2.1.2 Batasan Umur Lanjut Usia - Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Pendengaran pada Lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanjut Usia

  2.1.1 Defenisi Lanjut Usia

  Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 1998 pasal 1 ayat (2), (3), (4) tentang Kesehatan mengatakan “Lanjut Usia” adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, 2008).

  Manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial (Fatimah, 2010).

  Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008).

  2.1.2 Batasan Umur Lanjut Usia

  Berikut ini adalah batasan-batasan umur yang mencakup batasan umur lansia dari pendapat berbagai ahli yang dikutip dari Nugroho (2000).

2.1.2.1 Menurut World Health Organization (WHO) 1.

  Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun 2.

  Lanjut usia (elderly) : 60-74 tahun 3.

  Lanjut usia tua (old) : 75-90 tahun 4.

  Usia sangat tua (very old) : di atas 90 tahun

2.1.2.2 Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro

  Masa dewasa muda (elderly adulthood) : 18 atau 20-25 tahun Masa dewasa penuh (middle years) : 25-60 atau 65 tahun Masa lanjut usia (geriatric age) : > 65 atau 70 tahun 1.

  Usia 70-75 tahun (young old) 2. Usia 75-80 tahun (old) 3. Usia lebih dari 80 tahun (very old)

2.1.3 Proses Menua

  Menurut Boedhi Darmojo (2000), menjadi tua bukanlah suatu penyakit atau sakit, tetapi suatu proses perubahan dimana kepekaan bertambah atau batas kemampuan beradaptasi menjadi berkurang, dimana lansia akan mengalami 13 i, yaitu imobilisasi; instabilitas (mudah jatuh); intelektualitas terganggu

  

(demensia); isolasi (depresi); inkontinensia; impotensi; imunodefisiensi; infeksi

mudah terjadi ; impaksi (konstipasi); iatrogenesis (kesalahan diagnosa); insomnia;

impairment of (gangguan pada) penglihatan, pendengaran, pengecapan,

  penciuman, komunikasi, dan integrasi kulit; inaniation (malnutrisi) (Maryam, 2008).

  Proses menua merupakan proses sepanjang hidup yang hanya di mulai dari satu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. (Nugroho, 2008).

2.1.4 Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia

  Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik dan psikososial (Fatimah, 2010):

  1. Perubahan Fisik a.

  Perubahan Sel : Perubahan yang terlihat mengakibatkan penurunan tampilan dan fungsi fisik. Kemampuan tubuh mempertahankan homeostatis berkurang seiring penuaan seluler. Sistem organ tidak efisien lagi akibat dari berkurangnya sel dan jaringan dan kemampuan sel memperbarui diri sendriri menjadi berkurang.

  b.

  Perubahan Kardiovaskular : Meskipun fungsi dipertahankan dalam keadaan normal, tetapi sistem kardiovaskular berkurang cadangannya dan kemampuannya dalam merespon stress menurun.

  c.

  Perubahan sistem pernafasan : Hal yang berhubungan dengan usia yang mempengaruhi kapasitas paru dan fungsi paru meliputi penurunan efisiensi otot pernafasan, penurunan luas permukaan alveoli, dan penurunan efisiensi batuk.

  d.

  Perubahan integumen : bertambahnya usia mempengaruhi fungsi dan penampilan kulit, dimana epidermis dan dermis menjadi lebih tipis.

  Kulit menjadi lebih kering dan rentan terhadap iritasi sehingga menyebabkan perubahan terhadap suhu dan pajanan sinar matahri yang ekstrim menurun.

  e.

  Perubahan sistem reproduksi : Ketika menopause produksi estrogen dan progesteron oleh ovarium menurun, ukuran vagina yang mengecil, dan hilangnya elastisitas, uterus dan ovarium mengalami atrofi. Pada lansia laki-laki, ukuran penis dan testis mengecil dan kadar androgen menurun.

  f.

  Perubahan genitourinaria : Perubahan yang termasuk meliputi penurunan laju filtrasi, kandung kemih dan uretra kehilangan tonus otot.

