buku panduan penanganan 20 kasus non spe

Monitoring Pengobatan

Konsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi, asam folat, vitamin C dan B12 secara rutin dan lakukan pemeriksaan darah yang berhubungan dengan anemia secara rutin agar anemia Anda terkontrol.

Komplikasi

• Pada anak tumbuh kembangnya terhambat • Pada ibu hamil risiko prematur, pertumbuhan janin terhambat, BBLR,

kematian janin • Gagal jantung • Gangguan sistem imun • Mudah terinfeksi penyakit

Daftar Pustaka

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Halaman 632-659. Jilid II, Edisi IV. Editor : Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, Siti Setiati.Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.FKUI- RSCM

2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015.

II. Asma Bronkhial

No. ICPC-2 : R96 Asthma No. ICD-10 : J45 Asthma

Definisi

Penyakit Asma adalah suatu penyakit inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi dan elemennya yang ditandai dengan obstruksi dan hipereaktivitas bronkus sehingga menyebabkan gejala episodik berulang namun biasanya dapat membaik secara spontan ataupun dengan pengobatan.

Etiologi

Faktor yang berperan terjadinya asma adalah faktor genetik dan faktor lingkungan. Ada beberapa proses sebelum terjadinya asma sebagai berikut:

1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan dengan pemicu (inducer/ sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya

2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma. Apabila seseorang yang telah mengalami terpajan dengan pemicu (echancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasi yang berat secara klinis berhubungan dengan hiperaktivitas bronkus

3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger) maka akan timbul serangan asma (mengi).

Berikut adalah pemicu terjadinya hiper-responsif pada penyandang asma:

1) Infeksi virus: rhinovirus, respiratory syncytial virus, virus influenza

2) Infeksi bakteri: Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia

3) Bahan-bahan di dalam ruangan: tungau, debu rumah, binatang, kecoa

4) Bahan-bahan di luar ruangan: tepung sari bunga, jamur

5) Makanan-makanan tertentu: bahan pengawet, penyedap dan pewarna

makanan

6) Obat-obatan tertentu: aspirin, NSAID, ß1 bloker (misalnya propanolol)

7) Iritan: parfum, bau-bauan merangsang

8) Ekspresi emosi yang berlebihan

9) Asap rokok

10) Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

11) Exercise-induced asthma (asma kambuh ketika melakukan aktivitas fisik tertentu)

12) Perubahan cuaca.

Penegakan Diagnosis

Diagnosis klinis berdasarkan gejala, riwayat, medis, dan pemeriksaan fisis sangat berarti dalam menegakkan diagnosis asma.

Anamnesis

Keluhan (Subjektif) : ฀ Lebih dari satu gejala berikut: batuk

berulang, sesak napas, rasa berat di dada, napas berbunyi (mengi).

฀ Gejala sering memburuk malam hari atau

menjelang pagi, ฀ Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan

intensitasnya, ฀ Ada faktor pencetus.

Faktor Risiko : ฀ Faktor genetik: alergi, riwayat asma dalam

keluarga ฀ Faktor lingkungan: allergen, infeksi pernapasan, pajanan di tempat kerja, polusi udara

Usia penderita : Bisa pada semua umur, biasanya anak-anak

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tanda vital : Frekuensi napas dan denyut nadi dapat

normal pada saat stabil (tidak eksaserbasi) atau meningkat pada eksaserbasi akut.

Pemeriksaan respirasi

1. Dapat normal

2. Wheezing/mengi pada auskultasi, bilateral dan lebih terdengar pada fase ekspirasi saat terjadi eksaserbasi akut.

3. Penggunaan otot-otot bantu napas saat eksaserbasi akut.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Arus puncak : Perubahan (APE meningkat) ≥ 60

ekspirasi (APE)

l/menit atau  20% setelah pemberian

menggunakan alat peak

bronkodilator (short acting beta 2

expiratory flow rate meter

agonis / SABA, contoh: salbutamol)

(PEFR)

mengindikasikan terdapat respons bronkodilator

atau kemungkinan diagnosis asma.

Pemeriksaan

Spirometri : Penilaian obstruksi jalan napas

(bila tersedia)

berdasarkan rasio Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP 1 ) dan Kapasitas Vital Paksa (VEP 1 /KVP) yang normal di atas 75%. Di bawah nilai tersebut dinyatakan sebagai obstruksi jalan napas.

Pemeriksaan Radiologi

: Foto toraks bisa tampak normal.

Diindikasikan

untuk mencari komplikasi saat eksaserbasi atau memastikan

diagnosis banding

lainnya.

Diagnosis Banding

 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)  Bronkitis kronik  Gagal jantung kongestif  Batuk kronik akibat lain-lain  Disfungsi larings  Obstruksi mekanis  Emboli paru  Disfungsi pita suara  Bronkiektasis  Kistik fibrosis

Penanganan Eksaserbasi Asma di Fasilitas Kesehatan Tingkat

Pertama (dewasa, remaja, anak-anak 6-11 th)

Rujukan

Bila pengobatan tidak berhasil, dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut. Kriteria pasien yang dirujuk adalah:

a. Pada serangan akut yang mengancam jiwa

b. Tidak respons dengan pengobatan

c. Tanda dan gejala tidak jelas dalam diagnosis banding, atau adanya komplikasi atau penyakit penyerta (komorbid): seperti sinusitis, polip hidung, aspergilosis (ABPA), rhinitis berat, disfungsi pita suara, penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) dan PPOK

d. Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya diluar pemeriksaan standar seperti uji kulit (ujialergi), pemeriksaan faal paru lengkap, uji provokasi bronkus, uji latih (Cardiopulmonary Exercise Test), bronkoskopi dan sebagainya.

Komplikasi

 Pneumotoraks  Asma resisten terhadap steroid  Atelektasis  Gagal napas

Pencegahan

Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu :

a. Pencegahan Primer Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan orang tua penyandang asma dengan cara yaitu:

1) Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan

masa perkembangan bayi/anak

2) Pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan

b. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersensitisasi dengan cara menghindar pajanan asap rokok, serta alergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah.

c. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukkan manifestasi penyakit dengan menghindari pencetus

Daftar Pustaka

1. Global initiative for asthma. Global Strategy for asma management and prevention (revised 2015).

2. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia. Jakarta: PDPI;2016

3. Pedoman Tatalaksana Asma. Dewan asma Indonesia. Jakarta. 2011.

4. Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Asma di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Kemenkes. 2015.

