Menumbuhkan kembali Kearifan Lokal dalam
Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal dalam
Pengelolaan Sumberdaya Alam di Tapanuli Selatan1
Zulkifli B. Lubis
(Universitas Sumatera Utara)
Abstract
Studies on local knowledge are recently important in development program. Such studies
remind us to learn from the community before we teach them. This article discusses how local
knowledge understood and used to encourage people participation in forest conversation in
South Tapanuli, North Sumatera. The author argues that local knowledge in forest management can be revitalized to build participation if only all stakeholders able to make social
commitment as part of social capital.
Key words: local knowledge; territoriality; tenure; natural resources.
Pengantar
Sungguh menarik untuk membicarakan
kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya
alam sementara kita mengetahui apa yang
disebut “kearifan” itu sendiri sudah menjadi
barang (sumberdaya) langka dewasa ini. Dalam
banyak kasus di negeri ini, bahkan di seantero
dunia, kearifan komunitas lokal dalam mengelola
sumberdaya alam sudah punah bersamaan
dengan musnahnya biodiversitas yang
mengiringi kerusakan lingkungan oleh aktoraktor luar yang datang dan bekerja atas nama
pembangunan dan kapitalisme. Tetapi di
penghujung abad ke-20, wacana tentang kearifan
lokal yang juga dikenal sebagai indigenous
knowledge itu telah mencuat ke permukaan dan
diakui sebagai bagian penting dalam program
pembangunan ke depan. Pengetahuan asli
yang dimiliki suatu komunitas, kata Chambers
& Richards (1995:xiii) tidak lagi dipandang
sebagai takhayul (superstition), tetapi telah
mengajarkan kita pada kerendahan hati dan
kebutuhan untuk belajar dari suatu komunitas
sebelum kita mengajari mereka.2
Seperti apakah pengetahuan asli atau
kearifan komunitas-komunitas yang ada di
Kabupaten Tapanuli Selatan dalam mengelola
sumberdaya alamnya, dan bagaimana sebaiknya
mendayagunakan khasanah budaya tersebut
1
Makalah disampaikan pada Workshop Membangun
Partisipasi Masyarakat dalam Penyelamatan Hutan di
Tapanuli Selatan; diselenggarakan atas kerjasama
Pusaka Indonesia, Bitra Indonesia, Walhisu, Samudra
dan Partnership for Governance Reform in Indonesia; di Hotel Tor Sibohi Sipirok, 21-22 April 2003.
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
2
Meskipun terasa tak menyenangkan, lanjut Chambers & Richards, pada kenyataannya (pengetahuan
ilmiah) “kita” —para agen pembangunan— membawa
banyak masalah, sementara (pengetahuan) “mereka”
—warga komunitas—memberi banyak solusi.
239
untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam
penyelamatan hutan di Tapsel? Gambaran
ringkas yang disajikan dalam tulisan ini lebih
dimaksudkan sebagai bahan pengantar diskusi
ketimbang sebagai sebuah jawaban/solusi untuk
pertanyaan di atas. Tulisan ini berangkat dari
asumsi bahwa kearifan lokal yang (pernah) ada
dalam pengelolaan sumberdaya alam (khususnya
hutan) dapat direvitalisasi untuk membangun
partisipasi jika semua stakeholder terkait mampu
menumbuhkan dan membangun modal sosial di
antara mereka berlandaskan konsensus dan
komitmen baru (yang diperbarui) yang dirumuskan secara bersama-sama.
Konsep tradisional tentang pembagian
wilayah dan penguasaan sumberdaya
Secara sederhana kearifan lokal atau
kearifan lingkungan dapat didefinisikan sebagai
pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh
suatu masyarakat tertentu yang mencakup
sejumlah pengetahuan kebudayaan yang
berkenaan dengan model-model pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya alam secara
lestari (Zakaria 1994:56). 3 Pengetahuan
kebudayaan orang Angkola dan Mandailing4
yang mendiami kawasan Tapanuli Selatan dan
Mandailing Natal tentang hubungan mereka
dengan lingkungannya terkait dengan konsepsi
mereka tentang pembagian wilayah dan
penguasaan sumberdaya. Kearifan yang
3
Kearifan lingkungan itu berisi gambaran tentang
anggapan masyarakat mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan struktur lingkungan, bagaimana lingkungan
berfungsi, bagaimana reaksi alam terhadap tindakantindakan manusia, serta hubungan-hubungan (yang
sebaiknya tercipta) antara manusia (masyarakat)
dengan lingkungan alamnya (Zakaria, 1994:56).
4
Meskipun Orang Angkola dan Mandailing mendefinisikan dirinya berbeda label identitas etnik, tetapi secara
sosial budaya mereka hampir tidak bisa dibedakan satu
sama lain kecuali dari adanya beberapa varian trait budaya
seperti dialek bahasa yang dipengaruhi faktor lokalitas.
Karena itu, uraian dalam tulisan ini secara umum bisa
diasumsikan mencakup keduanya sekaligus.
240
mereka miliki dalam pengelolaan sumberdaya
alam juga menjadi bagian dari sistem pembagian
wilayah dan penguasaaan yang berlaku (diotorisasi) dalam satu konteks waktu tertentu.
Sebagai konsekwensinya, seperti akan terlihat
dalam uraian di bawah, eksistensi dan kekuatan
kearifan lokal itu juga sangat bergantung
kepada konteks waktu dan otoritas politik yang
sedang berlaku.
Konsep pembagian wilayah
Secara tradisional komunitas Angkola dan
Mandailing mengenal beberapa konsep dasar
berkenaan dengan pembagian tata ruang dan
penguasaan wilayah serta sumberdaya yang
ada di dalamnya. Tiga diantaranya yang paling
pokok dan akan diuraikan berikut ini adalah
Banua, Huta dan Janjian. Menurut Zainuddin
Lubis (1987:92) Banua mengandung pengertian
satu kesatuan wilayah; Huta mengandung
pengertian satu kesatuan tempat pemukiman
penduduk; sedangkan Janjian merupakan
persekutuan teritorial sejumlah Banua yang
diikat oleh kesatuan adat dan bukan oleh
kesatuan politik. Di daerah Angkola, padanan
konsep terakhir itu dikenal dengan sebutan
Hayuara Mardomu Bulung. Ketiga konsep
tersebut terutama berlaku dalam tatanan
kehidupan masyarakat Angkola dan
Mandailing sebelum diterapkannya pembagian
wilayah administratif menurut perundangundangan negara Republik Indonesia.
(i) Banua merupakan satu kesatuan
wilayah dengan satu kesatuan masyarakat
hukum yang otonom dalam pemerintahan
dengan dikepalai seorang raja yang diangkat
dari keturunan patrilineal klen pendiri Banua
(Lubis 1987:87). Sebuah Banua berkembang
dari satuan pemukiman penduduk yang
bernama Huta. Dengan demikian, penguasaan
wilayah (ruang) berikut sumberdaya yang ada
di dalam kawasan sebuah Banua (kerajaan)
terkait erat dengan kelompok klen yang
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
membuka Huta. Setiap Banua mempunyai
tanah dan sumber airnya sendiri (ganop-ganop
Banua martano rura), yang mengandung
pengertian bahwa sebuah kerajaan memiliki
batas-batas wilayah teritorial yang berada
dibawah yurisdiksinya, dan berwenang dalam
pengaturan batas-batas penguasaan wilayah
dan sumberdaya yang ada di dalamnya.
(ii) Sebuah Huta yang berupa satu satuan
pemukiman penduduk bisa sekaligus menjadi
sebuah Banua jika telah memenuhi sejumlah
persyaratan tertentu. Sebuah Huta baru
biasanya berdiri ketika sekelompok penduduk
dari sebuah kerajaan pergi meninggalkan Banua
asalnya untuk membuka tempat pemukiman
baru. Suatu tempat pemukiman baru yang masih
relatif kecil dinamakan banjar. Kalau
penduduknya makin bertambah dan ukuran
wilayah kelolanya semakin luas maka banjar
tersebut berubah status menjadi pagaran;;
selanjutnya bisa berproses menjadi lumban;
dan jika jumlah penduduknya makin bertambah,
maka pemukiman tersebut bisa meningkat
statusnya menjadi Huta. Ketika Huta tersebut
telah berkembang dan memenuhi persyaratan
sebagai sebuah Banua atau kerajaan, maka
dibentuklah sistem pemerintahan di Banua baru
itu yang dipimpin oleh keturunan dari klan
pembuka Banua asal tadi.5
Penduduk yang mendiami satuan
pemukiman yang masih berstatus banjar,
pagaran dan lumban belum berhak untuk
mempunyai raja, pemerintahan dan wilayah
sendiri yang otonom. Pemerintahan dan
penyelenggaraan adat mereka masih terikat
kepada Banua atau Huta asal mereka karena
perangkat kelengkapan sistem pemerintahan
5
Kadangkala sebuah pemukiman baru juga dibuka oleh
orang-orang lain marga dari pembuka Banua asal.
Namun demikian, untuk menjadi pimpinan di wilayah
Banua baru tersebut biasanya tetap diangkat dari
anggota keluarga dekat dan semarga dengan raja di
Banua asal.
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
Na Mora Na Toras, sebagai salah satu
persyaratan berdirinya sebuah kerajaan belum
terpenuhi. Pimpinan di dalam satuan pemukiman
tersebut dinamakan Raja Ihutan, namun tidak
berfungsi sebagai kepala pemerintahan,
sehingga belum memiliki batas-batas yurisdiksinya sendiri. Pengaturan sistem penguasaan
wilayah dan sumberdaya yang ada di dalamnya
juga masih tetap berada di bawah otoritas Huta
atau Banua asal. Sebuah Huta bisa memiliki
pemerintahan yang otonom jika telah memenuhi
persyaratan antara lain: (1) unsur-unsur
kelembagaan politik yang disebut Na Mora Na
Toras6 sudah lengkap; (2) memiliki penduduk
yang terdiri dari sekurang-kurangnya 40 KK
dari kelompok marga yang berbeda-beda; (3)
memiliki beberapa tempat pemukiman kecil
berupa banjar atau pagaran sebagai “anak”nya; dan (4) mendapat izin dari Raja dan Na
Mora Na Toras di Banua atau Huta asal.
Pimpinan pemerintahan dan adat di dalam
sebuah Huta atau Banua dinamakan Raja
Pamusuk, yang dikukuhkan melalui suatu
upacara khusus.
(iii) Janjian/Hayuara Mardomu Bulung.
Sebuah Banua asal dalam jangka waktu lama
bisa memiliki beberapa Banua “anak” yang
bersifat otonom. Setiap Banua memiliki wilayah
dan pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh
seorang Raja Pamusuk. Raja yang menjadi
kepala pemerintahan di sebuah Banua “induk”
dinamakan Raja Panusunan Bulung; yang
dipandang lebih senior dan lebih tinggi
derajatnya daripada Raja Pamusuk. Namun
demikian seorang Raja Panusunan Bulung dan
Raja Pamusuk tidak bisa saling mencampuri
urusan pemerintahan di Banua-nya masingmasing, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu, meskipun sebuah
6
Unsur-unsur kelembagaan politik yang disebut Na
Mora Na Toras tersebut terdiri dari Raja sebagai
pimpinan, Suhu, Hatobangon/Anggi Ni Raja, Natoras,
Bayo-bayo, dan Hatobangon (wakil orang biasa).
241
Banua “induk” memiliki beberapa Banua
“anak”, dan penduduk maupun pimpinannya
masih mempunyai hubungan kekerabatan satu
sama lain, hubungan di antara mereka tidak
bersifat hirarkis dan tidak pula terikat suatu
bentuk hubungan federasi pemerintahan. Pada
masa lalu mereka hanya membentuk fakta
persekutuan teritorial yang dinamakan Janjian
(Mandailing) atau Hayuara Mardomu Bulung
(Angkola). Persekutuan tersebut diikat oleh
kesatuan adat dan ideologis, bukan oleh
kesatuan politik. Pada dasarnya pembentukan
Janjian itu bertujuan untuk mendapatkan
jaminan yang kuat bagi terpeliharanya
integritas wilayah sebagai satu kesatuan,
setelah setiap Banua memiliki wilayahnya
sendiri dengan batas-batas yang nyata.
Dengan terpeliharanya integritas wilayah yang
terdiri dari beberapa Banua itu, diharapkan
terpelihara pulalah rasa persatuan antara
sesama komunitas Banua yang menempatinya
secara terpisah-pisah (Lubis 1987:94).
Sebuah Huta/Banua telah memiliki batas
jurisdiksi sendiri, sehingga kewenangan untuk
menguasai dan memanfaatkan wilayah berikut
sumberdaya yang ada di dalamnya sudah
dimiliki secara otonom. Melalui persekutuan
yang disebut Janjian atau Hayuara Mardomu
Bulung, yang mengikat beberapa Banua yang
berkembang dari satu Banua induk, maupun
Banua lain yang berbatasan wilayah, maka klaim
atas suatu wilayah yang ada di sekeliling
Janjian (Hayuara Mardomu Bulung) atau
wilayah-wilayah “tak bertuan” di antara
wilayah beberapa Banua menjadi kuat,
sehingga tidak terdapat lagi bagian wilayah
yang kosong dari klaim penguasaan. Dengan
kata lain, keberadaan persekutuan yang disebut
Skema 1
Pembagian Wilayah Secara Tradisional
BANUA
Huta
Lumban
Banjar
BANUA
BANUA
Pagaran
Pagaran
Pagaran
Huta
Banjar
Banjar
Huta
Lumban
Lumban
JANJIAN/HAYUARA MARDOMU BULUNG
242
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
Janjian (Hayuara Mardomu Bulung)menjadi
legitimasi ideologis untuk menentukan batasbatas wilayah penguasaan.
