Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)

(1)

PIDANA BERSYARAT PADA PELAKU KECELAKAAN LALU

LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM

PRAKTIK

(Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

E

E

M

M

I

I

L

L

M

M

U

U

R

R

S

S

Y

Y

I

I

D

D

I

I

N

N

N

N

A

A

S

S

U

U

T

T

I

I

O

O

N

N

NIM. 110200445

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 1 5

PIDANA BERSYARAT PADA PELAKU KECELAKAAN LALU

LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM

PRAKTIK


(2)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

E

EMMIILLMMUURRSSYYIIDDIINNNNAASSUUTTIIOONN NIM. 110200445

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, MH Pembimbing I

Nurnalawaty, SH, M.Hum

Pembimbing II

Dr. Marlina, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

A. KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Pidana Bersyarat Pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas Yang

Dilakukan Oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor:

217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

- Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

- Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis. - Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

- Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya Universitas Sumatera Utara.


(4)

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.

Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2015

Penulis

A.Emil Mursyidin Nasution NIM : 110200445


(5)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

1. Pengertian Anak ... 8

2. Pengertian Lalu Lintas ... 9

3. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas ... 12

4. Pidana Bersyarat ... 14

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II. TUJUAN PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK ... 22

A. Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas ... 22

B. Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas ... 25

C. Tujuan Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak... 31


(6)

BAB III. SYARAT-SYARAT YANG HARUS DIBERIKAN KEPADA TERPIDANA ANAK DENGAN

DIJATUHKANNYA PIDANA BERSYARAT... 45

A. Perlindungan Anak ... 45

B. Tujuan Pemidanaan ... 47

C. Teori-Teori Pemidanaan ... 57

D. Pedoman Pemidanaan ... 63

E. Syarat-Syarat Yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat ... 65

BAB IV PENERAPAN PIDANA BERSYARAT PADA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK ... 68

A. Tujuan Pidana Bersyarat ... 68

B. Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg... 70

C. Penerapan Pidana Bersyarat Pada Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak ... 75

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran... 80


(7)

ABSTRAK

PIDANA BERSYARAT PADA PELAKU KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PRAKTIK

(Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)”. E

EMMIILL MMUURRSSYYIIDDIINN NNAASSUUTTIIOONN ** NURMALAWATY, SH, M.HUM** Dr. MARLINA, SH, M.HUM ***

Salah satu bentuk sanksi pidana yang dijatuhkan kepada seorang pelaku tindak pidana termasuk anak adalah pidana bersyarat. Pidana bersyarat pada dasarnya adalah merupakan suatu bentuk penjatuhan hukuman kepada seorang yang telah terbukti melakukan tindak pidana dan akan dikenakan apabila si pelaku melanggar syarat-syarat yang ditentukan hakim dalam putusannya.

Permasalahan yang dihadapi yaitu bagaimana tujuan penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan anak, bagaimana syarat-syarat yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat dan bagaimana pelaksanaan pidana bersyarat pada anak sebagai akibat kecelakaan lalu lintas.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma -norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Jadi penelitian ini dipahami sebagai penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian terhadap data sekunder.

Tujuan penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan anak adalah untuk menciptakan suatu wujud keberadaan hukum sebagai wadah perbaikan perilaku dari pihak yang melanggar hukum tersebut termasuk dalam kapasitas ini adalah anak, sehingga tidak terganggunya masa depannya. Syarat-syarat yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat: sebelum habis masa percobaan hukuman seseorang, ia melanggar syarat umum yaitu melakukan suatu tindak pidana atau, dalam masa percobaan tersebut, melanggar suatu syarat khusus (jika diadakan), atau dalam masa yang lebih pendek dari percobaan tersebut, tidak melaksanakan syarat yang lebih khusus, berupa kewajiban mengganti kerugian pihak korban sebagai akibat dari tindakan terpidana. Pelaksanaan pidana bersyarat pada anak sebagai akibat kecelakaan lalu lintas harus sesuai dengan ketentuan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu masa hukuman yang dijatuhkan tidak melebihi 2 tahun dan adanya syarat umum dan syarat khusus. Ketentuan tersebut telah terpenuhi dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU ** Pembimbing 1, Dosen Fakultas Hukum USU


(8)

ABSTRAK

PIDANA BERSYARAT PADA PELAKU KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PRAKTIK

(Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)”. E

EMMIILL MMUURRSSYYIIDDIINN NNAASSUUTTIIOONN ** NURMALAWATY, SH, M.HUM** Dr. MARLINA, SH, M.HUM ***

Salah satu bentuk sanksi pidana yang dijatuhkan kepada seorang pelaku tindak pidana termasuk anak adalah pidana bersyarat. Pidana bersyarat pada dasarnya adalah merupakan suatu bentuk penjatuhan hukuman kepada seorang yang telah terbukti melakukan tindak pidana dan akan dikenakan apabila si pelaku melanggar syarat-syarat yang ditentukan hakim dalam putusannya.

Permasalahan yang dihadapi yaitu bagaimana tujuan penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan anak, bagaimana syarat-syarat yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat dan bagaimana pelaksanaan pidana bersyarat pada anak sebagai akibat kecelakaan lalu lintas.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma -norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Jadi penelitian ini dipahami sebagai penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian terhadap data sekunder.

Tujuan penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan anak adalah untuk menciptakan suatu wujud keberadaan hukum sebagai wadah perbaikan perilaku dari pihak yang melanggar hukum tersebut termasuk dalam kapasitas ini adalah anak, sehingga tidak terganggunya masa depannya. Syarat-syarat yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat: sebelum habis masa percobaan hukuman seseorang, ia melanggar syarat umum yaitu melakukan suatu tindak pidana atau, dalam masa percobaan tersebut, melanggar suatu syarat khusus (jika diadakan), atau dalam masa yang lebih pendek dari percobaan tersebut, tidak melaksanakan syarat yang lebih khusus, berupa kewajiban mengganti kerugian pihak korban sebagai akibat dari tindakan terpidana. Pelaksanaan pidana bersyarat pada anak sebagai akibat kecelakaan lalu lintas harus sesuai dengan ketentuan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu masa hukuman yang dijatuhkan tidak melebihi 2 tahun dan adanya syarat umum dan syarat khusus. Ketentuan tersebut telah terpenuhi dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU ** Pembimbing 1, Dosen Fakultas Hukum USU


(9)

BAB I PENDAHULUAN

B. Latar Belakang

Kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia. Segala aktifitas manusia baik politik, sosial dan ekonomi, dapat menjadi kausa kejahatan. Sehingga keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu dicari upaya bagaimana menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan kuantitasnya serendah mungkin, maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Upaya untuk menanggulangi kejahatan, yang dikenal dengan politik kriminal (criminal policy) menurut G Peter Hoinagels dapat dilakukan dengan: 1. Penerapan hukum pidana (criminal law aplication)

2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media).1

Penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu upaya penal (hukum Pidana) dan non penal (di luar hukum Pidana). Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal, lebih menitik beratkan pada sifat represif (merupakan tindakan yang diambil setelah kejahatan terjadi). Sebaliknya upaya non penal menitik beratkan pada sifat prepentif (menciptakan

1 Syafruddin, “Pidana Ganti Rugi : Alternatif Pemidanaan Di Masa Depan Dalam

Penanggulangan Kejahatan Tertentu”, http://library.usu.ac.id/download/fh/pidana-syafruddin4.pdf, Diakses tanggal 20 April 2015.


(10)

kebijaksanaan sebelum terjadinya tindak pidana).2

Penanggulangan kejahatan melalui hukum Pidana, merupakan kegiatan yang didahului dengan penentuan tindak pidana (kriminalisasi) dan penentuan sanksi yang dapat dibebankan pada pelaku tindak pidana (pelaku kejahatan dan pelanggaran). Sanksi dalam hukum pidana merupakan suatu derita yang harus diterima sebagai imbalan dari perbuatannya yang telah merugikan korbannya dan masyarakat. Kondisi seperti ini sering kali justru menjauhkan hukum pidana dari tujuannya, yaitu mensejahterakan masyarakat. Dengan demikian sudah seharusnya penentuan dan penjatuhan sanksi dilakukan dengan pertimbangan yang serius, dengan harapan hukum Pidana akan mampu berfungsi melindungi kepentingan negara, korban dan pelaku tindak pidana.

Salah satu bentuk sanksi pidana yang dijatuhkan kepada seorang pelaku tindak pidana adalah pidana bersyarat. Pidana bersyarat pada dasarnya adalah merupakan suatu bentuk penjatuhan hukuman kepada seorang yang telah terbukti melakukan tindak pidana dan akan dikenakan apabila si pelaku melanggar syarat-syarat yang ditentukan hakim dalam putusannya. Misalnya seorang pelaku kejahatan dihukum selama 1 tahun dengan pidana bersyarat. Hukuman 1 tahun akan dikenakan apabila syarat-syarat yang dijelaskan hakim dilanggar oleh pelaku tindak pidana.