5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015.

Obat-Obatan Obat

Rentang dosis Frekuensi Keterangan Antitusif

Dekstrometh Dewasa 15-30 mg per 3-4 kali Diberikan selama 5 orfan (DMP) oral, maksimal 120 sehari

hari, hati-hati mg/hari

penggunaan pada Anak 6-12 tahun: 5-15

anak < 6 tahun, mg per oral, maksimal

tidak diberikan

60 mg/hari pada penyandang Anak 2-6 tahun: 2.5-

asma, PPOK

7.5 mg per

oral,

maksimal 30mg/hari Codein

Dewasa 10-20 mg per 3-4 kali Diberikan selama 5 oral, maksimal 120 sehari

hari, hati-hati mg/hari

penggunaan pada Anak 6-12 tahun: 5-10

anak < 6 tahun, mg per oral, maksimal

tidak diberikan

60 mg/hari pada penyandang Anak 2-6 tahun: 2.5-5

asma, PPOK mg per oral, maksimal 30mg/hari

Expektorant dan Mukolitik

Guaifenesin/ Dewasa: 200 – 400 mg 3-4 kali Diberikan selama 5 GG per oral, maksimal sehari

hari, hati-hati 2.4g/hari

penggunaan pada Anak 6-12 tahun: 100-

anak < 6 tahun 200 mg per oral, maksimal 1.2g/hari Anak 2-6 tahun: 50- 100mg

per

oral,

maksimal 600 mg/hari Bromhexin

3 kali Diberikan selama 5 Anak 6-12 tahun: 4 mg sehari

Dewasa 8 mg per oral

hari, hati-hati per oral

2 kali penggunaan pada Anak 2-6 tahun: 4mg sehari

anak < 6 tahun per oral

untuk anak 2-6 tahun

Ambroxol Dewasa 30 mg per 2-3 kali Diberikan selama 5 oral, maksimal 120 sehari

hari, hati-hati mg/hari

penggunaan pada Anak 6-12 tahun: 15

anak < 6 tahun

Monitoring

Biasanya jarang diperlukan karena bronkitis dapat sembuh dalam beberapa minggu. Pada pasien yang masih memberikan sisa gejala lakukan evaluasi kemungkinan adanya penyakit kronik seperti asma, GERD, PPOK, infeksi TB, dll.

Komplikasi

 Bronkitis Kronis  Pneumonia  Atelektasis

Daftar Pustaka

1. Balter MS, La Forge J, Low DE, Mandell L, Grossman RF. Canadian Guidelines for the Management of acute exacerbations of chronics bronchitis; executive summary. Can Respir J. Aug 2003. 248-58.

2. Michigan manajement of uncomplicated acute bronchitis in adult. May 2016. Smith SM, Fahey T, Smucny J, Beckey LA. The Cochrane Collaboration, 2012, Issue 4; and inhaled corticosteroids for stable chronic obstructive pulmonary disease(review), Yang IA, Clarke MS, Sim EHA, Fong KM. The Cohrane Collaboration, 2012, Issue 7;

3. Knutson D, Braun C. Diagnosis and Management of acute bronchitis. American Family Physician. Available at www.aafp.org/afp. May 2002. Vol65. 2039-44

4. Harris, AM, Hicks LA, Qaseem A. Appropriate Untibiotics Use for Acute Respiratory Tract Infection in Adults: Advice for High Value Care From the American College of Physicians and The Centers for Disease Control and Prevention. Ann Intern Med.2016;164:425-434

5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Tanda : Tergantung dari luasnya lesi pada paru, bila Vital

kerusakan paru cukup luas maka pasien akan terlihat sesak dengan frekuensi napas dan frekuensi nadi meningkat

Pemeriksaan BMI Dapat ditemukan keadaan gizi kurang atau malnutrisi

Pemeriksaan paru :  Kelainan pada pemeriksaan fisis tergantung dari luasnya kelainan atau kerusakan struktur paru. Pada permulaan penyakit umumnya tidak ditemukan kelainan. Kelainan paru umumnya pada daerah lobus superior

 Dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, melemah, ronki basah

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah : Pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator spesifik untuk TB. Laju endap darah (LED) yang meningkat kurang spesifik

Pemeriksaan bakteriologik : Bila ditemukan 1 spesimen BTA positif dari 2 atau 3 spesimen sputum Pemeriksaan/tes uji cepat (bila ada fasilitas) Xpert MTB/Rif: bila deteksi M.Tb positif

: Pemeriksaan kutur M. Tb: tumbuh

kuman M. Tb

Pemeriksaan radiologis :  Bayangan berawan/nodular di segmen (foto toraks)

apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah

 Kavitas, dapat dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau noduler  Bayangan bercak milier

Algoritme Diagnosis TB pada Pasien Dewasa

Sputum mikroskopis (BTA) Foto toraks

BTA (+) BTA (-)

Kasus definitif TB BTA (+) Lihat klinis dan foto toraks

Tidak sesuai TB

Antibiotik 2

Kasus TB BTA (-)

minggu

Perbaikan Tidak perbaikan, klinis sesuai

TB

Bukan TB Obati sesuai kasus TB

Catatan: Garis putus-putus = bila terdapat fasilitas Bila terdapat riwayat OAT sebelumnya, selain melakukan pemeriksaan sputum mikroskopis juga

dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/Rif, bila Xpert Rifampisin resisten dilanjutkan dengan pemeriksaan biakan M.Tb dan uji kepekaan obat lini 1 dan lini 2 (sesuai fasilitas yang tersedia).

