Evaluasi In Vitro Pemakaian Cangkang Kapsul Alginat Sebagai Sediaan Floating Dari Ranitidin Hcl
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kapsul
Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu
macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam
cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin lunak atau keras.
Kebanyakan kapsul-kapsul yang diedarkan di pasaran adalah kapsul yang
semuanya dapat ditelan oleh pasien, untuk keuntungan dalam pengobatan. Kapsul
gelatin yang keras merupakan jenis yang digunakan oleh ahli farmasi masyarakat
dalam menggabungkan obat-obat secara mendadak dan di lingkungan para
pembuat sediaan farmasi dalam memproduksi kapsul pada umumnya (Ansel,
2008).
Ada dua tipe kapsul, keras dan lunak. Kapsul lunak terdiri dari cangkang
padat lentur yang mengandung serbuk, cairan non-aqueous, larutan, emulsi,
suspensi, atau pasta. Beberapa kapsul mengandung cairan diberikan dalam bentuk
sediaan bentuk padat, contoh minyak ikan cod. Kapsul ini dibentuk, diisi dan
ditutup dalam satu proses produksi. Cangkang kapsul keras digunakan dalam
pengolahan sebagian besar pembuatan kapsul dan peracikan kapsul. Cangkang
terbagi dua, badan dan tutup, keduanya berbentuk silinder dan dapat ditutup pada
ujungnya. Serbuk dan partikulat padat, seperti granul dan pelet, ditempatkan
dalam badan dan kapsul ditutup dengan menyatukan badan dan tutup secara
bersamaan (Winfield, et al., 2009).
6
Ukuran cangkang kapsul yang sesuai harus dipilih untuk membuat sediaan
kapsul penuh. Cangkang kapsul keras tersedia dalam delapan ukuran. Berat jenis
campuran serbuk akan mempengaruhi pemilihan ukuran kapsul. Delapan ukuran
kapsul beserta taksiran kapasitas (berdasarkan penambahan laktosa) dapat dilihat
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Ukuran kapsul beserta taksiran kapasitas (berdasarkan penambahan
laktosa)
No. Kapsul
Kandungan (mg)
000
950
00
650
0
450
1
300
2
250
3
200
4
150
5
100
Sebagian besar bahan yang digunakan untuk mengisi kapsul adalah dalam
bentuk serbuk. Biasanya merupakan campuran dari bahan aktif bersama dengan
kombinasi dari jenis bahan tambahan yang berbeda. Jenis bahan tambahan yang
biasanya digunakan dalam pengisi serbuk kapsul antara lain:
•
Diluen,
•
Lubrikan, menurunkan daya lekat serbuk terhadap alat
•
Glidan, meningkatkan aliran serbuk
•
Agen pembasah, meningkatkan penetrasi air
•
Desintegran, menghasilkan perpecahan massa serbuk
•
Stabilizer, meningkatkan stabilitas produk
Bahan aktif dengan dosis rendah dapat dirancang untuk mengalir baik
dengan mencampurkan bahan aktif dengan diluen yang mudah mengalir seperti
laktosa, dan mikrokristalin selulosa. Saat ruang terbatas dapat ditambahkan glidan
yang dapat menurunkan pergesekan antar partikulat, seperti silikon dioksida
7
koloidal, atau lubrikan yang dapat menghasilkan fungsi alat pengisi yang lebih
efisien seperti magnesium stearat (Aulton, 2007).
Gastroretentive Drug Delivery System
2.2
Sistem penghantaran obat yang tertahan di lambung atau Gastroretentive
Drug Delivery System (GRDDS) merupakan bentuk sediaan yang dapat tetap
berada
di
lambung
selama
beberapa
jam
sehingga
secara
signifikan
memperpanjang waktu tinggal obat di lambung. Peningkatan waktu retensi
lambung
meningkatkan
bioavailabilitas,
mengurangi
limbah
obat,
dan
meningkatkan kelarutan obat yang kurang larut dalam lingkungan pH tinggi. Hal
ini juga cocok untuk pengiriman obat lokal untuk perut dan bagian proksimal dari
usus kecil. Adapun metode untuk membuat sediaan tinggal di lambung adalah:
-
Penggunaan bentuk sediaan yang memiliki berat jenis yang lebih rendah dari
cairan lambung sehingga menghasilkan daya apung dalam cairan lambung.
-
Penggunaan bahan yang berat jenisnya tinggi: bahan dengan berat jenis tinggi
(˃2.5g/cm3) akan mempunyai waktu tinggal yang lama di saluran cerna. Hal
ini dapat dicapai dengan penambahan bahan seperti barium sulfat.
