Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

(1)

(2)

iii

ABSTRAK

Judul : Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan.

Halaman : vi + 125 halaman + lampiran

Daftar Pustaka : 49 buku; 7 jurnal dan hasil penelitian; 12 dokumen resmi, surat kabar, dan majalah

Penelitian ini mencoba menguraikan fakta-fakta tentang keterlibatan organisasi pemuda (Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, dan FKPPI) di Kota Medan dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di Kota Medan. Di masyarakat Medan ketiga organisasi pemuda itu sering melakukan aktivitas premanisme seperti kekerasan, menyakiti dan bahkan membunuh untuk kepentingan uang dan kekuasaan. Mereka terlibat dalam politik dengan tujuan mendapatkan proteksi dari kegiatan dan usaha yang dilakukan. Karena itu, penelitian ini menjelaskan argumentasi yang mendasari keterlibatan organisasi pemuda/ preman dalam Pilkada Langsung tahun 2004 Kota Medan. Ada enam indikator yang diteliti yaitu mengenai bentuk dukungan yang diberikan, kedudukannya di tim sukses, lobi yang dilakukan baik secara internal maupun eksternal, menggunakan kekuatan uang, melakukan mobilisasi massa dan kekerasan, serta melakukan kontrol terhadap media. Dengan melihat perbandingan ketiga organisasi pemuda itu, maka penelitian ini menjawab indikator mana yang paling sering dilakukan oleh ketiga organisasi pemuda itu? Siapa tokoh dan organisasi mana yang berpengaruh dalam pilkada langsung tahun 2005 di Kota Medan? Dan mengapa organisasi pemuda itu terlibat dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di Kota Medan?

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori sumber-sumber kekuasaan dan cara-cara penggunaannya dari Charles F. Andrain, Joel S. Migdal, John T. Sidel, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramsci. Untuk melihat secara lebih jelas tentang karakteristik organisasi preman digunakan teori yang dikemukakan oleh Howard Abadinsky dan beberapa hasil penelitian dari Lyron Ryter dan Vedi R. Hadiz tentang fenomena gengster politik di Indonesia. Teori demokratisasi digunakan untuk melihat situasi politik di tingkat nasional dan lokal yang berubah di Indonesia serta pentingnya kelompok kepentingan dan partai politik dalam pilkada langsung. Selain itu teori elit yang dikemukakan Mosca dan Bottomore digunakan untuk melihat peran elit dalam proses perubahan politik, ekonomi, yang terjadi. Dengan menggunakan desain studi kasus dan metode wawancara sebagai teknik utama pengumpulan data, penelitian ini mengandalkan hasil analisis dari data wawancara yang diperoleh dan relevansinya dengan teori yang digunakan.

Beberapa pimpinan Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI di Medan menduduki posisi politik penting seperti partai politik dan legislatif. Karena itu, mereka memiliki kepentingan politik terhadap Walikota Medan dengan cara dan strategi yang berbeda-beda satu sama lain. Dari keenam indikator yang diteliti, didapat bahwa kegiatan yang sering dilakukan oleh organisasi pemuda/preman ini adalah pengerahan massa dan penggunaan kekerasan serta penggunaan kekuatan uang. Terlihat pengaruh IPK lebih besar ketimbang Pemuda Pancasila dan FKPPI. Untuk melaksanakan keputusan penting yang telah diambil, harus dikoordinasikan kepada IPK ketimbang PP dan FKPPI. Olo, the godfather, memberikan apresiasi yang sangat baik kepada Abdillah. Pola mobilisasi dukungan yang diberikan oleh Pemuda Pancasila, IPK, dan beberapa pimpinan FKPPI kepada calon walikota dilakukan karena adanya hubungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme. Dalam kasus pilkada Kota Medan, kekuasaan dan kepentingan lokal dari politik desentralisasi itu lebih banyak dilakukan oleh logika politik uang dan kekerasan.


(3)

iv

Pemberian dukungan itu relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Charles F. Andrain, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramsci tentang sumber-sumber kekuasaan dan cara penggunaannya seperti kekerasan, menyakiti dan bahkan membunuh kepada pihak-pihak yang pesaing. Munculnya bos-bos lokal di Medan menegaskan teori Sidel terjadi di Medan namun ada beberapa penyesuaian yang bersifat lokal. Penelitian ini memiliki relevansi dengan perdebatan yang tengah berlangsung tentang arah dan karakter dari demokrasi lokal di Indonesia. Seperti model yang dikemukakan oleh O’Donnel, Schimtter dan Huntington. Namun, harus dicatat bahwa pola-pola demokratisasi lokal di Indonesia terkait dengan diskusi lainnya yang lebih umum dan yang lebih teoritis mengenai pemerintahan dan perubahan kelembagaan.

Sebagai organisasi yang melakukan praktek premanisme dan kejahatan, Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI tidak begitu ”pas” dikelompokkan sebagai organized crime. Keterlibatannya dalam politik lebih disebabkan kepentingan untuk memperoleh perlindungan dari semua aktivitas organisasi yang mereka lakukan. Organisasi pemuda ini tidak memiliki anggota yang bersifat eksklusif dan abadi. Fenomena tentang gengster politik seperti yang dikemukakan oleh Lyron Ryter dan Vedi R. Hadiz lebih tepat untuk menguraikan keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada langsung Kota Medan tahun 2005. Namun yang berbeda adalah bahwa kemenangan dalam kompetisi pilkada langsung juga ditentukan oleh figur yang populer, bukan hanya karena adanya dukungan organisasi pemuda yang melakukan praktek premanisme. Justru keterlibatan mereka pada masyarakat pemilih harus diminimalisasi. Kekuatan otot dan uang hanya digunakan sebagai tindakan politik untuk menenangkan sebagian kalangan elit lokal. Artinya, Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI hanya dilibatkan dan dibayar untuk tidak berbuat apa-apa atau dibayar agar tidak menimbulkan kekacauan.

Hal yang paling penting dari hasil penelitian ini adalah bahwa fenomena tentang gengster politik akan terus berlangsung dalam proses demokrasi di tingkat lokal. Karena gengster politik ini akan bertahan dalam suasana politik yang oligarkis dan proses demokrasi yang berpola transplecement. Di samping itu, tidak adanya ketentuan yang dapat membatasi partisipasi kelompok-kelompok yang dapat tidak demokratis termasuk prilaku elit partai politik dan kelompok kepentingan.


(4)

v

KATA PENGANTAR

Tesis ini berujudul ”Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan”. Tesis ini menjelaskan tentang adanya keterlibatan organisasi pemuda yaitu Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, dan FKPPI pada saat pilkada langsung dilakukan di Kota Medan pada tahun 2005. Keterlibatan organisasi pemuda ini secara politik sering dilihat sebagai gengster politik karena tidak jarang mereka melakukan tindakan kekerasan seperti menyakiti, melukai, dan bahkan membunuh karena kepentingan uang, otot, dan kekuasaan. Dalam tesis ini diuraikan bahwa kegiatan pengerahan massa dan penggunaan kekerasan sangat sering diandalkan dari organisasi ini ketika calon walikota atau tim sukses memerlukan tindakan itu sebagai bagian dari skenario politik yang dirancang. Kegiatan itu juga menyebabkan bahwa hanya calon walikota yang memiliki dana yang tidak sedikit akan didukung oleh organisasi pemuda ini. Kekuatan uang untuk menggerakkan anggota organisasi merupakan keniscayaan yang harus dilakukan mengingat alasan dasar dari organisasi pemuda ini dalam politik hanya karena ingin mendapatkan proteksi dari aktivitas usaha yang mereka lakukan. Usaha-usaha itu bukan saja dilakukan untuk mendapatkan kontrak atau proyek yang berasal dari pemerintah namun berkaitan dengan penguasaan satu wilayah atau daerah untuk kepentingan ekonomi.

Alhamdulillah, atas syukur kepada Allah SWT, penulis diberikan rahmat berupa kesempatan dan kesehatan untuk menyelesaikan studi ini berupa penulisan tesis dari hasil penelitian yang dikerjakan, dari proses awal, tidak kurang dari delapan bulan. Selawat dan salam penulis juga sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, semoga para pengikutnya sampai akhir zaman mendapatkan manfaat.

Penyelesaian penulisan Tesis ini tentunya karena adanya dukungan dan bimbingan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pertama-tama penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Isbodroini, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan pemikiran yang sangat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Maswadi Rauf, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Politik dan dosen pengasuh dan penilai dari mata kuliah LPIP yang membantu penulis untuk meyakinkan agar draf penelitian ini dilanjutkan menjadi penulisan tesis. Terima kasih penulis sampaikan kepada Drs. Julian A. Pasha, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana FISIP UI dan Dra. Nurul Nurhandjati, M.Si selaku Sekretaris Program Studi yang telah membantu penulis untuk masalah perkuliahan dan berikut proses administrasinya. Kepada mas Dr. Lili Romli, M,Si penulis juga mengucapkan terima kasih atas diskusi dan masukannya selama penulis melakukan proses penyelesaian laporan ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf sekretariat Program Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana FISIP UI diantaranya Mas Deni, Mbak Retno, Mbak Hera, Mbak Romlah, Mas Anto, Mas Biwoso, Mas Diro, dan Mas Jenar yang telah membantu selama masa perkuliahan.

Kepada para informan dalam penelitian ini penulis ucapkan terima kasih atas waktu dan informasi yang diberikan. Teman-teman se-angkatan Taufan, Dani, Saiful, Dora, Rama, Novrizal, Sayed, Amsar, Marbawi, Syam, Taufik, Samuel dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu dihaturkan ucapkan terima kasih atas diskusi dan masukannya. Kepada semua pihak yang belum penulis sebutkan satu per satu, untuk itu dimohon maafkan. Akhirnya, penulis berdoa dan berharap semoga Allah SWT. membalas amal kebaikan kepada semua pihak yang telah turut andil dalam menyelesaikan laporan ini.


(5)

vi

Kepada teman-teman di FISIP USU penulis juga mengucapkan terima kasih atas dorongannya untuk menyelesaikan studi ini. Arifin, Thamrin, Mas Dho, Warjio, Ibnu dan lainnya yang senantiasa memberikan motivasi itu.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan bantuannya, Drs. Subhilhar, Ph.D (Pembantu Rektor II USU) Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA (Dekan FISIP USU), Drs. Agus Suriadi, M.Si (SPS MSP USU), Drs. Humaizi, MA (PD I), Drs. Mukti Sitompul, M.Si (PD II), dan Drs. Burhan Harahap (PD III). Serta beberapa abang, rekan dan teman sesama dosen di FISIP USU. Kepada Kakanda Nuzirwan B. Lubis (Ketua IKA FISIP USU) penulis juga mengucapkan terima kasih atas motivasi dan bantuan yang diberikan.

Ucapan terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada kedua orang tuaku, Abah (H. Muin Sudarmo) dan Mama (Hj. Ruyanti) yang tak henti-hentinya, siang dan malam, mendoakan penulis agar dapat mencapai cita-cita. Dengan rendah hati penulis berikan karya ini untuk kedua orang tuaku tercinta, semoga ini menjadi amal ibadah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua mertuaku, Ir. H. Sudiono dan Elvi Koto atas dorongan yang selama ini diberikan. Kepada adik-adikku penulis juga sampaikan terima kasih Adek, Omi, Omo, Aci, Diah, dan Marin. Kepada mereka semua, penulis berdoa semoga mendapat limpahan rahmat dan hidayah dari Allah SWT.

