BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan - Corporate Social Responsibility (CSR) - Praktik Tanggung Jawab Sosial Dan Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah Studi Pada PT Perkebunan Nusantara IV Unit Usaha Kebun Adolina, Kabupaten Deli Serd

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  

2.1. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan - Corporate Social Responsibility

(CSR)

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah komitmen perusahaan atau

  dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (Suhandri M. Putri, Schema CSR, Kompas, 4 Agustus 2007).

  Meluasnya tuntutan publik serta menguatnya kesadaran pelaku usaha untuk menjalankan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan antara lain, tampak dengan dibentuknya World Business Concil for Sustainable Development (WBCSD).

  WBSCD dalam publikasinya Making Good Business Sense mendefenisikan CSR sebagai; “Komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.”

  Kompleksitas permasalahan sosial (social problems) yang semakin rumit dalam dekade terakhir dan implementasi desentralisasi telah menempatkan CSR sebagai suatu konsep yang diharapkan mampu memberikan alternatif terobosan baru dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Sejarah pembangunan ekonomi di Indonesia yang diyakini telah mencapai tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, ternyata masih menyisakan permasalahan sosial yang cukup serius. Dalam keterbatasan peranan negara menyelesaikan persoalan sosial tersebut, desentralisasi sebagai wujud pengakuan kepada peranan sektor tersebut untuk menyumbangkan resources yang dimilikinya guna menyelesaikan permasalahan sosial tersebut. Dengan demikian, era desentralisasi merupakan momentum yang relevan bagi realisasi program CSR sebagai wujud keterlibatan sektor privat dalam memberdayakan masyarakat miskin sehingga mereka terbebas dari permasalahan sosial yang mereka hadapi. Harapan yang cukup besar pada CSR, banyak perusahaan yang telah beroperasi di Indonesia mulai dari periode awal berkuasanya orde baru, namun baru merealisasikan program CSR setelah memasuki program tahun 2000. Dalam rentang waktu tersebut keterbukaan sistim politik memberikan peluang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya termasuk menuntut realisasi program CSR.

  Makna CSR terus berubah seiring berjalannya waktu, ketika sebuah keluarga atau pemilik usaha menjalankan bisnisnya, program CSR dihubungkan dengan sumbangan (charity) atau kedermawanan (philantropy coorporate).

  Beberapa defenisi CSR yang telah dikenal adalah sebagai berikut : 1.

   The commitment of businesses to contribute to sustainable economic development by working with employees, their families, the local community and society at large to improve their lives in ways that are good for business and for development (The World Bank Group)

  2.

a. Kepedulian dana usaha terhadap lingkungan dimana perusahaan beroperasi.

  b. Sebagai bentuk tanggungjawab perusahaan terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat secara sosial ekonomi.

  c. Pengembalian sebagian keuntungan perusahaan untuk turut mensejahterakan masyarakat, (Bank Mandiri, 2005)

  3. Tanggungjawab sosial diarahkan baik ke internal maupun eksternal perusahaan. Kedalam, tanggungjawab ini di arahkan kepada pemegang sahan dalam bentuk profit dan pertumbuhan, dan karyawan dalam bentuk kompensasi yang adil serta memberikan peluang pengembangan karir. Secara eksternal, tanggungjawab sosial ini berkaitan dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang. Kesemuanya ini memerlukan pengelolaan perusahaaan dengan sebaik-baiknya. (The

  Jakarta Consulting Group , 2007)

  Dengan pengertian diatas, isu isu tentang konsep CSR, pengembangan model CSR mengalami pergeseran dari perspektif shareholder ke perspektif stakeholders, artinya kehadiran perusahaan harus dilihat dari dan untuk mereka yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan, dalam hal ini tidak hanya pemilik bisnis saja akan tetapi diperluas dalam kelompok yang lebih luas. Namun demikian tentunya tingkat kepentingan setiap stakeholder akan berbeda, mulai dari karyawan, pembeli, pemilik, pemasok, dan komunitas lokal, organisasi nirlaba, aktivis, pemerintah, sampai dengan media yang secara tidak langsung berhubungan dengan perusahaan

  Perusahaan meyakini bahwa program CSR merupakan investasi demi pertumbuhan dan keberlanjutan usaha mereka. Artinya CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost center) melainkan sentra laba (profit center) dimasa mendatang. Logikanya sederhana, bila CSR diabaikan, kemudian terjadi insiden, maka perusahaan akan mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk mengatasinya dibandingkan dengan mengalokasikan anggaran khusus untuk program CSR itu sendiri, belum lagi resiko non-finansial yang berpengaruh buruk pada citra dan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan tersebut.