Konsep penguasaan sumberdaya
Ungkapan “ganop-ganop banua martano
rura” (setiap Banua mempunyai tanah dan
sumber airnya sendiri) menyiratkan konsep
teritorial dan penguasaan sumberdaya alam
yang ada di dalamnya. Artinya, sebuah Banua
harus memiliki wilayah teritorial yang jelas serta
memiliki sumberdaya yang bisa dimanfaatkan
penduduknya untuk menjalankan berbagai
aspek kehidupan mereka. Keberadaan sebuah
Huta atau Banua menurut konsep masyarakat
Angkola/Mandailing harus ditopang oleh
adanya sumber air, kawasan hutan, dan juga
tempat penggembalaan. Sumber air diperlukan
untuk kebutuhan subsistensi, tepian, mengairi
areal persawahan, memelihara ikan, dan
berbagai keperluan sosial dan religius lainnya.
Hampir semua tempat pemukiman (huta) yang
ada di Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal
berada di sekitar sumber-sumber air, baik
berupa mata air (mual), anak sungai (rura)
maupun sungai (aek ).
Dalam tradisi masyarakat Angkola/
Mandailing dikenal adanya kolam ikan luas
(tobat bolak ) dan areal sawah (saba bolak )
yang dipunyai oleh kerajaan. Keduanya
fungsional untuk menopang fungsi raja sebagai
“talaga na so tola hiang” (tempat persediaan
makanan yang tidak boleh kering). Menurut
tatanan adat setempat seorang raja tidak boleh
membiarkan seorangpun dari rakyatnya
menderita kelaparan. Karena itu, raja yang
memimpin sebuah Huta atau Banua harus
dilengkapi dengan persediaan logistik yang bisa
menjamin rakyatnya dan tamu-tamu yang
datang mendapatkan makanan yang memadai.
Hasil padi dari sawah tersebut bisa dipinjam
oleh rakyat ketika terjadi musim paceklik
(aleon), sedangkan kolam ikan (tobat bolak )
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
sewaktu-waktu sengaja dibuka oleh raja untuk
dapat diakses secara bebas oleh semua warga
huta.
Sebuah Huta/Banua juga harus mempunyai
areal jalangan (lahan penggembalaan),
biasanya berada di luar areal pemukiman
penduduk.7 Di masa lalu hewan ternak yang
hidup di areal jalangan tidak dipelihara secara
khusus, melainkan dibiarkan saja hidup liar di
sana. Setiap Huta/Banua juga harus
mempunyai kawasan hutan (harangan).
Keberadaan hutan bagi sebuah Huta/Banua
terutama untuk mendukung penyelenggaraan
kehidupan ekonomi, (aktivitas pertanian).
Pembukaan hutan untuk aktivitas pertanian
biasanya dimulai dengan membuka ladang
(auma ), lalu kemudian diberakan menjadi
belukar (gasgas), atau ditanami lanjut dengan
tanaman keras seperti karet atau kopi. Hutan
juga dimanfaatkan untuk areal tempat berburu
binatang (rusa, kijang, bedu, dsb). Pemanfaatan
sumberdaya yang ada di dalam hutan biasanya
diatur oleh otoritas kerajaan dengan menerapkan apa yang disebut “bungo ni padang”, yaitu
sejenis retribusi atau konpensasi yang harus
diserahkan kepada kerajaan.8 Selain untuk
keperluan bertani dan berburu seperti
disebutkan di atas, hutan juga dimanfaatkan
untuk tempat meramu hasil-hasil hutan seperti
jenis damar, madu, dan juga sayur-sayuran
yang bisa dikonsumsi, dan meramu bahan
bangunan/perabot rumah.
7
Hewan ternak yang biasa dipelihara di dalam areal
lahan penggembalaan adalah kerbau, karena hewan ini
menjadi bagian yang sangat penting peranannya untuk
mendukung penyelenggaraan upacara-upacara adat
dalam tradisi Angkola/Mandailing.
8
Menurut Pandapotan Nasution (2001) ada beberapa
jenis retribusi tradisional lainnya yang dikenal oleh
masyarakat Angkola/Mandailing di masa lalu, misalnya
“bunga tanah” (untuk tanaman pertanian), “bunga kayu”
(retribusi hasil kayu); “bunga pasir” (hasil tambang);
dan “bunga air” (retribusi hasil ikan di sungai).
243
Skema 2
Pembagian Wilayah Sumberdaya Alam
(1)
(2)
A
B
C
D
E
Keterangan:
(1) Huta X; (2) Huta Y; (A) Pemukiman penduduk; (B) Areal persawahan; (C) Areal perladangan
(auma, gasgas); (D) Kawasan hutan (harangan); (E) Kawasan hutan belantara (tombak, rubaton).
Setiap Huta/Banua juga memiliki kawasan
hutan yang terlarang untuk aktivitas pertanian,
berburu maupun meramu hasil-hasil hutan. Areal hutan yang terlarang demikian disebut
harangan rarangan (hutan larangan). Keberadaan areal hutan terlarang biasanya dilegitimasi oleh adanya unsur-unsur kepercayaan, misalnya kepercayaan penduduk
bahwa bagian tertentu dari wilayah hutan
mereka tabu untuk dimasuki atau dibuka untuk
lahan pertanian. Ada kepercayaan pribumi
bahwa tempat-tempat tertentu di dalam kawasan
hutan dihuni oleh makhluk-makhluk halus
(begu) yang bisa mengganggu manusia.
Tempat-tempat seperti itu dinamakan “naborgoborgo”. Kepercayaan demikian merupakan
bentuk kearifan lokal bercorak religio-magis
(Zakaria 1994:57) yang fungsional untuk
menjaga kelestarian sumberdaya, karena
tempat-tempat yang disebut “naborgo-borgo”
tersebut biasanya merupakan kawasan mata air,
atau daerah resapan air, yang vital dalam
244
pemeliharaan tata air bagi komunitas penduduk
di sekelilingnya.9
Taksonomi wilayah dan sumberdaya alam
Orang Angkola/ Mandailing membagi
wilayah vertikal yang ada di lingkungan mereka
menjadi beberapa tingkatan, yaitu n a p a
(dataran), untuk (tanah bergelombang), tor
(bukit), dolok (anak gunung) dan sorik
(gunung). Mereka juga mengenal taksonomi
aliran air, mulai dari yang paling kecil yaitumual
(mata air), rura (ranting sungai), aek (anak
sungai) dan batang (sungai besar). Sementara
yang terkait dengan proses interaksi dengan
kawasan hutan mereka mengenal taksonomi:
(a) rubaton, yaitu kawasan hutan belantara
9
Di kawasan Saipar Dolok Hole (Tapsel), khususnya
oleh komunitas yang berdiam di kaki Gunung Dolok
Batara Wisnu, dikenal adanya pantangan untuk
menggunakan perabot rumah dengan menebang pohon
yang tumbuh di lereng gunung tersebut karena dipercaya
akan mendatangkan marabahaya bagi keluarga yang
melakukannya.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
yang jarang dimasuki manusia atau masih
berupa hutan perawan, (b) tombak , yaitu
kawasan hutan lebat yang kepadatannya berada
di bawah rubaton, (c) harangan, yaitu kawasan
hutan yang biasa dimasuki manusia dan
kepadatannya berada di bawah tombak.
Apabila suatu kawasan hutan sudah dibuka
oleh penduduk untuk dijadikan lahan pertanian,
maka pada tahap pertama hutan bukaan
tersebut berubah kategori menjadi (d) auma
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
(lahan perladangan); jika ladang diberakan
setelah beberapa kali musim tanam (tanaman
padi dan palawija) disebut (e) gasgas (semak
belukar); dan apabila semak belukar tersebut
terus dibiarkan tanpa diolah kembali, maka lahan
itu akan berevolusi kembali menjadi hutan
sekunder (harangan). Lahan ladang (auma)
yang terus diolah dan ditanami dengan tanaman
keras akan berubah kategori menjadi (f) kobun
(kebun), misalnya kebun karet, kebun kopi, dll.
245
Klaim-klaim penguasaan wilayah dan
sumberdaya secara tradisional
Menurut tatatan lama, penguasaan wilayah
dan sumberdaya di Tapanuli Selatan/
Mandailing Natal berada di bawah wewenang
pemimpin komunitas, yaitu Raja Panusunan
Bulung atau Raja Pamusuk dengan kelembagaan Na Mora Na Toras di setiap Banua. Setiap
Banua memiliki hak otonom untuk membagibagi wilayahnya kepada penduduk yang
tinggal di dalam lingkungannya maupun dalam
hal pemanfaatan berbagai jenis sumberdaya
yang ada di dalamnya. Setiap penduduk yang
bermaksud membuka hutan untuk lahan
pertanian memiliki hak penuh sepanjang hutan
yang akan dibuka masih berada di dalam
wilayah yurisdiksi Huta/Banua mereka. Namun,
apabila mereka ingin membuka kawasan hutan
yang sudah masuk wilayah Huta/Banua lain,
mereka harus terlebih dahulu mendapatkan izin
dari pimpinan Huta/Banua tujuan tersebut.
Hal yang sama berlaku dalam pemanfaatan
binatang yang ada di dalam kawasan hutan.
Penduduk Huta/Banua bebas memanfaatkan
binatang yang ada di dalam kawasan hutan di
Huta/Banua mereka sendiri sepanjang bukan
hewan peliharaan seseorang, sebuah keluarga,
atau hewan ternak yang ada di kawasan jalangan
(lahan penggembalaan) milik kerajaan, karena
pada dasarnya semua hewan yang hidup di
hutan adalah milik komunal. Tetapi apabila
hewan yang diburu kemudian tertangkap di
wilayah Huta/Banua lain, maka ketentuan adat
mengatur bahwa orang yang menangkap hewan
buruan tersebut harus memberikan “bungo ni
padang” (sejenis retribusi) kepada pimpinan
komunitas Huta/Banua lain tersebut. Dalam hal
pemanfaatan hasil hutan lainnya tidak diketahui
dengan jelas bagaimana aturan yang berlaku di
masa lampau. Secara umum diketahui bahwa hasil
hutan berupa kayu bisa diakses dengan bebas
oleh warga komunitas, karena sumberdaya
tersebut termasuk kategori milik komunal.
246
Demikian juga hasil hutan berupa damar, kapur,
madu dan lain sebagainya.10
Aliran sungai beserta kekayaan yang
terdapat di dalamnya juga dikategorikan
sebagai sumberdaya yang dimiliki secara
komunal. Pada masa lalu setiap orang berhak
menangkap ikan di sungai, mengambil batu dan
pasir, mendulang emas, dan sebagainya. Aliran
sungai seringkali juga dijadikan sebagai tandatanda batas alamiah untuk perbatasan sebuah
huta dengan huta lain. Tapi sejak 1980-an
berkembang suatu pranata baru (diperbaharui)
yang tergolong bentuk kearifan lingkungan
dalam pengelolaan sumberdaya sungai di
beberapa tempat di Tapsel dan terbanyak di
Mandailing Natal. Akses penduduk terhadap
sungai khususnya untuk menangkap ikan
dibatasi untuk jangka waktu tertentu, biasanya
satu tahun, dan hasil ikan yang dipelihara
selama jangka waktu tersebut digunakan untuk
pendapatan desa/biaya pembangunan berbagai
fasilitas sosial di desa.
Klaim penguasaan atas tanah ulayat
Setiap Huta/Banua memiliki tanah ulayat
sendiri. Selain tanah, tumbuhan yang hidup di
atas tanah ulayat tersebut juga dianggap
sebagai milik suatu Huta/Banua. Oleh karena
sistem kepemimpinan terkait erat dengan
kelompok klen (marga) yang dianggap sebagai
10
Di masa lampau orang Angkola/Mandailing mengenal
tradisi meramu hasil hutan berupa kapur (kamper, kapur
Barus) ke tengah hutan belantara. Pekerjaan tersebut
dinamakan “markapur”, dan orang yang melakukannya dikenal dengan “parkapur”. Dalam khasanah
bahasa Mandailing bahkan ada ragam bahasa khusus
yang disebut ragam bahasa “parkapur”, dengan kosa
kata yang khas digunakan di hutan ketika bekerja
meramu hasil hutan. Christine Dobbin dalam
karangannya berjudul “Kebangkitan Islam dalam
Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatera
Tengah, 1784–1847” (1992:205–213) menyebutkan
bahwa daerah Mandailing bagian atas adalah daerah
penghasil emas, kamper, kemenyan, dan hasil-hasil
hutan lainnya yang diperdagangkan dengan pedagangpedagang Eropa pada sekitar tahun 1820–1830an.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
pembuka Huta/Banua, maka klaim terhadap
tanah ulayat tersebut hampir-hampir identik
dengan tanah milik kelompok klen.11 Namun hal
ini tidak sekaligus berarti bahwa anggota klen
memiliki hak eksklusif untuk memanfaatkan
tanah dan sumberdaya di wilayah Huta/Banua.