Dari aspek tujuan pemidanaan, sebenarnya pidana bersyarat ini lebih ditujukan pada resosialisasi terhadap pelaku tindak pidana daripada pembalasan terhadap perbuatannya. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan aliran hukum

2

Amir Syamsuddin, 2008, Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara., Jakarta: Kompas, hal. 32.


(11)

pidana modern yang berorientasi pada pelaku kejahatan yang pemidanaannya ditekankan untuk kemanfaatan atau memperbaiki dengan mempertimbangkan sifat-sifat serta keadaan terpidana. Dalam pidana bersyarat terdapat makna yang tersimpul bahwa sanksi dijatuhkan bukan karena orang telah melakukan kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Pada penelitian ini objek pemberian pidana bersyarat tersebut anak sebagai pelaku kecelakaan lalu lintas.

Negara sebagai organisasi kekuasaan mempunyai kewajiban untuk melindungi anak, dan untuk memenuhi kewajibannya, Pemerintah Indonesia mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut memberikan perlindungan kepada anak sebagai korban perbuatan pidana serta mengatur tentang hak dan kewajiban anak. Kedudukan anak sebagai pelaku perbuatan pidana harus mendapat perlindungan dan perhatian secara khusus. Kasus-kasus perbuatan pidana yang melibatkan anak sebagai pelakunya (dalam setahun sekitar 7000 kasus)3 membawa fenomena tersendiri, karena anak merupakan individu yang masih labil. Selain itu, untuk melaksanakan pembinaan dan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Hal ini memberikan alasan kuat untuk disahkannya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Tetapi setelah ditelaah lebih dalam, terdapat kekurangan dan kelemahan di dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut. Terutama di dalam

3

Kabar 86, "Jumlah Kasus Pidana Anak", Melalui


(12)

ketentuan Pasal 73 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal tersebut menjelaskan bahwa Hakim dapat menjatuhkan pidana pidana bersyarat terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dibawah ancaman pidana penjara dua tahun. Ketentuan dalam Pasal 73 Undang-Undang tersebut, merupakan ketentuan yang bersifat khusus dari ketentuan dalam Pasal 14a-14f Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terutama suatu syarat dapat dijatuhkannya suatu pidana bersyarat oleh hakim. Di dalam ketentuan Pasal 73 tersebut tidak ditemukan adanya dasar pertimbangan yang jelas bagi Hakim Anak untuk menjatuhkan pidana bersyarat bagi anak yang melakukan tindak pidana di bawah ancaman pidana maksimal 2 (dua) tahun. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa kewenangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat tersebut merupakan kewenangan dari Hakim Anak itu sendiri.

Padahal diketahui bahwa kewenangan yang dimiliki Hakim Anak untuk menjatuhkan pidana bersyarat haruslah mempunyai dasar pertimbangan yang jelas sehingga keputusan hakim tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, korban terutama kepada anak yang divonis oleh hakim itu sendiri, apabila tidak diterapkan secara benar oleh Hakim Anak, maka akan mengakibatkan ketimpangan dan ketidak seragaman putusan hakim dalam prakteknya terhadap kasus yang sama, terhambatnya pelaksanaan Pasal 73 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta yang paling ditakutkan adalah terancamnya masa depan terpidana anak yang seharusnya dilindungi oleh hukum.


(13)

Akibat yang ditakutkan itupun terbukti, dari survei KPAI pusat didapatkan bahwasanya “dari 7000 kasus yang masuk peradilan, 90% mereka (anak) tidak di dampingi oleh pengacara, dan 85% dari mereka dihukum dengan hukuman perampasan kemerdekaan (penjara)”4

, Pada kenyataannya jika dilihat ketentuan Pasal 73 ayat (1) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan bahwa “Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun".

Jika di dalam ketentuan Pasal 73 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat dasar pertimbangan yang jelas bagi Hakim Anak dalam memutus suatu perkara, maka penempatan anak pelaku tindak pidana dalam lembaga pemasyarakatan anak dapat diminimalisir sebaik mungkin. Tetapi dalam realita senyatanya sampai saat ini itu semua belum terealisasi dan sampai saat ini juga masih banyak tindak pidana anak yang seharusnya dapat dijatuhi pidana bersyarat tetapi dijatuhi pidana penjara karena tidak adanya ketetuan atau syarat yang jelas mengenai penerapan pidana bersyarat oleh Hakim Anak, khususnya dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.

Berdasarkan data diatas, penulis bermaksud menganalisis lebih lanjut mengenai hal tersebut dengan melakukan penelitian yang berjudul “Pidana Bersyarat Pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg).

4


(14)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana tujuan penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan anak?

2. Bagaimana syarat-syarat yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat?

3. Bagaimana pelaksanaan pidana bersyarat pada anak sebagai akibat kecelakaan lalu lintas?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada latar belakang penelitian ini maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tujuan penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan anak.

2. Untuk mengetahui syarat-syarat yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat.

3. Untuk mengetahui pelaksanaan pidana bersyarat pada anak sebagai akibat kecelakaan lalu lintas.

Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :


(15)

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan yang lebih konkrit bagi aparat penegak hukum dan pemerintah, khususnya dalam menangani kejahatan yang dilakukan anak dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan pengkajian hukum khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan penerapan pidana bersyarat pada anak.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran dan pertimbangan dalam menangani kasus-kasus anak pelaku kecelakaan lalu lintas dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dan pemerintah khususnya dalam pembinaan anak terpidana.

D. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Pidana Bersyarat Pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penlisan skripsi yang bertemakan mengenai anak memang sudah cukup banyak diangkat dan dibahas, namun skripsi dengan kaitannya dengan perjudian ini belum pernah ditulis sebagai skripsi. Dan penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.


(16)

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Anak

Anak menurut Mohammad Ali, dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen adalah: "Anak adalah turunan kedua”.5 Pengertian di atas memberikan gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi anak adalah merupakan suatu kondisi akibat adanya perkawinan antara kedua orang tuanya.

Kedudukan anak yang sedemikian memberikan arti yang sangat penting dalam melanjutkan sebuah keluarga.

Menurut Pitlo anak-anak terbagi atas :

a. Anak-anak yang lahir dalam perkawinan yaitu anak-anak sah, dan b. Anak-anak yang lahir di luar perkawinan yaitu anak-anak alami.6

Dalam hukum, seseorang anak dapat dibedakan statusnya dalam dua kategori, dimana setiap kategori membawa akibat hukum yang berbeda, yaitu : a. Anak dewasa (meerderjarig) dan

b. Anak belum dewasa (di bawah umur = minderjarig).7

Seseorang anak dewasa umumnya dapat bertindak dalam hukum sepenuhnya dan kepadanya dapat dipertanggung jawabkan segala akibat dari perbuatannya. Kecuali dalam hal-hal tertentu maka seseorang yang sudah dewasa tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya segala akibat dari perbuatannya,

5

Muhammad Ali, 2004, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen, Jakarta: Pustaka Amani, hal. 10.

6

M.U. Sembiring, 1989, Beberapa bab penting Dalam Hukum waris Menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, Medan: Fak. Hukum USU, hal. 12.

7


(17)

atau perbuatannya tidak sah menurut hukum, seperti perbuatan dari seseorang yang sakit berubah akal, di bawah pengampuan (curatele).

Akan tetapi dalam hal tertentu mereka tetap berhak atas sesuatu warisan misalnya. Dengan kata lain walaupun demikian, mereka ini adalah ahli waris yang sah dan berhak memiliki sesuatu barang.

Sedangkan anak yang belum dewasa, kepadanya tidak dapat dipertanggung-jawabkan segala akibat dari perbuatannya. Dengan kata lain perbuatan yang telah dilakukan oleh seorang anak di bawah umur adalah tidak sah, karena ia tidak cakap bertindak. Akan tetapi ia adalah sebagai ahli waris yang sah dan berhak memiliki barang.

Dengan demikian perbedaan antara seorang yang belum dewasa dan sudah dewasa, yaitu untuk menentukan cakap tidaknya ia bertindak dalam hukum serta dapat tidaknya dipertanggung-jawabkan kepadanya akibat dari perbuatan yang dilakukannya.

Seperti diketahui dalam uraian sebelumnya bahwa masing-masing undang-undang berbeda mengatur dan mendefinisikan tentang anak ini. Hal tersebut dikarenakan dari latar belakang dan juga fungsi undang-undang itu sendiri. Disinilah yang perlu disadari bahwa pada dasarnya pembedaan undang-undang dalam menafsirkan tentang anak ini adalah dikarenakan dari latar belakang tujuan dibuatnya undang-undang itu sendiri.

