soal Konsep dasar ekonomi islam

TUGAS UAS SEM. III
EKONOMI MIKRO ISLAM
Dosen : Baehaqi, SEI

KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM
“ Maqashid Al-Syari’ah Sebagai Paradigma Dasar Ekonomi Islam “

Disusun oleh:
Sarah Fadlilah Nurlail
( Akuntansi Syariah 2012 C )

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM SEBI

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Pemberi kesempatan untuk kami
menyelesaikan tugas UAS sem. 3, makalah paper Ekonomi Mikro Islam. Tidak
lupa sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi besar Muhammad
SAW yang telah menuntun kita dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang
terang dengan membawa agama yang sempurna Addinul Islam.


Makalah paper yang penulis susun ini telah mencoba menguraikan tentang
Konsep Dasar Ekonomi Islam. Makalah yang berjudul “Konsep Dasar Ekonomi
Islam ; Maqashid Syari’ah Sebagai Paradigma Dasar Ekonomi Islam” ini juga
bertujuan agar kita mengetahui hubungan antara maqashid syari’ah dengan
konsep ekonomi islam dan sebagai nilai UAS sem. 3 mata kuliah Ekonomi Mikro
Islam.

Terlepas dari keyakinan penulis atas kesempurnaan makalah paper yang
penulis susun ini, sebagai makhluk yang sebenarnya jauh dari sempurna, penulis
tetap menanti kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini.

Depok, Januari 2014

Penulis

1

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR…………………………………………………… 1
DAFTAR ISI……………………………………………………………… 2
BAB I ; PENDAHULUAN………………………………………............. 3
BAB II ; ISI……………………………………………………………….. 5
A. KAJIAN PUSTAKA…………………………………………. 5
B. METODE PENULISAN……………………………………... 7
C. PEMBAHASAN……………………………………………… 8
BAB III ; PENUTUPAN…………………………………………………. 15
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 16

2

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia secara keseluruhannya akan
selalu menghadapi persoalan-persoalan yang bersifat ekonomi, yaitu persoalan
yang menghendaki seseorang atau suatu kelompok untuk membuat keputusan
dalam hal menentukan cara yang terbaik untuk melakukan suatu kegiatan
ekonomi. Di satu pihak, kegiatan ekonomi meliputi usaha pelaku ekonomi

memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan. Di lain pihak, kegiatan ekonomi
meliputi kegiatan untuk menggunakan barang dan jasa yang diproduksi dalam
perekonomian. Dengan demikian, kegiatan ekonomi adalah sebagai kegiatan
memproduksi maupun menggunakan atau mengkonsumsi barang dan jasa.
(Sukirno, 2008, hal. 4).

Memproduksi dan mengkomsumsi barang dan jasa merupakan salah satu
upaya bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guna mencapai tujuan
hidup semua manusia, yaitu kebahagiaan. Kebahagiaan atau kesejahteraan ini
dapat dirasakan seseorang apabila semua kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi,
baik material maupun non-material.

Konsep kesejahteraan yang dijadikan tujuan dalam ekonomi konvensional
ternyata sebuah terminologi yaitu suatu keadaan bisa dikatakan sudah memiliki
kesejahteraan apabila manusia memiliki keberlimpahan kekayaan (tidak sekadar
kecukupan) atau biss disebut sebagai kesejahteraan duniawi. Perspektif seperti
inilah yang digunakan secara luas dalam ilmu ekonomi konvensional. Dengan
pengertian ini pula manusia akan melakukan segala cara untuk mencapai
kesejahteraan tersebut walaupun harus melalui berbagai cara atau sampai rela
mengeluarkan banyak harta material (pemborosan) (P3EI, 2013, hal. 12).


Apabila manusia melakukan kegiatan ekonomi (mengkonsumsi barang
dan jasa) untuk mencapai kesejahteraan duniawi seperti yang didefinisikan

3

menurut ekonomi konvensional, maka manusia akan terus mengumpulkan
kekayaannya tanpa peduli cara yang mereka lalui benar atau tidak. Manusia juga
akan cenderung menonjolkan sifat egoisme dan materialisme demi mewujudkan
semua kebutuhan dunianya tanpa peduli ke sesama yang memiliki kekurangan
material atau non-material. Manusia akan tidak memiliki lagi sifat sosialisnya atau
invdividualisme dalam hal berbagi kebahagiannya. Maka ada ketimpangan dalam
hal status ekonomi inilah yang akan menjadi masalah kehidupan bila manusia
mengikuti konsep kesejahteraan duniawi menurut ekonomi konvensional.