  Retensi urin yang terjadi meningkatkan proses infeksi.

  g.

  Perubahan gastrointestinal : Lansia biasanya mengeluh adanya perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motilitas gaster menurun sehingga terjadi keterlambatan pengosongan isi lambung.

  h.

  Perubahan Musculoskeletal : Ukuran otot berkurang dan otot kehilangan kekuatan, fleksibilitas dan ketahanannya sebagai akibat penurunan aktivitas dan penuaan. i.

  Perubahan sistem persarafan : Pada lansia terjadi perubahan struktur dan fungsi sistem saraf. Massa otak berkurang secara progresif akibat dari berkurangnya sel saraf yang rusak dan tidak dapt diganti. Impuls saraf dihantar lebih lambat, sehingga lansia memerlukan waktu yang lebih lama untuk merespon dan bereaksi. j.

  Perubahan sensorik : kehilangan sensorik akibat penuaan mengenai organ sensorik penglihatan, pendengaran, pengecap, peraba, dan penghidu serta dapat mengancam interaksi dan komunikasi dengan lingkungan.

  2. Perubahan Psikososial Lansia yang sehat secara psikososial dapat dilihat dari kemampuannya beradaptasi terhadap kehilangan fisik, sosial, dan emosional serta mencapai kebahagiaan, kedamaian, dan kepuasan hidup.ketakutan menjadi tua dan tidak mampu produktif lagi memunculkan gambaran negatif tentang proses menua.

2.2 Gangguan Pendengaran Pada lansia

  2.2.1 Defenisi Gangguan Pendengaran Pada Lansia Gangguan pendengaran merupakan suatu keadaan yang menyertai lanjutnya usia sebab lansia merupakan kelompok yang beresiko tinggi mengalami perubahan sensori (pendengaran dan penglihatan) dikarenakan perubahan fisiologis yang normal. Gangguan pendengaran menggambarkan kehilangan pendengaran di salah satu atau kedua telinga. Lansia yang mengalami gangguan pendengaran akan bisa menarik diri dari lingkungan sosialnya dengan menghindari komunikasi atau sosialisasi karena merasa terisolasi akibat ketidakmampuannya dalam berkomunikasi dengan orang lain (Potter & Perry, 2006).

  2.2.2 Anatomi Telinga dan Perubahannya Telinga sebagai organ indera pendengaran secara normal berfungsi untuk mengirimkan suatu pola yang akurat ke otak dan semua suara yang diterima dari lingkungan, intensitas relatif suara, dan asal arah suara (Potter & Perry, 2006).

  Menurut Lueckenotte (1998), Telinga terbagi dalam tiga bagian yaitu telinga luar, tengah, dan dalam. Telinga sebagai organ pendengaran dan ekuilibrum, berisi reseptor-reseptor yang menghantarkan gelombang suara ke dalam impuls-impuls saraf dan reseptor yang berespon pada gerakan kepala.

  Gambar 1. Anatomi Telinga Telinga luar terdiri dari aurikula atau pinna dan kanal auditorius eksternal.

  Fungsi telinga luar adalah untuk menerima suara. Aurikel tersusun atas sebagian besar kartilago yang tertutup dengan kulit. Komponen-komponen utamanya adalah heliks, antiheliks, antitragus, lobulus, konka, dan fossa triangular. Sesuai pertamabahan usia seseorang, kartilago terus dibentuk dalam telinga, dan kulit telinga berkurang elastisitasnya dan aurikel tampak lebih besar dari lobulus. Perubahan-perubahan yang menyertai proses penuaan ini adalah pengeriputan lobulus dalam suatu pola oblique linier.Saluran auditorius sedikit berbentu S yang kira-kira panjangnya 2,5 cm dan memanjang dari aurikel sampai dengan membran timpani. Pada proses penuaan, saluran menjadi dangkal sebagai akibat lipatan ke dalam pada dinding kanalis, silia menjadi lebih kasar dan kaku dan produksi serumen berkurang.

