Prevalensi rinitis alergi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada tahun ajaran 2014/2015

  "

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Rinitis Alergi

  Istilah alergi dikenalkan oleh Von Pirquet pada tahun 1906 untuk mendeskripsikan fenomena dari hewan dan manusia yang mengembangkan respon perubahan terhadap substansi asing setelah berulang kali terpapar.Oleh karena itu, istilah alergi menjadi terbatas untuk reaksi imun yang merangsang reaksi membahayakan terhadap substansi yang tidak membahayakan,yaitu “hipersensitivitas” atau “imunitas”.

  Atopi didefinisikan sebagai alergi yang diakibatkan oleh imunoglobulin E (IgE); yang ditandai dengan perkembangan dari IgE spesifik setelah paparan terhadap alergen (antigen) walaupun dalam jumlah kecil pada sebagian besar individu yang memiliki turunan sifat genetik. (Wytske,1991)

  Rinitis secara umum didefinisikan sebagai dua atau lebih gejala dari: sumbatan hidung, hidung berair (rhinorrhea), bersin atau gangguan penghiduan selama lebih dari 1 jam dalam sehari. Ada beberapa jenis dari Rinitis, umumnya dibagi menjadi 3 kategori utama: 1) Rinitis infektius 2) Rinitis alergi 3) Rinitis non-alergi. (Martinez, L.,2009)

  Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut(Soepardi, 2007). Definisi menurut WHO ARIA (allergic

  

rhinitis and its impact on asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan

  gejala bersin-bersin, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.

  Sedangkan menurut Kimihiro Okubo (2011) dari Jepang rinitis alergi adalah penyakit alergi tipe I dari mukosa nasal,dengan gejala bersin paroksismal berulang, ingus berair, dan sumbatan hidung. Rinitis alergi sering dikenal sebagai alergi hidung, hipersensitivitas hidung, dan pollinosis.Pollinosis adalah rinitis alergi musiman yang merupakan salah satu dari klasifikasi rinitis alergi. Pollinosis biasanya memiliki komplikasi konjungtivitis alergi.

  2.2 . Klasifikasi Rinitis Alergi

  Klasifikasi rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,yaitu:

  1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal alergi musiman, hanya ada di negara 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur.

  2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, dan dapat terjadi sepanjang tahun. Penyebab paling sering ialah alergen inhalan dan alergen ingestan. Penyebab tersering pada orang dewasa adalah alergen inhalan.(Soepardi, E.A.,2007)

  Pada saat ini yang sering digunakan adalah klasifikasi ARIA berdasarkan waktu terjadinya rinitis alergi dapat dibedakan menjadi dua yaitu, rinitis alergi berselang (intermittent allergic rhinitis) dan rinitis alergi menetap (persistent

  

allergic rhinitis).Rinitis alergi berselang terjadi <4 hari per minggu atau <4

  minggu. Sedangkan rinitis alergi menetap terjadi >4 hari per minggu dan >4 minggu.

  ARIA juga mengklasifikasikan rinitis alergi berdasarkan tingkat keparahan yaitu sebagai berikut: rinitis alergi ringan (mild allergic rhinitis) dan rinitis alergi sedang-berat (moderate-severe allergic rhinitis). Pada rinitis alergi ringan, penderita dapat tidur dengan nyenyak, tidak terdapat gangguan aktivitas sehari- hari maupun pekerjaan ataupun sekolah, serta tidak memiliki gejala yang mengganggu.Sedangkan pada rinitis alergi sedang-berat penderita harus memiliki salah satu atau lebih gejala sebagai berikut: tidur yang terganggu, gangguan aktivitas sehari-hari, gangguan pekerjaan ataupun sekolah, serta memiliki gejala yang mengganggu.

  " 2.3 . Epidemiologi Rinitis Alergi

  Rinitis alergi tersebar di seluruh negara maju maupun negara berkembang.Dengan prevalensi 10-15% dari seluruh populasi dunia menurut

  

Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA).Menurut American Academy

of Allergy Asthma & Immunology (AAAAI) berdasarkan dataWorld Health

Organization (WHO)rinitis alergi menyerang 10% - 30% populasi di dunia.