Sedangkan menurut ekonomi islam, tujuan hidup manusia bukanlah hanya
kesejahteraan duniawi semata tetapi juga kesejahteraan di akhirat kelak,
kesejahteraan ini dalam islam dimaknai dengan falah atau mashlahah. Untuk
mencapai falah atau kesejahteraan dunia-akhirat, manusia harus banyak-banyak
melakukan hal-hal yang baik seperti sedekah, zakat atau hal-hal yang bersifat

sosial atau membahagiakan orang lain. “Lalu dari mana manusia bisa menakar
bahwa diri mereka sudah sejahtera?”, pertanyaan ini dapat dijawab dengan
Maqashid Syari’ah. Menurut Al-Ghazali, Maqashid Syari’ah terdiri dari lima hal,

yaitu agama (al-dien), jiwa (nafs), keturunan (nasl ), harta (maal) dan intelek atau
akal (aql) (Karim, 2011, hal. 62).

Dari penjelasan diatas, karya tulis ini akan membahas bagaimana manusia
mencapai tujuan hidupnya yaitu kesejahteraan dengan melakukan kegiatan yang
tidak merugikan orang lain. Mencegah permasalahan agar manusia tidak egoisme,
materialisme dan individualisme hanya demi memenuhi kebutuhannya dan
menjelaskan hubungan Maqashid Syari’ah dalam memenuhi kesejahteraan
manusia menurut ekonomi islam.

4

BAB II
ISI

A. KAJIAN PUSTAKA


Seperti yang dijelaskan di bab sebelumnya bahwa manusia menjalani
kehidupannya ini pastilah mempunyai tujuan. Dalam hal perekonomian, tujuan
hidup manusia adalah mendapatkan kebahagiaan atau kesejahteraan. Tetapi
pengertian kesejahteraan yang berbeda antara ekonomi islam dan ekonomi
konvensional akan membuat masalah dan tidak adanya kesejahteraan bagi orang
lain.

Perbedaan ini juga di sampaikan oleh seorang pengamat ekonomi islam di
Timur Tengah, DR. Said Sa’ad Marthon di dalam bukunya yang sudah
diterjemahkan oleh Ahmad Ikhrom dan Dimyauddin (Marthon, 2007, hal. xi),
ekonomi islam mempunyai 4 karakteristik dasar yang membedakan dengan sistem
ekonomi kontemporer, yaitu :

1. Dialektika nilai-nilai spiritualisme dan materialisme.
Sistem ekonomi kontemporer hanya berkonsentrasi terhadap nilai-nilai
materialisme yang tak pernah menyentuh nilai-nilai spiritualisme dan etika
kehidupan sehingga menciptakan manusia yang individualisme, egoisme dan
materialisme. Sedangkan dalam konsep ekonomi islam terdapat dialektika nilainilai spiritualisme dan materialisme. Setiap kegiatan ekonomi senantiasa diwarnai
kedua nilai tersebut.


2. Kebebasan ekonomi.
Sistem ekonomi islam tetap membenarkan kepemilikan individu dan
kebebasan dalam bertransaksi sepanjang dalam koridor syariah.

5

3. Dualisme kepemilikan.
Hakikatnya, pemilik alam semesta ialah Allah SWT. Manusia hanya sebagai
wakil Allah dalam memakmurkan dan menyejahterakan bumi. Untuk itu, setiap
langkah dan kebijakan ekonomi yang diambil oleh manusia demi kemakmuran
alam semesta tidak boleh bertentangan dengan keinginan dan kehendak Allah.
Kepemilikan alam semesta merupakan kepemilikan yang hakiki bagi Allah,
sedangkan harta yang dimiliki manusia merupakan titipan yang suatu saat akan
dikembalikan pada-Nya.