Ucapan khusus penulis berikan kepada istri tercinta, Novi Susanti, yang selama ini mendampingi penulis dalam suka dan duka, yang selalu mendoakan agar penulis meraih cita-cita, yang mengorbankan segalanya buat penulis, selalu memberikan spirit dan kecintaannya yang tulus, memberikan kesejukan dan keindahan dalam mengarungi bahtera kehidupan bersama anak-anak tercinta. Kepada anak-anakku ayah sampaikan permohonan maaf karena selama ini kurang memberikan perhatian yang lebih Fatah Rizkin dan Tuhva Norif, serta sang fajar yang sedang dinanti. Ayah berdoa semoga, sesuai dengan nama yang ayah berikan, kalian menjadi anak-anak yang pintar dan soleha serta dapat mewujudkan cita-cita kalian.

Kepada semua pihak yang penulis belum sebutkan satu persatu (penulis mohon maaf) yang telah memberikan dorongan, masukan, kritik, perhatian dan doanya selama ini, penulis mengucapkan terima kasih. Akhirnya, penulis berdoa dan berharap semoga Allah SWT membalas amal kebaikan kepada semua pihak yang telah turut andil dalam menyelesaikan studi ini. Amin.

Jakarta, Maret 2008 Penulis,


(6)

vii

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ...………... i

PERNYATAAN ORISINALITAS ...………... ii

ABSTRAK ...……….…………... iii

KATA PENGANTAR ...………... v

DAFTAR ISI ...………. vii

DAFTAR TABEL ...……….... ix

PETA KOTA MEDAN ...………. x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7 1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Kerangka Teori ... 13

1.4.1. Politik Lokal dan Sumber-Sumber Kekuasaan ... 13

1.4.2. Oganisasi Pemuda/Preman dalam Politik ... 23

1.4.3. Partai Politik dan Kelompok Kepentingan dalam Pilkada Langsung di Indonesia ... 28

1.4.4. Kelompok Elit Lokal dalam Politik ... 32

1.4.5. Demokratisasi ... 34

1.5. Skema Analisis ... 37

1.6. Keterbatasan Penelitian ... 38

1.7. Metode Penelitian ... 38

Tipe Penelitian ... 38

Teknik Pengumpulan Data & Nara Sumber ... 39

Teknik Analisa Data ... 40

1.8. Sistematika Penulisan ... 41

BAB II AKTIVITAS SOSIAL DAN POLITIK ORGANISASI PEMUDA DAN PREMAN DI KOTA MEDAN 2.1. Dinamika Sosial, Kultural dan Politik Kota Medan ... 43


(7)

viii

2.2. ”Ini Medan, Bung!” Semboyan untuk Preman Medan ... 53

2.3. Memahami Preman dan Politik di Kota Medan ... 55

2.4. Penguasaan Politik Lokal ... 67

BAB III POSISI POLITIK PEMUDA PANCASILA, IKATAN PEMUDA KARYA, DAN FKPPI DALAM PILKADA LANGSUNG KOTA MEDAN TAHUN 2005 3.1. Pelaksanaan Pilkada Langsung Kota Medan Tahun 2005 ... 73

3.2. Dukungan Politik PP, IPK, dan FKPPI dalam Pilkada Langsung Kota Medan Tahun 2005 ... 77

3.2.1. Dukungan Politik Pemuda Pancasila ... 77

3.2.2. Dukungan Politik Ikatan Pemuda Karya ... 81

3.2.3. Dukungan Politik FKPPI ... 84

3.3. PP, IPK, FKPPI dan Tim Sukses Walikota Medan Tahun 2005 ... 87

3.4. Lobi dan Akses Jaringan ... 89

3.5. Analisis Dukungan, Kedudukan Tim Sukses, serta Lobi dan Jaringan PP, IPK, dan FKPPI ... 91

BAB IV POLA MOBILISASI PEMUDA PANCASILA, IPK, DAN FKPPI DALAM PILKADA LANGSUNG TAHUN 2005 KOTA MEDAN 4.1. Indikasi Kekuatan Uang ... 97

4.2. Pengerahan Massa dan Penggunaan Kekerasan ... 100

4.3. Penguasaan Opini Media ... 103

4.4. Analisis Pola Mobilisasi dan Karakteristik Organisasi Preman ... 105

4.5. Kekuasaan Lokal dan Kepentingan Lokal ... 112

BAB V KESIMPULAN ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 126


(8)

ix

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 1.1 Tipe-Tipe Sumber Kekuasaan ... 16

Tabel 1.2 Perbandingan Kerangka Teori Migdal dan Sidel tentang

Kemunculan Local Strongmen dan Bossism ... 18 Tabel 1.3 Kekuasaan Paksaan dan Konsensual ... 21 Tabel 2.1 Komposisi Etnis Kota Medan tahun 2005 ... 50 Tabel 2.2 Data OKP, Partai Politik,dan Ormas

di Kota Medan tahun 2008 ... 52 Tabel 2.3 Beberapa Pengurus Organisasi Pemuda yang

Menjadi Pengurus Partai Politik di Kota Medan ... 70 Tabel 2.4 Beberapa Anggota Organisasi Pemuda yang

Menjadi Anggota DPRD Kota Medan ... 71 Tabel 3.1 Perbedaan Tugas Organisasi Tim Sukses Abdillah


(9)

x


(10)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya sendiri dan seluruh sumber yang

dikutip maupun dirujuk di dalam karya ini telah saya nyatakan

dengan benar atas kaidah-kaidah akademis.

Jakarta, Maret 2007

Penulis,

Muryanto Amin

NPM. 0606017132


(11)

ABSTRAK

Judul : Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan.

Halaman : vi + 125 halaman + lampiran

Daftar Pustaka : 49 buku; 7 jurnal dan hasil penelitian; 12 dokumen resmi, surat kabar, dan majalah

Penelitian ini mencoba menguraikan fakta-fakta tentang keterlibatan organisasi pemuda (Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, dan FKPPI) di Kota Medan dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di Kota Medan. Di masyarakat Medan ketiga organisasi pemuda itu sering melakukan aktivitas premanisme seperti kekerasan, menyakiti dan bahkan membunuh untuk kepentingan uang dan kekuasaan. Mereka terlibat dalam politik dengan tujuan mendapatkan proteksi dari kegiatan dan usaha yang dilakukan. Karena itu, penelitian ini menjelaskan argumentasi yang mendasari keterlibatan organisasi pemuda/ preman dalam Pilkada Langsung tahun 2004 Kota Medan. Ada enam indikator yang diteliti yaitu mengenai bentuk dukungan yang diberikan, kedudukannya di tim sukses, lobi yang dilakukan baik secara internal maupun eksternal, menggunakan kekuatan uang, melakukan mobilisasi massa dan kekerasan, serta melakukan kontrol terhadap media. Dengan melihat perbandingan ketiga organisasi pemuda itu, maka penelitian ini menjawab indikator mana yang paling sering dilakukan oleh ketiga organisasi pemuda itu? Siapa tokoh dan organisasi mana yang berpengaruh dalam pilkada langsung tahun 2005 di Kota Medan? dan mengapa organisasi pemuda itu terlibat dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di Kota Medan?

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori sumber-sumber kekuasaan dan cara-cara penggunaannya dari Charles F. Andrain, Joel S. Migdal, John T. Sidel, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramsci. Untuk melihat secara lebih jelas tentang karakteristik organisasi preman digunakan teori yang dikemukakan oleh Howard Abadinsky dan beberapa hasil penelitian dari Lyron Ryter dan Vedi R. Hadiz tentang fenomena gengster politik di Indonesia. Teori demokratisasi digunakan untuk melihat situasi politik di tingkat nasional dan lokal yang berubah di Indonesia serta pentingnya kelompok kepentingan dan partai politik dalam pilkada langsung. Selain itu teori elit yang dikemukakan Mosca dan Bottomore digunakan untuk melihat peran elit dalam proses perubahan politik, ekonomi, yang terjadi. Dengan menggunakan desain studi kasus dan metode wawancara sebagai teknik utama pengumpulan data, penelitian ini mengandalkan hasil analisis dari data wawancara yang diperoleh dan relevansinya dengan teori yang digunakan.

Beberapa pimpinan Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI di Medan menduduki posisi politik penting seperti partai politik dan legislatif. Karena itu, mereka memiliki kepentingan politik terhadap walikota Medan dengan cara dan strategi yang berbeda-beda satu sama lain. Dari keenam indikator yang diteliti, didapat bahwa kegiatan yang sering dilakukan oleh organisasi pemuda/preman ini adalah pengerahan massa dan penggunaan kekerasan serta penggunaan kekuatan uang. Terlihat pengaruh IPK lebih besar ketimbang Pemuda Pancasila dan FKPPI. Untuk melaksanakan keputusan penting yang telah diambil, harus dikoordinasikan kepada IPK ketimbang PP dan FKPPI. Olo the godfather, memberikan apresiasi yang sangat baik kepada Abdillah. Pola mobilisasi dukungan yang diberikan oleh Pemuda Pancasila, IPK, dan beberapa pimpinan FKPPI kepada calon walikota dilakukan karena adanya hubungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme. Dalam kasus pilkada Kota Medan, kekuasaan dan kepentingan lokal dari politik desentralisasi itu lebih banyak dilakukan oleh logika politik uang dan kekerasan.


(12)

Pemberian dukungan itu relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Charles F. Andrain, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramsci tentang sumber-sumber kekuasaan dan cara penggunaannya seperti kekerasan, menyakiti dan bahkan membunuh kepada pihak-pihak yang pesaing. Penelitian ini memiliki relevansi dengan perdebatan yang tengah berlangsung tentang arah dan karakter dari demokrasi lokal di Indonesia. Seperti model yang dikemukakan oleh O’Donnel, Schimtter dan Huntington. Namun, harus dicatat bahwa pola-pola demokratisasi lokal di Indonesia terkait dengan diskusi lainnya yang lebih umum dan yang lebih teoritis mengenai pemerintahan dan perubahan kelembagaan.

Sebagai organisasi yang melakukan praktek premanisme dan kejahatan, Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI tidak begitu ”pas” dikelompokkan sebagai organized crime. Keterlibatannya dalam politik lebih disebabkan kepentingan untuk memperoleh perlindungan dari semua aktivitas organisasi yang mereka lakukan. Organisasi pemuda ini tidak memiliki anggota yang bersifat eksklusif dan abadi. Fenomena tentang gengster politik seperti yang dikemukakan oleh Lyron Ryter dan Vedi R. Hadiz lebih tepat untuk menguraikan keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada langsung Kota Medan tahun 2005. Namun yang berbeda adalah bahwa kemenangan dalam kompetisi pilkada langsung juga ditentukan oleh figur yang populer, bukan hanya karena adanya dukungan organisasi pemuda yang melakukan praktek premanisme. Justru keterlibatan mereka pada masyarakat pemilih harus diminimalisasi. Kekuatan otot dan uang hanya digunakan sebagai tindakan politik untuk menenangkan sebagian kalangan elit lokal. Artinya, Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI hanya dilibatkan dan dibayar untuk tidak berbuat apa-apa atau dibayar agar tidak menimbulkan kekacauan.

Hal yang paling penting dari hasil penelitian ini adalah bahwa fenomena tentang gengster politik akan terus berlangsung dalam proses demokrasi di tingkat lokal. Karena gengster politik ini akan bertahan dalam suasana politik yang oligarkis dan proses demokrasi yang berpola transplecement. Di samping itu, tidak adanya ketentuan yang dapat membatasi partisipasi kelompok-kelompok yang dapat tidak demokratis termasuk prilaku elit partai politik dan kelompok kepentingan.