Diagnosa Banding

PPOK (Penyakit Paru : Biasanya diderita usia > 50 tahun, perokok Obstruksi Kronik)

berat, barrel chest, mengi, hasil spirometry menunjukkan adanya perlambatan aliran udara atau obstruksi

Pneumonia komunitas Peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme yang ditandai dengan demam >40 °C, batuk dengan dahak purulen disertai dengan sesak napas atau nyeri dada

Bronkiektasis Penyakit saluran nafas kronik yang ditandai dengan dilatasi abnormal permanen akibat rusaknya dinding bronkus. Gejala klinisnya batuk disertai dahak banyak yang purulen, dapat dijumpai sputum 3 lapis (lapisan busa, lapisan purulen, dan mukoid)

Kanker paru Didapatkan massa pada paru, biasanya pada pasien dengan risiko tinggi seperti perokok. Gejala klinis batuk dapat disertai darah, penurunan berat badan dan nyeri dada

Abses paru Pengumpulan cairan terinfeksi dalam suatu rongga. Gejala batuk berdahak biasanya berbau busuk

Pencegahan

Primer

: Vaksinasi BCG

Skrining : Active case finding (terutama pada orang dengan risiko tinggi seperti HIV, pengguna narkoba suntik, kontak dekat pada orang dengan TB aktif)

Sekunder : Hindari kontak langsung (pada orang yang mendapat pengobatan, setelah 2 minggu pengobatan efektif maka infeksius menjadi berkurang) Menutup hidung & mulut saat bersin/batuk dengan sapu tangan, tisu atau masker Pengawasan minum obat hingga selesai pada orang dengan TB

Evaluasi klinis

 Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan  Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta

ada tidaknya komplikasi penyakit, bila terdapat efek samping berat 

Rujuk.

 Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis

Evaluasi bakteriologi (0 - 2 - 6 /8 bulan pengobatan)  Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak  Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis: sebelum

pengobatan, setelah 2 (dua) bulan pengobatan dan pada akhir pengobatan

 Bila dahak tidak konversi  Rujuk.

Evaluasi radiologi (0 - 2 – 6/8 bulan pengobatan)

 Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada sebelum pengobatan, setelah 2 (dua) bulan pengobatan kecuali pada kasus yang dipikirkan terdapat keganasan dapat dilakukan 1 (satu) bulan

pengobatan dan pada akhir pengobatan.  Bila tidak terdapat perbaikan atau terjadi perburukan secara radiologi 

Rujuk.

Evaluasi efek samping secara klinis

 Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap  Fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal: ureum, kreatinin, dan gula darah, serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau

efek samping pengobatan  Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid  Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol

(bila ada keluhan)  Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan)  Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.

Komplikasi

 Atelektasis  Bronkiektasis  Cor pulmonal  Batuk darah masif  Pneumotoraks  Empyema TB

Daftar Pustaka

1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015.

2. Kemenkes RI. Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan TB, 2013.

3. WHO. TB for Medical Student

4. WHO. International Standard for Tuberculosis Care. Diagnosis, treatment and public health.3 rd ed.2013

5. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;2014.

6. TBCTA (Tuberculosis Coalitionfor Technical Assistance).

7. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta: PT. Inoraf;2011.

Obat-Obatan

Obat Rentang dosis Frekuensi Keterangan

mg/hari

Antipiretik

Paracetamol Dewasa : 4000 3-4 kali sehari Jika demam mg/hari

sudah turun

3 bln – 1 thn: 500 stabil mg/hari

hentikan

1 – 6 tahun : 1000 mg/hari

6 – 12 tahun: 2000 mg/hari

Monitoring

Lakukan penilaian terhadap tanda bahaya hingga fase kritis dilewati. Sebaiknya lakukan pemeriksaan laboratorium darah rutin dan serum transaminase saat 4 minggu selesai perawatan untuk menilai adanya gejala sisa.

Komplikasi

Dengue Shock Syndrome  Efusi pleura  Asites  Sianosis  Syok irreversible

Daftar Pustaka

 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

 Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam . Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.

 WHO. Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control.new ed.2009

VI. Demam Typhoid

No. ICPC-2:D70 Gastrointestinal infection No. ICD-10:A01.0 Typhoid fever

Definisi

Adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksibakteri Salmonella enterica khususnya Salmonella typhiyang ditularkanmelaluifaecal-oral.

Etiologi

 Salmonella typhi  Salmonella paratyphi A,B,C

PenegakanDiagnosa

1. Diagnosis Kerja:

Diagnosis kerja ditegakkan bila terdapat hal-hal berikut ini:

a. Demam ≥5 hari

b. Suhu ≥ 38,5 °C Ditambah salah satu dari hal-hal berikut:

a. Peningkatan LED atau CRP

b. Leukosit normal atau leukopenia

c. Gejala gastrointestinal antara lain: mual muntah, nafsu makan berkurang, nyeri perut, diare, konstipasi

2. Faktor Risiko:

a. Proses mencuci tangan yang kurang baik

b. Sanitasi lingkungan yang tidak bersih

c. Penyediaan air bersih yang kurang baik

d. Makan dan minum ditempat jualan yang kurang bersih

3. Usia Penderita:

Bisa dialami semua usia

4. Pemeriksaan Penunjang:

a. Pemeriksaan darah tepi: Leukosit: normal, leukopeni

b. Pemeriksaan CRP dan LED: meningkat

c. Pemeriksaan bakteriologis(isolasi & biakan kuman): Kultur darah : positif (negatif pada pemberian antibiotik)

Feses: Positif (dilakukan setelah 1 minggu demam)

d. Uji serologis: Widal : (+) titer O≥1/320 atau H≥1/640 diagnosa pasti jika

terjadi kenaikan widal 2-4 kali lipat pada pemeriksaan ulang 5-

7 hari Tubex : (+) skor ≥ 5, hanya dapat mendeteksi Salmonella typhi

5. Diagnosis Akhir:

a. Demam Tifoid Tanpa Penyulit  Widal meningkat 2-4 kali pada pemeriksaan serial

 Single Titer: Widal O ≥ 1/320; Widal H ≥ 1/640  Kultur Darah Positif  Respon pengobatan 3-5 hari setelah terapi empirik

b. Demam Tifoid Dengan Penyulit:  Penurunan kesadaran

 Bronkopneumonia

Diagnosa Banding

Demam berdarah : Demam tinggi mendadak terus menerus, dengue

ditularkan oleh nyamuk, trombositopeni, hemokonsentrasi.

Apendisitis : Disertai nyeri perut terutama dibagian kanan bawah, perut buncit, sulit buang angin Demam dengue

: Demam tinggi mendadak disertai trombositopeni dan hemokonsentrasi Influenza

: Demam tinggi disertai batuk, pilek, sakit

tenggorokan, bersin

Malaria : Pola demam hilang timbul disertai keringat

dingin berlebihan

Pencegahan

Primer :  Jagalah kebersihan badan dan sekitar Anda  Jagalah kebersihan sanitasi lingkungan  Cucilah tangan sebelum makan  Hindari makan dan minum ditempat yang tidak

terjaga kebersihannya

Sekunder : Pemberian vaksin thyphoid jika ingin bepergian

ke wilayah endemik

Monitoring Pengobatan

Lakukan kontrol 5 (lima) hari setelah pengobatan

Komplikasi

 Perforasi usus  Ileus paralitik  Syok  Anemia hemolitik  Pleuritis  Hepatitis  Pielonefritis  Meningitis

Daftar Pustaka

 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

 Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam . Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.  WHO. Guidelines for The Management of Typhoid Fever. July 2011.

