BAB II AKTIVITAS SOSIAL DAN POLITIK ORGANISASI PEMUDA DAN PREMAN DI KOTA MEDAN 2.1. Dinamika Sosial, Kultural, Ekonomi, dan Politik Kota Medan - Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah La
BAB II AKTIVITAS SOSIAL DAN POLITIK ORGANISASI PEMUDA DAN PREMAN DI KOTA MEDAN
2.1. Dinamika Sosial, Kultural, Ekonomi, dan Politik Kota Medan
Kampung kecil, dalam masa kurang lebih 80 tahun dengan pesat berkembang menjadi kota, yang dewasa ini kita kenal sebagai kota Medan, berada di satu tanah datar atau medan, di tempat Sungai Babura bertemu dengan Sungai Deli, pada waktu itu dikenal sebagai “Medan Putri”, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Medan didirikan oleh Raja Guru Patimpus, nenek moyang Datuk Hamparan Perak (Dua Belas Kuta) dan Datuk Sukapiring, yaitu dua dari empat Kepala Suku Kesultanan Deli. Dalam syair Melayu Putri Hijau diungkapkan bahwa kata ”medan” berasal dari gelanggang pertempuran antara Kerajaan Deli dan Kerajaan Aceh yang terjadi pada tahun 1552. Tragedi perang antara dua kerajaan yang bertetangga ini terjadi karena pinangan Sultan Aceh terhadap Putri Hijau yang menjadi primadona Kerajaan Deli waktu itu ditolak. Medan dalam bahasa Melayu berarti ’gelanggang’. Menurut kisah tadi, di gelanggang yang sekarang dibangun kota Medan, tentara kerajaan Deli berhasil
78 dikalahkan dan Putri Hijau diboyong ke Bandar Aceh.
Legenda tragis ini seakan memberi isyarat kepada generasi Putri Hijau di kemudian hari, bahwa kota Medan kelak akan tetap merupakan gelanggang ”pertempuran” yang harus dihadapi oleh setiap putra Melayu. Orang yang kalah dalam gelanggang ini harus berada di pinggir dan kehormatan diri sebagai taruhannya, yang secara simbolik diinterpretasikan sebagai Putri Hijau yang jatuh ke tangan orang lain. ”Apa isyarat sejarah dari kisah ini?” Makna di dalamnya dapat memberikan kearifan kepada putra Melayu dalam menghadapi kehidupan di gelanggang pertempuran kota Medan. Kiranya sejarah juga dapat menjawabnya. Dewasa ini banyak yang percaya bahwa kisah Putri Hijau tersebut telah berulang pada orang Melayu di kota Medan. Walaupun demikian banyak pula yang yakin bahwa keberadaan orang Melayu di kota tersebut tetap penting dan berarti.
Selain kisah Putri Hijau, terdapat sejarah yang masih dapat dipercaya, yaitu naskah lama Riwayat Hamparan Perak. Naskah ini dianggap penting karena isinya dapat mengungkapkan liku-liku hubungan kekerabatan dan genealogis orang Melayu Sumatera Timur yang mendiami daerah dataran rendah (lowland) pantai Selat Melaka dengan orang-orang Batak, Karo, dan Simalungun yang tinggal di daerah pegunungan. Naskah Riwayat Hamparan
Perak ini menjadi pegangan panitia Hari Jadi kota Medan yang kemudian
79 menetapkan tanggal 1 Juli 1950 sebagai hari jadi kota Medan.
Naskah ini menceritakan perantauan salah seorang cucu Raja Batak Sisingamangaraja yang bernama Raja Hita ke Tanah Karo. Raja ini mempunyai seorang putra yang bernama Guru Patimpus. Perantauannya ke tanah Deli telah membawanya masuk Islam, setelah dia mempelajari agama itu dari ulama terkenal, Datuk Kota Bangun. Setelah menikah dengan putri Datuk Berayan, salah seorang keturunan Panglima Deli, dia membangun pemerintahan. Keturunannya kelak menjadi dikal bakal keluarga Hamparan Perak dan Sukapiring, yang merupakan rumpun-rumpun besar dari masyarakat Melayu
80
yang makmur karena hasil lada dan pala.John Anderson , orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli, pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan, berpenduduk sekitar 200 orang, dan dinyatakan sebagai tempat kediaman Sultan Deli. Medan
81
terletak di dekat Labuhan, bandar Kerajaan Deli waktu itu. Lima puluh tahun setelah kunjungan Anderson, Medan telah menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial Belanda membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran.
Pada awal abad ke-20, hampir seluruh dataran rendah di Sumatera Timur menjadi areal perkebunan ekspor dari berbagai jenis komoditi seperti tembakau, kelapa sawit, cokelat, karet, teh, dan sisal. Berbagai perusahaan asing lainnya 79 yang berasal dari Belgia, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat turut mengambil 80 D. Meuraxa. 1975. Sejarah Hari Jadinya Kota Medan. Medan: Sastrawan. 81 Ibid. hal. 34.
John Anderson. 1924. Mission to East Sumatra: A Report. London: Blackwood. Lihat juga bagian dalam pembangunan perkebunan ini. Perkebunan besar ini dapat dianggap sebagai pangkal kemasyuran tanah Melayu Sumatera Timur yang mendapat julukan daerah dolar, tetapi juga dapat dianggap sebagai pangkal
82 bencana yang mematikan tradisi pertanian Melayu.
Kota Medan berkembang dari sebuah kampung bernama "Kampung Medan Putri" yang didirikan oleh Guru Patimpus sekitar tahun 1590-an. Disebabkan keletakannya yang berada di Tanah Deli, Kampung Medan juga sering dikenal sebagai "Medan-Deli". Lokasi asli Kampung Medan adalah sebuah tempat pertemuan Sungai Deli dengan Sungai Babura. Medan pertama kali ditempati oleh orang-orang Karo. Hanya setelah penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda, mengirimkan panglimanya, Gocah Pahlawan Gelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil Kerajaan Aceh di Tanah Deli, barulah Kerajaan Deli mulai berkembang. Perkembangan ini ikut mendorong pertumbuhan dari segi penduduk maupun kebudayaan Medan. Medan tidak mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau. Dengan cepatnya, Medan menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di bahagian barat Indonesia. Belanda menguasai Tanah Deli sejak tahun 1658, setelah Sultan Ismail, penguasa Kerajaan Siak Sri Indrapura, memberikan beberapa bekas tanah kekuasaannya: Deli, Langkat dan Serdang. Pada tahun 1915, Medan menjadi ibu kota provinsi Sumatra Utara secara resmi, dan pada tahun 1918 ia menjadi sebuah bandar.
