DEAGREGASI BAHAYA GEMPABUMI UNTUK DAERAH

Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

DEAGREGASI BAHAYA GEMPABUMI
UNTUK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Bambang Sunardi*, Sulastri
Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG, Jl. Angkasa 1 No. 2 Kemayoran, Jakarta Pusat 10720
Email: b.sunardi@gmail.com, sulastri@bmkg.go.id
*Corresponding author: b.sunardi@gmail.com
ABSTRAK
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu daerah rawan bencana gempabumi. Jumlah
penduduk yang banyak menjadikan DIY memiliki tingkat resiko yang tinggi terhadap gempabumi, sehingga
manajemen bencana gempabumi menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Salah satu bagian penting
dalam manajemen bencana adalah mitigasi bencana. Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh peta
deagregasi bahaya gempabumi sebagai salah satu upaya mitigasi bencana gempabumi di DIY. Deagregasi
bahaya gempabumi diperlukan untuk memperkirakan gempabumi penentu baik magnitude (M) maupun
jarak (R) yang memberikan kontribusi terbesar dalam percepatan maksimum yang dihasilkan. Deagregasi
untuk percepatan tanah maksimum (PGA), spektra percepatan 0,2 detik dan 1 detik di DIY dilakukan untuk
probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun (periode ulang gempabumi 2.475 tahun). Secara umum tahapan
penelitian meliputi pengumpulan dan pengolahan data kegempaan, pemodelan sumber gempabumi,
pemilihan fungsi atenuasi, pengelolaan unsur ketidakpastian, perhitungan bahaya gempabumi dengan

Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA) serta analisis deagregasi terhadap hasil PSHA. Hasil
deagregasi pada PGA, nilai mean magnitude (M) bervariasi dari 6.8 - 7.2, sedangkan nilai mean distance (R)
bervariasi dari 7 - 152 km. Pada periode spektra T= 0.2 detik, M bervariasi dari 6.7 - 7, sedangkan R
bervariasi dari 1.8 - 150 km. Pada periode spektra T= 1 detik, M bervariasi dari 6.7 - 7.3, sedangkan R
bervariasi dari 1.93 - 156 km. Hampir di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta dominan dipengaruhi oleh
gempabumi yang bersumber dari Sesar Opak kecuali sebagian daerah di tenggara Gunung Kidul yang lebih
dominan dipengaruhi gempabumi dari zona subduksi. Secara umum, daerah yang jauh dari sesar aktif
dominan dipengaruhi gempabumi dari zona subduksi, sebaliknya daerah yang dekat dengan sesar aktif
dominan dipengaruhi gempabumi yang bersumber dari sesar tersebut.
KATA KUNCI: Deagregasi, bahaya gempabumi, manajemen bencana, PSHA

1. PENDAHULUAN
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu daerah rawan bencana gempabumi.
Hingga sekarang, sebagian besar penduduk DIY tidak dapat melupakan gempabumi merusak yang terjadi
pada 27 Mei 2006 pada pukul 5:54 WIB, dengan magnitude Mw = 6.3. Gempabumi tersebut telah
menyebabkan 4.680 orang meninggal dunia dan 19.897 orang luka - luka di Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY). Gempabumi tersebut juga menyebabkan 96.360 rumah rata dengan tanah, 117.182 rumah rusak berat
serta 156.568 rumah rusak ringan di DIY. Dari jumlah ini, kerusakan rumah paling banyak diderita oleh
Kabupaten Bantul (Haifani, 2008). Gempabumi 27 Mei 2006 juga menyebabkan fasilitas umum seperti
rumah sakit, jalur kereta api dan bandara mengalami kerusakan. Terjadi pengalihan rute penerbangan dari