Ada aturan-aturan adat yang mengatur
pemanfaatan tanah dan sumberdaya lainnya di
dalam lingkungan sebuah Huta/Banua.
Penegasan mengenai suatu batas wilayah yang
diklaim sebagai tanah ulayat marga atau huta
biasanya terkait dengan tanda-tanda alamiah
seperti bukit atau gunung (tor, dolok , atau
sorik ), juga aliran sungai (rura, aek, atau
batang); jenis tumbuhan atau pohon tertentu,
dan juga tanda-tanda yang bisa diberikan oleh
hewan (misalnya melalui suaranya atau
habitatnya).
Penetapan batas-batas wilayah antar
Banua biasanya didasarkan pada alasan-alasan
ideologis, historis dan sosio-politis. Penegasan
batas tanah ulayat (tanah adat) di Tapanuli
Selatan dan Mandailing Natal termasuk dalam
apa yang disebut oleh Hans van Dijk (1996)
sebagai territoriality. Artinya, meskipun dalam
uraian terdahulu dikatakan bahwa sebuah
Banua adalah satu kesatuan wilayah yang jelas
batas-batasnya, batas-batas yang dimaksudkan adalah batas-batas klaim secara ideologis,
historis dan sosio-politis, bukan didasarkan
pada batas-batas geografis dan ekologis.
Dengan kata lain, sangat mungkin terjadi dua
Banua yang memiliki batas-batas yang jelas
secara ideologis, historis dan sosio-politis
(suatu batasan yang sesungguhnya ada di
dalam sistem budaya atau alam pemikiran
11
Sebagai contoh , tanah ulayat Huta/Banua yang ada
di daerah Mandailing Julu pada umumnya terkait
langsung dengan penguasaan klen Lubis; tanah ulayat
di Mandailing Godang terkait dengan klen Nasution;
tanah ulayat Sipirok dengan klen Siregar; tanah ualayat
di Barumun terkait dengan klen Hasibuan, dan
sebagainya.
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
masyarakatnya), di lapangan bisa saling
berhimpitan batasnya, menyilang, atau justru
terpisah oleh suatu wilayah geografis yang
belum pernah dijamah manusia. Dalam konteks
seperti itulah keberadaan persekutuan antar
Banua yang disebut Janjian atau Hayuara
Mardomu Bulung menjadi penting untuk
mengintegrasikan seluruh wilayah yang diklaim
menurut acuan ideologis, historis dan sosiopolitis yang relatif sama.
Berdasarkan kenyataan tersebut, klaim
terhadap tanah ulayat belum tentu dan tidak
selalu berhimpitan dengan tanah yang sudah
diusahakan secara kongkrit oleh penduduk di
dalam suatu Huta/Banua. Jika kita berbicara
tentang tanah yang sudah diusahakan, atau
faktor investasi manusia sudah masuk ke
dalamnya, maka konsep Hans van Dijk (1996)
tentang “tenure ” menjadi relevan di sini.
Mengacu kepada taksonomi penguasaan
wilayah dan sumberdaya (lihat skema 2) dan
taksonomi pengelolaan hutan (skema 3), maka
wilayah yang dikategorikan sebagai “tenure”
untuk suatu Huta/Banua adalah wilayahwilayah yang sudah dikelola oleh komunitas
Huta/Banua tersebut untuk kepentingan
ekonomi dalam menunjang kehidupan
warganya. Wilayah-wilayah demikian pada
umumnya berbatasan langsung dengan
pemukiman, meliputi areal persawahan, lahan
penggembalaan (jalangan) dan juga hutan
yang sudah dibuka untuk perladangan dan
kebun, serta bagian-bagian lainnya dari hutan
yang sudah dimasuki manusia untuk mencari
sumber-sumber penghidupan, misalnya areal
hutan tempat mencari kayu, madu, damar, kapur
dan lain sebagainya. Di luar wilayah itu, yang
sudah diklaim sebagai wilayah penguasaan
sebuah Huta/Banua (klaim territoriality),
sepanjang belum dikelola dan belum ada
investasi manusia baik secara privat (pribadi)
maupun kelompok, maka wilayah tersebut
berada di luar kategori “tenure”. Luasan wilayah
247
yang bisa dikategorikan sebagai “tenure ”
tersebut tentunya sangat erat kaitannya dengan
jumlah penduduk suatu Huta/Banua yang
memerlukan lahan untuk mendukung kehidupan ekonominya. Oleh karena itu,
pertumbuhan penduduk yang semakin besar
biasanya berbanding lurus dengan perluasan
kawasan “tenure ”. Dalam perkembangan
sebuah Huta/Banua, sangat dimungkinkan
terjadinya himpitan antara wilayah “tenure” dan
wilayah “territoriality” mereka.
Penguasaan suatu bagian wilayah huta
dengan cara mengusahakannya (tenure )
menjadi awal bagi tumbuhnya kepemilikan
pribadi (private property ) atau keluarga.
Seseorang atau sebuah keluarga yang pergi
membuka hutan di wilayah “territoriality”
Huta/Banua -nya untuk dijadikan areal
perladangan berhak mengklaim bahwa lahan
yang dikelolanya menjadi lahan milik pribadi
atau keluarga. Bahkan ketika orang atau
keluarga tersebut telah meninggalkan lahan
bekas ladang tersebut sehingga menjadi semak
belukar (gasgas) kembali, klaim penguasaan
terhadap lahan itu masih diakui secara sosial.
Dengan kata lain, adanya intervensi dan faktor
investasi manusia atas suatu bagian wilayah
atau sumberdaya yang pada mulanya bersifat
komunal memberi implikasi terhadap
tumbuhnya klaim penguasaan individual.
Namun demikian, klaim penguasaan individual itu tidak serta merta berlaku bagi
penduduk Huta/Banua yang ingin membuka
hutan di luar wilayahnya. Bagi penduduk yang
datang dari luar, ada ketentuan adat yang
mengatur cara mereka mendapat hak atau izin
untuk mendapatkan tanah. Untuk mendapatkan
izin atau hak mengelola lahan di huta lain,
seseorang, sebuah keluarga atau sebuah
kelompok keluarga, harus mendapatkan izin
terlebih dahulu dari raja dan lembaga
kepemimpinan di Huta/Banua tujuan. Biasanya
mereka juga harus terlebih dahulu mencari
248
kerabat atau “kahanggi” semarga di huta
tersebut sebagai penanda bahwa mereka bisa
masuk menjadi warga komunitas huta tersebut.
Jika tidak ada keluarga yang semarga di huta
tersebut, mereka diharuskan mencari “kahanggi
sangkotan” atau “fictive kinship” yang bisa
dilakukan melalui suatu prosedur adat tertentu.
Dengan adanya jalinan quasi-kekerabatan
tersebut, mereka juga dapat diberikan izin untuk
membuka hutan di sebuah Huta/Banua. Tetapi
hak yang mereka peroleh hanya bersifat hak
pakai (hak guna), bukan hak milik pribadi
(privat), dan karena itu yang bersangkutan
tidak berhak memindah-tangankan sumberdaya
tersebut kepada orang lain tanpa seizin raja
huta. Jika anggota keluarga tersebut pindah
kembali, atau tidak berketurunan menurut adat
patrilineal, maka hak penguasaan terhadap
tanah dan sumberdaya tersebut secara
otomatis kembali kepada komunitas huta, dan
pemanfaatan lanjutnya berada di bawah
pengawasan raja. Lahan yang demikian dalam
terminologi hukum adat Angkola/Mandailing
dinamakan “salipi na tartar”.
Pembagian dan penguasaan wilayah di
masa sekarang
Berlakunya sistem hukum nasional yang
antara lain mengatur batasan-batasan wilayah
administratif desa, kecamatan, kabupaten, dan
seterusnya, membawa implikasi yang cukup
besar terhadap tatanan penguasaan wilayah
yang ada sebelumnya. Undang-Undang No. 5/
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah dan Undang-Undang No. 5/1979
tentang Pemerintahan Desa merupakan produk
hukum yang mengubah secara mendasar
struktur kelembagaan wilayah yang ada di
daerah Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal, seperti halnya juga yang terjadi atas semua
struktur kelembagaan lokal yang ada di daerahdaerah lain. Struktur huta, banua dan janjian
menjadi kehilangan otoritas, dan hanya tersisa
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
pada urusan-urusan upacara adat yang bersifat
seremonial. Sedangkan prinsip-prinsip hukum
adat yang mengatur pembagian wilayah dan
penguasaannya menjadi tumpul dan tidak
difungsikan lagi. Meskipun hak-hak asal-usul
dan tanah ulayat “diakui” dalam UndangUndang No. 5/1960 tentang Pokok-Pokok
Hukum Agraria, dalam kenyataan di lapangan
hak tersebut terus dikebiri, sehingga tidak bisa
digunakan sebagai tempat berlindung bagi
komunitas-komunitas lokal dalam mengatur
tanah ulayat mereka.
Satuan wilayah otonom yang disebut
Banua dan juga persekutuan yang dikenal
dengan nama Janjian hilang karena penerapan
sistem hukum yang baru tadi. Satuan-satuan
yang lebih kecil, yaitu huta, lumban , dll,
dikonversi menjadi satuan wilayah administratif pemerintahan paling rendah dan diberi label
nasional: desa. “Huta” yang dikonversi menjadi
“desa” tidak lagi menjadi bagian dari sebuah
“Banua” atau “Janjian”, melainkan menjadi
bagian dari sebuah wilayah administratif lebih
besar yang bernama kecamatan. Satuan wilayah
yang diakui menjadi wilayah sebuah desa
kurang lebih sebangun dengan wilayah “Huta”
dengan batasan “tenure”-nya. Artinya, yang
diakui sebagai wilayah sebuah desa adalah
mencakup wilayah yang sudah diusahakan
oleh manusia-manusia yang menjadi penduduk
desa tersebut. Akibatnya, wilayah akses bagi
komunitas desa menyempit, karena klaim
wilayah “territoriality” tidak efektif lagi.
Lalu siapa yang kemudian menguasai wilayah
“territoriality” yang pada masa lalu berada di
bawah wewenang sebuah Banua atau persekutuan Janjian? Undang-undang Agraria
(UU No. 5/1960) menyatakan bahwa wilayahwilayah yang belum diusahakan oleh penduduk
dikategorikan sebagai tanah negara, dan negara
berhak untuk mengatur pemanfaatannya.
Dengan demikian, wilayah yang menurut konsep
komunitas lokal di daerah Angkola/Mandailing
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
dikategorikan sebagai tanah ulayat (klaim territoriality), dan berada di dalam persekutuan
hukum adat yang disebut Janjian, menurut
sistem hukum nasional dikategorikan sebagai
tanah yang dikuasai oleh negara. Karena negara
berhak mengatur sendiri pemanfaatan tanahtanah yang demikian, maka komunitas lokal
menjadi kehilangan otoritas untuk memanfaatkannya. Bentuk-bentuk pengaturan atau
pemanfaatan yang dilakukan oleh negara antara
lain adalah dengan memberikan hak pengusahaan hutan (HPH), pembukaan lahan perkebunan
dan lain sebagainya. Kemampuan warga
komunitas lokal untuk menanamkan investasi di
wilayah-wilayah periferal seperti itu sudah tentu
kalah dengan investasi yang dimiliki oleh
pengusaha-pengusaha HPH maupun perkebunan. Perubahan yang terjadi dalam sistem
penguasaan wilayah dan sumberdaya dengan
adanya sistem hukum nasional itu dapat dilihat
dalam gambar 3 dan 4.
Dengan perubahan struktur pembagian dan
penguasaan wilayah tersebut maka Banua
(kerajaan-kerajaan) yang ada di Angkola/
Mandailing tempo dulu dikonversi dan dibagibagi menjadi sejumlah desa. Sebagai contoh,
wilayah yang pada masa lalu termasuk ke dalam
struktur Banua Manambin (di Mandailing Julu)
telah dimekarkan menjadi sekitar 20-an desa.
Sebagian besar wilayah desa-desa itu sudah
berbatasan satu sama lain pada garis “tenure”,
bukan lagi berbatasan secara “territoriality”.
