BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Lanjut Usia 2.1.1 Pengertian Lanjut Usia - Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dan Status Kesehatan dengan Gejala Depresi pada Lansia yang Tinggal di UPT Pelayanan Sosial Wilayah Binjai Medan Tahun 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lanjut Usia

2.1.1 Pengertian Lanjut Usia

  Lansia adalah periode penutup dalam rentang kehidupan seseorang dan merupakan tahap perkembangan psikososial yang terakhir (ke delapan) menurut Erikson. Perkembangan psikososial lansia adalah tercapainya integritas diri yang utuh (Keliat, dkk., 2011).

  Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994 dalam Martono & Pranaka, 2011).

  Teori-teori penuaan dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu yang termasuk kelompok teori biologis dan teori psikososial.

1. Teori Biologis

  Teori yang merupakan teori biologis adalah sebagai berikut: a.

  Teori Genetic Clock Menurut Hayflick (1965), secara genetik sudah terprogram bahwa material di dalam inti sel dikatakan bagaikan memiliki jam genetis terkait dengan frekuensi mitos. Teori ini didasarkan pada kenyataan bahwa spesies- spesies tertentu memiliki harapan hidup (life span) yang tertentu pula. Manusia yang memiliki rentang kehidupan maksimal sekitar 110 tahun, sel-selnya diperkirakan hanya mampu membelah sekitar 50 kali, sesudah itu akan mengalami deteriorisasi.

  b.

  Teori Interaksi Seluler Bahwa sel-sel satu sama lain saling berinteraksi dan memengaruhi.

  Keadaan tubuh akan baik-baik saja selama sel-sel masih berfungsi dalam suatu harmoni. Akan tetapi, bila tidak lagi demikian, maka akan terjadi kegagalan mekanisme feed back dimana lambat laun sel-sel akan mengalami degenerasi (Berger, 1994 dalam Tamher, 2009).

  c.

  Teori Mutagenesis Somatik Menurut Martono (2011) hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya proses menua adalah faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya mutasi somatik. Sekarang sudah umum diketahui bahwa radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur, sebaiknya menghindari terkenanya radiasi atau tercemar zat kimia yang bersifat karsinogenik atau toksik, dapat memperpanjang umur. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel tersebut. d.

  Teori Eror Katastrop Menurut hipotesis tersebut, menua disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang beruntun sepanjang kehidupan. Setelah berlangsung dalam waktu yang cukup lama, terjadi kesalahan dalam proses transkipsi. Kesalahan tersebut akan menyebabkan terbentuknya enzim yang salah, sebagai reaksi dan kesalahan-kesalahan lain yang berkembang secara eksponensial dan akan menyebabkan terjadinya reaksi metabolisme yang salah, sehingga akan mengurangi fungsional sel. Walaupun dalam batas-batas tertentu kesalahan dalam pembentukan RNA dapat diperbaiki, namun kemampuan memperbaiki diri sendiri itu sifatnya terbatas pada kesalahan dalam proses transkripsi (pembentukan RNA) yang tentu akan menyebabkan kesalahan sintesis protein atau enzim, yang dapat menimbulkan metabolit yang berbahaya. Apalagi jika terjadi pula kesalahan dalam proses translasi (pembuatan teori), maka akan terjadilah kesalahan yang makin banyak, sehingga terjadilah katastrop (Suhana, 1994, Constantinides, 1994 dalam Martono & Pranaka, 2011).

  e.

  Teori Pemakaian dan Keausan Teori ini mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi molekular dan akhirnya malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan mengalami kerusakan berdasarkan kerusakan suatu jadwal. Radikal bebas adalah contoh dari produk sampah metabolisme yang menyebabkan kerusakan ketika akumulasi terjadi. Radikal bebas adalah molekul atau atom dengan suatu elektron yang tidak berpasangan. Ini merupakan jenis yang sangat reaktif yang dihasilkan dari reaksi selama metabolisme. Radikal bebas dengan cepat dihancurkan oleh sistem enzim pelindung pada kondisi normal. Beberapa radikal bebas berhasil lolos dari proses perusakan ini dan berakumulasi di dalam struktur biologis yang penting, saat itu kerusakan organ terjadi. Karena laju metabolisme terkait secara langsung pada pembentukan radikal bebas, sehingga ilmuwan memiliki hipotesis bahwa tingkat kecepatan produksi radikal bebas berhubungan dengan penentuan waktu rentang hidup. Pembatasan kalori dan efeknya pada perpanjangan rentang hidup mungkin berdasarkan pada teori ini. Namun, orang lain percaya bahwa pembatasan kalori mungkin menggunakan efeknya melalui sistem neuroendokrin. Pembatasan kalori, telah terbukti dapat meningkatkan masa hidup pada tikus percobaan. Sepanjang masa hidup, tikus-tikus tersebut telah mengalami penurunan angka kejadian kemunduran fungsional, dan mengalami lebih sedikit kondisi penyakit yang berkaitan dengan peningkatan umur, berkurangnya kemunduruan fungsional tubuh, dan menurunnya insidensi penyakit yang berhubungan dengan penuaan.

  Relevansi penemuan-penemuan ini masih belum dapat dipastikan bagi manusia, terutama karena kurangnya penelitian yang dilakukan pada manusia.

2. Teori Psikososial

  Tamher (2009) mengemukakan kelompok teori psikososial, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

  a.

   Disengangement Theory

  Kelompok teori ini dimulai dari University of Chicago, yaitu

  Disengagement Theory, yang menyatakan bahwa individu dan masyarakat mengalami disengagement dalam suatu mutual withdrawl (menarik diri).

  Memasuki usia tua, individu mulai menarik diri dari masyarakat, sehingga memungkinkan individu untuk menyimpan lebih banyak aktivitas- aktivitas yang berfokus pada dirinya dalam memenuhi kestabilan pada stadium ini.

  b.