  Telinga tengah adalah bagian yang berisi-udara terletak di dalam tulang temporal, berfungsi memperkuat bunyi yang ditangkap. Bagiannya terdiri dari tiga tulang artikulasi-maleus, inkus, dan stapes-yang dihubungkan ke dinding ruang timpanik oleh ligamen. Membran timpani memisahkan telinga tengah dari kanalis auditorius eksternal. Vibrasi membran menyebabkan tulang-tulang bergerak dan mentransmisikan gelombang bunyi yang selanjutnya bergerak melalui cairan dalam telinga tengah dan merangsang reseptor pendengaran. Membran timpani sedikit cekung. Bagian atas membran timpani disebut pars flaksida dan bagian bawah pars tensa. Perubahan atrofi pada membran karena proses penuaan mengakibatkan penampilan dangkal, teregang, putih atau abu-abu. Perubahan ini tidak mempunyai pengaruh jelas pada pendengaran.

  Telinga dalam atau labirin, mengandung organ fungsional untuk mendengar. Telinga dalam terdiri dari dua bagian yaitu labirin tulang luar dan labirin membranosa dalam labirin tulang. Labirin tulang adalah struktur dan fungsi yang dibagi dalam tiga area yaitu vestibula, kanalis semisirkularis, dan koklea. Koklea adalah bagian yang menggulung yang berisi organ corti, unit fungsional pendengaran. Perubahan-perubahan degeneratif pada koklea dan neuron-neuron jaras auditorius yang lebih tinggi mengakibatkan presbikusis, bilateral, penurunan pendengaran sensorineural yang dimulai pada usia pertengahan. Kemampuan untuk mendengar bunyi frekuensi tinggi yang pertama kali dipengaruhi diikuti dengan bunyi dengan rentang menengah, kemudian bunyi dengan frekuensi rendah.

2.2.3 Jenis-jenis Gangguan Pendengaran pada Lansia

  Gangguan pendengaran merupakan suatu keadaan yang menyertai lanjutnya usia. Dengan makin lanjutnya usia terjadi degenerasi primer di organ corti berupa hilangnya sel epitel syaraf yang dimulai pada usia pertengahan, dan hal yang sama juga terjadi pada serabut aferen dan eferen sel sensorik dari koklea, dan penurunan elastisitas membran basalis di koklea dan membran timpani (Darmojo & Martono, 2000).

  Berbagai kelainan pendengaran dan organ yang berhubungan adalah:

  1. Gangguan Pendengaran Tipe Konduktif yaitu kerusakan yang bersifat mekanik, sebagai akibat dari kerusakan kanalis auditorius, membran timpani atau tulang-tulang pendengaran. Keadaan ini paling mudah dikoreksi secara medis atau operatif. Penyebab gangguan pendengaran tipe konduktif pada lansia adalah adanya serumen obturans, yang justru sering dilupakan pada pemeriksaan. Hanya dengan membersihkan lobang telinga dari serumen ini pendengaran bisa menjadi lebih baik.

  2. Gangguan Pendengaran Tipe Sensori-Neural yaitu penyebab utamanya adalah kerusakan neuron vestibulokoklear akibat bising, presbikusis, obat yang oto-toksik, hereditas, reaksi pasca radang dan komplikasi aterosklerosis.

  Presbikusis atau kehilangan pendengaran neurosensori, senile atau progresif ditandai dengan disfungsi unsur sensorik telinga simetris (sel rambut) atau struktur telinga (serat saraf koklear). Presbikusis sering terjadi pada lansia dan menyerang pria dan wanita, biasanya lebih banyak pada pria. Penyebab pastinya tidak diketahui, tetapi insiden kehilangan pendengaran sensorineural meningkat seiring pertambahan usia. Faktor resiko yang mempengaruhi presbikusis adalah terpajan suara bising, hiperkolesterol, hipertensi, faktor-faktor metabolik dan herediter. Tanda dan gejala yang dialami adalah sulit memahami orang berbicara dengan suara bernada rendah, sulit mendengar di percakapan kelompok dan tempat yang banyak suara latar yang bising, sulit membedakan bunyi “s” dan “th”, menganggap bicara orang lain seperti bergumam atau tidak jelas (Fatimah, 2010).