(13)

KATA PENGANTAR

Tesis ini berujudul ”Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan”. Tesis ini menjelaskan tentang adanya keterlibatan organisasi pemuda yaitu Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, dan FKPPI pada saat pilkada langsung dilakukan di Kota Medan pada tahun 2005. Keterlibatan organisasi pemuda ini secara politik sering dilihat sebagai gengster politik karena tidak jarang mereka melakukan tindakan kekerasan seperti menyakiti, melukai, dan bahkan membunuh karena kepentingan uang, otot, dan kekuasaan. Dalam tesis ini diuraikan bahwa kegiatan pengerahan massa dan penggunaan kekerasan sangat sering diandalkan dari organisasi ini ketika calon walikota atau tim sukses memerlukan tindakan itu sebagai bagian dari skenario politik yang dirancang. Kegiatan itu juga menyebabkan bahwa hanya calon walikota yang memiliki dana yang tidak sedikit akan didukung oleh organisasi pemuda ini. Kekuatan uang untuk menggerakkan anggota organisasi merupakan keniscayaan yang harus dilakukan mengingat alasan dasar dari organisasi pemuda ini dalam politik hanya karena ingin mendapatkan proteksi dari aktivitas usaha yang mereka lakukan. Usaha-usaha itu bukan saja dilakukan untuk mendapatkan kontrak atau proyek yang berasal dari pemerintah namun berkaitan dengan penguasaan satu wilayah atau daerah untuk kepentingan ekonomi.

Alhamdulillah, atas syukur kepada Allah SWT, penulis diberikan rahmat berupa kesempatan dan kesehatan untuk menyelesaikan studi ini berupa penulisan tesis dari hasil penelitian yang dikerjakan, dari proses awal, tidak kurang dari delapan bulan. Selawat dan salam penulis juga sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, semoga para pengikutnya sampai akhir zaman mendapatkan manfaat.

Penyelesaian penulisan Tesis ini tentunya karena adanya dukungan dan bimbingan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pertama-tama penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Isbodroini, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan pemikiran yang sangat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Maswadi Rauf, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Politik dan dosen pengasuh dan penilai dari mata kuliah LPIP yang membantu penulis untuk meyakinkan agar draf penelitian ini dilanjutkan menjadi penulisan tesis. Terima kasih penulis sampaikan kepada Drs. Julian A. Pasha, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana FISIP UI dan Dra. Nurul Nurhandjati, M.Si selaku Sekretaris Program Studi yang telah membantu penulis untuk masalah perkuliahan dan berikut proses administrasinya. Kepada mas Dr. Lili Romli, M,Si penulis juga mengucapkan terima kasih atas diskusi dan masukannya selama penulis melakukan proses penyelesaian laporan ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf sekretariat Program Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana FISIP UI diantaranya Mas Deni, Mbak Retno, Mbak Hera, Mbak Romlah, Mas Anto, Mas Biwoso, Mas Diro, dan Mas Jenar yang telah membantu selama masa perkuliahan.

Kepada para informan dalam penelitian ini penulis ucapkan terima kasih atas waktu dan informasi yang diberikan. Teman-teman se-angkatan Taufan, Dani, Saiful, Dora, Rama, Novrizal, Sayed, Amsar, Marbawi, Syam, Taufik, Samuel dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu dihaturkan ucapkan terima kasih atas diskusi dan masukannya. Kepada semua pihak yang belum penulis sebutkan satu per satu, untuk itu dimohon maafkan. Akhirnya, penulis berdoa dan berharap semoga Allah SWT. membalas amal kebaikan kepada semua pihak yang telah turut andil dalam menyelesaikan laporan ini.


(14)

Kepada teman-teman di FISIP USU penulis juga mengucapkan terima kasih atas dorongannya untuk menyelesaikan studi ini. Arifin, Thamrin, Mas Dho, Warjio, Ibnu dan lainnya yang senantiasa memberikan motivasi itu.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan bantuannya, Drs. Subhilhar, Ph.D (Pembantu Rektor II USU) Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA (Dekan FISIP USU), Drs. Agus Suriadi, M.Si (SPS MSP USU), Drs. Humaizi, MA (PD I), Drs. Mukti Sitompul, M.Si (PD II), dan Drs. Burhan Harahap (PD III). Serta beberapa abang, rekan dan teman sesama dosen di FISIP USU. Kepada Kakanda Nuzirwan B. Lubis (Ketua IKA FISIP USU) penulis juga mengucapkan terima kasih atas motivasi dan bantuan yang diberikan.

Ucapan terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada kedua orang tuaku, Abah (H. Muin Sudarmo) dan Mama (Hj. Ruyanti) yang tak henti-hentinya, siang dan malam, mendoakan penulis agar dapat mencapai cita-cita. Dengan rendah hati penulis berikan karya ini untuk kedua orang tuaku tercinta, semoga ini menjadi amal ibadah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua mertuaku, Ir. H. Sudiono dan Elvi Koto atas dorongan yang selama ini diberikan. Kepada adik-adikku penulis juga sampaikan terima kasih Adek, Omi, Omo, Aci, Diah, dan Marin. Kepada mereka semua, penulis berdoa semoga mendapat limpahan rahmat dan hidayah dari Allah SWT.

Ucapan khusus penulis berikan kepada istri tercinta, Novi Susanti, yang selama ini mendampingi penulis dalam suka dan duka, yang selalu mendoakan agar penulis meraih cita-cita, yang mengorbankan segalanya buat penulis, selalu memberikan spirit dan kecintaannya yang tulus, memberikan kesejukan dan keindahan dalam mengarungi bahtera kehidupan bersama anak-anak tercinta. Kepada anak-anakku ayah sampaikan permohonan maaf karena selama ini kurang memberikan perhatian yang lebih Fatah Rizkin dan Tuhva Norif, serta sang fajar yang sedang dinanti. Ayah berdoa semoga, sesuai dengan nama yang ayah berikan, kalian menjadi anak-anak yang pintar dan soleha serta dapat mewujudkan cita-cita kalian.

Kepada semua pihak yang penulis belum sebutkan satu persatu (penulis mohon maaf) yang telah memberikan dorongan, masukan, kritik, perhatian dan doanya selama ini, penulis mengucapkan terima kasih. Akhirnya, penulis berdoa dan berharap semoga Allah SWT membalas amal kebaikan kepada semua pihak yang telah turut andil dalam menyelesaikan studi ini. Amin.

Jakarta, Maret 2008 Penulis,


(15)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ...………... i

PERNYATAAN ORISINALITAS ...………... ii

ABSTRAK ...……….…………... iii

KATA PENGANTAR ...………... v

DAFTAR ISI ...………. v

DAFTAR TABEL ...……….... vii

PETA KOTA MEDAN ...………. viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7 1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Kerangka Teori ... 13

1.4.1. Politik Lokal dan Sumber-Sumber Kekuasaan ... 13

1.4.2. Oganisasi Pemuda/Preman dalam Politik ... 23

1.4.3. Partai Politik dan Kelompok Kepentingan dalam Pilkada Langsung di Indonesia ... 28

1.4.4. Kelompok Elit Lokal dalam Politik ... 32

1.4.5. Demokratisasi ... 34

1.5. Skema Analisis ... 37

1.6. Keterbatasan Penelitian ... 38

1.7. Metode Penelitian ... 38

Tipe Penelitian ... 38

Teknik Pengumpulan Data & Nara Sumber ... 39

Teknik Analisa Data ... 40

1.8. Sistematika Penulisan ... 41

BAB II AKTIVITAS SOSIAL DAN POLITIK ORGANISASI PEMUDA DAN PREMAN DI KOTA MEDAN 2.1. Dinamika Sosial, Kultural dan Politik Kota Medan ... 43


(16)

2.2. ”Ini Medan, Bung!” Semboyan untuk Preman Medan ... 53

2.3. Memahami Preman dan Politik di Kota Medan ... 55

2.4. Penguasaan Politik Lokal ... 67

BAB III POSISI POLITIK PEMUDA PANCASILA, IKATAN PEMUDA KARYA, DAN FKPPI DALAM PILKADA LANGSUNG KOTA MEDAN TAHUN 2005 3.1. Pelaksanaan Pilkada Langsung Kota Medan Tahun 2005 ... 73

3.2. Dukungan Politik PP, IPK, dan FKPPI dalam Pilkada Langsung Kota Medan Tahun 2005 ... 77

3.2.1. Dukungan Politik Pemuda Pancasila ... 77

3.2.2. Dukungan Politik Ikatan Pemuda Karya ... 81

3.2.3. Dukungan Politik FKPPI ... 84

3.3. PP, IPK, FKPPI dan Tim Sukses Walikota Medan Tahun 2005 ... 87

3.4. Lobi dan Akses Jaringan ... 89

3.5. Analisis Dukungan, Kedudukan Tim Sukses, serta Lobi dan Jaringan PP, IPK, dan FKPPI ... 91

BAB IV POLA MOBILISASI PEMUDA PANCASILA, IPK, DAN FKPPI DALAM PILKADA LANGSUNG TAHUN 2005 KOTA MEDAN 4.1. Indikasi Kekuatan Uang ... 97

4.2. Pengerahan Massa dan Penggunaan Kekerasan ... 100

4.3. Penguasaan Opini Media ... 103

4.4. Analisis Pola Mobilisasi dan Karakteristik Organisasi Preman ... 105

4.5. Kekuasaan Lokal dan Kepentingan Lokal ... 112

BAB V KESIMPULAN ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 126


(17)

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 1.1 Tipe-Tipe Sumber Kekuasaan ... 16

Tabel 1.2 Perbandingan Kerangka Teori Migdal dan Sidel tentang

Kemunculan Local Strongmen dan Bossism ... 18 Tabel 1.3 Kekuasaan Paksaan dan Konsensual ... 21 Tabel 2.1 Komposisi Etnis Kota Medan tahun 2005 ... 50 Tabel 2.2 Data OKP, Partai Politik,dan Ormas

di Kota Medan tahun 2008 ... 52 Tabel 2.3 Beberapa Pengurus Organisasi Pemuda yang

Menjadi Pengurus Partai Politik di Kota Medan ... 70 Tabel 2.4 Beberapa Anggota Organisasi Pemuda yang

Menjadi Anggota DPRD Kota Medan ... 71 Tabel 3.1 Perbedaan Tugas Organisasi Tim Sukses Abdillah


(18)

(19)

ABSTRAK

Judul : Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan.

Halaman : vi + 125 halaman + lampiran

Daftar Pustaka : 49 buku; 7 jurnal dan hasil penelitian; 12 dokumen resmi, surat kabar, dan majalah

Penelitian ini mencoba menguraikan fakta-fakta tentang keterlibatan organisasi pemuda (Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, dan FKPPI) di Kota Medan dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di Kota Medan. Di masyarakat Medan ketiga organisasi pemuda itu sering melakukan aktivitas premanisme seperti kekerasan, menyakiti dan bahkan membunuh untuk kepentingan uang dan kekuasaan. Mereka terlibat dalam politik dengan tujuan mendapatkan proteksi dari kegiatan dan usaha yang dilakukan. Karena itu, penelitian ini menjelaskan argumentasi yang mendasari keterlibatan organisasi pemuda/ preman dalam Pilkada Langsung tahun 2004 Kota Medan. Ada enam indikator yang diteliti yaitu mengenai bentuk dukungan yang diberikan, kedudukannya di tim sukses, lobi yang dilakukan baik secara internal maupun eksternal, menggunakan kekuatan uang, melakukan mobilisasi massa dan kekerasan, serta melakukan kontrol terhadap media. Dengan melihat perbandingan ketiga organisasi pemuda itu, maka penelitian ini menjawab indikator mana yang paling sering dilakukan oleh ketiga organisasi pemuda itu? Siapa tokoh dan organisasi mana yang berpengaruh dalam pilkada langsung tahun 2005 di Kota Medan? dan mengapa organisasi pemuda itu terlibat dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di Kota Medan?

