Pengaruh Albendazol dan Mebendazol Terhadap Perkembangan Telur Trichuris Trichiura
PENGARUH ALBENDAZOL DAN MEBENDAZOL
TERHADAP PERKEMBANGAN TELUR
TRICHURIS
TRICHIURA
TESIS
OLEH
HENDRA
107027007/IKT
MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PENGARUH ALBENDAZOL DAN MEBENDAZOL
TERHADAP PERKEMBANGAN TELUR
TRICHURIS
TRICHIURA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Tropis dalam Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis pada
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
OLEH
HENDRA
NIM: 107027007
MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
PENGESAHAN TESIS
Judul Tesis : PENGARUH ALBENDAZOL DAN
MEBENDAZOL TERHADAP
PERKEMBANGAN TELUR TRICHURIS
TRICHIURA
Nama Mahasiswa : HENDRA
Nomor Induk Mahasiswa : 107027007
Program Studi : Ilmu Kedokteran Tropis
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof.dr.Chairuddin P.Lubis, DTM&H,SpA(K)) dr. Endang Gani, DTM&H, SpPar(K)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof.dr.Chairuddin P.Lubis, DTM&H,SpA(K)) (Prof.dr.Gontar Siregar, Sp.PD-KGEH)
(4)
Telah diuji pada
Tanggal : 25 Juli 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Prof.dr.Chairuddin P.Lubis, DTM&H,SpA(K)
ANGGOTA : 1. dr. Endang Gani, DTM&H, SpPar(K) 2. Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, Sp. FK
3. dr. Hemma Yulfi. DAP&E, M.Med,Ed 4. Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes
(5)
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
PENGARUH ALBENDAZOL DAN MEBENDAZOL TERHADAP
PERKEMBANGAN TELUR TRICHURIS TRICHIURA
Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar
Nama : Hendra
NIM : 107027007
(6)
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : HENDRA
NIM : 107027007
Program Studi : Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Jenis Karya Ilmiah : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul:
PENGARUH ALBENDAZOL DAN MEBENDAZOL TERHADAP
PERKEMBANGAN TELUR TRICHURIS TRICHIURA
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan Pada tanggal : Juli 2013 Yang menyatakan
(7)
ABSTRAK
Albendazol dan mebendazol adalah antihelmintik yang direkomendasikan oleh WHO, dimana diketahui mempunyai efek vermisidal, larvasidal dan ovisidal yang penting dalam mempengaruhi perkembangan telur Trichuris trichiura yang diproduksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan pengaruh albendazol dan mebendazol terhadap perkembangan telur T trichiura.
Penelitian ini dilakukan dengan uji klinis acak terhadap 84 murid SD Belawan pada bulan Februari sampai Maret 2013 dengan pendekatan buta ganda. Pemeriksaan feses dilakukan dengan metode Kato. Analisis statistik dilakukan dengan uji Chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pemeriksaan tinja hasil kultur positif T trichiura pada minggu I dijumpai perbedaan bermakna (P< 0,05) telur satu sel pada kelompok albendazol dan mebendazol sebanyak 14 (33,3%) dan 5 (11,9%).Pada pemeriksaan kultur minggu III dijumpai peningkatan bentuk infektif (larva) masing-masing sebanyak 7 (16,7%) dan 3 (7,1%). Pada pemeriksaan kultur minggu IV sudah tidak dijumpai lagi telur satu sel pada kedua kelompok, tetapi jumlah larva meningkat dua kali menjadi 13 (31%) dan 8 (19%).
Kesimpulan penelitian ini bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pengaruh albendazol 400 mg dan mebendazol 500 mg dosis tunggal sekali sehari terhadap perkembangan telur T trichiura. Disarankan perlu penelitian lanjutan menggunakan albendazol dan mebendazol dengan berbagai variasi dosis maupun lama pemberian obat sehingga kontak obat dengan telur cacing lebih lama untuk mendapatkan efek ovisidal dan larvasidal yang lebih efektif.
Kata Kunci : Trichuris trichiura, perkembangan telur, kultur telur, albendazol, mebendazol
(8)
ABSTRACT
Albendazole and mebendazole are antihelmintic drugs recommended by WHO. These agents are known to have vermicidal, larvacidal and ovicidal effects which are important in influencing the development of eggs’ production. The aim of this study is to compare the effect of albendazole and mebendazole against T trichiura egg’s development.
This double blind randomized clinical trial was conducted on 84 primary school students in Belawan from Februari until March 2013. The examination of stool was done by Kato method. Data obtained were analized by Chi-square test.
The result shows that on the first week examination of stool positive culture of T trichiura, there is a significant difference (p<0,05) in the one-cell egg in the albendazole and mebendazole group total of 14 (33.3%) and 5 (11.9%) while in the third week of culture shows an infective form (larvae) respectively of 7 (16.7%) and 3 (7.1%). In the fourth week of culture, there is no longer found the one-cell eggs in both groups, but the number of larvae increased two times to 13 (31%) and 8 (19%).
It is concluded that there are no significant differences between the effects of albendazole 400 mg and mebendazole 500 mg single dose once daily against the development of T trichiura eggs. It is suggested to conduct various studies of albendazole and mebendazole with various dose and duration of drug contact with the drug so that the worm eggs longer to get the effect of ovisidal and larvasidal more effective.
Keywords : Trichuris trichiura, egg development, egg culture, albendazole, mebendazole
(9)
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala karunia dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini. Judul tesis ini adalah “ Pengaruh Albendazol Dan Mebendazol Terhadap Perkembangan Telur Trichuris Trichiura”.
Tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat S2 Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Penyusunan laporan ini juga tidak terlepas dari dukungan, bimbingan, arahan, dan bantuan yang sangat besar dari dosen pembimbing, dosen pembanding serta banyak pihak lainnya, dimulai dari penyusunan proposal, pengumpulan sampel sampai penyusunan tesis ini, oleh karena itu pada kesempatan yang berharga ini, izinkanlah penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp. PD-KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program studi S2 Ilmu Kedokteran Tropis. 2. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp,A(K) selaku Ketua Program
Studi S2 Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan selaku ketua komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan nasehat, inspirasi yang mendorong semangat penulis.
3. Dr. Tetty Amman Nasution, M. Med. Sc, selaku sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan nasehat, inspirasi yang mendorong semangat penulis.
4. Dr. Endang H Gani, DTM&H, Sp.Par(K), selaku dosen pembimbing yang telah berkenan memberikan bimbingan, arahan, saran, waktu dan semangat
(10)
kepada penulis, sejak dari penyusunan proposal sampai pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan hasil penelitian ini.
5. Prof. dr. H. Aznan Lelo, PhD, Sp.FK, selaku Ketua Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan juga selaku penguji tesis yang telah berkenan memberikan bimbingan, arahan, saran dan waktu kepada penulis, sampai pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan hasil penelitian ini.
6. Dr. Hemma Yulfi, DAP&E, M.Med, Ed, selaku penguji tesis telah berkenan memberikan bimbingan, arahan, saran dan waktu kepada penulis, sampai pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan hasil penelitian ini.
7. Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku penguji tesis dan konsultan statistik yang juga telah berkenan memberikan bimbingan, arahan, saran, waktu dan semangat kepada penulis, sampai pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan hasil penelitian ini.
8. Kepala dan Staf Bagian Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menggunakan fasilitas penelitian parasit.
9. Pemerintah Kecamatan Medan Belawan khususnya Kepala Sekolah Dasar Belawan beserta staf, yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis.
10. Kedua orangtuaku yang tercinta, Ardi Jirwanto dan Khoe Eng Lie serta kedua kakak saya, Vera Jirwanto, ST, MBA, M.Sc, MM dan abang saya Henry Jirwanto, SE, MM serta calon istri saya, Christina Honey Sumardi, yang selalu memberikan dukungan yang penuh kasih sayang, baik semangat, arahan, dan bantuan materil serta moril untuk membantu kelancaran pendidikan penulis.
11. Rekan-rekan seperjuangan S2 Ilmu Kedokteran Tropis, yang telah berbagi pengalaman baik suka maupun duka selama pendidikan.
12. Rekan-rekan staf pengajar di FK-USU yang selalu mendukung penulis, bantuan rekan-rekan sangat berarti bagi penulis
(11)
13. Seluruh pihak lainnya, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu, terima kasih atas dukungan dan bantuannya.
Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat imbalan dari Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Penulis menyadari laporan penelitian ini masih banyak kekurangan dan memerlukan perbaikan, oleh karena itu dengan kerendahan hati, penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan penelitian ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat, baik bagi penulis sendiri maupun bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai pihak lainnya.