4. Menjaga kemashlahatan manusia.
Konsep kehidupan ekonomi yang terdapat pada islam senantiasa menjaga
kemashlahatan bagi manusia. Kemashlahatan individu tidak boleh dikorbankan
demi kemashlahatan individu lainnya atau sebaliknya.


Dari 4 karakteristik diatas dapat dilihat beberapa hal yang berbeda antara
ekonomi islam dengan ekonomi kontemporer (konvensional). diantaranya adalah
nilai-nilai yang terjadi apabila manusia melakukan kegiatan ekonomi dengan
penggunakan perngertian kesejahteraan menurut ekonomi konvensional, maka
manusia akan lebih egoisme, materialisme, dan individualisme sedangkan dalam
ekonomi islam manusia akan lebih spiritulisme atau mengingat Allah.

Kesejahteraan yang dimaksud oleh ekonomi konvensional menurut (P3EI,
2013, hal. 12) ialah suatu keadaan dimana manusia memiliki keberlimpahan
kekayaan atau sekedar kecukupan. Dengan pengertian ini manusia akan
melakukan segala cara untuk mencapai kesejahteraan tersebut melalu berbagai
cara sampai rela mengeluarkan harta yang berlebihan atau pemborosan dan
membuat manusia menjadi materialisme.

Menurut buku (P3EI, 2013, hal. 2), ekonomi islam berpendapat bahwa
tujuan hidup manusia yaitu falah atau kesuksesan. Dalam pengertian literal, falah
adalah kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Untuk kehidupan dunia, falah

6


mencakup tiga pengertian yaitu kelangsungan hidup, kebebasan berkeinginan
serta kekuatan dan kehormatan. Sedangkan untuk akhirat, falah mencakup
pengertian kelangsungan hidup yang abadi, kesejahteraan dan kemuliaan abadi
dan pengetahuan abadi pengetahuan abadi (bebas dari segala kebodohan).

Untuk mencapai falah ini manusia tidak perlu memakai berbagai cara baik
cara yang halal maupun yang haram sekalipun sampai melakukan pemborosan,
tetapi hanya perlu memenuhi lima hal dalam Maqashid Syari’ah yang menurut
pakar ahli ekonomi islam, Al-Ghazali terdiri dari agama (al-dien), jiwa (nafs),
keturunan (nasl), harta (maal) dan intelek atau akal (aql). Apabila lima hal dalam
maqashid syari’ah sudah dapat tercapai, maka kehidupan manusia yang bahagia
dan sejahtera di dunia maupun di akhirat atau falah sudah tercapai.

B. METODE PENULISAN

Karya tulis ini menggunakan metode kualitatif sebagai metode
penulisannya. Metode kualitatif adalah metode penelitian suatu karya tulis yang
menggunakan perkataan atau pernyataan dari sumber-sumber terpercaya. Karya
tulis ini mengutip beberapa teori yang diambil dari beberapa buku ekonomi islam.

Beberapa pendapat pakar ekonomi islam yaitu Al-Ghazali tentang urutan lima hal
dalam Maqashid Syari’ah dan 4 karakteristik perbedaan ekonomi islam dengan
ekonomi kontemporer menurut DR. Said Sa’ad Marthon.

Data untuk penelitan karya tulis ini merupakan data sekunder yang
didapatkan dari library searchy yaitu studi kepustakaan yang berasal dari berbagai
sumber baik cetak atau elektronik. Untuk karya tulis ini bersumber dari media
cetak yaitu dari buku-buku ekonomi islam karangan para pakar ahli ekonomi
(Adiwarman Karim, Sadono Sukirno dsb) dan beberapa referensi elektronik (ebook).

7

C. PEMBAHASAN

Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia. Manusia akan
memperoleh kebahagiaan ketika seluruh kebutuhannya terpenuhi, baik dalam
aspek material maupun spiritual. Kebutuhan material yang dibutuhkan manusia
seperti sandang, pangan dan papan inilah yang disebut dengan sejahtera (well
being).