Untuk menopang perkembangan perkebunan Sumatera Timur, pemerintah Belanda menjalankan politik pintu terbuka (open door policy) bagi kehadiran kaum perantau dari dalam maupun luar negeri. Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja, terutama di perkebunan, karena orang Melayu, Karo, dan Simalungun dianggap tidak
83
berminat bekerja sebagai buruh perkebunan , atau karena perusahaan
84 82 perkebunan sendiri tidak menyukai dan tidak percaya kepada mereka.
T.Lukman Sinar. 1976. The Impact of Dutch Colonialism on the Malay Coastal States in the
83 East Sumatera During the 19 Century. hal. 9.
M. Said. 1973. “What was the Social Revolution of 1946 in East Sumatera in Indonesia?”.
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 setidaknya ada dua gelombang migrasi ke Sumatera Timur. Gelombang migrasi pertama berupa kedatangan orang Cina dan Jawa sebagai kuli kontrak di perkebunan, tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang Cina, karena sebagaian besar dari mereka lari meninggalkan kebun. Lagi pula mereka selalu menimbulkan kerusuhan. Perusahaan perkebunan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa. Orang-orang Cina bekas buruh kebun tersebut kemudian menetap di kota-kota Sumatera Timur, seperti di Medan. Mereka kemudian mengembangkan lapangan perdagangan bersama dengan kelompok etnis perantau seperti orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Sebagian besar para perantau domestik ini datang pada gelombang kedua.
Berbeda dengan pendahulu mereka, orang Mandailing, Minangkabau, dan Aceh ini datang ke kota Medan bukan untuk bekerja di perkebunan sebagai kuli kontrak, tetapi mereka datang untuk berdagang, bekerja di kantor, menjadi guru, dan ulama. Orang Mandailing terpelajar itu banyak diterima bekerja sebagai kerani di perusahaan perkebunan dan kantor pemerintahan kolonial Belanda atau Kesultanan Melayu. Kecenderungan orang Mandailing di bidang okupasi ini merupakan suatu preferensi yang kuat dan terus berkembang di arah
85
pembangunan dinasti Mandailing di bidang kepegawaian, sedang perantau Minangkabau tidak begitu berminat menjadi pegawai dan lebih banyak mencurahkan perhatian ke bidang perdagangan eceran, dan kaum terpelajarnya cenderung mengembangkan usaha mandiri dan menduduki jabatan profesional,
86
esperti notaris, wartawan, dan dokter. Kelompok-kelompok etnis lainnya juga berusaha “menguasai” sumber-sumber kehidupan ekonomi untuk kepentingan kelompoknya.
Statistik komposisi etnis kota Medan tahun 1920 dan 1930, menunjukkan hampir 50% penduduknya merupakan bangsa asing yang terdiri dari Cina, India, Arab, Belanda, Inggris, Jerman, dan Belgia, selebihnya adalah kelompok bangsa Indonesia, yaitu Jawa 23,1%, Minangkabau 6,8%, Melayu 6,65%, dan Mandailing 85 5,70%, serta Batak Toba yang hanya 1%. Dari komposisi penduduk ini tampak 86 Usman Pelly. 1983. Sejarah Sosial Kota Medan. Jakarta: IDSN Depdikbud.
bahwa orang Melayu, meskipun suku asli, namun tampak bahwa orang Melayu sejak 1920 telah menjadi minoritas di Medan. Kedudukannya sebagai kelompok minoritas pada waktu itu belum berdampak negatif terhadap kehidupan orang Melayu secara keseluruhan di kota Medan.
Setidaknya ada dua faktor lain yang sangat berperan dalam menopang kedudukan sosial orang Melayu, yaitu faktor politik dan budaya lokal. Dalam kedua bidang tersebut orang Melayu masih dominan. Dalam bidang politik, kekuasaan Sultan Deli masih mampu melindungi kepentingan orang Melayu. Dalam perjanjian antara Sultan Deli dan pemerintah kolonial Belanda yang tercantum dalam Kontrak Panjang (Lange Verklaring), Sultan memiliki kekuasaan pemerintahan otonomi ke dalam (selfgoverning territories), terutama dalam masalah tanah, adat, dan agama. Dalam masalah lain, penduduk kota adalah kawula government yang tunduk kepada hukum pemerintahan kolonial Belanda dan bukan kawula Sultan. Dalam akta konsesi tanah yang terakhir (1982), hak ulayat (adat) orang Melayu tetap diakui, bahkan pihak swasta dapat mengikat kontrak dengan Sultan tanpa harus meminta persetujuan Batavia, tetapi kontrak tersebut baru sah apabila telah disetujui Batavia. Hal ini menunjukkan bahwa
87 Batavia tidak lagi mempunyai kekuasaan mutlak atas tanah.
Dalam bidang budaya lokal, kekuasaan adat dan agama yang didukung oleh faktor ekonomi perkebunan yang melimpah di kesultanan telah menampilkan sosok budaya Melayu yang tangguh, walaupun aktivitas budaya ini secara seremonial masih tetap berpusat di istana, seperti perayaan agama dan acara kesenian Melayu. Adat istiadat Melayu dan tata krama kehidupan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam menjadi standar dalam kehidupan masyarakat Medan yang majemuk, terutama bahasa dan kesenian yang merupakan isi dari wujud budaya Melayu yang cukup dominan.
Adat dan agama menjadi satu kesatuan dalam budaya Melayu, sehingga kedua aspek kehidupan itu senapas. Budaya Melayu adalah budaya Islam. 87 Orang yang masuk Melayu dikatakan juga masuk Islam, begitu juga sebaliknya.