Medan, Juli 2013 Penulis,
(12)
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap : Hendra Jirwanto
Tempat/ tanggal lahir : Medan, 22 November 1983
Agama : Buddha
Nama Ayah : Ardi Jirwanto Nama Ibu : Khoe Eng Lie
Riwayat Pendidikan : - Tamat SD SUTOMO I Medan (1996) - Tamat SMP SUTOMO I Medan (1999) - Tamat SMA SUTOMO I Medan (2002) - Tamat Dokter Umum FK-UISU (2008)
Riwayat Pekerjaan : - Dokter UGD RSU MITRA SEJATI (2008- sekarang) - Dokter UGD RS MARTHA FRISKA (2010-2011) - Dokter UGD RSIA STELLA MARIS (2010 – sekarang) - Dokter KLINIK LAKSANA (2013- sekarang)
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK……… ... i-ii
KATA PENGANTAR……… ... iii-v
RIWAYAT HIDUP……… ... vi
DAFTAR ISI ... vii-ix DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR TABEL……… ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
I.1. Latar Belakang ... 1
I.2. Perumusan Masalah ... 4
I.3. Tujuan Penelitian ... 4
I.3.1. Tujuan Umum……….. .. 4
I.3.2. Tujuan Khusus………. .. 5
I.4. Manfaat Penelitian………. .. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
II.1. Definisi Kecacingan ... 6
II.2. Trichuris trichiura ... 6
II.3. Epidemiologi ... 9
II.4. Manifestasi Klinis ... 10
II.5. Diagnosis... 11
(14)
II.6.1. Albendazol………. .. 12
II.6.2. Mebendazol……… .. 14
II.7. Kerangka Teoritis ... 18
BAB III METODE PENELITIAN ... 19
III.1.Rancangan Penelitian ... 19
III.2. Tempat dan Waktu ... 19
III.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 19
III.4. Kerangka Konseptual………. 19
III.5. Definisi Operasional………... 20
III. 6. Hipotesis……… 22
III.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 23
III.7.1. Kriteria Inklusi ... 23
III.7.2. Kriteria Eksklusi ... 23
III.8. Perkiraan Besar Sampel ... 23
III.9. Persetujuan / Informed Consent ... 24
III.10. Etika Penelitian ... 24
III.11. Cara Kerja dan Alur Penelitian ... 25
III.12. Identifikasi Variabel ... 26
III.13. Rencana Pengolahan dan Analisis Data ... 26
III.13.1. Pengolahan Data……… 26
III.13.2. Analisis Data………. 27
III.13.2.1. Analisis Univariat………... 27
III.13.2.2. Analisis Bivariat……… 27
(15)
BAB V PEMBAHASAN………... 38
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN……… .. 42
V.1. Kesimpulan………. 42
V.2. Saran……… ... 42
(16)
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
WHO : World Health Organization STH : Soil- transmitted helminth T trichiura : Trichuris trichiura
zα : Deviat baku normal untuk α zβ : Deviat baku normal untuk β n : Jumlah subjek/ sampel > : Lebih besar dari < : Lebih kecil dari α : Kesalahan tipe I β : Kesalahan tipe II
P : Besarnya peluang untuk hasil yang diobservasi
bila hipotesis nol benar dkk : Dan kawan kawan epg : egg per gram
SD : standar deviasi BB : berat badan TB : tinggi badan
(17)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 :Cacing T trichiura dewasa ... 7
Gambar 2 :Telur cacing T trichiura ... 8
Gambar 3: Daur hidup T trichiura ... 9
Gambar 4: Prolapsus rectum……… 11
Gambar 5: Cacing dewasa pada pemeriksaan sigmoidoskopi……….. 11
Gambar 6: Struktur kimia Albendazol………. 12
Gambar 7 : Struktur kimia Mebendazol………... 14
Gambar 8: Bentuk telur T trichiura satu sel………. 21
Gambar 9: Bentuk telur T trichiura sel membelah……….. 21
Gambar 10: Bentuk telur T trichiura infektif (larva)………... 21
Gambar 11 : Bentuk telur T trichiura rusak……… 22
Gambar 12: Profil penelitian……….... 29
Gambar 13: Diagram batang hasil kultur minggu I-IV kelompok Albendazol 33 Gambar 14: Diagram batang hasil kultur minggu I-IV kelompok Mebendazol 34 Gambar 15: Diagram batang Albendazol vs Mebendazol kultur minggu I 34
Gambar 16: Diagram batang Albendazol vs Mebendazol kultur minggu II 35
Gambar 17: Diagram batang Albendazol vs Mebendazol kultur minggu III 35
(18)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 : Karakteristik dasar subyek penelitian ... 29 Tabel 2 : Jenis infeksi ... 30 Tabel 3 : Hasil kultur positif T trichiura minggu I dalam formalin 1% 31 Tabel 4 : Hasil kultur positif T trichiura minggu II dalam formalin 1% . 31 Tabel 5 : Hasil kultur positif T trichiura minggu III dalam formalin 1% 32 Tabel 6 : Hasil kultur positif T trichiura minggu IV dalam formalin 1% 32 Tabel 7 : Data jumlah T trichiura sebelum intervensi obat ... 36 Tabel 8 : Perbandingan jumlah telur T trichiura yang berubah ... 37
(19)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Lembar Penjelasan Kepada Orang Tua ... 48
Lampiran 2 : Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ... 50
Lampiran 3 : Survei Infeksi Cacing Cambuk Formulir Sekolah ... 51
Lampiran 4 : Survei Infeksi Cacing Cambuk Formulir Murid ... 52
Lampiran 5 : Pemantauan Efek Samping Obat ... 53
Lampiran 6 : Teknik Hapusan Tebal Kato ... 54
Lampiran 7 : Surat Izin Penelitian……… ... 55
Lampiran 8 : Peta Lokasi Penelitian……… ... 56
Lampiran 9 : Data Daftar Nama Pemeriksaan Cacing………. 57
(20)
ABSTRAK
Albendazol dan mebendazol adalah antihelmintik yang direkomendasikan oleh WHO, dimana diketahui mempunyai efek vermisidal, larvasidal dan ovisidal yang penting dalam mempengaruhi perkembangan telur Trichuris trichiura yang diproduksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan pengaruh albendazol dan mebendazol terhadap perkembangan telur T trichiura.
Penelitian ini dilakukan dengan uji klinis acak terhadap 84 murid SD Belawan pada bulan Februari sampai Maret 2013 dengan pendekatan buta ganda. Pemeriksaan feses dilakukan dengan metode Kato. Analisis statistik dilakukan dengan uji Chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pemeriksaan tinja hasil kultur positif T trichiura pada minggu I dijumpai perbedaan bermakna (P< 0,05) telur satu sel pada kelompok albendazol dan mebendazol sebanyak 14 (33,3%) dan 5 (11,9%).Pada pemeriksaan kultur minggu III dijumpai peningkatan bentuk infektif (larva) masing-masing sebanyak 7 (16,7%) dan 3 (7,1%). Pada pemeriksaan kultur minggu IV sudah tidak dijumpai lagi telur satu sel pada kedua kelompok, tetapi jumlah larva meningkat dua kali menjadi 13 (31%) dan 8 (19%).
Kesimpulan penelitian ini bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pengaruh albendazol 400 mg dan mebendazol 500 mg dosis tunggal sekali sehari terhadap perkembangan telur T trichiura. Disarankan perlu penelitian lanjutan menggunakan albendazol dan mebendazol dengan berbagai variasi dosis maupun lama pemberian obat sehingga kontak obat dengan telur cacing lebih lama untuk mendapatkan efek ovisidal dan larvasidal yang lebih efektif.
Kata Kunci : Trichuris trichiura, perkembangan telur, kultur telur, albendazol, mebendazol
(21)
ABSTRACT
Albendazole and mebendazole are antihelmintic drugs recommended by WHO. These agents are known to have vermicidal, larvacidal and ovicidal effects which are important in influencing the development of eggs’ production. The aim of this study is to compare the effect of albendazole and mebendazole against T trichiura egg’s development.
This double blind randomized clinical trial was conducted on 84 primary school students in Belawan from Februari until March 2013. The examination of stool was done by Kato method. Data obtained were analized by Chi-square test.
The result shows that on the first week examination of stool positive culture of T trichiura, there is a significant difference (p<0,05) in the one-cell egg in the albendazole and mebendazole group total of 14 (33.3%) and 5 (11.9%) while in the third week of culture shows an infective form (larvae) respectively of 7 (16.7%) and 3 (7.1%). In the fourth week of culture, there is no longer found the one-cell eggs in both groups, but the number of larvae increased two times to 13 (31%) and 8 (19%).
It is concluded that there are no significant differences between the effects of albendazole 400 mg and mebendazole 500 mg single dose once daily against the development of T trichiura eggs. It is suggested to conduct various studies of albendazole and mebendazole with various dose and duration of drug contact with the drug so that the worm eggs longer to get the effect of ovisidal and larvasidal more effective.
Keywords : Trichuris trichiura, egg development, egg culture, albendazole, mebendazole
(22)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Salah satu masalah kesehatan terpenting yang dihadapi Indonesia sebagai negara berkembang adalah penyakit infestasi cacing usus, terutama pada anak-anak (Depary, 1985). Berbagai jenis cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminth) seperti cacing gelang (A lumbricoides); cacing cambuk
(T trichiura) dan cacing tambang (Ancylostoma spp, Necator americanus) dengan prevalensi yang sangat tinggi terutama di daerah beriklim tropis dengan kelembaban yang tinggi seperti iklim Indonesia memang merupakan lingkungan yang baik untuk perkembangan cacing usus. Hal ini didukung pula oleh faktor lain seperti rendahnya pendidikan, kurangnya kesadaran terhadap kesehatan pribadi dan lingkungan serta keadaan sosial ekonomi yang masih rendah, menyebabkan penyakit infestasi cacing usus ini dari hari ke hari tetap ada bahkan cenderung meningkat. Infestasi berat dari parasit ini akan menyebabkan gangguan penyerapan gizi, gangguan pertumbuhan, anemia dan dapat mengakibatkan penurunan intelegensia anak (Ideham, 1992; Hartono, 1998).
Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei cacingan di sekolah dasar di beberapa provinsi pada tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60-80% sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40-60%, Sumatera Utara angka prevalensi T trichiura didapati
(23)
Berdasarkan data dari badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization) mengatakan bahwa kejadian penyakit kecacingan di dunia masih tinggi yaitu lebih dari 1 milyar penduduk dunia terinfeksi dengan cacing A lumbricoides, 795 juta orang terinfeksi cacing T trichiura dan 740 juta orang
terinfeksi cacing tambang (Ancylostoma spp, Necator americanus) (WHO, 1996). Angka infeksi tertinggi terdapat pada anak-anak karena pada umur tersebut tanah adalah tempat bermain, yang memudahkan mereka terinfeksi dari tanah yang terkontaminasi tinja (Pasaribu, 2003). Faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang penting dalam proses transmisi, seperti iklim tropis Indonesia sangat menguntungkan terhadap perkembangan STH. Berdasarkan data epidemiologi, anak dengan tempat tinggal dan sanitasi yang buruk dan higienitas yang rendah mempunyai resiko terinfeksi yang lebih tinggi (Brooker dkk, 2006; WHO, 2008).
Salah satu usaha pemberantasan penyakit kecacingan adalah dengan pengobatan massal, disamping perbaikan sanitasi lingkungan dan pendidikan. Antihelmintik yang ideal untuk pengobatan masal haruslah efektif, spektrum luas, mempunyai efek ovisidal dan larvasidal sehingga telur yang mencemari tanah sudah tidak dapat meneruskan hidupnya, sedikit atau tanpa efek samping, mudah untuk didistribusikan, dosis tunggal serta tidak mahal (Depary, 1985; Abidin dkk, 1986). Antihelmintik yang direkomendasikan oleh WHO dalam penanganan dan kontrol STH, yaitu albendazole, mebendazole, levamisole, dan pyrantel pamoate. Jika diberikan secara reguler pada komunitas yang terinfeksi, obat-obat ini efektif dalam mengontrol morbiditas yang berhubungan dengan infeksi cacing yang endemik (Ismid, 1996; Keiser dkk, 2008; Lubis, 2009).
(24)
Kecamatan Medan Belawan dimana Sekolah Dasar ini berlokasi, terdiri dari 6 kelurahan dan 143 lingkungan. Pengobatan masal kecacingan terhadap murid SD Belawan dilakukan setiap enam bulan dengan pirantel pamoat, tapi frekuensi infeksi T trichiura pada murid SD tersebut masih tinggi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran terhadap kesehatan pribadi dan lingkungan seperti penyediaan jamban yang sedikit atau tidak memadai dan menyebabkan peningkatan tanah yang tercemar sehingga menyebabkan kejadian infeksi / reinfeksi cenderung meningkat. Menurut penelitian Salbiah tahun 2008 bahwa kecamatan Medan Belawan menunjukkan prevalensi rate infeksi cacingan sebesar 53,8%.