Konsep kesejahteraan yang dijadikan tujuan dalam ekonomi konvensional
ternyata sebuah terminologi yang kontroversial karena dapat didefinisikan dengan
banyak pengertian dan bersifat duniawi. Salah satunya, suatu keadaan bisa
dikatakan sudah memiliki kesejahteraan apabila manusia memiliki keberlimpahan
kekayaan atau harta (tidak sekadar kecukupan). Perspektif seperti inilah yang
digunakan secara luas dalam ilmu ekonomi konvensional. Dengan pengertian ini
pula manusia akan melakukan segala cara untuk mencapai kesejahteraan tersebut
walaupun harus melalui berbagai cara atau sampai rela mengeluarkan banyak
harta material (pemborosan) (P3EI, 2013, hal. 12) dan merubah manusia menjadi
egoisme, individualisme dan materialisme.

Dalam upaya mewujudkan kesejahteraan duniawi ini, manusia menghadapi
masalah atau kendala yaitu kekurangan sumber daya yang bisa digunakan untuk
mewujudkan kebutuhan tersebut. Dalam konsep ekonomi konvensional yang
menyamakan antara kebutuhan (need) dan keinginan ( want) manusia yang
membuat adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan keinginan manusia ini
dengan faktor-faktor produksi yang tersedia di manusia. Kekurangan sumber daya
ini bisa disebut sebagai “kelangkaan”.
Kebutuhan manusia adalah keinginan manusia untuk memperoleh barang
dan jasa. Barang yang dimaksud adalah sesuatu yang terlihat dan dapat dipegang,
lalu jasa adalah layanan seseorang atau barang yang akan memenuhi kebutuhan
manusia. Kebutuhan dan keinginan manusia terhadap barang dan jasa yang sering

8

tidak terbatas inilah yang membuat produksi barang dan jasa berlebihan dan
membuat kurangnya sumber daya untuk memenuhi kesejahteraan manusia, bukan
kebutuhan yang tidak terbatas (unlimited wanted) semata.

Kebutuhan manusia yang tidak terbatas karena manusia memiliki sifat
yang tidak pernah merasa puas dengan barang dan jasa yang mereka peroleh dan
prestasi yang telah dicapai. Apabila keinginan dan kebutuhan masa lalu sudah
terpenuhi, maka keinginan dan kebutuhan yang baru akan wujud dan harus
tercapai. Di negara-negara yang miskin hal ini lumrah dimana mereka berusaha
untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Tidak demikian dengan negara kaya
seperti Jepang dan Amerika Serikat yang masih mempunyai keinginan untuk
mencapai kemakmuran yang lebih tinggi dari yang telah tercapai saat ini (Sukirno,
2008, hal. 6).

Kebutuhan manusia juga harus didukung oleh faktor-faktor produksi yang
digunakan sebagai memproduksi barang dan jasa. Faktor-faktor produksi ini biasa
disebut sebagai sumber daya alam. Sumber daya alam yang relatif terbatas
jumlahnya ini tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa
jauh lebih tinggi daripada jumlah keinginan manusia tersebut. Dengan demikian
manusia harus membuat pilihan untuk memaksimumkan kebutuhan dan
keinginannya dan harus membedakan mana yang kebutuhan ( need) dan mana
yang keinginan ( want).

Memaksimumkan kebutuhan yang dimaksud adalah setiap pelaku kegiatan
ekonomi harus membuat pilihan, mana kebutuhan yang harus terpenuhi terlebih
dahulu atau tidak karena manusia secara keseluruhan tidak bisa mendapatkan
semua yang mereka inginkan. Untuk memaksimumkan kebutuhannya, manusia
harus bisa membedakan kebutuhan (need) dan keinginannya ( want). Setelah
membedakannya, selanjutnya mengelompokkan segala kebutuhan atau keinginan
kita ke dalam kelompok premier, sekunder dan tersier. Tujuannya adalah agar

9

sumber daya yang tersedia akan digunakan secara efisien dan dapat mewujudkan
kesejahteraan yang paling maksimum kepada manusia (Sukirno, 2008, hal. 7).

Bila manusia atau para pelaku ekonomi sudah mengelompokan semua
kebutuhannya lalu semua kebutuhannya sudah terpenuhi, maka mereka akan
mengelompokan kembali kebutuhan yang belum tercapai dan akan terus seperti
itu dari waktu ke waktu seperti yang dijelaskan di awal tentang pengertian
kesejahteraan menurut ilmu ekonomi konvensional yang pada akhirnya membuat
manusia berperilaku berlebih-lebihan (pemborosan).