T.L. Husny. 1976. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Pesisir Deli Sumatea Orang Karo, Simalungun, atau Cina yang masuk Islam juga disebut masuk Melayu. Secara kultur, mereka memang memelayukan diri dengan meninggalkan marga Barak, hidup dalam adat resam Melayu, dan dalam kehidupan sehari-hari memakai bahasa Melayu.
Melayunisasi orang Batak (Karo, Sumalungun, Dairi) di medan pada awal abad ke-20 berdasar pada sistem budaya Melayu Islam (Melayo Moslem
Culture) yang dijadikan sebagai landasan ideologi wadah pembaruan (melting
pot) aneka suku Batak. Bahkan orang-orang Mandailing dan Siprok/Angkola
yang telah memeluk Islam di kampung halamannya menjalani proses Melayunisasi juga. Walaupun mereka banyak yang menjadi ulama, nazir, dan imam masjid, atau khadi Sultan.
Orang Jawa tidak banyak terlibat dan dilibatkan dalam kehidupan bersama di kota Medan, karena peran mereka sebagai bekas kuli kontrak yang sebagian besar berasal dari strata bawah (wong cilik) tetap menduduki posisi minor dalam okupasi dan pemukiman kota, kecuali kaum ningrat Jawa yang banyak berperan sebagai ambtenaar dan pegawai tinggi pemerintahan kolonial. Mereka terpisah dari orang Jawa kebanyakan tadi. Keadaan seperti ini dikehendaki oleh pemerintah kolonial Belanda agar orang Jawa itu lepas dari lapisan pemimpin mereka. Di antara kalangan perantau domestik di kota Medan, ternyata orang Minangkabau enggan dan menolak Melayunisasi dengan beberapa alasan diantaranya adalah keterkaitannya yang kuat dengan kampung
88 halaman dalam kaitannya dengan budaya perantau.
Pada masa kolonial, kebanyakan penduduk pribumi termasuk orang- orang Melayu tidak tertarik pada lapangan kerja perburuhan. Lapangan kerja kepegawaian menjadi incaran (preferensi) mereka, tetapi dalam mengembangkan karir orang Melayu banyak terbentur karena rendahnya tingkat pendidikan, dan hanya kelompok bangsawan saja yang mendapat pendidikan agak tinggi. Sehingga, yang berhasil mencapai karir yang tinggi di bidang tersebut adalah kelompok orang-orang Mandailing dan Jawa atau warga sukubangsa lain yang terpelajar.
Di bidang perdagangan kota dan karena adanya pertimbangan politik kolonial lainnya menyebabkan pemerintah Belanda mendorong orang-orang Cina bekas kuli perkebunan untuk menguasai perdagangan menengah, sedang orang-orang Minangkabau yang mempunyai preferensi di bidang okupasi dagang dapat dibendung agar mereka puas bergerak di bidang perdagangan kelas rendah. Kebijakan ini juga berlaku untuk kelompok etnis lainnya yang mencoba terjun ke bidang perdagangan atau industri, sedangkan perdagangan tingkat tinggi, seperti perbankan, ekspor, dan impor tetap dikuasi oleh orang Belanda dan Eropa lainnya.
Pada masa pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan diawali oleh Revolusi Sosial di Sumatera Timur pada tahun 1946 telah merombak posisi sosiopolitis terhadap kaum bangsawan di Medan. Bagi kelompok-kelompok bangsawan revolusi sosial hanya suatu mimpi buruk, sebab revolusi ini hanya berhasil merombak struktur pemerintahan kesultanan, tetapi tidak mengubah sistem sosial dan sikap mental kaum bangsawan.
Pada dekade pertama setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan dibanjiri perantau baru dari berbagai suku bangsa, terutama suku Batak Toba dan Tapanuli Utara. Kelompok ini terdiri dari tenaga-tenaga muda terpelajar dan petani-petani yang dijuluki oleh Langerberg sebagai land hunter (pemburu
89 tanah). Sasaran okupasi mereka adalah kepegawaian dan pertanian.
Pembukaan perkantoran pemerintahan republik sebagai perluasan jaringan birokrasi memerlukan tenaga-tenaga yang berpendidikan. Kesempatan yang terbuka ini kemudian sepenuhnya dipergunakan oleh para perantau Batak Toba yang rata-rata memiliki pendidikan formal yang mereka peroleh dari sekolah- sekolah yang diasuh oleh zending di Tapanuli Utara.
Sejak dijadikan sebagai sebuah bandar ketika itu penduduk Medan telah berjumlah 43.826 jiwa, dan terdiri dari 409 orang bangsa Eropa, 25.000 orang bangsa Indonesia, 8.269 orang bangsa Cina dan 130 orang bangsa Asia lainnya. Sampai kemudian penataan dan pembentukan beberapa kecamatan di 89 Sumatera Utara termasuk kota Medan, maka sejak tahun 1996 memiliki 21 kecamatan. Sedangkan total penduduk pada tahun 2007 sebesar 2.036.018 jiwa. Luas wilayah mencapai 265,10 km", kepadatan penduduk mencapai 7.681 jiwa/km". Penduduk asli kota ini adalah orang Karo dan Melayu, tetapi saat ini kota ini merupakan kota multi etnis yang menarik. Perluasan areal kota ini telah mendorong pemekaran dan pendistribusian fasilitas perkotaan, seperti pusat- pusat perbelanjaan, transportasi, dan fasilitas kehidupan kota lainnya. Perluasan dan migrasi Batak Toba telah menyebabkan perubahan dalam komposisi etnis kota Medan dengan gambaran sebagai berikut:
Tabel 2.1: Komposisi Etnis Kota Medan tahun 2005
No. Etnis %
1. Jawa 29,41%
2. Batak Toba 14,11%
3. Cina 12,80%
4. Mandailing/Sipirok 11,91%
5. Minangkabau 10,93%
6. Melayu 8,57%
7. Karo 3,99%
8. Aceh 2,19
9. Sunda 1,90%
10. Simalungun 0,67%
11. Dairi 0,24%
12. Nias 0,18%
13. Lain-lain 3,04% Sumber: BPS kota Medan tahun 2006.
Kemajuan bidang ekonomi, berdasarkan harga berlaku pada tahun 2006 pendapatan perkapita telah mencapai Rp10.010.370,37 sedangkan tahun 2001 sebesar Rp. 7.325.095,39. Pada tahun 2000, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kota Medan mencapai 70,8. Dibandingkan dengan 25 daerah kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara, kota Medan menempati urutan 2 setelah Kota Pematang Siantar. Kemudian tahun 2005, IPM Kota Medan meningkat mencapai 73,4. Meningkatnya nilai IPM Kota Medan tidak terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah kota Medan.
