BAB I PENDAHULUAN - Kendala Penyidikan Tindak Pidana Kelalaian (CULPA) pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan matinya Korban (Studi pada POLDASU)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa arus lalu lintas jalan di

  kota-kota besar di Negara Republik Indonesia umumnya dan khususnya di Kota Medan, semakin bertambah padat sejalan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, perkembangan ekonomi, serta ditambah dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka secra otomatis akan timbul problema yang kompleks dalam kaitannya dengan kecelakaan lalu lintas yang sering menelan korban jiwa dan harta benda.

  Jauh sebelum kendaraan bermotor ditemukan, kecelakaan di jalan hanya melibatkan kereta, hewan, dan manusia. Kecelakaan lalu lintas menjadi

   meningkat secara drastis ketika ditemukan berbagai jenis kendaraan bermotor.

  Kecelakaan lalu lintas merupakan peristiwa yang tidak diharapkan yang melibatkan paling sedikit satu kendaraan bermotor pada satu ruas jalan dan mengakibatkan kerugian material bahkan sampai menelan korban jiwa. Laju pertambahan penduduk dan jumlah arus lalu lintas di Kota Medan meningkat secara pesat, sehingga kebutuhan akan prasarana transportasi terus bertambah. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap tingkat pelayanan yang ada, sehingga jika tidak diimbangi dengan peningkatan prasarana transportasi yang memadai, 1 maka dampak yang diakibatkan adalah timbulnya masalah-masalah pada lalu lintas, seperti kemacetan dan kecelakaan.

  Dari hasil pra survey di Poldasu telah diperoleh data mengenai kecelakaan lalu lintas yang terjadi di kawasan Kota Medan. Karakteristik kecelakaan di Kota Medan antara lain jumlah kejadian kecelakaan dengan korban-korban luka ringan menempati urutan pertama, diikuti korban meninggal dunia, jenis kecelakaan yang paling sering terjadi adalah melibatkan dua kendaraan, jenis kendaraan yang paling sering terlibat adalah sepeda motor, pelaku dan korban kecelakaan terbesar berjenis kelamin laki-laki, berusia antara 17-26 tahun, berpendidikan SMA, dan bekerja sebagai karyawan swasta.

  Bertambahnya volume lalu lintas akan menyebabkan kenaikan kecelakaan lalulintas yang terjadi secara cukup signifikan, dan bertambahnya kecepatan lalu-lintas pada kondisi tertentu justru akan menurunkan jumlah kecelakaan, namun lebih lanjut peningkatan kecepatan akan menaikkan jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi.

  Dari data yang diperoleh, ternyata pada kecepatan sekitar 40-50 km/jam terjadi kondisi jumlah kecelakaan minimal. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan terjadikanya kecelakaan, Pertama adalah faktor manusia, kedua adalah faktor kendaraan dan yang terakhir adalah faktor jalan. Kombinasi dari ketiga faktor itu bisa saja terjadi, antara manusia dengan kendaraan misalnya berjalan melebihi batas kecepatan yang ditetapkan kemudian ban pecah yang mengakibatkan kendaraan mengalami kecelakaan. Disamping itu masih ada

   faktor lingkungan, cuaca yang juga bisa berkontribusi terhadap kecelakaan.

  Dari banyaknya kecelakaan yang terjadi dan faktor-faktor yang menyebabkan kecelakaan terdapat suatu kendala dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban. Kendala penyidikan ini dapat dilihat dari hasil pra survey pada tahun 2008 sampai dengan pertengahan 2010 jumlah kecelakaan yang mengakibatkan matinya korban sebanyak 856 perkara. Dari jumlah tersebut, perkara yang dapat diselesaikan dalam proses penyidikan sebanyak 700 perkara. Sedangkan yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas sebanyak 156 perkara. Dalam tiap tahunnya terdapat ±20% perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban tidak dapat terselesaikan atau dapat diselesaikan tetapi membutuhkan waktu yang sangat lama.

  Perkara kecelakaan merupakan bagian dari tindak pidana kealpaan yang disebutkan dalam pasal 359 KUHP. Dalam pasal 359 KUHP ditegaskan dengan dua cara bahwa kematian orang lain adalah akibat dari kelalaian pembuat, yaitu dengan tidak menyebutkan pembuat tetapi kesalahannya (kealpaannya). Dalam situasi pengendara kendaraan bermotor, salah berbuat dan tidak berbuat seakan- akan menjadi satu perbuatan.