VII. Dermatitis

VII.1 Dermatitis

No. ICPC-2:S86 Dermatitis seborrhoeic No. ICD-10:L21 Seborrhoeic Dermatitis Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan

Dermatitis seboroik (DS) merupakan istilah yang digunakan untuk kelainan inflamasi kulit yang didasari oleh faktor konstitusi tertentu. Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea, sehingga mempunyai predileksi di daerah seborea (kulit kepala, wajah, dada dan punggung atas).

Anamnesis (Subyektif)

Pasien datang dengan keluhan munculnya bercak merah dan kulit kasar pada daerah predileksi. Kelainan awal yang ringan hanya berupa ketombe pada kulit kepala (pitiriasis sika) sampai keluhan lanjut berupa keropeng yang berbau tidak sedap dan terasa gatal. Dermatitis bisa berkembang dan meluas menjadi eritroderma. Faktor risiko di antaranya adalah
genetik, kelelahan, stres emosional, infeksi, defisiensi imun, jenis kelamin pria lebih sering daripada wanita, usia bayi bulan 1 dan usia 18-40 tahun, dan kurang tidur.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda patognomonis:

 Papul sampai plak eritema  Skuama berminyak agak kekuningan  Berbatas tidak tegas

Lokasi predileksi: kulit kepala, glabela, belakang telinga, belakang leher, alis mata, kelopak mata, liang telinga luar, lipat naso labial, sternal, areola mammae, lipatan bawah mammae pada wanita, interskapular, umbilikus, lipat paha, daerah angogenital. Dermatitis seboroik ringan apabila lesi kulit terbatas dengan eritem ringan dan skuama sedikit. Dikatakan berat bila lesi luas dengan skuama tebal, sampai menjadi eritroderma. Bentuk klinis berat (pada neonatus): seluruh kepala tertutup oleh krusta, kotor, dan berbau (cradle cap).

Pemeriksaan Penunjang Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.

Dermatitis seboroik pada kulit kepala

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis banding:
Psoriasis (skuamanya berlapis-lapis, tanda Auspitz,

skuama tebal seperti mika), Kandidosis (pada lipat paha dan perineal, eritema bewarna merah cerah berbatas tegas dengan lesi satelit di sekitarnya), Otomikosis (untuk lesi di liang telinga). Komplikasi Pada bayi dan anak, lesi bisa meluas menjadi penyakit Leiner atau eritroderma.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan: ฀ Pasien diminta untuk memperhatikan faktor predisposisi terjadinya

keluhan, misalnya stres emosional dan kurang tidur. Diet juga disarankan untuk mengkonsumsi makanan rendah lemak.

฀ Farmakoterapi dilakukan dengan: Topikal

o Bayi: Diberikan topikal minyak (oleum cocos) pada lokasi skuama, malam hari —esok hari, segera di cuci dengan shampoo bayi. Gunakan kortikosteroid lemah sampai sedang, lebih baik dalam bentuk lotion atau solusio (bila ada,) selama beberapa hari.

Selama pengobatan, rambut harus tetap dicuci. o Anak dan Dewasa: pada lesi di kulit kepala, diberikan shampo

selenium sulfida 1,8 atau shampo ketokonazol 2%, zink pirition (shampo anti ketombe), atau pemakaian preparat ter (liquor carbonis detergent) 2-5 % dalam bentuk salep dengan frekuensi 2-

3 kali seminggu selama 5-15 menit per hari. o Pada lesi di badan diberikan kortikosteroid topikal lemah sampai

sedang selama maksimal 2 minggu o Pada kasus dengan manifestasi dengan inflamasi yang lebih berat

diberikan kortikosteroid kuat misalnya betametason valerat krim 0,1%. (tidak boleh dipakai di wajah dan daerah lipatan dan pada pasien bayi)

o Pada kasus dengan infeksi jamur, perlu dipertimbangkan pemberian ketokonazol krim 2%. ฀ Oral sistemik o Antihistamin sedatif yaitu: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama 2 minggu, ATAU

o Antihistamin non sedatif yaitu: loratadin 1x10 mg selama maksimal 2 minggu. ฀ Konseling dan Edukasi o Memberitahukan kepada orang tua untuk menjaga kebersihan bayi dan rajin merawat kulit kepala bayi

o Memberitahukan kepada orang tua bahwa kelainan ini umumnya muncul pada bulan-bulan pertama kehidupan dan membaik seiring dengan pertambahan usia

o Memberikan informasi bahwa penyakit ini sukar disembuhkan tetapi dapat terkontrol dengan mengontrol emosi dan psikisnya.

Kriteria Rujukan: Pasien dirujuk apabila:

1. Tidak ada perbaikan dengan pengobatan standar selama 2 minggu

2. Pasien dengan komplikasi eritroderma

3. Dermatitis seboroik berat yang didasari penyakit tertentu, misalnya infeksi HIV/AIDS Rujukan balik: Pasien yang telah mengalami remisi dan komplikasinya teratasi, dirujuk balik ke pelayanan primer

Referensi

1. Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders

Elsevier.

3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta

VII.2 Dermatitis Numularis

No. ICPC-2: S87 Dermatitis/atopic eczema No. ICD-10: L20.8 Other atopic dermatitis Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Dermatitis numularis adalah dermatitis berbentuk lesi mata uang (koin) atau lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi berupa papulovesikel,

sehingga basah (oozing/madidans). Penyakit ini pada orang dewasa lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Usia puncak awitan pada kedua jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun, pada wanita usia puncak terjadi juga pada usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis tidak biasa ditemukan pada anak, bila ada timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun.

biasanya

mudah

pecah

Anamnesis (Subjective)

Keluhan:Bercak merah yang basah pada predileksi tertentu (kebanyakan di ekstremitas) dan sangat gatal. Keluhan hilang timbul dan sering kambuh. Faktor Risiko: riwayat trauma fisis dan kimiawi (fenomena Kobner: gambaran lesi yang mirip dengan lesi utama), riwayat dermatitis kontak alergi, riwayat dermatitis atopik pada kasus dermatitis numularis anak, stress emosional, minuman yang mengandung alkohol, lingkungan dengan kelembaban rendah, riwayat infeksi kulit sebelumnya.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda patognomonis:

1. Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel, berkelompok membentuk plak berukuran numular seukuran uang logam, eritematosa, sedikit edema, dan berbatas tegas, bentuk lesi oval.