Dengan motto “Bekerja sama dan sama-sama bekerja demi kemajuan dan kemakmuran Medan kota metropolitan, Pemerintah kota Medan menggandeng berbagai pihak untuk memberi sumbangsih nyata bagi menyangkut masa depan bangsa. Hal tersebut dikarenakan kemiskinan merupakan masalah kompleks dan rumit yang membutuhkan komitmen semua pihak untuk menyelesaikannya. Didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), di tahun 2006, jumlah penduduk miskin di kota Medan mencapai 7,25 persen. Jumlah meningkat dibanding pada tahun 2005 yang mencapai 4,8 persen.
Sampai dengan tahun 2004, kota Medan berkembang tidak hanya pada struktur kota, namun berikut juga perkembangan organisasi kemasyarakatan tingkat lokal. Munculnya beragam organisasi masyarakat di kota Medan tidak terlepas dari kebebasan yang didapat setelah jatuhnya pemerintah Orde Baru. Untuk tingkat lokal, adanya kebebasan berorganisasi setidaknya diharapkan dapat memunculkan keinginan-keinginan masyarakat lokal dalam melaksanakan demokrasi lokal. Hal ini penting dilihat dalam kaitan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Tumbuhnya beragam organisasi masyarakat di kota Medan menandakan bahwa tingginya partisipasi masyarakat kota Medan terutama ketika pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
Di kota Medan, sebanyak 46 organisasi kemasyarakatan dan pemuda (OKP) telah terdaftar di kota Medan. OKP yang terdaftar di Kesbang dan Linmas kota Medan tersebut sangat beragam diantaranya ada yang berbasiskan etnis, agama dan nasional seperti Ikatan Pemuda Tapanuli Selatan (Imatapsel), Himmah Alwashliyah, Pemuda Katolik, GMKI, GM Kosgoro, Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, FKPPI, dan lain sebagainya. Sedangkan partai politik baru yang terdaftar di Kesbang dan Linmas sampai Januari 2008 berjumlah 37 parpol.
Selain itu, jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan yayasan di kota Medan, yang terdaftar di Kesbang dan Linmas kota Medan, berjumlah 115 orang dengan beragam spesifikasi bidang pekerjaan diantaranya pekerja sosial anak, pendidikan, kesehatan, pemukiman kumuh, kajian wanita, dan lain sebagainya. Untuk ormas keagaamaan di kota Medan berjumlah 27, ormas umum berjumlah 45, dan organisasi profesi lainnya berjumlah 14. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 2.2. berikut.
Tabel 2.2: Data OKP, Partai Politik,dan Ormas di Kota Medan tahun 2008
No. Organisasi Jumlah
1. Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda
46
2. Partai Politik baru terdaftar
37
3. LSM dan Yayasan 115
4. Ormas Keagamaan
27
5. Ormas Umum
45
6. Organisasi Profesi
14 Sumber: Bidang Hubungan Antar Lembaga Badan Kesbang dan Linmas kota Medan tahun 2008. Pada saat penyelenggaraan Pemilu 2004, kota Medan dengan gaya modernisasinya, dipimpin oleh seorang Walikota dan Wakil Walikota terdiri atas
21 kecamatan dengan 151 kelurahan yang terbagi dalam 2000 lingkungan. Anggota DPRD kota Medan pada tahun 2007, hasil Pemilu 2004, berjumlah 45 orang, yang terdiri dari 9 orang anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), 6 orang anggota Fraksi Partai Demokrat (PD), 6 orang anggota Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP), 6 orang anggota Fraksi Partai GOLKAR, 5 orang anggota Fraksi Amanat Nasional (PAN), 5 orang anggota Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS), 4 orang anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), 3 orang Fraksi Partai Bintang Reformasi (PBR), dan 1 orang anggota Fraksi Partai Patriot (PP).
Pemilu 2004 menghasilkan susunan dari unsur partai yang berbeda dari pemilu sebelumnya. PKS sebagai partai Islam kota berhasil mendulang suara terbanyak dan memperoleh kenaikan sebesar 9 kali lipat dari jumlah anggota DPRD kota Medan dari PKS. DPRD kota Medan Periode 1999-2004 PKS hanya bisa memperoleh 1 wakil di DPRD, namun pada Pemilu 2004 wakil PKS menjadi 9 orang. Ini menunjukkan bahwa partai ini memiliki konstituen pemilih dalam pemilu 2004 yang cukup signifikan. Meskipun terdapat partai Islam lainnya di kota Medan seperti PPP dan PBR serta PAN yang dikenal memiliki basis massa kaum Muhammadiyah. Namun, karena kader-kader PKS juga adalah para pendakwah atau disebut ustad yang sering memberikan pengajian kepada masyarakat sekitar dianggap cukup efektif dalam meraih suara pada pemilu 2004.
2.2. ”Ini Medan, Bung!” Semboyan untuk Preman Medan
Semboyan ”Ini Medan, Bung!” Rasanya tepat untuk melukiskan keunikan kota Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara dan kota terbesar ketiga di Indonesia dengan penduduk sekitar dua juta jiwa. Dalam buku petunjuk pariwisata Sumatera, dua penulis Inggris menyebut kota ini "Besar, panas, bising, sesak dan kotor," namun menurut mereka bagi pendatang baru di belahan dunia ini Medan adalah "Perkenalan dengan Asia yang riang dan bersemangat (vivid and vivacious introduction to Asia). "Maksudnya barangkali Medan tidak menyenangkan tetapi menarik. Berarti, tidak ada pilihan, alias silahkan menikmati yang satu sekaligus menghadapi yang satu lagi. Jika kebanyakan anggota masyarakat bersahabat, ada segelintir orang yang berbahaya. Maka pandai-pandailah dan hati-hatilah bila berada di Medan.