  Presbikusis terbagi menjadi dua yaitu presbikusis perifer dan presbikusis sentral. Presbikusis perifer yaitu dimana para lansia hanya mampu untuk mengidentifikasi kata. Alat bantu dengar masih cukup bermanfaat, tetapi harus diperhatikan untuk menghindari berteriak/berbicara terlalu keras karena dapat membuat ketidaknyamanan di telinga. Sedangkan presbikusis sentral, dimana lansia mengalami gangguan untuk mengidentifikasi kalimat, sehingga manfaat alat bantu dengar sangat kurang. Oleh karena itu percakapan dengan lansia harus sedikit lebih lambat tanpa mengabaikan irama dan intonasi (Maryam, 2008).

2.2.4 Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran

  Derajat/Tingkat Gangguan Pendengaran Menurut WHO

  Derajat/Tingkat Nilai Audiometri Gambaran Kerusakan Gangguan

  ISO (rata-rata dari 500, 1000, 2000, 4000 Hz)

  0 (Tidak ada gangguan) 10-25 Db Tidak ada atau sangat sedikit gangguan pendengaran.

  Masih dapat mendengar suara bisikan.

  1 (Gangguan ringan) 26-40 dB Dapat mendengar dan mengulangi kata percakapan suara normal jarak 1 meter. 2 (Gangguan sedang) 41-60 dB Dapat mendengar dan mengulangi kata dengan menggunakan nada tinggi jarak 1 meter

  3 (Gangguan berat) 61-80 Db Dapat mendengar beberapa kata dengan diteriaki ke telinga yang baik. 4 ( Gangguan sangat 81 dB atau lebih Tidak dapat mendengar dan berat) besar mengerti walaupun sudah diteriaki dengan nada tinggi.

2.2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran Pada Lansia

  1. Tes Garpu Tala

  Gambar 2. Garpu Tala a.

  Tes Rinne Tes Rinne membandingkan konduksi tulang dengan konduksi udara.

  Pada pasien normal atau tuli saraf, akan didapatkan konduksi udara lebih baik daripada tulang. Pada pasien tuli konduktif, konduksi tulang lebih baik daripada konduksi udara (Satyanegara, 2010). Pemeriksaaan ini dilakukan di dalam ruangan yang tenang dan tidak bising. Sebelum dilakukan pemeriksaan, terlebih dahulu peneliti akan menjelaskan prosedur, tujuan, dan manfaat pemeriksaan kepada klien. Selanjutnya jika pasien sudah mau dan mengerti, pemeriksaan akan dilaksanakan. Tempatkan garpu tala yang bergetar pada tulang mastoid (BC) dan mulai memperhatikan waktu dalam detik. Instruksikan klien untuk menandakan kapan bunyi tidak lagi terdengar, dan dengan cepat pindahkan garpu tala yang masih bergetar ke liang telinga (AC). Dan instruksikan kembali klien untuk menandakan kapan lagi bunyi sudah tidak terdengar. Perhatikan waktu dalam detik, dan lanjutkan pada telinga yang lainnya (Leuckenotte, 1998). Hasil yang didapatkan dari uji Rinne adalah (Positif) bila masih terdengar dan (negatif) bila tidak ada terdengar. Interpretasi hasilnya yaitu positif jika hantaran udara (AC) 2 kali lebih lama dari normal, positif bila AC>BC dinamakan tuli sensorineural, dan negatif bila AC<BC atau AC=BC yang dinamakan tuli konduktif (Widyawati, 2012).

  b.