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori sumber-sumber kekuasaan dan cara-cara penggunaannya dari Charles F. Andrain, Joel S. Migdal, John T. Sidel, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramsci. Untuk melihat secara lebih jelas tentang karakteristik organisasi preman digunakan teori yang dikemukakan oleh Howard Abadinsky dan beberapa hasil penelitian dari Lyron Ryter dan Vedi R. Hadiz tentang fenomena gengster politik di Indonesia. Teori demokratisasi digunakan untuk melihat situasi politik di tingkat nasional dan lokal yang berubah di Indonesia serta pentingnya kelompok kepentingan dan partai politik dalam pilkada langsung. Selain itu teori elit yang dikemukakan Mosca dan Bottomore digunakan untuk melihat peran elit dalam proses perubahan politik, ekonomi, yang terjadi. Dengan menggunakan desain studi kasus dan metode wawancara sebagai teknik utama pengumpulan data, penelitian ini mengandalkan hasil analisis dari data wawancara yang diperoleh dan relevansinya dengan teori yang digunakan.

Beberapa pimpinan Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI di Medan menduduki posisi politik penting seperti partai politik dan legislatif. Karena itu, mereka memiliki kepentingan politik terhadap walikota Medan dengan cara dan strategi yang berbeda-beda satu sama lain. Dari keenam indikator yang diteliti, didapat bahwa kegiatan yang sering dilakukan oleh organisasi pemuda/preman ini adalah pengerahan massa dan penggunaan kekerasan serta penggunaan kekuatan uang. Terlihat pengaruh IPK lebih besar ketimbang Pemuda Pancasila dan FKPPI. Untuk melaksanakan keputusan penting yang telah diambil, harus dikoordinasikan kepada IPK ketimbang PP dan FKPPI. Olo the godfather, memberikan apresiasi yang sangat baik kepada Abdillah. Pola mobilisasi dukungan yang diberikan oleh Pemuda Pancasila, IPK, dan beberapa pimpinan FKPPI kepada calon walikota dilakukan karena adanya hubungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme. Dalam kasus pilkada Kota Medan, kekuasaan dan kepentingan lokal dari politik desentralisasi itu lebih banyak dilakukan oleh logika politik uang dan kekerasan.


(20)

Pemberian dukungan itu relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Charles F. Andrain, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramsci tentang sumber-sumber kekuasaan dan cara penggunaannya seperti kekerasan, menyakiti dan bahkan membunuh kepada pihak-pihak yang pesaing. Penelitian ini memiliki relevansi dengan perdebatan yang tengah berlangsung tentang arah dan karakter dari demokrasi lokal di Indonesia. Seperti model yang dikemukakan oleh O’Donnel, Schimtter dan Huntington. Namun, harus dicatat bahwa pola-pola demokratisasi lokal di Indonesia terkait dengan diskusi lainnya yang lebih umum dan yang lebih teoritis mengenai pemerintahan dan perubahan kelembagaan.

Sebagai organisasi yang melakukan praktek premanisme dan kejahatan, Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI tidak begitu ”pas” dikelompokkan sebagai organized crime. Keterlibatannya dalam politik lebih disebabkan kepentingan untuk memperoleh perlindungan dari semua aktivitas organisasi yang mereka lakukan. Organisasi pemuda ini tidak memiliki anggota yang bersifat eksklusif dan abadi. Fenomena tentang gengster politik seperti yang dikemukakan oleh Lyron Ryter dan Vedi R. Hadiz lebih tepat untuk menguraikan keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada langsung Kota Medan tahun 2005. Namun yang berbeda adalah bahwa kemenangan dalam kompetisi pilkada langsung juga ditentukan oleh figur yang populer, bukan hanya karena adanya dukungan organisasi pemuda yang melakukan praktek premanisme. Justru keterlibatan mereka pada masyarakat pemilih harus diminimalisasi. Kekuatan otot dan uang hanya digunakan sebagai tindakan politik untuk menenangkan sebagian kalangan elit lokal. Artinya, Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI hanya dilibatkan dan dibayar untuk tidak berbuat apa-apa atau dibayar agar tidak menimbulkan kekacauan.

Hal yang paling penting dari hasil penelitian ini adalah bahwa fenomena tentang gengster politik akan terus berlangsung dalam proses demokrasi di tingkat lokal. Karena gengster politik ini akan bertahan dalam suasana politik yang oligarkis dan proses demokrasi yang berpola transplecement. Di samping itu, tidak adanya ketentuan yang dapat membatasi partisipasi kelompok-kelompok yang dapat tidak demokratis termasuk prilaku elit partai politik dan kelompok kepentingan.


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Amandemen konstitusi yang terjadi, setelah jatuhnya Orde Baru, merupakan salah satu wujud dari gerakan reformasi. Langkah tersebut dianggap juga sebagai tindakan nyata reformasi kelembagaan yang dibutuhkan dalam praktek konsolidasi demokrasi setelah mengalami fase pemerintahan otoriter Orde Baru. Sejak itu, bangsa Indonesia memasuki fase kehidupan politik yang lebih terbuka dan demokratis dan ditandai dengan pulihnya hak-hak sipil dan politik. Perubahan mendasar yang terjadi dalam amandemen UUD 1945 diantaranya adalah rekrutmen pejabat negara, baik yang duduk di legislatif maupun eksekutif, pusat maupun daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.

Pemilihan umum diakui sebagai sebuah arena untuk membentuk pemerintahan demokrasi perwakilan serta menggelar pergantian pemerintahan secara berkala dan damai. Dalam sistem politik demokrasi, salah satu unsur pentingnya adalah penyelenggaraan pemilihan umum anggota legislatif dan kepala eksekutif di tingkat nasional dan lokal harus dilakukan secara bebas dan adil. Pemilihan umum juga merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi atau kontestasi antaraktor politik untuk meraih kekuasaan, partisipasi politik rakyat untuk menentukan liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara1.

Urgensi pemilu dalam sistem politik demokrasi, setidaknya dilandasi atas empat argumentasi. Pertama, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada penyelenggara negara, baik yang duduk dalam lembaga legislatif maupun eksekutif di pusat dan daerah. Mereka ini bertindak atas nama rakyat dan mempertanggung-jawabkannya kepada rakyat. Kedua, pemilihan umum merupaka prosedur dan

1

Pengertian ini dapat dilihat secara lebih detail dalam Robert A. Dahl. 1985. Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol. Jakarta: Rajawali Press. hal.8-10. Lihat juga dalam Larry Diamond. 2003. Developing Democracy Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE. hal 4-7.


(22)

mekanisme pemindahan perbedaan aspirasi dan pertentangan kepentingan dari masyarakat ke dalam penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah, untuk kemudian dibicarakan dan diputuskan secara beradab. Ketiga, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme perubahan politik secara teratur dan tertib, dilakukan secara periodik baik perubahan sirkulasi elit politik maupun perubahan arah dan pola kebijakan publik. Keempat, pemilihan umum juga dapat digunakan sebagai prosedur dan mekanisme engineering untuk mewujudkan tatanan politik dan pola prilaku politik yang disepakati.2

Karena itu, pentingnya melihat pemilu sebagai bentuk perubahan kelembagaan politik yang diatur dalam UUD 1945, dan diberlakukan baik pada tingkat nasional maupun lokal. Untuk perubahan pengaturan institusi politik di tingkat lokal dilakukan sebagai bentuk akomodasi tuntutan lokal agar dapat menjamin pelaksanaan otonomi yang lebih luas dalam manajemen sumber-sumber daya lokal serta mengalokasikan pelaksanaan kekuasaan ekonomi dan politik. Di dalam Pasal 18 UUD 1945 diatur tentang kewenangan daerah propinsi dan kabupaten/kota dalam mengatur dan mengurus kepentingan sendiri (otonomi daerah) bukan karena pemberian pemerintah pusat ataupun pendelegasian kewenangan pemerintahan dari presiden, melainkan merupakan pengakuan negara. Berbagai urusan pemerintahan telah didesentralisasikan ke daerah-daerah diantaranya adalah pemilihan kepala daerah-daerah hukum di provinsi dan kabupaten/kota secara langsung.

Dengan disahkannya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka sejak Juni 2005 pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat. Ini melengkapi pengalaman pemilu legislatif dan presiden yang berlangsung tahun 2004 dengan UU No. 12/2003 dan UU No. 23/2003. Sejalan dengan semangat konstitusi yang menegaskan penggunaan sistem presidensil, di tingkat nasional presiden dipilih langsung, maka di daerah pun (sebagai sub sistem) dalam memilih gubernur/bupati/walikota juga mengikuti pola tersebut, dipilih langsung oleh rakyat. Politik desentralisasi yang didesain tersebut menegaskan tentang perubahan yang signifikan terhadap peran rakyat dalam rekrutmen pejabat publik maupun dalam kebijakan publik. Karena kebijakan

2 Ramlan Surbakti. 2003. “Demokrasi Menurut Pendekatan Kelembagaan Baru”. Jurnal Ilmu


(23)

desentralisasi sebelumnya di bawah UU No. 29/1999 menentukan kepala daerah yang dipilih sepenuhnya oleh DPRD, bukan oleh rakyat secara langsung. Situasi politik pada saat itu memunculkan kekecewaan beberapa elemen masyarakat karena tidak berjalannya fungsi DPRD sebagai wakil rakyat. Diantara fungsi yang tidak berjalan adalah menyerap aspirasi rakyat untuk menentukan siapa yang bakal menjadi pemimpinnya. Karena itu, proses politik di daerah masih didominasi oleh DPRD. Posisi rakyat masih marjinal, yang ditandai dengan tersumbatnya aspirasi rakyat dalam proses pemilihan kepala daerah. Akibat selanjutnya dari proses pemilihan kepala daerah dalam praktiknya sarat dengan persoalan seperti money politics, konflik antara massa dan aparat, maupun konflik antara pendukung calon kepala daerah.3 Atas dasar itu dan karena adanya perubahan sistem pemilu legislatif dan pemilihan langsung presiden maka diikuti juga dengan pemilihan kepala daerah secara langsung pula. Praktiknya baru terwujud setelah dilakukannya revisi UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.

Ketika awal diberlakukannya pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, antusiasme masyarakat menyongsongnya tampak begitu tinggi. Situasi ini tidak saja karena adanya kesempatan bagi masyarakat untuk memilih dan menentukan secara langsung kepala daerahnya, melainkan juga berkenaan dengan begitu besarnya harapan atau ekspektasi terhadap para kepala daerah hasil pilkada langsung. Akumulasi kekecewaan terhadap praktik pemerintahan lokal selama sekitar lima tahun terakhir tampaknya menjadi faktor penting di balik harapan besar masyarakat tersebut.