Hasil survei yang telah dilakukan pada murid SD Belawan dijumpai fasilitas sekolah yang tidak memadai seperti fasilitas jamban serta sebagian besar penduduknya mempunyai kondisi ekonomi yang rendah. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Perilaku tersebut merupakan faktor resiko yang memungkinkan siswa tersebut terinfeksi kecacingan.
Akhir- akhir ini banyak dipakai obat yang dapat memberantas infeksi T trichiura, seperti derivat imidazol (mebendazol dan albendazol) atau non imidazol
seperti oksantel pirantel pamoat. Obat ini dapat menyebabkan ekspulsi cacing dewasa dari penderita. Namun demikian, karena efektivitas obat ini tidak 100% maka masih ada cacing-cacing yang mengeluarkan telur sehingga tetap menjadi sumber infeksi dan mencemari tanah bila penderita tidak buang air besar di jamban. Obat cacing derivat imidazol selain menimbulkan ekspulsi cacing dewasa
(25)
dikatakan dapat merusak telur yang kontak dengan obat ini sehingga tidak dapat menginfeksi lagi (Maisonneuve dkk, 1985; Wagner dan Pena-Chavaria, 1974). Hal ini dapat menyebabkan makin berkurangnya kemungkinan transmisi telur yang dikeluarkan bersama tinja setelah pengobatan (infeksi / reinfeksi).
Pengurangan transmisi ini akan lebih baik bila telur yang masih ada dalam gonad dipengaruhi oleh obat cacing, sehingga cacing yang tidak dapat diekspulsi
pada pengobatan menghasilkan telur yang tidak dapat berkembang menjadi bentuk infektif. Penurunan transmisi dapat dilihat dengan angka reinfeksi. Oleh karena itu maka dilakukan pemantauan perkembangan telur serta jumlah telur T trichiura pasca pengobatan dengan antihelmintik golongan benzimidazole seperti
albendazole dan mebendazole yang mana diketahui mempunyai efek ovisidal dan
larvasidal sehingga menurunkan transmisi reinfeksi telur dalam tanah menjadi latar belakang penelitian ini.
I.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka diteliti bagaimana pengaruh albendazol 400 mg dosis tunggal dan mebendazol 500 mg dosis tunggal terhadap perkembangan telur T trichiura pada murid SD Belawan.
I.3. Tujuan Penelitian
I.3.1. Tujuan Umum
Untuk membandingkan pengaruh albendazol dan mebendazol terhadap perkembangan telur T trichiura pada anak di SD Belawan.
(26)
I.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui efek ovisidal / larvasidal albendazol 400 mg dosis tunggal dan mebendazol 500 mg dosis tunggal terhadap perkembangan telur T trichiura.
2. Untuk mengetahui perkembangan telur T trichiura setiap minggu selama sebulan setelah pemberian albendazol 400 mg dosis tunggal dan mebendazol 500 mg dosis tunggal.
I.4. Manfaat Penelitian
1. Untuk mendapatkan obat yang lebih efektif dan efisien dalam upaya menurunkan transmisi telur yang infeksius, sehingga dapat menurunkan angka reinfeksi trichuriasis.
2. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi ilmiah dalam penanganan infeksi T trichiura dan akan bermanfaat untuk meningkatkan
upaya peningkatan kesehatan masyarakat khususnya kesehatan pada anak di Indonesia.
3. Membantu program Departemen Kesehatan khususnya Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dalam memberantas penyakit menular terutama kecacingan.
(27)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi Kecacingan
Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa cacing, dimana dapat terjadi infeksi ringan maupun infestasi berat. Infeksi kecacingan adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing kelas nematoda usus khususnya yang penularan melalui tanah, diantaranya A lumbricoides, T trichiura, dan cacing tambang (A duodenale dan N americanus) serta
Strongyloides stercolaris (Beaver dkk, 1984; Kazura, 2000).
.
II.2. Trichuris trichiura
Nama lain cacing ini adalah Trichocephalus dispar atau cacing cambuk merupakan salah satu nematoda usus yang penting pada manusia. Cacing Trichuris ini termasuk family Trichinellidae, genus Trichiuris. Hospes
definitifnya adalah manusia dan habitat normalnya di sekum dan kolon asendens (Beaver dkk, 1984; Kazura, 2000).
Infeksi cacing cambuk (T trichiura) lebih sering terjadi di daerah panas, lembab, dan sering terjadi bersama-sama dengan infeksi Ascaris. Jumlah cacing dapat bervariasi, apabila jumlahnya sedikit pasien biasanya tidak terpengaruh dengan adanya cacing ini (Brown, 1982) Termasuk golongan nematoda yang hidup di kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Pejamu utama T trichiura adalah manusia yang terinfeksi bila menelan telur yang
(28)
panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum (Gambar 1). Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000-10.000 butir (Strickland, 2000; Pasaribu dkk, 2008; Donkor dkk, 2009).
Gambar 1. Cacing T trichiura dewasa (Kiri : betina, Kanan : jantan)
Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan 2 penonjolan berbentuk knob pada kedua kutubnya. Kulit telur relatif tebal dengan bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya berwarna jernih (Gambar 2). Telur pada lingkungan optimal dapat bertahan 6 tahun. Pada pengeringan suhu 370C dapat membunuh embrio dalam 15 menit. Temperatur lethal yaitu +520C dan -90C(Strickland, 2000; Yunus, 2008; Pasaribu dkk, 2008; Donkor dkk, 2009).
(29)
Gambar 2. Telur cacing T trichiura
Dikutip dari : http://www.dpd.cdc.gov.
Siklus hidup T trichiura (Gambar 3) dimulai dari tertelannya telur T trichiura matang yang berisi larva, telur menetas di dalam usus halus dan
mengeluarkan larva. Setelah menjadi dewasa cacing ini akan bergerak menuju ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum (caecum). Cacing dewasa betina akan mulai bertelur dalam 60-70 hari setelah infeksi. Telur yang belum berlarva akan keluar bersama dengan tinja kemudian berubah morfologi menjadi sel membelah (dua sel, empat sel, morula, blastula, gastrula) dan menjadi infektif di tanah dalam 3-4 minggu. Telur yang infektif ini yang selanjutnya menjadi sumber penularan bagi manusia lain. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari (Strickland, 2000; Pasaribu dkk, 2008; Donkor dkk, 2009). Pemberian obat albendazol maupun mebendazol diharapkan dapat menghambat / merusak perkembangan telur / larva sehingga tanah yang sudah tercemar oleh tinja sudah tidak dapat menjadi sumber infeksi bagi manusia lain.
(30)
Gambar 3. Daur hidup T trichiura
Dikutip dari: http://www.dpd.cdc.gov.
II.3. Epidemologi
Faktor geografis suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap perbedaan tingkat infeksi dan secara geografis, untuk Sumatera Utara angka prevalensi T trichiura didapati sampai dengan 78,6% (Margono, 2003).
Infeksi T trichiura didasari dengan sanitasi yang inadekuat dan populasi yang padat, umumnya ini dijumpai di daerah kumuh dengan tingkat sosioekonomi yang rendah. Perbedaan jenis kelamin, pekerjaan, pengetahuan dan perilaku, serta faktor sosial ekonomi juga erat kaitannya dengan prevalensi infeksi T trichiura.
Umur yang paling rentan untuk mendapatkan infeksi T trichiura adalah 5 sampai 15 tahun (Dent dkk, 2007; Pasaribu dkk, 2008). Anak usia sekolah mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap infeksi T trichiura. Infeksi terjadi setelah tertelan telur infektif dari kontaminasi tangan, makanan (sayuran atau buah
Albendazol/ Mebendazol
(31)
yang dipupuk dengan tinja manusia), atau minuman yang terkontaminasi serta melalui alat permainan, binatang peliharaan dan debu, bahkan di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi (Dent dkk, 2007).
II.4. Manifestasi Klinis
Pada kebanyakan penderita hanya mengandung jumlah cacing yang sedikit dan tidak menunjukkan gejala (Dent dkk, 2007). Manifestasi klinis yang bisa muncul termasuk disentri kronik, tenesmus, pucat, gangguan tumbuh-kembang dan kognitif serta gangguan nutrisi lainnya (Jong, 2002; Dent dkk, 2007; Pasaribu dkk, 2008; Donkor dkk, 2009). Gejala ringan dan sedang adalah anak menjadi gugup, susah tidur, nafsu makan menurun. Pada infeksi Trichuris berat sering dijumpai diare berdarah disertai prolapsus recti (Trichuris Dysentry Syndrome=TDS) (Gambar 4), turunnya berat badan dan anemia. Diare pada
umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena infeksi Trichuris mampu menghisap darah sekitar 0,005 ml perhari/cacing (Beaver dkk, 1984; WHO, 1996; Onggowaluyo dkk, 1998; Strickland, 2000)
(32)
Gambar 4. Prolapsus rectum
II.5. Diagnosis
Infeksi T trichiura ditegakkan dengan menjumpai telur dalam feses
ataupun cacing dewasa pada feses, peninggian eosinofil pada hapusan darah tepi serta pada pemeriksaan sigmoidoskopi dijumpai cacing dewasa (Gambar 5) (Dent, 2007; Pasaribu dkk, 2008; Donkor dkk, 2009). Pemeriksaan yang direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel feses dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato. Metode ini dapat mengukur intensitas infeksi secara tidak langsung dengan menunjukkan jumlah telur per gram feses (Henderson, 1996; Montresor, 1998).
(33)
II.6. Pencegahan / Pengobatan
Perbaikan higiene pribadi / lingkungan seperti penyediaan toilet, cuci tangan, dan mengkonsumsi makanan yang matang serta perbaikan sanitasi juga diperlukan untuk mencegah terjadinya pencemaran tanah oleh tinja manusia yang terinfeksi dengan cacing. Ini penting untuk mencegah transmisi lebih lanjut (Jong, 2002; Dent dkk, 2007; Pasaribu dkk, 2008).
WHO memberikan empat daftar anthelmintik yang esensial dan aman dalam penanganan dan kontrol STH, yaitu albendazole, mebendazole, levamisole, dan pyrantel pamoate. Jika diberikan secara reguler pada komunitas yang
terinfeksi, obat-obat ini efektif dalam mengontrol morbiditas yang berhubungan dengan infeksi cacing yang endemis.