  Dari uraian tersebut, tampak bahwa program CSR memberikan dampak/manfaat bagi perusahaan antara lain: a.

  Mereduksi biaya, misalnya terkait dampak pembuangan limbah.

  1. Kelompok hitam adalah mereka yang tidak melakukan praktik CSR sama sekali. Mereka adalah pengusaha yang menjalankan bisnis semata mata untuk kepentingan sendiri. Kelompok ini sama sekali tidak peduli pada aspek lingkungan dan sosial sekelilingnya dalam menjalankan usaha, bahkan tidak memperhatikan kesejahteraan karyawannya.

  (Suhandri M. Putri, Schema CSR, kompas, 4 Agustus 2007). Perilaku para pengusaha pun beragam, dari kelompok yang sama sekali tidak melaksanakan sampai ke kelompok yang telah menjadikan CSR sebagai nilai inti (corevalue) dalam menjalankan usaha. Terkait dengan praktik CSR, kategori perusahaan menurut implementasi CSR dapat dikelompokkan menjadi empat: kelompok hitam, merah, biru, dan hijau.

  Peluang mendapatkan penghargaan.

  Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan. j.

  Memperbaiki hubungan dengan regulator. i.

  h.

  Memperbaiki hubungan dengan stakeholders.

  g.

  f.

  Mempertahankan dan mendongkrak reputasi serta citra merek perusahaan.

  Membuka peluang pasar yang lebih luas.

  e.

  Melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha.

  d.

  Mereduksi risiko bisnis perusahaan.

  c.

  Mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara sosial.

  b.

  2. Kelompok Merah adalah; mereka yang mulai melaksanakan praktik CSR, tetapi memandangnya hanya sebagai komponen biaya yang akan mengurangi keuntungannya. Aspek lingkungan dan sosial mulai dipertimbangkan, tetapi dengan keterpaksaan yang biasanya dilakukan setelah mendapat tekanan dari pihak lain, seperti masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat. Kesejahteraan karyawan baru diperhatikan setelah karyawan ribut atau mengancam akan mogok kerja. Kelompok ini umumnya berasal dari kelompok satu (kelompok hitam) yang mendapat tekanan dari stakeholders-nya, yang kemudian dengan terpaksa memperhatikan isu lingkungan dan sosial, termasuk kesejahteraan karyawan. CSR jenis ini kurang berimbas pada pembentukan citra posistif perusahaan karena publik melihat kelompok ini memerlukan tekanan dan gertakan sebelum melakukan praktik CSR. Praktik jenis ini tidak akan mampu berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.

  3. Kelompok Biru, perusahaan yang menilai praktik CSR akan member dampak positif terhadap usahanya karena merupakan investasi, bukan biaya.

  4. Kelompok Hijau, perusahaan yang sudah menempatkan praktik CSR pada strategi inti dan jantung bisnisnya, CSR tidak hanya dianggap sebagai keharusan, tetapi kebutuhan yang merupakan modal social. (Suhandri M. Putri, Schema CSR, Kompas, 4 Agustus 2007).

  Implementasi CSR itu merupakan langkah langkah pilihan sendiri, sebagai kebijakan perusahaan, bukan karena dipaksa oleh aturan ataupun masyarakat.

  Implementasi program CSR dapat dikelola berdasarkan pola sebagai berikut: 1.

  Program sentralisasi Perusahaan sebagai pelaksana/penyelenggara utama kegiatan. Begitupun tempat, kegiatan berlangsung di areal perusahaan. Pada prakteknya pelaksanaan kegiatan bisa bekerja sama dengan pihak lain, misalnya even organizer atau institusi lainnya sejauh memiliki kesamaan visi dan tujuan.

  2. Program desentralisasi Kegiatan dilaksanakan diluar area perusahaan. Perusahaan berperan sebagai pendukung kegiatan tersebut baik dalam bentuk bantuan dana, material maupun sponsorship.

  3. Program kombinasi Pola ini dapat dilakukan terutama untuk program program pemberdayaan masyarakat, dimana inisiatif, pendanaan maupun pelaksanaan kegiatan dilakukan secara prioritas dengan beneficiaries.(Putri, schema CSR, Kompas,

  4 Agustus 2007) Praktik CSR akan menjadi strategi bisnis yang inheren dalam perusahaan untuk menjaga atau meningkatkan daya saing melalui reputasi dan kesetiaan merek produk (loyalitas) atau citra perusahaan. Kedua hal tersebut akan menjadi keunggulan kompetitif perusahaan yang sulit untuk ditiru oleh para pesaing. Di lain pihak, adanya pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk membeli produk berdasarkan kriteria kriteria berbasis nilai nilai dan etika akan merubah perilaku konsumen di masa mendatang. Implementasi kebijakan CSR adalah suatu proses yang terus menerus akan berkesinambungan. Dengan demikian akan tercipta satu ekosistim yang menguntungkan semua pihak (tru win-win situation) konsumen mendapatkan produk unggul yang ramah lingkungan, produsen pun mendapatkan keuntungan yang sesuai yang pada akhirnya secara tidak langsung akan dikembalikan kepada masyarakat.