2. Pengertian Lalu Lintas

Transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk mewujudkankan wawasan Nusantara, memperkukuh ketahanan nasional, dan


(18)

mempererat hubungan antar bangsa dalam usaha mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Transportasi di jalan sebagai salah satu moda (alat) transportasi tidak dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang didata dalam sistem transportasi nasional yang dinamis dan mampu mengadaptasi kemajuan di masa depan, mempunyai karekteristik yang mampu menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan dan memadukan moda transportasi lainnya, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah, baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan moda transportasi lainnya, menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas sebagai pendorong, penggerak dan penunjang pembangunan nasional dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Membicarakan permasalahan transportasi di atas maka sarana yang sangat penting bagi terciptanya transportasi tersebut adalah jalan raya. Jalan raya pada umumnya dikenal oleh masyarakat sebagai alat bagi berlalu lalu lintas, dimana di dalamnya ditemukan kaedah-kaedah hukum, termasuk halnya pengaturan agar pemakai sarana transportasi dapat tertib memakai sarana transportasi tersebut.

Pengertian lalu lintas menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah “Lalu Lintas adalah


(19)

gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan”.

Sedangkan lalu lintas dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia “ (berjalan) bolak-balik, hilir mudik.8

Dua sumber di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya pengertian lalu lintas adalah bergerak baik orang maupun kendaraan dengan memakai jalan sebagai sarana utamanya serta pemakai jalan raya sebagai objeknya.

Lalu lintas memberikan gambaran kepada kita tentang pemakaian sarana jalan raya sebagai sebuah sarana bagi kebutuhan-kebutuhan berbagai kepentingan di atasnya, termasuk hal tersebut perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya, pelaksanaan pengangkutan. Dari keadaan yang sedemikian maka pentingnya dalam berlalu lintas adalah hubungan yang tercipta antara pemakai jalan raya itu sendiri serta saling keterikatan antara pemakai sarana jalan raya yang satu dengan yang lainnya. Keadaan inilah yang disebut dengan berlalu lintas, dimana hubungan- hubungan yang terjadi di jalan raya dengan berbagai sarana alat angkutan mencerminkan keharmonisan dan keteraturan.

Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan :

(1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:

a. Rambu Lalu Lintas. b. Marka Jalan.

c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas. d. Alat penerangan Jalan.

e. Alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan. f. Alat pengawasan dan pengamanan Jalan.

8


(20)

g. Fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan h. Fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang

berada di Jalan dan di luar badan Jalan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Rambu-rambu lalu lintas merupakan salah satu alat bagi keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas serta menciptakan kemudahan bagi pengguna jalan raya.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tidak ada diatur tentang pengertian rambu-rambu berlalu lintas, hanya fungsi dan kegunaannya saja diatur. Pengaturan tentang rambu-rambu lalu lintas dapat dilihat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan tanpa menyebutkan pengertian rambu-rambu lalu lintas.

Buku Penuntun Mengikuti Ujian SIM disebutkan rambu-rambu adalah salah satu dari perlengkapan jalan, berupa lambang, huruf, angka, kalimat dan/atau perpaduan di antaranya sebagai peringatan, larangam perintah dan petunjuk bagi pemakai jalan.9

3. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena ada penyebabnya, sebab kecelakaan harus dianalisis dan ditemukan, agar tindakan korektif kepada penyebab itu dapat dilakukan serta dengan upaya preventif lebih lanjut kecelakaan dapat dicegah. Kecelakaan merupakan tindakan tidak direncanakan dan tidak terkendali, ketika aksi dan reaksi objek, bahan, atau

9

Tim Manajemen Ditlantas Polda Sumut, 2004, Penuntun Mengikuti Ujian SIM (Teori


(21)

radiasi menyebabkan cedera atau kemungkinan cedera. Kecelakaan dapat diartikan sebagai tiap kejadian yang tidak direncanakan dan terkontrol yang dapat disebabkan oleh manusia, situasi, faktor lingkungan, ataupun kombinasi-kombinasi dari hal-hal tersebut yang mengganggu proses kerja dan dapat menimbulkan cedera ataupun tidak, kesakitan, kematian, kerusakaan property

ataupun kejadian yang tidak diinginkan lainnya.

Pasal 1 Butir (24) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan menjelaskan tentang kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.

Kecelakaan lalu lintas merupakan peristiwa yang tidak diharapkan yang melibatkan paling sedikit satu kendaraan bermotor dalam satu ruas jalan dan mengakibatkan kerugian material bahkan sampai menelan korban jiwa.10

Kecelakaan adalah peristiwa yang terjadi pada suatu pergerakan lalu lintas akibat adanya kesalahan pada sistem pembentuk lalu lintas, yaitu pengemudi (manusia), kendaraan, jalan dan lingkungan. Pengertian kesalahan di sini dapat dilihat sebagai suatu kondisi yang tidak sesuai dengan standar atau perawatan yang berlaku maupun kelalaian yang dibuat oleh manusia.11

Kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya. Kecelakaan tidak hanya mengakibatkan trauma, cedera,

10

Wibowo, D., dkk., 2005. Analisis Kecelakaan Lalu lintas Pada Ruas Jalan Raya

Siliwangi – Mangkang Semarang, Simposium VIII FSTPT, Universitas Sriwijaya Palembang. hal.

57.

11


(22)

ataupun kecacatan tetapi juga kematian. Kasus kecelakaan sulit diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring pertambahan panjang jalan dan banyaknya pergerakan dari kendaraan.12

Beberapa definisi kecelakaan lalu lintas dapat disimpulkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa pada lalu lintas jalan yang tidak diduga dan tidak diinginkan yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya, sedikitnya melibatkan satu kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang menyebabkan cedera, trauma, kecacatan, kematian dan/atau kerugian harta benda pada pemiliknya (korban).

4. Pidana Bersyarat

Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, makin dirasakan bahwa pidana tidaklah semata-mata lagi merupakan pembalasan, melainkan harus juga berfungsi memperbaiki terpidana itu sendiri. Atas pengaruh sistem pidana penjara di Inggeris (progressive system) pada tahun 1881 secara hati-hati sistem pelepasan bersyarat (voorwaardelijke invrijheid stelling/v.i.) dimasukkan dalam W.v.S. Belanda. Seperti diketahui “pelepasan bersyarat” ini dimaksudkan sebagai pelaksanaan sisa pidana terakhir dalam rangka pengembalian terpidana dengan baik ke dalam masyarakat. Perkembangan kesadaran hukum (dalam hal ini pelaksanaan pidana) di Negeri belanda pada tahun 1915 telah menentukan adanya pidana bersyarat atau pemidanaan bersyarat

12Universitas Sumatera Utara, “Bab II Tinjauan Pustaka”,

https://www.google.co.id/search?/complete/search?client=hp&hl=id&gs_rn=9&gs_ri=hp&tok=. Diakses tanggal 29 April 2015.


(23)

(voorwaardelijke veroordeling) untuk orang dewasa, dalam W.v.S Nederland.13 Indonesia pada tahun 1926 untuk pertama kalinya ditetapkan adanya pemidanaan bersyarat yang dituangkan dalam Stb. 1926/261 jo 486. Akan tetapi baru pada tanggal 1 Januari 1927 dimasukkan dalam KUHP berupa Pasal 14 a sampai dengan 14 f dan diberlakukan.14

Kata-kata pidana bersyarat atau pemidanaan bersyarat adalah sekedar suatu istilah umum, sedangkan yang dimaksudkan bukanlah pemidanaannya yang bersyarat, melainkan pelaksanaannya pidana itu yang digantungkan kepada syarat-syarat tertentu. Artinya kendati suatu pidana telah dijatuhkan kepada pelaku/terpidana namun pidana tidak/belum dijalani sepanjang terpidana tidak melanggar syarat-syarat yang diwajibkan padanya ketika putusan itu diterimanya. Karenanya dilihat dari sudut istilah, adalah lebih tepat jika disebut sebagai pelaksanaan pidana yang dipersyaratkan.

Pidana bersyarat adalah merupakan perintah dari hakim, bahwa pidana yang diputuskan/dijatuhkan tidak akan dijalani terpidana kecuali kemudian hakim memerintahkan supaya dijalani karena terpidana:

a. Sebelum habis masa percobaan, melanggar syarat umum yaitu melakukan suatu tindak pidana, atau.

b. Dalam masa percobaan tersebut, melanggar suatu syarat khusus (jika diadakan) atau.

13

EY Kanter dan SR Sianturi, EY Kanter dan SR Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, hal. 173.