  Kekurang cermatan tidak dapat dicelakan jika pelaku tidak dapat berbuat lain daripada apa yang telah ia lakukan. Dalam hal ini, penting bahwa pelaksanaannya mengetahui sejauh mana sifat kekurang hati-hatian dapat dikenakan pada pelaku. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang obyektif

   kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.

  Menurut pasal 7 (3) Criminal Code of Yugoslavia yang dikutip dalam buku A. Zainal Abidin, bahwa kealpaan terbagi atas dua bentuk, yaitu:

  1. Bilamana pembuat delik menyadari bahwa dari tindakannya dapat mewujudkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, tetapi ia beranggapan secara keliru bahwa akibat itu tidak akan terjadi atau ia mampu untuk mencegahnya.

  2. Bilamana pembuat delik tidak menyadari kemungkinan akan terwujudnya akibat, sedangkan di dalam keadaan ia berbuat oleh karena kualitas

   pribadinya ia seharusnya dan dapat menyadari kemungkinan itu.

  Pada dua kemungkinan tersebut maka terdapat hubungan batin antara pelaku dengan akibat perbuatannya tersebut. Hubungan batin ini diperlukan sebagai pedoman sejauh mana pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam hal penyidikan dalam menentukan perbuatannya itu sebagai suatu kealpaan atau suatu kesengajaan sangatlah sulit, karena dalam hubungannya kealpaan dan kesengajaan merupakan perbuatan yang mirip.

  Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, tingginya angka kecelakaan dan tidak tuntasnya perkara kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan matinya korban disebabkan oleh banyaknya kendala dalam proses penyidikan pada perkara kecelakaan lalu lintas ini.

  Dari latar belakang penulisan tersebut, penulis mengangkat permasalahan dalam skripsi ini dengan judul Kendala Penyidikan Tindak

  

Pidana Kelalaian (Culpa) Pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang

Mengakibatkan Matinya Korban (Studi Pada Poldasu).

B. Permasalahan

  Hal yang telah merupakan kebiasaan di dalam menulis skripsi, harus ditentukan masalah yang menjadi titik tolak dari pembahasan selanjutnya.

  Adapun yang menjadi permasalahan dalam pembahasan skripsi ini adalah :

  1. Bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap kelalaian (culpa) pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban?

2. Apakah faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas? 3.

  Apakah kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam kecelakaan lalu lintas?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah untuk:

  1. Untuk mengetahui pertanggung jawaban pidana terhadap kelalaian (culpa) pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban.

  2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas.

  3. Untuk mengetahui kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam kecelakaan lalu lintas.

  Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan dalam hal ini adalah: sendiri khususnya dalam bidang hukum pidana tentang penyidikan tindak pidana kelalaian (culpa) pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban.

  b.

  Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil manfaatnya terutama dalam hal mengetahui tentang hal-hal yang dapat dilakukan masyarakat apabila terjadi tindak kelalaian (culpa) pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban.

  D. Keaslian Penulisan

  Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Kendala Penyidikan Tindak

  

Pidana Kelalaian (Culpa) Pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang

Mengakibatkan Matinya Korban (Studi Pada Poldasu)”, dan penulisan

  skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

  E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Penyidikan

  Sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP, merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Sedang penyidikan berarti serangkaian tindakan undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.

  Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian, ditinjau dari beberapa segi, terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut : Menurut KUHAP yang dimaksud dengan penyidik adalah pasal 1 butir 1 menyebutkan: “ penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan “.

  Kemudian, pasal 6 ayat (1) penyidik adalah : 1.

  Pejabat polisi negara Republik Indonesia, 2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

  Pasal 6 ayat (2) menyebutkan “syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah“.

  “Kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam peraturan pemerintah diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum“.

  Mengenai kepangkatan penyidik ini oleh Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, diterangkan :

  Pasal 2 ayat (1) : a. pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pembantu letnan dua polisi.

  b.

  Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu.

  Mengenai kepangkatan ini masih ada pengecualiaan apabila tidak ada penyidik yang berpangkat pembantu letnan dua, seperti yang ditegaskan oleh ayat (2) dari pasal 2 di atas yaitu : “dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik “.

  Ayat (3) “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditunjuk oleh Kepala Kepolisian republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku “. Ayat (4) “ Wewenang penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai

  Ayat (5) “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diangkat oleh Menteri atas usul dari Departemen yang membawahkan pegawai negeri tersebut, Menteri sebelum melaksanakan pengangkatannya terlebih dahulu mendengarkan pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia “.