  Akhirnya untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan program CSR, dibutuhkan komitmen yang kuat, partisipasi aktif, serta ketulusan dari semua pihak. Program CSR menjadi begitu penting karena kewajiban manusia untuk bertanggung jawab atas keutuhan kondisi kondisi kehidupan dan untuk menjamin keberlangsungan kehidupan umat manusia kini dan dimasa mendatang.

2.1.1. Jenis-jenis Program CSR

  Menurut Bank Dunia, CSR terdiri dari beberapa komponen utama, antara lain: a)

  Perlindungan lingkungan

  b) Jaminan kerja

  c) Hak azasi manusia

  d) Interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat

  e) Standar usaha

  f) Pengembangan ekonomi

  g) Perlindungan kesehatan

  h) Kepemimpinan dan pendidikan i)

  Bantuan bencana kemanusiaan (Djogo, 2005) Oleh karena itu, dana yang telah disisihkan perusahaan BUMN itu dikelola sedemikian rupa untuk melaksanakan program kemitraan dan bina lingkungan serta pelestarian lingkungan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat

  Untuk perusahaan BUMN sendiri, bentuk dan jenis kegiatan Bina Lingkungan dapat didiskripsikan sebagai berikut:

  1. Bencana Alam a.

  Bantuan korban bencana banjir b. Bantuan korban bencana kekeringan c. Bantuan korban kebakaran d. Bantuan korban angin topan/angin rebut/angin puyuh e. Lain lain

  2. Pendidikan Dan Pelatihan a.

  Program beasiswa/anak asuh b. Bantuan sarana pendidikan c. Bantuan perpustakaan sekolah d. Bantuan pelatihan ketrampilan karang taruna e. Lain lain

  3. Peningkatan Kesehatan a.

  Pengobatan umum b. Khitanan massal c. Program kegiatan olahraga dan kesehatan d. Bantuan sarana olahraga

  4. Pengembangan prasarana dan sarana umum a.

  Perbaikan/pembangunan sarana jalan b. Perbaikan/pembangunan saluran sanitasi (air hujan) c. Perbaikan/pembangunan balai desa/tempat pertemuan d. Perbaikan/pembangunan sarana usaha (workshop) e. Program penghijauan

  5. Sarana Ibadah a.

  Perbaikan/pembangunan tempat ibadah (masjid, musholla) b. Bantuan peringatan hari besar dan kegiatan keagamaan c. Kegiatan pengajian umum, sema’an al qur’an, haul, majelis dzikir, istigodsah.

  d.

  Lain lain (Wibisono,2007:136)

2.1.2. Pinsip prinsip CSR

  Warhust, Alyson :1998 mengajukan prinsip prinsip CSR sebagai berikut : 1. Prioritas Kooporat. Mengakui tanggung jawab sosial sebagai prioritas tertinggi korporat dan penentu utama pembangunan berkelanjutan. Dengan begitu korporat bisa membuat kebijakan, program dan praktek dalam menjalankan operasi bisnisnya dengn cara yang bertanggung jawab secara sosial.

  2. Manajemen terpadu. Mengintegrasikan kebijakan, program dan praktek ke dalam setiap kegiatan bisnis sebagai satu unsur manajemen dalam semua fungsi manajemen.

  3. Proses Perbaikaan. Secara berkesinambungan memperbaiki kebijakan, program dan kinerja sosial korporat, berdasar temuan riset mutakhir dan memahami kebutuhan sosial serta menerapkan criteria sosial tersebut secara internasional.

  4. Pendidikan Karyawan. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta memotivasi karyawan.

  5. Pengkajian. Melakukan kajian dampak sosial sebelum memulai kegiatan atau proyek baru dan sebelum menutup satu fasilitas atau meninggalkan lokasi pabrik.

  6. Produk dan Jasa. Mengembangkan produk dan jasa yang tak berdampak negatif secara sosial.

  7. Informasi Publik. Memberi informasi dan (bila diperlukan) mendidik pelanggan, distributor, dan publik tentang penggunaan yang aman, trsnsportasi, penyimpanan dan pembuangan produk, dan begitu pula dengan jasa.