14


(24)

c. Dalam masa yang lebih pendek dari percobaan tersebut, tidak melaksanakan syarat yang lebih khusus, berupa kewajiban mengganti kerugian pihak korban sebagai akibat dari tindakan terpidana.15

Point pertama adalah syarat mutlak, sedangkan point kedua dan ketiga adalah fakultatif. Artinya tergantung kepada hakim apakah ia memerintahkan persyaratan 2/3 atau tidak dari jumlah hukuman pokok. Dalam hal hakim hanya menjatuhkan pidana penjara lebih dari 3 bulan, atau pidana kurungan dalam hal terjadi pelanggaran tersebut Pasal 492, 504, 505 atau 536, KUHP hakim dapat juga mensyaratkan sebagai syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan itu atau sebahagiannya.

Menurut Pasal 14 KUHP Hakim dapat memerintahkan pidana bersyarat, jika putusan hakim dijatuhkan:

a. Pidana penjara maksimum satu tahun, atau.

b. Pidana kurungan (tidak termasuk pidana kurungan pengganti).

c. Pidana denda (akan tetapi tidak termasuk pidana denda dalam perkara-perkara pemasukan uang negara, atau pengembalian uang negara seperti pidana denda dalam perkara perpajakan, bea, cukai perkara tindak pidana ekonomi dan perkara korupsi).

Menurut KUHP, disamping selama masa percobaan si terpidana tidak boleh melakukan suatu tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa selama masa percobaannya si terpidana harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan pidananya. Disamping itu, dapat pula ditentukan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku si terpidana yang harus dipenuhi sepanjang atau sebagian dari masa percobaannya. Namun, syarat-syarat itu tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik dari si

15


(25)

terpidana. 16

Jadi, sebenarnya sistem hukum di Indonesia memungkinkan hakim untuk memutuskan pidana bersyarat bagi seseorang dengan syarat khusus melakukan pelayanan masyarakat untuk suatu waktu tertentu selama masa percobaan.

Sebenarnya penerapan pidana bersyarat mengandung beberapa keuntungan. Beberapa keuntungan itu antara lain:

a. Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di dalam masyarakat;

b. Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk berpartisipasi dalam pekerjaan-pekerjaan, yang secara ekonomis menguntungkan masyarakat dan keluarga; dan

c. Biaya yang harus ditanggung Negara lebih murah dibandingkan dengan pidana penjara atau pidana kurungan.17

Muladi mengemukakan bahwa dalam prakteknya lembaga pidana bersyarat ini tidak dapat diterapkan secara optimal karena beberapa alasan, yaitu antara lain,

a. Belum adanya pedoman yang jelas tentang penerapan pidana bersyarat, yang mencakup hakekat, tujuan yang hendak dicapai serta ukuran-ukuran di dalam penjatuhan pidana bersyarat.

b. Belum melembaganya pola-pola pengawasan dan pembinaan dan sistem kerjasama dalam pengawasan dan pembinaan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat.

c. Jaksa dan hakim masih sangat selektif dan membatasi diri dalam menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana bersyarat. Padahal sebenarnya KUHP memberikan kemungkinan untuk menerapkan sanksi pidana bersyarat secara lebih luas.18

Seandainya saja semua pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan yang diputuskan hakim dapat diterapkan sanksi pidana bersyarat dengan

16

Ibid., hal. 33.

17Ari Juliano Gema, “Naomi Campbell, Sanksi Pidana dan Lembaga Pidana Bersyarat”,

http://arijuliano.blogspot.com/2007/03/naomi-campbell-sanksi-pidana-dan.html, Diakses tanggal

28 April 2015.

18


(26)

salah satu syarat khususnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pidana bersyarat bukan merupakan pidana pokok tetapi hanya salah satu bentuk dari cara pelaksanaan pidana penjara yang kewenangannya diserahkan pada hakim. Meskipun dalam pidana bersyarat terkandung pengertian terpidana tidak perlu menjalankan hukumannya di penjara, namun tidak berarti dia bebas hukuman. Ada batas waktu percobaan yang ditetapkan oleh hakim kepada terpidana untuk tidak melakukan suatu tindak pidana. Bila melanggarnya pidana penjara yang telah diputuskan harus dijalankan oleh terpidana.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif. Dalam penelitian yuridis normatif ini akan digambarkan keadaan atau suatu fenomena yang berhubungan dengan pidana bersyarat pada pelaku kecelakaan lalu lintas yang dilakukan anak dalam praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg).

2. Sumber Data

Sumber penelitian yang dipergunakan bersumber dari data sekunder. Data sekunder yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian yang meliputi:


(27)

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang-Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen yang berupa pengambilan data yang berasal dari bahan literatur atau tulisan ilmiah sesuai dengan objek yang diteliti.

4. Analisis Data

Jenis analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis normatif yang menjelaskan pembahasan yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku seperti perundang-undangan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:


(28)

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Tujuan Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas, Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas serta Tujuan Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak.

Bab III. Syarat-Syarat Yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Perlindungan Anak, Tujuan Pemidanaan, Teori-Teori Pemidanaan, Pedoman Pemidanaan, serta Syarat-Syarat Yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat.

Bab IV. Penerapan Pidana Bersyarat Pada Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap Tujuan Pidana Bersyarat, Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg serta Penerapan Pidana Bersyarat Pada Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak.


(29)

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.


(30)

BAB II

TUJUAN PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK

A. Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan dikelompokkan menjadi 3 bentuk kecelakaan yaitu : 1. Kecelakaan akibat kerja pada perusahaan

2. Kecelakaan lalu lintas 3. Kecelakaan dirumah19

Pengelompokkan 3 bentuk kecelakaan ini merupakan pernyataan yang jelas, bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan bagian dari kecelakaan kerja, Sedangkan definisi yang pasti mengenai kecelakaan lalu lintas adalah suatu kejadian kecelakaan yang tidak terduga, tidak direncanakan dan diharapkan yang terjadi di jalan raya atau sebagai akibat dari kesalahan dari suatu akitivitas manusia di jalan raya, yang mana mengakibatkan luka, sakit, kerugian baik pada manusia, barang maupun lingkungan.

Jenis kecelakaan dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kecelakaan yang dialami oleh kendaraan yang terlibat. Adapun jenis kecelakaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kecelakaan sendiri 2. Menabrak obyek tetap 3. Menabrak penyeberang

19Blog Kabar Pendidikan, “Pengertian dan Klasifikasi Kecelakaan Lalu lintas”, Diakses

tanggal http://www.majalahpendidikan.com/2011/10/pengertian-dan-klasifikasi-kecelakaan.html, Diakses tanggal 25 April 2015.


(31)

4. Tabrakan depan – belakang 5. Tabrakan depan – depan 6. Tabrakan samping – samping 7. Tabrakan beruntun.

Berdasarkan posisi kecelakaan, Kadiyali dalam Kamarwan membagi kecelakaan menjadi :

1. Tabrakan menyudut (angle), terjadi antara kendaraan yang berjalan pada arah yang berbeda tetapi juga bukan pada arah yang berlawanan.

2. Menabrak bagian belakang (rear end), kendaraan yang menabrak bagian belakang kendaraan lain yang berjalan pada arah yang sama.

3. Menabrak bagian samping / menyerempet (side swipe), kendaraan menabrak kendaraan lain dari bagian samping sambil berjalan pada arah yang sama ataupun berlawanan.

4. Menabrak bagian depan (head on), tabrakan antara kendaraan yang berjalan pada arah yang berlawanan.

5. Menabrak secara mundur (backing), kendaraan menabrak kendaraan lain pada waktu kendaraan tersebut berjalan mundur.20

Menurut cara terjadinya kecelakaan, diklasifikasikan jenis kecelakaan sebagai berikut :

1. Hilang kendali / selip (running of road)

2. Tanpa tabrakan / kecelakaan sendiri

20

Kamarwan S, 1990. Positive Guidance terhadap Keselamatan Lalu lintas, Konferensi

Tahunan Teknik Jalan ke-4, Volume 4, Teknik Lalu lintas dan Transportasi, Departemen Pekerjaan


(32)

3. Tabrakan di jalan (collision on road), terdiri dari : • Dengan pejalan kaki

• Dengan kendaraan lain yang sedang berjalan • Dengan kendaraan lain yang sedang berhenti • Dengan kereta, binatang, dan lain-lain.21

Korban kecelakaan lalu lintas adalah manusia yang menjadi korban akibat terjadinya kecelakaan lalu lintas, Berdasarkan tingkat keparahannya korban kecelakaan (casualitas) dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :

1. Korban meninggal dunia atau mati (fatality killed) 2. Korban luka-luka berat (serious injury)

3. Korban luka-luka ringan (slight injury).22

Klasifikasi kecelakaan pada dasarnya dibuat berdasarkan tingkat keparahan korban, dengan demikian kecelakaan lalu lintas dibagi dalam 4 macam kelas sebagai berikut:

1. Klasifikasi berat (fatality accident), apabila terdapat korban yang mati (meskipun hanya satu orang) dengan atau korban luka-luka berat atau ringan. 2. Klasifikasi sedang, apabila tidak terdapat korban yang mati namun dijumpai

sekurang-kurangnya satu orang yang mengalami luka-luka berat.

