Kendala Penyidikan Tindak Pidana Kelalaian (CULPA) pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan matinya Korban (Studi pada POLDASU)

(1)

KENDALA PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KELALAIAN

(CULPA) PADA PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS

YANG MENGAKIBATKAN MATINYA KORBAN

(STUDI PADA POLDASU)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

K

K

U

U

R

R

N

N

I

I

A

A

W

W

A

A

N

N

T

T

O

O

P

P

U

U

T

T

R

R

A

A

NIM. 070200171

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

KENDALA PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KELALAIAN

(CULPA) PADA PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS

YANG MENGAKIBATKAN MATINYA KORBAN

(STUDI PADA POLDASU)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

K

K

U

U

R

R

N

N

I

I

A

A

W

W

A

A

N

N

T

T

O

O

P

P

U

U

T

T

R

R

A

A

NIM. 070200171

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M Hamdan, SH, MH NIP. 195703261986011001

Pembimbing I

Liza Erwina, SH, M.Hum NIP. 196110241989032002

Pembimbing II

Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum NIP. 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun skripsi ini berjudul : “Kendala Penyidikan Tindak Pidana Kelalaian (Culpa) Pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban (Studi Pada Poldasu).”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas


(4)

Sumatera Utara dan Bapak Dr. O. K. Saidin, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Dr. M Hamdan, S.H., MH., selaku Ketua Departemen Huku m Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

4. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

5. Kepada Papa Mijer dan Mama Mindalina, atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU dan yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

6. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

7. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2007, selama menjalani perkuliahan..

8. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(5)

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2014


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 23

G. Sistematika Penulisan ... 25

BAB II PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP KELALAIAN (CULPA) PADA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN MATINYA KORBAN ... 28

A. Pengertian Tindak Pidana ... 28

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana... 33

C. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kelalaian (CULPA) Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban ... 38


(7)

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KECELAKAAN

LALU LINTAS ... 42

A. Fungsi dan Peranan Lalu Lintas ... 42

B. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas ... 45

C. Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas ... 48

D. Disiplin Lalu Lintas... 52

BAB IV KENDALA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA (CULPA) DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS ... 59

A. Gambaran Umum Pelaksanaan Penyidikan ... 59

B. Kendala Dalam Penyidikan Tindak Pidana Culpa Dalam Kecelakaan Lalu Lintas ... 63

C. Upaya Dalam Mengatasi Kendala Penyidikan Tindak Pidana Culpa Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban ... 67

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

Dari banyaknya kecelakaan yang terjadi dan faktor-faktor yang menyebabkan kecelakaan terdapat suatu kendala dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban. Kendala penyidikan ini dapat dilihat dari hasil pra survey pada tahun 2008 sampai dengan pertengahan 2010 jumlah kecelakaan yang mengakibatkan matinya korban sebanyak 856 perkara. Dari jumlah tersebut, perkara yang dapat diselesaikan dalam proses penyidikan sebanyak 700 perkara. Sedangkan yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas sebanyak 156 perkara. Dalam tiap tahunnya terdapat ±20% perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban tidak dapat terselesaikan atau dapat diselesaikan tetapi membutuhkan waktu yang sangat lama.

Permasalahan yang diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap kelalaian (culpa) pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban, apakah faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas serta apakah kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam kecelakaan lalu lintas.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan pertanggungjawaban pidana terhadap kelalaian (culpa) pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban maka kepada pelaku akan diancam dengan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas adalah Pengemudi kehilangan konsentrasi, Lelah dan mengantuk, Pengaruh alkohol dan obat, Kecepatan melebihi batas, cuaca serta Komponen tak beres. Kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam kecelakaan lalu lintas, yaitu : Tidak selesainya penyidikan pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban disebabkan oleh kurangnya alat bukti, selain itu, penghentian penyidikan pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan mati tidak ada atau kurangnya saksi di sekitar TKP dalam hal ini dalam lingkup Kabuapten Malang yang melihat langsung peristiwa kecelakaan tersebut, Dihentikannya penyidikan apabila tersangka dan korban kecelakaan lalu lintas sama-sama meninggal dunia. Penelitian ini juga menyarankan perlunya upaya-upaya konkret yang dapat membantu pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, koordinasi dengan instansi setempat harus lebih ditingkatkan karena adanya keterangan dari instansi tersebut sangat membantu penyidikan dan perlunya pengawasan jalan yang ketat oleh para polisi patroli terutama di daerah jarang penduduk agar apabila terjadi kecelakaan langsung dapat diketahui dan ditangani sehingga tidak menimbulkan kendala dalam pelaksanaan penyidikannya nanti. Kata Kunci: Penyidikan, Kelalaian, Kecelakaan, Lalu Lintas


(9)

ABSTRAK

Dari banyaknya kecelakaan yang terjadi dan faktor-faktor yang menyebabkan kecelakaan terdapat suatu kendala dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban. Kendala penyidikan ini dapat dilihat dari hasil pra survey pada tahun 2008 sampai dengan pertengahan 2010 jumlah kecelakaan yang mengakibatkan matinya korban sebanyak 856 perkara. Dari jumlah tersebut, perkara yang dapat diselesaikan dalam proses penyidikan sebanyak 700 perkara. Sedangkan yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas sebanyak 156 perkara. Dalam tiap tahunnya terdapat ±20% perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban tidak dapat terselesaikan atau dapat diselesaikan tetapi membutuhkan waktu yang sangat lama.

Permasalahan yang diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap kelalaian (culpa) pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban, apakah faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas serta apakah kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam kecelakaan lalu lintas.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan pertanggungjawaban pidana terhadap kelalaian (culpa) pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban maka kepada pelaku akan diancam dengan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas adalah Pengemudi kehilangan konsentrasi, Lelah dan mengantuk, Pengaruh alkohol dan obat, Kecepatan melebihi batas, cuaca serta Komponen tak beres. Kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam kecelakaan lalu lintas, yaitu : Tidak selesainya penyidikan pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban disebabkan oleh kurangnya alat bukti, selain itu, penghentian penyidikan pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan mati tidak ada atau kurangnya saksi di sekitar TKP dalam hal ini dalam lingkup Kabuapten Malang yang melihat langsung peristiwa kecelakaan tersebut, Dihentikannya penyidikan apabila tersangka dan korban kecelakaan lalu lintas sama-sama meninggal dunia. Penelitian ini juga menyarankan perlunya upaya-upaya konkret yang dapat membantu pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, koordinasi dengan instansi setempat harus lebih ditingkatkan karena adanya keterangan dari instansi tersebut sangat membantu penyidikan dan perlunya pengawasan jalan yang ketat oleh para polisi patroli terutama di daerah jarang penduduk agar apabila terjadi kecelakaan langsung dapat diketahui dan ditangani sehingga tidak menimbulkan kendala dalam pelaksanaan penyidikannya nanti. Kata Kunci: Penyidikan, Kelalaian, Kecelakaan, Lalu Lintas


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa arus lalu lintas jalan di kota-kota besar di Negara Republik Indonesia umumnya dan khususnya di Kota Medan, semakin bertambah padat sejalan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, perkembangan ekonomi, serta ditambah dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka secra otomatis akan timbul problema yang kompleks dalam kaitannya dengan kecelakaan lalu lintas yang sering menelan korban jiwa dan harta benda.