  Teori Aktivitas Menekankan pentingnya peran serta dalam kegiatan masyarakat bagi kehidupan seorang lansia. Dasar teori ini adalah bahwa konsep diri seseorang bergantung pada aktivitasnya dalam berbagai peran. Apabila hal ini hilang, maka akan berakibat negatif terhadap kepuasan hidupnya.

  Ditekankan pula bahwa mutu dan jenis interaksi lebih menentukan daripada jumlah interaksi. Hasil studi serupa ternyata menggambarkan pula bahwa aktivitas informal lebih berpengaruh daripada aktivitas formal. Kerja yang menyibukkan tidaklah meningkatkan self esteem, tetapi interaksi yang bermakna dengan orang lainlah yang lebih meningkatkan

  self esteem. c.

  Teori Kontinuitas Berbeda dari kedua teori sebelumnya, disini ditekankan pentingnya hubungan antara kepribadian dengan kesuksesan hidup lansia. Menurut teori ini, ciri-ciri kepribadian individu berikut strategi kopingnya telah terbentuk lama sebelum seseorang memasuki usia lanjut. Namun, gambaran kepribadian itu juga bersifat dinamis dan berkembang secara kontinu. Dengan menerapkan teori ini, cara terbaik untuk meramal bagaimana seseorang dapat berhasil menyesuaikan diri adalah dengan mengetahui bagaimana orang itu melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan selama hidupnya.

  d.

  Teori Subkultur Pada teori subkultur Rose (1962) dalam Tamher (2009) dikatakan bahwa lansia sebagai kelompok yang memiliki norma, harapan, rasa percaya dan adat kebiasaan tersendiri, sehingga dapat digolongkan selaku suatu subkultur. Akan tetapi, mereka ini kurang terintegrasi pada masyarakat luas dan lebih banyak berinteraksi antarsesama meraka sendiri. Dikalangan lansia, status lebih ditekankan pada bagaimana tingkat kesehatan dan kemampuan mobilitasnya, bukan pada hasil pekerjaan/pendidikan/ekonomi yang pernah dicapainya. Kelompok- kelompok lansia seperti itu bila terkoordinasi dengan baik dapat menyalurkan aspirasinya, dimana secara teoritis oleh para pakar dikemukakan bahwa hubungan antar peer group dapat meningkatkan proses penyesuaian pada masa lansia.

  e.

  Teori Stratifikasi Usia Teori ini dikemukakan oleh Riley (1972) dalam Tamher (2009) yang menerangkan adanya saling ketergantungan antara usia dengan struktur sosial yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.

  Orang-orang tumbuh dewasa bersama masyarakat dalam bentuk kohor dalam artian sosial, biologis dan psikologis

  2. Kohor baru terus muncul dan masing-masing kohor memiliki pengalaman dan selera tersendiri

  3. Suatu masyarakat dapat dibagi kedalam beberapa strata sesuai dengan lapisan usia dan peran

  4. Masyarakat sendiri senantiasa berubah, begitu pula individu dan perannya dalam masing-masing strata

5. Terdapat saling keterkaitan antara penuaan individu dengan perubahan sosial.

  f.

  Teori Penyesuaian Individu dengan Lingkungan Teori ini dikemukakan oleh Lawton (1982) dalam Tamher (2009).

  Menurut teori ini, bahwa ada hubungan antara kompetensi individu dengan lingkungannya. Kompetensi ini berupa segenap proses yang merupakan ciri fungsional individu, antara lain: kekuatan ego, keterampilan motorik, kesehatan biologis, kapasitas kognitif dan fungsi sensorik. Adapun lingkungan yang dimaksud mengenai potensinya untuk menimbulkan respons perilaku dari seseorang. Bahwa untuk tingkat kompetensi untuk seseorang terdapat suatu tingkatan suasana/tekanan lingkungan tertentu yang menguntungkan baginya. Orang yang berfungsi pada level kompetensi yang rendah hanya mampu bertahan pada level tekanan lingkungan yang rendah pula dan sebaliknya. Suatu korelasi yang sering berlaku adalah semakin terganggu (cacat) seseorang, maka tekanan lingkungan yang dirasakan akan semakin besar (Tamher, 2009).

2.1.2 Batasan Usia Lanjut

  Hurlock (2004) mengatakan bahwa lansia adalah tahap perkembangan akhir dari seorang individu yang dibagi menjadi lansia dini yaitu berkisar antara usia 60-70 tahun, dan lansia yang dimulai pada usia 70 tahun hingga akhir kehidupan seseorang. Lansia dibedakan menjadi Pra lansia (usia 45-59 tahun), lansia/eldery (usia 60-69 tahun), lansia/Old (70-79 tahun), lansia/very old (usia 80-90 tahun).

  Undang-Undang RI nomor 13 tahun 1998 dan Peraturan Permerintah RI nomor 43 tahun 2004 mencantumkan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Berdasarkan beberapa batasan lansia di atas, maka batasan usia yang digunakan untuk menetapkan sebagai lansia dalam penelitian ini adalah usia 60 tahun atau lebih sesuai dengan batasan yang ditetapkan . oleh pemerintah dan WHO

2.1.3 Karakteristik Lansia

  Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui depresi pada lansia, yaitu : a.

  Umur Lansia Semakin bertambah usia seseorang, semakin siap pula dalam menerima cobaan, hal ini didukung oleh teori aktivitas yang menyatakan bahwa hubungan antara sistem sosial dengan individu bertahan stabil pada saat individu bergerak dari usia pertengahan menuju usia tua (Cox, 1994 dalam Tamher 2009).

  b.

  Jenis Kelamin Perbedaan gender juga dapat merupakan salah satu faktor yang memengaruhi psikologis lansia, sehingga akan berdampak pada bentuk adaptasi yang digunakan. Darmojo (1999) menyatakan hasil penelitian mereka yang memaparkan bahwa ternyata keadaan psikososial lansia di Indonesia secara umum masih lebih baik dibandingkan lansia di negara maju, antara lain tanda – tanda depresi (pria 4,3 % dan wanita 4,2 %) dapat diasumsikan bahwa wanita lebih mampu menghadapi masalah daripada kaum lelaki yang cenderung lebih emosional (Tamher, 2009).

  c.

