BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Definisi Kecacingan - Pengaruh Albendazol dan Mebendazol Terhadap Perkembangan Telur Trichuris Trichiura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Definisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit

  berupa cacing, dimana dapat terjadi infeksi ringan maupun infestasi berat. Infeksi kecacingan adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing kelas nematoda usus khususnya yang penularan melalui tanah, diantaranya A lumbricoides, T

  

trichiura , dan cacing tambang (A duodenale dan N americanus) serta

Strongyloides stercolaris (Beaver dkk, 1984; Kazura, 2000).

  .

II.2. Trichuris trichiura

  Nama lain cacing ini adalah Trichocephalus dispar atau cacing cambuk merupakan salah satu nematoda usus yang penting pada manusia. Cacing

  

Trichuris ini termasuk family Trichinellidae, genus Trichiuris. Hospes

  definitifnya adalah manusia dan habitat normalnya di sekum dan kolon asendens (Beaver dkk, 1984; Kazura, 2000).

  Infeksi cacing cambuk (T trichiura) lebih sering terjadi di daerah panas, lembab, dan sering terjadi bersama-sama dengan infeksi Ascaris. Jumlah cacing dapat bervariasi, apabila jumlahnya sedikit pasien biasanya tidak terpengaruh dengan adanya cacing ini (Brown, 1982) Termasuk golongan nematoda yang hidup di kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Pejamu utama T trichiura adalah manusia yang terinfeksi bila menelan telur yang mengandung larva (Dent dkk, 2007; Pasaribu dkk, 2008). Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum (Gambar 1). Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000-10.000 butir (Strickland, 2000; Pasaribu dkk, 2008; Donkor dkk, 2009).

  Gambar 1. Cacing T trichiura dewasa (Kiri : betina, Kanan : jantan)

  Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan 2 penonjolan berbentuk knob pada kedua kutubnya. Kulit telur relatif tebal dengan bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya berwarna jernih (Gambar 2). Telur pada lingkungan optimal dapat bertahan 6 tahun. Pada pengeringan suhu 37 C dapat membunuh embrio dalam 15 menit. Temperatur lethal yaitu +52 C dan -9 C (Strickland, 2000; Yunus, 2008; Pasaribu dkk, 2008; Donkor dkk, 2009).

  Gambar 2. Telur cacing T trichiura http://www.dpd.cdc.gov.

  Dikutip dari : Siklus hidup T trichiura (Gambar 3) dimulai dari tertelannya telur T

  

trichiura matang yang berisi larva, telur menetas di dalam usus halus dan

  mengeluarkan larva. Setelah menjadi dewasa cacing ini akan bergerak menuju ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum (caecum). Cacing dewasa betina akan mulai bertelur dalam 60-70 hari setelah infeksi. Telur yang belum berlarva akan keluar bersama dengan tinja kemudian berubah morfologi menjadi sel membelah (dua sel, empat sel, morula, blastula, gastrula) dan menjadi infektif di tanah dalam 3-4 minggu. Telur yang infektif ini yang selanjutnya menjadi sumber penularan bagi manusia lain. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari (Strickland, 2000; Pasaribu dkk, 2008; Donkor dkk, 2009). Pemberian obat albendazol maupun mebendazol diharapkan dapat menghambat / merusak perkembangan telur / larva sehingga tanah yang sudah tercemar oleh tinja sudah tidak dapat menjadi sumber infeksi bagi manusia lain.

  Albendazol/ Mebendazol

Gambar 3. Daur hidup T trichiura

Dikutip dari: http://www.dpd.cdc.gov.

II.3. Epidemologi

  Faktor geografis suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap perbedaan tingkat infeksi dan secara geografis, untuk Sumatera Utara angka prevalensi T

  trichiura didapati sampai dengan 78,6% (Margono, 2003).