3. Klasifikasi ringan, apabila tidak terdapat korban mati dan luka-luka berat, dan hanya dijumpai korban yang luka-luka ringan saja.

21

Ibid, hal. 35.

22


(33)

4. Klasifikasi lain-lain (kecelakaan dengan kerugian materiil saja), yaitu apabila tidak ada manusia yang menjadi korban, hanya berupa kerugian materiil saja baik berupa kerusakan kendaraan, jalan, jembatan, ataupun fasilitas lainnya.23

B. Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas

Lalu lintas ditimbulkan oleh adanya pergerakan dari alat-alat angkutan, karena adanya kebutuhan perpindahan manusia dan atau barang. Karena itu, dampak yang tidak mungkin ditolak karena adanya pergerakan tersebut adalah terjadinya kecelakaan. Kecelakaan dapat disebabkan oleh faktor pemakai jalan (pengemudi dan pejalan kaki), faktor kendaraan dan faktor lingkungan.

Kecelakaan diakibatkan oleh kombinasi dari beberapa faktor perilaku buruk dari pengemudi ataupun pejalan kaki, jalan, kendaraan, pengemudi ataupun pejalan kaki, cuaca buruk ataupun pandangan yang buruk.

Kecelakaan di jalan raya yang menyebabkan korban luka dan meninggal dari waktu jumlahnya tak surut. Berdasarkan data yang disodorkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2009, tak kurang dari 1,2 juta jiwa melayang di jalan raya akibat kecelakaan kendaraan bermotor. 24

Lembaga perkumpulan bangsa sejagat itu juga menyebut, sekitar 87,2 persen kecelakaan itu terjadi di negara berkembang. Data yang tak jauh berbeda juga disodorkan Lembaga Keselamatan jalan raya Amerika Serikat (NHTSA).

23

Ibid.

24

Arief Ariyanto, "Enam Penyebab Utama Kecelakaan di Jalan Raya", Melalui http://otomotif.tempo.co/read/news/2011/01/06/122304141/Enam-Penyebab-Utama-Kecelakaan-di-Jalan-Raya, Diakses tanggal 23 Mei 2015.


(34)

Sepanjang 2009, 21.798 orang tewas akibat kecelakaan lalu lintas di jalan raya di Amerika Serikat. Penyebab terbesar dari kecelakaan bermacam-macam, mulai dari menenggak minuman beralkohol, cuaca, masalah komponen mobil, hingga menelepon saat mengemudi.25

Namun, seperti yang dilansir situs resmi NHTSA, setidaknya ada enam penyebab yang paling sering memicu terjadinya kecelakaan. Keenamnya adalah : 1. Pengemudi kehilangan konsentrasi

Faktor ini menempati urutan pertama, karena hasil penelitian menyebut faktor ini memiliki persentase menyebabkan kecelakaan hingga 55 persen.

Pengemudi tidak fokus ke kondisi jalan saat mereka menelepon atau menerima telepon di saat mengemudi. Penyebab lainnya, karena pengemudi membaca dokumen, membaca pesan pendek, melihat kejadian di sekeliling jalan dalam waktu lama, mengatur peranti audio.

Selain itu, stres karena masalah pribadi, panik karena ulah pengendara lain, hingga terburu-buru karena ada persoalan penting yang harus segera diselesaikan juga menjadi penyebab buyarnya konsentrasi di jalan.

2. Lelah dan mengantuk

Penyebab kedua yang menjadi pemicu terjadinya kecelakaan adalah kelelahan dan mengantuk. Keduanya memiliki persentase menyebabkan kecelakaan hingga 45 persen.

Disebutkan, saraf sensorik dan motorik orang yang sangat lelah dan mengantuk menurun kepekaannya. Sehingga, selain menyebabkan tidak

25


(35)

konsentrasi lelah dan mengantuk juga menyebabkan tingkat refleks seseorang berkurang.

Kondisi badan yang kelelahan dan mengantuk memiliki kemiripan dengan orang yang menenggak minuman beralkohol atau obat-obatan. Perbedaannya, orang yang kelelahan masih memiliki kesadaran yang sewaktu-waktu masih dikontrol dan distimulasi hingga kembali ke kesadaran penuh.

3. Pengaruh alkohol dan obat

Kondisi mabuk yang diakibatkan oleh minuman beralkohol atau obat-obatan memiliki tingkat persentase menyebabkan kecelakaan hingga 30 persen. Menenggak alkohol atau mengkonsumsi obat-obatan (atau bahkan obat yang direkomendasi dokter) berpotensi menghilangkan kemampuan kontrol otak. Sehingga selain kesadaran hilang atau berkurang, kemampuan refleks juga merosot drastis.

Pengemudi yang mabuk cenderung kehilangan kemampuan memperhitungkan manuver, kepekaan dalam merasakan kecepatan mobil, hingga ketidakakuratan pandangan.

4. Kecepatan melebihi batas

Faktor lain yang juga kerap menjadi penyebab kecelakaan adalah pengemudi menggeber mobil dengan kecepatan yang melebihi standar yang diizinkan di jalan. Pengemudi akan kesulitan melakukan manuver dengan aman saat kondisi jalan tak memungkinkan.

Terlebih bila mobil bermasalah, seperti ban pecah atau satu di antara komponen mengalami kerusakan. Kendati produsen mobil mengatakan telah


(36)

melengkapi mobil produksinya dengan seabrek peranti penunjang keselamatan, jangan pernah berspekulasi.

Pasalnya, kondisi tersebut berasumsi pada saat jalanan dalam kondisi ideal. Selain itu kondisi yang tak terduga dan dialami oleh pengemudi juga berbeda saat mobil pertama kali diuji coba oleh pabrikan.

Faktor kecepatan ini memiliki persentase menyebabkan kecelakaan hingga 30 persen. Faktor kecepatan ini juga termasuk perilaku pengemudi yang agresif dalam mengemudikan kendaraannya.

5. Cuaca

Meski terlihat sepele, namun cuaca hujan deras, angin ribut, berkabut, hingga udara kering yang menyebabkan jalanan berdebu juga tercatat sebagai penyebab kecelakaan. Persentasenya mencapai 13 persen.

Guyuran air hujan selain menyebabkan keterbatasan pandangan juga menjadikan kemampuan ban untuk mencengkeram lintasan juga berkurang. Terlebih bila kendaraan yang berada di depan atau belakang tidak memiliki kewaspadaan yang tinggi atau bermasalah.

Di negara-negara tropis seperti Indonesia, faktor cuaca seperti hujan memiliki tingkat potensi tinggi memicu terjadinya kecelakaan.

6. Komponen tak beres

Faktor ini kerap tidak disadari oleh pemilik atau pengguna mobil. T erlebih bila pemilik atau pengguna mobil tidak memiliki kepekaan untuk mendeteksi ada tidaknya permasalahan di satu komponen mobil.


(37)

14 persen. Beberapa kerusakan komponen yang paling sering terjadi adalah kanvas rem yang sudah tidak berfungsi maksimal, power steering yang terganjal sehingga kontrol kemudi tak terkendali dengan baik.

Selain itu ban pecah, sistem kontrol elektronik untuk menjaga kestabilan mobil yang rusak, hingga kabel sistem kelistrikan yang berpotensi korsleting.26

Hasil penelitian NHTSA juga menunjukkan, selama ini para pemilik atau pengguna mobil jarang yang memperhatikan kondisi komponen mobil mereka. Sebagian besar di antara mereka akan membawa kendaraannya saat ada gejala yang benar-benar dirasakan atau setelah terjadi peristiwa kecelakaan.

Sumber lain mengatakan ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan kecelakaan di jalan raya itu terjadi, yaitu: faktor human error (kesalahan manusia), faktor mechanical failure (kesalahan teknis kendaraan), faktor kondisi jalanan dan faktor cuaca. Berikut ini akan dibahas satu-persatu faktor-faktor tersebut.

1. Faktor human error

Faktor ini seringkali menjadi penyebab utama kecelakaan. Penyebabnya bisa karena ngantuk, tidak tertib, pengemudi kehilangan konsentrasi (melakukan aktifitas lain sambil berkendara), mabuk alkohol/obat-obatan, kondisi psikis (stress, depresi dan lain-lain). Di Amerika, sebanyak 45% kecelakaan jalan raya yang terjadi adalah karena pengemudi ngantuk. Mengantuk disebabkan karena manusia kurang tidur yang cukup sebelum berkendara sehingga syaraf

26


(38)

sensorik dan motorik jadi menurun kepekaannya. 2. Faktor mechanical failure

Faktor ini juga menjadi pemicu terjadinya kecelakaan lalu lintas. Persentasenya skitar 15%. Kurangnya pengetahuan si pengendara terhadap kondisi kesiapan kendaraannya bisa fatal akibatnya. Kerusakan mesin, spare parts, komponen pada kendaraan. Pemilik kendaraan sering melupakan atau lalai mendeteksi adanya permasalahan di kendaraannya.