-
Sistem bioadhesi, sistem yang mempunyai daya lekat terhadap mukosa
lambung.
-
Pemberian obat atau bahan bahan tambahan farmasi yang memperlambat
motilitas saluran cerna.
-
Sistem ekspansi dengan pembengkakan atau pengembangan ke ukuran yang
lebih besar sehingga membatasi kemampuan pengosongan dari sistem untuk
melewati sphincter pilorus (Garg dan Gupta, 2008).
8
2.3
Floating Drug Delivery System
Sistem penghantaran obat terapung atau Floating Drug Delivery System
(FDDS) memiliki berat jenis yang lebih rendah dibandingkan dengan cairan
lambung sehingga mengapung dalam lambung tanpa dipengaruhi waktu
pengosongan lambung dengan waktu yang diperpanjang. Ketika sistem terapung
dalam kandungan lambung, obat secara perlahan terlepas dengan laju yang
diinginkan. Setelah lepasnya obat, sistem yang tersisa dikosongkan dari lambung.
Kondisi ini menghasilkan peningkatan waktu pengosongan lambung dan
pengendalian yang lebih baik terhadap fluktuasi kadar obat dalam plasma (Mishra
& Gupta, 2012).
2.3.1
Pembagian sistem floating
Sistem
penghantaran
floating
dibagi
berdasarkan
formulasinya: effervescent dan sistem non-effervescent.
Gambar 2.1 Mekanisme sistem floating
9
pada
variabel
2.3.2
Bentuk sediaan floating non-effervescent
Sistem non-effervescent ini bekerja dengan mekanisme pengembangan
polimer, bioadhesif dari polimer pada lapisan mukosa saluran pencernaan. Pada
umumnya dalam formulasi sistem non-effervescent ini menggunakan bahan yang
mampu membentuk gel atau memiliki kemampuan mengembang yang baik
seperti senyawa hidrokoloid, polisakarida. Biasanya juga digunakan bentuk
matriks dari polimer seperti polimetakrilat, poliakrilat, polistiren, dan bioadhesif
polimer yaitu kitosan dan karbopol (Goyal, et al., 2011).
2.3.3
Bentuk sediaan floating effervescent
Sistem ini dibuat dalam bentuk matriks dengan menggunakan polimer
yang dapat mengembang seperti HPMC, kitosan, senyawa polisakarida lain, dan
berbagai komponen effervescent seperti natrium bikarbonat, kalsium karbonat,
asam sitrat atau asam tartrat. Sediaan ini dirancang sedemikian rupa, sehingga
ketika kontak dengan cairan lambung, gas karbondioksida (CO2) akan terlepas
dan terperangkap dalam sistem hidrokoloid yang mengembang. Hal ini
menyebabkan sediaan mengapung (Goyal, et al., 2011).
2.3.4
Keuntungan Floating Drug Delivery System
Keuntungan Floating Drug Delivery System ini meliputi:
a) Menguntungkan untuk obat yang dimaksudkan untuk aksi lokal di
lambung misalnya: Antasida.
b) Menguntungkan untuk menjaga obat dalam kondisi mengapung di
lambung ketika gerakan usus kuat dan ketika diare sehingga menghasilkan
respon yang relatif lebih baik.
10
c) Zat yang bersifat asam seperti aspirin dapat mengiritasi lambung ketika
bersentuhan dengan dinding lambung. Oleh karena itu, formulasi FDDS
mungkin berguna untuk pemberian aspirin dan obat-obatan lain dengan
sifat yang sama.
d) Menguntungkan untuk obat-obat diserap di lambung misalnya: garam
ferro, Antasida.
e) Meningkatan penyerapan obat, karena terjadi peningkatan waktu tinggal di
lambung dan peningkatan waktu kontak obat dengan daerah penyerapan
(Arunachalam, et al., 2011).
2.3.5
Kerugian Floating Drug Delivery System
Kerugian Floating Drug Delivery System meliputi:
a) Sistem floating tidak sesuai untuk obat-obat yang memiliki masalah
kelarutan atau stabilitas pada cairan lambung.
b) Obat-obatan seperti nifedipine yang diserap di seluruh saluran pencernaan
dan yang menjalani metabolisme lintas pertama tidak sesuai sebagai
kandidat FDDS karena pengosongan lambung yang diperlama dapat
menyebabkan penurunan bioavailabilitas sistemik.
c) Keterbatasan penerapan FDDS untuk obat yang mengiritasi mukosa
lambung.
d) Salah satu kelemahan dari sistem floating adalah sistem ini membutuhkan
jumlah cairan yang cukup banyak di lambung, sehingga bentuk sediaan
obat dapat terapung dan bekerja secara efisien dalam cairan lambung.
e) Retensi lambung dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makanan, pH dan
motilitas lambung (Arunachalam, et al., 2011).