  Infeksi T trichiura didasari dengan sanitasi yang inadekuat dan populasi yang padat, umumnya ini dijumpai di daerah kumuh dengan tingkat sosioekonomi yang rendah. Perbedaan jenis kelamin, pekerjaan, pengetahuan dan perilaku, serta faktor sosial ekonomi juga erat kaitannya dengan prevalensi infeksi T trichiura.

  Umur yang paling rentan untuk mendapatkan infeksi T trichiura adalah 5 sampai 15 tahun (Dent dkk, 2007; Pasaribu dkk, 2008). Anak usia sekolah mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap infeksi T trichiura. Infeksi terjadi setelah tertelan telur infektif dari kontaminasi tangan, makanan (sayuran atau buah yang dipupuk dengan tinja manusia), atau minuman yang terkontaminasi serta melalui alat permainan, binatang peliharaan dan debu, bahkan di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi (Dent dkk, 2007).

II.4. Manifestasi Klinis

  Pada kebanyakan penderita hanya mengandung jumlah cacing yang sedikit dan tidak menunjukkan gejala (Dent dkk, 2007). Manifestasi klinis yang bisa muncul termasuk disentri kronik, tenesmus, pucat, gangguan tumbuh-kembang dan kognitif serta gangguan nutrisi lainnya (Jong, 2002; Dent dkk, 2007; Pasaribu dkk, 2008; Donkor dkk, 2009). Gejala ringan dan sedang adalah anak menjadi gugup, susah tidur, nafsu makan menurun. Pada infeksi Trichuris berat sering dijumpai diare berdarah disertai prolapsus recti (Trichuris Dysentry

  

Syndrome=TDS) (Gambar 4), turunnya berat badan dan anemia. Diare pada

  umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena infeksi Trichuris mampu menghisap darah sekitar 0,005 ml perhari/cacing (Beaver dkk, 1984; WHO, 1996; Onggowaluyo dkk, 1998; Strickland, 2000)

  Gambar 4. Prolapsus rectum

II.5. Diagnosis

  Infeksi T trichiura ditegakkan dengan menjumpai telur dalam feses ataupun cacing dewasa pada feses, peninggian eosinofil pada hapusan darah tepi serta pada pemeriksaan sigmoidoskopi dijumpai cacing dewasa (Gambar 5) (Dent, 2007; Pasaribu dkk, 2008; Donkor dkk, 2009). Pemeriksaan yang direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel feses dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato. Metode ini dapat mengukur intensitas infeksi secara tidak langsung dengan menunjukkan jumlah telur per gram feses (Henderson, 1996; Montresor, 1998).

  Gambar 5. Cacing dewasa pada pemeriksaan sigmoidoskopi

  II.6. Pencegahan / Pengobatan

  Perbaikan higiene pribadi / lingkungan seperti penyediaan toilet, cuci tangan, dan mengkonsumsi makanan yang matang serta perbaikan sanitasi juga diperlukan untuk mencegah terjadinya pencemaran tanah oleh tinja manusia yang terinfeksi dengan cacing. Ini penting untuk mencegah transmisi lebih lanjut (Jong, 2002; Dent dkk, 2007; Pasaribu dkk, 2008).

  WHO memberikan empat daftar anthelmintik yang esensial dan aman dalam penanganan dan kontrol STH, yaitu albendazole, mebendazole, levamisole, dan pyrantel pamoate. Jika diberikan secara reguler pada komunitas yang terinfeksi, obat-obat ini efektif dalam mengontrol morbiditas yang berhubungan dengan infeksi cacing yang endemis.