Supaya tetap berkendara dengan kendaraan yang prima, sangat disarankan untuk melakukan pengecekan rutin mingguan/bulanan terhadap kondisi kendaraan di bengkel resmi.

3. Faktor kondisi jalanan

Faktor kondisi jalanan yang bergelombang, lubang, rusak sangat membahayakan bagi pengguna jalan raya. Untuk itu, pemakai jalan harus sangat waspada terhadap kondisi jalanan. Berhati-hati pada setiap jalan yang dilalui. Walaupun pemakai jalan sudah sering lewat jalan itu, tapi tetap harus waspada. Memang, tanggung jawab dari pemeliharaan infrastruktur jalan raya adalah tanggung jawab pemerintah, tapi ada baiknya pemakai jalan dalam hal ini mengalah demi keselamatan sendiri.

4. Faktor kondisi cuaca/alam

Faktor ini juga termasuk sebagai pemicu terjadinya kecelakaan lalu lintas. Kondisi cuaca yang buruk bisa membuat jarak pandang berkurang, jarak pengereman jadi jauh, kondisi jalanan jadi licin. Jika sudah itu yang terjadi, tidak ada kata lain selain meningkatkan kewaspadaan dan berhati-hati.


(39)

Nyalakan lampu kendaraan dan jangan memacu kendaraan terlalu kencang.27

C. Tujuan Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak

Sejarah perkembangan hukum pidana modern, pidana bersyarat ini berasal dari AS tahun 1878.28 Sebagai negeri jajahan Belanda pada waktu itu lembaga pidana bersyarat juga tercantum dalam Pasal 14a – 14 f WvS-NI (KUHP Indonesia) pada tahun 1926 yang sampai sekarang masih berlaku.

Pasal 14:

“Terpidana yang dijatuhkan pidana penjara wajib menjalankan segala pekerjaan yang dibebankan kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan Pasal 29”

Pasal 14a :

(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.

(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana. Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara

27

All Information, "Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas", Melalui

https://yvcibc.wordpress.com/2013/02/20/322/, Diakses tanggal 23 Mei 2015.

28


(40)

mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2.

(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan. (4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan

cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.

(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.

Pasal 14b:

(1) Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun.

(2) Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.

(3) Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah. Pasal 14c:

(1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana, hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.

(2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.

(3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik terpidana.

Pasal 14d:

(1) Yang diserahi mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan, jika kemudian ada perintah untuk menjalankan putusan.

(2) Jika ada alasan, hakim dapat perintah boleh mewajibkan lembaga yang berbentuk badan hukum dan berkedudukan di Indonesia, atau kepada


(41)

pemimpin suatu rumah penampungan yang berkedudukan di situ, atau kepada pejabat tertentu, supaya memberi pertolongan atau bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.

(3) Aturan-aturan lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tadi serta mengenai penunjukan lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat diserahi dengan bantuan itu, diatur dengan undang-undang.

Pasal 14e:

Atas usul pejabat dalam pasal ayat 1, atau atas permintaan terpidana, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama, selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat khusus dalam masa percobaan. Hakim juga boleh memerintahkan orang lain daripada orang yang diperintahkan semula, supaya memberi bantuan kepada terpidana dan juga boleh memperpanjang masa percobaan satu kali, paling banyak dengan separuh dari waktu yang paling lama dapat diterapkan untuk masa percobaan.

Pasal 14f:

(1) Tanpa mengurangi ketentuan pasal diatas, maka atas usul pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat 1, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan, atau memerintahkan supaya atas namanya diberi peringatan pada terpidana, yaitu jika terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau jika salah satu syarat lainnya tidak dipenuhi, ataupun jika terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap, karena melakukan tindak pidana selama masa percobaan mulai berlaku. Ketika memberi peringatan, hakim harus menentukan juga cara bagaimana memberikan peringatan itu.

(2) Setelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat diberikan lagi, kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidanan yang menjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua bulan setelah pemidanaan menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan tindak pidana tadi.

Aspek tujuan pemidanaan sebenarnya pidana bersyarat ini lebih ditujukan pada resosialisasi terhadap pelaku tindak pidana daripada pembalasan terhadap perbuatannya. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan aliran hukum pidana modern yang berorientasi pada pelaku kejahatan yang pemidanaannya ditekankan


(42)

untuk kemanfaatan atau memperbaiki dengan mempertimbangkan sifat-sifat serta keadaan terpidana. Dalam pidana bersyarat terdapat makna yang tersimpul bahwa sanksi dijatuhkan bukan karena orang telah melakukan kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan.

Syarat pertama yang ditegaskan dalam Pasal 14a KUHP untuk penerapan pidana bersyarat adalah jika hakim berkehendak menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa tidak lebih dari satu tahun. Jadi tolok ukurnya bukan pada pidana yang diancamkan terhadap pelaku, tapi pada berat-ringannya pidana yang akan dijatuhkan oleh hakim.

Bila hakim bermaksud memidana terdakwa tidak lebih dari satu tahun penjara, maka hakim dapat memerintahkan untuk tidak menjalani vonis itu dengan menetapkan syarat-syarat tertentu. Selain syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 14a - 14f KUHP, hakim juga harus memperhatikan bukti materiil yang ditemukan dalam persidangan, dan mempertimbangkan pula sifat-sifat serta kondisi terdakwa. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 14 a KUHP dan seterusnya.

Pidana bersyarat bukan merupakan pidana pokok tetapi hanya salah satu bentuk dari cara pelaksanaan pidana penjara yang kewenangannya diserahkan pada hakim. Meskipun dalam pidana bersyarat terkandung pengertian terpidana tidak perlu menjalankan hukumannya di penjara, namun tidak berarti dia bebas hukuman. Ada batas waktu percobaan yang ditetapkan oleh hakim kepada terpidana untuk tidak melakukan suatu tindak pidana. Bila melanggarnya pidana penjara yang telah diputuskan harus dijalankan oleh terpidana.


(43)

Menurut Pasal 14 c KUHP, disamping selama masa percobaan si terpidana tidak boleh melakukan suatu tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa selama masa percobaannya si terpidana harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan pidananya. Disamping itu, dapat pula ditentukan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku si terpidana yang harus dipenuhi sepanjang atau sebagian dari masa percobaannya. Namun, syarat-syarat itu tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik dari si terpidana.

Jadi, sebenarnya sistem hukum memungkinkan hakim untuk memutuskan pidana bersyarat bagi seseorang dengan syarat khusus melakukan pelayanan masyarakat untuk suatu waktu tertentu selama masa percobaan. Namun, sepertinya belum ada hakim yang memberikan putusan seperti itu.

Sebenarnya penerapan pidana bersyarat mengandung beberapa keuntungan. Beberapa keuntungan itu antara lain:

1. Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di dalam masyarakat.

2. Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk berpartisipasi dalam pekerjaan-pekerjaan, yang secara ekonomis menguntungkan masyarakat dan keluarga.

3. Biaya yang harus ditanggung Negara lebih murah dibandingkan dengan pidana penjara atau pidana kurungan.29

Nawawi menjelaskan dalam prakteknya lembaga pidana bersyarat ini tidak dapat diterapkan secara optimal karena beberapa alasan, yaitu antara lain:

1. Belum adanya pedoman yang jelas tentang penerapan pidana bersyarat, yang mencakup hakekat, tujuan yang hendak dicapai serta ukuran-ukuran di dalam penjatuhan pidana bersyarat.

29

Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 23.