Jauh sebelum kendaraan bermotor ditemukan, kecelakaan di jalan hanya melibatkan kereta, hewan, dan manusia. Kecelakaan lalu lintas menjadi meningkat secara drastis ketika ditemukan berbagai jenis kendaraan bermotor.1

Kecelakaan lalu lintas merupakan peristiwa yang tidak diharapkan yang melibatkan paling sedikit satu kendaraan bermotor pada satu ruas jalan dan mengakibatkan kerugian material bahkan sampai menelan korban jiwa. Laju pertambahan penduduk dan jumlah arus lalu lintas di Kota Medan meningkat secara pesat, sehingga kebutuhan akan prasarana transportasi terus bertambah. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap tingkat pelayanan yang ada, sehingga jika tidak diimbangi dengan peningkatan prasarana transportasi yang memadai,

1

Kompas.com, "Sorotan", http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0404/21/ sorotan/976934.htm, diakses pada tanggal 6 Maret 2014.


(11)

maka dampak yang diakibatkan adalah timbulnya masalah-masalah pada lalu lintas, seperti kemacetan dan kecelakaan.

Dari hasil pra survey di Poldasu telah diperoleh data mengenai kecelakaan lalu lintas yang terjadi di kawasan Kota Medan. Karakteristik kecelakaan di Kota Medan antara lain jumlah kejadian kecelakaan dengan korban-korban luka ringan menempati urutan pertama, diikuti korban meninggal dunia, jenis kecelakaan yang paling sering terjadi adalah melibatkan dua kendaraan, jenis kendaraan yang paling sering terlibat adalah sepeda motor, pelaku dan korban kecelakaan terbesar berjenis kelamin laki-laki, berusia antara 17-26 tahun, berpendidikan SMA, dan bekerja sebagai karyawan swasta.

Bertambahnya volume lalu lintas akan menyebabkan kenaikan kecelakaan lalulintas yang terjadi secara cukup signifikan, dan bertambahnya kecepatan lalu-lintas pada kondisi tertentu justru akan menurunkan jumlah kecelakaan, namun lebih lanjut peningkatan kecepatan akan menaikkan jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi.

Dari data yang diperoleh, ternyata pada kecepatan sekitar 40-50 km/jam terjadi kondisi jumlah kecelakaan minimal. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan terjadikanya kecelakaan, Pertama adalah faktor manusia, kedua adalah faktor kendaraan dan yang terakhir adalah faktor jalan. Kombinasi dari ketiga faktor itu bisa saja terjadi, antara manusia dengan kendaraan misalnya berjalan melebihi batas kecepatan yang ditetapkan kemudian ban pecah yang mengakibatkan kendaraan mengalami kecelakaan. Disamping itu masih ada


(12)

faktor lingkungan, cuaca yang juga bisa berkontribusi terhadap kecelakaan.2

Kekurang cermatan tidak dapat dicelakan jika pelaku tidak dapat berbuat lain daripada apa yang telah ia lakukan. Dalam hal ini, penting bahwa pelaksanaannya mengetahui sejauh mana sifat kekurang hati-hatian dapat Dari banyaknya kecelakaan yang terjadi dan faktor-faktor yang menyebabkan kecelakaan terdapat suatu kendala dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban. Kendala penyidikan ini dapat dilihat dari hasil pra survey pada tahun 2008 sampai dengan pertengahan 2010 jumlah kecelakaan yang mengakibatkan matinya korban sebanyak 856 perkara. Dari jumlah tersebut, perkara yang dapat diselesaikan dalam proses penyidikan sebanyak 700 perkara. Sedangkan yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas sebanyak 156 perkara. Dalam tiap tahunnya terdapat ±20% perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban tidak dapat terselesaikan atau dapat diselesaikan tetapi membutuhkan waktu yang sangat lama.

Perkara kecelakaan merupakan bagian dari tindak pidana kealpaan yang disebutkan dalam pasal 359 KUHP. Dalam pasal 359 KUHP ditegaskan dengan dua cara bahwa kematian orang lain adalah akibat dari kelalaian pembuat, yaitu dengan tidak menyebutkan pembuat tetapi kesalahannya (kealpaannya). Dalam situasi pengendara kendaraan bermotor, salah berbuat dan tidak berbuat seakan-akan menjadi satu perbuatan.

2


(13)

dikenakan pada pelaku. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang obyektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.3

1. Bilamana pembuat delik menyadari bahwa dari tindakannya dapat mewujudkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, tetapi ia beranggapan secara keliru bahwa akibat itu tidak akan terjadi atau ia mampu untuk mencegahnya.

Menurut pasal 7 (3) Criminal Code of Yugoslavia yang dikutip dalam buku A. Zainal Abidin, bahwa kealpaan terbagi atas dua bentuk, yaitu:

2. Bilamana pembuat delik tidak menyadari kemungkinan akan terwujudnya akibat, sedangkan di dalam keadaan ia berbuat oleh karena kualitas pribadinya ia seharusnya dan dapat menyadari kemungkinan itu.4

Pada dua kemungkinan tersebut maka terdapat hubungan batin antara pelaku dengan akibat perbuatannya tersebut. Hubungan batin ini diperlukan sebagai pedoman sejauh mana pelaku dapat mempertanggungjawabkan

perbuatannya. Dalam hal penyidikan dalam menentukan perbuatannya itu sebagai suatu kealpaan atau suatu kesengajaan sangatlah sulit, karena dalam hubungannya kealpaan dan kesengajaan merupakan perbuatan yang mirip.

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, tingginya angka kecelakaan dan tidak tuntasnya perkara kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan matinya korban disebabkan oleh banyaknya kendala dalam proses penyidikan pada perkara kecelakaan lalu lintas ini.

Dari latar belakang penulisan tersebut, penulis mengangkat permasalahan dalam skripsi ini dengan judul Kendala Penyidikan Tindak

3

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 199.

4


(14)

Pidana Kelalaian (Culpa) Pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang

Mengakibatkan Matinya Korban (Studi Pada Poldasu).

B. Permasalahan

Hal yang telah merupakan kebiasaan di dalam menulis skripsi, harus ditentukan masalah yang menjadi titik tolak dari pembahasan selanjutnya.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam pembahasan skripsi ini adalah :

1. Bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap kelalaian (culpa) pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban?

2. Apakah faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas?

3. Apakah kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam kecelakaan lalu lintas?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah untuk:

1. Untuk mengetahui pertanggung jawaban pidana terhadap kelalaian (culpa) pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban.

2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas.

3. Untuk mengetahui kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam kecelakaan lalu lintas.

Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan dalam hal ini adalah:


(15)

sendiri khususnya dalam bidang hukum pidana tentang penyidikan tindak pidana kelalaian (culpa) pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban.

b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil manfaatnya terutama dalam hal mengetahui tentang hal-hal yang dapat dilakukan masyarakat apabila terjadi tindak kelalaian (culpa) pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban.

D. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Kendala Penyidikan Tindak

Pidana Kelalaian (Culpa) Pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang

Mengakibatkan Matinya Korban (Studi Pada Poldasu)”, dan penulisan

skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Penyidikan

Sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP, merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Sedang penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam


(16)

undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.

Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian, ditinjau dari beberapa segi, terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut : Menurut KUHAP yang dimaksud dengan penyidik adalah pasal 1 butir 1 menyebutkan: “ penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan “.

Kemudian, pasal 6 ayat (1) penyidik adalah : 1. Pejabat polisi negara Republik Indonesia,

2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Pasal 6 ayat (2) menyebutkan “syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah“.


(17)

“Kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam peraturan pemerintah diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum“.

Mengenai kepangkatan penyidik ini oleh Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, diterangkan :

Pasal 2 ayat (1) :

a. pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pembantu letnan dua polisi.

b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu. Mengenai kepangkatan ini masih ada pengecualiaan apabila tidak ada penyidik yang berpangkat pembantu letnan dua, seperti yang ditegaskan oleh ayat (2) dari pasal 2 di atas yaitu :

“dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik “.

Ayat (3) “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditunjuk oleh Kepala Kepolisian republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku “.

Ayat (4) “ Wewenang penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku “.