bandara Yogyakarta ke bandara Surakarta maupun Semarang, selain itu fasilitas air bersih, listrik, dan
komunikasi juga terganggu (Gatignon et al., 2010). Menurut Raharjo et al., (2007), kerusakan bangunan
akibat gempabumi Yogyakarta paling banyak terjadi pada bangunan yang tidak mengikuti aturan building
code dan tidak didampingi oleh ahli ketika membangun.
Jumlah penduduk yang banyak menjadikan DIY memiliki tingkat resiko yang tinggi terhadap
gempabumi, sehingga manajemen bencana gempabumi menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Salah
satu bagian penting dalam manajemen bencana adalah mitigasi bencana. Mitigasi adalah beberapa tindakan
yang seharusnya diambil sebelum terjadinya suatu bencana yang mana hal itu terkait dengan tindakan secara
struktural dan non struktural serta dalam rangka pengurangan resiko bencana yang terintegrasi dengan
menggunakan sistem pengembangan yang berkelanjutan. Pemahaman akan karakteristik sumber bencana
sangat penting dilakukan dalam rangka mengestimasi potensi bencana yang mungkin ditimbulkan serta
untuk mengurangi dampak bencana terhadap kehidupan di sekitarnya dan fasilitas publik yang ada di lokasi
tersebut (Haifani, 2008). Salah satu upaya mitigasi bencana gempabumi adalah dengan

187 |

Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

memperhitungkankarakteristik sumber bencana gempabumi salah satunya adalah pembuatan peta deagregasi

bahaya gempabumi. Peta deagregasi memberikan perkiraan gempabumi penentu baik magnitude (M)
maupun jarak (R) yang memberikan kontribusi terbesar dalam percepatan maksimum yang dihasilkan. Peta
deagregasi juga bermanfaat dalam menentukan ground motion sintetik dan respon spektra yang merupakan
salah satu komponen utama yang bermanfaat dalam penyusunan peraturan kegempaan/ building code.
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh peta deagregasi bahaya gempabumi sebagai salah satu upaya
mitigasi bencana gempabumi di DIY. Deagregasi untuk percepatan tanah maksimum (PGA), spektra
percepatan 0,2 detik dan 1 detik di DIY dilakukan untuk probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun (periode
ulang gempabumi 2.475 tahun).
Penelitian tentang deagregasi bahaya gempabumi masih jarang dilakukan. Beberapa penelitian
tentang deagregasi bahaya gempabumi yang telah dilakukan masih dalam skala global (untuk wilayah
Indonesia), diantaranya adalah Asrurifak et al., (2012) pada periode ulang gempabumi 2.475 tahun, Fauzi
(2012) pada periode ulang gempabumi 475 dan 2.475 tahun dan Makrup et al., (2010) pada periode ulang
gempabumi 475 tahun. Sementara itu, peta bahaya gempabumi untuk Pulau Jawa telah dibuat oleh Sunardi
(2013) pada periode ulang gempabumi 2.475 tahun, dan untuk skala propinsi telah dibuat oleh Delfebriyadi
(2011) untuk propinsi Sumatera Barat pada periode ulang bahaya gempabumi 500 tahun.
2. DAERAH PENELITIAN
Daerah penelitian adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan posisi geografis 7.5° - 8.2°
Lintang Selatan dan 110° - 110.9° Bujur Timur sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1. Secara umum,
fisiografi daerah Yogyakarta bisa dibedakan menjadi dua, yaitu Dataran Yogyakarta dan Pegunungan
Selatan Yogyakarta. Dataran Yogyakarta merupakan daerah datar yang terdiri dari endapan gunung api