  Pendidikan Tingkat pendidikan juga merupakan hal penting dalam menghadapi masalah. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin banyak pengalaman hidup yang dilaluinya, sehingga akan lebih siap menghadapi masalah yang terjadi. Umumnya lansia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi masih dapat produktif, mereka justru memberikan kontribusinya sebagai pengisi waktu luang dengan menulis buku – buku ilmiah atau hal lain. Menurut Loucknotte (2006) tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi kemampuan untuk mendengar dan menyerap informasi yang didapatkan, menyelesaikan masalah, merubah perilaku serta merubah serta merubah gaya hidup.

  d.

  Status Perkawinan Depresi banyak ditemukan pada lansia yang perkawinannya tidak membahagiakan, bercerai dan janda/duda (Blazer, 1993). Angka depresi meningkat pada lansia yang tidak menikah atau janda (Duckworth, 2009).

  e.

  Jumlah Anak Dukungan dari anak, cucu memegang peranan penting sebagai mediator dalam kontak sosial. Hubungan antara orang tua dan keluarga sebagai bentuk dukungan moral yang rendah sehingga mempengaruhi frekuensi keluarga mengunjungi orang tuanya. Saat ini banyak lansia yang hanya memiliki kurang dari satu anggota keluarga dekat dan pasangan merupakan satu-satunya teman hidup lansia. Banyak anggota keluarga tinggal jauh dan kurang bertanggungjawab terhadap orang tuanya (Lee, 1999).

2.2 Depresi pada Lanjut Usia (Lansia)

  Depresi banyak terjadi di kalangan lansia, depresi ini sering salah diagnosis atau diabaikan sejumlah faktor yang menyebabkan keadaan ini, mencakup fakta bahwa pada lansia, depresi dapat disamarkan atau tersamarkan oleh gangguan fisik lainnya. Pandangan tentang depresi secara umum dapat dipahami melalui pengenalan terhadap pengertian, gejala, penyebab, penilaian dan faktor yang memengaruhi depresi.

  2.2.1 Pengertian Depresi pada Lansia

  Depresi merupakan masalah utama pada lansia. Depresi adalah suatu keadaan dari kesedihan atau keputusasaan yang ekstrim yang mencapai suatu titik tertentu yang mempengaruhi aktifitas dan kualitas hidup individu (Indian Womens Health, 2009). Menurut Nugroho (2008) depresi adalah perasaan sedih, ketidakberdayaan dan pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan kepada diri sendiri atau perasaan marah yang dalam.

  2.2.2 Gejala Depresi pada Lansia

  Kriteria standar untuk depresi mayor meliputi mood yang terdepresi atau kehilangan daya tarik dalam aktivitas-aktivitas yang biasanya menyenangkan (ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan), dan sedikitnya empat dari gejala- gejala berikut: gangguan nafsu makan; gangguan tidur; keletihan; agitasi atau retardasi psikomotor; perasaan ketidakberdayaan; gangguan berkonsentrasi; dan pemikiran-pemikiran tentang kematian atau gagasan bunuh diri. Gejala-gejala tidak bersifat transient dan akan ada hampir setiap hari selama 2 minggu atau lebih. Petunjuk-petunjuk non verbal, seperti postur yang bungkuk, pergerakan lambat, dan pembicaraan melambat (retardasi psikomotor) dapat menandai depresi. Dalam konteks kehidupan yang berat atau penyakit medis kronis, mudah untuk mengetahui sumber gejala-gejala dari sesuatu selain daripada depresi (Adelman, 2001).

  Menurut International Classification Diagnostic (ICD) 10 pada gangguan depresi ada tiga gejala utama, yaitu:

1. Alam perasaan terdepresi (suasana perasaan hati murung / sedih) 2.

  Hilang minat atau gairah 3. Hilang tenaga dan mudah lelah, yang disertai gejala lain seperti konsentrasi menurun, harga diri menurun,perasaan bersalah, pesimis memandang masa depan, ide bunuh diri atau menyakiti diri sendiri, pola tidur berubah, nafsu makan menurun.

  Kejadian depresi merupakan suatu kondisi, dimana seseorang dapat dikatakan menderita atau tidak menderita depresi. Depresi dikelompokkan berdasarkan atas hasil penilaian terhadap gejala-gejala depresi. Ada beberapa alat pengkajian untuk depresi, tapi salah satu yang paling mudah digunakan dan diinterpretasikan berbagai tempat adalah Geriatric Depression Scale. Menurut Tamher (2008) kejadian depresi dikelompokkan berdasarkan atas hasil penilaian dengan GDS short form menjadi dua bagian besar yakni nilai 5 dan 9 menunjukkan suspek depresi, sedangkan nilai > 9 berarti tandanya mengalami depresi.

2.2.3 Penyebab Depresi pada Lansia

  Menurut Ibrahim (2011) terjadinya depresi pada usia lanjut selalu merupakan interaksi antara faktor biologik, fisik, psikologik dan sosial, yaitu:

  1. Faktor Biologik Faktor biologik yang merupakan predisposisi mendasari terjadinya depresi pada usia lanjut ini antara lain akibat berkurangnya produksi

  neurotransmitter catecholamine, disertai dengan bertambahnya enzim mono – amoni – oksidase di susunan saraf pusat yang akan menambah

  berat manifestasi depresi pada usia lanjut. Faktor biologik lainnya ialah akibat heredito konstitusional, dan pernah menderita depresi sebelumnya.

  2. Faktor Fisik Faktor fisik terjadinya depresi pada usia lanjut antara lain dengan adanya penyakit fisik tertentu (baik gangguan metabolik, endokrin, infeksi maupun sistem lainnya). Selain itu juga karena gangguan penyakit kronis yang dapat berbentuk bermacam-macam, deprivasi sensorik (penglihatan, pendengaran, dan lain-lain) kehilangan fungsi-fungsi fisik tertentu akibat penyakit lain (stroke, patah tulang, dan lain sebagainya) serta karena pemakaian obat-obat tertentu.