  II.6.1. Albendazol

  Albendazol adalah antihelmintik spektrum luas golongan benzimidazole dengan nama kimia methyl [5-(propylthio)-1 H-benzimidazol-2-yl] carbamate yang digunakan untuk infeksi cacing kremi, cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang (Gambar 6) (Venkatesan, 1998; Horton, 2000)

  

Gambar 6. Struktur kimia Albendazol Secara farmakologi, Benzimidazole bekerja menghambat mitochondrial

  fumarate reductase

  , pelepasan posporilasi dan mengikat β-tubulin, sehingga menghambat kerja polimerisasi (Goodman, 1996). Pada parasit cacing, albendazol dan metabolit-nya diperkirakan bekerja dengan jalan menghambat sintesis mikrotubulus, dengan demikian mengurangi pengambilan glukosa secara

  

irreversible, mengakibatkan cacing lumpuh (Bertram, 2004). Albendazol tersedia

  dalam bentuk tablet kunyah 200 mg dan 400 mg, serta sediaan suspensi. Untuk infeksi nematoda usus digunakan albendazol 400 mg dosis tunggal baik untuk anak di atas 2 tahun dan dewasa.

  Pada pemberian per oral, albendazol langsung bekerja sebagai antihelmintik di saluran cerna. Albendazol memiliki efek larvisid (membunuh larva) pada penyakit hydatid, cysticercosis, ascariasis, dan infeksi cacing tambang serta efek ovocid (membunuh telur) pada ascariasis, ancylostomiasis, dan

  trichuriasis . Obat ini dimetabolisir terutama menjadi albendazole sulphoxide yang

  dapat dimonitor dan menjadi pegangan untuk menentukan dosis obat (Katzung, 1989; Sukarno dkk, 1995; Goodman & Gilmants, 1996). Sekitar 3 jam setelah pemberian dosis oral 400 mg, sulfoxide tersebut mencapai konsentrasi plasma maksimum 113-367 ng/ml; waktu paruh plasma 8 - 12 jam. Bahan metabolisme dikeluarkan dari tubuh melalui empedu dan urine. Penyerapan albendazol akan meningkat hingga lima kali bila diberikan dengan makanan yang berlemak. Dengan demikian bila kita ingin membunuh cacing yang berada di jaringan, maka obat cacing diberikan bersama makanan, dan bila kita ingin memberantas cacing yang berada di lumen usus, maka obat cacing diberikan pada waktu sebelum makan / perut kosong (Bertram, 2004)

  Efek samping yang timbul berupa nyeri ulu hati, diare, sakit kepala, mual, muntah, pusing, gatal-gatal dan/atau ruam kulit bisa dijumpai. Efek samping yang jarang dijumpai termasuk nyeri tulang, proteinuria, dan penurunan eritrosit. Albendazol juga tidak boleh digunakan untuk anak di bawah 2 tahun dan untuk wanita hamil (Katzung, 1989; Sukarno dkk, 1995; Goodman & Gilmants, 1996).

  Penelitian yang dilakukan di RSCM menggunakan albendazol 400 mg dosis tunggal menunjukkan bahwa angka penyembuhan dan penurunan jumlah telur rata-rata per gram tinjanya masing-masing 59,35% dan 71,4% (Abidin dkk,1986).

II.6.2. Mebendazol

  

Gambar 7. Struktur kimia Mebendazol

  Mebendazol adalah salah satu antihelmintik spektrum luas merupakan obat pilihan untuk Trichuriasis dengan angka penyembuhan yang tinggi. Nama kimia mebendazol yaitu methyl [(5-benzoyl-3H-benzoimidazol-2-yl)amino]formate (Gambar 7). Rumus kimia: C

  16 H

  13 N

  3 O 3 . Disamping itu, efektifitasnya juga tinggi

  untuk infeksi nematoda usus lain seperti cacing gelang dan cacing tambang baik infeksi tunggal maupun campuran (Katzung, 1989; Sukarno dkk, 1995; Goodman & Gilmants, 1996).