Merapi Muda yang sebagian besar tersusun oleh alluvial, tuff, breksi agglomerate, dan aliran lava, yang
terdapat di selatan Gunung Merapi hingga pantai selatan Yogyakarta. Pegunungan Selatan Yogyakarta,
merupakan daerah pegunungan yang terdiri dari batuan gunung api berumur Oligosen - Miosen dan batu
gamping berumur Miosen - Pliosen. Struktur geologi berupa sesar merupakan sesar yang membentuk daerah
depresi Yogyakarta yang dibatasi tinggian di bagian barat (Kulon Progo) dan timur (Pegunungan Selatan
Wonosari). Kelurusan sesar di wilayah Yogyakarta terdiri dari tiga sistem arah sesar, yaitu: Sistem Sesar
Barat - Timur, yaitu sistem patahan yang berkembang di daerah pegunungan yang menjadi tinggian
pembatas zona depresi Yogyakarta; Sistem Sesar Barat Laut - Tenggara, yaitu sistem sesar yang membatasi
zona depresi Yogyakarta dan tinggian Kulon Progo, dan Sistem Sesar Timurlaut - Baratdaya, yaitu sistem
sesar yang membatasi zona depresi Yogyakarta dan tinggian Wonosari, berarah relatif mengikuti Sungai
Opak sehingga seringkali dikenal sebagai Sesar Opak (Putranto, 2007).
Daerah Istimewa Yogyakarta berhadapan langsung dengan zona subduksi selatan Jawa. Zona
subduksi dibagi menjadi zona megathrust / interplate dan zona benioff / intraslab . Zona megathrust berada
pada kedalaman kurang dari 50 km dan zona benioff pada kedalaman lebih dari 50 km (Sunardi, 2013).
Keberadaan sistem sesar serta letaknya yang berhadapan langsung dengan zona subduksi selatan Jawa,
menjadikan wilayah Yogyakarta rawan terhadap ancaman bahaya gempabumi. Gempabumi Yogyakarta, 27
Mei 2006 merupakan salah satu contoh gempabumi merusak yang terjadi di wilayah ini.

Gambar 1. Daerah penelitian.


188 |

Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

3. DATA DAN METODE
3.1. Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kejadian gempabumi yang pernah terjadi di
sekitar wilayah DIY dari tahun 1973 hingga 2014. Data kejadian gempabumi ini dikompilasi dari berbagai
sumber, yaitu katalog gempabumi National Earthquake Information Center U.S. GeologicalSurvey (NEIC USGS) dan katalog gempabumi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Data kegempaan
yang digunakan meliputi wilayah dengan radius sekitar 500 km dari Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan
magnitude minimum Mw 5 dan kedalaman maksimum 300 km.
3.2. Metode

Secara umum, tahapan penelitian meliputi pengumpulan dan pengolahan data kegempaan,
pemodelan sumber gempabumi, pemilihan fungsi atenuasi, pengelolaan unsur ketidakpastian, perhitungan
bahaya gempabumi dengan Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA) serta analisis deagregasi terhadap
hasil PSHA. Tahapan penelitian yang dilakukan terangkum dalam diagram alir penelitian pada Gambar 2.
Data kegempaan sebagaimana telah disebutkan diatas diolah untuk meminimalkan kesalahan

sistematis (bias). Untuk mendapatkan hasil yang dapat diandalkan, perlu dilakukan tiga hal berikut ini, yaitu
konversi skala magnitude, pemisahan gempabumi utama dari gempabumi ikutan, dan analisis kelengkapan
data gempabumi Mc (Magnitude completeness). Pemodelan sumber gempabumi dapat dilakukan dengan
melakukan interpretasi terhadap kondisi geologi, geofisika, dan seismotektonik berdasarkan katalog kejadian
gempabumi. Model sumber gempabumi untuk wilayah Jawa bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu subduksi
megathrust, subduksi benioff, dan shallow crustal (sesar). Pemodelan sumber gempabumi untuk daerah
penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Selain itu, perlu dilakukan karakterisasi sumber gempabumi, yaitu
reccurence rate, nilai-b, nilai-a, magnitude maksimum dan slip rate. Pada penelitian ini, reccurence rate
dan nilai-b diestimasi dengan metode maximum likelihood (Aki, 1965; Utsu, 1965) dengan bantuan software
ZMAP, sementara magnitude maksimum dan slip rate yang digunakan mengacu pada hasil penelitian penelitian sebelumnya, yaitu Asrurifak (2010), Firmansyah dan Irsyam et al., (2000) serta Kertapati (1999).

Gambar 2. Diagram alir penelitian.