  3. Faktor Psikologik Faktor psikologik antara lain ditandai dengan adanya konflik yang tidak terselesaikan (cemas, rasa bersalah), kemunduran daya ingat/pikun serta adanya gangguan kepribadian.

4. Faktor Sosial

  Faktor sosial penyebab depresi pada usia lanjut disebabkan adanya isolasi sosial, kehilangan kerabat dekat, kehilangan pekerjaan dari kegiatan harian, serta kehilangan pendapatan. Faktor luar yang dapat memengaruhi terjadinya depresi adalah kurangnya social support, dukungan keluarga dan tersedianya komunitas untuk lansia (Lee,1999).

2.2.4 Penilaian Depresi

  Depresi pada lansia memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga untuk menilai diperlukan instumen yang khusus. Secara umum dikenal beberapa alat ukur depresi antara lain: Geriatric Depression Scale (GDS), the Zung Scale, the Hamilton

  

Rating Scale. Dari uji perbandingan yang dilakukan terhadap alat ukur tersebut

Geriatric Depression Scale (GDS) dan Zung Scale memiliki tingkat prediksi positif

  terbaik (93%). GDS sangat tepat digunakan untuk melakukan skrening depresi pada lansia di komunitas dan Nursing Home (Montorio, 1996). Menurut Tamher (2008) GDS ada dua bentuk, yakni bentuk panjang terdiri dari 30 pernyataan dan bentuk pendek yang terdiri dari 15 pernyataan. Dari hasil uji yang dilakukan terhadap

  

Geriatric Depression Scale (GDS) bentuk panjang dan pendek pada populasi lansia

  di nursing home ditemukan bahwa Geriatric Depression Scale (GDS) bentuk pendek yang terdiri dari 15 pernyataan hasilnya lebih konsisten.

2.3 Dukungan Sosial Keluarga

  2.3.1 Pengertian Dukungan Sosial Keluarga

  Dukungan sosial adalah keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan mencintainya (Cohen & Syme, 1996). Dukungan sosial keluarga adalah sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosial (Friedman, 1998).

  Dalam semua tahap, dukungan sosial keluarga menjadikan keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sehingga akan meningkatkan kesehatan dan adaptasi mereka dalam kehidupan. Studi-studi tentang dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sosial sebagai koping keluarga, baik dukungan-dukungan yang bersifat eksternal maupun internal terbukti sangat bermanfaat. Dukungan sosial keluarga eksternal antara lain sahabat, pekerjaan, tetangga, sekolah, keluarga besar, kelompok sosial, kelompok rekreasi, tempat ibadah, praktisi kesehatan. Dukungan sosial keluarga internal antara lain dukungan suami atau istri, dari saudara kandung, atau dukungan dari anak (Friedman, 1998)

  2.3.2 Jenis Dukungan Keluarga

  Menurut Friedman (1998) jenis dukungan keluarga ada empat yaitu: 1.

  Dukungan instrumental yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkret.

2. Dukungan informasional yaitu keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar informasi).

  3. Dukungan penilaian (appraisal), keluarga bertindak sebagai sebuah umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas keluarga.

  4. Dukungan emosional, yaitu keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Dukungan keluarga pada lansia menjadi sangat berharga dan akan menambah ketentraman hidupnya. Namun demikian dengan adanya dukungan keluarga tersebut tidaklah berarti bahwa setelah memasuki masa seorang lanjut usia hanya tinggal duduk, diam, tenang dan berdiam diri saja. Untuk menjaga kesehatan fisik dan jiwanya, usia lanjut justru tetap harus melakukan aktifitas yang berguna bagi kehidupannya.

  Menurut Rook & Dooley (1985) dalam Kuntjoro (2002), keluarga merupakan bagian dari dukungan sosial untuk usia lanjut. Dukungan keluarga adalah termasuk dukungan dari anak, istri, suami dan kerabat, dimana termasuk dalam dukungan sosial jenis dukungan natural yaitu dukungan pada usia lanjut yang melalui interaksi sosial dalam kehidupan usia lanjut secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya. Dukungan keluarga tersebut mencakup : jumlah sumber dukungan dan tingkat kepuasan akan dukungan. Kurangnya dukungan keluarga dapat menjadi pemicu depresi pada usia lanjut. Depresi pada lansia banyak ditemukan pada lansia dengan riwayat kekerasan baik berupa kekerasan fisik, emosi, sex maupun pengabaian oleh keluarga. Faktor lain yang mungkinkan tingginya kasus depresi pada lansia adalah kurangnya dukungan dari keluarga. Lansia yang tinggal sendiri atau tinggal pada keluarga yang terlalu ramai memiliki kecenderungan menderita depresi (Vilhjalmsson, 1993). Adanya gangguan dalam fungsi keluarga, konflik keluarga, perceraian dan kematian pasangan hidup merupakan faktor risiko terjadinya depresi (Raphael, 2009).

  Ketidakcocokan dalam hubungan dengan tetangga, teman, lingkungan dan masalah dalam hubungan dengan status sosial dari kelompok merupakan faktor yang dapat meningkatkan kejadian depresi. Dilain pihak kemampuan tenaga pelayanan kesehatan, dilengkapi dengan keberadaan fasilitas yang memadai dapat menjadi faktor pencegah depresi (Kim, 2009).