  Setelah dikemukakan pengertian dan hal-hal yang berhubungan dengan penyidik, maka berikut yang akan dibicarakan adalah pengertian dari penyidikan itu. Yang dimaksud dengan penyidikan adalah : serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (pasal 1 butir 2 KUHAP).

  Dari rumusan pengertian penyidikan tersebut, maka dapatlah dimengerti bahwa tujuan daripada penyidikan itu demikian luasnya, yakni harus mampu mengumpulkan bukti-bukti, menerangkan peristiwa pidana tentang apa yang telah terjadi serta harus dapat menemukan tersangkanya.

  Untuk dapat terlaksananya tugas dan tujuan dari penyidikan itu, maka dibutuhkan adanya tenaga-tenaga penyidik yang telah terlatih dan terampil.

  Di dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981, seperti yang telah dinyatakan di atas, tidak semua polisi negara Republik Indonesia mempunyai kedudukan sebagai penyidik. Artinya, hanya pejabat polisi yang telah memenuhi syrat-syarat tertentu sajalah yang dapat diangkat menjadi seorang negara ini, di samping adanya pembagian tugas tersendiri pada dinas kepolisian, juga adalah atas dasar pemikiran bahwa penyidikan itu haruslah dilakukan oleh yang telah mempunyai syarat-syarat kepangkatan tertentu pada dinas kepolisian. Demikian juga penyidik, haruslah orang-orang yang telah memiliki keterampilan khusus dalam bidang penyidikan, baik dalam segi teknik maupun taktis, serta orang-orang yang mempunyai dedikasi dan disiplin yang tinggi, karena di dalam pelaksanaan penyidikan ini adakalanya penyidik harus menggunakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan dan lain-lain.

  Dimana apabila hal ini tidak dilakukan oleh penyidik-penyidik yang telah terlatih, maka kemungkinan besar hak-hak asasi seseorang yang hendak diadakan penyidikan terhadap dirinya, walaupun prinsip undang-undang itu sendiri menjunjung hak asasi manusia.

  Namun demikian terlepas daripada kelayakan dan keharusan yang harus dimiliki oleh setiap penyidik, maka di dalam situasi dan kondisi yang tertentu, sesuai dengan letak geografis daripada Indonesia dan serta masih kurangnya tenaga, terutama tenaga ahli khususnya di dalam penyidikan pada dinas kepolisian negara Republik Indonesia, maka oleh undang-undang diberikan kesempatan untuk mengangkat penyidik-penyidik pembantu baik dari Polisi sendiri maupun dari pejabat-pejabat pegawai negeri sipil di dalam lingkungan kepolisian negara.

2. Pertanggung Jawaban Pidana

  Pertanggung jawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau

  

  alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan (pidana) kan. Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) bilamana pada umumnya: a. Keadaan jiwanya:

  1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair).

  2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya) dan.

  3) Tidak terganggu karena terkejut, hyponotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe beweging, melindur/slaapwandel, mengingau karena demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.

  b. Kemampuan jiwanya: 1) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya. 2)

  Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak dan,

  

  3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut”. Kemampuan bertanggung jawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berfikir dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi dalam Pasal 44 KUHP adalah 5 EY Kanter dan SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Storia Grafika, Jakarta. 2002, hal. 249. 6

  

verstandelijke vermogens . Untuk terjemahan dari vertandelijke vermogens

sengaja digunakan istilah keadaan dan kemampuan jiwa seseorang.

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut,

  

  dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang

   pembunuhan, perampokan, dan sebagainya).

  Alf Ross mengemukakan pendapatnya mengenai apa yang dimaksud dengan seseorang yang bertanggungjawab atas perbuatannya. Pertanggung jawaban pidana dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara kenyataan- kenyataan yang menjadi syarat akibat dan akibat hukum yang diisyaratkan.

  Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan pidana. Ini tergantung dari persoalan, apakah dalam melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan, sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada

   kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum mens rea).

  Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. 7 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 1006. 8

  Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.

  Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari

   soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.

  Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu:

1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si pembuat.

  2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu: a.

  Disengaja b.

  Sikap kurang hati-hati atau lalai c.

  Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat.

  Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelectual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.

  Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggung jawabkan.

  Oleh karena kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi.

  Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak

   dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

  Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam

  Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.” Kalau tidak dipertanggung jawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut : 1.

  Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

  2. Syarat Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.

  Untuk menentukan adanya pertanggung jawaban, seseorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada sifat melawan hukum dari tindak pidana itu, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa kesengajaan” (opzet) atau karena kelalaian (culpa). Akan tetapi kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Hal ini layak karena biasanya, yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Dalam teori hukum pidana

   Indonesia kesengajaan itu ada tiga macam, yaitu: 1.

