, memiliki peran yang tetap sebagai pusat
distribusi terbaik di kluster 1.
Uji coba AS dalam stok buffer juga lebih memilih peringkat yang sama di
lima kota teratas: Surabaya, Bitung, Ambon, Denpasar, dan Makassar.
Dengan demikian, kota-kota ini memiliki nilai yang kuat sebagai stok
buffer. Kota-kota ini harus diprioritaskan untuk pertimbangan bagi
pemerintah.
Kesimpulan
Memilih lokasi simpul logistik perikanan mempertimbangkan beberapa
karakteristik

lokasi

tertentu.

Dua

penilaian

digunakan

untuk

19

berkompromi dengan kriteria infrastruktur dan sosio-ekonomi. Penilaian
pertama

hanya

mempertimbangkan

karakteristik

langsung

operasi

perikanan, seperti kedalaman pelabuhan, produksi (tingkat provinsi dan
kabupaten/kota),
konsumsi.

kapasitas

Penilaian

kedua

fasilitas

pengolahan

memberikan

ikan,

kriteria

dan

sosial

tingkat
ekonomi

tambahan: populasi, % anggaran infrastruktur dalam APBD, dan pasokan
tenaga kerja.
Kedua penilaian tersebut menghasilkan lokasi yang sama untuk dipilih di
setiap kluster dalam hal pusat produksi. Dalam menentukan pusat
distribusi, hasilnya hampir sama antara kedua penilaian tersebut, kecuali
di kluster 1. Penilaian kedua lebih mengutamakan Kota Sabang daripada
Kota Medan. Lokasi stok buffer pada penilaian kedua menetapkan
Surabaya sebagai yang tertinggi. Ini mengalahkan Bitung, tidak seperti
pada penilaian pertama, karena populasi di bagian timur berkontribusi
pada skor agregat yang lebih rendah.
Kriteria

sosio-ekonomi

tambahan

mengurangi

kesenjangan

antara

peringkat tertinggi dan paling terendah di setiap kluster. Kriteria ini juga
menambah skor di setiap lokasi, kecuali di lokasi Indonesia Timur. Hal ini
disebabkan oleh rendahnya jumlah penduduk di wilayah tersebut.
Penilaian kedua memberikan analisis yang lebih kuat karena pemerintah
dapat mengandalkan tidak hanya dengan kegiatan infrastruktur dan
perikanan yang ada, tetapi juga bagaimana masing-masing daerah
memperhatikan tenaga kerja, anggaran infrastruktur, dan kedekatan
dengan pasar.
Rekomendasi
Studi awal ini menunjukkan bahwa logistik dan rantai pasok untuk
sumber daya kelautan Indonesia, terutama ikan segar dan olahan, perlu
direncanakan dan dikelola dengan baik. Penilaian dari 20 pusat logistik
kelautan di seluruh negeri menunjukkan bahwa prioritas diperlukan
untuk memastikan bahwa kelangsungan hidup komersial dari investasi

20

dapat dipenuhi, dan sektor swasta tertarik untuk mengembangkan
simpul logistik tersebut.
Hasil prioritas logistik diuji terhadap dua penilaian dan menyediakan
daftar lokasi yang sesuai dengan kriteria investasi. Ditemukan pula, ada
5 (lima) faktor yang akan menentukan keberhasilan investasi tersebut,
yaitu: (1) peningkatan sarana dan prasarana pelabuhan sesuai dengan
kebutuhan fasilitas produksi dan pusat distribusi, terutama meliputi:
kedalaman kolam dan panjang dermaga (sesuai ukuran kapal, frekuensi,
dll.) dan infrastruktur pelabuhan untuk penanganan ikan, terutama
penyimpanan dingin; peningkatan dukungan untuk layanan logistik; (2)
meningkatkan kerjasama dengan pemerintah dan perusahaan yang
menyediakan jasa logistik; (3) memperbaiki akses ke jalan raya, meliputi:
peningkatan akses jalan antar pelabuhan, lokasi pusat produksi dan
distribusi, dan lokasi industri pengolahan ikan; (4) kedekatan pasar:
berpopulasi di sekitar pusat logistik sebagai pelanggan akhir, dan (5)
ketersediaan tenaga kerja: memastikan sumber daya manusia untuk
mengelola infrastruktur yang direncanakan.
Studi lebih lanjut harus mencakup kriteria ketersediaan lahan dan
infrastruktur pendukung. Pasokan lahan harus memadai di pelabuhan
dan lokasi pusat produksi dan distribusi. Sementara itu, infrastruktur
pendukung perlu mencakup ketersediaan listrik di pelabuhan dan lokasi
pusat produksi dan distribusi, serta ketersediaan air bersih di pelabuhan
dan lokasi pusat sentra produksi dan distribusi.

Referensi
CEA. (2016, December 31). Indonesia Fisheries: 2015 Review. Retrieved February 1,
2017, from https://www.packard.org/wp-content/uploads/2016/09/Indonesia-Fisheries2015-Review.pdf
Communities and Local Government. (2009). Multi-criteria analysis: a manual. London:
Communities and Local Government Publications.
FAO. (2014). The State of World FIsheries and Aquaculture Production. Rome: FAO.
FAO. (2016). The State of World Fisheries and Aquaculture. Rome: FAO.

21

Long, S., & Grasman, S. E. (2012, November 8). A strategic decision model for
evaluating inland freight hub locations. Research in Transportation Business and
Management, 5, 92-98.
Metaxa, I. (2003). Asigurarea i controlul calit ii în acvacultur. Bucharest.
Ministry of Maritime Affairs and Fisheries. (2015). Book of Statistics Capture Fisheries.
Jakarta.
Murthy, A. S. (2001). Transportation engineering basics (2nd ed.). New York: American
Society of Civil Engineers.
Nicolae, C. G., Moga, L. M., Nenciu, M. I., Bahaciu, G. V., & Marin, M. P. (2015).
PARTICULARITIES AND MANAGEMENT OF THE DISTRIBUTION CHAIN FOR
FISH AND FISHERY PRODUCTS. AgroLife Scientific Journal, 4(1), 111-116.
Quebec. (2006, April 1). The Marine Product Processing Act. Retrieved February 20,
2017, from http://legisquebec.gouv.qc.ca/en/showdoc/cs/T-11.01/20060401
Bloomberg. (2015, August 18). Fish Farming Becomes Bigger Business Than the Open
Sea. Retrieved February 1, 2017, from
https://www.bloomberg.com/news/articles/2015-08-17/hungry-fish-farms-lurecargill-as-seafood-demand-grows
Setijadi. (2016, May 10). Ringkasan Eksekutif Kajian Pusat Produksi dan Pusat
Distribusi. Bandung: Supply Chain Indonesia.
Supply Chain Indonesia. (2015, January 26). Cold Chain System untuk Peningkatan
Efesiensi dan Produktivitas Sektor Perikanan. Retrieved February 20, 2017, from
http://supplychainindonesia.com/new/cold-chain-system-untuk-peningkatanefesiensi-dan-produktivitas-sektor-perikanan/
The World Bank. (2015, December 31). Fisheries capture production. (The World Bank)
Retrieved February 1, 2016, from
http://data.worldbank.org/indicator/ER.FSH.CAPT.MT
The World Bank. (2016, October 3). Oceans, Fisheries and Coastal Economies. (The
World Bank) Retrieved February 20, 2017, from
http://www.worldbank.org/en/topic/environment/brief/oceans

22