2. Tanda eksudasi karena vesikel mudah pecah, kemudian mengering menjadi krusta kekuningan

3. Jumlah lesi dapat satu, dapat pula banyak dan tersebar, bilateral, atau simetris, dengan ukuran yang bervariasi.

Tempat predileksi terutama di tungkai bawah, badan, lengan, termasuk punggung tangan.

Gambar Dermatitis numularis

Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan.

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis: diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding: Dermatitis kontak, Dermatitis atopik, Neurodermatitis sirkumskripta, Dermatomikosis

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

1. Pasien disarankan untuk menghindari faktor yang mungkin memprovokasi seperti stres dan fokus infeksi di organ lain

2. Farmakoterapi yang dapat diberikan, yaitu: Topikal (2 kali sehari)

a. Kompres terbuka dengan larutan permanganas kalikus 1/10.000, menggunakan 3 lapis kasa bersih, selama masing-masing 15-20 
menit/kali kompres (untuk lesi madidans/basah) sampai lesi mengering

b. Kemudian terapi dilanjutkan dengan kortikosteroid topikal potensi : sedang sampai kuat selama maksimal 2 minggu b. Kemudian terapi dilanjutkan dengan kortikosteroid topikal potensi : sedang sampai kuat selama maksimal 2 minggu

d. Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian 
antibiotik topikal

Oral sistemik

a. Antihistamin sedatif: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama maksimal 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama maksimal 2 minggu ATAU

b. Antihistamin non sedatif: loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu

c. Jika ada infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik.

Komplikasi: Infeksi sekunder dan dermatitis autosensitisasi

Konseling dan Edukasi

1. Memberikan edukasi bahwa kelainan bersifat kronis dan berulang sehingga penting untuk pemberian obat topikal rumatan

2. Mencegah terjadinya infeksi sebagai faktor risiko terjadinya relaps

3. Menganjurkan menghindari faktor risiko yang bisa dilakukan

Kriteria Rujukan

1. Apabila kelainan tidak membaik dengan pengobatan topikal standar selama 2 minggu

2. Terjadi komplikasi dermatitis autosensitisasi atau infeksi sekunder

3. Apabila diduga terdapat faktor penyulit lain, misalnya fokus infeksi pada organ lain, maka konsultasi dan/atau disertai rujukan kepada dokter spesialis terkait (contoh: gigi mulut, THT, obgyn, dan lain-lain) untuk penatalaksanaan fokus infeksi tersebut.

Peralatan Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit dermatitis numularis.

Prognosis Prognosis pada umumnya bonam apabila kelainan ringan tanpa penyulit, dapat sembuh tanpa komplikasi, namun bila kelainan berat dan dengan penyulit prognosis menjadi dubia ad bonam.

Referensi

฀ Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

฀ Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke enam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

฀ James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders

Elsevier. ฀ Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2011. Pedoman

Pelayanan Medik. Jakarta. ฀ Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

ALGORITME

VII.3 Dermatitis Popok

Definisi: Dermatitis yang terlokalisasi paling tidak pada awalnya, pada daerah yang tertutup popok. Keadaan ini hanya terjadi setelah pemakaian popok.

Etiologi:

Etiologi dermatitis popok multifaktorial. Faktor penyebab yang berperan antara lain: hidrasi kulit, peran feses, urin, friksi, suhu, iritan kimiawi and popok itu sendiri. Faktor yang mencetuskan pertama kali adalah peningkatan hidrasi kulit dalam jangka waktu lama. Keadaan ini akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit akibat friksi, penurunan fungsi sawar kulit, dan meingkatkan reaksi terhadap bahan iritan. Fatkror lain yang berhubungan adalah kontak dengan urin dan feses, enzimproteolitik feses, enzim lipolitik pencernaan, peningkatan pH, serta superinfeksi dengan Candida spp. atau bakteri.

Manifestasi klinis:

Bentuk lesi: eritema konfluens, berkilat, disertai papul eritematosa multipel, edema dan skuama Lokasi lesi: bagian cembung bokong, paha bagian dalam, mons pubis, skrotum dan labia mayora. Dermatitis popok yang telah berlangsung lebih dari 3 hari, perlu dipertimbangkan adanya infeksi jamur (Candida spp). Lesi kulit berupa plak eritematosa, skuama, berbatas tegas, dan disertai lesi satelit berupa papul dan pustul. Diagnosis ditegakkan berdasarkan lesi yang khas dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan KOH dari kerokan kulit.

Komplikasi: indikasi rujuk ke PPK Sekunder (Dokter spesialis kulit dan kelamin)

- Dermatitis popok dengan infeksi sekunder (jamur)

Pengobatan:

PPK Primer:

1. Edukasi:

a. perawatan kulit di area popok.

b. menggunakan popok sesuai daya tampungnya.

2. Kortikosteroid topikal potensi ringan dapat diberikan dan dioleskan 2 kali sehari.

Obat-obatan:

(lihat lampiran)

Referensi

฀ MIMS Dermatology. 2015. Disease Management Guidelines. Indonesia. MIMS.

฀ James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of

the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. ฀ Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2014. Panduan Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Jakarta.

2. Riwayat asma atau rhinitis alergi (atau riwayat atopi pada first degree relative pada anak usia < 4 tahun)

3. Riwayat kulit kering dalam satu tahun terakhir

4. Dermatitis pada daerah lipatan yang telihat (atau dermatitis pada pipi/dahi dan ekstensor ekstremitas pada anak usia < 4 tahun)

5. Awitan sebelum usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak usia < 4 tahun).

Komplikasi: indikasi rujuk ke PPK Sekunder (Dokter spesialis kulit dan kelamin)

1. Infeksi sekunder

2. Eritroderma

3. DA berat dan rekalsitran

Pengobatan:

PPK Primer:

1. Edukasi

2. Menghidari dan memodifikasi faktor pencetus: berdasarkan riwayat

3. Fungsi sawar kulit yang optimal:

a. Perawatan kulit:

i. Pembersih: sabun berpelembab, pH 5,5-6,0, surfaktan ringan.

ii. Mandi: 1-2 kali/hari, air suam-suam kuku.

iii. Lama mandi:10-15 menit

b. Memakai pelembap:

i. Tipe pelembap: humektan, emolien, oklusif, kombinasi humektan, emolien & seramid, atau kombinasi humektan, emolien, antiinflamasi dan antipruritus.

ii. Aplikasi: dalam waktu 3 menit setelah mandi. Penggunaannya bisa seluruh tubuh, dan dapat diulang kapan saja bila diperlukan.