  Sedangkan di asia pasifik sendiri dilaporkan oleh Wong et al.bahwa pada kelompok dewasa muda, gejala rhinoconjunctivitismenduduki peringkat menengah menurut skala global.Namun, negara dengan prevalensi tertinggi adalah Hongkong dan Thailang (Bangkok).Pada kelompok anak-anak berumur 6- 7 tahun, Asia-Pasifik menduduki peringkat ketiga tertinggi untuk kejadian

  

rhinoconjunctivitis berulang.Berdasarkan pola global, prevalensi penyakit alergi,

  asma, dan rhinoconjunctivitis lebih tinggi daripada negara berkembang, seperti Korea, Jepang, Hongkong dan Singapura.Prevalensi terendah dari gejala asma dilaporkan pada Negara yang kurang berkembang, seperti Indonesia, beberapa daerah di Negara Malaysia, dan sebagian besar daerah Negara China.

Tabel 2.1 Gejala Rhinoconjunctivitis pada anak Asia berumur 13-14 tahun berdasarkan kuesioner ISAAC fase 1 dan fase 3: rata-rata perubahan prevalensi

  tahunan. (sumber: Wong et al., 2013)

  Kota/Negara Rhinoconjunctivitis Alor Setar 16.3 (-0.06%) Bangkok 23.9 (+1.41%) Beijing 10.2 (+0.33%) Filipina 11.0 (-0.61%) Chiang Mai 17.2 (+0.26%) Guangzhou 10.7 (+0.33%) Hong Kong 22.6 (-0.21%) Indonesia 4.8(-0.08%) Jepang 17.6 (+0.34%) Klang Valley 19.8 (+0.87%) Kota Bharu 12.5 (+0.46%) Seoul 11.9 (+0.24%) Singapura 16.5 (+0.20%) Taiwan 17.8 (+1.02%) Mean 15.1 (+0.32%)

Tabel 2.1 Gejala Rhinoconjunctivitis pada anak Asia berumur 6-7 tahun berdasarkan kuesioner ISAAC fase 1 dan fase 3: rata-rata perubahan prevalensi

  tahunan. (sumber: Wong et al., 2013)

  Kota / Negara Rhinoconjunctivitis Alor Setar 4.2 (+0.09%) Bangkok 13.4 (+0.58%) Chiang Mai 6.2 (+0.24%) Hong Kong 17.7 (+0.67%) Indonesia 3.6 (-0.04%) Jepang 10.6 (+0.35%) Klang Valley 6.2 (+0.21%) Kota Bharu 4.2 (+0.06%) Seoul 9.0 (-0.38%) Singapura 8.7 (+0.02%) Taiwan 24.2 (+1.37%) Mean 10.6 (+0.18%)

  Data dari salah satu penelitian terbesar yang dilakukan oleh Allergic

  

Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)menyatakan bahwa prevalensi rinitis

  alergi di Asia-Pasifik sebesar 8.7%. Hasil tersebut didapatkan dari penelitian yang dilakukan dengan screening terhadap 33.000 keluarga di Australia, China, Hongkong, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam. Dari screening tersebut ditemukan sejumlah 1.200 orang dewasa dan anak-anak yang didiagnosa dengan Rinitis Alergi. (Wong et al.,2013)

2.4. Faktor Resiko Rinitis Alergi

  Penelitian sebelumnya dengan menggunakan instrumen kuesionerthe

  

European Community Respiratory Health Study II ( ECRHS II) menyatakan

  bahwa insiden rinitis alergi berkurang seiring bertambahnya jumlah saudara, bertambahnya paparan terhadap hewan peliharaan sebelum umur 5 tahun dan bermukim di lingkungan perkebunan. Sedangkan merokok pada saat hamil dan pada masa anak-anak menambah resiko rinitis alergi pada subjek atopi sehingga rinitis alergi akan menetap sepanjang hidupnya. (Matheson dkk., 2011)

  Samar Ghazal dkk. (2007) dalam penelitiannya di Negara Pakistan menyatakan bahwa faktor resiko yang berhubungan dengan rinitis alergi adalah sebagai berikut: jenis kelamin perempuan (51,1%) lebih beresiko daripada pria (44,8%) ; sering olahraga (51,4%) lebih beresiko daripada yang tidak berolahraga secara rutin (41,8%) ; perokok pasif (55,4%) lebih beresiko daripada perokok aktif (17,6%).

2.5. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Rinitis Alergi

  Mekanisme terjadinya rinitis alergi berkaitan erat dengan reaksi hipersensitivitas tipe I. Reaksi hipersensitivitas tipe I disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen. Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai “reaksi penjamu yang berubah” bila terpajan dengan bahan yang sama untuk kedua kalinya. Urutan kejadian reakti tipe I adalah sebagai berikut:

  1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (FcƐ-R) pada permukaan sel mast dan basofil.