Dalam keseharian masyarakat Medan dan pendatang baik yang sedang melakukan kunjungan wisata atau urusan lainnya ”Semboyan Ini Medan, Bung!” pasti sudah Populer. Rasanya tak keliru menyanding semboyan ini dengan semboyan-semboyan lain yang juga mencantumkan nama kota, seperti Hallo- Hallo Bandung. Akan halnya semboyan orang Medan itu tak jelas siapa yang menciptakan atau pertama kali menggunakannya. Ada pendapat bahwa ini 'bahasa hukum' preman Medan. Setiap terlibat pertengkaran, maka demi kehormatan langsung mengajak duel (bukan sekedar gertak, melainkan bisa betul-betul duel) atau tanpa pikir-pikir lagi langsung 'main tumbuk' (baku hantam). Ketika itu, preman di Medan identik dengan kegiatan menonton bioskop gratis alias tanpa bayar atau menjaga keamanan di pasar-pasar tradisional dan tempat berdagang di daerah-daerah rumah toko (ruko). Sementara orang Medan sendiri juga mengaitkan semboyan itu dengan kesemrawutan lalu lintas dalam kota, karena peraturan yang tak dipatuhi.
Pemerintah kota Medan kemudian mencoba meluruskan istilah ”Ini Medan Bung” menjadi ”Ini Baru Medan”. Istilah baru itu disosialisasikan oleh Pemerintah kota Medan dengan ikon Abdillah sebagai Walikota Medan dan beberapa unsur musyawarah pimpinan daerah lainnya seperti kapoltabes dan ketua DPRD kota Medan. Sosialisasi tersebut dilakukan dengan penggunaan alat lokal. Semboyan ”Ini Baru Medan” dilakukan diantaranya untuk menghilangkan penafsiran negatif karena kekerasan dan uang yang sering berkonotasi dengan preman di kota Medan.
Menggunakan kata preman (free man) atau mengikuti tradisi menantang duel memang berbau asing. Lebih bersifat pribumi adalah jago atau jagoan, yang
90
juga di gunakan di Medan bila dua pihak bertengkar. Budaya duel (satu lawan satu, dengan memakai pedang atau pistol) adalah budaya kaum aristokrat Anglo-
Saxon zaman dulu. Sikap ke-Inggris-an ini mungkin imbasan dari interaksi
puluhan tahun antara masyarakat Medan dengan kota Penang di Semenanjung Malaysia sewaktu masih di jajah Inggris. Mungkin pula buntut pengalaman dari sejarah singkat pendaratan pasukan Inggris di Medan untuk melucuti tentara Jepang setelah Perang Dunia ke-2 sambil membantu sekutunya, Belanda, guna menggagalkan kemerdekaan Indonesia. Maka, kecuali kata preman, bermunculan istilah "Medan Area" di masa perang kemerdekaan, 'raun-raun' (dari "get around") untuk berjalan-jalan, dan 'makan angin' (dari "get fresh air") untuk mencari udara segar alias jalan-jalan juga.
Pengucapan semboyan Ini Medan, Bung! bisa dilakukan tegas, keras dan menyentak bahkan membentak, dengan maksud mengingatkan, mengejek, atau pun memarahi orang lain. Bisa pula diucapkan datar, misalnya sebagai pernyataan ciri khas atau identitas Medan dalam konteks lebih luas. Sebagai contoh, pernyataan realita kemajemukan warga masyarakat setempat. Terbukti adanya berbagai suku dan etnis yang bermukim di kota ini, meliputi suku Batak Toba, Batak Karo, Batak Dairi, Batak Mandailing, Melayu (Deli), Aceh, Minangkabau, Jawa, Manado dan Ambon. Bahkan etnis Cina dan India. Pernah terjadi bentrok antar suku, khususnya di antara kelompok preman, tetapi karena proses asimilasi dan bahasa misalnya, toleransi terjadi antar-sesama warga setempat.
Selain mencerminkan keunikan susunan etnis penduduk, semboyan Ini 90 Medan, Bung! Juga dapat mengungkapkan beberapa tonggak atau puncak
Istilah “jago” digunakan oleh masyarakat agar bernada lebih positif ketimbang berbagai istilah yang kini dipakai bagi peran yang sama. Dalam sejarah masih ada istilah yagn lain dan tergantung perjalanan sosial-ekonomi dan struktur kekuasaan yang menjadi bagian dari sejarah Medan. Misalnya, untuk menjelaskan mengapa ada Istana Maimun, Istana Tjong A Fie di pusat kota, masing-masing dengan pengaruh asing yang di tampung, dan gedung-gedung bergaya klasik Eropa. Di lain pihak, kehadiran becak masih mencerminkan kemiskinan yang membelenggu. Lebih mendasar lagi adalah bahwa Medan sempat menjadi pusat eksploitasi manusia karena kebijakan kolonial mengimpor tenaga kerja dari Jawa, bahkan Cina dan India, untuk mengerjakan perkebunannya secara menguntungkan. Karena itu, tindakan kekerasan, ancaman dan intimidasi menjadi cara-cara yang tidak asing dalam kehidupan sosial masyarakat kota Medan
2.3. Memahami Preman, Organisasi Pemuda dan Politik di Kota Medan
Keberadaan preman di kota-kota besar, seperti Medan merupakan akibat tidak langsung dari pertumbuhan penduduk yang cepat dan urbanisasi. Sebagian besar pendatang dari luar daerah, mempunyai angan-angan yang tinggi untuk mendapatkan pekerjaan di kota-kota besar. Namun, karena tidak berbekal pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang cukup, mereka menemui kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Kegagalan tersebut, tidak menjadikan mereka untuk kembali ke tempat asalnya. Mereka seringkali tinggal di area kumuh, dan melakukan pekerjaan serabutan untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari. Kehidupan yang demikian berat, menjerumuskan mereka untuk melakukan praktek preman.