(18)

Ayat (5) “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diangkat oleh Menteri atas usul dari Departemen yang membawahkan pegawai negeri tersebut, Menteri sebelum melaksanakan pengangkatannya terlebih dahulu mendengarkan pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia “.

Setelah dikemukakan pengertian dan hal-hal yang berhubungan dengan penyidik, maka berikut yang akan dibicarakan adalah pengertian dari penyidikan itu. Yang dimaksud dengan penyidikan adalah : serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (pasal 1 butir 2 KUHAP).

Dari rumusan pengertian penyidikan tersebut, maka dapatlah dimengerti bahwa tujuan daripada penyidikan itu demikian luasnya, yakni harus mampu mengumpulkan bukti-bukti, menerangkan peristiwa pidana tentang apa yang telah terjadi serta harus dapat menemukan tersangkanya.

Untuk dapat terlaksananya tugas dan tujuan dari penyidikan itu, maka dibutuhkan adanya tenaga-tenaga penyidik yang telah terlatih dan terampil.

Di dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981, seperti yang telah dinyatakan di atas, tidak semua polisi negara Republik Indonesia mempunyai kedudukan sebagai penyidik. Artinya, hanya pejabat polisi yang telah memenuhi syrat-syarat tertentu sajalah yang dapat diangkat menjadi seorang penyidik. Tidak diberikannya kedudukan sebagai penyidik kepada setiap polisi


(19)

negara ini, di samping adanya pembagian tugas tersendiri pada dinas kepolisian, juga adalah atas dasar pemikiran bahwa penyidikan itu haruslah dilakukan oleh yang telah mempunyai syarat-syarat kepangkatan tertentu pada dinas kepolisian. Demikian juga penyidik, haruslah orang-orang yang telah memiliki keterampilan khusus dalam bidang penyidikan, baik dalam segi teknik maupun taktis, serta orang-orang yang mempunyai dedikasi dan disiplin yang tinggi, karena di dalam pelaksanaan penyidikan ini adakalanya penyidik harus menggunakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan dan lain-lain. Dimana apabila hal ini tidak dilakukan oleh penyidik-penyidik yang telah terlatih, maka kemungkinan besar hak-hak asasi seseorang yang hendak diadakan penyidikan terhadap dirinya, walaupun prinsip undang-undang itu sendiri menjunjung hak asasi manusia.

Namun demikian terlepas daripada kelayakan dan keharusan yang harus dimiliki oleh setiap penyidik, maka di dalam situasi dan kondisi yang tertentu, sesuai dengan letak geografis daripada Indonesia dan serta masih kurangnya tenaga, terutama tenaga ahli khususnya di dalam penyidikan pada dinas kepolisian negara Republik Indonesia, maka oleh undang-undang diberikan kesempatan untuk mengangkat penyidik-penyidik pembantu baik dari Polisi sendiri maupun dari pejabat-pejabat pegawai negeri sipil di dalam lingkungan kepolisian negara.

2. Pertanggung Jawaban Pidana


(20)

jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu.5

1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair).

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan (pidana) kan. Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) bilamana pada umumnya:

a. Keadaan jiwanya:

2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya) dan.

3) Tidak terganggu karena terkejut, hyponotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe beweging, melindur/slaapwandel, mengingau karena demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.

b. Kemampuan jiwanya:

1) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya.

2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak dan,

3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut”.6

Kemampuan bertanggung jawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berfikir dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi dalam Pasal 44 KUHP adalah

5

EY Kanter dan SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Storia Grafika, Jakarta. 2002, hal. 249.

6


(21)

verstandelijke vermogens. Untuk terjemahan dari vertandelijke vermogens sengaja digunakan istilah keadaan dan kemampuan jiwa seseorang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).7 Pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, dan sebagainya).8

Alf Ross mengemukakan pendapatnya mengenai apa yang dimaksud dengan seseorang yang bertanggungjawab atas perbuatannya. Pertanggung jawaban pidana dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat akibat dan akibat hukum yang diisyaratkan. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan pidana. Ini tergantung dari persoalan, apakah dalam melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan, sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum mens rea).9

7

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 1006.

8

Ibid, hal. 766.

9

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 64.

Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.


(22)

Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.10

1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si pembuat.

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu:

2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu:

a. Disengaja

b. Sikap kurang hati-hati atau lalai

10

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 153.


(23)

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat.

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelectual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Oleh karena kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan


(24)

bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.11

1. Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.” Kalau tidak dipertanggung jawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut :

2. Syarat Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.

Untuk menentukan adanya pertanggung jawaban, seseorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada sifat melawan hukum dari tindak pidana itu, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa)

11


(25)

pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa kesengajaan”

(opzet) atau karena kelalaian (culpa). Akan tetapi kebanyakan tindak pidana

mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Hal ini layak karena biasanya, yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Dalam teori hukum pidana Indonesia kesengajaan itu ada tiga macam, yaitu:12

1. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggung jawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

2. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan.

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari

12


(26)

kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan sebagai berikut: “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurangan paling lama satu tahun.”

Kealpaan mengandung dua syarat, yaitu:

1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan hukum. 2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan hukum.13

Dari ketentuan diatas, dapat diikuti dua jalan, yaitu pertama memperhatikan syarat tidak mengadakan penduga-duga menurut semestinya. Yang kedua memperhatikan syarat tidak mengadakan penghati-hati guna menentukan adanya kealpaan. Siapa saja yang melakukan perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang semestinya, ia juga tidak mengadakan menduga-duga akan terjadi akibat dari kelakuannya. Selanjutnya ada kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Dengan demikian tidak mengadakan penduga-duga yang perlu menurut hukum terdiri atas dua kemungkinan yaitu:

a. Terdakwa tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya.

b. Terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi ternyata tidak benar

13


(27)

Kemudian syarat yang ketiga dari pertanggung jawaban pidana yaitu tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat. Dalam masalah dasar penghapusan pidana, ada pembagian antara “dasar pembenar” (permisibilry) dan “dasar pemaaf”

(ilegal execuse). Dengan adanya salah satu dasar penghapusan pidana berupa

dasar pembenar maka suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga menjadi legal/boleh, pembuatanya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Namun jika yang ada adalah dasar penghapus berupa dasar pemaaf maka suatu tindakan tetap melawan hukum, namun si pembuat dimaafkan, jadi tidak dijatuhi pidana.

Dasar penghapus pidana atau juga bisa disebut alasan-alasan menghilangkan sifat tindak pidana ini termuat di dalam Buku I KUHP, selain itu ada pula dasar penghapus diluar KUHP yaitu:

1. Hak mendidik orang tua wali terhadap anaknya/guru terhadap muridnya. 2. Hak jabatan atau pekerjaan.

Yang termasuk dasar Pembenar Bela paksa Pasal 49 ayat 1 KUHP, keadaan darurat, pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pasal 50, pemerintah jabatan-jabatan Pasal 51 ayat 1 Dalam dasar pemaaf atau fait

d’excuse ini semua unsur tindak pidana, termasuk sifat melawan hukum dari

suatu tindak pidana tetap ada, tetapi hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan kesalahannya. Yang termasuk dasar pemaaf adalah: kekurangan atau penyakit


(28)

dalam daya berpikir, daya paksa (overmacht), bela paksa, lampau batas (noodweerexes), perintah jabatan yang tidak sah.

Seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dihukum apabila si pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Masalah pertanggungjawaban tersebut sangat berkaitan erat dengan adanya kesalahan.

3. Kelalain/Culpa

Kealpaan terdapat pada pasal 359 KUHP, yaitu : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.” Selain kealpaan dapat menyebabkan matinya korban, kealpaan juga dapat mengakibatkan luka berat yang diatur dalam pasal 360 KUHP,yaitu :

1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.

2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halanagn menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.”