  Kesengajaan yang bersifat tujuan Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggung jawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai.

  Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

  2. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

  3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan.

  Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan sebagai berikut: “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurangan paling lama satu tahun.”

  Kealpaan mengandung dua syarat, yaitu: 1.

  Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan hukum.

   2.

  Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan hukum.

  Dari ketentuan diatas, dapat diikuti dua jalan, yaitu pertama memperhatikan syarat tidak mengadakan penduga-duga menurut semestinya.

  Yang kedua memperhatikan syarat tidak mengadakan penghati-hati guna menentukan adanya kealpaan. Siapa saja yang melakukan perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang semestinya, ia juga tidak mengadakan menduga-duga akan terjadi akibat dari kelakuannya. Selanjutnya ada kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Dengan demikian tidak mengadakan penduga-duga yang perlu menurut hukum terdiri atas dua kemungkinan yaitu: a.

  Terdakwa tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya.

  b.

  Terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi ternyata tidak benar

  Kemudian syarat yang ketiga dari pertanggung jawaban pidana yaitu tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat. Dalam masalah dasar penghapusan pidana, ada pembagian antara “dasar pembenar” (permisibilry) dan “dasar pemaaf” (ilegal execuse). Dengan adanya salah satu dasar penghapusan pidana berupa dasar pembenar maka suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga menjadi legal/boleh, pembuatanya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Namun jika yang ada adalah dasar penghapus berupa dasar pemaaf maka suatu tindakan tetap melawan hukum, namun si pembuat dimaafkan, jadi tidak dijatuhi pidana.

  Dasar penghapus pidana atau juga bisa disebut alasan-alasan menghilangkan sifat tindak pidana ini termuat di dalam Buku I KUHP, selain itu ada pula dasar penghapus diluar KUHP yaitu: 1.

  Hak mendidik orang tua wali terhadap anaknya/guru terhadap muridnya.

2. Hak jabatan atau pekerjaan.

  Yang termasuk dasar Pembenar Bela paksa Pasal 49 ayat 1 KUHP, keadaan darurat, pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pasal 50, pemerintah jabatan-jabatan Pasal 51 ayat 1 Dalam dasar pemaaf atau fait

  

d’excuse ini semua unsur tindak pidana, termasuk sifat melawan hukum dari

  suatu tindak pidana tetap ada, tetapi hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan kesalahannya. Yang termasuk dasar pemaaf adalah: kekurangan atau penyakit dalam daya berpikir, daya paksa (overmacht), bela paksa, lampau batas (noodweerexes), perintah jabatan yang tidak sah.

  Seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dihukum apabila si pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Masalah pertanggungjawaban tersebut sangat berkaitan erat dengan adanya kesalahan.

3. Kelalain/Culpa

  Kealpaan terdapat pada pasal 359 KUHP, yaitu : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.” Selain kealpaan dapat menyebabkan matinya korban, kealpaan juga dapat mengakibatkan luka berat yang diatur dalam pasal 360 KUHP,yaitu :

  1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka- luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.

  2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halanagn menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.”

  Luka berat yang dimaksud dalam pasal 360 KUHP disebutkan dan dijelaskan pada pasal 90 KUHP, yaitu: “Luka berat berarti :

  • sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.

  Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh

  • pekerjaan pencarian.

  Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau

  Kehilangan salah satu panca indera.

  • Mendapat cacat berat.
  • Menderita penyakit lumpuh.
  • Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
  • Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.”
  • Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang kelalaian, maka untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan kelalaian tersebut akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai perbedaan dan persamaan kelalaian dengan kesengajaan. Perbedaan kelalaian dengan kesengajaan adalah terletak pada unsur subyektifnya. Kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh

   undangundang.

  Kelakuan alpa” diartikan sebagai kelakuan yang tidak memenuhi syarat-

  

  syarat yang ditentukan oleh situasi. Moeljatno mengutip dari pendapat Langemeyer bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat gecompliceerd.

  Dia mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam perbuatan lahir, dan menunjuk kepada adanya keadaan batin yang tertentu, dan di lain pihak

  

  keadaan batinnya itu sendiri. Moeljatno mengutip pernyataan Van Hamel bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu :

  1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.

  2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

  Sedangkan pendapat Simons yang dikutip oleh Moeljatno tentang kealpaan mengatakan bahwa isi kealpaan adalah tidak adanya penghati-hati di

   samping dapat diduga-duganya akan timbul akibat.