2.4 Status Kesehatan pada Lansia

  Status kesehatan seseorang terwujud oleh keempat dimensi kesehatan tersebut antara fisik, mental, sosial dan ekonomi yang saling memengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan seseorang. Pengertian sehat tersebut tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat, serta produktif secara ekonomi dan sosial. Pengertian kesehatan saat ini memang lebih luas dan dinamis, dibandingkan dengan batasan sebelumnya. Hal ini berarti bahwa kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan sesuatu secara ekonomi. Bagi yang belum memasuki dunia kerja, anak dan remaja, atau bagi yang sudah tidak bekerja (pensiun) atau lansia, berlaku arti produktif secara sosial. Misalnya produktif secara sosial- ekonomi bagi siswa sekolah atau mahasiswa adalah mencapai prestasi yang baik, sedang produktif secara sosial-ekonomi bagi lansia atau para pensiunan adalah mempunyai kegiatan sosial dan keagamaan yang bermanfaat, bukan saja bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain atau masyarakat (Darmojo, 1999). Keempat dimensi kesehatan tersebut saling memengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan seseorang, kelompok atau masyarakat. Seseorang yang sehat fisik nya belum tentu sehat mentalnya, demikian juga orang yang sehat fisik dan mentalnya belum tentu sehat spiritualnya, sebaliknya orang yang sehat fisik, mental dan spiritualnya belum tentu sehat sosialnya. Itulah sebabnya, maka kesehatan bersifat menyeluruh mengandung keempat aspek. Perwujudan dari masing-masing aspek tersebut dalam kesehatan seseorang antara lain sebagai berikut: 1.

  Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit.

  Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan.

2. Kesehatan mental (jiwa) mencakup tiga komponen, yakni pikiran, emosional, dan spiritual.

  a.

  Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran.

  b.

  Emosional sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya.

  c.

  Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini. Dengan perkataan lain, sehat spiritual adalah keadaan dimana seseorang menjalankan ibadah dan semua aturan-aturan agama yang dianutnya.

  3. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan menghargai.

  4. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif, dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Secara umum, status kesehatan pada lansia tidak sebaik saat usia muda. Seringkali lansia menderita berbagai penyakit yang umumnya terjadi akibat penurunan fungsi organ tubuh (McKenzie, 2008). WHO (2004) dalam I Wayan

  Suardana (2011) menyebutkan bahwa status kesehatan adalah suatu variabel yang memiliki makna dari kondisi fungsional, sosial dan kultural, keluhan subyektif dan sosiopsikologi yang memengaruhi peran, kemandirian dan persepsi terhadap kesehatan.

  Beberapa strategi penting untuk penuaan yang sukses yaitu mempertahankan kesehatan dengan gaya hidup yang sehat, berusaha untuk tetap aktif baik secara fisik maupun mental. Dalam penelitian terhadap 2943 orang yang berusia 65 - 84 tahun sejak tahun 1971 - 1983 telah ditentukan bahwa orang yang mengalami penuaan yang sukses akan mengekspresikan kepuasan hidup mereka dan secara substansial mengeluarkan biaya untuk kesehatan lebih sedikit daripada lansia yang lain. Penelitian yang sama juga menemukan bahwa mereka yang beresiko untuk tidak mengalami penuaan yang sukses adalah mereka dengan kondisi kesehatan yang buruk, yang ditinggal mati pasangannya, yang status mentalnya membahayakan, yang mengidap kanker, dan mereka yang dipaksa untuk pensiun atau berhenti karena kondisi kesehatan yang buruk (Stanley, 2007).

2.4.1 Indikator Status Kesehatan

  Indikator status kesehatan lansia ataupun gambaran kondisi kesehatan lansia dapat dilihat dari mortalitas (angka kematian), morbiditas (angka kesakitan) dan perilaku kesehatan (Manulang, 2012).

1. Mortalitas (Angka Kematian)

  Pada tahun 1998, lima penyebab utama kematian untuk lansia berdasarkan jumlah kematian adalah: penyakit Jantung, Kanker, Stroke, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), dan Pneumonia serta Influenza. Penyakit Jantung, Stroke, dan PPOK merupakan penyebab kematian tertinggi, hampir tujuh dari setiap sepuluh kematian. Selama 50 tahun terakhir angka mortalitas keseluruhan lansia menurut usia secara kontinu menunjukkan penurunan. Alasan utamanya adalah menurunnya angka kematian akibat penyakit jantung dan stroke. Walaupun menurun, penyakit jantung tetap menjadi penyebab utama kematian untuk kelompok lansia, sekitar 35% dari seluruh kematian. Tidak seperti angka kematian untuk penyakit jantung dan stroke, angka kematian akibat kanker tetap sama setiap tahun. Peningkatan tertinggi angka kematian untuk lansia terjadi pada kasus Diabetes dan PPOK. Antara tahun 1980-1997, angka kematian menurut usia akibat Diabetes meningkat 32%, sementara akibat PPOK 57% (Depkes RI, 2008).

  Makna penting penyebab utama lainnya terhadap kematian lansia bervariasi bergantung pada ras, etnis dan jenis kelamin. Pada tahun 1997, Diabetes merupakan penyebab utama ketiga untuk kematian di kalangan penduduk Indian Amerika dan penduduk asli Alaska serta yang keempat untuk orang Amerika keturunan Hispanik, sementara untuk ras lainnya pada urutan keenam. Penyakit Alzaimer menempati urutan kesembilan untuk kematian di kalangan orang Amerika kulit putih dan yang ke enam di kalangan wanita kulit putih usia di atas 85 tahun, tetapi tidak termasuk dalam sepuluh besar penyebab kematian untuk ras lainnya (Bustan, 2007).