91 Menurut Syafaruddin Lubis , istilah preman itu pada mulanya muncul di kota Medan.
”Kata preman dikenal dari istilah bahasa Belanda vrije man yang artinya lelaki bebas. Kala itu, istilah preman hanya dikenal di kawasan onderneming (perkebunan) yang ada di sekitar kota Medan, kemudian berkembang ke wilayah Sumatera Timur. Diantaranya adalah perkebunan tembakau, karet, kelapa sawit, dan sebagainya. Keberadaan vrije man ketika itu sangat ditakuti para pengusaha perkebunan yang pada umumnya adalah berkebangsaan Belanda. Karena apa? Ketika itu, lelaki bebas itu sengaja dikembangkan dan sering dimanfaatkan para pekerja perkebunan dari tindakan sewenang-wenang pengusaha melalui centeng- centeng yang bertindak sangat tidak manusiawi. Para centeng yang merupakan suruhan Belanda, sangat ditakuti para pekerja perkebunan. Para pekerja perkebunan pada mas itu kebanyakan dari Pulau Jawa, India, dan Tiongkok, yang datang ke Sumatera Timur melalui Singapura dan Pulau Penang. Karena sulitnya lidah orang Indonesia mengucapkan
vrije man, maka lama kelamaan istilah Belanda itu bertukar dan
berkembang menjadi preman. Sejak saat itu, preman semakin memasyarakat di kawasan perkebunan di Sumatera Timur. Kata vrije
man itu sendiri sama artinya dengan free man dalam bahasa Inggris,
yakni lelaki bebas, atau orang-orang lelaki bebas yang tidak punya pekerjaan, dan mencari uang dengan mudah. Pada mulanya, keberadaan preman di masa Belanda (yakni sekitar tahun 1880, saat Belanda mulai membuka perkebunan di Sumatera Timur) sangat menolong pekerja dari ulah yang tidak manusiawi dari para pengusaha perkebunan maupun centeng-centengnya. Apabila preman masuk warung-warung, selalu tidak dikenakan bayaran. Karena pada saat itu, kebanyakan pekerja perkebunan di Sumatera Timur berasal dari Pulau Jawa, maka istilah preman kemudian berkembang menjadi prei mangan, yakni gratis makan dan minum di warung-warung milik istri-istri pekerja perkebunan. Para preman itu sengaja diberi makan dan minum gratis, karena apabila mereka di warung itu, pengusaha dan centeng-centeng kebun tak berani berbuat apa-apa. Tak berani minta upeti kepada isteri karyawan yang berjualan. Jadi ketika itu, preman dijadikan backing isteri pekerja perkebunan untuk mengamankan jualannya. Melihat kenyataan yang dihadapi pada masa koeli kontrak itu, terkesan keberadaan preman pada awalnya berjiwa nasionalis. Mereka hadir untuk membantu kaum lemah, kaum pekerja yang stratanya jauh dari kondisi yang menggembirakan. Para pekerja yang sudah membanting tulang kala itu, sering diperlakukan tidak manusiawi oleh pengusaha perkebunan dan centeng-centengnya. Namun, oleh preman, tindakan-tindakan tidak manusiawi itu dicegah lewat kekuatan otot. Hal yang sama juga dilakukan oleh preman-preman ketika melawan penjajahan Belanda. Mereka juga ikut berjuang, berperang melawan kolonial. Ketika kota Medan terus berkembang, di kalangan penduduk WNI keturunan juga muncul samseng-samseng yang peranan dan status mereka sama dengan preman. Begitu hebatnya perjuangan preman dan samseng ketika itu, sehingga pengusaha perkebunan dan centeng harus mundur teratur. Tapi kenapa sekarang ini, jiwa preman itu luntur? Sekarang kata preman sering dikonotasikan dengan kejahatan. Mendengar kata preman, yang muncul adalah rasa takut dan ketidaknyamanan. Ternyata, hingga kini isitlah preman tetap bertahan dan bahkan terus berkembang, walaupun kelahirannya sudah mencapai usia ratusan tahun. Namun, telah terjadi pergeseran nilai-nilai perjuangan preman masa lalu dan sekarang, akibat kemajuan zaman dan keterbukaan yang terjadi. Pada era 1950-an, preman diharapkan kehadirannya di kedai-kedai kopi dan bioskop-bioskop yang ada di inti kota Medan. Dengan penampilan yang cukup necis, preman itu juga dijadikan backing oleh pengusaha kedai kopi dan pemilik bioskop untuk mengamankan usaha-usahanya. Seperti juga pada saat kelahirannya,para preman itu tidak mempunyai pekerjaan. Hanya prei perkebunan kala itu. Memang kenyataannya, preman itu tak punya pekerjaan, hanya ingin mencari makan gratis. Keberadaan preman di kota Medan terus berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Setelah tahun 1950-an, preman mulai terlihat banyak berkumpul di persimpangan jalan. Kehadiran para preman itu selalu dalam pakaian yang serba necis, dan kebanyakan diantaranya terbatas hanya memikat dan merayu wanita cantik. Penampilan preman di berbagai persimpangan lainnya tumbuh subur, sehingga menimbulkan rasa cemburu satu sama lain. Pada gilirannya, preman-preman itu membuat kelompok. Pada masa itu, preman tampil cukup satria. Perkelahian sering timbul, tapi ketika itu hanya pimpinan yang satu lawan pimpinan kelompok lainnya. Tidak pernah melakukan perkelahian berkelompok, seperti terjadi sekarang ini. Biasanya, apabila terjadi perselisihan antara satu kelompok preman dengan kelompok lainnya, perkelahian sering dilakukan di belakang Stadion Teladan Medan sekarang. Kenapa? Di sana ketika itu wilayahnya masih sangat sepi, sehingga perkelahian antar sesama preman itu tidak mengganggu masyarakat banyak. Itulah hebatnya preman masa itu. Tapi kini apa yang terjadi? Preman sering berkelahi secara berkelompok dan di tempat ramai, sehingga sangat mengganggu ketertiban umum. Sejalan dengan perkembangan kota Medan, maka preman yang ada di kota itu pun membentuk kelompok-kelompok. Sehingga dikenal preman Teladan, preman Medan Baru, preman Astanaria, preman Gang Buntu (Jalan Veteran), preman Sukaramai, dan preman Sambu.” Istilah preman di daerah-daerah lain di Indonesia, dengan pengertian yang sama, berbeda-beda. Di Minangkabau misalnya istilah preman (vrije man) ini dikenal dengan logat lokalnya pareman atau dengan istilah khas Minang yaitu parewa. Sedangkan di Pulau Jawa, dikenal juga istilah preman, hanya penyebutannya berbeda-beda. Di Jawa Tengah misalnya dikenal Gali (gabungan anak liar), di Jawa Timur dikenal istilah Korak (kotoran rakyat), dan mungkin di daerah lainnya terdapat sebutan khusus bagi mereka. Di Betawi misalnya dikenal dengan sebutan jawara, dan di kalangan anak muda dikenal dengan sebutan
prokem.