  Uji Weber Tes weber dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan dengan cara meletakkan garpu tala yang sudah dibunyikan pada bagian tengah dahi pasien. Pemeriksaan dilakukan di dalam ruangan yang tenang , nyaman, dan tidak bising. Setelah peneliti menjelaskan tentang pemeriksaan, manfaat, dan tujuannya, peneliti langsung memulai tindakan. Pasien diminta mendengarkan bunyinya dan menentukan pada telinga mana bunyi lebih keras terdengar. Hasilnya adalah normal jika bunyi terdengar sama keras pada telinga kanan dan kiri (tidak ada lateralisasi). Pada tuli saraf, bunyi terdengar lebih keras pada telinga sehat, sedangkan pada tuli konduktif bunyi terdengar lebih keras pada telinga yang mengalami gangguan/sakit (Satyanegara, 2010).

  c.

  Tes Schwabach Tes schwabach membandingkan pendengaran pasien dengan pendengaran pemeriksa. Garpu tala dibunyikan dan ditempatkan dekat liang telinga pasien. Setelah pasien tidak mendengar bunyi garpu tala tersebut, garputala ditempatkan dekat liang telinga pemeriksa. Apabila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan schwabach lebih pendek (untuk konduksi suara) berarti tuli sensorineural dan dikatakan schwabach lebih memanjang berarti tuli konduktif (Satyanegara, 2010).

  Gambar 3. Pemeriksaan Pendengaran Tes Rinne dan Tes Weber

2.3 Aktivitas Hidup Sehari-hari Pada Lansia

2.3.1 Defenisi Aktivitas Hidup Sehari-hari Pada Lansia

  Aktivitas hidup sehari-hari adalah fungsi-fungsi yang bersifat fundamental terhadap kehidupan mandiri klien yang meliputi mandi, berpakaian, pergi ke kamar mandi, berpindah tempat (duduk-tidur), kontinen (BAK/BAB), dan makan. Kemampuan lansia dalam aktivitas hidup sehari-hari didefenisikan sebagai kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas dan fungsi-fungsi kehidupan sehari-hari yang dilakukan oleh manusia secara rutin dan universal. Untuk menilai aktivitas hidup sehari-hari digunakan berbagai skala seperti Katz Index, Barthel, dan Functional Activities Questioner (FAQ) (Gallo, 1998) (Kane & Kane, 1981) dalam Ediawati (2012).

  Aktivitas hidup sehari-hari merupakan semua kegiatan yang dilakukan oleh lanjut usia setiap hari seperti mandi, berpakaian, makan, atau melakukan mobilisasi (Luekenotte, 1998). Seiring dengan proses penuaan maka terjadi berbagai kemunduruan kemampuan dalam beraktifitas karena adanya kemunduran kemampuan fisik, penglihatan dan pendengaran sehingga terkadang seorang lanjut usia membutuhkan alat bantu untuk mempermudah dalam melakukan berbagai aktivitas sehari hari tersebut (Stanley, 2006) dalam (Napitupulu, Pranata Desy 2011).

2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Aktivitas Hidup Sehari-hari pada

  Lansia Kemp dan Mitchel (dalam Blackburn dan Dulmus, 2007) menyebutkan bahwa aktivitas sehari-hari pada lansia dipengaruhi oleh depresi. Kemp dan

  Mitchel juga menyebutkan kemampuan aktivitas sehari-hari dapat menyebabkan ketakutan, kemarahan, kecemasan, penolakan dan ketidakpastian. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan aktifitas sehari-hari pada lansia adalah sebagai berikut (Potter, 2005):

  1. Faktor-faktor dari dalam diri sendiri

  a. Umur Mobilitas dan aktivitas sehari-hari adalah hal yang paling vital bagi kesehatan total lansia. Perubahan normal muskuloskelatal terkait usia pada lansia termasuk penurunan tinggi badan, redistribusi massa otot dan lemak subkutan, peningkatan porositas tulang, atrofi otot, pergerakan yang lambat, pengurangan kekuatan dan kekakuan sendi-sendi yang menyebabkan perubahan penampilan, kelemahan dan lambatnya pergerakan yang menyertai penuaan (Stanly dan Beare, 2007).