Tujuan hidup manusia menurut ekonomi islam sama seperti konvensional
yaitu kesejahteraan, hanya saja islam memaknainya dengan falah atau kesuksesan.
Informasi mengenai kesejahteraan ini hanya dapat diperoleh dari Allah melalui
ajaran yang diwahyukan dalam Al-Quran dan Sunnah. Dalam pengertian literal,
falah adalah kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Untuk kehidupan dunia,
falah

mencakup tiga pengertian yaitu kelangsungan hidup,

kebebasan

berkeinginan serta kekuatan dan kehormatan. Sedangkan untuk akhirat, falah
mencakup pengertian kelangsungan hidup yang abadi, kesejahteraan dan
kemuliaan abadi dan pengetahuan abadi pengetahuan abadi (bebas dari segala
kebodohan) (P3EI, 2013, hal. 2).

Untuk mencapai falah ini, maka manusia harus mengetahui bagaimana
mereka memenuhi kebutuhan materinya di dunia ini sehingga tercapai
kesejahteraan yang akan membawa kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat
(falah) seperti yang diajarkan oleh ekonomi islam.

Sebagaimana yang sudah diungkapkan, manusia ingin mendapatkan
kebahagiaan yang abadi atau sepanjang masa hidupnya, baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Pemenuhan kebutuhan materi di dunia akan diupayakan agar
bersinergi dengan pencapaian kebahagiaan secara menyeluruh untuk mendapatkan
kesejahteraan yang mampu mengantarkan kepada kebahagiaan abadi. Bagaimana

10

manusia mampu mencapai falah sangat tergantung pada perilaku dan keadaan
manusia di dunia. Islam mengajarkan bahwa untuk mencapai falah, manusia harus
menyadari hakikat keberadaannya di dunia.

Falah juga dapat terwujud apabila terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidup

manusia secara seimbang. Tercukupinya kebutuhan manusia akan memberikan
dampak yang disebut dengan mashlahah. Mashlahah adalah segala bentuk
keadaan, baik material maupun nonmaterial yang mampu meningkatkan
kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia (P3EI, 2013, hal. 5).
Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan (mashlahah) dasar bagi kehidupan manusia
terdiri dari lima hal, yaitu (1) agama / al-dien, (2) jiwa / nafs, (3) keturunan / nasl,
(4) harta / maal, dan (5) intelek atau akal / aql) (Karim, 2011, hal. 62). Kelima hal
tersebut merupakan maqashid syari’ah atau kebutuhan dasar manusia yang
mutlak dan harus dipenuhi agar manusia dapat hidup bahagia di dunia dan di
akhirat. Jika salah satunya dari kebutuhan di atas tidak terpenuhi atau terpenuhi
tapi tidak seimbang maka kebahagiaan hidup juga tidak tercapai dengan sempurna.

Islam mengajarkan agar manusia menjalani kehidupannya secara benar,
sebagaimana telah diatur oleh Allah. Ukuran baik buruk kehidupan sesungguhnya
tidak diukur dari indikator-indikator lain, melainkan dari sejauh mana seorang
manusia berpegang teguh kepada kebenaran. Untuk itu, manusia membutuhkan
suatu pedoman tentang kebenaran dalam hidupnya, yaitu agama ( al-dien) yang
diperlukan oleh manusia kapanpun dan dimanapun ia berada.

Kehidupan juga sangat dijunjung tinggi oleh ajaran islam, sebab ia
merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah kepada hambanya untuk
digunakan dengan sebaik-baiknya. Jiwa (nafs) yang diberikan oleh Allah menjadi
tugas manusia untuk mengisi kehidupan dengan sebaik-baiknya dan kemudian
akan mendapat balasan pahala atau dosa dari Allah.