Luka berat yang dimaksud dalam pasal 360 KUHP disebutkan dan dijelaskan pada pasal 90 KUHP, yaitu: “Luka berat berarti :


(29)

- Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.

- Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian.

- Kehilangan salah satu panca indera. - Mendapat cacat berat.

- Menderita penyakit lumpuh.

- Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih. - Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.”

Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang kelalaian, maka untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan kelalaian tersebut akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai perbedaan dan persamaan kelalaian dengan kesengajaan. Perbedaan kelalaian dengan kesengajaan adalah terletak pada unsur subyektifnya. Kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang.14

Kelakuan alpa” diartikan sebagai kelakuan yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh situasi.15

14

J.E.Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995. hal. 87.

15

Ibid, hal. 115.

Moeljatno mengutip dari pendapat Langemeyer bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat gecompliceerd. Dia mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam perbuatan lahir, dan menunjuk kepada adanya keadaan batin yang tertentu, dan di lain pihak


(30)

keadaan batinnya itu sendiri.16

1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. Moeljatno mengutip pernyataan Van Hamel bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu :

2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Sedangkan pendapat Simons yang dikutip oleh Moeljatno tentang kealpaan mengatakan bahwa isi kealpaan adalah tidak adanya penghati-hati di samping dapat diduga-duganya akan timbul akibat.17

1. Pembuat berbuat lain daripada seharusnya dia berbuat sesuai aturan hokum tertulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum.

Pengertian kealpaan terdiri dari tiga komponen, yaitu :

2. Selanjutnya pelaku berbuat sembrono, lalai, kurang berpikir, lengah.

3. Akhirnya pelaku dapat dicela, yang berarti bahwa dia dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berpikir, dan lengah.18

Menurut pasal 7 (3) Criminal Code of Yugoslavia yang dikutip oleh Zainal Abidin, bahwa kealpaan terbagi atas dua bentuk, yaitu:

1. Bilamana pembuat delik menyadari bahwa dari tindakannya dapat mewujudkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, tetapi ia beranggapan secara keliru bahwa akibat itu tidak akan terjadi atau ia mampu untuk mencegahnya.

2. Bilamana pembuat delik tidak menyadari kemungkinan akan terwujudnya

16

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Op.Cit., hal. 200.

17

Ibid, hal. 201.

18


(31)

akibat, sedangkan di dalam keadaan ia berbuat oleh karena kualitas pribadinya ia seharusnya dan dapat menyadari kemungkinan itu.19

Kesimpulam Moeljatno yang dikutip oleh Zainal Abidin bahwa orang yang mempunyai sikap batin culpa lata adalah :

1. Kurang memperhatikan benda-benda yang dilindungi oleh hokum, dan 2. Ditinjau dari segi masyarakat, ia kurang memperhatikan larangan-larangan

yang berlaku dalam masyarakat.20

Culpa dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Pelaku telah berbuat schuld yang mencolok atau culpa lata, dan 2. Dalam hal ini pelaku telah berbuat kesalahan ringan atau culpa levis.21

Perbedaan antara dolus dan culpa, yaitu : Dolus :

1. Perbuatan dilakukan dengan sengaja 2. Perbuatan itu disebut doleuz delicten

3. Diancam dengan hukuman lebih berat daripada culpoze delicten. Sedangkan culpa :

a. Perbuatan yang dilakukan karena kelalaian / kealpaan b. Perbuatan itu disebut culpose delicten atau schuld delicten

c. Ancaman hukumannya adalah lebih ringan daripada doleuze delicten.

F. Metode Penelitian

19

H.A. Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 326.

20Ibid, hal. 332. 21


(32)

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.22

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009, Tentang Angkutan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Undang-Undang Kepolisian Negara (Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002).

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:

1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan

22

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta, 2006. hal. 32.


(33)

terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Bab I yang berjudul Pendahuluan adalah sebagai suatu pengantar dari pembahasan-pembahasan selanjutnya, hal mana terdiri dari 7 (tujuh) sub bab, yaitu Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.


(34)

Bab II Dengan judul Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Kelalaian (Culpa) Pada Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban, adalah merupakan suatu pembahasan dari segi teori yang terdiri dari;

Pengertian Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kelalaian (Culpa) Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban.

Bab III yang berjudul Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas, dimana di dalamnya terdiri dari: Fungsi dan Peranan Lalu Lintas, Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas, Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas, Disiplin Lalu Lintas.

Bab IV yang berjudul Kendala Dalam Penyidikan Tindak Pidana (Culpa) Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, dimana di dalam terdiri dari Gambaran Umum Pelaksanaan Penyidikan, Kendala Dalam Penyidikan Tindak Pidana Culpa Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Upaya Dalam Mengatasi Kendala Penyidikan Tindak Pidana Culpa Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban.

Bab V yang berjudul Kesimpulan dan Saran dimana di dalamnya akan diuraikan Kesimpulan dari pembahasan terdahulu serta diberikan Saran-Saran.


(35)

BAB II

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP KELALAIAN (CULPA) PADA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG

MENGAKIBATKAN MATINYA KORBAN

A. Pengertian Tindak Pidana

Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama dengan tindak pidana. Istilah-istilah lain dari tindak pidana tersebut adalah antara lain : 1. Perbuatan melawan hukum.

2. Pelanggaran pidana.

3. Perbuatan yang boleh dihukum. 4. Perbuatan yang dapat dihukum.23

Menurut R. Soesilo, tindak pidana yaitu suatu perbuatan yang dilarang atau yang diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan diancam dengan hukuman.24

Menurut Moeljatno “peristiwa pidana itu ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan undang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan

23

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 32.

24

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politeia, Bogor, 1991, hal. 11.


(36)

penghukuman Simons, peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab, kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan yang meliputi dolus dan culpulate.25

1. Perbuatan yang dilarang.

Secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu :

Dimana dalam pasal-pasal ada dikemukakan masalah mengenai perbuatan yang dilarang dan juga mengenai masalah pemidanaan seperti yang termuat dalam Titel XXI Buku II KUH Pidana.

2. Orang yang melakukan perbuatan dilarang.

Tentang orang yang melakukan perbuatan yang dilarang (tindak pidana) yaitu : setiap pelaku yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana atas perbuatannya yang dilarang dalam suatu undang-undang.

3. Pidana yang diancamkan.

Tentang pidana yang diancamkan terhadap si pelaku yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada setiap pelaku yang melanggar undang-undang, baik hukuman yang berupa hukuman pokok maupun sebagai hukuman tambahan.26

Pembentuk Undang-undang telah menggunakan perkataan

Straafbaarfeit” yang dikenal dengan tindak pidana. Dalam Kitab

25

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, hal. 62.

26


(37)

undang hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “Straafbaarfeit”.27

Perkataan “feit” itu sendiri di dalam Bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeele van werkwlijkheid” sedang “straaf baar” berarti “dapat di hukum” hingga cara harafia perkataan “straafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat di hukum” oleh karena kelak diketahui bahwa yang dapat di hukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.28

Hazewinkel Suringa dalam Hilaman memberi defenisi tentang “straafbaarfeit” adalah sebagai perilaku manusia yang pada saat tertentu telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.

Oleh karena seperti yang telah diuraikan diatas, ternyata pembentuk Undang-undang telah memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenar-nya telah dimaksud dengan perkataan “straafbaarfeit” sehingga timbullah doktrin tentang apa yang dimaksud dengan “straafbaarfeit”

29

Selanjutnya Van Hamel memberi defenisi tentang “straafbaarfeit” sebagai suatu serangan atas suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.30

Menurut Pompe straafbaarfeit dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran

27

Ibid., hal. 45.