II.6.1. Albendazol
Albendazol adalah antihelmintik spektrum luas golongan benzimidazole dengan nama kimia methyl [5-(propylthio)-1 H-benzimidazol-2-yl] carbamate yang digunakan untuk infeksi cacing kremi, cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang (Gambar 6) (Venkatesan, 1998; Horton, 2000)
(34)
Secara farmakologi, Benzimidazole bekerja menghambat mitochondrial fumarate reductase, pelepasan posporilasi dan mengikat β-tubulin, sehingga menghambat kerja polimerisasi (Goodman, 1996). Pada parasit cacing, albendazol dan metabolit-nya diperkirakan bekerja dengan jalan menghambat sintesis mikrotubulus, dengan demikian mengurangi pengambilan glukosa secara irreversible, mengakibatkan cacing lumpuh (Bertram, 2004). Albendazol tersedia
dalam bentuk tablet kunyah 200 mg dan 400 mg, serta sediaan suspensi. Untuk infeksi nematoda usus digunakan albendazol 400 mg dosis tunggal baik untuk anak di atas 2 tahun dan dewasa.
Pada pemberian per oral, albendazol langsung bekerja sebagai antihelmintik di saluran cerna. Albendazol memiliki efek larvisid (membunuh larva) pada penyakit hydatid, cysticercosis, ascariasis, dan infeksi cacing tambang serta efek ovocid (membunuh telur) pada ascariasis, ancylostomiasis, dan
trichuriasis. Obat ini dimetabolisir terutama menjadi albendazole sulphoxide yang
dapat dimonitor dan menjadi pegangan untuk menentukan dosis obat (Katzung, 1989; Sukarno dkk, 1995; Goodman & Gilmants, 1996). Sekitar 3 jam setelah pemberian dosis oral 400 mg, sulfoxide tersebut mencapai konsentrasi plasma maksimum 113-367 ng/ml; waktu paruh plasma 8 - 12 jam. Bahan metabolisme dikeluarkan dari tubuh melalui empedu dan urine. Penyerapan albendazol akan meningkat hingga lima kali bila diberikan dengan makanan yang berlemak. Dengan demikian bila kita ingin membunuh cacing yang berada di jaringan, maka obat cacing diberikan bersama makanan, dan bila kita ingin memberantas cacing yang berada di lumen usus, maka obat cacing diberikan pada waktu sebelum makan / perut kosong (Bertram, 2004)
(35)
Efek samping yang timbul berupa nyeri ulu hati, diare, sakit kepala, mual, muntah, pusing, gatal-gatal dan/atau ruam kulit bisa dijumpai. Efek samping yang jarang dijumpai termasuk nyeri tulang, proteinuria, dan penurunan eritrosit. Albendazol juga tidak boleh digunakan untuk anak di bawah 2 tahun dan untuk wanita hamil (Katzung, 1989; Sukarno dkk, 1995; Goodman & Gilmants, 1996).
Penelitian yang dilakukan di RSCM menggunakan albendazol 400 mg dosis tunggal menunjukkan bahwa angka penyembuhan dan penurunan jumlah telur rata-rata per gram tinjanya masing-masing 59,35% dan 71,4% (Abidin dkk,1986).
II.6.2. Mebendazol
Gambar 7. Struktur kimia Mebendazol
Mebendazol adalah salah satu antihelmintik spektrum luas merupakan obat pilihan untuk Trichuriasis dengan angka penyembuhan yang tinggi. Nama kimia mebendazol yaitu methyl [(5-benzoyl-3H-benzoimidazol-2-yl)amino]formate (Gambar 7). Rumus kimia: C16H13N3O3. Disamping itu, efektifitasnya juga tinggi untuk infeksi nematoda usus lain seperti cacing gelang dan cacing tambang baik infeksi tunggal maupun campuran (Katzung, 1989; Sukarno dkk, 1995; Goodman & Gilmants, 1996).
(36)
Obat ini mempunyai efek baik terhadap telur, larva maupun cacing dewasa. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi asetilkholin-esterase cacing, menghambat sintesis mikrotubuli nematoda yang mengakibatkan gangguan pada mitosis, juga menghambat ambilan glukosa secara irreversible sehingga terjadi pengosongan (deplesi) pada cacing. Cacing akan mati secara perlahan-lahan. Mebendazol juga menyebabkan sterilitas pada telur T trichiura, A lumbricoides dan hookworm sehingga telur ini gagal berkembang menjadi larva. Hasil pengobatan yang memuaskan baru tampak setelah 3 hari pemberian obat (Sukarno-Sukarban, 1995)
Mebendazol biasanya diberikan secara oral. Obat ini memiliki bioavailabilitas sistemik yang rendah karena absorbsinya yang buruk dan mengalami first pass hepatic metabolism yang cepat. Ekskresi terutama melalui
urin dalam bentuk metabolit dan utuh sebagai hasil dekarbosilasi dalam tempo 48 jam . Juga ditemukan metabolit dalam bentuk konyugasi yang diekskresi bersama empedu (Katzung, 1989; Sukarno dkk, 1995; Goodman & Gilmants, 1996).
Mebendazol tidak menyebabkan efek toksik sistemik sehingga aman diberikan pada orang yang mengalami anemia dan malnutrisi sekalipun. Hanya kadang-kadang dilaporkan terjadi tenesmus dan nyeri kepala ringan. Berdasarkan studi toksikologi terbukti bahwa obat ini memiliki batas keamanan yang baik. Pada binatang, ia bersifat embriotoksik dan teratogenik, oleh karena itu tidak boleh diberikan pada wanita hamil . Obat ini juga tidak dianjurkan untuk anak dibawah dua tahun (Katzung, 1989; Sukarno dkk, 1995; Goodman & Gilmants, 1996).
(37)
Dosis yang digunakan untuk trichuriasis bagi dewasa dan anak diatas 2 tahun adalah 2 x 100 mg 3 hari berturut-turut (Katzung, 1989; Sukarno dkk, 1995; Goodman & Gilmants, 1996). Mebendazol tersedia dalam bentuk tablet 100 mg dan sirup 10 mg/ml. Dosis tunggal 500 mg biasa diberikan pada pengobatan massal. Penggunaan mebendazol 500 mg dosis tunggal pada murid SD di Jakarta Selatan menunjukkan penurunan jumlah telur 80-90% (Abidin dkk, 1995). Sementara itu mebendazol dosis yang sama pada murid SD di Sidoarjo ternyata memberikan angka penyembuhan 100% (Bariah-Ideham, 1992).
Berdasarkan hasil meta-analisis, albendazol dan mebendazol ditoleransi dengan baik. Pada 11 studi yang menggunakan albendazol, tidak ada dilaporkan efek samping yang signifikan setelah pemberian albendazol. Satu studi di Filipina melaporkan adanya mual dan diare pada 2 dan 1 individu. Sedangkan pada 3 studi yang menggunakan mebendazol, satu studi melaporkan ketidaknyamanan perut pada 6 dari 45 anak dan tidak adanya laporan efek samping dari 2 studi lainnya (Urbani dkk, 2001).
Hasil penelitian Jackson dkk (1998) dikatakan bahwa dosis tunggal albendazol dan mebendazol tidak memberikan hasil yang maksimal dalam pengobatan infeksi trichuriasis. Menurut Hall dan Nahar (1994) bahwa pengobatan 3 hari berturut dengan albendazol dan mebendazol menunjukkan hasil yang lebih baik, tetapi pengobatan dalam 5 hari tidak menunjukkan hasil yang lebih baik.
Dari hasil penelitian Lubis tahun 2009 tentang pengaruh albendazol dan mebendazol pada sterilitas telur A lumbricoides didapati bahwa pada pemeriksaan tinja minggu ke-3 (terlihat jumlah telur yang mengandung larva), pada kelompok
(38)
albendazol sebanyak 19,5%, sedangkan pada kelompok mebendazol sebanyak 14,2%. Pada pemeriksaan tinja minggu ke-4, didapati penurunan jumlah telur yang infeksius pada kelompok albendazol yaitu sebanyak 13,8%, sedangkan pada kelompok mebendazol terjadi peningkatan jumlah telur yang infeksius menjadi 28,3%.
Penelitian oleh Ismid dkk (1996) yang membandingkan pemberian mebendazol dengan pirantel pamoat terhadap perkembangan telur T trichiura mendapati hasil perkembangan telur T trichiura yang lebih lambat pascapengobatan dengan mebendazol dibandingkan dengan pengobatan pirantel pamoat. Morfologi telur yang abnormal dan degenerasi juga didapati pada kelompok mebendazol sedangkan keadaan tersebut tidak dijumpai pada kelompok pirantel pamoat.
Satu penelitian untuk melihat efek ovisidal albendazol terhadap telur STH juga dilakukan pada tahun 1985, dimana didapati bahwa albendazol mempunyai efek ovisidal terhadap telur A lumbricoides, T trichiura, dan cacing tambang (Maisonneuve dkk, 1985). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Margono et al., (1995) didapatkan 3,12% telur T trichiura menjadi infektif setelah pengobatan dengan mebendazol 500 mg dosis tunggal. Dengan demikian antihelmintik tersebut menghambat perkembangan telur T trichiura (Rizal Subahar dkk, 1998).
Waikagul et al., (1995) melaporkan setelah pengobatan dengan
mebendazol (2 x 100 mg, 3 hari berturut-turut) didapatkan adanya perubahan morfologi telur T trichiura antara lain ukuran telur bertambah besar atau kecil, jumlah kutub berkurang, warna telur menjadi pucat dan lain-lain. Gracia & Bruckner (1988) menyatakan bahwa tidak semua telur T trichiura mengalami
(39)
perubahan morfologi setelah pengobatan dengan mebendazol (Rizal Subahar, 1998). Pemilihan antihelmintik yang tepat, yang mempunyai efek vermisidal, larvasidal dan ovisidal penting dalam upaya penurunan transmisi (Ismid dkk, 1996).
II.7. Kerangka Teoritis
Telur-Sel membelah (dua empat sel- morula-blastula-gastrula)
Telur( Satu sel) yang diekskresi via feces Telur ( Bentuk Infektif
berisi larva)
Siklus dalam usus manusia (menetas di usus halus, cacing dewasa di usus besar)
termakan
Albendazol / Mebendazol Telur rusak
(40)
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan uji klinis acak dengan pendekatan buta ganda yang membandingkan efek albendazol dan mebendazol dalam mempengaruhi perkembangan telur T trichiura setelah pengobatan.
III.2. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di SD Belawan; dilaksanakan mulai bulan Februari - Maret 2013.
III.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi target adalah anak sekolah dasar yang menderita trichuriasis. Populasi terjangkau adalah anak sekolah dasar di daerah Belawan, yang menderita trichuriasis. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi.