Fenomena yang sama juga ditemukan di daerah
Angkola dan Padang Lawas. Klaim territoriality
(hak ulayat) yang hidup dalam konsepsi warga
komunitas setempat berbenturan dengan fakta
bahwa batas-batas desa mereka di masa
sekarang hanya sekedar batas penguasaan
“tenure”. Akibatnya, lahan-lahan hutan yang
secara tradisional menjadi hak mereka, tidak bisa
lagi diklaim sepihak karena terhadap lahan
tersebut telah dikenakan hak lain oleh otoritas
negara atau “otoritas lain”. Seperti kita ketahui,
249
Gambar 3
Klaim “tenure” dan “territoriality” di Tapsel/Mandailing Natal
(1)
(2)
A
B
C
D
E
Keterangan:
(1). Huta X; ( 2). Huta Y; (A) Pemukiman penduduk; (B) dan (C), areal persawahan dan ladang
(wilayah “tenure”); (D) dan (E), kawasan hutan yang belum diusahakan (wilayah “territoriality”)
Gambar 4
Perubahan sistem pembagian wilayah
BANUA
Dusun
Pagaran
HUTA
DESA
Banjar
Lumban
250
Dusun
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
wilayah “abu-abu” tersebut akhirnya menjadi
wilayah rawan konflik dan menjadi objek
spekulasi dan eksploitasi. Kasus-kasus konflik
yang timbul akibat perbedaan sistem hukum
yang digunakan dalam mengelola lahan-lahan
“tak bertuan” tersebut sudah mulai marak di
beberapa tempat di Kabupaten Tapanuli
Selatan. Salah satu contoh adalah kasus konflik
berdarah yang sudah cukup lama terjadi di
Kecamatan Barumun Tengah, antara warga
Desa Ujung Gading dan sekitarnya dengan
perusahaan perkebunan PT. Torganda yang
membuka lahan perkebunan kelapa sawit di
daerah itu.12
Menumbuhkan kembali kearifan lokal
Di masa lalu, bentuk kearifan lingkungan
dalam pengelolaan sumberdaya alam yang
dikenal oleh komunitas Angkola/Mandailing
biasanya dikemas dalam terminologi pantangan
(bercorak religio-magis) dan rarangan/
larangan (aturan hukum adat). Meskipun
memiliki landasan ideologis yang agak berbeda,
namun keduanya memberi efek yang positif
bagi konservasi sumberdaya alam. Adanya
kepercayaan tentang tempat “naborgo-borgo”
dan pantangan untuk menebang kayu tertentu
misalnya, fungsional untuk membatasi perilaku
eksploitatif warga komunitas. Di sisi lain,
pengaturan hukum adat mengenai pembagian
dan penguasaan wilayah teritorial maupun
12
Salah satu sebab yang memicu konflik tersebut adalah
anggapan di tengah masyarakat bahwa perusahaan
perkebunan tadi telah mengambil secara tidak sah lahanlahan hutan yang berada di wilayah mereka. Proses
pelepasan tanah tersebut kepada pihak perkebunan
seringkali menggunakan jalur formal Kepala Desa
dengan beberapa oknum “tokoh adat”, yang menjual
hutan-hutan di wilayah mereka kepada pihak
pengusaha. Secara formal, barangkali prosedur itu tidak
mengandung kekeliruan jika dilihat dari sudut pandang
hukum nasional. Namun, masyarakat masih
menggunakan sistem hukum adat atau konsepsi budaya
mereka dalam hal mendefinisikan penguasaan wilayahwilayah yang ada di sekitarnya.
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
pemanfaatan sumberdaya yang ada di dalamnya juga efektif untuk mengantisipasi
eksploitasi lintas batas. Akan tetapi, sekarang
ini landasan ideologis dan struktur sosiopolitis
yang membingkai hubungan antara manusia
(komunitas) dengan hutan (sumberdaya alam)
sudah berubah, yang secara langsung atau
tidak langsung membawa efek pelemahan
kemampuan komunitas lokal untuk mengembangkan nuansa kearifan.
Kearifan lingkungan yang tumbuh dan
hidup di masa lalu bukanlah sesuatu yang turun
dari langit, melainkan hasil kreasi budaya dari
komunitas tempatan yang lahir sebagai bentuk
adaptasi mereka terhadap kondisi lingkungan
alam dan lingkungan sosial yang eksis pada
masa itu. Perlu diingat bahwa setiap komunitas
sesungguhnya tak pernah berhenti melakukan
rekayasa dan kreasi budaya, karena dengan
berhenti mereka akan mati. Masalah pokoknya
sekarang: bagaimana komunitas lokal
merekayasa dan menumbuhkan kreasi budaya
(khususnya dalam konteks pengelolaan
lingkungan) yang arif dan berpihak pada
kelestarian lingkungan? Menurut hemat saya,
bentuk-bentuk kearifan lama tidak serta merta
bisa direplikasi dalam konteks waktu, kondisi
lingkungan, dan kerangka sosial-politik yang
berlaku sekarang. Acuan ideologis dan
bangunan struktur sosial-ekonomi-politis
bahkan kerangka hukum sudah mengalami
banyak perubahan, sehingga yang diperlukan
sekarang ini adalah perumusan ulang tentang
hubungan yang layak antara komunitas (dan
para stakeholder lain) dengan lingkungan
alamnya.
Secara konseptual, kerangka struktural
yang bisa digunakan untuk memfasilitasi
penataan ulang hubungan itu misalnya dengan
mengadopsi model partisipatif yang populer
akhir-akhir ini, seperti CFM/Collaborative
Forest Management (lihat Mark Poffenberger
1990) atau JFM/ Joint Forest Management
251
(Madhu Sarin 1993), maupun pola-pola yang
termasuk kategori CBFM/Community-Based
Forest Management lainnya. Jika kerangka
strukturalnya sudah disepakati oleh semua
stakeholder, agar dapat berjalan baik kemudian
harus dilumasi dengan modal sosial (social
capital), yang beberapa komponen intinya
adalah hubungan saling percaya (trust ),
kemampuan membangun pranata (institutions)
dan partisipasi yang setara dalam sebuah
jaringan sosial (social network ). Kerangka
struktural yang digunakan dapat berupa desa,
gabungan desa, komunitas tertentu, atau
kerangka “huta” atau “banua” yang lama (jika
mungkin untuk direvitalisasi); atau bahkan
dalam bentuk dewan atau komite yang
melibatkan berbagai unsur stakeholder.
Ada dua contoh kasus yang bisa dijadikan
pelajaran untuk bisa menumbuhkan kembali
kearifan komunitas lokal dalam pengelolaan
sumberdaya alam. Dalam konteks pengelolaan
sumberdaya hutan (hutan lindung), pengalaman
P3AE-UI yang bekerja di kampung-kampung
sekitar kawasan hutan Register 19, Gunung
Betung, Lampung dalam memfasilitasi proses
belajar bersama untuk menyelenggarakan tertib
pengelolaan kawasan hutan menarik untuk
diikuti. Sejumlah pelatihan yang melibatkan
komunitas kampung-kampung hutan, instansi
kehutanan, LSM, kalangan kampus, dan pihakpihak lainnya telah membuka sekat-sekat yang
selama ini terbangun kuat antar berbagai stakeholder , sehingga mulai terbangun saling
kesepahaman mengenai hal yang sebaiknya
dilakukan bersama dalam konteks pengelolaan
kawasan hutan lindung Register 19 tersebut.
Dari proses itu lahirlah kesepakatankesepakatan yang mengikat semua pihak dan
dijalankan bersama. Ketika itu, pada hakekatnya
para stakeholder sedang berada dalam jalur
membangun kembali kearifan baru yang
kontekstual dengan keadaan sekarang.
252
Contoh lainnya ialah sistem pengelolaan
lubuk larangan yang berkembang pesat di
hampir 70-an desa di Kabupatan Mandailing
Natal dan (sebagian) Tapanuli Selatan sejak
1980-an. Konsep “rarangan” yang ada dalam
khasanah budaya Angkola/Mandailing telah
ditransformasikan ke dalam bentuk baru yang
lebih rasional oleh komunitas-komunitas desa
di sepanjang aliran Sungai Batang Gadis dan
Sungai Batang Natal; yang memperlihatkan
kemampuan komunitas setempat membangun
sistem pengelolaan sumberdaya alam yang arif
secara ekologis, ekonomis dan sosial budaya.
Kata kunci dari sukses sistem pengelolaan
lubuk larangan tersebut adalah kemampuan
komunitas setempat membangun dan mendayagunakan modal sosial di antara mereka.13 Untuk
bisa menumbuhkan dan membangun suatu
kearifan dalam pengelolaan sumberdaya alam
seperti kasus lubuk larangan, diperlukan paling sedikit delapan langkah berikut: (1)
menetapkan sumberdaya yang kongkrit sebagai
subjek pengelolaan, yang bersifat aksesibel
bagi suatu komunitas; (2) mengembangkan ide
atau gagasan untuk pengelolaan sumberdaya
tadi melalui proses partisipatif dan kemudian
menetapkan sebuah pilihan cara mengatasi
masalah; (3) menemukan konsensus di antara
para pihak (stakeholder) untuk mendapatkan
komitmen dan dukungan atas pengelolaan
sumberdaya; (4) merumuskan tujuan pengelolaan, yang mungkin untuk dicapai dan dapat
memenuhi kebutuhan bersama warga kolektif;
(5) menetapkan jaringan sosial atau satuan
sosial yang menjadi konstituen pengelolaan,
13
Gambaran lebih rinci mengenai sistem pengelolaan
lubuk larangan lihat laporan Zulkifli Lubis (2001)
“Resistensi, Persistensi dan Model Transmisi Modal
Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Milik Bersama:
Kajian Antropologis Terhadap Pengelolaan Lubuk
Larangan di Sumatera Utara. Laporan penelitian Riset
Unggulan Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK),
Kantor Menegristek RI.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
yaitu mereka yang akan menjadi partisipan aktif
dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan
hasilnya; (6) merajut pranata/institusi, baik
berupa sistem nilai bersama, norma-norma dan
sanksi-sanksi maupun aturan-aturan yang lebih
teknis; (7) membangun hubungan saling
percaya (trust relation), berlandaskan adanya
jaminan keadilan bagi semua pihak; (8)
melakukan siklus pendayagunaan modal sosial
dengan membangun kekompakan atau
kesatupaduan (cohesiveness) di kalangan
jaringan sosial yang menjadi konstituen,
meneguhkan pelaksanaan institusi, memupuk
kepercayaan, dan seterusnya secara berulang/
siklikal.
Proses penumbuhan kearifan baru berbasis
pendayagunaan modal sosial seperti disebutkan di atas sudah tentu memerlukan dukungan
politik berupa payung kebijakan yang menjadi
kerangka acuan bersama bagi semua stakeholder. Dalam contoh sistem pengelolaan lubuk
larangan, Pemerintah Kabupaten Tapanuli
Selatan (ketika itu termasuk Mandailing Natal)
membuat payung kebijakan berupa Peraturan
Daerah No. 19/1988 tentang Pengelolaan Lubuk
Larangan sebagai payung bagi sistem
pengelolaan yang sudah dikembangkan lebih
dahulu oleh puluhan komunitas desa sejak awal
1980-an. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan di Tapanuli Selatan khususnya ke
depan, secara teoritik akan lebih mudah dan
lebih memungkinkan untuk mengembangkan
sistem pengelolaan yang bercorak kolaboratif
dengan berlakunya undang-undang otonomi
daerah (UU No. 22/1999). Terlebih lagi karena
undang-undang tersebut memberi peluang
kepada pemerintah daerah untuk menata
daerahnya dengan memperhatikan karakteristik
budaya yang khas. Kalau kita semua sepakat
untuk menjadikan aspek budaya sebagai satu
variabel yang penting dalam penataan ulang
sistem pengelolaan sumberdaya alam di daerah
ini, niscaya kearifan lokal yang (pernah) ada
akan lebih mudah dikembangkan kembali.
Referensi
Chambers, R. dan P. Richards
1995 “Preface”, dalam D.M. Warren, L.J. Slikkerveer dan D. Brokensha (peny.) The Cultural dimension of Development: Indigenous Knowledge Systems. London:
Intemediate Technology Publications. Hlm. xiii-xiv.
van Dijk, H.
1996 “Land Tenure, Territoriality, and Ecological Instability: A Sahelian Case Study”, dalam
J. Spiertz dan M.K. Wider (eds) The Role of Law in Natural Resource Management.
The Hague: VUGA Uitgeverij. Hlm. 17–45.
Dobbin, C.
1992 Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang sedang Berubah, Sumatera Tengah
1784-1847. Terjemahan Lilian Tedjasudhana. Jakarta: INIS.
Lubis, Zulkifli. B.
1998 “Manusia dan Hutan: Peluang ke Arah Pengelolaan Hutan Secara Kolaboratif”, Jurnal
Wawasan No 9, Juni.
2000 Kajian tentang Penguasaan Sumberdaya Alam di Kawasan Hulu DAS Sungai Batang
Gadis Kabupaten Mandailing Natal. Laporan penelitian. Tidak dipublikasikan.
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
253
2001
Resistensi, Persistensi dan Model Transmisi Modal Sosial dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam Milik Bersama: Kajian Antropologis Terhadap Pengelolaan Lubuk
Larangan di Sumatera Utara. Laporan penelitian Riset Unggulan Kemasyarakatan dan
Kemanusiaan (RUKK), Kantor Meneg Ristek RI.
Lubis, Zainuddin
1988 Namora Natoras: Pemimpin Tradisional Mandailing. Skripsi sarjana antropologi. Tidak
dipublikasikan. Medan: Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Pandapotan, N.
2001 Mandailing Natal: Peluang, Tantangan dan Harapan . Medan: Yayasan
Parsarimpunan Nitondi.
Poffenberger, M.
1990 Keepers of the Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia. Manila:
Ateneo de Manila University Press.
Sarin, M.
1993 Joint Forest Management. Working Paper No. 14. New Delhi: The Ford Foundation.
Zakaria, Y.R.