Dinamika kehidupan yang keras karena tuntutan lingkungan menyebabkan setiap individu harus mampu bertahan dalam situasi yang sangat sulit. Kondisi tersebut terlihat ketika Indonesia berada pada tahun-tahun krisis yaitu masa 1950-an yang ditandai dengan masih bergeloranya istilah revolusi dari Bung Karno sebagai Presiden ketika itu di tengah ketidakstabilan politik yang sedang terjadi. Belakangan individu-individu yang keras itu kemudian disebut
92
dalam istilah preman karena adanya kekurangan untuk memenuhi tuntutan kehidupan yang sangat keras. Gelandangan, meningkatnya kriminalitas, persaingan antar geng atau crossboys di kalangan pemuda dan dalam beberapa kasus mengarah ke kriminal merupakan beberapa masalah sosial yang lahir dari situasi baru paska perjuangan kemerdekaan. Tidak semua masalah ini mampu diselesaikan oleh pemerintah, termasuk di kota Medan pada waktu itu, yang dampaknya juga menyangkut pada masalah politik .
Mobilisasi militer sepanjang masa revolusi yaitu pada tahun 1945-1949 begitu juga akhir 1950-an ketika pemberontakan PRRI terhadap Jakarta menyeret beberapa suku-suku di daerah terlibat dalam gerakan tersebut. Di Medan misalnya, gerakan ini banyak dilakukan oleh suku-suku minoritas, misalnya suku Batak dan suku Mandailing yang datang ke Medan. Individu atau kelompok yang bergabung dalam gerakan ini kemudian dimobilisasi dan selalu berhubungan dengan pimpinan militer yang terlibat dalam pemberontakan ketika itu. Bahkan kemudian mereka selalu bertugas untuk mengawasi wilayah guna
93
keperluan ekonomi yang bersifat informal tersebut. Sejak tahun 1960-an mereka ini dikenal sebagai preman karena kegiatan yang dilakukannya seperti mengutip uang kepada pedagang di dalam pasar, tukang catut karcis di bioskop, dan bertindak sebagai penjaga keamanan di daerah kediaman etnis Cina yang dikenal sebagai pedagang kaya. Kebanyakan dari mereka kemudian terlibat dalam kegiatan politik seperti berkembangnya paham tentang sosial demokrat
94 terutama pada buruh-buruh perkebunan dan industri di Sumatera Utara .
Karena konflik politik antar partai di tingkat nasional dan untuk merespons radikalisme buruh sayap kiri di perkebunan dan industri seperti di Medan misalnya, maka otoritas militer membentuk serikat buruh anti-komunis seperti Soksi, mengorganisasikan kaum muda ke dalam Pemuda Pancasila (PP) dengan tujuan mengawasi dan mencegah pengaruh komunis di daerah-daerah termasuk di kota Medan. Ketika terjadi peristiwa Oktober 1965 kelompok ini ditempatkan untuk memimpin ”pembersihan” dari setiap individu dan kelompok yang dicurigai
95 93 sebagai anggota atau bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Tersangka 94 Lihat keterangan Ryter. Op. Cit.
Lihat Ben Anderson. 1998. “Radicalism after Communism”, dalam Benedict Anderson. The dari pimpinan itu sebagian besar berasal dari etnis Jawa yang dipekerjakan sebagai buruh perkebunan dan jalan kereta api serta etnis Cina karena tuduhan keterlibatan Negeri China yang komunis.
Para pemimpin yang melaksanakan ”pembersihan” kaum komunis bukan hanya berasal dari pejabat militer namun justru banyak yang berasal dari warga sipil. Mereka memperlihatkan tindakan anti komunis dengan cara, sikap dan perilaku yang kasar serta dengan kekerasan. Kelompok ini terus menunjukkan kekuatannya terutama ketika awal Orde Baru untuk menguasai ekonomi dan pemerintahan. Di kota Medan misalnya, yang dikenal sebagai daerah yang kaya akan sumber alamnya (perkebunan dan industri) merupakan daerah yang menjanjikan kekayaan. Sepanjang jaman kolonial, daerah ini adalah pusat kegiatan ekspor karena kekayaan alamnya. Hasil perkebunan dari Medan seperti karet, sawit, tembakau dapat dijual secara tunai dan kebanyakan orang-orang kaya, karena penghasilannya itu, sering menggunakannya untuk perjudian dan pelacuran. Tjong A Fie misalnya – seorang pengusaha keturunan Cina dan diakui oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai seorang perantara dagang non-
European terkemuka – mengoperasikan perjudian yang diizinkan oleh
pemerintah kolonial, membuka usaha candu, dan hampir tigapuluh rumah pelacuran. Namun, akhir tahun 1960-an karena tekanan politik, para etnis Cina yang menjalankan usaha tersebut harus memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh pemerintah jika tidak maka usahanya terancam untuk ditutup. Pada saat bersamaan kekuatan preman ternyata memiliki keingingan untuk menyediakan jasa ”perlindungan” bagi mereka yang memerlukannya, seperti ancaman dari penutup, perampasan, atau lebih buruk dari itu.
Dari kondisi-kondisi seperti itu menyebabkan pengaturan sosial dan bahkan politik berada dalam mainan preman Medan, bukan berada dalam koridor hukum. Jakarta sendiri tidak pernah mampu secara sempurna melakukan pembenahan struktur pemerintahan di Medan. Otoritas lokal dan pusat terpaksa ”berunding” dengan ”angkatan perang mafia” yang beranggotakan masyarakat setempat yang tumbuh dan berkembang karena dibina oleh para kelompok preman tersebut. Peristiwa pemilihan walikota Medan yang dilakukan pada awal- awal Orde Baru menunjukkan kekuatan para preman itu. Pemuda Pancasila agar menjadi walikota Medan melawan calon yang didukung oleh komando militer. Ternyata, Sjoerkani menang dan menjadi walikota Medan periode 1966- 1974 karena andil dari kekuatan preman.