(44)

2. Belum melembaganya pola-pola pengawasan dan pembinaan dan sistem kerjasama dalam pengawasan dan pembinaan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat

3. Jaksa dan hakim masih sangat selektif dan membatasi diri dalam menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana bersyarat. Padahal sebenarnya KUHP memberikan kemungkinan untuk menerapkan sanksi pidana bersyarat secara lebih luas. Seandainya saja semua pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan yang diputuskan hakim dapat diterapkan sanksi pidana bersyarat dengan salah satu syarat khususnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat seperti yang diterapkan kepada Naomi Campbell dan Boy George, maka selain memberikan efek jera pasti juga memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Apalagi apabila terpidana tersebut dapat diperbantukan sebagai tenaga relawan untuk membantu meringankan penderitaan korban bencana alam yang kerap terjadi di tanah air. .30

Ketentuan dalam Pasal 14 a KUHP inilah merupakan landasan hukum dari pidana bersyarat yang lahir tahun 1927 (LN. 1926 No. 251 jo 486).31

Putusan hakim menurut Pasal 14 a ayat (5), perintah hakim tersebut harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu. Akan tetapi dalam praktek hukum hal ini jarang dilakukan. Di Negeri Belanda menurut arrest HR 6 Juni 1933, W. 12634, juga tidak wajib menyebutkan alasan-alasan tersebut dalam putusan hakim.32

Putusan pidana bersyarat dijatuhkan oleh hakim terkadang diikuti dengan hukuman percobaan. Dengan demikian maka apabila hukuman percobaan percobaan dilanggar berarti pidana bersyarat juga dilangga. Adapun masa percobaan tersebut dikenal dalam spesifikasi:

1. Kejahatan.

2. Pelanggaran tersebut Pasal : 492, 504, 505, 506 dan 536 paling lama 3 tahun.

30

Ibid., hal. 31.

31

Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, hal. 473.

32


(45)

Hal di atas menjelaskan bahwa pidana bersyarat yang diputus dengan pidana percobaan merupakan tindak pidana dalam bentuk kejahatan atau dalam bentuk pelanggaran.

Masa percobaan untuk pelanggaran lainnya maksimum 2 tahun. Masa percobaan dimulai sejak putusan menjadi tetap dan diberitahukan secara sah kepada terpidana. Untuk masa percobaan tidak diperhitungkan masa penahanan yang sah.

Perintah pelaksanaan pidana bersyarat, hakim boleh mewajibkan kepada suatu lembaga badan hukum (lembaga reklasiring) untuk memberi bantuan kepada terpidana bersyarat. Dan selama masa percobaan itu, hakim yang bersangkutan dapat:

1. Mengubah syarat-syarat khusus atau lamanya waktu berlakunya syarat-syarat terpidana.

2. Memerintahkan orang lain (badan hukum), selain dari yang diwajibkan semula untuk membantu terpidana.

3. Memperpanjang masa percobaan.

Menurut Barda Nawawi ada dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) termasuk penerapan pidana bersyarat ialah masalah penentuan:

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.33

33


(46)

Penganalisaan terhadap 2 (dua) masalah sentral ini dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana termasuk pula kebijakan dalam menangani 2 (dua) masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan. Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya.

Klasifikasi kebijakan hukum pidana sebagaimana diutarakan oleh Muladi dan Nawawi dapat meliputi :

1. Pendekatan integral antara kebijakan penal dan non penal.

2. Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan hukum pidana.34

Pendekatan integral antara kebijakan penal dan non penal pada dasarnya adalah usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) tentu tidak saja hanya menggunakan sarana penal (hukum pidana) tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana-sarana yang non penal. Usaha-usaha non penal ini misalnya penyantunan pendidikan sosial dalam rangka pengembangan tanggungjawab sosial warga masyarakat, penggarapan kese-hatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan

34


(47)

patroli dan pengawasan lainnya secara kontiniu oleh polisi dan aparat keamanan lain dan sebagainya. Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial.

Usaha non penal adalah suatu usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal penanggulangan suatu kejahatan. Misalnya pengemis dan gelandangan adalah suatu tindak pidana. Pengemis dan gelandangan tentunya sangat tidak manusiawi jika dihukum berdasarkan undang-undang. Tetapi lebih menciptakan kepastian hukum apabila dibekali dengan pendidikan dan latihan kerja. Inilah yang dimaksudkan dengan usaha non penal. Atau usaha yang tidak semata-mata hanya menghukum pelaku tindak pidana.

Oleh karena itu, suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang no penal itu ke dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu.

Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan hukum pidana adalah meliputi:

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.35 Penganalisaan terhadap dua keadaan sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi bahwa kebijakan kriminal merupakan again integral dari kebijakan sosial. Ini berarti pemecahan masalah-masalah tersebut di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana termasuk pula kebijakan

35


(48)

dalam menangani dua keadaan di atas harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan.

Sebagaimana diterangkan dalam dalam bab tinjauan pustaka bahwa kebijakan hukum pidana dibuat dan direncanakan oleh masyarakat. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa kebijakan hukum pidana tersebut diperuntukkan bagi perlindungan hukum kepada masyarakat itu sendiri, baik itu akibat dari pemberlakuan hukum pidana itu sendiri maupun juga akibat-akibat dari pelanggaran hukum pidana itu.

Kebijakan hukum pidana juga diperuntukkan bagi perbaikan kehidupan sosial kemasyarakatan dimana bentuk-bentuk pertanggungjawaban pidana harus menggambarkan suatu pola yang memang memberikan potensi dalam hal melindungi kepentingan diri pribadi masyarakat, harta, dan juga lingkungannya.

Maka kebijakan hukum pidana tidak saja melingkupi kebijakan penerbitan perundang-undangan tetapi juga meliputi kebijakan perbaikan kehidupan dan taraf kesejahteraan masyarakat.

Konsekuensi dari proses interaksi sosial yang menyangkut perilaku kejahatan tersebut akan mendapat reaksi sosial. Reaksi-reaksi sosial terhadap kejahatan dalam masyarakat mempunyai berbagai wujud, sebagian kejahatan ada yang dihukum sesuai dengan rumusan-rumusan hukum dan ada pula yang diberikan reaksi sosial tanpa dihukum, dan kalaupun dihukum hanyalah pengurangan pidana.

Reaksi masyarakat atau lebih lebih tegasnya reaksi hukum yang berupa penjatuhan pidana oleh badan yang berwenang melalui prosedur yang telah


(49)

ditentukan, masih mempunyai nilai penting karena:

1. Terjadinya tindak pidana telah mengguncangkan keamanan dan ketenteraman kehidupan anggota masyarakat pada umumnya.

2. Korban kejahatan (suatu tindak pidana adalah seorang anggota masyarakat yang seharusnya terhindari dari kejahatan).

3. Besarnya kerugian yang diderita (anggota) masyarakat disebabkan karena kejahatan tersebut tidaklah hanya dapat diukur secara material semata-mata melainkan terlebih penting adalah kerugian-kerugian secara moril yaitu berkurangnya atau hilangnya kepercayaan anggota masyarakat terhadap hukum dan kewibawaan aparat penegak hukum.

Pemidanaan termasuk pidana bersyarat penting dan mempunyai tujuan seperti :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Mengadakan koreksi terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada diri terpidana.

5. Luasnya dan lapangan waktu yang diberikan kepada pelaku tindak pidana untuk merubah kelakuannya.

Reaksi sosial merupakan konsekuensi terhadap perilaku jahat yang pada hakekatnya merupakan sikap yang spontan dan emosional yang diberikan anggota


(50)

masyarakat terhadap suatu kejahatan/pelanggaran yang timbul dalam masyarakat, sehingga reaksi tersebut merupakan rangkaian peristiwa yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya sehingga perlu dicari sebab-sebabnya.

Masalahnya adalah apakah penjatuhan pidana bersyarat yang mempunyai tujuan penting dan merupakan reaksi yuridis untuk kepentingan negara, masyarakat dan kepentingan umum itu juga dapat menjadi faktor penanggulangan kejahatan. Seandainya dapat maka akan timbul pertanyaan bagaimana upaya pencegahannya. Atau alternatif apa yang seharusnya diterapkan oleh hakim agar kecil kemungkinannya untuk menimbulkan kejahatan baru sebagai akibat dari tindakan itu.

Suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana bersyarat memberikan fungsi bagi perbaikan tingkah dan laku pelaku tindak pidana untuk menjadi lebih baik, karena adanya waktu dan kesempatan yang luas bagi si terpidana untuk memperbaiki dirinya.

Hanya saja dalam kaitan ini terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana bersyarat dapat diselesaikan proses hukumnya secara tepat. Penerapan hu -kum pidana dengan kemungkinan penjatuhan pidana dan terutama perampasan kemerdekaan banyak mengandung kritik baik dilihat dari efektivitasnya maupun akibat-akibat negatif lainnya yang menyertai atau berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang. Kritik tajam tidak hanya ditujukan terhadap pidana penjara menurut pandangan modern yang lebih bersifat kemanusiaan dan menekankan pada unsur perbaikan si pelanggar.


(51)

Sesuai dengan pemikiran alternatif ini maka adalah sangat potensial sekali jika suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana bersyarat dapat diterapkan pemeriksaan dan pemutus perkaranya secara singkat dan juga tidak berlarut-larut, dengan tidak melupakan konsep kepentingan hukum yaitu keadilan dan ketertiban umum.