  8. Fasilitas dan Operasi. Mengembangkan, merancang, dan mengoperasikan fasilitas serta menjalankan kegiatan yang mempertimbangkan temuan kajian dampak sosial.

  9. Penelitian. Melakukan atau mendukung penelitian dampak sosial bahan baku, produk, proses, emisi dan limbah yang terkait dengan kegiatan usaha dan penelitian yang menjadi sarana untuk mengurangi dampak negatif.

  10. Prinsip pencegahan. Memodifikasi manufaktur, pemasaran atau penggunaan produk atau jasa, sejalan dengan penelitian mutakhir, untuk mencegah dampak sosial yang bersifat negatif.

  11. Kontraktor dan pemasok. Mendorong penggunaan prinsip prinsip tanggung jawab sosial korporat yang dijalankan kalangan kontraktor da pemasok, disamping itu bila diperlukan mensyaratkan perbaikan dalam praktik bisnis yang dilakukan kontraktor dan pemasok.

  12. Siaga Menghadapi Darurat. Menyusun dan merumuskan rencana menghadapi keadaan darurat, dan bila terjadi keadaan berbahaya bekerjasama dengan layanan gawat darurat, instansi berwenang dan komunitas local. Sekaligus mengenali potensi bahaya yang muncul.

  13. Transfer Best Practise. Berkontribusi pada pengembangan dan transfer praktis bisnis yang bertanggung jawab secara sosial pada semua industry dan sektor publik.

  14. Memberi Sumbangan. Sumbangan untuk usaha bersama, pengembangan kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintahan dan lintas departemen pemerintah serta lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab sosial.

  15. Keterbukaan. Menumbuh-kembangkan keterbukaan dan dialog dengan pekerja dan publik, mengantisipasi dan member respon terhadap potencial hazard, dan dampak operasi, produk, dan jasa.

  16. Pencapaian dan Pelaporan. Mengevaluasi kinerja sosial, melaksanakan audit sosial secara berkala dan mengkaji pencapaian berdasarkan kriteria korporat dan peraturan perundang undangan dan menyampaikan informasi tersebut pada dewan direksi, pemegang saham, pekerja dan publik. (Wibisono,2007:39).

2.2. Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

2.2.1. Pengertian dan Konsep Usaha Kecil Menengah

  Konsep Usaha Kecil dan Menengah pertama kali digunakan oleh Keith Hart dalam penelitian disuatu kota di Ghana (Hart, 1973). Kemudian konsep UKM dikembangkan oleh ILO dalam berbagai penelitian di dunia ketiga. Konsep tersebut digunakan sebagai penjelas proses kemiskinan di dunia ketiga dalam hubungannya dengan pengangguran, migrasi dan urbanisasi (Effendi, 1993;17).

  Usaha kecil, sebagaimana yang dikemukakan oleh M.Tohar (1999:1) adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil, dan memenuhi criteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang undang. Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil adalah kegiatan ekonomi yang dimiliki dengan menghidupi sebagian besar rakyat. Pengertian usaha kecil disini mencakup usaha kecil informal dan usaha kecil tradisional.

  Menurut Wirjosardjono (1985;5), sector informal, yaitu sebagai kegiatan ekonomi yang bersifat marginal (kecil kecilan) yang mempunyai ciri ciri : “ kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, tempat tidak tetap, berdiri sendiri, berlaku dikalangan masyarakat berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus, lingkungan kecil/keluarga dan tidak mengenal sistim perbankan, pembukuan maupun perkreditan”.

  Sedangkan ciri-ciri Usaha Kecil Menengah menurut hidayat (1978:11) adalah sebagai berikut:

  1. Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal.

  2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha.

  3. Pola kegiatan usaha tidak beraturan, baik dalam arti lokasi maupun jam kerja.

  4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sector ini.

  5. Unit usaha mudah keluar masuk dari sub sector ke sub sector lain.

  6. Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional.

  7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil.

  8. karena pendidikan yang diperoleh dari pengalaman sambil bekerja.

  9. Pada umumnya unit usaha termasuk dalam golongan yang mengerjakan sendiri usahanya, dan kalau mempunyai pekerja biasanya berasal dari keluarganya.

  10. Sumber dana keuangan umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak rersmi.

  11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga yang berpenghasilan menengah. Sektor informal di daerah perkotaan dapat ditelaah dengan berdadata sensus yang ciri-cirinya dapat diuraikan (Kasto, 1995:17) sebagai berikut:

  1. Berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain: a.

  Tukang becak yang membawa becak atas resiko sendiri.

  b.