Hasil jajak pendapat yang dilakukan Kompas, pada awal-awal diberlakukannya pilkada langsung yakni Februari 2005, terhadap sekitar 1000 responden di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua menunjukkan tingginya harapan masyarakat akan munculnya kepala daerah yang lebih berkualitas dalam pilkada langsung mendatang.4 Tingginya angka harapan itu mencapai 90,9 persen di Kalimantan, 84,1 persen di Sumatera, 82,9 persen di Sulawesi, 71,1 persen di Jawa, dan 64,3 persen di Papua. Namun, dalam waktu

3

Beberapa kasus pemilihan kepala daerah oleh DPRD tahun 2000 lihat “Evaluasi Otonomi Daerah”. dalam Kompas, 30 Desember 2001. hal 6.


(24)

dua bulan ke depan atau April 2005, jajak pendapat yang dilakukan di media yang sama menunjukkan kecenderungan yang menurun bahkan dengan persentase yang cukup drastis. Tingka keyakinan masyarakat terhadap kemampuan kepala daerah hasil pilkada langsung merosot tinggal 49,1 persen. Sebagian masyarakat lainnya, dalam persentasi hampir berimbang (43,4 persen), memberikan penilaian ”tidak yakin” bahwa kepala daerah hasil pilkada mendatang mampu memperbaiki kehidupan demokrasi di daerah.5

Hasil jajak pendapat tersebut mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepala daerah hasil pilkada langsung. Hal ini dimungkinkan karena berkaitan dengan kekecewaan banyak pihak terhadap format pilkada langsung. Terdapat beberapa asumsi yang menyebabkan fenomena politik lokal ini terjadi. Pertama, pemilihan secara langsung ternyata tidak memutus mata rantai oligarki partai yang harus diakui cenderung mewarnai kehidupan partai-partai di DPRD. Kepentingan partai-partai dan bahkan kepentingan segelintir elit partai acapkali dimanipulasi sebagai kepentingan kolektif masyarakat.6 Praktek-praktek seperti ini sebenarnya mengindikasikan adanya kepentingan lama yang cukup terbina pada masa Orde Baru, karena semua keputusan dilakukan oleh elit-elit tertentu yang memiliki kekuasaan politik, perbedaannya hanya pada besaran ruang lingkupnya.

Kedua, pilkada langsung belum juga menurunkan praktik-praktik tentang fenomena korupsi, kolusi, dan politik uang antara para calon, partai politik, dan DPRD di balik proses pemilihan kepala daerah.7 Fenomena ini disinyalir terjadi karena adanya kepentingan tertentu dari kelompok dan pribadi sebagai akibat dari kesepakatan yang dibangun pada saat proses pilkada berlangsung. Ketiga, pilkada langsung memunculkan indikasi kuat munculnya kepentingan-kepentingan lama yang didasarkan atas pertarungan yang tajam, keras, dan

5 Lihat “Kualitas Calon Pemimpin Daerah Diragukan”, dalam Kompas. 9 April 2005. hal. 8. 6 Tentang kecenderungan munculnya oligarki partai dalam kehidupan politik lokal era reformasi, lihat misalnya, Moch. Nurhasim. ed. 2002. Kualitas Keterwakilan Politik: Kasus Sumbar, Jateng, Jatim, dan Sulsel. Jakarta: Pusat Penelitian Politik. LIPI.

7

Dalam catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), DPRD dan Pemda merupakan salah satu aktor utama korupsi di Indonesia, Lihat, “DPRD dan Pemda Aktor Utama Korupsi di Indonesia”, dalam Kompas, 18 Februari 2006.


(25)

berkepanjangan diantara elit-elit lokal yang sejatinya berasal dari kekuatan lama yang dipupuk pada masa Orde Baru.8

Realitas tersebut kemudian menimbulkan persoalan baru bagi demokratisasi yang sedang dibangun di Indonesia terutama di tingkat lokal. Format pilkada langsung yang diharapkan dapat memenuhi tuntutan praktik demokrasi yang lebih substansial sekaligus memastikan bahwa desentralisasi serta otonomi daerah diselenggarakan secara lebih berkualitas masih menjadi pertanyaan besar.

Terdapat implikasi positif dan negatif atau setidaknya terdapat gejala anomali yang terjadi dalam praktek politik lokal di Indonesia. Implikasi positipnya antara lain adalah munculnya partisipasi politik rakyat misalnya kebebasan pada pemilu. Sedangkan, implikasi negatif atau setidaknya anomali yang terjadi dalam penyelenggaraan demokrasi adalah bahwa demokrasi yang dibangun di negeri ini hanya sebatas pada demokrasi formal yang dibangun sejak akhir 1990-an. Namun, pengembangan unsur-unsur demokrasi yang lebih substantif – seperti aturan main, prosedur dan institusi demokratik perlu didukung oleh suatu budaya demokrasi yang sering diperankan oleh kemampuan elit dalam menterjemahkan kebijakan-kebijakan politik – belum berjalan dengan baik. Akibatnya sering terjadi kelumpuhan politik salah satu penyebabnya adalah karena munculnya kepentingan-kepentingan lama yang telah dipupuk di bawah patronase Orde Baru. Gejala negatif atau anomali ini menjadi penting untuk dicermati dalam rangka membangun demokrasi yang lebih substantif.

Kelompok-kelompok yang berada di bawah patronase Orde Baru itu bisa berbentuk institusi atau perorangan yang berfungsi sebagai penjaga kepentingan ekonomi dan politik mereka. Salah satu bentuk institusi tersebut adalah organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila, FKPPI, dan lain sebagainya, sedangkan perorangan adalah pengusaha yang bergantung pada kontrak negara. Ketika terjadi perubahan politik di Indonesia tahun 1997, dengan tingkat adaptasi yang sangat baik mereka masuk ke dalam sistem demokrasi prosedural yang baru itu. Proses adaptasi tersebut terjalin dari tingkat nasional sampai ke

8 Tentang fenomena ini lihat Lihat Vedi R, Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik


(26)

tingkat lokal.9 Meskipun di tingkat lokal terjadi perubahan desain desentralisasi, namun mereka dapat menjadi bagian dari desain tersebut. Perubahan itu juga cenderung mengabaikan secara empiris tentang kepentingan yang melekat dalam lembaga-lembaga politik lokal itu dan pengaruhnya terhadap jalannya pemerintahan lokal. Adanya indikasi mengenai pertarungan yang tajam, keras dan berkepanjangan di antara koalisi-koalisi kepentingan yang lebih luas sehingga dapat menyebabkan proses perubahan desentralisasi memiliki masalah tersendiri dalam mengembangkan demokrasi yang substantif tersebut10. Diantara permasalahan itu adalah adanya kepentingan dari elit lama yang berperan. Desain desentralisasi memiliki banyak hal yang sama dengan teori modernisasi gaya lama, yang sangat mengandalkan inisiatif elit-elit teknokrat-birokrat atau golongan pengusaha dengan versi kontemporer yang berkedok sebagai teori pilihan rasional dan teori modal sosial11. Artinya, bahwa peran elit menjadi penting dalam politik desentralisasi di Indonesia.

Vedi R. Hadiz kemudian menyatakan bahwa politik desentralisasi banyak diperankan oleh mereka yang menduduki lapis bawah dari jaringan patronase Orde Baru yang menggurita itu12. Terutama untuk kepentingan ekonomi seperti penguasaan pekerjaan di daerah yang bersumber dari APBD dan APBN, sedangkan kepentingan politik seperti memenangkan pemilu DPRD dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Masa Orde Baru jaringan ini menyebar dari Istana Cendana hingga ke daerah-daerah, kota-kota dan desa-desa. Kendati sistem sentralisasi ini tidak ada lagi, namun elemen-elemennya telah menata kembali diri mereka di dalam jaringan patronase baru yang bersifat desentralistik, lebih cair dan saling bersatu satu sama lain. Bahkan deretan kepentingan yang sekarang memperebutkan kekuasaan di tingkat lokal tampak

9

Mengenai pandangan ini banyak kajian atau tulisan-tulisan tentang perkembangan politik lokal di Indonesia sejak 1998, terutama kajian mengenai hasil-hasil Pemilu legislatif 2004 dan Pilkada yang dilaksanakan di beberapa tempat kabupaten dan kota di Indonesia. Lihat misalnya Pradjarta Dirdjosanjata dan Nico L Kana. eds. 2006, Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004, Pustaka Pelajar, Yogyakartarta.

10 Dari evaluasi penyelenggaraan otonomi daerah, terdapat beberapa kasus yang lebih banyak disebabkan karena permainan kepentingan elit lokal misalnya konflik paska pilkada sebanyak 65%, perburuan akses sumber daya ekonomi di daerah 22%, serta isu-isu lainnya 13%. Lihat Kompas, 3 Juli 2007, Evaluasi Otonomi Daerah.

11

Ben Fine. 2001. Social Capital Versus Social Theory: Political Economy and Social Science at the Turn of the Millennium. London; Routledge.


(27)

lebih bervariasi daripada masa Orde Baru13. Di dalamnya termasuk para pialang dan bandar politik yang ambisius, birokrat negara yang lihai, kelompok-kelompok pebisnis baru yang berambisi tinggi, serta beraneka ragam gengster politik, kaum kriminal, dan barisan keamanan sipil14. Kebanyakan dari kelompok ini dibesarkan oleh rezim lama sebagai operator dan pelaksana di lapangan. Mereka ini kemudian menjadi elit-elit yang berperan dalam proses keberhasilan dan kegagalan dari pembangunan demokrasi di tingkat lokal yang sedang dilakukan di Indonesia.

Di bawah Orde Baru, sudah menjadi rahasia umum bahwa kekuasaan elit lokal, seperti yang disebutkan di atas, juga bersumber dari kedekatan mereka dengan komandan militer lokal. Hal ini memungkinkan mereka untuk menjalankan aktivitas-aktivitas menguntungkan seperti perjudian dan jaringan perlindungan yang kebal hukum. Perubahan kedudukan militer sejak reformasi tidak berarti putusnya keterkaitan ini. Dalam perjalanan sepuluh tahun reformasi dan gejala politik desentralisasi yang telah dilaksanakan dengan berbagai revisi dari UU No. 22/1999 ke UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah maka gejala politik lokal diwarnai dengan interaksi politik dan kepentingan lokal yang lebih banyak diperankan oleh elit-elit yang tidak termasuk dalam kategori pembangunan demokrasi formal yang bersifat linier tersebut. Perkembangan dari penataan institusi lokal kebanyakan tidak mencerminkan situasi politik yang menguntungkan bagi masyarakat lokal. Sulit untuk membayangkan bahwa elit-elit dengan kategori tersebut ternyata mendapatkan tempat yang menguntungkan di bidang politik.

1.2. Perumusan Masalah

Pelaksanaan politik lokal di Indonesia, termasuk menyempurnakan proses rekrutmen pejabat publik seperti pilkada misalnya, diyakini tidak memutus munculnya adanya kepentingan lama dari sistem Orde Baru yang sering sekali

13Ibid. 14

Di Kota Medan, peran-peran seperti itu kemudian banyak dilakukan dan diorganisir oleh organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, FKPPI dan lain sebagainya. Sehingga selalu diidentikkan dengan organisasi preman. Lihat Hadiz, op. cit. hal. 244-253.