4. Menghilangkan inflamasi:

a. Kompres basah

b. Kortikosteroid topikal:

i. potensi terendah yang masih efektif. Dan pertimbangkan sesuai dengan fase, lesi, lokasi dan usia

ii. untuk bayi dan anak: potensi rendah sampai sedang.

iii. Untuk dewasa: potensi sedang, kuat dan sangat kuat.

5. Menghilangkan siklus gatal-garuk :

a. Antihistamin sistemik (sebagai ajuvan), intermiten, jangka pendek. AH1 atau AH2.

6. Tindak lanjut/Pengamatan : akut: 5 hari, dan kronik: 2 minggu.

Obat-obatan: (lihat lampiran)

Referensi

฀ MIMS Dermatology. 2015. Disease Management Guidelines. Indonesia. MIMS.

฀ James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of

the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. ฀ Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2014. Panduan

Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Jakarta.

Cefadroxil Dewasa: 2x500/hari sampai 2x1000 mg/hari

Anak:

30 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis Cefalexin 40-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis selama 5-7 hari Sefuroxim Dewasa: 2x250 mg/hari sampai 2x500 mg/hari

Anak: 2x125 mg/hari sampai 2x250 mg/hari Klorfeniramin Dewasa: 3x4 mg/h

Anak: 0,35mg/kgBB/h Setirisin Dewasa:

10 mg/h

Anak:

6 bln-2 thn: 2,5 mg 2-5 thn: 2,5-5 mg >5 thn: 5-10 mg Loratadine Dewasa:

10 mg/hari

Anak:

1 thn – 12 kg: 2,5 mg 12-30 kg: 5 mg >30 kg: 10 mg

Monitoring Pengobatan

Pasien harus diperiksa 4 minggu setelah memulai pengobatan untuk memastikan bahwa pengobatan berhasil. Jika terjadi resistensi pengobatan maka regimen obat harus diganti.

Komplikasi

 Scabies induced pioderma o Impetigo sekunder dan glomerulonefritis poststreptococal

o Sterptococcus pyogenes.  Scabies yang berkrusta

o Lymphangitis dan septicemia  Pemicu terjadinya bullous pemfigoid

Kriteria Rujuk Balik

Jika tidak ditemukan lagi kelainan fisis dan pada pemeriksaan mikroskop tidak ditemukan scabies maka dirujuk kembali ke PPK 1.

Referensi

฀ MIMS Dermatology. 2015. Disease Management Guidelines. Indonesia. MIMS. ฀ James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical

Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. ฀ Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2014. Panduan

Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Jakarta. ฀ Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun

2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

Tabel 1. Obat-Obatan

Obat Rentang dosis Frekuensi Keterangan Proton Pump Inhibitor

Lansoprazole** 30 mg per oral , 1-2 kali Diberikan antara 7 – 14 maksimum 60

hari; sebelum makan mg/hari Omeprazole

sehari

Diberikan antara 7 - 14 maksimum 40

20 mg per oral,

1-2 kali

hari; sebelum makan mg/hari Esomeprazole** 40 mg

sehari

1 kali

Diberikan antara 7 - 14

hari; sebelum makan Rapeprazole

Diberikan antara 7 - 14

hari; sebelum makan Pantoprazole

Diberikan antara 7 - 14

sehari

hari; sebelum makan

H2 Antagonis

Cimetidin 400 mg per oral,

Diberikan 4-6 minggu; maksimum 800 sehari

2 kali

sesudah makanan mg Ranitidin

300 mg per oral

Diberikan 4-8 minggu; maksimum 600 sehari

2 kali

sebelum/sesudah makan mg

50 – 200 mg per 3-4 kali

IV sehari

Antimikroba

Klaritromisin** 500 mg per oral 2 kali Diberikan selama 14 hari

sehari

Amoksisilin 500-1000 mg

Diberikan selama 14 hari per oral,

3- 4 kali

sehari

maksimal 3000 mg/hari

Metronidazole 500 mg per oral 3 kali Diberikan selama 14 hari

sehari

Tetrasiklin 250-500 mg per 3-4 kali Diberikan selama 14 hari oral

sehari

Tabel 2. Regimen Terapi Eradikasi Hp

Lini Pertama

7-14 hari Klaritromisin

1000 mg (2x1)

500 mg (2x1)

Di daerah yang diketahui resistensi klaritromisin >20%: PPI*

2x1

Bismut subsalisilat

2 x 2 tablet

7-14 hari Metronidazole

500 mg (3x1)

Tetrasiklin

250 mg (4x1)

Jika bismuth tidak ada: PPI*

2x1

Amoksisilin

1000 mg (2x1)

7-14 hari Klaritromisin

500 mg (2x1)

Metronidazole

250 mg (3x1)

Lini Kedua: Golongan obat ini dipakai bila gagal dengan rejimen yang mengandung klaritromisin

PPI*

2x1

Bismut subsalisilat

2 x 2 tablet

7-14 hari Metronidazole

500 mg (3x1)

Tetrasiklin

250 mg (4x1)

7-14 hari Levofloksasin

1000 mg (2x1)

500 mg (2x1)

Daftar Pustaka

1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.

2. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helibacter Pylori. Perhimpunan Gastroenterologi Indonesia. 2014

3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Primer, 2015

4. Lee YY, Chua AS. Investigating functional dyspepsia in Asia. J Neurogastroenterol Motil 2012;18:239-45.

5. Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. Asian consensus report on functional dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil 2012;18:150-68.

6. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispesia dan infeksi Helicobacter pylory. Simadibrata M. Makmun D, Abdullah M, Syam AF, Fauzi A, Renaldi K, Mauleha H, Utara AP. Editors. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia 2014.