28


(38)

norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminya kepentingan umum.31

Mengenai isi dari pengertian tindak pidana ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Menurut ajaran Causalitas (hubungan sebab akibat) di sebutkan pada dasarnya setiap orang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya, namun harus ada hubungan kausa antara perbuatan dengan akibat yang di larang dan di ancam dengan pidana. Hal ini tidak selalu mudah , peristiwa merupakan rangkaian peristiwa serta tiada akibat yang timbul tanpa Simons memberi defenisi “straafbaarfeit” adalah sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-undang telah dinyatakan suatu tindakan yang dapat di hukum.

Hukum pidana Indonesia mengenal istilah tindak pidana. Istilah ini di pakai sebagai pengganti perkataan straafbaarfeit, yang berasal dari Bahasa Belanda. Tindak pidana merupakan suatu pengeritan dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis. Lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang dapat diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.

29

Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hal. 21.

30


(39)

sesuatu sebab.

Kemampuan bertanggung jawab, menurut Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia seseorang yang dapat dipidana tidak cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, akan tetapi dalam penjatuhan pidana orang tersebut juga harus memenuhi syarat “Bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perkataan lain orang tersebut dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan” , disini berlaku asas tiada pidana tanpa kesalahan (Nulla poena sine culpa)32

1. Simons

.

Berdasarkan rumusan di atas disebutkan bahwa untuk adanya pertanggung jawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggung jawabkan apabila ia tidak mampu untuk di pertanggung jawabkan.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan rumusan tentang pertanggung jawaban pidana. Akan tetapi dalam literatur hukum pidana Indonesia dijumpai beberapa pengertian untuk pertanggung jawaban pidana yaitu :

33

Simons menyatakan kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan

31

Ibid., hal. 103.

32


(40)

sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya, kemudian Simons menyatakan bahwa seseorang mampu bertanggung jawab.

2. Van Hamel34

3. Van Bemmelen

Van Hamel menyatakan bahwa pertanggung jawaban pidana adalah suatu keadaan normalitas psyhis dan kematangan yang membawa adanya kemampuan pada diri perilaku.

35

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Van Bemmelen menyatakan bahwa seseorang dapat dipertanggung jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut.

Sudikno dalam hal ini mengatakan bahwa tindak pidana itu terdiri dari 2 (dua) unsur yaitu :36

a. Unsur bersifat objektif yang meliputi :

1) Perbuatan manusia, yaitu perbuatan yang positif ataupun negatif yang menyebabkan pidana.

2) Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merusak atau

33

Ibid., hal. 103.

34

Ibid., hal. 104.

35

Ibid., hal. 105.

36

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hal. 71.


(41)

membahayakan kepentingan-kepentingan umum, yang menurut norma hukum itu perlu adanya untuk dapat dihukum.

3) Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan ini dapat terjadi pada waktu melakukan perbuatan.

4) Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan melawan hukum tersebut jika bertentangan dengan undang-undang.

b. Unsur bersifat subjektif.

Yaitu kesalahan dari orang yang melanggar ataupun pidana, artinya pelanggaran harus dapat dipertanggung jawabkan kepada pelanggar.

Sejalan dengan hal tersebut, menurut R. Tresna dalam Martiman Prodjohamidjojo suatu perbuatan baru dapat disebut sebagai suatu peristiwa pidana bila perbuatan tersebut sudah memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut antara lain :37

1) Harus ada perbuatan manusia.

2) Perbuatan itu sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum.

3) Terbukti adanya doda pada orang yang berbuat. 4) Perbuatan untuk melawan hukum.

5) Perbuatan itu diancam hukuman dalam undang-undang.

Di samping itu Simon dalam Kanter dan Sianturi mengatakan bahwa tindak

37

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 22.


(42)

pidana itu terdiri dari beberapa unsur yaitu :38

1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).

2) Diancam dengan pidana (strafbaar gestelde). 3) Melawan hukum (enrechalige).

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verbandstaand). Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar person).

Simons menyebut adanya unsur objektif dari strafbaarfeit yaitu :39 1) Perbuatan orang.

2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu. Unsur subjektif dari strafbaarfeit yaitu : 1) Orang yang mampu bertanggung jawab.

2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa), perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang maka haruslah dipenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut antara lain : 1) Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan

hukum.

2) Mampu bertanggung jawab.

3) Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealfaan.

38

EY. Kanter dan SR. Sianturi, Op.Cit, hal. 121.

39


(43)

4) Tidak ada alasan pemaaf.40

Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang mengakibatkan dihukumnya atau dipidananya seseorang itu, maka haruslah dipenuhi beberapa syarat :

a. Melakukan perbuatan pidana, perbuatan bersifat melawan hukum; b. Mampu bertanggung jawab;

c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan/kurang hati-hati;

d. Tidak adanya alasan pemaaf.41

ad.a. Melakukan perbuatan pidana, perbuatan bersifat melawan hukum

Sebagaimana telah disebutkan di atas perbuatan pidana (delik) adalah perbuatan seseorang yang telah memenuhi unsur-unsur suatu delik yang diatur dalam hukum pidana. Apabila undang-undang telah melarang suatu perbuatan dan perbuatan tersebut sesuai dengan larangan itu dengan sendirinya dapatlah dikatakan bahwa perbuatan tersebut bersifat melawan hukum.

ad.b. Mampu bertanggungjawab

Menurut KUHP seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang dilakukannya dalam hal :

1) Karena kurang sempurna akal atau karena sakit berupa akal (Pasal 44

40


(44)

KUHP);

2) Karena belum dewasa (Pasal 45 KUHP).

Mampu bertanggungjawab dalam hal ini adalah mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya. Dalam hal kasus pelanggaran merek maka kemampuan bertanggungjawab tersebut timbul disebabkan :

1) Seseorang memakai dan menggunakan merek yang sama dengan merek pihak lain yang telah terdaftar.

2) Memperdagangkan barang atau jasa merek pihak lain yang dipalsukan. 3) Menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa.

4) Seseorang tanpa hak menggunakan tanda yang sama keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang atau jasa yang sama.

ad.c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan/kurang hati-hati

Dalam hukum pidana kesengajaan dan kealpaan itu dikenal sebagai bentuk dari kesalahan. Si pelaku telah dianggap bersalah jika ia melakukan perbuatan pidana yang sifatnya melawan hukum itu dengan sengaja atau karena kealpaannya. Ini jelas diatur dalam Undang-Undang Merek Tahun 2001 pada Pasal 90, 91, 92 dan 93.

ad. d. Tidak adanya alasan pemaaf

41

Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hal. 44.


(45)

Tidak adanya alasan pemaaf berarti tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan dari terdakwa.

C. Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Kelalaian (Culpa) Perkara

Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban

Pasal 359 KUHP menjelaskan bahwa, “Barang siapa karena kealpaanya menyebabkan matinya orang di hukum penjara selamalamanya 5 tahun atau kurungan selama-lamanya 1 tahun”. Dalam pasal tersebut menerangkan bahwa, undang-undang memberi penegasan tindak pidana kealpaan melalui unsur-unsur yang terdapat dalam pasal ini, yaitu:

1. Barang siapa setiap orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus bertanggungjawab atas perbutannya itu.

2. Karena kealpaan dimaksud, menerangkan bahwa seseorang tersebut melakukan hal dengan kurang hati-hati padahal dia patut mengetahui bahwa akan timbul sesuatu akibat yang merugikan orang lain.

3. Menyebabkan matinya orang disini, menjelaskan bahwa akibat dari kealpaan atau kelalaian tersebut menyebabkan orang lain meninggal atau mati.

4. Dihukum. Dihukum tersebut menjelaskan pertanggung jawaban pidana terhadap tidalakan kelalaian yang dilakukan oleh seseorang yang mengakibatkan matinya orang lain.