189 |

Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

Gambar 3. Pemodelan sumber gempabumi untuk daerah penelitian. Gempabumi yang digunakan untuk
pemodelan terletak dalam lingkaran kuning, dengan radius 500 km dari kota Yogyakarta (Sumber: Sunardi,

2013 dengan modifikasi).
Langkah selanjutnya adalah pemilihan fungsi atenuasi. Sampai sekarang, belum tersedia fungsi
atenuasi yang diturunkan berdasarkan data - data gempabumi di wilayah Jawa. Fungsi atenuasi yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah Boore - Atkinson NGA (Boore dan Atkinson, 2006) dan Sadigh
(Sadigh et al., 1997) untuk gempabumi yang bersumber pada sesar di darat, serta Geomatrix subduction
(Youngs et al., 1997) dan Atkinson - Boore BC (Atkinson dan Boore, 2003) untuk gempabumi yang
bersumber pada subduksi, baik sumber gempabumi megathrust maupun benioff.
Menurut McGuire (2005), unsur ketidakpastian meliputi ketidakpastian aleatory (aleatory
certainty) yang merupakan ketidakpastian probabilitas dimana ketidakpastian ini melekat dalam fenomena
acak (lokasi gempabumi di masa yang akan datang, magnitude gempabumi, dan detail fault rupture ) serta
ketidakpastian epistemic (epistemic uncertainty) yang merupakan ketidakpastian yang dihasilkan karena
kurangnya pengetahuan tentang beberapa model atau parameter (distribusi parameter sumber gempabumi,
geometri zona seismotektonik dan seismogenik serta nilai median gerakan tanah yang memberikan properti
sumber). Penggunaan logic tree merupakan hal yang dapat memberikan kerangka yang lebih sesuai untuk
melakukan pengelolaan terhadap model ketidakpastian ini (Makrup, 2009). Logic tree merupakan metode
untuk memperhitungkan seluruh ketidakpastian dalam menentukan parameter - parameter dalam PSHA,
yaitu pemilihan recurrence model, fungsi atenuasi, recurrence rate, dan magnitude maksimum. Logic tree
awalnya diperkenalkan oleh Kulkarni et. al., (1984) dan dikembangkan oleh Coppersmith dan Youngs
(1986). Logic tree yang dipakai dalam penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 4 untuk sumber gempabumi
subduksi dan Gambar 5 untuk sumber gempabumi sesar.


Gambar 4. Logic tree untuk sumber gempabumi subduksi.

190 |

Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

Gambar 5. Logic tree untuk sumber gempabumi shallow crustal.
Analisis bahaya gempabumi dilakukan dengan metode Probabilistic Seismic Hazard Analysis
(PSHA). PSHA pertama kali diperkenalkan oleh Cornell (1968) dan terus berkembang hingga sekarang.
Analisis PSHA dilakukan dengan bantuan software SR Model dan dibatasi untuk probabilitas terlampaui 2%
dalam 50 tahun. Kurva bahaya gempabumi dibuat dengan menggunakan konsep probabilitas total,
kemungkinan parameter X melampaui satu nilai x tertentu, diberikan dalam bentuk integrasi dalam
keseluruhan rentang magnitude dan jarak untuk rentang waktu seperti pada persamaan berikut (Mc.Guire,
1976) :
|

∫ ∫


(1)

Proses berikutnya adalah deagregasi terhadap hasil Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA).
Deagregasi dilakukan dengan memisahkan suku - suku yang berkaitan dengan magnitude dan jarak dari
integrasi persamaan (1).
Laju tahunan rata - rata kejadian sebagai fungsi magnitude saja diekspresikan pada persamaan berikut
(Kramer, 1996):
(

|


Laju tahunan rata - rata kejadian sebagai fungsi jarak dari site ke sumber :

|


Laju tahunan rata - rata kejadian sebagai fungsi magnitude dan jarak dari site ke sumber :
(


(
Laju tahunan rata - rata untuk sumber ke – i dan untuk semua sumber :


Deagregasi magnitude dan jarak untuk sumber ke – i :




(

|

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

(7)

(



(8)

Deagregasi magnitude dan jarak untuk semua sumber :




191 |

(9)
(10)

Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Peta deagregasi bahaya gempabumi bermanfaat dalam mengidentifikasi sumber gempabumi yang
memberikan kontribusi terbesar terhadap bahaya gempabumi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Deagregasi juga bermanfaat dalam menentukan sintetis ground motion dengan respon spektra yang
menggambarkan satu kejadian gempabumi desain pada periode ulang yang ditinjau.
Hasil deagregasi bahaya gempabumi untuk satu titik koordinat di Kota Yogyakarta pada periode
spektra percepatan T = 0.2 detik dan T = 1 detik telah dibuat oleh Sunardi (2013) dalam bentuk tabel yang
berisi magnitude, jarak, dan densitas probabilitas sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6. Hasil analisis
menunjukkan nilai mean magnitude (M) dan mean jarak (R), yang merupakan titik berat dari setiap
kontribusi masing - masing sumber gempabumi di Kota Yogyakarta. Pada T = 0.2 detik, probabilitas
terbesar senilai 0.40, untuk gempabumi dengan magnitude 6.78 dan jarak sekitar 15 km. Sedangkan pada T
= 1 detik, probabilitas terbesar senilai 0.48, untuk gempabumi dengan magnitude 6.75 dan jarak sekitar 17
km. Kedua hasil diatas menunjukkan jarak dari sumber gempabumi yang dominan adalah sangat dekat.
Kemungkinan besar sumber gempabumi yang dominan tersebut adalah sesar Opak, karena sesar ini
diketahui sebagai sesar aktif terdekat dengan Kota Yogyakarta. Sunardi (2013) membuat peta deagregasi
secara global untuk wilayah Jawa. Penelitian ini menyempurnakan penelitian sebelumnya dengan membuat
peta deagregasi bahaya gempabumi secara lebih detail untuk keseluruhan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Deagregasi dilakukan terhadap bahaya gempabumi pada probabilitas terlampaui 2% dalam 50
tahun (periode ulang gempabumi 2.475 tahun). Peta deagregasi bahaya gempabumi terdiri atas deagregasi
magnitude (M) dan deagregasi jarak sumber gempabumi (R) masing - masing dibuat pada PGA, spektra
percepatan 0.2 detik dan spektra percepatan 1 detik. Gambar 7 – Gambar 9 menunjukkan hasil deagregasi
pada PGA, spektra percepatan 0,2 detik serta 1 detik. Hasil deagregasi pada PGA, nilai mean magnitude
(M) bervariasi dari 6.8 - 7.2, sedangkan nilai mean distance (R) bervariasi dari 7 - 152 km. Pada periode
spektra T= 0.2 detik, M bervariasi dari 6.7 - 7, sedangkan R bervariasi dari 1.8 - 150 km. Pada periode
spektra T= 1 detik, meanmagnitude (M)bervariasi dari 6.7 - 7.3, sedangkan mean distance (R)bervariasi dari
1.93 - 156 km.
Hasil analisis deagregasi bahaya gempabumi menunjukkan nilai mean magnitude (M) dan mean
distance (R) di Daerah Istimewa Yogyakarta dipengaruhi oleh kontribusi terbesar dari masing-masing
sumber gempabumi. Nilai mean magnitude (M) dan mean distance (R) merupakan titik berat dari setiap
kontribusi masing-masing sumber gempabumi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk Daerah Istimewa
Yogyakarta, daerah yang jauh dari sumber gempabumi patahan (sesar) akan dominan dipengaruhi oleh
gempabumi dari zona subduksi, sedangkan daerah yang dekat dengan sumber gempabumi patahan (sesar)
otomatis akan dominan dipengaruhi oleh gempabumi yang bersumber dari sesar tersebut. Jika dicermati
lebih lanjut terlihat bahwa daerah dengan mean distance (R) yang kurang dari 10 km terletak hampir
bertepatan dengan lokasi keberadaan sesar Opak. Sumber gempabumi yang dominan untuk sebagian besar
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sumber gempabumi yang berasal dari sesar Opak. Sumber gempabumi
yang berasal dari zona subduksi hanya dominan di sebagian kecil Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di
wilayah tenggara Kabupaten Gunung Kidul.
Sebagian besar Daerah Istimewa Yogyakarta dominan dipengaruhi oleh sumber gempabumi yang
berasal dari sesar Opak. Hal ini harus menjadi perhatian mengingat gempabumi merusak 27 Mei 2006
kemarin bersumber dari zona di sekitar sesar Opak dan memiliki kemungkinan untuk terulang kembali.
Upaya mitigasi bencana gempabumi perlu ditingkatkan sehingga kerugian yang diderita akibat gempabumi
di masa depan bisa dikurangi. Salah satu upaya mitigasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil
penelitian deagregasi bahaya gempabumi untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil deagregasi bahaya
gempabumi dapat digunakan sebagai informasi untuk pemilihan data ground motion yang sesuai untuk
Daerah Istimewa Yogyakarta.