  Obat ini mempunyai efek baik terhadap telur, larva maupun cacing dewasa. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi asetilkholin-esterase cacing, menghambat sintesis mikrotubuli nematoda yang mengakibatkan gangguan pada mitosis, juga menghambat ambilan glukosa secara irreversible sehingga terjadi pengosongan (deplesi) pada cacing. Cacing akan mati secara perlahan-lahan. Mebendazol juga menyebabkan sterilitas pada telur T trichiura, A lumbricoides dan hookworm sehingga telur ini gagal berkembang menjadi larva. Hasil pengobatan yang memuaskan baru tampak setelah 3 hari pemberian obat (Sukarno-Sukarban, 1995)

  Mebendazol biasanya diberikan secara oral. Obat ini memiliki bioavailabilitas sistemik yang rendah karena absorbsinya yang buruk dan mengalami first pass hepatic metabolism yang cepat. Ekskresi terutama melalui urin dalam bentuk metabolit dan utuh sebagai hasil dekarbosilasi dalam tempo 48 jam . Juga ditemukan metabolit dalam bentuk konyugasi yang diekskresi bersama empedu (Katzung, 1989; Sukarno dkk, 1995; Goodman & Gilmants, 1996).

  Mebendazol tidak menyebabkan efek toksik sistemik sehingga aman diberikan pada orang yang mengalami anemia dan malnutrisi sekalipun. Hanya kadang-kadang dilaporkan terjadi tenesmus dan nyeri kepala ringan. Berdasarkan studi toksikologi terbukti bahwa obat ini memiliki batas keamanan yang baik.

  Pada binatang, ia bersifat embriotoksik dan teratogenik, oleh karena itu tidak boleh diberikan pada wanita hamil . Obat ini juga tidak dianjurkan untuk anak dibawah dua tahun (Katzung, 1989; Sukarno dkk, 1995; Goodman & Gilmants, 1996).

  Dosis yang digunakan untuk trichuriasis bagi dewasa dan anak diatas 2 tahun adalah 2 x 100 mg 3 hari berturut-turut (Katzung, 1989; Sukarno dkk, 1995; Goodman & Gilmants, 1996). Mebendazol tersedia dalam bentuk tablet 100 mg dan sirup 10 mg/ml. Dosis tunggal 500 mg biasa diberikan pada pengobatan massal. Penggunaan mebendazol 500 mg dosis tunggal pada murid SD di Jakarta Selatan menunjukkan penurunan jumlah telur 80-90% (Abidin dkk, 1995).

  Sementara itu mebendazol dosis yang sama pada murid SD di Sidoarjo ternyata memberikan angka penyembuhan 100% (Bariah-Ideham, 1992).

  Berdasarkan hasil meta-analisis, albendazol dan mebendazol ditoleransi dengan baik. Pada 11 studi yang menggunakan albendazol, tidak ada dilaporkan efek samping yang signifikan setelah pemberian albendazol. Satu studi di Filipina melaporkan adanya mual dan diare pada 2 dan 1 individu. Sedangkan pada 3 studi yang menggunakan mebendazol, satu studi melaporkan ketidaknyamanan perut pada 6 dari 45 anak dan tidak adanya laporan efek samping dari 2 studi lainnya (Urbani dkk, 2001).

  Hasil penelitian Jackson dkk (1998) dikatakan bahwa dosis tunggal albendazol dan mebendazol tidak memberikan hasil yang maksimal dalam pengobatan infeksi trichuriasis. Menurut Hall dan Nahar (1994) bahwa pengobatan 3 hari berturut dengan albendazol dan mebendazol menunjukkan hasil yang lebih baik, tetapi pengobatan dalam 5 hari tidak menunjukkan hasil yang lebih baik.

  Dari hasil penelitian Lubis tahun 2009 tentang pengaruh albendazol dan mebendazol pada sterilitas telur A lumbricoides didapati bahwa pada pemeriksaan tinja minggu ke-3 (terlihat jumlah telur yang mengandung larva), pada kelompok albendazol sebanyak 19,5%, sedangkan pada kelompok mebendazol sebanyak 14,2%. Pada pemeriksaan tinja minggu ke-4, didapati penurunan jumlah telur yang infeksius pada kelompok albendazol yaitu sebanyak 13,8%, sedangkan pada kelompok mebendazol terjadi peningkatan jumlah telur yang infeksius menjadi 28,3%.