(46)

Kecelakaan Lalu Lintas dalam Pasal 229 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan digolongkan menjadi 3, yakni:

a) Kecelakaan Lalu Lintas ringan, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang,.

b) Kecelakaan Lalu Lintas sedang, merupakan kecelakaan yang

mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang. c) Kecelakaan Lalu Lintas berat, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan

korban meninggal dunia atau luka berat. Pasal 310 UU LLAJ.

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 2, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 310 ayat 1 UU LLAJ memberikan gambaran umum dengan menyatakan setiap orang yang dengan kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan, kepadanya diwajibkan bertanggungjawab atas perbuatannya itu. Tapi dalam ayat yang ke 4 menjelaskan bahwa:

(4) Dalam hal kecelakaan dimaksud pada ayat 3 yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,- (dua belas juta rupiah).

Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ antara lain:


(47)

1. Setiap orang;

2. Mengemudikan kendaraan bermotor; 3. Karena lalai; dan

4. Mengakibatkan orang lain meninggal dunia. 5. Pasal 235 ayat (1)

“Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana” Dalam pasal tersebut di atas ditegaskkan khususnya pada perkataan “tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”. Artinya adalah walaupun pengemudi kendaraan sebagai pihak penabrak telah memberikan pembayaran sejumlah uang atau santunan oleh pihak penabrak kepada korban sebagai penggantian biaya pengobatan di rumah sakit atau memberikan biaya santunan bagi korban yang telah meninggal dunia kepada pihak korban/keluarga korban tetapi tetaplah tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana tersebut, atau dengan kata lain proses hukum harus tetap dilanjutkan. Hal inilah yang perlu disampaikan karena belum banyak orang yang tahu atas aturan tersebut. Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.


(48)

BAB III

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KECELAKAAN LALU LINTAS

Fungsi dan Peranan Lalu Lintas

Transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk mewujudkankan wawasan Nusantara, memperkukuh ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antar bangsa dalam usaha mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Transportasi di jalan sebagai salah satu moda (alat) transportasi tidak dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang didata dalam sistem transportasi nasional yang dinamis dan mampu mengadaptasi kemajuan di masa depan, mempunyai karekteristik yang mampu menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan dan memadukan moda transportasi lainnya, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah, baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan moda transportasi lainnya, menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas sebagai pendorong, penggerak dan penunjang pembangunan nasional dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.


(49)

Membicarakan permasalahan transportasi di atas maka sarana yang sangat penting bagi terciptanya transportasi tersebut adalah jalan raya. Jalan raya pada umumnya dikenal oleh masyarakat sebagai alat bagi berlalu lalu lintas, dimana di dalamnya ditemukan kaedah-kaedah hukum, termasuk halnya pengaturan agar pemakai sarana transportasi dapat tertib memakai sarana transportasi tersebut.

Pengertian lalu lintas menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah “Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan”.

Sedangkan lalu lintas dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia “ (berjalan) bolak-balik, hilir mudik.42

Lalu lintas memberikan gambaran kepada kita tentang pemakaian sarana jalan raya sebagai sebuah sarana bagi kebutuhan-kebutuhan berbagai kepentingan di atasnya, termasuk hal tersebut perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya, pelaksanaan pengangkutan. Dari keadaan yang sedemikian maka pentingnya dalam berlalu lintas adalah hubungan yang tercipta antara

Dari dua sumber di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya pengertian lalu lintas adalah bergerak baik orang maupun kendaraan dengan memakai jalan sebagai sarana utamanya serta pemakai jalan raya sebagai objeknya.

42


(50)

pemakai jalan raya itu sendiri serta saling keterikatan antara pemakai sarana jalan raya yang satu dengan yang lainnya. Keadaan inilah yang disebut dengan berlalu lintas, dimana hubungan- hubungan yang terjadi di jalan raya dengan berbagai sarana alat angkutan mencerminkan keharmonisan dan keteraturan.

Dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan :

(1)Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:

a. Rambu Lalu Lintas.

b. Marka Jalan.

c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.

d. Alat penerangan Jalan.

e. Alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan.

f. Alat pengawasan dan pengamanan Jalan.

g. Fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan

h. Fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.

(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Dengan demikian maka rambu-rambu lalu lintas merupakan salah satu alat bagi keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas serta menciptakan kemudahan bagi pengguna jalan raya.

Di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tidak ada diatur tentang pengertian rambu-rambu berlalu lintas, hanya fungsi dan kegunaannya saja diatur. Pengaturan tentang rambu-rambu lalu lintas dapat dilihat di dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan tanpa menyebutkan pengertian rambu-rambu lalu lintas.


(51)

adalah “ salah satu dari perlengkapan jalan, berupa lambang, huruf, angka, kalimat dan / atau perpaduan di antaranya sebagai peringatan, larangam perintah dan petunjuk bagi pemakai jalan.43

Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas

Kata “kecelakaan” memiliki kata dasar “celaka”. Kata celaka dapat diartikan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang berarti Menderita sesuatu yang menyusahkan, malang, sial tidak beruntung, tidak berbahagia.40 Sehubungan dengan hal tersebut, maka “kecelakaan” adalah kejadian yang tidak disengaja atau tidak disangka-sangka dengan akibat kematian, luka-luka atau kerugian benda.44

Selain itu kecelakaan selalu mengandung unsur tidak disengaja atau tidak disangka-sangka dan menimbulkan rasa heran atau (tercengang terlebih dahulu) maka ini menimbulkan kecelakaan lalu lintas dan jika tubrukan yang dilakukan dengan sengaja atau direncanakan lebih dahulu itu mengakibatkan orang mati, maka perbuatan itu termasuk pembunuhan.45

- Terjadinya di jalan.

Dengan kata lain apabila adanya kecelakaan lalu lintas maka yang terlintas adalah hal-hal sebagai berikut:

- Mengakibatkan luka-luka dan/ meninggal dunia.

43

Tim Manajemen Ditlantas Polda Sumut, Penuntun Mengikuti Ujian SIM (Teori dan Praktek), Yayasan Kemala Bhayangkari Perwakilan Sumatera Utara, Medan, 1994, hal. 4.

44

S.Djajoesman, Polisi dan Lalu Lintas, Lembang, 1966, hal. 51.

45


(52)

- Mengakibatkan kerusakan benda.

Dalam hubungannya dengan kecelakaan lalu lintas ini, maka dijelaskan yang dimaksud dengan hal-hal tersebut di atas, yaitu :

- Menurut ketentuan pasal 1 angka 12 UU RI No.22 Tahun 2009, jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.

- Luka-luka dan/ meninngal dunia” berarti putusnya atau rusaknya continuitas jaringan akibat trauma.

- Kerusakan harta benda” berarti terjadi perubahan dari bentuk yang semula mengenai suatu benda karena suatu benturan yang berakibat pecah, pesok, putusnya bagian-bagian serta menurunnya kualitas dari benda atau barang tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa agar suatu kejadian disebut kecelakaan lalu lintas, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

- Adanya unsur kelalaian.

- Harus ada pemakai jalan yang bergerak.

- Harus ada kerusakan benda atau korban manusia sekalipun hanya luka-luka untuk menentukan bahwa kejadian itu adalah kecelakaan lalu lintas.

Ada tiga faktor utama yang menyebabkan terjadikanya kecelakaan, Pertama adalah faktor manusia, kedua adalah faktor kendaraan dan yang


(53)

terakhir adalah faktor jalan. Kombinasi dari ketiga faktor itu bisa saja terjadi, antara manusia dengan kendaraan misalnya berjalan melebihi batas kecepatan yang ditetapkan kemudian ban pecah yang mengakibatkan kendaraan mengalami kecelakaan. Disamping itu masih ada faktor lingkungan, cuaca yang juga bisa berkontribusi terhadap kecelakaan.

- Faktor manusia

Faktor manusia merupakan faktor paling dominan dalam kecelakaan lalu lintas. Hampir semua kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran rambu-rambu lalu lintas. Pelanggaran dapat terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan terhadap arti aturan yang berlaku ataupun tidak melihat ketentuan yang diberlakukan atau pula pura-pura tidak tahu.