7. Syam AF. Uninvestigated dyspepsia versus investigated dyspepsia. Acta Med Indones. 2005;37(2):113-5.

8. Malfertheiner P, Megraud F, O’Morain CA, et al. Management of Helicobacter pylori infection--the Maastricht IV/ Florence Consensus Report. Gut 2012;61:646-64.

9. Utia K, Syam AF, Simadibrata M, Setiati S, Manan C. Clinical evaluation of dyspepsia in patients with functional dyspepsia, with the history of Helicobacter pylori eradication therapy in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Acta Med Indones 2010;42:86-93.

Risiko Kardiovaskular (CV) & Kerusakan Target Organ

Faktor Risiko Terkait Kardiovaskular

Laki-laki Usia (laki ≥55 thn, wanita ≥ 65 thn)

Merokok Dislipidemia

 CT > 190 mg/dL, dan/atau  LDL > 115 mg/dL, dan/atau  HDL : laki< 40 mg/dL, wanita< 46 mg/dL  TGL > 150 mg/dL

GDP (102 – 125 mg/dL) Abnormal GD2PP

Obesitas (BMI ≥ 30 kg/m 2 ) Lingkar Pinggang (laki ≥102 cm, wanita ≥ 88 cm, pada ras Caucasian)

Riwayat keluarga mengalami premature CVD (laki <55 thn, wanita <

65 thn)

Kerusakan Organ Asimptomatik

Tekanan nadi (pada lansia) ≥ 60 mmHg EKG : LVH PlaK pada arteri Karotis Carotid-femoral PWV >10 m/s Ankle-brachial index <0.9 CKD dengan eGFR 30-60 ml/min/1.73m 2 (BSA)

Mikroalbuminuria

Diabetes Mellitus

GDP ≥126 mg/dL pada 2 kali pengukuran, dan/atau HBA1C >7%, dan/atau G2PP >198 mg/dL

Penyakit Jantung & Ginjal

CVD : stroke, TIA, CHD : angina, MI, revaskularisasi miokard dengan PCI atau CABG Gagal jantung

CKD dengan eGFR< 30 mL/min/1.73m 2 (BSA), proteinurin Retinopati: perdarahan,eksudat, papilledema

Monitoring Efek Samping Pengobatan

1. Fungsi Ginjal

5. Kaki edema

Komplikasi

Hipertropi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi ginjal, aterosklerosis, retinopati, stroke, TIA, infark miokard, angina pektoris, gagal jantung.

Daftar Pustaka

1. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al; National Heart, Lung, and Blood Institute Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure; National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. The seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC

7 report. JAMA. 2003;289(19):2560-2572.

2. Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, et al. 2013 ESH/ESC guidelines for the management of arterial hypertension: the Task Force for the Management of Arterial Hypertension of the European Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J . 2013;34(28):2159-2219.

3. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults. JAMA. 2014;311(5):507-520.

4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

• Konstipasi • Riwayat keluarga ISK berulang atau penyakit

ginjal • Riwayat ditemukan kelainan ginjal pada janin

saat ibu hamil • Kehamilan • Anomali struktur saluran kemih

Usia penderita : Semua usia

Pemeriksaan Fisik

PemeriksaanTanda : Suhu: normal atau meningkat (38.5°C-40°C), bisa Vital

takikardi

Pemeriksaan : 1. Nyeri tekan suprapubik Abdomen

2. Nyeri ketok pada sudut kostovertebral (jarang) Pemeriksaan

: 1. Nyeri tekan (jarang) Colok Dubur

2. Pembesaran kelenjar prostat (jarang) (pemeriksaan kelenjar prostat pada pria)

PemeriksaanPenunjang

Pemeriksaan urinalisis 3 : Positif ,leukosituria: > 10 leukosit/mm , bisa rutin

hematuri

Kultur urin (untuk 5 : Positif ≥ 10 CFU/mL ISK berulang)

Kriteria Diagnosis Berdasarkan IDSA/ESCMID

Kategori Presentasi Klinis Laboratorium

ISK-non komplikata Disuria, urgensi, ≥ 10 leukosit/mm3 3 akut pada wanita;

frekuensi, nyeri ≥ 10 CFU/mL* sistitis non

suprapubik, tidak ada komplikata akut

gangguan berkemih 4 pada wanita

minggu sebelumnya Pielonefritis

Demam, menggigil, nyeri ≥ 10 leukosit/mm3 nonkomplikata 4 pinggang;diagnosis ≥ 10 CFU/mL*

akut lainnya dieksklusikan; tidak ada riwayat atau bukti klinis kelainan akut lainnya dieksklusikan; tidak ada riwayat atau bukti klinis kelainan

ISK komplikata Kombinasi gejala ISK > 10 leukosit/mm3 non-komplikata akut dan 5 > 10 CFU/mL* pada

pielonefritis non- wanita komplikata akut; terdapat 4 > 10 CFU/mL* pada

faktor yang berhubungan pria, atau urin kateter dengan ISK komplikata

pada wanita (ada kelainan struktur dan fungsi saluran kemih, laki-laki, wanita hamil)

Bakteria Tidak ada gangguan > 10 leukosit/mm3 asimtomatik 5 berkemih > 10 CFU/mL* pada 2

biakan urin porsi tengah yang berurutan > 24 jam

Minimal 3 episode infeksi 3 < 10 CFU/mL* ISK

non-komplikata pada rekuren*uropatogen kultur 12 bulan terakhir:

pada biakan urin hanya pada wanita; tidak porsi tengah

ada kelainan struktural/fungsional

*uropatogen pada biakan urin porsi tengah

Monitoring Pengobatan

Setelah selesai pengobatan dilakukan pemantauan terhadap resolusi gejala dalam waktu 2-4 minggu.