  b. Kesehatan fisiologis Kesehatan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi kemampuan partisipasi dalam aktifitas sehari-hari, sebagai contoh sistem nervous mengumpulkan dan menghantarkan, dan mengelola informasi dari lingkungan. Sistem muskuluskoletal mengkoordinasikan dengan sistem nervous sehingga seseorang dapat merespon sensori yang masuk dengan cara melakukan gerakan.

  c. Fungsi kognitif Kognitif adalah kemampuan berfikir dan memberi rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan (Keliat,1995).

  Tingkat fungsi kognitif dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Fungi kognitif menunjukkan proses menerima, mengorganisasikan dan menginterpestasikan sensor stimulus untuk berfikir dan menyelesaikan masalah. Proses mental memberikan kontribusi pada fungsi kognitif yang meliputi perhatian memori, dan kecerdasan. Gangguan pada aspek- aspek dari fungsi kognitif dapat mengganggu dalam berfikir logis dan menghambat kemandirian dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari.

  d. Fungsi psikologis Fungsi psikologis menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengingat sesuatu hal yang lalu dan menampilkan informasi pada suatu cara yang realistik.

  Proses ini meliputi interaksi yang komplek antara perilaku interpersonal dan interpersonal. Kebutuhan psikologis berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang. Meskipun seseorang sudah terpenuhi kebutuhan materialnya, tetapi bila kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi, maka dapat mengakibatkan dirinya merasa tidak senang dengan kehidupanya, sehingga kebutuhan psikologi harus terpenuhi agar kehidupan emosionalnya menjadi stabil (Tamher, 2009).

  e. Tingkat stres Stres merupakan respon fisik non spesifik terhadap berbagai macam kebutuhan. Faktor yang menyebabkan stres disebut stressor, dapat timbul dari tubuh atau lingkungan dan dapat mengganggu keseimbangan tubuh. Stres dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Stres dapat mempunyai efek negatif atau positif pada kemampuan seseorang memenuhi aktifitas sehari-hari (Miller, 1995).

  2. Faktor-faktor dari luar meliputi :

  a. Lingkungan keluarga Keluarga masih merupakan tempat berlindung yang paling disukai para lanjut usia. Lanjut usia merupakan kelompok lansia yang rentan masalah, baik masalah ekonomi, sosial, budaya, kesehatan maupun psikologis, oleh karenanya agar lansia tetap sehat, sejahtera dan bermanfaat, perlu didukung oleh lingkungan yang konduktif seperti keluarga. Budaya tiga generasi (orang tua, anak dan cucu) di bawah satu atap makin sulit dipertahankan, karena ukuran rumah di daerah perkotaan yang sempit, sehigga kurang memungkinkan para lanjut usia tinggal bersama anak (Hardywinoto, 2005). Sifat dari perubahan sosial yang mengikuti kehilangan orang yang dicintai tergantung pada jenis hubungan dan definisi peran sosial dalam suatu hubungan keluarga. Selain rasa sakit psikologi mendalam, seseorang yang berduka harus sering belajar keterampilan dan peran baru untuk mengelola tugas hidup yang baru, dengan perubahan sosial ini terjadi pada saat penarikan, kurangnya minat kegiatan, tindakan yang sangat sulit. Sosialisasi dan pola interaksi juga berubah. Tetapi bagi orang lain yang memiliki dukungan keluarga yang kuat dan mapan, pola interaksi independent maka proses perasaan kehilangan atau kesepian akan terjadi lebih cepat, sehingga seseorang tersebut lebih mudah untuk mengurangi rasa kehilangan dan kesepian (Lueckenotte, 2000).

  b. Lingkungan tempat kerja Kerja sangat mempengaruhi keadaan diri dalam mereka bekerja, karena setiaap kali seseorang bekerja maka ia memasuki situasi lingkungan tempat yang ia kerjakan. Tempat yang nyaman akan membawa seseorang mendorong untuk bekerja dengan senang dan giat.