Selama masa jabatan Sjoerkani, pengaruh Pemuda Pancasila menjadi lebih kuat. Para anggotanya ditekankan untuk memiliki usaha dagang baik yang sah maupun tidak dan beroperasi di kota agar diatur dengan ketat. Karena itu pula etnis Cina sering menyebut mereka sebagai ”cakar lima” (go-jiao) bukannya ”lima prinsip” sebagaimana butir-butir Pancasila. Pedagang yang disebut sah jika memiliki komoditi yang jelas untuk diperdagangkan sedangkan yang tidak sah seperti ”menjaja” jasa pengamanan bagi para ”toke” atau bos suatu perusahaan. Yang terakhir disebut sering digunakan oleh etnis Cina. Pemuda Pancasila bukan melulu dianggap sebagai suatu gerombolan penjahat yang kejam, Pemuda Pancasila juga dijadikan sebagai ”batu loncatan” di birokrasi dan bahkan militer. Seperti sampai saat ini anggota Pemuda Pancasila masih sering menyatakan bahwa mantan Panglima ABRI Jendral (Purn.) Feisal Tanjung
96 adalah sebagai anggota dan seorang preman pasar.
Akibat perlakuan yang kasar itu dan terasa ”mencekik leher” para pengusaha atau pemilik bisnis serta beberapa aktivitas dari pejabat militer dan birokrat tersebut, dan sebagian diantara mereka mencoba mencari jalan keluar dari permasalahan itu. Pada awal 1980-an terjadi perpecahan dalam internal PP karena perebutan kendali atas wilayah kekuasaan untuk pembagian pendapatan dari usaha perjudian. Lahirnya Ikatan Pemuda Karya (IPK) – yang dibayai sebagian pengusaha Cina dan didukung oleh beberapa militer, dan katanya, mendapat restu dari Benny Murdani (pemimpin ABRI) ketika itu – kemunculannya dianggap sebagai upaya untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan yang dimiliki oleh PP.
Pemimpin IPK kemudian adalah seorang Kristiani yang bersuku Batak Toba serta menguasai bahasa Hokkien, dialah Olo Panggabean. Tidak seperti Pemuda Pancasila, IPK memulainya secara langsung untuk mengatur operasi perjudian ketimbang melakukan penekanan, berkedok perlindungan, dengan kekerasan untuk mendapatkan uang. Olo kemudian sudah memulai usaha itu ketika masih menjadi anggota Pemuda Pancasila pada tahun 1973 di Medan Fair, suatu tempat hiburan di kota Medan, ketika ia bertugas sebagai penjaga keamanan. Segera sesudah itu ia membuka KIM, berbagai permainan kartu bingo yang dimainkan untuk mendapatkan hadiah tunai, yang dilakukannya secara terbuka di Medan Fair.
Situasi tersebut tidak berjalan secara normal, terjadi perkelahian antara kelompok PP dan IPK serta tidak jarang yang mengalami kematian akibat pekelahian itu. Hal itu sering dilakukan baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi misalnya dengan penculikan disertai pembunuhan. Untuk mendukung eksistensi usahanya, IPK berusaha mencari dukungan yang bersifat politis. IPK berusaha keras untuk mendukung Golkar dengan penuh semangat dibanding yang dilakukan PP. Setiap kampanye pemilu Golkar, IPK menyediakan lokasi untuk menunjukkan kepada elit Golkar sebagai bentuk show
of force. Masing-masing kelompok memobilisasi beribu-ribu anggotanya dan
dapat dilihat melalui penggunaan atribut seragam seperti pakaian loreng ala militer. Begitulah usaha-usaha untuk mendapatkan perlindungan secara politis yang dilakukan baik oleh PP maupun IPK. Pada akhir 1980-an dan awal 1990- an, muncul kelompok pemuda nasional pendukung Golkar lainnya yang menjadi
underbow di wilayah Medan, seperti FKPPI, kelompok anak-anak purnawirawan
ABRI, yang pada masa Orde Baru keberadaannya dipimpin oleh putra penguasa nasional Orde Baru, Suharto, yaitu Bambang Trihatmojo. Aktivitas FKPPI tidaklah jauh berbeda dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh kedua organisasi pemuda pendahulunya itu. Akibatnya, yang terjadi adalah daftar panjang tentang perselisihan untuk memperebutkan daerah kekuasaan dengan andalan di-back up masing-masing kelompok.
Perselisihan diantara kelompok-kelompok tersebut mempengaruhi tugas- tugas pemerintahan, yang sering sekali individunya sendiri mereka dudukkan dalam jabatan itu agar memastikan segala sesuatunya berjalan sesuai keinginan mereka. Masing-Masing kelompok mempunyai sedikitnya satu wakil di institusi lokal itu dan selalu memiliki keterkaitan dengan Golkar. Sepanjang awal tahun 1990-an, terdapat beberapa kasus kekerasan yang melibatkan massa sekitar penduduk. Kejadian di daerah Polonia misalnya, suatu kawasan bandara yang PP, IPK dan FKPPI berkelahi untuk memperebutkan pengawasan atas lahan tersebut.
Pihak pengembang berkolusi dengan pimpinan organisasi pemuda itu untuk memprovokasi agar terjadi konflik yang berkepanjangan diantara penduduk. Provokasi itu dilakukan misalnya dengan menakut-nakuti penduduk setempat dengan tujuan agar penduduk menjual murah dan turunnya nilai bangunan yang dimilikinya kepada pengembang. Meskipun beberapa penduduk tercatat sebagai mantan perwira TNI AU yang sebagian masih bermukim di kompleks sekitar bandara udara Polonia Medan. Karena itu, tidak jarang penduduk sekitar justru sering berkelahi secara massal dengan anggota PP, IPK, dan FKPPI karena kasus tersebut.