192 |

Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

Gambar 6. Hasil deagregasi bahaya gempabumi di satu titik koordinat Kota Yogyakarta, (a) pada T = 0.2
detik dan (b) pada T = 1 detik (Sunardi, 2013).

(a)

(b)

Gambar 7. Peta deagregasi (a) magnitude dan (b) jarak pada PGA untuk Daerah Istimewa Yogyakarta
(probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun).

(a)

(b)

Gambar 8. Peta deagregasi (a) magnitude dan (b) jarak pada periode spektra percepatan 0.2 detik untuk
Daerah Istimewa Yogyakarta (probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun).

193 |

Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

(a)

(b)

Gambar 9. Peta deagregasi (a) magnitude dan (b) jarak pada periode spektra percepatan 1 detik untuk
Daerah Istimewa Yogyakarta (probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun)
5. KESIMPULAN
Peta deagregasi bahaya gempabumi untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada PGA
memperlihatkan nilai meanmagnitude (M) bervariasi dari 6.8 - 7.2, sedangkan nilai mean distance (R)
bervariasi dari 7 - 152 km. Pada periode spektra T= 0.2 detik, meanmagnitude (M) bervariasi dari 6.7 - 7,
sedangkan mean distance (R) bervariasi dari 1.8 - 150 km. Pada periode spektra T= 1 detik, meanmagnitude
(M) bervariasi dari 6.7 - 7.3, sedangkan mean distance (R) bervariasi dari 1.93 - 156 km.
Hampir seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta dominan dipengaruhi oleh gempabumi yang
bersumber dari Sesar Opak kecuali sebagian daerah di tenggara Gunung Kidul yang lebih dominan
dipengaruhi gempabumi dari zona subduksi.
Secara umum, daerah yang jauh dari sesar aktif akan dominan dipengaruhi gempabumi dari zona
subduksi, sebaliknya daerah yang dekat dengan sesar aktif akan dominan dipengaruhi gempabumi yang
bersumber dari sesar tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Aki, K., (1965), Maximum Likelihood Estimate of b in Formula, Log n = a - bM and Its Confidence Limits,
Bull. Earthquake Rest. Inst., Tokyo Univ. 43, 237-239.
Asrurifak, M., (2010), Peta Respon Spektra Indonesia untuk Perencanaan Struktur Bangunan Tahan Gempa
dengan Model Sumber Tiga Dimensi dalam Analisis Probabilistik, Disertasi, Institut Teknologi
Bandung, Bandung.
Asrurifak, M., Iesyam, M., Hutapea, B. M., Mahesworo. R. P., Ridwan, M., and Aldiamar, F., (2012) Peta
Deagregasi Hazard Gempa Indonesia Untuk Periode Ulang Gempa 2475 Tahun, Prosiding
Pertemuan Ilmiah Tahunan - XVI (PIT-XVI) HATTI.
Atkinson, G . M., and Boore. D. M.(2003), Empirical Ground Motion Relations for Subduction - Zone
Earthquakes and Their Application to Cascadia and Other Region, Bulletin of the Seismological
Society of America , Vol. 93 (4), 1703-1729.
Boore, D. M., and Atkinson G. M., NGA. (2007), (Next Generation Attenuation), Ground Motion Relations
for Geometric Mean Horizontal Component of Peak and Spectral Ground Motion Parameters ,
PEER Report, Pacific Earthquake Engineering Research Center, College of Engineering University
of California, Barkeley, California, USA.
Coppersmith, K. J., and Youngs, R. R., (1986), Capturing uncertainty in probabilistic seismic hazard
asessments within intraplate tectonic environments, Proceedings of the Third U. S. National
Conference on Earthquake Engineering , Charleston, South Carolina, Vol. 1, 301-302.