  c. Ritme biologi Waktu ritme biologi dikenal sebagai irama biologi, yang mempengaruhi fungsi hidup manusia. Irama biologi membantu mahluk hidup mengatur lingkungan fisik disekitarnya. Beberapa faktor yang ikut berperan pada irama sakardia diantaranya faktor lingkungan seperti hari terang dan gelap. Serta cuaca yang mempengaruhi aktifitas sehar-hari. Faktor-faktor ini menetapkan jatah perkiraan untuk makan dan bekerja.

  2.3.3 Manfaat Kemampuan Aktifitas Sehari-hari pada Lansia

  a. Meningkatkan kemampuan dan kemauan seksual lansia. Terdapat banyak faktor yang dapat membatasi dorongan dan kemauan seksual pada lanjut usia khususnya pria. Sejumlah masalah organik dan jantung serta sistem peredaran darah, sistem kelenjar dan hormon serta sistem saraf dapat menurunkan kapasitas dan gairah seks. Efek samping dari berbagai obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan beberapa macam penyakit dapat menyebabkan masalah organik, selain itu masalah psikologis juga berpengaruh terhadap kemampuan untuk mempertahankan gairah seks (Bandiyah, 2009).

  b. Kulit tidak cepat keriput atau menghambat proses penuaan c. Meningkatkan keelastisan tulang sehingga tulang tidak mudah patah.

  d. Menghambat pengecilan otot dan mempertahankan atau mengurangi kecepatan penurunan kekuatan otot. Pembatasan atas linkup gerak sendi banyak terjadi pada lanjut usia, yang sering terjadi akibat keketatan/kekakuan otot dan tendon dibanding sebagai akibat kontraktur sendi. Keketatan otot betis sering memperlambat gerak dorso-fleksi dan timbulnya kekuatan otot dorsoflektor sendi lutut yang diperlukan untuk mencegah jatuh ke belakang.

  e. Self efficacy (keberdayagunaan mandiri) yaitu suatu istilah untuk menggambarkan rasa percaya diri atas keamanan dalam melakukan aktivitas. Hal ini berhubungan dengan ketidaktergantungan terhadap instrumen ADL (IADL). Dengan keberdayagunaan mandiri ini seorang lanjut usia mempunyai keberanian dalam melakukan aktivitas atau olah raga (Darmojo, 2006).

2.4 Indeks ADL Barthel

  Indeks ADL barthel adalah suatu alat yang cukup sederhana untuk menilai perawatan diri, dan mengukur harian seseorang berfungsi secara khusus aktivitas sehari-hari dan mobilitas (Lueckenotte, 2000). Indeks ADL Barthel (modifikasi Collin C, Wade DT) dalam Agung (2006) menjelaskan, adalah suatu alat/instrumen ukur ADL (activity daily living) berupa kuesioner terdiri dari 10 item yaitu, mengendalikan rangsang buang air besar, mengendalikan rangsang buang air kecil, membersihkan diri (sikat gigi, sisir rambut, bercukur, cuci muka), penggunaan jamban/toilet –masuk dan keluar WC (melepas, memakai celana, membersihkan/menyeka, menyiram), makan, berpindah posisi dari tempat tidur ke kursi dan sebaliknya, mobilitas/berjalan, berpakaian, naik-turun tangga dan mandi. Skor antara 0-20. Skor 20 = mandiri, skor 12-19 = ketergantungan ringan, skor 9-11 = ketergantungan sedang, skor 5-8 = ketergantungan berat, skor 0-4 = ketergantungan total.

  Menurut penelitian Agung, Iskandar (2006) bahwa kuesioner ADL Barthel merupakan instrumen ukur yang andal dan sahih serta dapat digunakan untuk mengukur status fungsional dasar usia lanjut Indonesia.