- Faktor kendaraan

Faktor kendaraan yang paling sering terjadi adalah ban pecah, rem tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, kelelahan logam yang mengakibatkan bagian kendaraan patah, peralatan yang sudah aus tidak diganti dan berbagai penyebab lainnya. Keseluruhan faktor kendaraan sangat terkait dengan technologi yang digunakan, perawatan yang dilakukan terhadap kendaraan. Untuk mengurangi factor terjadinya kecelakaan lalu lintas, diperlukan perawatan dan perbaikan kendaraan, di samping itu adanya kewajiban untuk melakukan pengujian kendaraan bermotor secara reguler.

- Faktor jalan

Faktor jalan terkait dengan kecepatan rencana jalan, geometrik jalan, pagar pengaman di daerah pegunungan, ada tidaknya median jalan, jarak pandang


(54)

dan kondisi permukaan jalan. Jalan yang rusak/berlobang sangat membahayakan pemakai jalan terutama bagi pemakai sepeda motor.

- Faktor lingkungan

Hari hujan juga mempengaruhi unjuk kerja kendaraan seperti jarak pengereman menjadi lebih jauh, jalan menjadi lebih licin, jarak pandang juga terpengaruh karena penghapus kaca tidak bisa bekerja secara sempurna atau lebatnya hujan mengakibatkan jarak pandang menjadi lebih pendek. Asap dan kabut juga bisa mengganggu jarak pandang, terutama di daerah pegunungan.

Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan di jalan raya yang menyebabkan korban luka dan meninggal dari waktu jumlahnya tak surut. Berdasarkan data yang disodorkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2009, tak kurang dari 1,2 juta jiwa melayang di jalan raya akibat kecelakaan kendaraan bermotor.

Lembaga perkumpulan bangsa sejagat itu juga menyebut, sekitar 87,2 persen kecelakaan itu terjadi di negara berkembang. Data yang tak jauh berbeda juga disodorkan Lembaga Keselamatan jalan raya Amerika Serikat (NHTSA).

Sepanjang 2009, 21.798 orang tewas akibat kecelakaan lalu lintas di jalan raya di Amerika Serikat. Penyebab terbesar dari kecelakaan bermacam-macam, mulai dari menenggak minuman beralkohol, cuaca, masalah komponen mobil, hingga menelepon saat mengemudi.


(55)

Lantas apa saja faktor penyebab kecelakaan terbesar di tanah air dan negara berkembang lainnya. Sayang, hingga detik ini belum ada satu penelitian khusus tentang penyebab tersebut. Padahal, jumlah kendaraan bermotor di tanah air saban tahun terus bertambah dan jumlah kecelakaan pun terus terjadi.

Namun, seperti yang dilansir situs resmi NHTSA, nhtsa.gov, Kamis (6/1), setidaknya ada enam penyebab yang paling sering memicu terjadinya kecelakaan. Keenamnya adalah :

1. Pengemudi kehilangan konsentrasi

Faktor ini menempati urutan pertama, karena hasil penelitian menyebut faktor ini memiliki persentase menyebabkan kecelakaan hingga 55 persen. Pengemudi tidak fokus ke kondisi jalan saat mereka menelepon atau menerima telepon di saat mengemudi. Penyebab lainnya, karena pengemudi membaca dokumen, membaca pesan pendek, melihat kejadian di sekeliling jalan dalam waktu lama, mengatur peranti audio. Selain itu, stres karena masalah pribadi, panik karena ulah pengendara lain, hingga terburu-buru karena ada persoalan penting yang harus segera diselesaikan juga menjadi penyebab buyarnya konsentrasi di jalan.

2. Lelah dan mengantuk

Penyebab kedua yang menjadi pemicu terjadinya kecelakaan adalah kelelahan dan mengantuk. Keduanya memiliki persentase menyebabkan


(56)

kecelakaan hingga 45 persen. Disebutkan, saraf sensorik dan motorik orang yang sangat lelah dan mengantuk menurun kepekaannya. Sehingga, selain menyebabkan tidak konsentrasi lelah dan mengantuk juga menyebabkan tingkat refleks seseorang berkurang. Kondisi badan yang kelelahan dan mengantuk memiliki kemiripan dengan orang yang menenggak minuman beralkohol atau obat-obatan. Perbedaannya, orang yang kelelahan masih memiliki kesadaran yang sewaktu-waktu masih dikontrol dan distimulasi hingga kembali ke kesadaran penuh.

3. Pengaruh alkohol dan obat

Kondisi mabuk yang diakibatkan oleh minuman beralkohol atau obat-obatan memiliki tingkat persentase menyebabkan kecelakaan hingga 30 persen. Menenggak alkohol atau mengkonsumsi obat-obatan (atau bahkan obat yang direkomendasi dokter) berpotensi menghilangkan kemampuan kontrol otak. Sehingga selain kesadaran hilang atau berkurang, kemampuan refleks juga merosot drastis. Pengemudi yang mabuk cenderung kehilangan kemampuan memperhitungkan manuver, kepekaan dalam merasakan kecepatan mobil, hingga ketidakakuratan pandangan.

4. Kecepatan melebihi batas

Faktor lain yang juga kerap menjadi penyebab kecelakaan adalah pengemudi menggeber mobil dengan kecepatan yang melebihi standar yang diizinkan di jalan. Pengemudi akan kesulitan melakukan manuver dengan aman saat kondisi jalan tak memungkinkan. Terlebih bila mobil bermasalah, seperti ban pecah atau satu di antara komponen mengalami kerusakan.


(57)

Kendati produsen mobil mengatakan telah melengkapi mobil produksinya dengan seabrek peranti penunjang keselamatan, jangan pernah berspekulasi. Pasalnya, kondisi tersebut berasumsi pada saat jalanan dalam kondisi ideal. Selain itu kondisi yang tak terduga dan dialami oleh pengemudi juga berbeda saat mobil pertama kali diuji coba oleh pabrikan. Faktor kecepatan ini memiliki persentase menyebabkan kecelakaan hingga 30 persen. Faktor kecepatan ini juga termasuk perilaku pengemudi yang agresif dalam mengemudikan kendaraannya. Jangan menggeber mobil dalam kecepatan tinggi dan mengabaikan tanda-tanda atau rambu lalu lintas.

5. Cuaca

Meski terlihat sepele, namun cuaca hujan deras, angin ribut, berkabut, hingga udara kering yang menyebabkan jalanan berdebu juga tercatat sebagai penyebab kecelakaan. Persentasenya mencapai 13 persen. Guyuran air hujan selain menyebabkan keterbatasan pandangan juga menjadikan kemampuan ban untuk mencengkeram lintasan juga berkurang. Terlebih bila kendaraan yang berada di depan atau belakang tidak memiliki kewaspadaan yang tinggi atau bermasalah. Di negara-negara tropis seperti Indonesia, faktor cuaca seperti hujan memiliki tingkat potensi tinggi memicu terjadinya kecelakaan.

6. Komponen tak beres

Faktor ini kerap tidak disadari oleh pemilik atau pengguna mobil. Terlebih bila pemilik atau pengguna mobil tidak memiliki kepekaan untuk mendeteksi ada tidaknya permasalahan di satu komponen mobil. Padahal,


(58)

faktor ini memiliki persentase menyebabkan kecelakaan hingga 10 – 14 persen. Beberapa kerusakan komponen yang paling sering terjadi adalah kanvas rem yang sudah tidak berfungsi maksimal, power steering yang terganjal sehingga kontrol kemudi tak terkendali dengan baik.