11
2.4
Ranitidin HCl
2.4.1
Uraian bahan
Gambar 2.2 Struktur ranitidin HCl
Rumus Molekul : C13H22N4O3S.HCl
Nama Kimia
: N-{2-{{{5-{(Dimetilamino)metil}-2-furanil}metil}tio}etil}N’-metil-2-nitro- 1,1-etenadiamina, hidroklorida
Berat Molekul
: 350,87
Pemerian
: Serbuk hablur; putih sampai kuning pucat; praktis tidak berbau;
peka terhadap cahaya dan kelembaban. Melebur pada suhu
lebih kurang 140o, disertai peruraian.
Kelarutan
: Sangat mudah larut dalam air; cukup larut dalam etanol dan
sukar larut dalam kloroform (Ditjen POM, 1995).
2.4.2
Mekanisme Kerja
Ranitidin HCl menghambat produksi asam dengan cara berkompetisi
secara reversibel dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada
membran basolateral sel-sel parietal (Goodman dan Gillman, 2007).
2.4.3
Farmakokinetik
Ranitidin HCl yang merupakan antagonis reseptor-H2 diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian oral, dengan konsentrasi puncak dalam serum dapat
dicapai 1 sampai 3 jam. Berbeda dengan pompa proton, hanya sebagian kecil
12
antagonis reseptor-H2 yang berikatan dengan protein. Sejumlah kecil obat
mengalami metabolisme di hati. Baik produk yang dimetabolisme maupun yang
tidak dimetabolisme akan disekresikan oleh ginjal dengan cara filtrasi dan sekresi
tubular renal (Goodman dan Gillman, 2007).
2.4.4
Kegunaan
Ranitidin HCl digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan tukak
duodenum, refluks esofagitis, dyspepsia episodic kronis, tukak akibat AINS,
tukak duodenum akibat H.pylori, sindrom Zollinger Ellison, kondisi lain dimana
pengurangan asam lambung akan bermanfaat (Sukandar, et al., 2008).
2.4.5
Efek Samping
Secara keseluruhan insidensi reaksi merugikan yang timbul akibat
pemakaian antagonis reseptor-H2 adalah rendah (
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kapsul
Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu
macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam
cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin lunak atau keras.
Kebanyakan kapsul-kapsul yang diedarkan di pasaran adalah kapsul yang
semuanya dapat ditelan oleh pasien, untuk keuntungan dalam pengobatan. Kapsul
gelatin yang keras merupakan jenis yang digunakan oleh ahli farmasi masyarakat
dalam menggabungkan obat-obat secara mendadak dan di lingkungan para
pembuat sediaan farmasi dalam memproduksi kapsul pada umumnya (Ansel,
2008).
Ada dua tipe kapsul, keras dan lunak. Kapsul lunak terdiri dari cangkang
padat lentur yang mengandung serbuk, cairan non-aqueous, larutan, emulsi,
suspensi, atau pasta. Beberapa kapsul mengandung cairan diberikan dalam bentuk
sediaan bentuk padat, contoh minyak ikan cod. Kapsul ini dibentuk, diisi dan
ditutup dalam satu proses produksi. Cangkang kapsul keras digunakan dalam
pengolahan sebagian besar pembuatan kapsul dan peracikan kapsul. Cangkang
terbagi dua, badan dan tutup, keduanya berbentuk silinder dan dapat ditutup pada
ujungnya. Serbuk dan partikulat padat, seperti granul dan pelet, ditempatkan
dalam badan dan kapsul ditutup dengan menyatukan badan dan tutup secara
bersamaan (Winfield, et al., 2009).