  2. Fase aktivasi yaitu waktu yang terjadi akibat pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

  3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast sebagai aktivitas farmakologik.

Gambar 2.1 Reaksi Tipe I. Antigen memasang sel B untuk membentuk IgE diikat oleh sel mast/basofil melalui reseptor Fc. Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama,

  

maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel

mast/basofil. Akibat ikatan antigen-IgE. Sel mast/basofil mengalami degranulasi dan

melepas mediator yang preformed antara lain histamin yang menimbulkan gejala

hipersensitivitas tipe I. (Sumber: Imunologi dasar, Karnen garna Baratawijaya ,2002)

  Rinitis alergi berkaitan dengan inflamasi pada mukosa saluran pernafasan bagian atas (yakni mukosanasalis, tuba eustachius, dan sinus) dan mata. Pada kasus yag berat, pasien juga memiliki gejala sistemik. Interaksi kompleks antara alergen yang terinhalasi atau iritan, imunoglobulin E (IgE), dan mediator inflamasi adalah penyebab dari inflamasi. Individu yang rentan pada rinitis alergi akan menghasilkan IgE spesifik sebagai respon terhadap protein tertentu. IgE menyebabkan sel mast untuk melepaskan berbagai mediator, seperti: histamin, triptase, kimase, kinin, leukotrien, prostaglandin, dan heparin. Mediator inflamasi yang dilepaskan sel mast menyebabkan vasodilatasi segera, kongesi nasal, bersin dan gatal. Mediator - mediator inflamasi tersebut juga menyebabkan pengerahan sel inflamasi lainnya (yakni makrofag, eosinofil, neutrofil, dan limfosit), yang menyebabkan respon lambat yang dapat terjadi dalam beberapa jam atau hari dan adakalanya menyebabkan gejala sistemik (seperti malaise dan kelelahan)(E.T. Bope dan R. D. Kellerman,2013).

2.6. Diagnosis Rinitis Alergi

  Rinitis alergi perlu dibedakan dari jenis rinitis yang lain. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat pada umumnya sudah cukup untuk menegakkan diagnosis awal dan memulai terapi. (P.G.Konthen dkk.,2008)

  2.6.1. Anamnesis Gejala utama meliputi: hidung tersumbat, keluar seperti sekret hidung yang encer, bersin – bersin, rasa gatal di hidung, langit – langit, sekitar mata dan telinga. Beberapa penderita mengeluhkan mata merah dan lakrimasi. Gejala nasal dan okuler menjadi petunjuk untuk membedakan rinitis alergi dan rinitis kronis lainnya. Gejala tambahan (sekunder) yang didapatkan pada penderita tertentu meliputi penjalaran inflamasi pada tuba eustachii, telinga tengah, dan sinus paranasalis; mengakibatkan rasa penuh di telinga, gangguan pendengaran, serta nyeri kepala.Postnasal drip dapat menyebabkan nyeri tenggorokan dan batuk kronis. (P.G.Konthen dkk.,2008)

  "

  Menurut kriteria evaluasi anamnesis ARIA, diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan apabila terdapat gejala utama sebagai hidung berair dengan ingus encer. Gejala utama tersebut dapat bersamaan dengan satu atau lebih gejala sebagai berikut: bersin, sumbatan hidung, gatal pada hidung, atau konjungtivitis (mata merah dan gatal). Apabila seseorang memenuhi kriteria diatas diperlukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut untuk mendapatkan diagnosa pasti Rinitis Alergi. (ARIA, 2008)

  2.6.2. Pemeriksaan fisik Pada inspeksi terdapat garis gelap periorbital (allergic shinners) akibat

  

poolingdarah vena kronis. Anak – anak sering kali menggosok – gosok hidungnya

  dengan telunjuk karena gatal (allergic salute). Konjungtiva tampak kemerahan dengan encer atau gelatinous. Rhinoscopy anterior menunjukkan concha nasalis

  

inferior dan medius pucat dan membengkak disertai eksudat encer. (P.G.Konthen

  dkk.,2008)

  2.6.3. Pemeriksaan penunjang Bila diagnosis masih diragukan maka pemeriksaan laboratorium diharapkan dapat membantu.

  • Tes tusuk kulit

  Pemeriksaan ini lebih sensitif dan memungkinkan pemeriksaan dengan alergen lebih bervariasi.