(28)

menjadi penentu dalam proses politik di tingkat lokal. Kajian-kajian yang membahas beberapa kasus tentang kekuasaan dan kepentingan lokal dengan elit-elitnya, yang dipandang sebagai aktor-aktor politik yang tidak termasuk dalam kategori pembangunan demokrasi formal namun memiliki peran signifikan, di antaranya dilakukan oleh Ryter (2000), Lindsey (2002), dan Hadiz (2005)15. Di kota Medan munculnya elit-elit politik paska runtuhnya Orde Baru, banyak yang berasal dari tokoh organisasi kepemudaan seperti Ikatan Pemuda Karya (IPK), Pemuda Pancasila (PP), Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI), dan lain sebagainya. Kebanyakan anggota dari organisasi itu berprofesi sebagai pengusaha kecil atau tingkat menengah yang paling tidak sebagian bergantung pada proyek dan kontrak negara, politisi profesional dengan kaitan khusus ke partai-partai politik yang sudah ada masa Orde Baru. Pada saat reformasi sebagian dari mereka meningkat statusnya menjadi elit-elit baru karena mendapat kompensasi berupa kemudahan akses terhadap lembaga-lembaga politik lokal seperti DPRD, pemerintah kota, partai politik dan media massa, serta beberapa kelompok kepentingan seperti lembaga-lembaga bisnis yang memiliki keterkaitan dengan elit-elit organisasi tersebut16. Pemimpin organisasi pemuda paramiliter di Medan ini sering memainkan peran sebagai operator politik selama masa Orde Baru, melaksanakan fungsi intimidasi tidak resmi untuk rezim dan para pejabatnya yang dilakukan bersama-sama dengan aparat terkait.

Ketika jatuhnya Orde Baru, keberadaan ketiga organisasi pemuda itu (PP, IPK, dan FKPPI) ternyata tetap eksis dan menunjukkan aktivitas yang tidak jauh berbeda pada saat sebelumnya. Di kota Medan, para pimpinan organisasi

15 L. Ryter. 1998. “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto New Order?”

Indonesia, 66, Oktober. L. Ryter. 2000. “A Tale of Two Cities”, Inside Indonesia 63 (July-September). http://www.serve.com/inside/edit63/loren1.hatml. dan T. Lindsey. 2002. “The Criminal State: Premanisme and the New Order”, dalam G. Lloyd dan S. Smith. (eds.). Indonesia Today: Challenges of History. Singapore: ISEAS. adalah pengamat yang menulis tentang politik premanisme di Indonesia. Mereka menyebutkan bahwa tidak ada daerah lain yang sanggup menyaingi Sumatera Utara dalam soal liku-liku kekuatan politik dan pengaruh preman terutama interaksi politik mereka di tingkat lokal. Sedangkan Hadiz mengkaji tentang konstelasi kekuasaan dan Politik di Sumatera Utara paska Orde Baru yang dianggapnya sebagai bentuk reformasi yang tidak tuntas lihat Hadiz, op. cit. hal. 235-253.

16 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadiz (2001), ketika paska turunnya Orde Baru, tentang pemilihan Walikota Medan tahun 1999 sangat sarat dengan politik uang dan kekerasan yang sebagian besar dilakukan oleh organisasi pemuda/preman tersebut. Sedangkan Walikota terpilih, Abdillah, adalah pengusaha yang sangat bergantung dari kontrak negara dan sangat dekat dengan elit partai politik masa Orde Baru berikut organisasi binaannya seperti organisasi pemuda parpol. Lihat Hadiz, op.cit. hal. 237-240.


(29)

tersebut justru melakukan adaptasi dalam sistem politik yang telah berubah. Secara politis, langkah awal yang dilakukan oleh ketiga organisasi tersebut adalah dengan menyatakan dirinya sebagai organisasi yang bersifat independen atau bebas secara politik. Sebagian besar elitnya menduduki posisi-posisi penting di beberapa partai politik baru seperti PAN, Partai Demokrat, dan lain sebagainya sebagai pengambil keputusan disamping Partai Golkar yang menjadi bagian terpenting dalam aktivitas organisasinya. Sistem multi partai dan pemilu paska Orde Baru, ternyata tidak begitu sulit bagi mereka untuk tetap menjadi bagian dalam sistem politik yang baru itu. Ini dilakukan agar mereka tetap dapat mengendalikan keputusan-keputusan penting yang diambil oleh otoritas politik (eksekutif dan legislatif). Namun, dalam menjalankan aktivitas organisasi tetap menggunakan cara-cara kekerasan, kepentingan uang, perjudian, intimidasi dan menguasai satu kawasan (teritorial) tertentu. Meskipun terdapat beberapa organisasi pemuda lainnya yang melakukan praktek premanisme (seperti AMPI, Pemuda Panca Marga, Garda Banper, dan lain sebagainya), namun organisasi ini berafiliasi dengan salah satu partai politik. Karena itu, PP, IPK, dan FKPPI17 ini menjadi fokus dari subjek analisis dalam penelitian ini.

Pada periodesasi desentralisasi di Indonesia berbagai upaya untuk menguasai politik lokal mereka lakukan, termasuk ketika terjadi perubahan mekanisme pemilihan Walikota Medan pada tahun 2005 yang dilakukan secara langsung. Terlepas dari munculnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai yang menguasai sebanyak 9 orang anggota DPRD kota Medan18. Namun, keberhasilan Golkar dan partai Orde Baru lainnya sebagai pemain lama, dalam mengusung Ketua DPRD kota Medan hasil Pemilu 2004 dari Fraksi Partai Golkar dan memenangkan calon incumbent walikota Medan tahun 2005 (Abdillah)19,

17 Dalam beberapa bagian tulisan, penulis meminjam penggunaan istilah Vedi R. Hadiz tentang organisasi pemuda/preman, maksudnya ditujukan kepada ketiga organisasi pemuda tersebut. 18 Dalam Pemilu Legislatif 2004 di Kota Medan PKS memperoleh kursi sebanyak 9 orang, kursi terbanyak di DPRD Kota Medan, lalu PG, PDIP, dan PD mendapat 6 kursi, PAN dan PDS 5 kursi, PPP mendapat 4 kursi, PBR 3 kursi, dan Partai Patriot mendapat 1 kursi.

19 Abdillah adalah Walikota Medan yang terpilih dalam Pilkada Langsung Tahun 2005, yang dinilai masih menyisakan beragam permasalahan dalam kasus politik uang pada pemilihan Walikota Medan tahun 1999 oleh DPRD Kota Medan, lihat Vedi R Hadiz. 2001. “Capitalism, Oligarchic Power, and the State of Indonesia.” Historical Materialism. Sementara setelah terpilih menjadi Walikota Medan dalam pemilihan kepala daerah langsung Periode 2005-2010, pada bulan Mei 2007 Abdillah tersangkut pemeriksaan kasus korupsi dana APBN yang dikelola pemerintah


(30)

menunjukkan keahliannya dalam memerankan permainan politik lokal dan menandakan mesin politiknya masih berjalan dengan baik. Banyak anggota PP, IPK, dan FKPPI disebarkan di berbagai tempat sebagai alat pengaman bagi partai politik dan tim-tim sukses calon walikota20. Mereka tidak mengalami kesulitan untuk bersaing di bidang politik dengan kelompok-kelompok prodemokrasi karena memiliki akses terhadap uang dan kekuasaan seperti pimpinan partai politik dan anggota DPRD kota Medan berasal dari organisasi pemuda/preman21. Atas dasar itu, penulis menganggap menarik dan perlu melakukan penelitian yang diharapkan bisa menguraikan keterlibatan organisasi pemuda/preman di kota Medan pada saat Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan. Sehingga, dapat diketahui cara-cara yang dilakukan oleh organisasi pemuda/preman di kota Medan untuk tetap berperan dalam proses pemilihan walikota Medan yang dilakukan secara langsung.

Hal tersebut penting dilihat karena pola-pola yang diterapkan, pada saat pilkada langsung diberlakukan, memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda ketika masa Orde Baru dan pada saat pemilihan kepala daerah antara tahun 1999 sampai 2005 yaitu adanya politik uang dan kekerasan untuk merebut jabatan politik. Harusnya, dalam desain rekrutmen pejabat publik dan demokratisasi saat ini, model-model seperti itu hendaknya tidak ada lagi dan diharapkan berubah menjadi gerakan persuasif yang cenderung kepada kepentingan rakyat. Keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada langsung tahun 2005 di kota Medan dalam penelitian ini diartikan sebagai aktivitas mereka untuk mengusung ”jago”nya agar terpilih dalam pemilihan langsung sebagai walikota Medan Periode 2005-2010. Ada beberapa aktivitas yang dijadikan indikator untuk melihat keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam Pilkada Langsung Walikota Medan tahun 2005.

Kota Medan oleh KPK diantaranya kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran (Waspada, 7 Mei 2007) dan penyalahgunaan dana APBD Kota Medan Tahun 2005 (Kompas, 16 Juni 2007).

20 Pemberitaan media lokal di Medan seperti Waspada, SIB, dan Analisa pada periode menjelang pelaksanaan pemilu 2004 dan Pilkada 2005 terlihat dalam beberapa foto media tersebut terpampang barisan pengamanan yang berasal dari PP, IPK, FKPPI, dan lain sebagainya yang sering digunakan oleh partai-partai politik baik pada saat kampanye maupun acara-acara khusus yang digelar untuk itu.

21 Data sementara yang diperoleh penulis dari berbagai sumber adalah Bangkit Sitepu, pengurus DPC Partai Golkar Kota Medan, adalah ketua PP Kota Medan, Hendra DS, Ketua Partai Patriot Pancasila adalah Ketua PP Kota Medan. Moses Tambunan, pengurus PDIP Kota Medan, adalah Ketua IPK.


(31)

Pertama, menawarkan bentuk dukungan baik secara organisatoris atau yang dilakukan oleh elit organisasi pemuda/preman dengan posisi sebagai pengusung utama atau bagian dari partai yang mencalonkan walikota atau bagian dari calon walikota Medan itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan usulan-usulan yang ditawarkan pimpinan organisasi pemuda/preman kepada partai atau calon Walikota Medan, sehingga organisasi pemuda/preman itu ikut secara aktif sebagai tim inti atau bagian dari partai yang mencalonkan walikota atau bagian dari tim calon walikota. Bagian ini akan menguraikan informasi langsung dari pimpinan organisasi tentang alasan yang dikemukakan untuk mendukung satu partai politik yang mencalonkan atau calon walikota Medan dan bagaimana strategi dukungan itu dilaksanakan.

Kedua, bertindak sebagai inisiator atau melakukan pemaksaan dari seluruh, sebagian atau tindakan yang terpisahkan dari aktivitas yang dirancang oleh partai politik yang mengusung calon walikota atau tim sukses yang dibentuk untuk memenangkan pemilihan. Dari informasi ini akan kelihatan posisi organisasi pemuda/preman dalam struktur pemenangan walikota, apakah sebagai penentu atau hanya sebagai pelengkap dari struktur tersebut.

Ketiga, melakukan lobi-lobi secara intensif ke berbagai kalangan. Bagian ini akan menguraikan berbagai pertemuan yang digagas oleh organisasi pemuda/preman untuk mendapatkan dukungan termasuk kesepakatan yang dibangun dari dukungan itu. Lobi tersebut baik dilakukan secara vertikal (antar pemain-pemain lokal) maupun horizontal (kepada pemerintah pusat dan partai politik di tingkat nasional).