6
Ukuran cangkang kapsul yang sesuai harus dipilih untuk membuat sediaan
kapsul penuh. Cangkang kapsul keras tersedia dalam delapan ukuran. Berat jenis
campuran serbuk akan mempengaruhi pemilihan ukuran kapsul. Delapan ukuran
kapsul beserta taksiran kapasitas (berdasarkan penambahan laktosa) dapat dilihat
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Ukuran kapsul beserta taksiran kapasitas (berdasarkan penambahan
laktosa)
No. Kapsul
Kandungan (mg)
000
950
00
650
0
450
1
300
2
250
3
200
4
150
5
100
Sebagian besar bahan yang digunakan untuk mengisi kapsul adalah dalam
bentuk serbuk. Biasanya merupakan campuran dari bahan aktif bersama dengan
kombinasi dari jenis bahan tambahan yang berbeda. Jenis bahan tambahan yang
biasanya digunakan dalam pengisi serbuk kapsul antara lain:
•
Diluen,
•
Lubrikan, menurunkan daya lekat serbuk terhadap alat
•
Glidan, meningkatkan aliran serbuk
•
Agen pembasah, meningkatkan penetrasi air
•
Desintegran, menghasilkan perpecahan massa serbuk
•
Stabilizer, meningkatkan stabilitas produk
Bahan aktif dengan dosis rendah dapat dirancang untuk mengalir baik
dengan mencampurkan bahan aktif dengan diluen yang mudah mengalir seperti
laktosa, dan mikrokristalin selulosa. Saat ruang terbatas dapat ditambahkan glidan
yang dapat menurunkan pergesekan antar partikulat, seperti silikon dioksida
7
koloidal, atau lubrikan yang dapat menghasilkan fungsi alat pengisi yang lebih
efisien seperti magnesium stearat (Aulton, 2007).
Gastroretentive Drug Delivery System
2.2
Sistem penghantaran obat yang tertahan di lambung atau Gastroretentive
Drug Delivery System (GRDDS) merupakan bentuk sediaan yang dapat tetap
berada
di
lambung
selama
beberapa
jam
sehingga
secara
signifikan
memperpanjang waktu tinggal obat di lambung. Peningkatan waktu retensi
lambung
meningkatkan
bioavailabilitas,
mengurangi
limbah
obat,
dan
meningkatkan kelarutan obat yang kurang larut dalam lingkungan pH tinggi. Hal
ini juga cocok untuk pengiriman obat lokal untuk perut dan bagian proksimal dari
usus kecil. Adapun metode untuk membuat sediaan tinggal di lambung adalah:
-
Penggunaan bentuk sediaan yang memiliki berat jenis yang lebih rendah dari
cairan lambung sehingga menghasilkan daya apung dalam cairan lambung.
-
Penggunaan bahan yang berat jenisnya tinggi: bahan dengan berat jenis tinggi
(˃2.5g/cm3) akan mempunyai waktu tinggal yang lama di saluran cerna. Hal
ini dapat dicapai dengan penambahan bahan seperti barium sulfat.
-
Sistem bioadhesi, sistem yang mempunyai daya lekat terhadap mukosa
lambung.
-
Pemberian obat atau bahan bahan tambahan farmasi yang memperlambat
motilitas saluran cerna.
-
Sistem ekspansi dengan pembengkakan atau pengembangan ke ukuran yang
lebih besar sehingga membatasi kemampuan pengosongan dari sistem untuk
melewati sphincter pilorus (Garg dan Gupta, 2008).
8
2.3
Floating Drug Delivery System
Sistem penghantaran obat terapung atau Floating Drug Delivery System
(FDDS) memiliki berat jenis yang lebih rendah dibandingkan dengan cairan
lambung sehingga mengapung dalam lambung tanpa dipengaruhi waktu
pengosongan lambung dengan waktu yang diperpanjang. Ketika sistem terapung
dalam kandungan lambung, obat secara perlahan terlepas dengan laju yang
diinginkan. Setelah lepasnya obat, sistem yang tersisa dikosongkan dari lambung.
Kondisi ini menghasilkan peningkatan waktu pengosongan lambung dan
pengendalian yang lebih baik terhadap fluktuasi kadar obat dalam plasma (Mishra
& Gupta, 2012).
2.3.1
Pembagian sistem floating
Sistem
penghantaran
floating
dibagi
berdasarkan
formulasinya: effervescent dan sistem non-effervescent.
Gambar 2.1 Mekanisme sistem floating
9
pada
variabel
2.3.2
Bentuk sediaan floating non-effervescent
Sistem non-effervescent ini bekerja dengan mekanisme pengembangan
polimer, bioadhesif dari polimer pada lapisan mukosa saluran pencernaan. Pada
umumnya dalam formulasi sistem non-effervescent ini menggunakan bahan yang
mampu membentuk gel atau memiliki kemampuan mengembang yang baik
seperti senyawa hidrokoloid, polisakarida. Biasanya juga digunakan bentuk
matriks dari polimer seperti polimetakrilat, poliakrilat, polistiren, dan bioadhesif
polimer yaitu kitosan dan karbopol (Goyal, et al., 2011).