194 |

Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

Cornell, C. A., (1968), Engineering Seismic Risk Analysis, Bulletin of the Seismological Society of America ,
Vol. 58, 1968.
Delfebriyadi., (2011), Deagregasi Hazard Kegempaan Provinsi Sumatera Barat, Jurnal Teknik Sipil, Vol. 18
No. 3, 217-226.
Fauzi, U. J., (2011), Peta Deagregasi Indonesia Berdasarkan Analisis Probabilitas dengan Sumber Gempa
Tiga Dimensi, Tesis, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Gatignon, A., Wassenhove, L. N. V., Charles, A., (2010), The Yogyakarta earthquake: Humanitarian relief
through IFRC's decentralized supply chain, Int. J. Production Economics 126 , 102-110.
Haifani, A. M., (2008) Manajemen Resiko Bencana Gempa Bumi (Studi Kasus Gempabumi Yogyakarta 27
Mei 2006), Seminar Nasional IV SDM Teknologi Nuklir , Yogyakarta, 25 - 26 Agustus 2008, 285294.
Irsyam, M., Sengara I. W., Adiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Natawidjaja, D. H., Kertapati, E.,
Meilano, I., Suhardjono., Asrurifak, M., dan Ridwan, M., (2010), Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi
Peta Gempa Indonesia , Bandung, 2010.
Kramer, S. L., (1996), Geotechnical Earthquake Engineering , Prentice-Hall, New Jersey.
Kertapati, E., (1999) Probabilistic Estimates of Seismic Ground-Motion Hazard in Indonesia, Prosiding
Konferensi Nasional Rekayasa Kegempaan , Bandung.
Kulkarni, R. B., Youngs, R. R., Coppersmith, K. J., (1984), Assessment of confidence intervals for result of
seismic hazard analysis, Proceedings 8th World Conference on Earthquake Engineering , San
Fransisco, Vol. 1, 263-270.
Makrup. L. L., (2009), Pengembangan Peta Deagregasi Hazard untuk Indonesia Melalui Pembuatan
Software dengan Pemodelan Sumber Gempa Tiga Dimensi , Disertasi, Institut Teknologi Bandung,
Bandung.
Makrup, L. L., Irsyam, M., Sengara, I. W., Hendriyawan., (2010), Hazard Deaggregation for Indonesia,
Jurnal Teknik Sipil, Vol. 17. No. 3 , 181-190.
McGuire, R. K., (2005), EZ Frisk version 7 manual, Risk Engineering Inc.
McGuire, R. K., (1976), FORTRAN computer program for seismic risk analysis, U.S. Geol. Surv., Open-File
Rept. 76-67.
Putranto, E. T. (2007), Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006 dan Paleoseismologi Sesar Opak, Tesis,
Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Raharjo, F., Arfiadi, Y., Lisantono, A., and Wibowo, N., (2007) Pelajaran dari gempabumi Yogyakarta 27
Mei 2006. Proceeding of Konferensi Nasional Teknik Sipil 1 (koNTekS 1). Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 307-318.
Sadigh, K., Chang, C. Y., Egan, J. A., Makdisi. F., Youngs. R.R. (1997), Attenuation Relationships for
Shallow Crustal Earthquakes Based on California Strong Motion Data, Seismological Research
Letters, Vol. 68(1), 180-189.
Sunardi, B. (2013), Peta Deagregasi Hazard Gempa Wilayah Jawa dan Rekomendasi Ground Motion di
Empat Daerah , Tesis, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Utsu, T., (1965) a Method for Determining The Value of b in a Formula Log N = a - bM Showing The
Magnitude-Frequency Relation for Earthquakes, Geophys. Bull. Hokkaido Univ.,13 , 99-103.
Youngs, R. R., Chiou, S. J., Silva. W. J., Humphrey, J. R. (1997), Strong Ground Motion Attenuation
Relationships for Subduction Zone Earthquakes, Seismological Research Letters, Vol. 68(1), 58-73.

195 |

View publication stats