  • IgE spesifik (RAST)

  Hanya dianjurkan pada penderita dengan dermatitis yang luas atau dermatografisme.

  • Pemeriksaan darah tepi

  Pada hitung jenis lekosit dan hitung jenis eosinofil terjadi peningkatan eosinofil darah tepi. Pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk menyaring karena rinitis alergi dapat terjadi tanpa peningkatan eosinofil, sebaliknya didapatkan pada rinitis nin alergi (NARES). (P.G.Konthen dkk.,2008)

  " 2.7 . Penatalaksanaan Rinitis Alergi

  Pada guideline ARIA dicantumkan beberapa tujuan penatalaksanaan dari rinitis alergi adalah sebagai berikut:

  • Tidur yang tidak terganggu
  • Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk pekerjaan dan kehadiran sekolah, tanpa keterbatasan atau gangguan, dan kemampuan untuk sepenuhnya berpartisipasi dalam olahraga dan aktivitas kesenangan
  • Tidak ada gejala yang menganggu
  • Tidak atau efek samping minimal dari pengobatan rinitis alergi

  Penatalaksanaan rinitis alergi terdiri atas 3 kategori utama dari pengobatan, yaitu:

  1. Pengandalian lingkungan dan penghindaran alergen

  2. Penatalaksanaan secara farmakologi

  3. Imunoterapi

  2.7.1 Pengendalian Lingkungan dan Penghindaran Alergen Pengendalian lingkungan dan penghindaran alergen meliputi penghindaran terhadap alergen yang diketahui (substansi spesifik yang dapat merangsang hipersensitivitas yang dimediasi IgE pada pasien) serta penghindaran terhadap alergen non spesifik, misalnya iritan ataupun perangsang. (Sheikh,2013)

  2.7.2 Farmakoterapi Penderita dengan gejala Rinitis Alergi berselang (intermitten) dapat diobati secara adekuat dengan antihistamin oral, dekongestan, atau keduanya bersamaan. Penggunaan rutin dari steroid sediaan semprot tidak dianjurkan untuk penderita dengan gejala Rinitis Alergi kronis. Penggunaan sehari-hari dari antihistamin, dekongestan, atau keduanya dapat dipertimbangkan daripada atau sebagai tambahan dari steroid nasal. Antihistamin generasi kedua (yaitu golongan nonsedatif) biasanya lebih dianjurkan untuk menghindari efek sedatif dan efek samping lainnya. Antihistamin tetes mata (untuk gejala pada mata), intihistamin intranasal sediaan semprot, intranasal cromolyn (mast cell stabilizer), dan kortikosteroid oral jangka pendek (terbatas hanya untuk episode berat dan akut) mungkin juga dapat digunakan sebagai obat simtomatik. (Sheikh,2013)

2.7.3 Imunoterapi (desensitisasi)

  Imunoterapi mengandung resiko karena reaksi alergi sistemik berat dapat terjadi. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan resiko dan keuntungan dari imunoterapi dibandingkan resiko dan keuntungan dari pengobatan lainnya. Terdapat beberapa jenis imunoterapi, misalnya Sublingual Immunotherapy (SLIT) dan Subcutaneous Immunotherapy (SCIT)

  Indikasi imunoterapi lebih dianjurkan pada penyakit berat, respon yang kurang terhadap pilihan pengobatan lainnya, dan adanya faktor pemberat ataupun komplikasi. Imunoterapi biasanya dikombinasikan dengan pengobatan farmakoterapi dan pengendalian lingkungan.

  Terdapat juga kontraindikasi dari imunoterapi. Imunoterapi hanya boleh dilakukan oleh individu yang telah terlatih, yang dapat melaksanakan tindakan pencegahan yang tepat, dan seseorang yang berpelengkapan untuk menanggulangi kejadian yang tidak diinginkan. (Sheikh,2013)

2.8. Komplikasi Rinitis Alergi

  Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penederita rinitis alergi bila tidak dilakukan penatalaksanaan secara benar, misalnya: progresi menjadi eksaserbasi asthma, gangguan pertumbuhan fasial, hyposmia, protrusi gigi seri, malocclusion, nasal polyps, efusi telinga tengah (gangguan pendengaran), sinusitis, dan gangguan tidur. (D.A.D.Guzman et al., 2013)