Pidana bersyarat dalam kaitan ini perlu juga dihubungkan dengan masalah pidana minimal. Karena dengan adanya pidana bersyarat maka pidana minimal dapat diterapkan. Pidana minimal adalah penjara 1 hari, yang pada dasarnya dijatuhkan oleh hakim karena adanya pengurangan pidana. Dari pidana minimal ini misalnya seseorang diancam pidana penjara 6 bulan, tetapi telah melakukan ganti rugi terhadap objek yang dirusaknya, maka dalam putusannya hakim menjatuhkan pidana bersyarat. Tetapi karena hukum Indonesia menganut asas bahwa setiap perbuatan pidana ada hukumannya maka hakim menjatuhkan pidana minimalnya yaitu 1 hari.

Kebijakan demikiaan sangat tepat karena diakui bahwa dalam beberapa hal tujuan keadilan mungkin memerlukan pengenaan pidana penjara pendek dan penghapus penyeluruh pidana penjara pendek dalam perakteknya tidaklah mungkin. Namun demikian agar ketentuan minimal umum 1 (satu) hari itu tidak menyebabkan kemungkinan terjadinya disparatis pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya, sehingga perlu diimbangi dengan pengurangan pidana khusus. Disamping bertolak dari pemikiran, perlunya minimal khusus ini didasarkan pada pemikiran yang analog dengan dimungkinkannya maksimum umum maupun maksimum khusus


(52)

diperberat dalam hal-hal tertentu. Analog dengan itu, minimum umum 1 (satu) hari itupun hendaknya dalam hal-hal tertentu dapat diperberat. Secara teknik perundang-undangan, kemungkinan memperberat minimal umum itu dapat dicantumkan dalam aturan umum Buku I atau dalam buku II dengan menetapkan minimal khusus untuk delik-delik tertentu, khususnya untuk delik-delik yang dikualifisir atau yang diperberat oleh akibatnya.


(53)

BAB III

SYARAT-SYARAT YANG HARUS DIBERIKAN KEPADA TERPIDANA ANAK DENGAN DIJATUHKANNYA PIDANA BERSYARAT

A. Perlindungan Anak

Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spritualnya secara maksimal.

Dalam perundang-undangan perhatian terhadap anak sudah dirumuskan sejak tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 Juncto Ordonansi 1949 No. 9 yang mengatur pembatasan kerja anak dan wanita. Kemudian tahun 1926 lahir pula Stb. 1926 No. 87 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang Muda bekerja di atas kapal. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang disahkan mulai berlaku pada tanggal 26 Pebruari 1946. Padahal adakalanya tindakan itu bukan merupakan tindak pidana bila dilakukan terhadap orang dewasa. Dilanjutkan pada tahun 1948 lahir Undang-Undang Pokok Perburuhan (Undang-Undang No. 12 Tahun 1948) yang melarang anak melakukan pekerjaan. Pada tanggal 23 Juli 1979 lahir pula Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dengan Peraturan Pelaksanaan PP No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak.

Secara internasional pada tanggal 20 November 1989, lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak-hak anak Indonesia telah


(1)

bersyarat dengan syarat umum berupa tidak boleh melakukan suatu tindak pidana selama menjalani masa percobaan dan syarat khusus, dilarang mengendarai atau mengemudikan kendaraan bermotor selama 2 (dua) tahun, dan syarat khusus sebelum masa percobaan selama 1 (satu) tahun berahir, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana pidana. Dengan hal tersebut maka ketentuan Pasal 73 ayat (2), (3) dan (4) sudah terpenuhi dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg.

Selanjutnya akan dilihat ketentuan Pasal 73 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menjelaskan masa pidana dengan syarat khusus lebih lama daripada masa pidana dengan syarat umum. Syarat umum pada Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg adalah 1 tahun sedangkan syarat umum adalah 2 tahun. Sehingga syarat khusus lebih lama daripada syarat umum dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Tujuan penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan anak adalah untuk menciptakan suatu wujud keberadaan hukum sebagai wadah perbaikan perilaku dari pihak yang melanggar hukum tersebut termasuk dalam kapasitas ini adalah anak, sehingga tidak terganggunya masa depannya.

2. Syarat-syarat yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat:

a. Sebelum habis masa percobaan hukuman seseorang, ia melanggar syarat umum yaitu melakukan suatu tindak pidana atau

b. Dalam masa percobaan tersebut, melanggar suatu syarat khusus (jika diadakan), atau

c. Dalam masa yang lebih pendek dari percobaan tersebut, tidak melaksanakan syarat yang lebih khusus, berupa kewajiban mengganti kerugian pihak korban sebagai akibat dari tindakan terpidana.

3. Pelaksanaan pidana bersyarat pada anak sebagai akibat kecelakaan lalu lintas harus sesuai dengan ketentuan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu masa hukuman yang dijatuhkan tidak melebihi 2 tahun dan adanya syarat umum dan syarat khusus. Ketentuan tersebut telah terpenuhi dalam Putusan


(3)

B. Saran

1. Kepada anak yang berperilaku melanggar tindak pidana hendaknya majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut tetap memperhatikan masukan dari Linmas sehingga efektivitas hukuman yang dijatuhkan dapat lebih pasti dan menciptakan perlindungan bagi anak meskipun ia pelaku tindak pidana.

2. Kepada hakim hendaknya dapat menerangkan kepada terpidana tentang maksud dan tujuan daripada penjatuhan pidana bersyarat khususnya dengan mengenakan pidana percobaan kepada seorang terpidana.

3. Kepada pihak kejaksaan juga hendaknya dapat melakukan pengawasan secara baik kepada seorang terpidana yang dijatuhkan dengan pidana percobaan sehingga diketahui apakah pidana bersyarat yang dijatuhkan memberikan fungsi atau tidak dalam penegakan hukum.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Amir Syamsuddin, 2008, Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara., Jakarta: Kompas.

Andi Hamzah, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.

Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.

____________, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penagakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.

CST. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PN. Balai Pustaka.

Darwan Prinst, 1997, Hukum Anak Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti. EY Kanter dan SR Sianturi, EY Kanter dan SR Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum

Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika.

Kamarwan S, 1990. Positive Guidance terhadap Keselamatan Lalu lintas, Konferensi Tahunan Teknik Jalan ke-4, Volume 4, Teknik Lalu lintas dan Transportasi, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.

Kamisa, 1997, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Kartika.

Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju.

Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.

Muhammad Ali, 2004, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen, Jakarta: Pustaka Amani.

Muladi, 1992, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni.

M.U. Sembiring, 1989, Beberapa bab penting Dalam Hukum waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Medan: Fak. Hukum USU.


(5)

R. Soesilo, 1994, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia.

Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

Tim Manajemen Ditlantas Polda Sumut, 2004, Penuntun Mengikuti Ujian SIM (Teori dan Praktek), Medan: Yayasan Kemala Bhayangkari Perwakilan Sumatera Utara.

Wibowo, D., dkk., 2005. Analisis Kecelakaan Lalu lintas Pada Ruas Jalan Raya Siliwangi – Mangkang Semarang, Simposium VIII FSTPT, Universitas Sriwijaya Palembang.

B. Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

C. Internet:

All Information, "Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas", Melalui https://yvcibc.wordpress.com/2013/02/20/322/.

Arief Ariyanto, "Enam Penyebab Utama Kecelakaan di Jalan Raya", Melalui http://otomotif.tempo.co/read/news/2011/01/06/122304141/Enam-Penye bab-Utama-Kecelakaan-di-Jalan-Raya.

Blog Kabar Pendidikan, “Pengertian dan Klasifikasi Kecelakaan Lalu lintas”, Diakses tanggal http://www.majalahpendidikan.com/2011/10/pengertian-dan-klasifikasi-kecelakaan.html.

Kabar 86, "Jumlah Kasus Pidana Anak", Melalui http://kbr68h.com/saga/81/16267-kpai--jumlah-kasus-pidana-anak-seki tar-7000-per-tahun.

Syafruddin, “Pidana Ganti Rugi : Alternatif Pemidanaan Di Masa Depan Dalam Penanggulangan Kejahatan Tertentu”, http://library.usu.ac.id/ download/fh/pidana-syafruddin4.pdf.


(6)

Universitas Sumatera Utara, “Bab II Tinjauan Pustaka”, https://www.google.co.id/search?/complete/search?client=hp&hl=id&gs_ rn=9&gs_ri=hp&tok=.


Dokumen yang terkait

Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)

0 73 91

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Kendala Penyidikan Tindak Pidana Kelalaian (CULPA) pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan matinya Korban (Studi pada POLDASU)

2 95 81

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Polres Kabupaten Labuhan Batu)

1 61 83

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Polres Kabupaten Labuhan Batu)

2 46 83

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

1 81 147

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

BAB II TUJUAN PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK A. Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas - Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusa

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN B. Latar Belakang - Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)

0 0 21

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9