11

Dari kehidupan yang telah Allah berikan kepada manusia yang harus
digunakan dengan sebaik-baiknya, maka manusia juga harus memikirkan
generasi-generasi selanjutnya. Generasi ini akan menjaga kontinuitas kehidupan,
maka manusia harus memelihara keturunan atau generasinya (nasl) dan
keluarganya. Meskipun seorang mukmin meyakini bahwa horison waktu
kehidupan tidak hanya mencakup kehidupan dunia melainkan hingga kehidupan
akhirat, tetapi kelangsungan kehidupan dunia amatlah penting. Oleh karena itu,
kelangsungan keturunan dan keberlanjutan generasi harus diperhatikan. Ini
merupakan suatu kebutuhan yang amat penting bagi eksistensi manusia.

Untuk melanjutkan kelangsungan keturunan atau regenerasi ini, dibutuhkan
harta material (maal) untuk pemenuhan kebutuhan makanan, minuman, pakaian,
rumah, kendaraan dan berbagai kebutuhannya untuk menjaga kelangsungan hidup.
Selain itu, hampir semua ibadah juga memerlukan harta seperti zakat, haji,
sedekah, membangun sarana peribadatan dan menuntut ilmu. Tanpa harta yang
memadai, kehidupan akan menjadi susah termasuk menjalankan ibadah.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa kehidupan sangatlah penting,
maka manusia harus memiliki ilmu pengetahuan atau akal (‘aql) untuk memahami
makna kehidupan ini. Tanpa ilmu pengetahuan, maka manusia juga akan
mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan ini. oleh karena itu, islam
memberikan perintah yang sangat tegas bagi seorang mukmin untuk menuntut
ilmu.

Konsep ekonomi islam mengajarkan apabila lima hal dalam maqashid
syari’ah yang sudah dijelaskan di atas ini sudah terpenuhi, maka kesejahteraan
manusia sudah terwujud. Maqashid syari’ah ini antara lain adalah sebagai alat
ukur apakah tujuan utama kehidupan manusia sudah terpenuhi atau belum.

Seperti konsep ekonomi konvensional, bagi ekonomi islam untuk mencapai
falah ini juga menghadapi masalah atau kendala. Permasalahannya sangatlah

12

kompleks yaitu adanya berbagai keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang
ada pada manusia serta kemungkinan adanya interdependensi berbagai aspek
kehidupan sering kali menjadi permasalahan besar dalam upaya mewujudkan
falah. Permasalahan lainnya yang mirip dengan konsep ekonomi konvensional

adalah kurangnya sumber daya yang tersedia dibandingkan dengan kebutuhan
atau keinginan manusia dalam rangka mencapai falah. Hanya saja didalam konsep
ekonomi islam ini keinginan ( want) dan kebutuhan (need) dibedakan. Kekurangan
sumber daya inilah yang sering disebut dengan istilah “kelangkaan” (P3EI, 2013,
hal. 7).

Kelangkaan sumber daya atau faktor-faktor produksi ini tidak hanya terjadi
di negara-negara berkembang tapi juga terjadi di negara-negara maju. Hal ini
terjadi karena keinginan ( want) manusia yang terus menerus berkembang dari
waktu ke waktu atau tidak terbatas, sedangkan manusia tidak mampu untuk selalu
memenuhi keinginannya tersebut karena kelangkaan sumber daya yang terjadi.
Kelangkaan sumber daya ini merupakan kelangkaan relatif, yaitu kelangkaan
sumber daya yang terjadi dalam jangka pendek atau dalam area tertentu saja.
Kelangkaan relatif ini terjadi karena tiga hal pokok (P3EI, 2013, hal. 8-9), yaitu :

1. Ketidakmerataan distribusi sumber daya
Distribusi sumber daya yang tidak merata antarindividu atau wilayah
merupakan salah satu penyebab kelangkaan relatif. Sumber daya ini meliputi
sumber daya alam dan sumber daya manusia. Terdapat daerah atau wilayah yang
kaya akan sumber daya alamnya juga tenaga kerjanya, tapi ada juga daerah yang
miskin sumber daya alam dan manusianya.

2.

Keterbatasan manusia

Manusia terciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna, dibekali nafsu,
naluri, akal dan hati. Meskipun demikian, manusi sering kali memiliki kebatasan
dalam memanfaatkan kemampuan yang dimiliki sehingga tidak mampu
memanfaatkan sumber daya secara optimal. Perangai manusia yang terkadang

13

serakah atau sering adanya kelompok- kelompok yang ingin menguasai sumber
daya sendiri sedangkan orang lain berada dalam kekurangan.