Keempat, indikasi kekuatan uang. Informasi ini akan mencoba menguraikan aliran dana yang diterima dan digunakan oleh organisasi pemuda/preman. Kekuatan uang yang dimaksudkan di sini adalah pendanaan yang diterima oleh pimpinan organisasi dari calon walikota untuk keperluan keamanan dan mobilisasi dukungan massa. Ini penting dilihat karena salah satu keinginan kelompok ini adalah selalu menunjukkan kekuatannya yang dilihat dari kemampuannya untuk memaksa keinginannya kepada pihak yang bertentangan dengan uang.


(32)

Kelima, pengerahan massa dan penggunaan kekerasan. Pengerahan massa berkaitan tentang besarnya jumlah massa yang diorganisir dengan identitas fisik yang selalu digunakan oleh organisasi pemuda/preman (seperti baju seragam atau atribut lain) dalam kegiatan pilkada langsung di kota Medan. Sedangkan penggunaan kekerasan dilihat dari adanya ancaman fisik (seperti penculikan, pembunuhan, dan lain-lain) atau non fisik (seperti intimidasi, pelecehan, dan lain-lain) yang dilakukan terhadap lawan-lawan politik baik pada tingkat elit dan masyarakat bawah.

Keenam, melakukan penguasaan opini media dengan cara melakukan kontrol langsung terhadap pemberitaan media. Ini dilakukan agar segala peristiwa yang berkaitan dengan pemilihan walikota dapat dikendalikan. Suara pers yang kritis diharapkan dapat dikontrol dengan cara ”membeli” tulisan para wartawan atau pimpinan media massa.

Untuk memudahkan peneliti melihat enam indikator yang diuraikan di atas dalam menjelaskan keterlibatan organisasi pemuda dalam arena pilkada langsung di kota Medan tahun 2005. Maka pertanyaan penelitian yang hendak dijawab dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dari keenam indikator yang diuraikan di atas, bentuk keterlibatan manakah yang sering dilakukan oleh organisasi pemuda dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan?

2. Siapa tokoh dan organisasi pemuda mana yang berpengaruh pada saat Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan?

3. Mengapa organisasi pemuda terlibat dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan fakta-fakta tentang keterlibatan organisasi pemuda/preman (PP, IPK, dan FKPPI) di kota Medan


(33)

dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjelaskan argumentasi yang mendasari keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam kasus Pemilihan Kepala Daerah Langsung tahun 2004 kota Medan dengan menggunakan desain studi kasus. Dari informasi itu, maka akan didapat cara-cara atau model yang digunakan. Kemudian akan didapat juga informasi bahwa organisasi pemuda/preman yang sangat eksis pada masa Orde Baru itu ternyata mengalami atau tidak mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri pada saat terjadi perubahan politik yaitu ketika mekanisme pemilihan kepala daerah diubah secara langsung pada tahun 2005 di kota Medan.

1.4. Kerangka Teori

Untuk mengkaji keterlibatan politik yang dilakukan organisasi pemuda dalam penelitian ini maka akan dibahas beberapa teori yang berkaitan dengan politik lokal dan sumber kekuasaan, kelompok elit dalam politik, demokratisasi, partai politik dan kelompok kepentingan dalam pilkada serta penjelasan tentang organisasi preman.

1.4.1. Politik Lokal dan Sumber-Sumber Kekuasaan

Politik lokal bukan hanya berurusan pada soal-soal administrasi publik atau menekankan pada hubungan legal-formal pemerintahan semata. Selama ini, diskusi mengenai politik lokal penekanannya hanya pada pemerintahan lokal hasil dari suatu pemilihan umum saja atau pemilihan kepala daerah saja. Meskipun memiliki keterkaitan, namun pandangan legal-formal seperti itu memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memahami politik lokal secara lebih utuh. Politik lokal mencakup soal yang luas, misalnya aspek ekonomi, politik, dan sosial22.

Garry Stoker. 1991. The Politics of Local Government. Second Edition. London: The MacMillan Press Ltd Houndmills. Besing Stoke. Hampshir. hal. 230.


(34)

Teori dan pendekatan atas politik lokal tergantung pada latar belakang akademik dan ”mazhab” yang dianut. Paling tidak terdapat dua perspektif untuk menjelaskan politik lokal yaitu pendekatan pluralisme dan pendekatan marxist. Pendekatan pluralisme menjelaskan bahwa negara dijadikan sebagai tempat untuk memahami dan menjelaskan beragam kegiatan kelompok yang menuntut adanya pembagian kekuasaan seperti misalnya melalui pemilihan umum. Sedangkan pendekatan marxist melihat bahwa kekuasaan berada pada satu kelompok tertentu yang sangat dominan dan tidak menyebar serta memandang bahwa negara dipandang sebagai institusi yang tidak netral. Dari dua pendekatan itu, studi ini ingin menggunakan pendekatan pluralisme untuk melihat kekuasaan yang ada di masyarakat lokal.

Dari perspektif pluralisme, pilkada langsung diharapkan dapat mendukung tumbuhnya demokrasi dan berjalannya pemerintahan lokal yang dekat dengan rakyat, karena partisipasi masyarakat lokal dilibatkan secara luas. John Steward menyatakan bahwa memperkuat demokrasi lokal sangat penting untuk mengatasi masalah-masalah yang disebabkan karena kuatnya sentralisasi negara.23 Agar demokrasi lokal memiliki kualitas maka pejabat lokal harus dipilih dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat lokal secara luas begitu juga ketika mengambil keputusan. Stewart juga menjelaskan cara-cara yang harus dilakukan oleh pejabat lokal tersebut adalah dengan membuat pendidikan politik bagi rakyat kelas bawah, membuat keputusan yang bersifat lokal, dan melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Karena itu, peran local leader dan informal leader

menjadi penting untuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal.24 Kepala daerah, dengan demikian, harus mengenali masyarakatnya sendiri yang plural dan multikultural serta selalu menyediakan media untuk memfasilitasi perbedaan-perbedaan tersebut.

Pilkada langsung dalam konteks politik lokal, diharapkan dapat memperkuat kedudukan kepala daerah sekaligus mengurangi intervensi DPRD agar ”transaksi politik” yang melahirkan ”money politics” dapat dimimalisir. Namun, yang terjadi di berberapa negara-negara berkembang, praktek pemilihan

23

John Stewart. 1996. “Democracy and Local Government”. dalam Paul Hirst and Sunil Khilnani (eds). 1996. Reinventing Democracy, Oxford: Blackwell Publisher. hal. 39.


(35)

kepala daerah secara langsung justru menjadi penyebab kasus-kasus korupsi dan ketidakefektifan pemerintahan daerah. Secara teoritik, hal tersebut dapat dijelaskan dari karakteristik elit politik lokal di negara-negara berkembang. Oleh Manor dan Crook, elit politik lokal dicerminkan dengan apa yang disebut sebagai ”close knit power”, yaitu kekuasaan yang cenderung tertutup dan didominasi oleh sekelompok elit.25 Tidak adanya oposisi yang kuat menyebabkan distribusi kekuasaan selalu didominasi oleh kelompok-kelompok yang sudah tertentu. Itu sebabnya, terjadi kooptasi kekuasaan oleh segelintir penguasa. Di sinilah pendekatan pluralisme menjadi penting yaitu bahwa negara dijadikan sebagai tempat untuk memahami dan menjelaskan beragam kegiatan kelompok yang menuntut adanya pembagian kekuasaan seperti misalnya melalui pemilihan umum.

Atas dasar itu, studi ini hendak menggunakan pendekatan pluralisme dengan melihat kekuasaan sebagai titik sentralnya. Untuk membahas tentang kekuasaan tersebut, maka akan dilihat sumber-sumber kekuasaan dan cara-cara untuk memperoleh serta mempertahankan kekuasaan. Perjalanan kekuasaan yang efektif bergantung pada tipe-tipe sumber kekuasaan yang tersedia. Untuk memperoleh kepatuhan, para pemimpin politik biasanya memperluas persediaan sumber daya mereka dan menggunakan secara lebih efisien sumber daya yang telah mereka miliki.

Sumber-sumber kekuasaan harus dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang agar dapat menggunakan kekuasaan itu. Sumber-sumber kekuasaan itu dapat berupa kedudukan, kekayaan, kepandaian atau keterampilan, dan kepercayaan atau agama.26 Sementara Charles F. Andrain membedakan lima tipe sumber daya kekuasaan yaitu sumber daya fisik, ekonomi, keahlian dan personal. Dengan menggunakan sumber-sumber kekuasaan itu, seseorang atau sekelompok orang dapat mempengaruhi orang lain untuk mengikuti kehendak atau keinginannya. Andrain juga menjelaskan perbedaan motif kepatuhan dalam masing-masing tipe sumber daya kekuasaan.

25 Dikutip dari Eko Prasojo. “Otonomi Daerah, Pilkada Langsung dan Democratic

Decentralization. dalam M. Zaki Mubarak, M. Agus Susilo, Agung Pribadi. (eds.) 2006 Blue Print Otonomi Dareah Indonesia. Jakarta: The YHB Center.

26 Miriam Budiardjo. 1984. “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Pustaka”. dalam Budiardjo. Aneka


(1)

J : Tidak.

T : Sebenarnya seberapa se-trategisnya PP ini untuk dilibatkan dalam setiap suksesi kepala daerah atau pun legislatif?

J : Sangat strategis, sangat strategis, contoh; kalau kita melihat pada pilkada gubernur yang akan datang andaikan ada keputusan yang mengatakan bahwa 5% atau 3%, katakanlah seperti yang di NAD 3% dari penduduk Sumatera Utara boleh mencalonkan 1 orang, kita sudah pasti bisa mencalonkan. Karena jumlah PP di Sumatera Utara itu jumlahnya 420.000 orang, kalau 3% dari penduduk Sumatera Utara kita sudah pasti bisa mencalonkan. Kemudian silahkan bandingkan kami dengan OKP lain yang ada di Sumut ini. Bahwa kita adalah organisasi pemuda yang sangat eksis di setiap kegiatan. Artinya bahwa apa yang kita sebutkan dan pogramkan memang bisa kita laksanakan. Karena pertemuan kami dengan basis itu sangat sering terjadi. Ini sangat strategis dan ini sangat sulit dilakukan oleh organisasi-organisasi yang lain. Kecuali katakanlah organisasi ormas Islam atau pesantren, pendidikan yang tiap hari bertemu. Jadi kalau kami malah lebih kerap lagi dibandingkan dengan organisasi-organisasi yang lain. Hal inilah yang menjadikan kami cukup strategis dalam segala event yang mengharapkan suara.

T : Bercermin dari dukungan PP sewaktu pilkada kemarin, apakah seluruh anggota dari PP itu dijamin telah memberikan suaranya pada Abdillah-Ramli sesuai dengan putusan organisasi?

J : Kalau memilih kita tentu tidak bisa ukur tapi kalau mendukung kita mendukung. Meskipun ada 1 kecamatan yang mengambil keputusan sendiri untuk berpihak pada Maulana pada saat itu. Dan organisasi memberikan teguran keras kepada mereka.

T : Lantas bagaiman kita bisa tahu bahwa semua anggota PP itu telah mendukung pilihan dari organisasi?

J : Ya.. ini dia sulitnya. Kita hanya bisa ukur orang tersebut datang ke TPS tapi logika kemenangan Abdillah yang seperti itu kami yakin bahwa semua kader PP memilih mereka. Karena di daerah basis kita mayoritas suara itu masuk. Daerah yang basisnya longgar itu suara memang kalah tapi yang basis kita suara masuk. Melihat pada pengalama Partai Patriot Pancasila di daerah basis-basis PP dia pasti menang. Tapi di luar daerah basis kalah. Kami yakin bahwa anggota kami itu konsisten dalam menyampaikan suaranya.