1994 Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta: Penerbit WALHI.
254
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
Pengelolaan Sumberdaya Alam di Tapanuli Selatan1
Zulkifli B. Lubis
(Universitas Sumatera Utara)
Abstract
Studies on local knowledge are recently important in development program. Such studies
remind us to learn from the community before we teach them. This article discusses how local
knowledge understood and used to encourage people participation in forest conversation in
South Tapanuli, North Sumatera. The author argues that local knowledge in forest management can be revitalized to build participation if only all stakeholders able to make social
commitment as part of social capital.
Key words: local knowledge; territoriality; tenure; natural resources.
Pengantar
Sungguh menarik untuk membicarakan
kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya
alam sementara kita mengetahui apa yang
disebut “kearifan” itu sendiri sudah menjadi
barang (sumberdaya) langka dewasa ini. Dalam
banyak kasus di negeri ini, bahkan di seantero
dunia, kearifan komunitas lokal dalam mengelola
sumberdaya alam sudah punah bersamaan
dengan musnahnya biodiversitas yang
mengiringi kerusakan lingkungan oleh aktoraktor luar yang datang dan bekerja atas nama
pembangunan dan kapitalisme. Tetapi di
penghujung abad ke-20, wacana tentang kearifan
lokal yang juga dikenal sebagai indigenous
knowledge itu telah mencuat ke permukaan dan
diakui sebagai bagian penting dalam program
pembangunan ke depan. Pengetahuan asli
yang dimiliki suatu komunitas, kata Chambers
& Richards (1995:xiii) tidak lagi dipandang
sebagai takhayul (superstition), tetapi telah
mengajarkan kita pada kerendahan hati dan
kebutuhan untuk belajar dari suatu komunitas
sebelum kita mengajari mereka.2
Seperti apakah pengetahuan asli atau
kearifan komunitas-komunitas yang ada di
Kabupaten Tapanuli Selatan dalam mengelola
sumberdaya alamnya, dan bagaimana sebaiknya
mendayagunakan khasanah budaya tersebut
1
Makalah disampaikan pada Workshop Membangun
Partisipasi Masyarakat dalam Penyelamatan Hutan di
Tapanuli Selatan; diselenggarakan atas kerjasama
Pusaka Indonesia, Bitra Indonesia, Walhisu, Samudra
dan Partnership for Governance Reform in Indonesia; di Hotel Tor Sibohi Sipirok, 21-22 April 2003.
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
2
Meskipun terasa tak menyenangkan, lanjut Chambers & Richards, pada kenyataannya (pengetahuan
ilmiah) “kita” —para agen pembangunan— membawa
banyak masalah, sementara (pengetahuan) “mereka”
—warga komunitas—memberi banyak solusi.
239
untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam
penyelamatan hutan di Tapsel? Gambaran
ringkas yang disajikan dalam tulisan ini lebih
dimaksudkan sebagai bahan pengantar diskusi
ketimbang sebagai sebuah jawaban/solusi untuk
pertanyaan di atas. Tulisan ini berangkat dari
asumsi bahwa kearifan lokal yang (pernah) ada
dalam pengelolaan sumberdaya alam (khususnya
hutan) dapat direvitalisasi untuk membangun
partisipasi jika semua stakeholder terkait mampu
menumbuhkan dan membangun modal sosial di
antara mereka berlandaskan konsensus dan
komitmen baru (yang diperbarui) yang dirumuskan secara bersama-sama.
Konsep tradisional tentang pembagian
wilayah dan penguasaan sumberdaya
Secara sederhana kearifan lokal atau
kearifan lingkungan dapat didefinisikan sebagai
pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh
suatu masyarakat tertentu yang mencakup
sejumlah pengetahuan kebudayaan yang
berkenaan dengan model-model pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya alam secara
lestari (Zakaria 1994:56). 3 Pengetahuan
kebudayaan orang Angkola dan Mandailing4
yang mendiami kawasan Tapanuli Selatan dan
Mandailing Natal tentang hubungan mereka
dengan lingkungannya terkait dengan konsepsi
mereka tentang pembagian wilayah dan
penguasaan sumberdaya. Kearifan yang
3
Kearifan lingkungan itu berisi gambaran tentang
anggapan masyarakat mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan struktur lingkungan, bagaimana lingkungan
berfungsi, bagaimana reaksi alam terhadap tindakantindakan manusia, serta hubungan-hubungan (yang
sebaiknya tercipta) antara manusia (masyarakat)
dengan lingkungan alamnya (Zakaria, 1994:56).
4
Meskipun Orang Angkola dan Mandailing mendefinisikan dirinya berbeda label identitas etnik, tetapi secara
sosial budaya mereka hampir tidak bisa dibedakan satu
sama lain kecuali dari adanya beberapa varian trait budaya
seperti dialek bahasa yang dipengaruhi faktor lokalitas.
Karena itu, uraian dalam tulisan ini secara umum bisa
diasumsikan mencakup keduanya sekaligus.
240
mereka miliki dalam pengelolaan sumberdaya
alam juga menjadi bagian dari sistem pembagian
wilayah dan penguasaaan yang berlaku (diotorisasi) dalam satu konteks waktu tertentu.
Sebagai konsekwensinya, seperti akan terlihat
dalam uraian di bawah, eksistensi dan kekuatan
kearifan lokal itu juga sangat bergantung
kepada konteks waktu dan otoritas politik yang
sedang berlaku.
Konsep pembagian wilayah
Secara tradisional komunitas Angkola dan
Mandailing mengenal beberapa konsep dasar
berkenaan dengan pembagian tata ruang dan
penguasaan wilayah serta sumberdaya yang
ada di dalamnya. Tiga diantaranya yang paling
pokok dan akan diuraikan berikut ini adalah
Banua, Huta dan Janjian. Menurut Zainuddin
Lubis (1987:92) Banua mengandung pengertian
satu kesatuan wilayah; Huta mengandung
pengertian satu kesatuan tempat pemukiman
penduduk; sedangkan Janjian merupakan
persekutuan teritorial sejumlah Banua yang
diikat oleh kesatuan adat dan bukan oleh
kesatuan politik. Di daerah Angkola, padanan
konsep terakhir itu dikenal dengan sebutan
Hayuara Mardomu Bulung. Ketiga konsep
tersebut terutama berlaku dalam tatanan
kehidupan masyarakat Angkola dan
Mandailing sebelum diterapkannya pembagian
wilayah administratif menurut perundangundangan negara Republik Indonesia.
(i) Banua merupakan satu kesatuan
wilayah dengan satu kesatuan masyarakat
hukum yang otonom dalam pemerintahan
dengan dikepalai seorang raja yang diangkat
dari keturunan patrilineal klen pendiri Banua
(Lubis 1987:87). Sebuah Banua berkembang
dari satuan pemukiman penduduk yang
bernama Huta. Dengan demikian, penguasaan
wilayah (ruang) berikut sumberdaya yang ada
di dalam kawasan sebuah Banua (kerajaan)
terkait erat dengan kelompok klen yang
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
membuka Huta. Setiap Banua mempunyai
tanah dan sumber airnya sendiri (ganop-ganop
Banua martano rura), yang mengandung
pengertian bahwa sebuah kerajaan memiliki
batas-batas wilayah teritorial yang berada
dibawah yurisdiksinya, dan berwenang dalam
pengaturan batas-batas penguasaan wilayah
dan sumberdaya yang ada di dalamnya.
(ii) Sebuah Huta yang berupa satu satuan
pemukiman penduduk bisa sekaligus menjadi
sebuah Banua jika telah memenuhi sejumlah
persyaratan tertentu. Sebuah Huta baru
biasanya berdiri ketika sekelompok penduduk
dari sebuah kerajaan pergi meninggalkan Banua
asalnya untuk membuka tempat pemukiman
baru. Suatu tempat pemukiman baru yang masih
relatif kecil dinamakan banjar. Kalau
penduduknya makin bertambah dan ukuran
wilayah kelolanya semakin luas maka banjar
tersebut berubah status menjadi pagaran;;
selanjutnya bisa berproses menjadi lumban;
dan jika jumlah penduduknya makin bertambah,
maka pemukiman tersebut bisa meningkat
statusnya menjadi Huta. Ketika Huta tersebut
telah berkembang dan memenuhi persyaratan
sebagai sebuah Banua atau kerajaan, maka
dibentuklah sistem pemerintahan di Banua baru
itu yang dipimpin oleh keturunan dari klan
pembuka Banua asal tadi.5
Penduduk yang mendiami satuan
pemukiman yang masih berstatus banjar,
pagaran dan lumban belum berhak untuk
mempunyai raja, pemerintahan dan wilayah
sendiri yang otonom. Pemerintahan dan
penyelenggaraan adat mereka masih terikat
kepada Banua atau Huta asal mereka karena
perangkat kelengkapan sistem pemerintahan
5
Kadangkala sebuah pemukiman baru juga dibuka oleh
orang-orang lain marga dari pembuka Banua asal.
Namun demikian, untuk menjadi pimpinan di wilayah
Banua baru tersebut biasanya tetap diangkat dari
anggota keluarga dekat dan semarga dengan raja di
Banua asal.
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
Na Mora Na Toras, sebagai salah satu
persyaratan berdirinya sebuah kerajaan belum
terpenuhi. Pimpinan di dalam satuan pemukiman
tersebut dinamakan Raja Ihutan, namun tidak
berfungsi sebagai kepala pemerintahan,
sehingga belum memiliki batas-batas yurisdiksinya sendiri. Pengaturan sistem penguasaan
wilayah dan sumberdaya yang ada di dalamnya
juga masih tetap berada di bawah otoritas Huta
atau Banua asal. Sebuah Huta bisa memiliki
pemerintahan yang otonom jika telah memenuhi
persyaratan antara lain: (1) unsur-unsur
kelembagaan politik yang disebut Na Mora Na
Toras6 sudah lengkap; (2) memiliki penduduk
yang terdiri dari sekurang-kurangnya 40 KK
dari kelompok marga yang berbeda-beda; (3)
memiliki beberapa tempat pemukiman kecil
berupa banjar atau pagaran sebagai “anak”nya; dan (4) mendapat izin dari Raja dan Na
Mora Na Toras di Banua atau Huta asal.
Pimpinan pemerintahan dan adat di dalam
sebuah Huta atau Banua dinamakan Raja
Pamusuk, yang dikukuhkan melalui suatu
upacara khusus.
(iii) Janjian/Hayuara Mardomu Bulung.
Sebuah Banua asal dalam jangka waktu lama
bisa memiliki beberapa Banua “anak” yang
bersifat otonom. Setiap Banua memiliki wilayah
dan pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh
seorang Raja Pamusuk. Raja yang menjadi
kepala pemerintahan di sebuah Banua “induk”
dinamakan Raja Panusunan Bulung; yang
dipandang lebih senior dan lebih tinggi
derajatnya daripada Raja Pamusuk. Namun
demikian seorang Raja Panusunan Bulung dan
Raja Pamusuk tidak bisa saling mencampuri
urusan pemerintahan di Banua-nya masingmasing, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu, meskipun sebuah
6
Unsur-unsur kelembagaan politik yang disebut Na
Mora Na Toras tersebut terdiri dari Raja sebagai
pimpinan, Suhu, Hatobangon/Anggi Ni Raja, Natoras,
Bayo-bayo, dan Hatobangon (wakil orang biasa).
241
Banua “induk” memiliki beberapa Banua
“anak”, dan penduduk maupun pimpinannya
masih mempunyai hubungan kekerabatan satu
sama lain, hubungan di antara mereka tidak
bersifat hirarkis dan tidak pula terikat suatu
bentuk hubungan federasi pemerintahan. Pada
masa lalu mereka hanya membentuk fakta
persekutuan teritorial yang dinamakan Janjian
(Mandailing) atau Hayuara Mardomu Bulung
(Angkola). Persekutuan tersebut diikat oleh
kesatuan adat dan ideologis, bukan oleh
kesatuan politik. Pada dasarnya pembentukan
Janjian itu bertujuan untuk mendapatkan
jaminan yang kuat bagi terpeliharanya
integritas wilayah sebagai satu kesatuan,
setelah setiap Banua memiliki wilayahnya
sendiri dengan batas-batas yang nyata.
Dengan terpeliharanya integritas wilayah yang
terdiri dari beberapa Banua itu, diharapkan
terpelihara pulalah rasa persatuan antara
sesama komunitas Banua yang menempatinya
secara terpisah-pisah (Lubis 1987:94).
Sebuah Huta/Banua telah memiliki batas
jurisdiksi sendiri, sehingga kewenangan untuk
menguasai dan memanfaatkan wilayah berikut
sumberdaya yang ada di dalamnya sudah
dimiliki secara otonom. Melalui persekutuan
yang disebut Janjian atau Hayuara Mardomu
Bulung, yang mengikat beberapa Banua yang
berkembang dari satu Banua induk, maupun
Banua lain yang berbatasan wilayah, maka klaim
atas suatu wilayah yang ada di sekeliling
Janjian (Hayuara Mardomu Bulung) atau
wilayah-wilayah “tak bertuan” di antara
wilayah beberapa Banua menjadi kuat,
sehingga tidak terdapat lagi bagian wilayah
yang kosong dari klaim penguasaan. Dengan
kata lain, keberadaan persekutuan yang disebut
Skema 1
Pembagian Wilayah Secara Tradisional
BANUA
Huta
Lumban
Banjar
BANUA
BANUA
Pagaran
Pagaran
Pagaran
Huta
Banjar
Banjar
Huta
Lumban
Lumban
JANJIAN/HAYUARA MARDOMU BULUNG
242
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
Janjian (Hayuara Mardomu Bulung)menjadi
legitimasi ideologis untuk menentukan batasbatas wilayah penguasaan.