  Sopir taksi yang membawa mobil atas resiko sendiri.

  c.

  Kuli-kuli di pasar, stasiun atau tempt lainnya yang tidak mempunyai majikan tertentu.

  2. Berusaha dengan dibantu oleh anggota keluarga/buruh tidak tetap: a.

  Pengusaha warung yang dibantu anggota rumah tangga atau buruh tidak tetap.

  b.

  Penjaja keliling yang dibantu anggota rumah tangga atau seseorang yang diberi upah hanya saat membantu saja.

  c.

  Petani yang mengusahakan tanah pertaniannya dengan dibantu oleh anggota rumah tangga.

  3. Pekerja keluarga, adalah mereka yang bekerja untuk membantu seseorang untuk memperoleh penghasilan atau keuntungan dengan tidak mendapat upah baik berupa uang atau barang: a.

  Anak yang membantu melayani di warung orang tuanya b.

  Istri yang membantu suami di sawah.

2.2.2. Permasalahan UKM di Indonesia

  Proses pemberdayaan industri kecil selama ini kurang menyentuh akar permasalahan. Persoalan persoalan diselesaikan secara parsial sehingga persoalan muncul dan hilang hanya untuk sementara. Sesuai dengan prinsip theory of

  

constraint bahwa perbaikan pada bagian yang bukan bottle neck tidak akan

memperbaiki sistim secara keseluruhan (Ikhsan,2001).

  Terdapat delapan masalah masalah utama yang dihadapi para pengusaha kecil, yaitu (ISEI,1988).

A. Permasalahan Modal 1.

  Suku bunga kredit perbankan yang masih tinggi sehingga kredit menjadi mahal.

  2. Informasi sumber pembiayaan dari lembaga keuangan non bank masih kurang.

  3. Sistim dan prosedur kredit dari lembaga keuangan bank dan non bank terlalu rumit dan memakan waktu yang cukup lama.

  4. Perbankan kurang menginformasikan standar proposal untuk pengajuan kredit, sehingga pengusaha kecil belum mampu membuat proposal yang sesuai dengan criteria perbankan.

  5. Perbankan kurang memahami criteria usaha kecil dalm menilai kelayakan usaha, sehingga jumlah kredit yang disetujui seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan usaha kecil.

B. Permasalahan Pemasaran 1.

  Posisi tawar pengusaha kecil ketika berhadapan dengan pengusaha besar selalu lemah, terutama berkaitan dengan penentuan harga dan sistim pembayaran.

2. Asosiasi pengusaha atau profesi belum berperan dalam mengkoordinasi persaingan yang tidak sehat antara usaha sejenis.

  3. Informasi untuk memasarkan produk masih kurang, misalnya tentang produk yang diinginkan, potensi pasar, tata cara memasarkan produk dan lain lain.

C. Permasalahan bahan baku 1.

  Supply bahan baku untuk usaha kecil kurang memadai dan berfluktuasi. Ini disebabkan karena adanya pembeli besar yang menguasai bahan baku.

  2. Harga bahan baku masih terlalu tinggi dan berfluktuasi karena dikuasai oleh pengusaha besar.

  3. Kualitas bahan baku rendah karena tidak adanya standarisasi dan adanya manipulasi kualitas bahan baku.

  4. Sistim pembelian bahan baku secara tunai menyulitkan pengusaha kecil, sementara pembayaran penjualan produk umumnya tidak tunai.

D. Permasalahan teknologi 1.

  Tenaga kerja trampil sulit diperoleh dan dipertahankan karena lembaga pendidikan dan pelatihan yang ada kurang dapat menghasilkan tenaga kerja trampil yang sesuai dengan kebutuhan usaha kecil.

  2. Akses dan informasi sumber teknologi masih kurang dan tidak merata.

  3. Spesifikasi peralatan yang sesuai dengan kebutuhan usaha kecil sukar diperoleh.

  4. Lembaga independen belum ada dan belum berperan, khususnya lembaga pengkajian tehnologi yang ditawarkan oleh pasar kepada pengusaha kecil sehingga tehnologi ini tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.

  5. Peran instansi pemerintah, non pemerintah dan perguran tinggi dalam mengidentifikasi, menemukan, menyebarluaskan dan melakukan

6. Pembinaan teknis tentang tehnologi baru atau teknologi tepat guna bagi usaha kecil masih kurang intensif.

E. Permasalahan manajemen 1.

  Pola manajemen yang sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangan usaha sulit ditemukan karena pengetahuan pengusaha kecil relatif 2. rendah.