III.4. Kerangka Konseptual
PRETEST INTERVENSI POST-TEST OBSERVASI
Albendazol 400 mg dosis tunggal
Jumlah telur
Perkembang an telur
(satu Infeksi
Trichuriasis (+)
Kultur Feces M I-IV Mebendazol 500 mg
dosis tunggal Jumlah
telur
Perkembangan telur( satu sel, sel membelah, bentuk infektif dan rusak)
(41)
III.5. Definisi Operasional
1. Infeksi T trichiura disebutkan bila dijumpai telur T trichiura pada tinja
dengan pemeriksaan mikroskopis dengan teknik hapusan tebal Kato
2. Telur T trichiura adalah telur yang memiliki gambaran seperti gambar di
bawah ini pada pemeriksaan mikroskopik dengan pembesaran 400x.
3. Dosis albendazole adalah 1 kaplet yang mengandung 400 mg bahan aktif (Albendazol 400 mg, PT. Indofarma), kadaluarsa Oktober 2016, diberikan per-oral, sekali sehari.
4. Dosis mebendazole adalah 1 kaplet yang mengandung 500 mg bahan aktif (Vermox®, Janssen Pharmaceutica), diberikan per-oral, sekali sehari. No. Batch :2L8941, kadaluarsa November 2017.
5. Perkembangan telur T trichiura adalah setelah telur dibiakkan dalam medium formalin 1% dalam waktu tertentu akan bisa berubah morfologi menjadi satu sel, sel membelah, bentuk infektif / larva.
6. Telur satu sel adalah telur yang dalam pemeriksaan mikroskopis dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato dijumpai hanya satu sel (Gambar 8).
(42)
Gambar 8. Bentuk telur T trichiura satu sel
7. Telur sel membelah adalah telur yang dalam pemeriksaan mikroskopis dengan teknik hapusan tebal Kato dijumpai bentuk dua sel, empat sel, morula, blastula dan gastrula (Gambar 9).
Gambar 9. Bentuk telur T trichiura sel membelah (Kiri : dua sel, Kanan : empat sel)
8. Telur bentuk infektif adalah telur yang dalam pemeriksaan mikroskopis dengan teknik hapusan tebal Kato dijumpai larva (Gambar 10).
(43)
9. Telur bentuk rusak adalah telur yang dalam pemeriksaan mikroskopis dengan teknik hapusan tebal Kato dijumpai ukuran telur bertambah besar atau kecil, jumlah kutub hilang / berkurang, berubah posisi, warna telur pucat atau kabur, isi telur rusak / kabur (Gambar 11).
Gambar 11. Bentuk telur T trichiura rusak (Kiri : kutub hilang, isi telur hancur ; Kanan : bentuk telur mengecil)
10.Efek ovisidal adalah kemampuan suatu obat untuk mematikan sel telur (ovum) cacing sehingga tidak bisa menjadi telur infeksius dan menginfeksi manusia bila telur tersebut mencemari tanah
11.Efek larvasidal adalah kemampuan suatu obat dalam mematikan larva yang infektif dalam telur cacing sehingga tidak bisa viabel (hidup) lagi bila telur tersebut dikeluarkan oleh hospes dan mencemari tanah.
III.6. Hipotesis
Terdapat perbedaan pengaruh albendazol 400 mg dosis tunggal sekali sehari dan mebendazol 500 mg dosis tunggal sekali sehari terhadap perkembangan telur T trichiura pasca pengobatan
(44)
III.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
III.7.1. Kriteria Inklusi
1. Murid sekolah dasar Belawan kelas I sampai kelas VI
2. Dijumpai telur T trichiura dalam tinja dari hasil pemeriksaan Kato 3. Bersedia makan obat
4. Selama periode penelitian tidak mengkonsumsi antihelmintik lainnya selama 1 bulan sebelum penelitian
5. Orang tua murid bersedia mengisi informed consent
III.7.2. Kriteria Eksklusi
1. Dalam 1 bulan terakhir ada minum obat cacing
2. Tidak bersedia mengembalikan pot yang berisi tinja untuk pemeriksaan Kato setelah mendapat pengobatan
3. Mengalami diare / batuk / demam
III.8. Perkiraan Besar Sampel.
Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis terhadap 2 proporsi independen, yaitu :
n1= n2 = Dimana,
(Zα�2PQ+Zβ��1�1 +�2�2)2
n1 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok A n2 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok B α = kesalahan tipe I = 0,05 --> Tingkat kepercayaan 95% Zα = nilai baku normal = 1,96
(45)
Β = kesalahan tipe II = 0,2 --> Power (kekuatan penelitian) 80% Zβ = 0,842
P1 = proporsi telur T trichiura yang steril di kelompok Mebendazol = 72% (JacksonTFHG, 1998)
Q1 = 1-P1 = 0,28
P2 = proporsi telur T trichiura yang steril di kelompok Albendazol = 42% Q2 = 1- P2 = 0,58
P = (P1+P2)/2 = (0,72+0,42)/2 = 0,57 Q = 1-P = 1- 0,57 = 0,43
n1 = n2 = 42
Dengan menggunakan rumus di atas didapat jumlah sampel untuk masing-masing kelompok sebanyak 42 orang.
III.9.Persetujuan / Informed Consent
Semua subyek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu untuk pemberian antihelmintik pada penderita trichuriasis.
III.10. Etika Penelitian
Penelitian ini direncanakan persetujuan dari Komisi Etik Kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
(46)
III.11. Cara Kerja dan Alur Penelitian
1. Data dasar diperoleh dari wawancara dan kuesioner.
2. Pot tinja yang sudah diberi nomor dibagikan pada semua murid SD Belawan. 3. Tinja yang terkumpul diperiksa dengan metode Kato.
4. Murid yang pada tinja positif telur T trichiura, dibagi secara acak dengan menggunakan randomisasi sederhana memakai tabel random ke dalam dua kelompok yaitu kelompok I yang mendapat terapi albendazol 400 mg (Albendazole, PT.Indofarma) dosis tunggal dan kelompok II yang mendapatkan terapi mebendazol 500 mg (Vermox 500®, Janssen Pharmaceutica) dosis tunggal.
5. Tinja pertama diperiksa 1 minggu kemudian setelah pengobatan dengan metode pemeriksaan yang sama.
6. Tinja yang mengandung telur T trichiura kemudian dikultur dalam formalin 1% larutan dalam pot plastik ukuran 30 ml pada suhu kamar 25 sampai 30℃. 7. Setelah 1 minggu tinja tersebut diperiksa lagi untuk melihat perkembangan
telur sampai minggu ke-4. Dari jumlah telur T trichiura yang diperiksa, dilihat perkembangan telur T trichiura dan dihitung jumlah telur yang berkembang menjadi larva.
(47)
Alur Penelitian
III.12. Identifikasi Variabel
Variabel bebas Skala
Regimen Antihelmintik Nominal
Variabel tergantung Skala
Intensitas telur T trichiura Ordinal Kesembuhan infeksi T trichiura Nominal Perkembangan telur T trichiura Nominal
III.13. Rencana Pengolahan dan Analisis Data
III.13.1.Pengolahan Data
Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi
Albendazol 400 mg dosis tunggal
Mebendazol 500 mg dosis tunggal
Pemeriksaan Kato Pemeriksaan Kato
Telur T trichiura (+)
Telur T trichiura (-)
Telur T trichiura (-)
Telur T trichiura (+)
Kultur Kultur
(48)
Pengolahan data dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
• Editing (pemeriksaan data)
Editing dilakukan untuk meneliti kelengkapan dan kekonsistenan jawaban dari setiap kuesioner yang diisi.
• Coding (pemberian kode)
Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer.
• Entry (pemasukan data komputer)
Data yang dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam program komputer untuk diolah.
• Cleaning Data Entry
Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer guna menghindari terjadinya kesalahan pada pemasukan data.
III.13.2. Analisis Data
III.13.2.1. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari variabel yang diteliti.
III.13.2.2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk menganalisa hubungan antara pemberian régimen antihelmintik dengan perkembangan telur T trichiura. Analisis yang dipakai adalah Chi-square untuk data kategori (berkelompok) dan uji Mann-Whitney untuk membandingkan perbedaan jumlah telur antara dua kelompok obat. Batas kemaknaan 5% (P<0,05).
(49)
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada anak murid SD Belawan, di kecamatan Medan Belawan dilaksanakan mulai bulan Februari dan Maret 2013. Jumlah murid 301 orang, 148 murid yang mengembalikan pot, didapatkan 99 anak murid SD positif menderita kecacingan trichuriasis melalui pemeriksaan Kato. Dari 99 anak murid SD tersebut hanya 89 anak SD yang memenuhi kriteria penelitian, lalu secara acak sederhana dibagi 2 kelompok dengan kelompok I (albendazol 400 mg dosis tunggal satu hari) yaitu 45 anak murid SD dan kelompok II (mebendazol 500 mg dosis tunggal satu hari) yaitu 44 anak murid SD. Pada akhirnya kelompok I hanya diikuti oleh 42 anak murid SD dan kelompok II diikuti 42 anak murid SD yang sampai akhir mengikuti penelitian. Profil penelitian dapat dilihat pada Gambar 12. Karakteristik dasar subyek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dan jenis penelitian pada Tabel 2.
(50)
Gambar 12. Profil penelitian
Tabel 1. Karakteristik dasar subyek penelitian (n=42)
Karakteristik Kelompok I Kelompok II
(Albendazol) (Mebendazol)
n(%) n(%)
Jenis kelamin
-Laki-laki 21(50,0) 18(42,9)
-Perempuan 21(50,0) 24(57,1)
Umur (tahun) 9,5(1,9) 9,7(1,7)
Berat badan (kg) 26,0(7,9) 28,3(7,2)
Tinggi badan (cm) 126,5(11,7) 127,3(9,7)
301 anak murid SD
153 anak tidak mengembalikan pot untuk pemeriksaan tinja 148 anak diperiksa dengan
metode Kato
89anak terinfeksi T trichiura Randomisasi
Albendazol 400 mg sehari (n=45) Mebendazol 500 mg sehari (n=44) Drop out (n=3) karena
tidak mengembalikan pot untuk kultur tinja
Drop out (n=2) karena tidak mengembalikan pot untuk kultur tinja Kultur tinja & pemeriksaan tinja
dilakukan pada minggu I,II,III,IV (n=42)
Kultur tinja & pemeriksaan tinja dilakukan pada minggu I,II,III,IV (n=42)
(51)
Setelah dilakukan pemberian albendazol 400 mg dosis tunggal terhadap kelompok I (n=45) dan mebendazol 500 mg dosis tunggal terhadap kelompok II (n=44), tidak dijumpai adanya efek samping pada kedua kelompok subyek penelitian.
Seminggu setelah diberikan pengobatan pada kedua kelompok subyek penelitian dilakukan pemeriksaan tinja kembali, ada 3 murid yang tidak mengembalikan pot untuk kultur tinja pada kelompok I (n=42) sedangkan ada 2 murid yang tidak mengembalikan pot untuk kultur tinja pada kelompok II (n=42).