2. Morbiditas (Angka Kesakitan)

  Mutu kehidupan lansia menurun jika lansia sering sakit, dan jika kondisi sering kronis atau cedera yang mengakibatkan selalu membatasi kemampuan. Jika lansia dapat mempertahankan kemandirian mereka tentu akan menghindari jasa perawatan yang mahal, misalnya belanja sendiri, masak sendiri makanan mereka, mandi dan berpakaian sendiri, dan berjalan serta menaiki tangga tanpa bantuan orang lain. Untuk lansia umur 70 tahun ke atas yang tidak dirawat, hampir sepertiganya mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan seperempatnya tidak dapat melakukan aktivitas sedikitnya satu dari aktivitas fisik (misalnya: berjalan seperempat mil, berjalan menanjak sepuluh langkah tanpa beristirahat, berdiri atau bertumpu pada kedua kaki selama dua jam duduk selama dua jam, membungkuk, berjongkok atau berlutut, menjangkau sesuatu yang tinggi, menjulurkan tangan seolah-olah hendak menjabat tangan orang dengan menggunakan jari-jari untuk menggenggam atau memegang, mengangkat atau membawa sesuatu seberat 5 kg). Keterbatasan aktivitas fisk pada lansia semakin bertambah seiring dengan semakin bertambahnya usia dan wanita lebih berkemungkinan daripada pria untuk mengalami keterbatasan fisik. Berkurangnya aktivitas itu dapat dikelompokkan ke dalam dua tipe, kondisi kronis dan kerusakan (Manulang, 2012).

3. Perilaku Kesehatan

  Perilaku kesehatan dan faktor sosial merupakan hal yang memengaruhi lansia dalam hal membantu lansia memelihara kesehatan dan menjalani hidup sehari-hari. Beberapa lansia percaya bahwa mereka terlalu tua untuk mendapatkan manfaat apapun dari perubahan perilaku kesehatan mereka. Hal itu tentu saja tidak benar, tidak pernah ada kata terlambat untuk melakukan perubahan untuk kebaikan.

  Pada umumnya lansia memiliki lebih banyak perilaku kesehatan yang baik daripada orang yang lebih muda. Lansia akan lebih kecil kemungkinannya untuk mengkonsumsi minuman beralkohol, merokok karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan. Pada tahun 1995, didapatkan data bahwa 28% pria lansia dan 39% wanita lansia lebih banyak duduk daripada mereka yang aktif, tipe aktivitas yang paling umum dilakukan adalah aktivitas ringan sampai menengah, misalnya berjalan-jalan, berkebun, dan melemaskan diri (Koswara, 2011).

2.4.2 Pengkajian Status Kesehatan pada Lansia

  Menurut WHO (2002) dalam Tamher (2011), saat ini sedang terjadi pergeseran penduduk dunia ke arah usia lanjut. Dengan meningkatnya jumlah lansia, timbul beragam masalah antara lain masalah medis teknis, mental psikologi, dan sosial ekonomi. Kebutuhan pelayanan kesehatan akan mengalami peningkatan karena terjadinya pergeseran pola penyakit serta perubahan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.

  Menurut Tamher (2011) kegiatan pembinaan yang ditujukan bagi lansia dapat dilakukan secara individu atau kelompok. Upaya semacam ini dapat ditujukan agar para lansia lebih menyadari perlunya meningkatkan taraf kesehatannya. Dilain pihak, agar para keluarga dapat berpartisipasi secara aktif dalam upaya serupa, sehingga pelayanan yang diterima oleh kelompok lansia akan lebih meningkat.

  Status kesehatan pada lansia dikaji secara komprehensif, akurat dan sistematis. Tujuan dari melakukan pengkajian adalah untuk menentukan kemampuan lansia dalam memelihara diri sendiri, melengkapi data dasar untuk membuat rencana keperawatan serta memberi waktu pada lansia untuk berkomunikasi. Pengkajian ini meliputi aspek fisik, psikis, sosial dan spiritual dengan melakukan pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan pemeriksaan.

  Pengkajian pada lansia yang ada di keluarga dilakukan dengan melibatkan keluarga sebagai orang terdekat yang mengetahui tentang masalah kesehatan lansia.

  Sedangkan pengkajian pada kelompok lansia di panti ataupun dimasyarakat dilakukan dengan melibatkan penanggung jawab kelompok lansia, kultural, tokoh masyarakat serta petugas kesehatan (Maryam, 2011).

  Dalam penelitian ini, status kesehatan lansia yang digunakan adalah : 1. Activity of Daily Living (ADL)

  ADL adalah merupakan aktivitas pokok bagi perawatan diri. ADL meliputi antara lain: ke toilet, makan, berpakaian (berdandan), mandi dan berpindah tempat. Pengkajian ADL penting untuk mengetahui tingkat ketergantungan. Dengan kata lain, besarnya bantuan yang diperlukan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari serta untuk menyusun rencana perawatan jangka panjang. Dalam literatur terdapat pula istilah ADL instrumen, merupakan aktivitas yang lebih kompleks namun mendasar bagi situasi kehidupan lansia dalam bersosialisasi. Dalam Sugiarto (2005) macam – macam ADL, adalah : 1.

  ADL dasar, sering disebut ADL saja, yaitu ketrampilan dasar yang harus dimiliki seseorang untuk merawat dirinya meliputi berpakaian, makan & minum, toileting, mandi, berhias. Ada juga yang memasukkan kontinensi buang air besar dan buang air kecil dalam kategori ADL dasar ini. Dalam kepustakaan lain juga disertakan kemampuan mobilitas.

  2. ADL instrumental, yaitu ADL yang berhubungan dengan penggunaan alat atau benda penunjang kehidupan sehari-hari seperti menyiapkan makanan, menggunakan telefon, menulis, mengetik, mengelola uang kertas ADL dasar, sering disebut ADL saja, yaitu ketrampilan dasar yang harus dimiliki seseorang untuk merawat dirinya meliputi berpakaian, makan dan minum, toileting, mandi, berhias. Ada juga yang memasukkan kontinensi buang air besar dan buang air kecil dalam kategori ADL dasar ini. Dalam kepustakaan lain juga disertakan kemampuan mobilitas.

  Pengkajian ADL umumnya mengikuti indeks pengukuran yang dikembangkan oleh Barthel dan Kats. Indeks ini didasarkan pada hasil evaluasi terhadap tingkat kemandirian atau keadaan sebaliknya yaitu tingkat ketergantungan secara fungsional. Indeks terdiri atas 7 tingkat, sebagai hasil penilaian terhadap perihal melakukan kegiatan mandi, berpakaian, ke toliet, beranjak, kontinensia dan makan.