T : Dalam pemetaan Organisasi ini apakah Medan termasuk dalam kategori wilayah yang menjadi basis PP?

J : Medan dan Tanjung Balai adalah daerah basis PP yang sangat kuat.

T : Bargain apa yang menjadi tawar-menawar antara PP dan Abdillah? J : Biasanya dia tidak merupakan bargain dan dari pengalaman politik saya,

ini terletak pada feeling dan keakraban. Kalau kita mendukung seseorang karena kita punya feeling, kita yakin dia menang dan dia akan berikan sesuatu kepada kita. Berikan itu bukan uang tapi kesempatan kerja, ada beberapa proyek/pekerjaan yang ditenderkan kita bisa dapat prioritas di sana. Karena ada di beberapa bagian juga kita tidak menang. Tapi kemudahan itu memang terjadi dan itu memang berlangsung. Jadi kalau ada ”kemacetan” politik atau keamanan dalam


(2)

satu wilayah kita tahu dan kita berkoordinasi pada Abdillah atau Ramli dan biasanya setelah itu maka selesai.

T : Kenapa PP tidak mendukung pasangan Maulana-Sigit?

J : Kami cuma berpikir kita mau berpihak pada yang menang dan kami cukup yakin bahwa pasangan Abdillah-Ramli yang akan menang. Jadi kami tidak mau dalam posisi yang kalah.

T : Kenapa PP tidak percaya diri ketika tadi telah dikatakan bahwa Medan adalah basis kuat dari PP, PP mencoba memberi dukungan dan untuk memenangkan orang yang tidak populer?

J : Angka kita tidak cukup signifikan untuk memenangkan Maulana, itu jawabannya. Karena jumlah kita di Medan hanya 40.000 – 60.000 saja. T : Pendekatan apa yang digunakan oleh PP untuk memobilisasi massa

guna menghadiri kampanye Abdillah-Ramli?

J : Jadi kalau ada kalian denger, PP itu dibayar dulu baru bergerak ini memang betul, tidak kita tutupi itu. Tapi kalau dengan demo yang harus dibayar sekian, baru bergerak itu beda dengan kita. Karena kami adalah semi milisi, jadi kalau ketuanya bilang hari ini kita harus berangkat, Medan datangkan 2000 orang, Siantar datang kan 500 orang, saya tidak ada urusan harus menjelaskan ini, itu. Saya tinggal lihat kemampuan mereka saja. Yang penting transportasi dan konsumsi kita sediakan. Jadi saya tidak akan menerangkan bahwa Abdillah adalah pilihan kita ini, itu dan sebagainya, itu bukan urusan kita, tidak kerjaan kita. Kita hanya cukup katakan bahwa Abdillah itu adalah pilihan kita. Makanya kalau kalian lihat PP ini kok tiap hari perang ya... karena kita tidak sulit. Kalau kita bilang mainkan-ya main. Jadi Kapolsek atau Kanit cukup telepon kita ada apa ini? Kita jelaskan...

T : Artinya saya ingin katakan sistem instruksi/komando itulah yang berlaku disini?

J : Persis, memang itulah dia.

T : Jadi pendekatan untuk memobilisasi massa itu?

J : itu patokannya ada di ketua PAC lebih pada kharismanya. Jadi kalau ketua PAC yang tidak ada massa itu tidak akan bertahan lama di PP, kita pasti akan sapu dia.

T : Apakah dalam rangka memobilisasi massa PP juga dapat atau sering melakukan kekerasan? (untuk pertanyaan ini beliau tidak menjawab) T : Apakah PP juga melakukan money politik dalam rangkan

mensukseskan pasangan Abdillah?

J : Tidak kita tidak pernah lakukan itu, dan jika pun kita lakukan mereka tidak akan bisa untuk ”membeli” kami. Dan kami juga pasti tidak mau, karena harapan kami bukan saat ini tapi nanti setelah dia terpilih maka kami mempunyai hubungan silaturahmi yang kuat, kami punya kader-kader yang PNS, jadi suatu saat bisa kami ajukan. Ini target kita kedepan.

T : Ketika berada di dalam Tim Sukses apakah PP masuk dengan memiliki konsep untuk mendukung kemenangan atau hanya mengikuti aturan main yang akan di bentuk di dalam Tim Sukses?


(3)

J : pilihan yang kedua, kita tidak ada konsep dan kita jarang mau untuk seperti itu. Kecuali kita memang diangkat sebagai ketua Tim Sukses itu beda lagi.

T : Apakah PP juga melakukan loby-loby kepada organisasi lain untuk sama-sama mendukung calon walikota yang didukung oleh PP?

J : PP tidak melakukan itu, yang dilakukan oleh PP lebih berorientasi ke dalam saja.

T : Bagaiman sebenarnya kaitan Partai Patriot dengan Pemuda Pancasila? J : Partai Patriot adalah Partai yang dilahirkan oleh Pemuda Pancasila

masalahnya pada pemilu kemarin PP masih independen, itu persoalannya yang menjadi repot. Tapi kenyataannya untuk Sumatera Utara PP itu ke Partai Patriot Suaranya. Kalau seandainya semua PP itu Partai Patriot jauh menjadi lebih besar lagi suaranya. Fakta dilapangan tidak begitu karena PP masih independen. Kenapa independen? Karena banyak anggota PP yang berkiprah di partai-partai lain.

T : Mengapa PP memiliki gagasan untuk mendirikan sebuah partai? Apakah selama ini aspirasi dari PP tidak dapat diakomodir oleh pemerintah atau ada hal lain?

J : Iya itu dia, lalu yang kedua kita hanya sebagai ”tukang cuci piring” saja. Pesta kelar kita hanya kebahagian untuk cuci piringnya saja. Yang menikmatinya orang lain. Kalau di partai patriot kan kita semua yang menentukan siapa-siapa yang menjadi calon legislatifnya.

T : Apakah PP memiliki kontrol terhadap media? Baik media sebagai institusi atau pun personel wartawannya?

J : ini sulit saya menjawabnya karena saya tahu mau mengarah kemana pertanyaan ini. PP ini terutama di Medan sebagai force kekuatan pemaksaan lebih mengarahkannya kepada pergaulan. Hampir di atas 70% wartawan-wartawan ini adalah teman-teman kami. Kalau dikatakan kami ikut mengontrol dalam arti yang sebenarnya itu tidak kami lakukan. Tapi kalau kontrol dalam tanda kutip misalnya; satu kali tiba-tiba ada yang berpakaian PP ikut Maulana, kita akan telepon semua koran kami minta itu tidak diekspose. Andai pun ada yang terlepas (pemberitaan yang dimaksud) kami tidak akan bilang apa-apa. Kami cuma katakan dasar perkawanan tadi, misalnya Bang Taruna di Waspada bang itu tidak mengutungkan, itu indispliner. Kita sampaikan begitu pokok-pokok pikiran kita. Tapi kalo memang juga ada yang lepas, kita juga tidak bisa bilang apa-apa karena itu adalah hal di luar kita (maksudnya di luar PP) tetapi kalau mereka melakukan hal yang black campaign terhadap Abdillah kami tidak akan datang karena itu bukanlah urusan kami. T : Bagaiman kalau pemberitaan itu telah menyangkut internal PP? J : Hal itu yang kami paling benci. Terlebih lagi kalau itu tidak adil.

T : Kontrol yang bagaimana ketika pemberitaan telah menyangkut internal PP.

J : Pertama, kami telepon baik-baik. Lalu kemudian kalau kita telepon juga enggak, satu contoh kemarin kasus kepada Medan Pos, kita demo saja di depan pintu dengan menggunakan seragam lengkap, sampai pada tingkat itu dan tidak akan pernah kalian lihat PP berpakaian seragam melempari itu mungkin tidak akan terjadi. Kalau terjadi itu tidak akan pakaian PP dan siapapun tidak akan tahu. Kalau kami sudah marah yang betul-betul marah kami tidak akan lakukan itu. Kalau kami lakukan


(4)

demo yang seperti itu, itu berarti kami masih sayang berarti kami masih mau melakukan ”kontrol” yang benar. Itulah cara yang resmi kami lakukan. Dan jangan harap PP melakukan persidangan itu tidak akan ada dari PP.

(off the record, meskipun ini sifatnya off the record beliau juga tidak bersedia kalau ini dipublikasikan atau ditulis dalam penelitian ini. Ia mengatakan, kalau kami sudah pada tingkat kemarahan yang benar-benar marah kami memiliki “pengadilan sendiri” dan hanya kami lah yang tahu apa itu”)


(5)

Proses wawancara berlangsung secara tertulis, nara sumber tidak dapat

meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara secara langsung

dikarenakan kesibukannya di partai dalam rangka menghadapi Pemilihan

Gubernur Sumatera Utara yang akan berlangsung.

Tanya : Apakah anda melibatkan organisasi pemuda (PP, IPK, dan FKPPI)

dalam Tim Sukses yang Saudara bentuk atau ikuti?

Jawab : Tidak

Tanya : Bagaimana bentuk keterlibatan mereka? Apa kontribusi mereka?

Jawab : Mereka terlibat secara pribadi sebab organisasi masing-masing

memiliki kebijakan yang independent

Tanya : Seberapa penting, menurut Saudara keterlibatan mereka dalam Tim

Sukses?

Jawab : Sangat penting, khususnya di seksi penggalangan

Tanya : Bagaimana Saudara memberikan reward atau imbalan kepada

mereka?


(6)

Tanya : Selama proses persiapan sampai pada tahap pemenangan, hal-hal

apa yang menurut Saudara perlu atau tidak perlu dalam keterlibatan

mereka?

Jawab : Perlu sebagai tempat untuk curah pendapat dan mobilisasi massa

Tanya : Sebagai pimpinan Tim Sukses dapatkah Saudara jelaskan mengapa

organisasi pemuda ini masih berperan dalam situasi politik yang sudah

berubah?

Jawab : Sebab jumlah pemilih pemula masih sangat banyak, apalagi mereka

memiliki anggota resmi yang significan


Dokumen yang terkait

Rekrutmen Partai Politik Dalam Pencalonan Pemilu Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus : Partai Golongan Karya Dewan Pimpinan Daerah Sumatera Utara)

1 59 98

Kebijakan Partai Politik Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Studi Kasus: Kebijakan Partai Demokrat Dalam Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut Periode 2013-2018)

0 51 95

Partisipasi Politik Masyarakat Karo Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010 (Studi Kasus: Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan)

2 71 90

Tingkahlaku Politik Etnis Tionghoa Dalam Pemilihan Kepala Daerah 2010 Di Kelurahan Pusat Pasar Medan Kota

0 50 99

Peranan Komisi Pemilihan Umum dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Untuk Meningkatkan artisipasi Politik Masyarakat (Studi pada Kantor Komisi Pemilihan umum Tapanuli Utara)

16 168 113

Hubungan Tingkat Ekonomi Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Etnis Tionghoa Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 Kota Medan Di Lingkungan Vi Kelurahan Pusat Pasar Medan Kecamatan Medan Kota

1 41 18

A. Pedoman Wawancara untuk Organisasi Pemuda - Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

0 1 43

BAB II AKTIVITAS SOSIAL DAN POLITIK ORGANISASI PEMUDA DAN PREMAN DI KOTA MEDAN 2.1. Dinamika Sosial, Kultural, Ekonomi, dan Politik Kota Medan - Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah La

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

0 1 42

Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

0 2 18