Tabel 2. Jenis infeksi
Jenis infeksi Kelompok I Kelompok II n P
(Albendazol) (Mebendazol)
n(%) n(%)
T trichiura 16 (38,1) 14 (33,3) 30 0,641 A lumbricoides + T trichiura 16 (38,1) 17 (40,5) 33
A lumbricoides + T trichiura 8 (19,0) 10 (23,8) 18 + Hookworm
T trichiura + E vermicularis 1 (2,4) 0 (0) 1 T trichiura + Hookworm 0 (0) 1 (2,4) 1 T trichiura + H nana 1 (2,4) 0 (0) 1
Dari hasil pemeriksaan tinja yang dilakukan, 84 (100%) murid menderita cacingan dari berbagai jenis cacing usus. Dijumpai adanya infeksi campuran cacing usus antara lain T trichiura dengan A lumbricoides 33 (39,3%), T trichiura dengan A lumbricoides dan cacing tambang 18 (21,4%), T trichiura dengan E vermicularis 1 (1,2%), T trichiura dengan cacing tambang 1 (1,2%), T trichiura dengan H nana 1(1,2%), sedangkan infeksi tunggal T trichiura sebanyak 30 (35,7%) (Tabel 2).
Hasil kultur pada minggu I, II, III dan IV dapat dilihat pada tabel 3, 4, 5 dan 6.
(52)
Tabel 3. Hasil kultur positif T trichiura pada minggu I dalam formalin 1%
Telur T trichiura Kelompok I Kelompok II n P (Albendazol) (Mebendazol) n (%) n (%)
Satu sel 14(33,3) 5(11,9) 19 0,019
Sel membelah 8(19,0) 7(16,7) 15 0,776
Infektif 2(4,8) 1(2,4) 3 0,557
Rusak 11(26,2) 7(16,7) 18 0,287
Dari hasil kultur telur T trichiura pemeriksaan minggu I pada tabel 3, dijumpai adanya perbedaan telur yang berisi satu sel pada kelompok albendazol 33,3% dan mebendazol 11,9% (P<0,05). Pada kelompok albendazol dijumpai sel membelah, infektif dan rusak masing-masing 19,0%; 4,8%; dan 26,2% sedangkan pada kelompok mebendazol, sel yang membelah, infektif dan rusak masing-masing 16,7%; 2,4%; dan 16,7%.
Tabel 4. Hasil kultur positif T trichiura pada minggu II dalam formalin 1%
Telur T trichiura Kelompok I Kelompok II n P (Albendazol) (Mebendazol)
n (%) n (%)
Satu sel 14(33,3) 7(16,7) 21 0,078
Sel membelah 7(16,7) 7(16,7) 14 1,0
Infektif 3(7,1) 1(2,4) 4 0,306
Rusak 13(31) 9(21,4) 22 0,321
Tabel 4 menunjukkan bahwa dari hasil kultur telur T trichiura pemeriksaan minggu II, pada kelompok albendazol dijumpai telur satu sel, sel membelah, infektif dan rusak masing-masing 33,3%; 16,7%; 7,1% dan 31% sedangkan pada kelompok mebendazol masing-masing 16,7%; 16,7%; 2,4% dan 21,4% hampir tidak ada perbedaan dengan hasil kultur T trichiura pemeriksaan minggu I.
(53)
Tabel 5. Hasil kultur positif T trichiura pada minggu III dalam formalin 1%
Telur T trichiura Kelompok I Kelompok II P (Albendazol) (Mebendazol)
n (%) n (%)
Satu sel 5(11,9) 2(4,8) 0,236
Sel membelah 12(28,6) 8(19) 0,306
Infektif 7(16,7) 3(7,1) 0,178
Rusak 15(35,7) 11(26,2) 0,345
Tabel 5 menunjukkan bahwa dari hasil kultur telur T trichiura pemeriksaan minggu III, pada kelompok albendazol ditemukan 11,9% telur masih bersel satu; 28,6% sudah mulai membelah; 16,7% menjadi bentuk infektif dan 35,7% sel telur yang rusak. Pada kelompok mebendazol ditemukan telur yang bersel satu ada 4,8%; sel yang membelah 19%; telur bentuk infektif 7,1%; sel telur yang rusak 26,2%.
Tabel 6. Hasil kulturpositif T trichiura pada minggu IV dalam formalin 1%
Telur T trichiura Kelompok I Kelompok II n P (Albendazol) (Mebendazol)
n (%) n (%)
Satu sel 0(0) 0(0) 0 ~
Sel membelah 5(11,9) 1(2,4) 6 0,09
Infektif 13(31) 8(19) 21 0,208
Rusak 13(31) 11(26,2) 24 0,629
Tabel 6 mrnunjukkan bahwa hasil kultur telur T trichiura pemeriksaan minggu IV, terlihat sudah tidak dijumpai lagi bentuk telur yang berisi satu sel pada kelompok albendazol dan mebendazol dimana semua, selnya berkembang menjadi bentuk lain (infektif) dimana pada kelompok albendazol minggu III dari
(54)
16,7% menjadi 31% pada minggu IV sedangkan pada kelompok mebendazol bentuk infektif minggu III dari 7,1% menjadi 19% minggu IV.
Gambar 13. Diagram batang hasil kultur minggu I-IV kelompok albendazol
Hasil kultur positif telur T trichiura minggu I-IV pada kelompok albendazol dapat dilihat pada diagram batang (Gambar 13) dan pada kelompok mebendazol (Gambar 14) terlihat bahwa jumlah telur satu sel mulai dari minggu II-IV cenderung menurun sedangkan jumlah bentuk infektif mulai meningkat pada minggu III-IV dimana telur akan menjadi matang / bentuk infektif dalam waktu 3-4 minggu dalam lingkungan yang sesuai hampir sama.
Sedangkan hasil perbandingan kelompok albendazol dan mebendazol dari minggu I-IV terhadap jumlah telur satu sel, sel membelah, bentuk infektif dan rusak dapat dilihat pada diagram batang (Gambar 15-18) menunjukkan bahwa ada kecenderungan terjadi penurunan jumlah telur satu sel, sel membelah, bentuk infektif dan rusak pada kelompok mebendazol dibandingkan kelompok albendazol.
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
Satu sel Sel membelah Infektif Rusak
(55)
Gambar 14. Diagram batang hasil kultur minggu I-IV pada kelompok mebendazol
Gambar 15. Diagram batang Albendazol vs Mebendazol pada hasil kultur minggu I
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
Satu sel Sel membelah Infektif Rusak
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Satu sel Sel membelah Infektif Rusak
Albendazol Mebendazol
(56)
Gambar 16. Diagram batang Albendazol vs Mebendazol pada hasil kultur minggu II
Gambar 17. Diagram batang Albendazol vs Mebendazol pada hasil kultur minggu III
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Satu sel Sel membelah Infektif Rusak
Albendazol Mebendazol
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Satu sel Sel membelah Infektif Rusak
Albendazol Mebendazol
(57)
Gambar 18. Diagram batang Albendazol vs Mebendazol pada hasil kultur minggu IV
Tabel 7 : Data jumlah telur T trichiura sebelum intervensi obat
Obat Mean SD Min Max Median P
Albendazol 756 1254,4 24 4824 192 0,7
Mebendazol 882,3 2029,3 24 12264 288
Pada tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah telur T trichiura sebelum intervensi obat tidak ada perbedaan morfologi sel telur pada kelompok albendazol maupun mebendazol (P>0,05).
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Satu sel Sel membelah Infektif Rusak
Albendazol Mebendazol
(58)
Tabel 8 : Perbandingan Jumlah Telur T trichiura yang berubah
Mi ngg u
Morfologi Telur
Albendazol Mebendazol
N Mea
n
Median SD N Mea
n
Median SD P
I Satu sel 14 313,7 60 827,1 5 235,2 96 379,6 0,74
Sel
membelah
8 132 120 94,3 7 109,7 72 118,3 0,484
Infektif 2 - - - 1 - - - 1,0
Rusak 11 67,6 24 89 7 68,6 48 67,1 0,355
II Satu sel 14 235,1 96 451,9 7 157,7 48 281,5 0,449
Sel
membelah
7 318,9 48 748,5 7 85,7 72 75,7 0,354
Infektif 3 - - - 1 - - - 1,0
Rusak 13 92,3 48 142,3 9 90,7 48 146,9 0,725
III Satu sel 5 609,6 72 1124 2 - - - -
Sel
membelah
12 144 72 208,2 8 177 60 338,2 0,527
Infektif 7 30,9 24 11,7 3 - - - -
Rusak 15 131,2 48 284,2 11 58,9 48 47,2 0,553
IV Satu sel 0 - - - 0 - - - -
Sel
membelah
5 196,8 72 296,6 1 - - - -
Infektif 13 197,5 48 493 8 153 48 316,8 0,939
Rusak 13 75,7 48 97,4 11 63 48 49,6 -
Tabel 8 ini menunjukkan bahwa perbandingan jumlah telur T trichiura yang berubah, tidak ada dijumpai perbedaan rata-rata perkembangan morfologi sel telur dari minggu I-IV.
(59)
BAB V PEMBAHASAN
Kecacingan akibat infeksi nematoda masih merupakan masalah kesehatan publik penting di Indonesia. Iklim tropis menjadikan Indonesia daerah dengan tingkat infeksi STH yang tetap tinggi. A lumbricoides, T trichiura dan N americanus merupakan jenis cacing yang paling sering ditemukan. Survei epidemiologis yang dilakukan antara tahun 2005 mendapatkan prevalensi infeksi STH lebih dari 50% untuk anak usia sekolah.
Pengobatan secara masal dan secara individu terhadap infeksi telah banyak dilakukan, namun kejadian infeksi terhadap penyakit ini masih juga tinggi. Sebaliknya penelitian dengan melakukan penyuluhan kesehatan dan intervensi lingkungan dapat menurunkan angka kesakitan penyakit infeksi parasit dalam masyarakat. Ternyata pengobatan saja tanpa disertai perubahan Pengetahuan , Sikap dan Praktek kesehatan (PSP), tidak dapat menurunkan angka reinfeksi penyakit ini.
Sekolah Dasar Belawan terletak di kecamatan Medan Belawan. Kondisi lingkungan di SD tersebut cukup memprihatinkan, yakni halaman sekolah sebagian besar masih berupa tanah, yang bila musim hujan sering terjadi banjir, pada waktu istirahat banyak siswa yang bermain dengan tanah, bahkan makan dan minum tanpa cuci tangan terlebih dahulu. Berdasarkan observasi, dijumpai fasilitas sekolah yang tidak memadai seperti fasilitas jamban serta sebagian besar penduduknya mempunyai kondisi ekonomi yang rendah. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Perilaku tersebut merupakan faktor risiko yang memungkinkan siswa tersebut terinfeksi kecacingan. Siswa kecacingan tersebut diobati dengan albendazol atau mebendazol diharapkan obat-obat ini merusak perkembangan telur/ larva sehingga tidak dapat menjadi sumber infeksi bagi manusia lain walaupun tanahnya tercemar oleh karena fasilitas jamban yang tidak memadai.