2.3.3
Bentuk sediaan floating effervescent
Sistem ini dibuat dalam bentuk matriks dengan menggunakan polimer
yang dapat mengembang seperti HPMC, kitosan, senyawa polisakarida lain, dan
berbagai komponen effervescent seperti natrium bikarbonat, kalsium karbonat,
asam sitrat atau asam tartrat. Sediaan ini dirancang sedemikian rupa, sehingga
ketika kontak dengan cairan lambung, gas karbondioksida (CO2) akan terlepas
dan terperangkap dalam sistem hidrokoloid yang mengembang. Hal ini
menyebabkan sediaan mengapung (Goyal, et al., 2011).
2.3.4
Keuntungan Floating Drug Delivery System
Keuntungan Floating Drug Delivery System ini meliputi:
a) Menguntungkan untuk obat yang dimaksudkan untuk aksi lokal di
lambung misalnya: Antasida.
b) Menguntungkan untuk menjaga obat dalam kondisi mengapung di
lambung ketika gerakan usus kuat dan ketika diare sehingga menghasilkan
respon yang relatif lebih baik.
10
c) Zat yang bersifat asam seperti aspirin dapat mengiritasi lambung ketika
bersentuhan dengan dinding lambung. Oleh karena itu, formulasi FDDS
mungkin berguna untuk pemberian aspirin dan obat-obatan lain dengan
sifat yang sama.
d) Menguntungkan untuk obat-obat diserap di lambung misalnya: garam
ferro, Antasida.
e) Meningkatan penyerapan obat, karena terjadi peningkatan waktu tinggal di
lambung dan peningkatan waktu kontak obat dengan daerah penyerapan
(Arunachalam, et al., 2011).
2.3.5
Kerugian Floating Drug Delivery System
Kerugian Floating Drug Delivery System meliputi:
a) Sistem floating tidak sesuai untuk obat-obat yang memiliki masalah
kelarutan atau stabilitas pada cairan lambung.
b) Obat-obatan seperti nifedipine yang diserap di seluruh saluran pencernaan
dan yang menjalani metabolisme lintas pertama tidak sesuai sebagai
kandidat FDDS karena pengosongan lambung yang diperlama dapat
menyebabkan penurunan bioavailabilitas sistemik.
c) Keterbatasan penerapan FDDS untuk obat yang mengiritasi mukosa
lambung.
d) Salah satu kelemahan dari sistem floating adalah sistem ini membutuhkan
jumlah cairan yang cukup banyak di lambung, sehingga bentuk sediaan
obat dapat terapung dan bekerja secara efisien dalam cairan lambung.
e) Retensi lambung dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makanan, pH dan
motilitas lambung (Arunachalam, et al., 2011).
11
2.4
Ranitidin HCl
2.4.1
Uraian bahan
Gambar 2.2 Struktur ranitidin HCl
Rumus Molekul : C13H22N4O3S.HCl
Nama Kimia
: N-{2-{{{5-{(Dimetilamino)metil}-2-furanil}metil}tio}etil}N’-metil-2-nitro- 1,1-etenadiamina, hidroklorida
Berat Molekul
: 350,87
Pemerian
: Serbuk hablur; putih sampai kuning pucat; praktis tidak berbau;
peka terhadap cahaya dan kelembaban. Melebur pada suhu
lebih kurang 140o, disertai peruraian.
Kelarutan
: Sangat mudah larut dalam air; cukup larut dalam etanol dan
sukar larut dalam kloroform (Ditjen POM, 1995).
2.4.2
Mekanisme Kerja
Ranitidin HCl menghambat produksi asam dengan cara berkompetisi
secara reversibel dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada
membran basolateral sel-sel parietal (Goodman dan Gillman, 2007).
2.4.3
Farmakokinetik
Ranitidin HCl yang merupakan antagonis reseptor-H2 diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian oral, dengan konsentrasi puncak dalam serum dapat
dicapai 1 sampai 3 jam. Berbeda dengan pompa proton, hanya sebagian kecil
12
antagonis reseptor-H2 yang berikatan dengan protein. Sejumlah kecil obat
mengalami metabolisme di hati. Baik produk yang dimetabolisme maupun yang
tidak dimetabolisme akan disekresikan oleh ginjal dengan cara filtrasi dan sekresi
tubular renal (Goodman dan Gillman, 2007).
2.4.4
Kegunaan
Ranitidin HCl digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan tukak
duodenum, refluks esofagitis, dyspepsia episodic kronis, tukak akibat AINS,
tukak duodenum akibat H.pylori, sindrom Zollinger Ellison, kondisi lain dimana
pengurangan asam lambung akan bermanfaat (Sukandar, et al., 2008).
2.4.5
Efek Samping
Secara keseluruhan insidensi reaksi merugikan yang timbul akibat
pemakaian antagonis reseptor-H2 adalah rendah (