  3. Pemisahan antara manajemen keuangan perusahaan dan keluarga belum dilakukan sehingga pengusaha kecil mengalami kesulitan dalam

  4. Mengontrol atau mengatur cash flow serta dalam membuat perencanaan dan laporan keuangan.

  5. Kemampuan pengusaha kecil dalam mengorganisasikan diri dan karyawan masih lemah sehingga terjadi pembagian kerja yang tidak jelas.

  6. Pelatihan tentang manajemen dari berbagai instansi kurang efektif karena materi yang terlalu banyak tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan.

  7. Produktivitas karyawan masih rendah sehingga pengusaha kecil sulit memenuhi ketentuan UMR.

F. Permasalahan sistim birokrasi 1.

  Perizinan yang tidak transparan, mahal, berbelit belit, diskriminatif, lama dan tidak pasti serta terjadi tumpang tindih dalam mengurus perizinan.

  2. Penegakan dan pelaksanaan hukum dan berbagai ketentuan masih kurang serta cenderung kurang tegas.

  3. Pengusaha kecil dan asosiasi usaha kecil kurang dilibatkan dalam perumusan kebijakan tentang usaha kecil.

  4. Pungutan atau biaya tambahan dalam pengurusan perolehan modal dari dana penyisihan laba BUMN dan sumber modal lainnya cukup tinggi.

  5. Banyak pungutan yang seringkali tidak disertai dengan pelayanan yang memadai

  G. Ketersediaan infrastuktur

  Listrik, Air dan Telepon bertarif mahal dan seringkali mengalami gangguan disamping pelayanan petugas yang kurang baik.

  H. Pola Kemitraan 1.

  Kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah dan besar dalam pemasaran dan sistim pembayaran baik produk maupun bahan baku dirasakan belum bermanfaat.

2. Kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah dan besar dalam transfer tehnologi masih kurang.

  Usaha kecil dan menengah di Negara- negara berkembang sering dikaitkan dengan masalah masalah ekonomi dan sosial dalam negeri, seperti tingginya tingkat kemiskinan, besarnya jumlah pengangguran terutama dari golongan masyarakat berpendidikan rendah, ketimpangan distribusi pendapatan, proses pembangunan yang tidak merata antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan serta masalah masalah urbanisasi dengan segala efek efek negatifnya. Artinya keberadaan atau perkembangan usaha kecil menengah diharapkan dapat memberi suatu kontribusi positif yang signifikan terhadap upaya upaya penanggulangan masalah masalah di atas.

2.3. Pemberdayaan UKM

  Secara umum pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk memulihkan atau meningkatkan keberdayaan suatu komunitas untuk mampu berbuat sesuai dengan harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan hak hak dan tanggung jawab mereka sebagai komunitas manusia dan warga negara (Modul P2KP:2006)

  Shardlow (1998;32) dalam Adi (2003;54) melihat bahwa pemberdayaan pada intinya membahas bagaiman individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.

  Upaya pemberdayaan masyarakat harus terarah (targetted). Ini secara umum disebut pemihakan. Ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai dengan kebutuhannya. Karena dasarnya adalah kepercayaan kepada rakyat, maka program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan di bantu mempunyai beberapa tujuan, yaitu supaya bantuan tersebut efektif, sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merancang, melaksanakan, mengelola dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan kualitas hidup dan peningkatan ekonominya.

  Program pemberdayaan terhadap UKM merupakan suatu bentuk keberpihakan pemerintah dalam bentuk pembangunan pola hubungan yang lebih sinergis antara UKM dengan pemerintah sebagai fasilitator.

  Proses pemberdayaan terhadap UKM menekankan bahwa dukungan dari pemerintah terhadap penguatan UKM harus dilaksanakan secara selektif dalam bentuk perlindungan terhadap persaingan yang tidak adil, pengembangan sumber daya manusia lewat pendidikan dan pelatihan, diseminasi informasi mengenai bisnis dan tehnologi, penyediaan financial, lokasi usaha dan kemitraan usaha BUMN dan perusahaan swasta lainnya serta penyediaan fasilitas fasilitas fisik agrobisnis.

  Menyadari hal tersebut, pemerintah berupaya mendukung pengembangan UKM melalui berbagai kebijakan, program pembinaan, peraturan (antara lain undang uundang No. 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil dan pemberian berbagai macam fasilitas (Tambunan, 1999). Pasal 7 Undang undang No. 9 Tahun 1995, Pemerintah berusaha menumbuhkan iklim usaha dalam aspek pendanaan dengan peraturan perundang undangan dan kebijaksanaan untuk :

1. Memperluas sumber pendanaan;

  2. Meningkatkan akses terhadap sumber pendanaan; 3.

  Memberikan kemudahan dalam pendanaan.