Konsep penguasaan sumberdaya
Ungkapan “ganop-ganop banua martano
rura” (setiap Banua mempunyai tanah dan
sumber airnya sendiri) menyiratkan konsep
teritorial dan penguasaan sumberdaya alam
yang ada di dalamnya. Artinya, sebuah Banua
harus memiliki wilayah teritorial yang jelas serta
memiliki sumberdaya yang bisa dimanfaatkan
penduduknya untuk menjalankan berbagai
aspek kehidupan mereka. Keberadaan sebuah
Huta atau Banua menurut konsep masyarakat
Angkola/Mandailing harus ditopang oleh
adanya sumber air, kawasan hutan, dan juga
tempat penggembalaan. Sumber air diperlukan
untuk kebutuhan subsistensi, tepian, mengairi
areal persawahan, memelihara ikan, dan
berbagai keperluan sosial dan religius lainnya.
Hampir semua tempat pemukiman (huta) yang
ada di Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal
berada di sekitar sumber-sumber air, baik
berupa mata air (mual), anak sungai (rura)
maupun sungai (aek ).
Dalam tradisi masyarakat Angkola/
Mandailing dikenal adanya kolam ikan luas
(tobat bolak ) dan areal sawah (saba bolak )
yang dipunyai oleh kerajaan. Keduanya
fungsional untuk menopang fungsi raja sebagai
“talaga na so tola hiang” (tempat persediaan
makanan yang tidak boleh kering). Menurut
tatanan adat setempat seorang raja tidak boleh
membiarkan seorangpun dari rakyatnya
menderita kelaparan. Karena itu, raja yang
memimpin sebuah Huta atau Banua harus
dilengkapi dengan persediaan logistik yang bisa
menjamin rakyatnya dan tamu-tamu yang
datang mendapatkan makanan yang memadai.
Hasil padi dari sawah tersebut bisa dipinjam
oleh rakyat ketika terjadi musim paceklik
(aleon), sedangkan kolam ikan (tobat bolak )
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
sewaktu-waktu sengaja dibuka oleh raja untuk
dapat diakses secara bebas oleh semua warga
huta.
Sebuah Huta/Banua juga harus mempunyai
areal jalangan (lahan penggembalaan),
biasanya berada di luar areal pemukiman
penduduk.7 Di masa lalu hewan ternak yang
hidup di areal jalangan tidak dipelihara secara
khusus, melainkan dibiarkan saja hidup liar di
sana. Setiap Huta/Banua juga harus
mempunyai kawasan hutan (harangan).
Keberadaan hutan bagi sebuah Huta/Banua
terutama untuk mendukung penyelenggaraan
kehidupan ekonomi, (aktivitas pertanian).
Pembukaan hutan untuk aktivitas pertanian
biasanya dimulai dengan membuka ladang
(auma ), lalu kemudian diberakan menjadi
belukar (gasgas), atau ditanami lanjut dengan
tanaman keras seperti karet atau kopi. Hutan
juga dimanfaatkan untuk areal tempat berburu
binatang (rusa, kijang, bedu, dsb). Pemanfaatan
sumberdaya yang ada di dalam hutan biasanya
diatur oleh otoritas kerajaan dengan menerapkan apa yang disebut “bungo ni padang”, yaitu
sejenis retribusi atau konpensasi yang harus
diserahkan kepada kerajaan.8 Selain untuk
keperluan bertani dan berburu seperti
disebutkan di atas, hutan juga dimanfaatkan
untuk tempat meramu hasil-hasil hutan seperti
jenis damar, madu, dan juga sayur-sayuran
yang bisa dikonsumsi, dan meramu bahan
bangunan/perabot rumah.
7
Hewan ternak yang biasa dipelihara di dalam areal
lahan penggembalaan adalah kerbau, karena hewan ini
menjadi bagian yang sangat penting peranannya untuk
mendukung penyelenggaraan upacara-upacara adat
dalam tradisi Angkola/Mandailing.
8
Menurut Pandapotan Nasution (2001) ada beberapa
jenis retribusi tradisional lainnya yang dikenal oleh
masyarakat Angkola/Mandailing di masa lalu, misalnya
“bunga tanah” (untuk tanaman pertanian), “bunga kayu”
(retribusi hasil kayu); “bunga pasir” (hasil tambang);
dan “bunga air” (retribusi hasil ikan di sungai).
243
Skema 2
Pembagian Wilayah Sumberdaya Alam
(1)
(2)
A
B
C
D
E
Keterangan:
(1) Huta X; (2) Huta Y; (A) Pemukiman penduduk; (B) Areal persawahan; (C) Areal perladangan
(auma, gasgas); (D) Kawasan hutan (harangan); (E) Kawasan hutan belantara (tombak, rubaton).
Setiap Huta/Banua juga memiliki kawasan
hutan yang terlarang untuk aktivitas pertanian,
berburu maupun meramu hasil-hasil hutan. Areal hutan yang terlarang demikian disebut
harangan rarangan (hutan larangan). Keberadaan areal hutan terlarang biasanya dilegitimasi oleh adanya unsur-unsur kepercayaan, misalnya kepercayaan penduduk
bahwa bagian tertentu dari wilayah hutan
mereka tabu untuk dimasuki atau dibuka untuk
lahan pertanian. Ada kepercayaan pribumi
bahwa tempat-tempat tertentu di dalam kawasan
hutan dihuni oleh makhluk-makhluk halus
(begu) yang bisa mengganggu manusia.
Tempat-tempat seperti itu dinamakan “naborgoborgo”. Kepercayaan demikian merupakan
bentuk kearifan lokal bercorak religio-magis
(Zakaria 1994:57) yang fungsional untuk
menjaga kelestarian sumberdaya, karena
tempat-tempat yang disebut “naborgo-borgo”
tersebut biasanya merupakan kawasan mata air,
atau daerah resapan air, yang vital dalam
244
pemeliharaan tata air bagi komunitas penduduk
di sekelilingnya.9
Taksonomi wilayah dan sumberdaya alam
Orang Angkola/ Mandailing membagi
wilayah vertikal yang ada di lingkungan mereka
menjadi beberapa tingkatan, yaitu n a p a
(dataran), untuk (tanah bergelombang), tor
(bukit), dolok (anak gunung) dan sorik
(gunung). Mereka juga mengenal taksonomi
aliran air, mulai dari yang paling kecil yaitumual
(mata air), rura (ranting sungai), aek (anak
sungai) dan batang (sungai besar). Sementara
yang terkait dengan proses interaksi dengan
kawasan hutan mereka mengenal taksonomi:
(a) rubaton, yaitu kawasan hutan belantara
9
Di kawasan Saipar Dolok Hole (Tapsel), khususnya
oleh komunitas yang berdiam di kaki Gunung Dolok
Batara Wisnu, dikenal adanya pantangan untuk
menggunakan perabot rumah dengan menebang pohon
yang tumbuh di lereng gunung tersebut karena dipercaya
akan mendatangkan marabahaya bagi keluarga yang
melakukannya.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
yang jarang dimasuki manusia atau masih
berupa hutan perawan, (b) tombak , yaitu
kawasan hutan lebat yang kepadatannya berada
di bawah rubaton, (c) harangan, yaitu kawasan
hutan yang biasa dimasuki manusia dan
kepadatannya berada di bawah tombak.
Apabila suatu kawasan hutan sudah dibuka
oleh penduduk untuk dijadikan lahan pertanian,
maka pada tahap pertama hutan bukaan
tersebut berubah kategori menjadi (d) auma
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
(lahan perladangan); jika ladang diberakan
setelah beberapa kali musim tanam (tanaman
padi dan palawija) disebut (e) gasgas (semak
belukar); dan apabila semak belukar tersebut
terus dibiarkan tanpa diolah kembali, maka lahan
itu akan berevolusi kembali menjadi hutan
sekunder (harangan). Lahan ladang (auma)
yang terus diolah dan ditanami dengan tanaman
keras akan berubah kategori menjadi (f) kobun
(kebun), misalnya kebun karet, kebun kopi, dll.
245
Klaim-klaim penguasaan wilayah dan
sumberdaya secara tradisional
Menurut tatatan lama, penguasaan wilayah
dan sumberdaya di Tapanuli Selatan/
Mandailing Natal berada di bawah wewenang
pemimpin komunitas, yaitu Raja Panusunan
Bulung atau Raja Pamusuk dengan kelembagaan Na Mora Na Toras di setiap Banua. Setiap
Banua memiliki hak otonom untuk membagibagi wilayahnya kepada penduduk yang
tinggal di dalam lingkungannya maupun dalam
hal pemanfaatan berbagai jenis sumberdaya
yang ada di dalamnya. Setiap penduduk yang
bermaksud membuka hutan untuk lahan
pertanian memiliki hak penuh sepanjang hutan
yang akan dibuka masih berada di dalam
wilayah yurisdiksi Huta/Banua mereka. Namun,
apabila mereka ingin membuka kawasan hutan
yang sudah masuk wilayah Huta/Banua lain,
mereka harus terlebih dahulu mendapatkan izin
dari pimpinan Huta/Banua tujuan tersebut.
Hal yang sama berlaku dalam pemanfaatan
binatang yang ada di dalam kawasan hutan.
Penduduk Huta/Banua bebas memanfaatkan
binatang yang ada di dalam kawasan hutan di
Huta/Banua mereka sendiri sepanjang bukan
hewan peliharaan seseorang, sebuah keluarga,
atau hewan ternak yang ada di kawasan jalangan
(lahan penggembalaan) milik kerajaan, karena
pada dasarnya semua hewan yang hidup di
hutan adalah milik komunal. Tetapi apabila
hewan yang diburu kemudian tertangkap di
wilayah Huta/Banua lain, maka ketentuan adat
mengatur bahwa orang yang menangkap hewan
buruan tersebut harus memberikan “bungo ni
padang” (sejenis retribusi) kepada pimpinan
komunitas Huta/Banua lain tersebut. Dalam hal
pemanfaatan hasil hutan lainnya tidak diketahui
dengan jelas bagaimana aturan yang berlaku di
masa lampau. Secara umum diketahui bahwa hasil
hutan berupa kayu bisa diakses dengan bebas
oleh warga komunitas, karena sumberdaya
tersebut termasuk kategori milik komunal.
246
Demikian juga hasil hutan berupa damar, kapur,
madu dan lain sebagainya.10
Aliran sungai beserta kekayaan yang
terdapat di dalamnya juga dikategorikan
sebagai sumberdaya yang dimiliki secara
komunal. Pada masa lalu setiap orang berhak
menangkap ikan di sungai, mengambil batu dan
pasir, mendulang emas, dan sebagainya. Aliran
sungai seringkali juga dijadikan sebagai tandatanda batas alamiah untuk perbatasan sebuah
huta dengan huta lain. Tapi sejak 1980-an
berkembang suatu pranata baru (diperbaharui)
yang tergolong bentuk kearifan lingkungan
dalam pengelolaan sumberdaya sungai di
beberapa tempat di Tapsel dan terbanyak di
Mandailing Natal. Akses penduduk terhadap
sungai khususnya untuk menangkap ikan
dibatasi untuk jangka waktu tertentu, biasanya
satu tahun, dan hasil ikan yang dipelihara
selama jangka waktu tersebut digunakan untuk
pendapatan desa/biaya pembangunan berbagai
fasilitas sosial di desa.
Klaim penguasaan atas tanah ulayat
Setiap Huta/Banua memiliki tanah ulayat
sendiri. Selain tanah, tumbuhan yang hidup di
atas tanah ulayat tersebut juga dianggap
sebagai milik suatu Huta/Banua. Oleh karena
sistem kepemimpinan terkait erat dengan
kelompok klen (marga) yang dianggap sebagai
10
Di masa lampau orang Angkola/Mandailing mengenal
tradisi meramu hasil hutan berupa kapur (kamper, kapur
Barus) ke tengah hutan belantara. Pekerjaan tersebut
dinamakan “markapur”, dan orang yang melakukannya dikenal dengan “parkapur”. Dalam khasanah
bahasa Mandailing bahkan ada ragam bahasa khusus
yang disebut ragam bahasa “parkapur”, dengan kosa
kata yang khas digunakan di hutan ketika bekerja
meramu hasil hutan. Christine Dobbin dalam
karangannya berjudul “Kebangkitan Islam dalam
Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatera
Tengah, 1784–1847” (1992:205–213) menyebutkan
bahwa daerah Mandailing bagian atas adalah daerah
penghasil emas, kamper, kemenyan, dan hasil-hasil
hutan lainnya yang diperdagangkan dengan pedagangpedagang Eropa pada sekitar tahun 1820–1830an.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
pembuka Huta/Banua, maka klaim terhadap
tanah ulayat tersebut hampir-hampir identik
dengan tanah milik kelompok klen.11 Namun hal
ini tidak sekaligus berarti bahwa anggota klen
memiliki hak eksklusif untuk memanfaatkan
tanah dan sumberdaya di wilayah Huta/Banua.