  Pengertian kealpaan terdiri dari tiga komponen, yaitu : 1. Pembuat berbuat lain daripada seharusnya dia berbuat sesuai aturan hokum tertulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum.

  2. Selanjutnya pelaku berbuat sembrono, lalai, kurang berpikir, lengah.

  3. Akhirnya pelaku dapat dicela, yang berarti bahwa dia dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berpikir, dan

   lengah.

  Menurut pasal 7 (3) Criminal Code of Yugoslavia yang dikutip oleh Zainal Abidin, bahwa kealpaan terbagi atas dua bentuk, yaitu: 1.

  Bilamana pembuat delik menyadari bahwa dari tindakannya dapat mewujudkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, tetapi ia beranggapan secara keliru bahwa akibat itu tidak akan terjadi atau ia mampu untuk mencegahnya.

  2. Bilamana pembuat delik tidak menyadari kemungkinan akan terwujudnya 16 akibat, sedangkan di dalam keadaan ia berbuat oleh karena kualitas

   pribadinya ia seharusnya dan dapat menyadari kemungkinan itu.

  Kesimpulam Moeljatno yang dikutip oleh Zainal Abidin bahwa orang yang mempunyai sikap batin culpa lata adalah :

1. Kurang memperhatikan benda-benda yang dilindungi oleh hokum, dan 2.

  Ditinjau dari segi masyarakat, ia kurang memperhatikan larangan-larangan

   yang berlaku dalam masyarakat.

  Culpa dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Pelaku telah berbuat schuld yang mencolok atau culpa lata, dan

   2.

  Dalam hal ini pelaku telah berbuat kesalahan ringan atau culpa levis.

  Perbedaan antara dolus dan culpa, yaitu : Dolus : 1.

  Perbuatan dilakukan dengan sengaja 2.

   Perbuatan itu disebut doleuz delicten 3.

  Diancam dengan hukuman lebih berat daripada culpoze delicten. Sedangkan culpa : a.

  Perbuatan yang dilakukan karena kelalaian / kealpaan b.

   Perbuatan itu disebut culpose delicten atau schuld delicten c.

  Ancaman hukumannya adalah lebih ringan daripada doleuze delicten.

F. Metode Penelitian

  19 20 H.A. Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 326.

  Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

  1. Sifat/materi penelitian

  Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang

   tertulis atau bahan hukum yang lain.

  2. Sumber data

  Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui: a.

  Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009, Tentang Angkutan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Undang-Undang Kepolisian Negara (Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002).

  b.

  Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.

  c.

  Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup: 1)

  Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan 22 terhadap hukum primer dan sekunder. 2)

  Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

  3. Alat pengumpul data

  Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

  4. Analisis data

  Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

  Bab I yang berjudul Pendahuluan adalah sebagai suatu pengantar dari pembahasan-pembahasan selanjutnya, hal mana terdiri dari 7 (tujuh) sub bab, yaitu Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.

  Bab II Dengan judul Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Kelalaian (Culpa) Pada Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban, adalah merupakan suatu pembahasan dari segi teori yang terdiri dari; Pengertian Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kelalaian (Culpa) Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban.

  Bab III yang berjudul Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas, dimana di dalamnya terdiri dari: Fungsi dan Peranan Lalu Lintas, Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas, Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas, Disiplin Lalu Lintas. Bab IV yang berjudul Kendala Dalam Penyidikan Tindak Pidana (Culpa) Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, dimana di dalam terdiri dari Gambaran Umum Pelaksanaan Penyidikan, Kendala Dalam Penyidikan Tindak Pidana Culpa Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Upaya Dalam Mengatasi Kendala Penyidikan Tindak Pidana Culpa Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban.

  Bab V yang berjudul Kesimpulan dan Saran dimana di dalamnya akan diuraikan Kesimpulan dari pembahasan terdahulu serta diberikan Saran-Saran.

Dokumen yang terkait

Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)

0 73 91

Kendala Penyidikan Tindak Pidana Kelalaian (CULPA) pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan matinya Korban (Studi pada POLDASU)

2 95 81

Penerapan Sanksi Pidana Pada Kasus Kelalaian Pengemudi Yang Menimbulkan Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.854 /Pid.B/2012/Pn.Mdn )

2 81 84

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Polres Kabupaten Labuhan Batu)

1 61 83

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Polres Kabupaten Labuhan Batu)

2 46 83

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

1 81 147

BAB II TUJUAN PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK A. Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas - Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusa

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN B. Latar Belakang - Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Restorative Justice Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus 3969/Pid.B/2010/Pn-Medan)

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

0 0 31