  Melalui pasal 8 Undang undang No. 9 Tahun 1995, Pemerintah berusaha untuk menumbuhkan iklim usaha dalam aspek persaingan dengan menetapkan peraturan perundang undangan dan kebijaksanaan untuk meningkatkan kerjasama sesama usaha kecil dalam bentuk koperasi, asosiasi , dan himpunan kelompok usaha untuk memperkuat posisi tawar usaha kecil; mencegah stuktur pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoly, dan monopsoni yang merugikan usaha kecil; mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang perseorangan atau kelompok tertentu yang merugikan usaha kecil;

  Pemerintah berusaha menumbuhkan iklim usaha dalam aspek kemitraan dengan menetapkan peraturan perundang undangan dan kebijaksanaan untuk:

  1. Mewujudkan kemitraan; 2.

  Mencegah terjadinya hal hal yang merugikan usaha kecil dalam pelaksanaan transaksi usaha dengan usaha menengah dan usaha besar.

  Salah satu pendekatan dan strategi dalam mengembangkan akses pasar Usaha Kecil Menengah adalah melalui pendekatan keterkaitan usaha atau kemitraan, karena melalui pendekatan kemitraan akan tercipta efisiensi usaha dan peningkatan daya saing tanpa melalui persaingan pasar yang seringkali sulit dikendalikan.

  Dalam melaksanakan kemitraan selama ini, praktek kemitraan antara usaha kecil dan usaha besar lebih berdimensi sosial bahkan acapkali bersifat politis dan belum menekankan pada aspek aspek seperti tercantum dalam undang undang tentang usaha kecil tersebut. Oleh karena itu, kemitraan yang terjadi seringkali tidak saling menguntungkan, tidak berlangsung lama atau berkelanjutan, bahkan kadangkala mengeksploitasi salah satu pihak yang bermitra.

  Arah kebijaksanaan pengembangan UKM di Indonesia dinyatakan secara eksplisit di dalam Garis besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Pedoman kebijaksanaan Negara ini mengenai arah kebijaksanaan pembangunan ekonomi nasional yang terdiri dari tiga kebijaksanaan utama yaitu:

  1. Sistim ekonomi kerakyatan yang didasarkan pada mekanisme pasar dengan persaingan yang adil, prioritas pada sosial, kualitas hidup, lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Sistim ini menjamin kesempatan kesempatan bisnis dan kesempatan kerja yang sama, perlindungan konsumen dan perlakuan yang adil terhadap masyarakat. Di bawah kerangka kerja kebijaksanaan ini, memberdayakan UKM menjadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Usaha usaha mengembangkan sistim ekonomi kerakyatan dapat ditunjukkan dengan: a.

  Adanya suatu system persaingan yang adil yang menjamin kesempatan bisnis.

  b.

  Peranan pemerintah efektif dalam menyempurnakan sistem pasar termasuk pengurangan pajak.

  c.

  Kebijaksanaan ekonomi yang menciptakan kesempatan berusaha bagi UKM. d.

  Suatu pertumbuhan kemitraan usaha antar pengusaha UKM.

  e.

  Meningkatkan penerimaan positif dari masyarakat dalam bisnis dan peningkatan dalam penerimaan dari masyarakat.

  2. Penciptaan iklim bisnis yang kondusif untuk memberdayakan UKM sehingga menjadi efisien, produktif dan kompetitif. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk menciptakan suatu mekanisme yang adil di mana UKM bisa mendapat keuntungan secara proporsional dan dapat bersaing secara adil dengan pemain pemain bisnis lainnya.

  3. Kebijaksanaan peningkatan kapasitas UKM yang bertujuan untuk membuat UKM mampu bersaing dipasar pelaku bisnis lainnya. Pada dasarnya kebijaksanaan ini bertujuan untuk menghilangkam segala kendala yang dihadapi oleh UKM, seperti keterbatasan modal, pasar dan input input untuk berproduksi, kekurangan dalam kapabilitas manajemen, keterbatasan akses kemitraan.

2.4. Community Development

  Berkembangnya konsep Community Development yang berbasis nilai nilai pemberdayaan, partisipasi, dan kemandirian (self reliance) dalam masyarakat tidak terlepas dari kondisi nyata dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Terlepas dari masih kurangnya pemahaman terhadap konsep CD itu sendiri, tidak dapat dipungkiri bahwa CD merupakan salah satu metode yang tepat untuk menjawab issu-issu dan masalah masalah sosial pada saat ini dan untuk masa yang akan datang.

  Arthur Dunham (1958:3) merumuskan konsep Community Development sebagai berikut: “Bahwa pembangunan masyarakat merupakan usaha yang terorganisasi yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri.

  Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari organisasi organisasi swadaya dan usaha usaha bersama dari individu individu di dalam masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan teknis baik dari pemerintah maupun organisai organisasi sukarela.

  Metode kerja pembangunan masyarakat (Community Development) adalah “doing with the Community “ dan menghindari “doing for the community”.

  Metode kerja doing for the community akan membuat masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya dan bahkan mendidik masyarakat tergantung pada pemberi bantuan, sebaliknya metode kerja doing with the community dapat merangsang masyarakat lebih aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasikan mana kebuthan yang sifatnya real needs, expected needs. (http://mahmuddisiwi.net/defenisi-community-development)

  Pengembangan industri pada dasarnya ditujukan untuk memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat baik melalui pembukaan lapangan pekerjaan, mendatangkan devisa Negara, maupun meningkatkan pendidikan. Namun demikian, semua hal memiliki ‘harga beli’ yang harus dibayar oleh masyarakat itu sendiri. Salah satu bidang yang sering dilupakan adalah dampak sosial dari pengembangan industri yang tidak jarang menimbulkan social cost yang dapat lebih mahal daripada manfaat ekonomi yang diperoleh; yaitu berupa munculnya berbagai masalah sosial di masyarakat baik yang berskala lokal maupun nasional. Kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan / industri menunjukkan adanya kepedulian perusahaan terhadap masyarakat disekitarnya. Hal ini akan memunculkan adanya kepedulian masyarakat terhadap perusahaan dan memandang perusahaan sebagai pihak yang harus didukung dan dijaga oleh masyarakat. Selain memberikan manfaat pada tingkat makro dan tidak langsung, perusahaan juga harus menjalin hubungan baik dengan masyarakat local tempat perusahaan itu berada yang sifatnya tidak hanya bantuan sosial melainkan program bimbingan sosial yang berkelanjutan serta melibatkan partisipasi masyarakat secara penuh.

  Mekanisme kerjasama pihak perusahaan dengan masyarakat sekitar harus jelas, akuntabel, transparan dan menguntungkan semua pihak dengan kekuatan yang dimiliki. Banyak yang dapat dilakukan perusahaan berkaitan dengan perbaikan kehidupan komunitas setempat (local community) atau sebaliknya.

  Bentuk bentuk kepedulian dapat diselaraskan dengan kegiatan utama bisnis perusahaan, mulai dari bidang pendidikan komunitas, pembangunan infrastrktur, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dasar. Sebaliknya komunitas harus melihat perusahaan sebagai mitra yang salin tergantung dan menguntungkan. Nilai nilai sosial komuunitas yang positif seperti kerjasama, rasa memiliki, kejujuran harus diangkat sebagai orientasi nilai kemitraan (partnership) yang harus dihormati.

  Modal sosial yang penting yang harus dikembangkan adalah “kepercayaan sosial”. Kepercayaan sosial hanya efektif melalui jalinan pola hubungan sosial yang timbal balik antar pihak dan berkelanjutan.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Air - Perbandingan Efektifitas Pemakaian Koagulan PAC dan Tawas dalam Menurunkan Kekeruhan Air Baku (Sungai Belawan)

0 0 17

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS PEMAKAIAN KOAGULAN PAC DAN TAWAS DALAM MENURUNKAN KEKERUHAN AIR BAKU (SUNGAI BELAWAN) TUGAS AKHIR - Perbandingan Efektifitas Pemakaian Koagulan PAC dan Tawas dalam Menurunkan Kekeruhan Air Baku (Sungai Belawan)

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Analisis Cemaran NitratDan Nitrit Pada Air Sungai Deli Secara Spektrofotometri Visibel

0 0 18

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK LOKASI PKLM - Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hiburan Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Binjai

0 0 24

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hiburan Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Binjai

0 0 16

BAB II PRINSIP KEHATI – HATIAN DALAM PERATURAN PENGADAAN BARANG DAN JASA DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO) A. Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum 1. Kedudukan PT Sebagai Badan Hukum Mandiri - Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direk

0 0 66

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direksi Dalam Perjanjian Kerja Sama Untuk Proses Pengadaan Barang Dan Jasa (Studi Penelitian PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan)

0 1 31

Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direksi Dalam Perjanjian Kerja Sama Untuk Proses Pengadaan Barang Dan Jasa (Studi Penelitian PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan)

0 0 16

BAB II PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERANAN WALI DALAM PERKAWINAN DAN WALI ADHAL A. Pengertian Perkawinan dan Ketentuan Hukumnya - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jaka

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jakarta Selatan)

0 0 25