3. Konflik antartujuan hidup.
Maksudnya dari adanya konflik antartujuan hidup adalah adanya
kepentingan hidup yang berbeda antarindividu yang mengakibatkan perbenturan
atau konflik. Misalnya tujuan jangka pendek (kebahagian duniawi) dan tujuan
jangka panjang (kebahagian dunia-akhirat). Adakalanya kebahagiaan akhirat
dapat diraih dengan mengorbankan kesejahteraan dunia, maupun kebalikannya.
Misalkan seseorang mengambil harta orang lain secara tidak sah mungkin akan
meningkatkan kesejahteraan di dunia namun akan menurunkan kesejahteraan di
akhirat kelak.

Konsep ekonomi islam memiliki peran yaitu mengatasi masalah kelangkaan
relatif ini sehingga dapat tercapai falah yang diukur dengan mashlahah. Untuk
mengatasi kelangkaan relatif ini juga harus ada kemampuan mengelompokkan
kebutuhan (need) manusia. Seperti yang dikatakan Al-Ghazali dimana ia
mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam
kerangka sebuah hierarki utilitilas individu dan sosial yang tripartit meliputi ;
kebutuhan (daruriat), kesenangan atau kenyamanan (hajaat) dan kemewahan
(tahsinaat) (Karim, 2011, hal. 62).

Kebutuhan (daruriat) yang dimaksud oleh Al-Ghazali adalah kebutuhan
sandang, pangan dan papan. Namun demikian, Al-Ghazali menyadari bahwa
kebutuhan dasar ini cenderung fleksibel mengikuti waktu dan tempat. Kelompok
kebutuhan kedua, kesenangan (hajaat) terdiri dari semua kegiatan dan hal-hal
yang vital tetapi dibutuhkan untuk menghilangkan rintangan dan kesukaran dalam
hidup. Kelompok kebutuhan ketiga, kemewahan ( tahsinaat) mencakup kegiatankegiatan dan hal-hal yang lebih jauh dari sekadar kenyamanan saja juga meliputi
hal-hal yang melengkapi, menerangi atau menghiasi hidup.

14

BAB III
PENUTUPAN

Bila kita bandingkan kedua konsep ekonomi konvensional dan islam, dapat
dilihat banyak perbedaan dimana tujuan hidup menurut ekonomi konvensional
adalah kesejahteraan

duniawi

yang

menyebabkan

berlebih-lebihan

atau

pemborosan. Ekonomi konvensional juga tidak memiliki suatu alat ukur untuk
mengukur seberapa sejahteranya seseorang karena menurut pengertian sejahtera
secara konvensional, seseorang sejahtera bila sudah memiliki kekayaan yang
berlimpah dan mengakibatkan manusia terus-menerus memperbanyak hartanya.

Sedangkan tujuan hidup menurut ekonomi islam adalah falah atau
kesejahteraan yang abadi, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mencapai
kesejahteraan tersebut, manusia bisa mengukur diri sendiri apakah ia sudah
sejahtera atau belum dengan sudah atau belumnya terpenuhi lima hal dalam
maqashid syari’ah. Pada akhirnya apabila mashlahah atau lima hal dalam
maqashid syari’ah sudah dapat tercapai, maka kehidupan manusia yang bahagia
dan sejahtera di dunia maupun di akhirat atau falah sudah tercapai.

15

DAFTAR PUSTAKA

http://mizaninstitute.com/maqasid-al-syariah-sebuah-tujuan-hukum-islam/
http://umkeprints.umk.edu.my/504/1/Paper%202.pdf
http://www.slideshare.net/hamzahrabbani/2-konsep-dasar-ekonomi-islam#
Karim, Adiwarman A. (2012). Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Rajawali
Pers.
Marthon, Said Sa’ad, Dr. (2007). Ekonomi Islam : Di Tengah Krisis
Ekonomi Global. Jakarta: Zikrul Hakim.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam. (2013). Ekonomi
Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Sukirno, Sadono. (2008). Mikroekonomi Teori Pengantar . Jakarta: PT Raja
Grafindo.

16