Tabel 2.4.1 Indeks ADL Barthel

  No. Aktivitas Kemampuan Skor

  1. Mengendalikan rangsang Tidak terkendali/ tidak teratur buang air besar (BAB) Kadangkala tidak terkendali

  1 Terkendali teratur

  2

  2. Mengendalikan rangsang Tidak terkendali/ berkemih (BAK) menggunakan kateter Kadangkala tidak berkemih

  1 Terkendali teratur

  2

  3. Membersihkan diri (muka, Membutuhkan bantuan orang sisir rambut, sikat gigi, lain bercukur, cuci muka)

  Mandiri

  1

  4. Penggunaan toilet Tergantung perlu pertolongan orang lain Perlu bantuan

  1 Mandiri

  2

  5. Makan Tidak mampu Perlu pertolongan orang lain

  1 Mandiri

  2

  6. Berpindah posisi dari Tidak mampu tempat tidur ke kursi dan Perlu bnatuan 2 orang

  1 sebaliknya Perlu bantuan satu orang

  2 Mandiri

  3

  7. Mobilitas/ berjalan Tidak mampu Mobilitas dengan kursi roda

  1 Berjalan dengan bantuan 1

  2 orang Mandiri

  3

  8. Berpakaian Tergantung orang lain Sebagian dibantu

  1 Mandiri

  2

  9. Naik turun tangga Tidak mampu Perlu pertolongan orang lain

  1 Mandiri

  2

  10 Mandi Tergantung orang lain Mandiri

  1 Skor Total (0–20) Total skor Indeks ADL Barthel : ....

  Keterangan: A.

  Untuk setiap komponen/butir indeks ADL Barthel: 1.

  Jika membutuhkan enema/pencahar disebut inkontinen (dinilai 1 minggu sebelumnya).

2. Kadangkala : maksimal 1 kali/24 jam (dinilai 1 minggu sebelumnya) 3.

  Dinilai 24-48 jam sebelumnya. Kebersihan diri termasuk: sikat gigi, menyisir, bercukur,cuci muka,

  4. Mampu mencapai WC, mencopot celana, membersihkan kotoran dari tubuh, berpakaian dan meninggalkan WC (mandiri)

5. Mampu mengkonsumsi makanan normal(tidak hanya berbentuk lunak), tidak dibantu orang lain (mandiri).

  Perlu bantuan: makanan dipotongkan tetapi klien makan sendiri 6. Dari tempat tidur/berbaring ke kursi/duduk Tidak mampu: tidak ada keseimbangan atau tidak mampu duduk.

  7-10 sudah jelas.

  B.

  Penilaian untuk setiap komponen/butir indeks ADL Barthel berdasarkan pengamatan, wawancara penilai terhadap aktivitas actual performance (yang benar-benar dikerjakan oleh subyek).

  C.

  Total skor = 20 : Mandiri = 12-19 : Ketergantungan Ringan = 9-11 : Ketergantungan Sedang = 5-8 : Ketergantungan Berat = 0-4 : Ketergantungan Total

Dokumen yang terkait

Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Pendengaran pada Lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

9 80 88

Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Penglihatan Pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lansia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

6 43 83

Motivasi Lanjut Usia Dalam Melakukan Senam Lansia Di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan Tahun 2013

5 84 94

Gambaran Tingkat Depresi pada Lansia di Unit Pelayanan Terpadu Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita wilayah Binjai dan Medan

3 74 67

Gambaran Kualitas Tidur Dan Gangguan Tidur Pada Lansia Di Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai Dan Medan

15 105 98

Hubungan Interaksi Sosial Lansia Dengan Kesepian Pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Balita di Wilayah Binjai dan Medan

30 172 95

Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Tidur Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Balita di Wilayah Binjai dan Medan

0 51 0

Pemenuhan Kebutuhan Istirahat Tidur Pada Lansia Di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai Dan Medan

10 108 83

Interaksi Sosial Dan Kualitas Hidup Lansia Di Panti Werdha Upt Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Binjai

28 203 86

Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Pendengaran pada Lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

0 2 25