Pada kultur telur T trichiura pemeriksaan minggu I ditemukan adanya perbedaan proporsi telur satu sel pada kelompok albendazol 33,3% dan
(60)
mebendazol 11,9% (Tabel 3). Analisis statistik dengan chi square menunjukkan mebendazol dan albendazol mempunyai pengaruh yang berbeda (P<0,05), dimana pada mebendazol lebih sedikit jumlah telur satu sel dibandingkan pada albendazol (Tabel 3). Penelitian lain oleh Jackson dkk (1998) disimpulkan bahwa terapi mebendazol 500 mg dosis tunggal lebih efektif dibandingkan dengan albendazol 400 mg dosis tunggal pada pengobatan infeksi T trichiura pada anak di Durban, Afrika Selatan.
Pada kultur telur T trichiura pemeriksaan minggu II, hasil sel telur yang membelah, bentuk telur yang infektif dan telur yang rusak pada kedua kelompok hampir sama dengan pemeriksaan minggu I ; Hal ini terjadi mungkin karena efek ovisidal/ larvasidal obat yang diberikan (Tabel 4).
Pada kultur telur T trichiura pemeriksaan minggu III terlihat bahwa pada kelompok albendazol ditemukan 11,9% telur masih bersel satu; 28,6% sel telurnya sudah mulai membelah; 16,7% menjadi bentuk infektif dan 35,7% sel telur yang rusak. Pada kelompok mebendazol ditemukan telur yang bersel satu ada 4,8%; sel yang membelah 19%; telur bentuk infektif 7,1%; sel telur yang rusak 26,2%; Jumlah telur yang berisi satu sel pada kedua kelompok mengalami penurunan dalam perkembangan dibandingkan minggu I dan II sedangkan pada jumlah sel yang membelah dan telur bentuk infektif (larva) pada kedua kelompok mengalami peningkatan dibandingkan minggu I dan II (Tabel 5); dimana telur akan menjadi matang/ bentuk infektif dalam waktu 3-4 minggu dalam lingkungan yang sesuai.
Pada kultur telur T trichiura pemeriksaan minggu IV terlihat sudah tidak dijumpai lagi bentuk telur yang berisi satu sel pada kedua kelompok, tetapi jumlah larva meningkat dua kali dimana pada kelompok albendazol minggu III dari 16,7% menjadi 31% pada minggu IV sedangkan pada kelompok mebendazol minggu III dari 7,1% menjadi 19% pada minggu IV (Tabel 6). Dari hasil tersebut, walaupun sudah diberikan obat ternyata tidak semua sel telur / larva cacing rusak dan dipengaruhi perkembangannya meskipun dalam penelitian ini dijumpai kerusakan telur (ukuran telur mengecil, jumlah kutub berkurang / berubah bentuk, isi telur kabur / lisis / pucat), maka perlu penelitian lanjut dengan berbagai variasi dosis maupun lama pemberian obat sehingga kontak obat dengan telur cacing
(61)
lebih lama untuk mendapatkan efek ovisidal dan larvasidal yang lebih efektif. Dalam penelitian ini tidak dijumpai kasus efek samping obat pasca pengobatan.
Penelitian Hall dan Nahar (1994) dikatakan bahwa infeksi T trichiura merupakan salah satu infeksi parasit yang susah diobati secara efektif dibandingkan pengobatan ascariasis maupun cacing tambang.
Penelitian Horton J (2000) mendapatkan efektivitas albendazol lebih tinggi dengan meningkatkan dosis lebih dari 1 hari; salah satu regimen pengobatan infeksi T trichiura yang dianjurkan adalah dengan memberikan albendazol dosis 400 mg selama 3 hari berturut-turut.
Waikagul et al., (1995) meneliti pengaruh mebendazol terhadap perkembangan telur T trichiura dengan membiaknya dalam larutan kalium bikromat; hasilnya terjadi perubahan morfologi telur T trichiura setelah pengobatan 3 hari berturut-turut. Namun demikian, perubahan morfologi tersebut mungkin juga disebabkan oleh medium yang digunakan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh mebendazol dan OPP dengan menggunakan medium yang tidak mempengaruhi perkembangan telur.
Penelitian ini menggunakan medium formalin 1% sebagai media kultur perkembangan telur T trichiura seperti yang dilakukan oleh Rizal S dkk (1998) dalam penelitiannya tentang pengaruh oksantel-pirantel pamoat dan mebendazol terhadap perkembangan telur T trichiura. Analisis statistik dengan Anova 2 faktor menunjukkan bahwan mebendazol dan OPP mempunyai pengaruh yang berbeda (P<0,05), masa inkubasi selama 4 minggu dan 8 minggu juga mempunyai pengaruh yang bermakna (P<0,05) terhadap perkembangan telur T trichiura, hasil disimpulkan bahwa OPP dan mebendazol dapat menghambat perkembangan telur dan dapat menyebabkan perubahan morfologi T trichiura.
Waikagul et al., (1995) melaporkan setelah pengobatan dengan mebendazol (2 x 100 mg, 3 hari berturut-turut) didapatkan adanya perubahan morfologi telur T trichiura antara lain ukuran telur bertambah besar atau kecil, jumlah kutub berkurang, warna telur menjadi pucat dan lain-lain. Gracia & Bruckner (1988) menyatakan bahwa tidak semua telur T trichiura mengalami perubahan morfologi setelah pengobatan dengan mebendazol.
(62)
Penelitian ini menggunakan obat albendazol 400 mg (Albendazole, PT. Indofarma) dan mebendazol 500 mg (Vermox 500®, Janssen Pharmaceutica) dan hasil penelitian yang didapat tidak ada kepentingan tertentu dengan kedua produsen obat tersebut.
Namun demikian, penelitian ini masih terdapat beberapa kelemahan yaitu keadaan telur yang tidak tersebar homogen dalam tinja sehingga ada kemungkinan pengambilan bahan untuk pemeriksaan tidak didapatkan hasil yang positif.
(63)
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
VI. 1. KESIMPULAN
Tidak ada perbedaan pengaruh albendazol 400 mg dosis tunggal sekali sehari dan mebendazol 500 mg dosis tunggal sekali sehari terhadap perkembangan telur T trichiura tetapi ada kecenderungan terjadi penurunan jumlah telur satu sel, sel membelah, bentuk infektif dan rusak pada pemberian mebendazol 500 mg dosis tunggal sekali sehari.
VI. 2. SARAN
1. Diharapkan kepada pemerintah Kecamatan Medan Belawan khususnya Dinas Kesehatan untuk melakukan pengobatan infeksi kecacingan secara rutin ke sekolah-sekolah dasar mengingat tingginya prevalensi infeksi STH terutama pada anak usia sekolah dasar.
2. Perlu diadakannya penyuluhan tentang higienitas dan sanitasi pada kelompok guru sekolah dasar, orang tua siswa dan siswa sekolah terutama menyangkut kebiasaan buang air besar, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan.
3. Perlu dilakukan perbaikan sanitasi lingkungan diantaranya penyediaan jamban keluarga, pembersihan halaman dan selokan serta penanganan sampah yang benar.
4. Diperlukan penelitian lanjutan dengan menggunakan albendazol dan mebendazol dengan berbagai variasi dosis maupun lama pemberian obat sehingga kontak obat dengan telur cacing lebih lama untuk mendapatkan efek ovisidal dan larvasidal yang lebih efektif.
(64)
DAFTAR PUSTAKA
Abidin S. Alisah N, Armen-Mochtar, Margono Sri S, Bintari-Rukmono. 1986. Albendazole in treatment of intestinal helminthiasis. MKI; 36: 377-80. Abidin S Alisah N, Rumsah-Rasad. 1990. Pengobatan infeksi nematode usus
dengan Mebendazole 500 mg dosis tunggal. Medika; 3: 192-7
Adams VJ, Lombard CJ, Dhansay MA, Markus MB, Fincham JE. 2004.Eficacy of albendazole against the whipworm Trichuria trichiura : a randomised, controlled trial. SAMJ.; 94:972-6
Anggraini R, Dimyati D, Lubis B, Pasaribu S, Lubis CP. 2005. Association between soil- transmitted helminthiasis and hemoglobin concentration in primary school children. Paediatr Indonesiana.; 45;24-30
Asamoa-Baah. 2004. A Deworming for health and development. Dalam : Report of third global meeting of the partners for parasite control. Geneva: WHO;.h.2-27.
Awasthi S, Bundy DAP, SavioliL. 2003. Helmintic infections. Br Med J.; 327:431-3
Bariah-Ideham. 1992. Perbandingan efektifitas antara ekstrak Curcuma Aeruginosa ( Temu Ireng) dan Mebendazole sebagai obat infeksi cacing usus. Maj Parasitol. Ind.: 2. 75-9
Bethony J, Brooker S, Albonico M, Geiger SM, Loukas A, Diemert D, et al. 2006. Soil- transmitted helminth infections: ascariasis, trichuriasis, and hookworm. Lancet; 367: 1521-32
Beaver, P.C., Jung, R.C., Cupp, E.W. 1984. Clinical Parasitology. 9th Edition. Lea and Febringer. Philadelphia.
Bertram G.Katzung. 2004. Farmakologi Dasar Klinis, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Penerbit Salemba Medika, Mc Graw Hill, edisi 8, Hal. 261-269
Brooker S, Clements AC, Bundy DA. 2006. Global epidemiology, ecology and control of soil-transmitted helminth infections. Adv Parasitol.; 62:221-61
Brooker S, Singhasivanon P, Waikagul J, Supavej S, Kojima S, Takeuchi T, et al. 2003. Mapping soil-transmitted helminthes in Southeast Asia and implications for parasite control. Southeast Asian J Trop Med Public Health.:34:24-36
Brown, H.W. 1982. Dasar Parasitologi Klinis. Edisi ketiga. Penerbit PT Gramedia. Jakarta
Depary AA. 1985. “Soil Transmitted Helminthiases” Penularan, Patogenesis dan Penanganannya, Medika.:10:1000-4
(65)
Dent AE, Kazura JW. 2007. Trichuriasis (Trichuris trichiura). Dalam : Berhman RE, Kleighman RM, Jenson HB, penyunting. Nelsons textbook of pediatrics. Edisi 13. Philadelphia: Saunders: h.1499-1500
Dewayani BS, Situmeang R, Sembiring T, Hamid ED, Pasaribu S, Lubis CP. 2004. Albendazole pada soil-transmitted helminthiasis. USU.