  Penelitian oleh Ismid dkk (1996) yang membandingkan pemberian mebendazol dengan pirantel pamoat terhadap perkembangan telur T trichiura mendapati hasil perkembangan telur T trichiura yang lebih lambat pascapengobatan dengan mebendazol dibandingkan dengan pengobatan pirantel pamoat. Morfologi telur yang abnormal dan degenerasi juga didapati pada kelompok mebendazol sedangkan keadaan tersebut tidak dijumpai pada kelompok pirantel pamoat.

  Satu penelitian untuk melihat efek ovisidal albendazol terhadap telur STH juga dilakukan pada tahun 1985, dimana didapati bahwa albendazol mempunyai efek ovisidal terhadap telur A lumbricoides, T trichiura, dan cacing tambang (Maisonneuve dkk, 1985). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Margono et al., (1995) didapatkan 3,12% telur T trichiura menjadi infektif setelah pengobatan dengan mebendazol 500 mg dosis tunggal. Dengan demikian antihelmintik tersebut menghambat perkembangan telur T trichiura (Rizal Subahar dkk, 1998).

  Waikagul et al., (1995) melaporkan setelah pengobatan dengan mebendazol (2 x 100 mg, 3 hari berturut-turut) didapatkan adanya perubahan morfologi telur T trichiura antara lain ukuran telur bertambah besar atau kecil, jumlah kutub berkurang, warna telur menjadi pucat dan lain-lain. Gracia & Bruckner (1988) menyatakan bahwa tidak semua telur T trichiura mengalami perubahan morfologi setelah pengobatan dengan mebendazol (Rizal Subahar, 1998). Pemilihan antihelmintik yang tepat, yang mempunyai efek vermisidal, larvasidal dan ovisidal penting dalam upaya penurunan transmisi (Ismid dkk, 1996).

II.7. Kerangka Teoritis

  Telur ( Bentuk Infektif termakan Siklus dalam usus manusia berisi larva) (menetas di usus halus, cacing dewasa di usus besar)

  Telur-Sel membelah Telur( Satu sel) yang (dua sel-empat sel- diekskresi via feces morula-blastula- gastrula)

  Albendazol / Mebendazol Telur rusak

Dokumen yang terkait

Pengaruh Albendazol dan Mebendazol Terhadap Perkembangan Telur Trichuris Trichiura

1 35 114

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Pendahuluan - Kajian Kekuatan dan Stabilitas Struktur Bangunan Menara Tungku Pembakaran Batu Bara dengan Memperhitungkan Pengaruh Gempa, Angin dan Temperatur Tinggi

0 0 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Pengaruh Kebijakan Investasi Terhadap Perkembangan Investasi di Sumatera Utara

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trichuris trichiura - Perbandingan Efektivitas Dosis Tunggal Albendazole Selama 2 Dan 3 Hari Pada Infeksi Trichuris Trichiura Pada Anak SDN 102052 Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persepsi 1. Definisi persepsi - Gambaran Persepsi Mahasiswa USU Terhadap Pola-Pola E-Learning

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian 2.1.1 Ayam Ras Petelur - Studi Perbandingan Kadar Protein Pada Putih Telur Ayam Ras, Telur Ayam Buras, Telur Itik, Telur Puyuh dan Telur Penyu Secara Titrasi Formol

0 0 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kinerja 2.1.1 Definisi Kinerja - Pengaruh Motivasi dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II Medan

0 1 37

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Iklim Organisasi II.1.1 Pengertian Iklim Organisasi - Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Semangat Kerja Pegawai Pada Kantor Kecamatan Medan Selayang

0 2 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. STROKE II.1.1. Definisi - Hubungan Stres dan Sleep Stroke dengan Outcome Stroke

0 0 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Stroke II.1.1 Definisi - Hubungan Antara Subtipes Stroke, Teritori Vaskular dengan Kejadian Pneumonia dan Mortalitas pada Pasien Stroke Akut dengan Disfagia

0 0 41