Ada aturan-aturan adat yang mengatur
pemanfaatan tanah dan sumberdaya lainnya di
dalam lingkungan sebuah Huta/Banua.
Penegasan mengenai suatu batas wilayah yang
diklaim sebagai tanah ulayat marga atau huta
biasanya terkait dengan tanda-tanda alamiah
seperti bukit atau gunung (tor, dolok , atau
sorik ), juga aliran sungai (rura, aek, atau
batang); jenis tumbuhan atau pohon tertentu,
dan juga tanda-tanda yang bisa diberikan oleh
hewan (misalnya melalui suaranya atau
habitatnya).
Penetapan batas-batas wilayah antar
Banua biasanya didasarkan pada alasan-alasan
ideologis, historis dan sosio-politis. Penegasan
batas tanah ulayat (tanah adat) di Tapanuli
Selatan dan Mandailing Natal termasuk dalam
apa yang disebut oleh Hans van Dijk (1996)
sebagai territoriality. Artinya, meskipun dalam
uraian terdahulu dikatakan bahwa sebuah
Banua adalah satu kesatuan wilayah yang jelas
batas-batasnya, batas-batas yang dimaksudkan adalah batas-batas klaim secara ideologis,
historis dan sosio-politis, bukan didasarkan
pada batas-batas geografis dan ekologis.
Dengan kata lain, sangat mungkin terjadi dua
Banua yang memiliki batas-batas yang jelas
secara ideologis, historis dan sosio-politis
(suatu batasan yang sesungguhnya ada di
dalam sistem budaya atau alam pemikiran
11
Sebagai contoh , tanah ulayat Huta/Banua yang ada
di daerah Mandailing Julu pada umumnya terkait
langsung dengan penguasaan klen Lubis; tanah ulayat
di Mandailing Godang terkait dengan klen Nasution;
tanah ulayat Sipirok dengan klen Siregar; tanah ualayat
di Barumun terkait dengan klen Hasibuan, dan
sebagainya.
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
masyarakatnya), di lapangan bisa saling
berhimpitan batasnya, menyilang, atau justru
terpisah oleh suatu wilayah geografis yang
belum pernah dijamah manusia. Dalam konteks
seperti itulah keberadaan persekutuan antar
Banua yang disebut Janjian atau Hayuara
Mardomu Bulung menjadi penting untuk
mengintegrasikan seluruh wilayah yang diklaim
menurut acuan ideologis, historis dan sosiopolitis yang relatif sama.
Berdasarkan kenyataan tersebut, klaim
terhadap tanah ulayat belum tentu dan tidak
selalu berhimpitan dengan tanah yang sudah
diusahakan secara kongkrit oleh penduduk di
dalam suatu Huta/Banua. Jika kita berbicara
tentang tanah yang sudah diusahakan, atau
faktor investasi manusia sudah masuk ke
dalamnya, maka konsep Hans van Dijk (1996)
tentang “tenure ” menjadi relevan di sini.
Mengacu kepada taksonomi penguasaan
wilayah dan sumberdaya (lihat skema 2) dan
taksonomi pengelolaan hutan (skema 3), maka
wilayah yang dikategorikan sebagai “tenure”
untuk suatu Huta/Banua adalah wilayahwilayah yang sudah dikelola oleh komunitas
Huta/Banua tersebut untuk kepentingan
ekonomi dalam menunjang kehidupan
warganya. Wilayah-wilayah demikian pada
umumnya berbatasan langsung dengan
pemukiman, meliputi areal persawahan, lahan
penggembalaan (jalangan) dan juga hutan
yang sudah dibuka untuk perladangan dan
kebun, serta bagian-bagian lainnya dari hutan
yang sudah dimasuki manusia untuk mencari
sumber-sumber penghidupan, misalnya areal
hutan tempat mencari kayu, madu, damar, kapur
dan lain sebagainya. Di luar wilayah itu, yang
sudah diklaim sebagai wilayah penguasaan
sebuah Huta/Banua (klaim territoriality),
sepanjang belum dikelola dan belum ada
investasi manusia baik secara privat (pribadi)
maupun kelompok, maka wilayah tersebut
berada di luar kategori “tenure”. Luasan wilayah
247
yang bisa dikategorikan sebagai “tenure ”
tersebut tentunya sangat erat kaitannya dengan
jumlah penduduk suatu Huta/Banua yang
memerlukan lahan untuk mendukung kehidupan ekonominya. Oleh karena itu,
pertumbuhan penduduk yang semakin besar
biasanya berbanding lurus dengan perluasan
kawasan “tenure ”. Dalam perkembangan
sebuah Huta/Banua, sangat dimungkinkan
terjadinya himpitan antara wilayah “tenure” dan
wilayah “territoriality” mereka.
Penguasaan suatu bagian wilayah huta
dengan cara mengusahakannya (tenure )
menjadi awal bagi tumbuhnya kepemilikan
pribadi (private property ) atau keluarga.
Seseorang atau sebuah keluarga yang pergi
membuka hutan di wilayah “territoriality”
Huta/Banua -nya untuk dijadikan areal
perladangan berhak mengklaim bahwa lahan
yang dikelolanya menjadi lahan milik pribadi
atau keluarga. Bahkan ketika orang atau
keluarga tersebut telah meninggalkan lahan
bekas ladang tersebut sehingga menjadi semak
belukar (gasgas) kembali, klaim penguasaan
terhadap lahan itu masih diakui secara sosial.
Dengan kata lain, adanya intervensi dan faktor
investasi manusia atas suatu bagian wilayah
atau sumberdaya yang pada mulanya bersifat
komunal memberi implikasi terhadap
tumbuhnya klaim penguasaan individual.
Namun demikian, klaim penguasaan individual itu tidak serta merta berlaku bagi
penduduk Huta/Banua yang ingin membuka
hutan di luar wilayahnya. Bagi penduduk yang
datang dari luar, ada ketentuan adat yang
mengatur cara mereka mendapat hak atau izin
untuk mendapatkan tanah. Untuk mendapatkan
izin atau hak mengelola lahan di huta lain,
seseorang, sebuah keluarga atau sebuah
kelompok keluarga, harus mendapatkan izin
terlebih dahulu dari raja dan lembaga
kepemimpinan di Huta/Banua tujuan. Biasanya
mereka juga harus terlebih dahulu mencari
248
kerabat atau “kahanggi” semarga di huta
tersebut sebagai penanda bahwa mereka bisa
masuk menjadi warga komunitas huta tersebut.
Jika tidak ada keluarga yang semarga di huta
tersebut, mereka diharuskan mencari “kahanggi
sangkotan” atau “fictive kinship” yang bisa
dilakukan melalui suatu prosedur adat tertentu.
Dengan adanya jalinan quasi-kekerabatan
tersebut, mereka juga dapat diberikan izin untuk
membuka hutan di sebuah Huta/Banua. Tetapi
hak yang mereka peroleh hanya bersifat hak
pakai (hak guna), bukan hak milik pribadi
(privat), dan karena itu yang bersangkutan
tidak berhak memindah-tangankan sumberdaya
tersebut kepada orang lain tanpa seizin raja
huta. Jika anggota keluarga tersebut pindah
kembali, atau tidak berketurunan menurut adat
patrilineal, maka hak penguasaan terhadap
tanah dan sumberdaya tersebut secara
otomatis kembali kepada komunitas huta, dan
pemanfaatan lanjutnya berada di bawah
pengawasan raja. Lahan yang demikian dalam
terminologi hukum adat Angkola/Mandailing
dinamakan “salipi na tartar”.
Pembagian dan penguasaan wilayah di
masa sekarang
Berlakunya sistem hukum nasional yang
antara lain mengatur batasan-batasan wilayah
administratif desa, kecamatan, kabupaten, dan
seterusnya, membawa implikasi yang cukup
besar terhadap tatanan penguasaan wilayah
yang ada sebelumnya. Undang-Undang No. 5/
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah dan Undang-Undang No. 5/1979
tentang Pemerintahan Desa merupakan produk
hukum yang mengubah secara mendasar
struktur kelembagaan wilayah yang ada di
daerah Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal, seperti halnya juga yang terjadi atas semua
struktur kelembagaan lokal yang ada di daerahdaerah lain. Struktur huta, banua dan janjian
menjadi kehilangan otoritas, dan hanya tersisa
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
pada urusan-urusan upacara adat yang bersifat
seremonial. Sedangkan prinsip-prinsip hukum
adat yang mengatur pembagian wilayah dan
penguasaannya menjadi tumpul dan tidak
difungsikan lagi. Meskipun hak-hak asal-usul
dan tanah ulayat “diakui” dalam UndangUndang No. 5/1960 tentang Pokok-Pokok
Hukum Agraria, dalam kenyataan di lapangan
hak tersebut terus dikebiri, sehingga tidak bisa
digunakan sebagai tempat berlindung bagi
komunitas-komunitas lokal dalam mengatur
tanah ulayat mereka.
Satuan wilayah otonom yang disebut
Banua dan juga persekutuan yang dikenal
dengan nama Janjian hilang karena penerapan
sistem hukum yang baru tadi. Satuan-satuan
yang lebih kecil, yaitu huta, lumban , dll,
dikonversi menjadi satuan wilayah administratif pemerintahan paling rendah dan diberi label
nasional: desa. “Huta” yang dikonversi menjadi
“desa” tidak lagi menjadi bagian dari sebuah
“Banua” atau “Janjian”, melainkan menjadi
bagian dari sebuah wilayah administratif lebih
besar yang bernama kecamatan. Satuan wilayah
yang diakui menjadi wilayah sebuah desa
kurang lebih sebangun dengan wilayah “Huta”
dengan batasan “tenure”-nya. Artinya, yang
diakui sebagai wilayah sebuah desa adalah
mencakup wilayah yang sudah diusahakan
oleh manusia-manusia yang menjadi penduduk
desa tersebut. Akibatnya, wilayah akses bagi
komunitas desa menyempit, karena klaim
wilayah “territoriality” tidak efektif lagi.
Lalu siapa yang kemudian menguasai wilayah
“territoriality” yang pada masa lalu berada di
bawah wewenang sebuah Banua atau persekutuan Janjian? Undang-undang Agraria
(UU No. 5/1960) menyatakan bahwa wilayahwilayah yang belum diusahakan oleh penduduk
dikategorikan sebagai tanah negara, dan negara
berhak untuk mengatur pemanfaatannya.
Dengan demikian, wilayah yang menurut konsep
komunitas lokal di daerah Angkola/Mandailing
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
dikategorikan sebagai tanah ulayat (klaim territoriality), dan berada di dalam persekutuan
hukum adat yang disebut Janjian, menurut
sistem hukum nasional dikategorikan sebagai
tanah yang dikuasai oleh negara. Karena negara
berhak mengatur sendiri pemanfaatan tanahtanah yang demikian, maka komunitas lokal
menjadi kehilangan otoritas untuk memanfaatkannya. Bentuk-bentuk pengaturan atau
pemanfaatan yang dilakukan oleh negara antara
lain adalah dengan memberikan hak pengusahaan hutan (HPH), pembukaan lahan perkebunan
dan lain sebagainya. Kemampuan warga
komunitas lokal untuk menanamkan investasi di
wilayah-wilayah periferal seperti itu sudah tentu
kalah dengan investasi yang dimiliki oleh
pengusaha-pengusaha HPH maupun perkebunan. Perubahan yang terjadi dalam sistem
penguasaan wilayah dan sumberdaya dengan
adanya sistem hukum nasional itu dapat dilihat
dalam gambar 3 dan 4.
Dengan perubahan struktur pembagian dan
penguasaan wilayah tersebut maka Banua
(kerajaan-kerajaan) yang ada di Angkola/
Mandailing tempo dulu dikonversi dan dibagibagi menjadi sejumlah desa. Sebagai contoh,
wilayah yang pada masa lalu termasuk ke dalam
struktur Banua Manambin (di Mandailing Julu)
telah dimekarkan menjadi sekitar 20-an desa.
Sebagian besar wilayah desa-desa itu sudah
berbatasan satu sama lain pada garis “tenure”,
bukan lagi berbatasan secara “territoriality”.