Komplikasi

 Prostatitis  Pielonefritis  Sepsis  ISK Rekuren

Daftar Pustaka

1. Hooton T. Bacterial Urinary Tract Infections. In Johnson RJ, Feehally J, Floege J (eds): Comprehensive clinical nephrology, ed 4, Elsevier, Philadelphia, 2015, 632-43

2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Telinga : Tampak serumen berwarna kuning kecoklatan (otoskopi)

atau kehitaman yang menutupi seluruh atau sebagian liang telinga, bisa keras/lunak, dan posisi bisa 1/3 luar atau 2/3 dalam liang telinga

Tes penala

: Normal atau tuli konduktif

Diagnosa Banding

Penyumbatan benda : Benda kecil atau binatang masuk ke liang asing

telinga

Kolesteatoma eksterna Keratosis obturans

Penyulit

 Otitis Eksterna  Otomikosis  Stenosis liang telinga  Trauma liang telinga

Kriteria Merujuk

 Serumen disertai penyulit  Pasien tidak kooperatif  Curiga perforasi membran timpani dan atau adanya riwayat otore  Riwayat operasi telinga sebelumnya

Pencegahan

Primer :  Jaga kebersihan luar dan dalam telinga  Membersihkan telinga harus hati-hati  Jangan terlalu dalam membersihkan telinga

Sekunder :  Lakukan pemeriksaan rutin minimal tiap 6 bulan jika memiliki riwayat penyumbatan serumen

4. Pengait serumen dimasukkan ke liang telinga, selanjutnya melewati celah antara serumen dan kulit liang telinga dengan posisi ujung pengait sejajar dengan bidang kulit liang telinga. Bila belum ditemukan celah antara serumen dan kulit (seperti pada serumen impaksi), maka harus dibuat celah terlebih dahulu. Selanjutnya ujung pengait dirotasikan sehingga berada di dalam serumen dan serumen ditarik keluar. Manipulasi dengan alat pengait tidak dianjurkan di daerah inferior dinding liang telinga disebabkan kemungkinan terpicunya refleks vagal yang ditandai dengan batuk

5. Evaluasi liang telinga dan membran timpani Cara Irigasi liang telinga

1. Pasien dalam posisi duduk stabil. Pada pasien anak harus dipangku oleh orang dewasa yang berperan memegang/ menahan kedua kaki, tangan kanan memegang kedua tangan pasien, dan tangan kiri memegang/menahan kepala pasien

2. Handuk diletakkan di pundak sisi telinga yang dibersihkan

3. Nierbekken diletakan dibawah telinga yang akan dibersihkan

4. Daun telinga ditarik ke arah superior dan posterior untuk pasien dewasa ATAU ke arah posterior untuk pasien anak

C disemprotkan ke arah celah di antara serumen dan kulit liang telinga. Arah irigasi tidak dianjurkan ke arah inferior dinding liang telinga disebabkan kemungkinan terpicunya refleks vagal yang ditandai dengan batuk

5. Cairan hangat suhu 37 o

6. Liang telinga dikeringkan dengan kapas/suction

7. Evaluasi liang telinga dan membran timpani Irigasi liang telinga kontraindikasi pada :

1. Perforasi membran timpani

2. Infeksi aktif kulit liang telinga (otitis eksterna)

3. Impacted cerumen keras yang menutup total liang telinga

Komplikasi

 Perforasi membran timpani  Tuli konduktif  Infeksi kulit liang telinga  Pembentukan jaringan granulasi  Otitis eksterna  Perikondritis  Perikondritis

Daftar Pustaka

1. Chait T, Chai TC. Bactericidal Activity of Cerument. 1980;18(4):638–

2. Guest JF, Greener MJ, Robinson AC, Smith AF. Impacted cerumen: Composition, production, epidemiology and management. QJM - Mon J Assoc Physicians. 2004;97(8):477 –88.

3. Guidelines P. Practice Guidelines Diagnosis and Management of Cerumen Impaction. Am Fam Physician [Internet]. 2015;80(9):1 –6. Available from: http://dx.doi.org/

4. Hanger HC, Mulley GP. Cerumen: its fascination and clinical importance: a review. J R Soc Med [Internet]. 1992;85(6):346 –9. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1625268%5Cnhttp://www.pubm edcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC1293500

5. Marchisio P, Pipolo C, Landi M, Consonni D, Mansi N, Di Mauro G, et al. Cerumen: A fundamental but neglected problem by pediatricians. Int J Pediatr Otorhinolaryngol [Internet]. 2016;87:55 –60. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijporl.2016.05.014

6. Memel D, Langley C, Watkins C, Laue B, Birchall M, Bachmann M. Effectiveness of ear syringing in general practice: a randomised controlled trial and patients’ experiences. Br J Gen Pract. 2002;52(484):906 –11.

7. Olusanya BO. Hearing impairment in children with impacted cerumen. Ann Trop Paediatr. 2003;23(March):121 –8.

8. Oron Y, Zwecker-Lazar I, Levy D, Kreitler S, Roth Y. Cerumen removal: Comparison of cerumenolytic agents and effect on cognition among the elderly. Arch Gerontol Geriatr. 2011;52(2):228 –32.

9. Pollart SM, Health V. Cerumen Impaction. 2015;(April 2013):66211.

10. Propst EJ, George T, Janjua A, James A, Campisi P, Forte V. Removal of impacted cerumen in children using an aural irrigation system. Int J Pediatr Otorhinolaryngol [Internet]. 2012;76(12):1840 –3. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijporl.2012.09.014

11. Roland PS, Smith TL, Schwartz SR, Rosenfeld RM, Ballachanda B, Earll JM, et al. Clinical practice guideline: Cerumen impaction. Otolaryngol - Head Neck Surg. 2008;139(3 SUPPL.2).

12. Soy FK, Ozbay C, Kulduk E, Dundar R, Yazici H, Sakarya EU. A new approach for cerumenolytic treatment in children: In vivo and in vitro study. Int J Pediatr Otorhinolaryngol [Internet]. 2015;79(7):1096 –100. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijporl.2015.04.039

Dokumen yang terkait

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

INTENSI ORANG TUA DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK MENIKAHKAN ANAK PEREMPUAN DI BAWAH USIA 20 TAHUN DI KECAMATAN PAKEM KABUPATEN BONDOWOSO

10 104 107

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84

Efisiensi pemasaran kayu jenis sengon (paraserianthes falcataria) (studi kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor)

17 93 118

Penetapan awal bulan qamariyah perspektif masyarakat Desa Wakal: studi kasus Desa Wakal, Kec. Lei Hitu, Kab. Maluku Tengeha, Ambon

10 140 105

Pengaruh kualitas aktiva produktif dan non performing financing terhadap return on asset perbankan syariah (Studi Pada 3 Bank Umum Syariah Tahun 2011 – 2014)

6 101 0

Keabsahan praktik wakaf (studi kasus daerah Pebayuran KM 08 Kertasari-Pebayuran KAB.Bekasi-Jawa

1 43 117