2. Status Mental Emosional

  Adapun pengkajian fungsi psikososial dilakukan melalui observasi wawancara, dan pemeriksaan status mental. Informasi yang dihimpun melalui fungsi kognitif, psikomotor, pandangan dan penalaran, serta kontak dengan realita (Black, 1990 dalam Tamher, 2011).

  Pengkajian status psikososial meliputi pengkajian fungsi kognitif dan pengkajian psikososial (mental, emosional). Bagian yang popular dan sederhana adalah yang disebut Mini Mental State Examination (MMSE). Pemeriksaan ini dilakukan untuk dapat menentukan pikiran serta proses mental, apakah lansia dapat memperlihatkan fungsi optimal.

3. Masalah Kesehatan Kronis

  Penyebab penyakit pada lansia pada umumnya berasal dari dalam tubuh (endogen), pada orang dewasa berasal dari luar tubuh (eksogen). Hal ini karena pada lansia telah terjadi penurunan fungsi dari berbagai organ-organ tubuh akibat kerusakan sel-sel karena proses menua, sehingga produksi hormon, enzim, dan zat-zat yang diperlukan untuk kekebalan menjadi berkurang. Sering pula, penyakit lebih satu jenis (multipatologi) dimana satu sama lain dapat berdiri sendiri maupun saling berkaitan dan memperberat. Pada lansia yang telah lama menderita sakit sering depresi. Oleh karena itu, dalam pengobatannya tidak hanya gangguan fisiknya saja yang diobati, tetapi juga gangguan jiwanya yang justru sering tersembunyi gejalanya.

  Masalah kesehatan kronis merupakan keluhan kesehatan atau gejala yang dialami oleh lansia dalam waktu 3 bulan terakhir berkaitan dengan fungsi-fungsi (Maryam, 2011).

2.5 Pembinaan Kesehatan Lansia di Panti

  Dalam Maryam (2008), tujuan pembinaan kesehatan lansia di panti, yaitu: 1.

  Tujuan umum pembinaan kesehatan lansia di panti Untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lansia di panti agar mereka dapat hidup layak.

2. Tujuan khusus pembinaan kesehatan lansia di panti a.

  Meningkatnya pembinaan dan pelayanan kesehatan lansia di panti, baik oleh petugas kesehatan maupun petugas panti.

  b.

  Meningkatnya kesadaran dan kemampuan lansia khususnya yang tinggal di panti dalam memelihara kesehatan diri sendiri.

  c.

  Meningkatnya peran serta keluarga dan masyarakat dalam upaya pemeliharaan kesehatan lansia di panti.

  Sasaran pembinaan kesehatan lansia di panti, yaitu: 1. Sasaran Umum yaitu: a.

  Pengelola dan petugas penghuni panti b. Keluarga lansia c. Mayarakat luas d. Instansi dan organisasi terkait 2. Sasaran Khusus, yaitu: a.

  Lansia penghuni panti

  Kegiatan pembinaan kesehatan lansia di panti, yaitu: pelaksanaan kegiatan pembinaan kesehatan lansia dilakukan melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

  1. Upaya Promotif Adalah upaya untuk menggairahkan semangat hidup dan meningkatkan derajat kesehatan lansia agar tetap berguna, baik bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat. Kegiatan tersebut dapat berupa : a.

  Penyuluhan/demonstrasi dan/atau pelatihan bagi petugas panti mengenai masalah gizi dan diet, perawatan dasar kesehatan, mengenal kasus gangguan jiwa, olahraga, teknik-teknik berkomunikasi, bimbingan rohani b. Sarasehan, pembinaan mental dan ceramah keagamaan.

  c.

  Pembinaan dan pemgembangan kegemaran pada lansia di panti d. Rekreasi e. Kegiatan lomba antar lansia di panti atau antar panti f. Penyebarluasan informasi tentang kesehatan lansia di panti maupun masyarakat luas melalui berbagai macam media.

  2. Upaya Preventif Adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya penyakit- penyakit yang disebabkan oleh proses penuaan dan komplikasinya.

  Kegiatannya dapat berupa kegiatan sebagai berikut ini: a.

  Pemeriksaan berkala yang dapat dilakukan di panti oleh petugas kesehatan yang datang ke panti secara periodik atau di puskesmas dengan menggunakan KMS lansia.

  f.

  Upaya kuratif adalah upaya pengobatan bagi lansia oleh petugas kesehatan atau petugas panti terlatih sesuai kebutuhan. Kegiatan ini dapat berupa sebagai berikut :

  Melakukan orientasi realita, yaitu upaya pengenalan terhadap lingkungan sekelilingnya agar lansia dapat lebih mampu mengadakan hubungan dan pembatasan terhadap waktu, tempat dan orang – orang secara optimal.

  h.

  Mengembangkan kegemarannya agar dapat mengisi waktu dan tetap produktif.

  g.

  Meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

  Mengelola diet dan makanan lansia penghuni panti sesuai dengan kondisi kesehatannya masing – masing.

  b.

  e.

  Melakukan olahraga secara teratur sesuai dengan kemampuan dan kondisi masing – masing.

  d.

  Pemantauan kesehatan oleh dirinya sendiri dengan bantuan petugas panti yang menggunakan buku catatan pribadi.

  c.

  Penjaringan penyakit pada lansia baik oleh petugas kesehatan di puskesmas maupun petugas panti yang telah dilatih dalam pemeliharaan kesehatan lansia.

3. Upaya Kuratif

  a.

  Pelayanan kesehatan dasar di panti oleh petugas kesehatan atau petugas panti yang telah dilatih melalui bimbingan dan pengawasan petugas kesehatan/puskesmas.

  b.

  Pengobatan jalan di puskesmas.

  c.

  Perawatan dietik.

  d.

  Perawatan kesehatan jiwa.

  e.