Selain itu ban pecah, sistem kontrol elektronik untuk menjaga kestabilan mobil yang rusak, hingga kabel sistem kelistrikan yang berpotensi korsleting. Hasil penelitian NHTSA juga menunjukkan, selama ini para pemilik atau pengguna mobil jarang yang memperhatikan kondisi komponen mobil mereka. Sebagian besar di antara mereka akan membawa kendaraannya saat ada gejala yang benar-benar dirasakan atau setelah terjadi peristiwa kecelakaan.

Disiplin Lalu Lintas

Transportasi jalan sebagai salah satu moda transportasi nasional diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaam adil dan merata, keseimbangan, kepentingan umum, keterpaduan, kesadaran hukum, dan percaya pada diri sendiri.

Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan moda transportasi lainnya, menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan, penggerak dan penunjang pembangunan nasional dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.


(59)

Untuk hal yang demikian maka lalu lintas dan angkutan jalan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Hal yang sangat penting dari keadaan ini adalah bahwa apabila lalu lintas dan angkutan jalan tidak dikuasai oleh negara maka akan dapat dilihat kepentingan-kepentingan yang beraneka ragam atas keberadaan lalu lintas dan jalan raya, khususnya bagi oknum-oknum tertentu yang menjadikan sarana jalan raya untuk mencari keuntungan tanpa memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat banyak.

Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak ada memberikan definisi secara khusus tentang disiplin berlalu lintas, tetapi meskipun demikian dari gambaran maupun isi dari pasal-pasal yang tertera di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat dilihat bahwa undang-undang ini memberikan kondisi bagi terciptanya disiplin berlalu lintas.

Ketentuan-ketentuan yang dapat dilihat dari keberadaan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat dilihat dari beberapa bab yang ada di dalamnya yaitu :

1. Bab IV. Tentang Prasarana, 2. Bab V tentang kendaraan, 3. Bab VI tentang pengemudi, 4. Bab VII tentang Lalu Lintas.


(60)

Hal yang utama dari disiplin lalu lintas yang dicerminkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ada pada Bab VII tentang lalu lintas dengan tidak mengindahkan bab-bab lainnya yang juga sangat mendukung disiplin berlalu lintas.

Tata cara berdisiplin lalu lintas yang utama yang disebutkan dalam Undang-Undang ini adalah bahwa tata cara berlalu lintas di jalan adalah dengan mengambil jalur jalan sebelah kiri.

Sedangkan untuk keselamatan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan ditetapkan ketentuan-ketentuan mengenai : 1. Rekayasa dan manajemen lalu lintas,

2. Gerakan lalu lintas kendaraan bermotor, 3. Berhenti dan parkir,

4. Penggunaan peralatan dan perlengkapan kendaraan bermotor yang diharuskan, peringatan dengan bunyi dan sinar,

5. Tata cara menggiring hewan dan penggunaan kendaraan tidak bermotor di jalan, Tata cara penetapan kecepatan maksimum dan/atau minimum kendaraan bermotor,

6. Perilaku pengemudi terhadap pejalan kaki,

7. Penetapan muatan sumbu kurang dari muatan sumber terberat yang diizinkan,

8. Tata cara mengangkut orang dan/atau barang serta penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain,


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap kelalaian (culpa) pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban maka kepada pelaku akan diancam dengan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,- (dua belas juta rupiah).

2. Faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas adalah Pengemudi kehilangan konsentrasi, Lelah dan mengantuk, Pengaruh alkohol dan obat, Kecepatan melebihi batas, cuaca serta Komponen tak beres.

3. Kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam kecelakaan lalu lintas, yaitu :

a. Tidak selesainya penyidikan pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban disebabkan oleh kurangnya alat bukti. b. Selain itu, penghentian penyidikan pada perkara kecelakaan lalu lintas

yang mengakibatkan mati tidak ada atau kurangnya saksi di sekitar TKP dalam hal ini dalam lingkup Kabuapten Malang yang melihat langsung peristiwa kecelakaan tersebut.

c. Dihentikannya penyidikan apabila tersangka dan korban kecelakaan lalu lintas sama-sama meninggal dunia.


(2)

B. Saran

1. Perlunya upaya-upaya konkret yang dapat membantu pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.

2. Koordinasi dengan instansi setempat harus lebih ditingkatkan karena adanya keterangan dari instansi tersebut sangat membantu penyidikan.

3. Perlunya pengawasan jalan yang ketat oleh para polisi patroli terutama di daerah jarang penduduk agar apabila terjadi kecelakaan langsung dapat diketahui dan ditangani sehingga tidak menimbulkan kendala dalam pelaksanaan penyidikannya nanti.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I,Sinar Grafika, Jakarta, 1995. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN.

Balai Pustaka, Jakarta, 2003.

EY Kanter dan SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Storia Grafika, Jakarta. 2002.

H.A. Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995. Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992. J.E.Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995.

Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kartika, Surabaya, 1997.

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta, 2000.

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983.

Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,

Aksara Baru, Jakarta, 1983.

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politeia, Bogor, 1991.

S.Djajoesman, Polisi dan Lalu Lintas, Lembang, 1966.


(4)

Tim Manajemen Ditlantas Polda Sumut, Penuntun Mengikuti Ujian SIM

(Teori dan Praktek), Yayasan Kemala Bhayangkari Perwakilan

Sumatera Utara, Medan, 1994.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003.

B. Peraturan Perundang-undangan :

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang No. 22 Tahun 2009, Tentang Angkutan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Undang-Undang Kepolisian Negara (Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002).

C. Internet:

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0404/21/sorotan/976934.htm


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I,Sinar Grafika, Jakarta, 1995. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN.

Balai Pustaka, Jakarta, 2003.

EY Kanter dan SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Storia Grafika, Jakarta. 2002.

H.A. Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995. Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992. J.E.Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995.

Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kartika, Surabaya, 1997.

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta, 2000.

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983.

Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,

Aksara Baru, Jakarta, 1983.

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politeia, Bogor, 1991.

S.Djajoesman, Polisi dan Lalu Lintas, Lembang, 1966.


(6)

Tim Manajemen Ditlantas Polda Sumut, Penuntun Mengikuti Ujian SIM

(Teori dan Praktek), Yayasan Kemala Bhayangkari Perwakilan

Sumatera Utara, Medan, 1994.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003.

B. Peraturan Perundang-undangan :

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang No. 22 Tahun 2009, Tentang Angkutan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Undang-Undang Kepolisian Negara (Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002).

C. Internet:

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0404/21/sorotan/976934.htm


Dokumen yang terkait

Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)

0 73 91

Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan TNI (Studi Pada Pengadilan Militer Medan)

2 80 77

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

1 81 147

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK DALAM PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KORBAN MENINGGAL (Studi Perkara Nomor 830/Pid.B(A)/2010/PN.TK)

1 9 41

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KELALAIAN YANG MENGAKIBATKAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Putusan No: 51/Pid.A/2013/Pn.GnS)

1 10 55

PROSES PENANGANAN PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN MATINYA SESEORANG DI KABUPATEN KLATEN Proses Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan Matinya Seseorang di Kabupaten Klaten.

0 3 18

HALAMAN JUDUL SKRIPSI Proses Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan Matinya Seseorang di Kabupaten Klaten.

0 3 13

PENDAHULUAN Proses Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan Matinya Seseorang di Kabupaten Klaten.

0 4 19

PERTANGGUNG JAWABAN BAGI ANAK DALAM TINDAK PIDANA LALU LINTAS MENGAKIBATKAN MATINYA ORANG LAIN Pertanggung Jawaban Bagi Anak Dalam Tindak Pidana Lalu Lintas Mengakibatkan Matinya Orang Lain (Studi Kasus di Kabupaten Sukoharjo).

0 1 19

BAB I PENDAHULUAN - Kendala Penyidikan Tindak Pidana Kelalaian (CULPA) pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan matinya Korban (Studi pada POLDASU)

0 0 25