Fenomena yang sama juga ditemukan di daerah
Angkola dan Padang Lawas. Klaim territoriality
(hak ulayat) yang hidup dalam konsepsi warga
komunitas setempat berbenturan dengan fakta
bahwa batas-batas desa mereka di masa
sekarang hanya sekedar batas penguasaan
“tenure”. Akibatnya, lahan-lahan hutan yang
secara tradisional menjadi hak mereka, tidak bisa
lagi diklaim sepihak karena terhadap lahan
tersebut telah dikenakan hak lain oleh otoritas
negara atau “otoritas lain”. Seperti kita ketahui,
249
Gambar 3
Klaim “tenure” dan “territoriality” di Tapsel/Mandailing Natal
(1)
(2)
A
B
C
D
E
Keterangan:
(1). Huta X; ( 2). Huta Y; (A) Pemukiman penduduk; (B) dan (C), areal persawahan dan ladang
(wilayah “tenure”); (D) dan (E), kawasan hutan yang belum diusahakan (wilayah “territoriality”)
Gambar 4
Perubahan sistem pembagian wilayah
BANUA
Dusun
Pagaran
HUTA
DESA
Banjar
Lumban
250
Dusun
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
wilayah “abu-abu” tersebut akhirnya menjadi
wilayah rawan konflik dan menjadi objek
spekulasi dan eksploitasi. Kasus-kasus konflik
yang timbul akibat perbedaan sistem hukum
yang digunakan dalam mengelola lahan-lahan
“tak bertuan” tersebut sudah mulai marak di
beberapa tempat di Kabupaten Tapanuli
Selatan. Salah satu contoh adalah kasus konflik
berdarah yang sudah cukup lama terjadi di
Kecamatan Barumun Tengah, antara warga
Desa Ujung Gading dan sekitarnya dengan
perusahaan perkebunan PT. Torganda yang
membuka lahan perkebunan kelapa sawit di
daerah itu.12
Menumbuhkan kembali kearifan lokal
Di masa lalu, bentuk kearifan lingkungan
dalam pengelolaan sumberdaya alam yang
dikenal oleh komunitas Angkola/Mandailing
biasanya dikemas dalam terminologi pantangan
(bercorak religio-magis) dan rarangan/
larangan (aturan hukum adat). Meskipun
memiliki landasan ideologis yang agak berbeda,
namun keduanya memberi efek yang positif
bagi konservasi sumberdaya alam. Adanya
kepercayaan tentang tempat “naborgo-borgo”
dan pantangan untuk menebang kayu tertentu
misalnya, fungsional untuk membatasi perilaku
eksploitatif warga komunitas. Di sisi lain,
pengaturan hukum adat mengenai pembagian
dan penguasaan wilayah teritorial maupun
12
Salah satu sebab yang memicu konflik tersebut adalah
anggapan di tengah masyarakat bahwa perusahaan
perkebunan tadi telah mengambil secara tidak sah lahanlahan hutan yang berada di wilayah mereka. Proses
pelepasan tanah tersebut kepada pihak perkebunan
seringkali menggunakan jalur formal Kepala Desa
dengan beberapa oknum “tokoh adat”, yang menjual
hutan-hutan di wilayah mereka kepada pihak
pengusaha. Secara formal, barangkali prosedur itu tidak
mengandung kekeliruan jika dilihat dari sudut pandang
hukum nasional. Namun, masyarakat masih
menggunakan sistem hukum adat atau konsepsi budaya
mereka dalam hal mendefinisikan penguasaan wilayahwilayah yang ada di sekitarnya.
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
pemanfaatan sumberdaya yang ada di dalamnya juga efektif untuk mengantisipasi
eksploitasi lintas batas. Akan tetapi, sekarang
ini landasan ideologis dan struktur sosiopolitis
yang membingkai hubungan antara manusia
(komunitas) dengan hutan (sumberdaya alam)
sudah berubah, yang secara langsung atau
tidak langsung membawa efek pelemahan
kemampuan komunitas lokal untuk mengembangkan nuansa kearifan.
Kearifan lingkungan yang tumbuh dan
hidup di masa lalu bukanlah sesuatu yang turun
dari langit, melainkan hasil kreasi budaya dari
komunitas tempatan yang lahir sebagai bentuk
adaptasi mereka terhadap kondisi lingkungan
alam dan lingkungan sosial yang eksis pada
masa itu. Perlu diingat bahwa setiap komunitas
sesungguhnya tak pernah berhenti melakukan
rekayasa dan kreasi budaya, karena dengan
berhenti mereka akan mati. Masalah pokoknya
sekarang: bagaimana komunitas lokal
merekayasa dan menumbuhkan kreasi budaya
(khususnya dalam konteks pengelolaan
lingkungan) yang arif dan berpihak pada
kelestarian lingkungan? Menurut hemat saya,
bentuk-bentuk kearifan lama tidak serta merta
bisa direplikasi dalam konteks waktu, kondisi
lingkungan, dan kerangka sosial-politik yang
berlaku sekarang. Acuan ideologis dan
bangunan struktur sosial-ekonomi-politis
bahkan kerangka hukum sudah mengalami
banyak perubahan, sehingga yang diperlukan
sekarang ini adalah perumusan ulang tentang
hubungan yang layak antara komunitas (dan
para stakeholder lain) dengan lingkungan
alamnya.
Secara konseptual, kerangka struktural
yang bisa digunakan untuk memfasilitasi
penataan ulang hubungan itu misalnya dengan
mengadopsi model partisipatif yang populer
akhir-akhir ini, seperti CFM/Collaborative
Forest Management (lihat Mark Poffenberger
1990) atau JFM/ Joint Forest Management
251
(Madhu Sarin 1993), maupun pola-pola yang
termasuk kategori CBFM/Community-Based
Forest Management lainnya. Jika kerangka
strukturalnya sudah disepakati oleh semua
stakeholder, agar dapat berjalan baik kemudian
harus dilumasi dengan modal sosial (social
capital), yang beberapa komponen intinya
adalah hubungan saling percaya (trust ),
kemampuan membangun pranata (institutions)
dan partisipasi yang setara dalam sebuah
jaringan sosial (social network ). Kerangka
struktural yang digunakan dapat berupa desa,
gabungan desa, komunitas tertentu, atau
kerangka “huta” atau “banua” yang lama (jika
mungkin untuk direvitalisasi); atau bahkan
dalam bentuk dewan atau komite yang
melibatkan berbagai unsur stakeholder.
Ada dua contoh kasus yang bisa dijadikan
pelajaran untuk bisa menumbuhkan kembali
kearifan komunitas lokal dalam pengelolaan
sumberdaya alam. Dalam konteks pengelolaan
sumberdaya hutan (hutan lindung), pengalaman
P3AE-UI yang bekerja di kampung-kampung
sekitar kawasan hutan Register 19, Gunung
Betung, Lampung dalam memfasilitasi proses
belajar bersama untuk menyelenggarakan tertib
pengelolaan kawasan hutan menarik untuk
diikuti. Sejumlah pelatihan yang melibatkan
komunitas kampung-kampung hutan, instansi
kehutanan, LSM, kalangan kampus, dan pihakpihak lainnya telah membuka sekat-sekat yang
selama ini terbangun kuat antar berbagai stakeholder , sehingga mulai terbangun saling
kesepahaman mengenai hal yang sebaiknya
dilakukan bersama dalam konteks pengelolaan
kawasan hutan lindung Register 19 tersebut.
Dari proses itu lahirlah kesepakatankesepakatan yang mengikat semua pihak dan
dijalankan bersama. Ketika itu, pada hakekatnya
para stakeholder sedang berada dalam jalur
membangun kembali kearifan baru yang
kontekstual dengan keadaan sekarang.
252
Contoh lainnya ialah sistem pengelolaan
lubuk larangan yang berkembang pesat di
hampir 70-an desa di Kabupatan Mandailing
Natal dan (sebagian) Tapanuli Selatan sejak
1980-an. Konsep “rarangan” yang ada dalam
khasanah budaya Angkola/Mandailing telah
ditransformasikan ke dalam bentuk baru yang
lebih rasional oleh komunitas-komunitas desa
di sepanjang aliran Sungai Batang Gadis dan
Sungai Batang Natal; yang memperlihatkan
kemampuan komunitas setempat membangun
sistem pengelolaan sumberdaya alam yang arif
secara ekologis, ekonomis dan sosial budaya.
Kata kunci dari sukses sistem pengelolaan
lubuk larangan tersebut adalah kemampuan
komunitas setempat membangun dan mendayagunakan modal sosial di antara mereka.13 Untuk
bisa menumbuhkan dan membangun suatu
kearifan dalam pengelolaan sumberdaya alam
seperti kasus lubuk larangan, diperlukan paling sedikit delapan langkah berikut: (1)
menetapkan sumberdaya yang kongkrit sebagai
subjek pengelolaan, yang bersifat aksesibel
bagi suatu komunitas; (2) mengembangkan ide
atau gagasan untuk pengelolaan sumberdaya
tadi melalui proses partisipatif dan kemudian
menetapkan sebuah pilihan cara mengatasi
masalah; (3) menemukan konsensus di antara
para pihak (stakeholder) untuk mendapatkan
komitmen dan dukungan atas pengelolaan
sumberdaya; (4) merumuskan tujuan pengelolaan, yang mungkin untuk dicapai dan dapat
memenuhi kebutuhan bersama warga kolektif;
(5) menetapkan jaringan sosial atau satuan
sosial yang menjadi konstituen pengelolaan,
13
Gambaran lebih rinci mengenai sistem pengelolaan
lubuk larangan lihat laporan Zulkifli Lubis (2001)
“Resistensi, Persistensi dan Model Transmisi Modal
Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Milik Bersama:
Kajian Antropologis Terhadap Pengelolaan Lubuk
Larangan di Sumatera Utara. Laporan penelitian Riset
Unggulan Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK),
Kantor Menegristek RI.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
yaitu mereka yang akan menjadi partisipan aktif
dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan
hasilnya; (6) merajut pranata/institusi, baik
berupa sistem nilai bersama, norma-norma dan
sanksi-sanksi maupun aturan-aturan yang lebih
teknis; (7) membangun hubungan saling
percaya (trust relation), berlandaskan adanya
jaminan keadilan bagi semua pihak; (8)
melakukan siklus pendayagunaan modal sosial
dengan membangun kekompakan atau
kesatupaduan (cohesiveness) di kalangan
jaringan sosial yang menjadi konstituen,
meneguhkan pelaksanaan institusi, memupuk
kepercayaan, dan seterusnya secara berulang/
siklikal.
Proses penumbuhan kearifan baru berbasis
pendayagunaan modal sosial seperti disebutkan di atas sudah tentu memerlukan dukungan
politik berupa payung kebijakan yang menjadi
kerangka acuan bersama bagi semua stakeholder. Dalam contoh sistem pengelolaan lubuk
larangan, Pemerintah Kabupaten Tapanuli
Selatan (ketika itu termasuk Mandailing Natal)
membuat payung kebijakan berupa Peraturan
Daerah No. 19/1988 tentang Pengelolaan Lubuk
Larangan sebagai payung bagi sistem
pengelolaan yang sudah dikembangkan lebih
dahulu oleh puluhan komunitas desa sejak awal
1980-an. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan di Tapanuli Selatan khususnya ke
depan, secara teoritik akan lebih mudah dan
lebih memungkinkan untuk mengembangkan
sistem pengelolaan yang bercorak kolaboratif
dengan berlakunya undang-undang otonomi
daerah (UU No. 22/1999). Terlebih lagi karena
undang-undang tersebut memberi peluang
kepada pemerintah daerah untuk menata
daerahnya dengan memperhatikan karakteristik
budaya yang khas. Kalau kita semua sepakat
untuk menjadikan aspek budaya sebagai satu
variabel yang penting dalam penataan ulang
sistem pengelolaan sumberdaya alam di daerah
ini, niscaya kearifan lokal yang (pernah) ada
akan lebih mudah dikembangkan kembali.
Referensi
Chambers, R. dan P. Richards
1995 “Preface”, dalam D.M. Warren, L.J. Slikkerveer dan D. Brokensha (peny.) The Cultural dimension of Development: Indigenous Knowledge Systems. London:
Intemediate Technology Publications. Hlm. xiii-xiv.
van Dijk, H.
1996 “Land Tenure, Territoriality, and Ecological Instability: A Sahelian Case Study”, dalam
J. Spiertz dan M.K. Wider (eds) The Role of Law in Natural Resource Management.
The Hague: VUGA Uitgeverij. Hlm. 17–45.
Dobbin, C.
1992 Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang sedang Berubah, Sumatera Tengah
1784-1847. Terjemahan Lilian Tedjasudhana. Jakarta: INIS.
Lubis, Zulkifli. B.
1998 “Manusia dan Hutan: Peluang ke Arah Pengelolaan Hutan Secara Kolaboratif”, Jurnal
Wawasan No 9, Juni.
2000 Kajian tentang Penguasaan Sumberdaya Alam di Kawasan Hulu DAS Sungai Batang
Gadis Kabupaten Mandailing Natal. Laporan penelitian. Tidak dipublikasikan.
Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal
253
2001
Resistensi, Persistensi dan Model Transmisi Modal Sosial dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam Milik Bersama: Kajian Antropologis Terhadap Pengelolaan Lubuk
Larangan di Sumatera Utara. Laporan penelitian Riset Unggulan Kemasyarakatan dan
Kemanusiaan (RUKK), Kantor Meneg Ristek RI.
Lubis, Zainuddin
1988 Namora Natoras: Pemimpin Tradisional Mandailing. Skripsi sarjana antropologi. Tidak
dipublikasikan. Medan: Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Pandapotan, N.
2001 Mandailing Natal: Peluang, Tantangan dan Harapan . Medan: Yayasan
Parsarimpunan Nitondi.
Poffenberger, M.
1990 Keepers of the Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia. Manila:
Ateneo de Manila University Press.
Sarin, M.
1993 Joint Forest Management. Working Paper No. 14. New Delhi: The Ford Foundation.
Zakaria, Y.R.
1994 Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta: Penerbit WALHI.
254
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005