  Perawatan kesehatan gigi dan mulut.

  f.

  Perawatan kesehatan mata.

  g.

  Perawatan kesehatan melalui kegiatan puskesmas.

  h.

  Rujukan ke rumah sakit, dokter spesialis atau ahli kesehatan yang diperlukan.

4. Upaya Rehabilitatif Adalah upaya untuk mempertahankan fungsi organ seoptimal mungkin.

  Kegiatan ini dapat berupa rehabilitasi mental, vokasional dan kegiatan fisik. Kegiatan ini dilakukan oleh petugas kesehatan, petugas panti yang telah dilatih dan berada dalam pengawasan dokter atau ahlinya.

2.6 Landasan Teori

  Menurut Ibrahim (2011) terjadinya depresi pada usia lanjut selalu merupakan interaksi antara faktor biologik, fisik, psikologik dan sosial, yaitu:

  1. Faktor Biologik Faktor biologik yang merupakan predisposisi mendasari terjadinya depresi pada usia lanjut ini antara lain akibat berkurangnya produksi

  neurotransmitter catecholamine, disertai dengan bertambahnya enzim

mono – amoni – oksidase di susunan saraf pusat yang akan menambah

  berat manifestasi depresi pada usia lanjut. Faktor biologik lainnya ialah akibat heredito konstitusional, dan pernah menderita depresi sebelumnya.

  2. Faktor Fisik Faktor fisik terjadinya depresi pada usia lanjut antara lain dengan adanya penyakit fisik tertentu (baik gangguan metabolik, endokrin, infeksi maupun sistem lainnya). Selain itu juga karena gangguan penyakit kronis yang dapat berbentuk bermacam-macam, deprivasi sensorik (penglihatan, pendengaran, dan lain-lain) kehilangan fungsi-fungsi fisik tertentu akibat penyakit lain (stroke, patah tulang, dan lain sebagainya) serta karena pemakaian obat-obat tertentu.

  3. Faktor Psikologik Faktor psikologik antara lain ditandai dengan adanya konflik yang tidak terselesaikan (cemas, rasa bersalah), kemunduran daya ingat/pikun serta adanya gangguan kepribadian.

  4. Faktor Sosial Faktor sosial penyebab depresi pada usia lanjut disebabkan adanya isolasi sosial, kehilangan kerabat dekat, kehilangan pekerjaan dari kegiatan harian, serta kehilangan pendapatan. Faktor luar yang dapat memengaruhi terjadinya depresi adalah kurangnya social support, dukungan keluarga dan tersedianya komunitas untuk lansia (Lee,1999).

  Friedman (1998) mengatakan bahwa dukungan sosial keluarga adalah sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosial Dalam semua tahap, dukungan sosial keluarga menjadikan keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sehingga akan meningkatkan kesehatan dan adaptasi mereka dalam kehidupan. Studi – studi tentang dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sosial sebagai koping keluarga, baik dukungan-dukungan yang bersifat eksternal maupun internal terbukti sangat bermanfaat. Dukungan sosial keluarga eksternal antara lain sahabat, pekerjaan, tetangga, sekolah, keluarga besar, kelompok sosial, kelompok rekreasi, tempat ibadah, praktisi kesehatan. Dukungan sosial keluarga internal antara lain dukungan suami atau istri, dari saudara kandung, atau dukungan dari anak.

  • Akibat heredito konstitusional, dan pernah menderita depresi sebelumnya.
  • Penyakit fisik tertentu
  • Gangguan penyakit kronis
  • Kehilangan fungsi- fungsi fisik tertentu akibat penyakit lain
  • Pemakaian obat-obat tertentu
  • Adanya konflik yang tidak terselesaikan
  • Kemunduran daya ingat/pikun
  • Adanya gangguan kepribadian.
  • Isolasi Sosial -
  • Kehilangan pekerjaan
  • Kehilangan pendapatan
  • Kurangnya dukungan sosial keluarga

Gambar 2.1 Kerangka Teori Ibrahim (2011) Gejala Depresi pada Lansia Faktor Biologik

  Faktor Fisik

  Faktor Psikologik

  Faktor Sosial

  Kehilangan kerabat dekat

2.7 Kerangka Konsep

  Berdasarkan pada landasan teori, maka pada penelitian ini dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

   Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

  Status Kesehatan 1. Activity Daily of Living

  (ADL) 2. Status Mental Emosional 3.

  Masalah Kesehatan Kronis Dukungan Sosial Keluarga pada Lansia

  Gejala Depresi pada Lansia

Dokumen yang terkait

Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dan Status Kesehatan dengan Gejala Depresi pada Lansia yang Tinggal di UPT Pelayanan Sosial Wilayah Binjai Medan Tahun 2013

11 181 138

Motivasi Lanjut Usia Dalam Melakukan Senam Lansia Di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan Tahun 2013

5 84 94

Gambaran Tingkat Depresi pada Lansia di Unit Pelayanan Terpadu Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita wilayah Binjai dan Medan

3 74 67

Hubungan Interaksi Sosial Lansia Dengan Kesepian Pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Balita di Wilayah Binjai dan Medan

30 172 95

Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Tidur Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Balita di Wilayah Binjai dan Medan

0 51 0

Pengaruh Motivasi Diri, Perasaan dan Emosi serta Dukungan Keluarga terhadap Pola Makan Lansia di UPT Pelayanan Lanjut Usia Binjai

16 63 100

Efektivitas Pelayanan Sosial UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Siborong-borong bagi Lanjut Usia Di Kabupaten Tapanuli Utara

8 97 75

Pemenuhan Kebutuhan Istirahat Tidur Pada Lansia Di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai Dan Medan

10 108 83

2.1.2 Batasan Umur Lanjut Usia - Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Pendengaran pada Lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

0 0 22

Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dan Status Kesehatan dengan Gejala Depresi pada Lansia yang Tinggal di UPT Pelayanan Sosial Wilayah Binjai Medan Tahun 2013

0 0 12