Donkor KA, Lundberg S. 2009. Trichuris trichiura. Diunduh dari :
pada 11 Juni 2013 pukul 09.00
Hartono, E. Widiarsa IBP. Ida-Bagus-Nyoman-Banjar. Ketut Ngurah. 1998. Prevalensi cacing usus yang ditularkan melalui tanah pada murid sekolah dasar di desa Telaga, Bali. Medika,;8: 733-6.
Goodman & Gilmants. 1996. The Pharmacological Basis of Therapeutics, ninth edition. USA:
Hall A, Nahar Q. 1994. Albendazole and infections with Ascaris lumbricoides and Trichuris trichiura in children in Bangladesh. Trans R Soc Trop Med Hyg.; 88:110-2
The Mc. Graw-Hill Companies, Inc,.
Hall A, Hewitt G, Tuffrey V, de Silva N. 2008. A review and meta-analysis of the impact of intestinal worms on child growth and nutrition. Maternal and Child Nutr.; 4:118-236
Horton J. 2000. Albendazole: a review of anthelminthic efficacy and safety in humans. Parasitology.;121:113–32.
Hotez PJ, de Silva N, Brooker S, Bethony J. 2003. Soil transmitted helminth infection: the nature, causes and burden of the condition. Working Paper No.3, Disease Control Priorities Project. Maryland: Fogarty International Center, National Institutes of Health.
Hotez P, Brindley PJ, Bethony JM, King CH, Pearce EJ, Jacobson J. 2008. Helminth infections: the great neglected tropical diseases. J Clin Investigation.;118:1311-21
Ismid IS, Margono SS. Abidin SAN. 1996. Pengaruh pemberian antelmintik terhadap perkembangan telur trichuris trichiura. Maj Parasitol Ind.; 9: 61-6
Jackson TFHG. 1998. A Comparison of Mebendazole And Albendazole In Treating Children With Trichuris Trichiura Infection In Durban, South Africa. SAMJ, Vol. 88, No. 7
Jong E. 2002. Intestinal parasites. Prim Care Clin Office Pract.; 29:857-77
Katzung B.G. 1989. Basis and Clinical Pharmacology, 3rd edition (1987), Petrus-Adrianto, penerjemah, Farmakologi Dasar dan Klinik, Jakarta: ECG. Kazura, J.W. 2000. Helminthic disease. In: Berhman, R.E., Kliegman, R.M.,
Jenson, H.B. editors. Nelson Textbook of pediatric. Edisi ke-16. Philadelphia: Saunders.
(66)
Kartikasari,N.K. 1990. Pengaruh pemberian obat albendazol terhadap telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Skripsi, Fakultas Biologi, Universitas Nasional, Jakarta.
Keiser J, Utzinger J. 2008. Efficacy of currrent drugs against soil-transmitted helminth infections, systematic review and meta-analysis. JAMA.; 299:1937-48
Lubis IND. 2009. Pengaruh albendazole dan mebendazole pada sterilitas telur Ascaris lumbricoides. [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara
Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. 2008. Perkiraan besar sampel. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto; h.302-30 Margono SS. 2003. Important Human Helminthiasis in Indonesia. Dalam:
Crompton DWT, Montresor A, Nesheim MC, Savioli L, penyunting. Controlling disease due to helminth infections. Geneva: WHO; h.3-14 Maisonneuve H, Rossignol JF, Addo A, Mojon M. 1985. Ovicidal effects of
albendazole in human ascariasis, ancylostomiasis and trichuriasis. Ann Trop Med Parasitol; 79(1): 79-82
Montresor A, Crompton DWT, Hall A, Bundy DAP, Savioli L. 1998. Dalam: Guidelines for the evaluation of soil-transmitted helminthiasis and schistosomiasis at community level. Geneva: WHO; h.3 – 49.
Onggowaluyo, S., Ismid, S.1998. Gangguan fungsi kognitif akibat infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah. Majalah Kedokteran Indonesia.48: 198-203.
Olsen A, Namwanje H, Nejsum P, Roepstroff A, Thamborg SM. 2009. Albendazole and mebendazole have low efficacy against Trichuris trichiura in school-age children in Kabale District, Uganda. Trans R Soc Trop Med Hyg.:1-4
Ortiz JJ, Chegne NL, Gargala G, Favennec L. 2002. Comparative clinical studies of nitazoxanide, albendazole and praziquantel in the treatment of ascariasis, trichuriasis and hymenolepiasis in children from Peru. Trans R Soc Trop Med Hyg.; 96:193-6.
Pasaribu, S. 2003. Penentuan frekuensi optimal pengobatan massal Askariasis dengan albendazole pada anak usia sekolah dasar dengan pendekatan model dinamika populasi cacing. Tesis Doctor. Program Pasca Sarjana USU. Medan.
Pasaribu S, Lubis CP. 2008. Trichuriasis (Infeksi cacing cambuk). Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; h.376-9.
Rizal Subahar,et al. 1998. Pengaruh oksantel-pirantel pamoate dan mebendazol terhadap perkembangan telur trichuris trichiura. Maj Parasitol Ind.; 11: 1-10.
(1)
MINGGU 3 (RUSAK)
Descriptives
131.2000 73.39101 -26.2081
288.6081 80.4444 48.0000 80793.600 284.24215 24.00 1152.00 1128.00 72.00
3.787 .580
14.524 1.121 58.9091 14.24044 27.1794
90.6388 56.1212 48.0000 2230.691 47.23019 24.00 144.00 120.00 72.00
1.237 .661
.041 1.279 Mean
Lower Bound Upper Bound 95% Confidence
Interval for Mean 5% Tri mmed Mean Median
Variance Std. Deviation Mi nimum Maxim um Range
Interquartil e Range Skewness
Kurtos is Mean
Lower Bound Upper Bound 95% Confidence
Interval for Mean 5% Tri mmed Mean Median
Variance Std. Deviation Mi nimum Maxim um Range
Interquartil e Range Skewness
Kurtos is obat
albendazol e
mebendazole m3d
Statisti c Std. Error
Tests of Normality
.449
15
.000
.382
15
.000
.319
11
.003
.739
11
.001
obat
albendazole
mebendazole
m3d
Statistic
df
Sig.
Statistic
df
Sig.
Kolmogorov-Smirnov
aShapiro-Wilk
Lilliefors Significance Correction
a.
(2)
MINGGU 4 (SEL MEMBELAH)
Test Statistics
b71.500
137.500
-.593
.553
.574
aMann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
As ymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
m3d
Not corrected for ties .
a.
Grouping Variable: obat
b.
Descriptives
a196.8000
132.63122
-171.4433
565.0433
177.3333
72.0000
87955.200
296.57242
24.00
720.00
696.00
408.00
2.089
.913
4.436
2.000
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% Confidence
Interval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtos is
obat
albendazole
m4b
Statistic
Std. Error
m4b is constant when obat = mebendazole. It has been omitted.
a.
(3)
MINGGU 4 (BENTUK INFEKTIF)
Descriptives
197.5385 136.74422 -100.4016
495.4785
116.8205 48.0000 243086.8 493.03830 24.00 1824.00 1800.00 60.00
3.500 .616 12.418 1.191 153.0000 112.01467 -111.8726
417.8726
116.6667 48.0000 100378.3 316.82532 24.00 936.00 912.00 42.00
2.813 .752 7.932 1.481 Mean
Lower Bound Upper Bound 95% Confidence
Interval for Mean
5% Tri mmed Mean Median
Variance Std. Deviation Mi nimum Maxim um Range
Interquartil e Range Skewness
Kurtos is Mean
Lower Bound Upper Bound 95% Confidence
Interval for Mean
5% Tri mmed Mean Median
Variance Std. Deviation Mi nimum Maxim um Range
Interquartil e Range Skewness
Kurtos is obat
albendazol e
mebendazole m4c
Statisti c Std. Error
Tests of Normality
.428 13 .000 .397 13 .000
.476 8 .000 .464 8 .000
obat albendazole mebendazole m4c
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Lilliefors Significance Correction a.
(4)
MINGGU 4 (RUSAK)
T-Test
[DataSet1] C:\Documents and Settings\User\My
Documents\DATA\MKT\datahendra\datahendra.sav
Descriptives
75.6923 27.01742 16.8264
134.5582 66.7692 48.0000 9489.231 97.41268 .00 312.00 312.00 120.00
1.486 .616 1.739 1.191 63.0000 17.52957 21.5492
104.4508 59.3333 48.0000 2458.286 49.58110 24.00 168.00 144.00 66.00
1.578 .752 2.463 1.481 Mean
Lower Bound Upper Bound 95% Confidence
Interval for Mean
5% Trimmed Mean Median
Variance Std. Deviation Minimum Maxim um Range
Interquartile Range Skewness
Kurtos is Mean
Lower Bound Upper Bound 95% Confidence
Interval for Mean
5% Trimmed Mean Median
Variance Std. Deviation Minimum Maxim um Range
Interquartile Range Skewness
Kurtos is obat
albendazole
mebendazole m4d
Statistic Std. Error
Tests of Normality
.227
13
.065
.801
13
.007
.244
8
.178
.813
8
.040
obat
albendazole
mebendazole
m4d
Statistic
df
Sig.
Statistic
df
Sig.
Kolmogorov-Smirnov
aShapiro-Wilk
Lilliefors Significance Correction
a.
(5)
DATA JUMLAH TT SEBELUM INTERVENSI
Independent Samples Test
2.839 .108 .340 19 .738 12.69231 37.32350 -65.42667 90.81129
.394 18.584 .698 12.69231 32.20600 -54.81788 80.20250 Equal variances
assumed Equal variances not assumed m4d
F Sig. Levene's Test for Equality of Variances
t df Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error
Difference Lower Upper 95% Confidence
Interval of the Difference t-test for Equality of Means
Descriptives
756.0000 193.55511 365.1075
1146.8925 581.8413 192.0000 1573470 1254.381 24.00 4824.00 4800.00 624.00
2.274 .365 4.257 .717 882.2857 313.12241 249.9222
1514.6492 522.9206 288.0000 4117917 Mean
Lower Bound Upper Bound 95% Confidence
Interval for Mean
5% Trimmed Mean Median
Variance Std. Deviation Minimum Maxim um Range
Interquartile Range Skewness
Kurtos is Mean
Lower Bound Upper Bound 95% Confidence
Interval for Mean
5% Trimmed Mean Median
Variance Std. Deviation obat
albendazole
mebendazole hott
(6)
Tests of Normality
.295 42 .000 .607 42 .000
.336 42 .000 .417 42 .000
obat albendazole mebendazole hott
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Lilliefors Significance Correction a.