PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

(1)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada

Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM

MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI

(Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan

Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

dalam Bidang Pendidikan Luar Sekolah

Promovendus

Agus Winarti NIM.1006987

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

SEKOLAH PASCASARJANA


(2)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada

Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta

2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM

MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI

(Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan

Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta)

Oleh Agus Winarti

Dra. IKIP Yogyakarta, 1982 M.Pd. IKIP Bandung, 1994

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Ilmu Pendidikan (Dr.) pada Sekolah Pascasarjana Pendidikan Luar Sekolah

© Agus Winarti 2014 Universitas Pendidikan Indonesia


(3)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada

Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Disertasi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(4)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada

Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta


(5)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada

Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah ABSTRAK

Pelatihan Kecakapan Vokasional Dalam Mewujudkan Hidup Mandiri (Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan

Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta).

Pokok permasalahan penelitian ini, teridentifikasi secara empirik bahwa masyarakat pascabencana Erupsi Merapi kehilangan mata pencahariannya sehingga terjadinya pengangguran karena tidak memiliki kecakapan vokasional untuk mewujudkan hidup mandiri. Kondisi ini yang mendorong dilakukannya penelitian untuk memberikan kecakapan vokasional yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Penelitian ini bertujuan agar masyarakat memiliki kecakapan vokasional yang mudah, tepat dan dalam waktu singkat dapat segera diaplikasikan dalam kehidupan untuk memperoleh pendapatan. Teori dasar yang melandasi penelitian ini adalah mengacu kepada konsep-konsep dan teori-teori yang relevan mengenai pelatihan kecakapan vokasional, hakekat hidup mandiri, pemberdayaan masyarakat, dan perubahan sosial. Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus pada masyarakat pasca bencana alam erupsi Merapi. Teknik pengumpulan data melalui dokumentasi, FGD, observasi dan wawancara. Teknik analisis data kualitatif menggunakan analisis induktif. Hasil dan temuan penelitian menunjukan bahwa (1) Pelatihan kecakapan vokasional baru pertama kali di selenggarakan di hunian sementara. Praktek langsung aplikatif pada bangunan yang sesungguhanya dan magang bekerja. Masyarakat berinisiatif mencari/menciptakan lapangan pekerjaan, mencari modal dan mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya agar tetap bertahan hidup. (2) Ketercapaian pelatihan, pada tahap proses mampu mempraktekkan hasil dari pelatihan, peserta dapat langsung mengaplikasikan hasil pelatihan kecakapan vokasionalnya. (3) Dampak dari pelatihan masyarakat memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan dan mampu mengaplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Sehingga memperoleh pendapatan dan masyarakat dapat mewujudkan hidup mandiri tanpa bantuan dari pendonor.(4) Pendukung pelatihan, kesiapan masyarakat mau dan mampu menerima perubahan; program BDR dan BDL,

Masyarakat memiliki filosofi hidup “Adoh ratu cedhak watu” kemauan dan

kemampuan keras mendukung terealisasinya rehabilitasi dan tingginya partisipasi masyarakat dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana alam. Kesimpulan, masyarakat mampu hidup mandiri, cepat terbangun kembali dari keterpurukan pasca bencana alam. Karena itu direkomendasikan bagi pemerintah daerah dan praktisi penanggulangan bencana hendaknya pelatihan ini dapat dijadikan model pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri. Pelatihan


(6)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada

Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta

yang dapat segera diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk memperoleh pendapatan.

Kata Kunci: Pelatihan, kecakapan vokasional, pascabencana, hidup mandiri

ABSTRACT

Vocational Skills Training in Realizing an Independent Life (A Study of the Post-Disaster Communities of Merapi Eruption in Cangkringan District, Sleman

Regency, Special Region of Yogyakarta)

The research has empirically identified that the primary issue of this research is the fact the post-disaster communities of Merapi Eruption lost their livelihoods, resulting in unemployment, due to the communities not having vocational skills to realize an independent life. The condition prompted research that trains the local communities with appropriate vocational skills to be conducted. The research aimed to equip the communities with adequate soft vocational skills in a short term to be immediately applied in their lives in order to earn income. The research is drawn upon concepts and theories relevant to vocational skills training, the nature of independent life, community empowerment, and social changes. The method employed was qualitative with a case-study approach of the post-disaster communities of Merapi Eruption. Data collection techniques consisted of documentation, focus group discussion, observation, and interview. The qualitative data analysis technique employed inductive analysis. The results and findings of this research reveal that (1) Vocational skills training was conducted in the temporary settlements for the first time. The practice was directly applied to the real object and was done through internship. The communities have initiatives in searching for or creating employment, looking for capital, and developing the knowledge they have to survive; (2) The achievements of the training program are at the stage where the participants are able to implement the outcomes of the training; (3) The impacts of this training are the communities come to have knowledge, attitudes, and skills, and they are able to apply the skills in their daily lives; and 4) The advocates of the training, the preparedness of the communities who are willing and able to accept changes; Financial Aid for Housing

and Direct Financial Aid programs; and the communities’ philosophy of “Adoh ratu cedhak watu” which means strong will and determination, all support the realization


(7)

post-Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada

Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah

disaster rehabilitation and reconstruction efforts. In conclusion, the communities are able to live independently and recover quickly from their post-disaster deterioration. Hence, it is recommended that the regional government and practitioners make this training a model for vocational skills training in realizing an independent community life that should be urgently applied in real life in order for communities to gain incomes.


(8)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ………. ii

LEMBAR PERNYATAAN ………. iii

KATA PENGANTAR ………. iv

UCAPAN TERIMA KASIH ………... v

ABSTRAK ………... vi

ABSTRACT ………. vii

DAFTAR ISI ……… viii

DAFTAR TABEL ……… x

DAFTAR GAMBAR ………... xi

DAFTAR LAMPIRAN ……… xii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian ………. B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ……… C. Tujuan Penelitian ……….. D. Manfaat Penelitian ……… E. Struktur Organisasi Disertasi ………

1 18 20 20 21

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Hakekat Pendidikan dan Pelatihan ………. 1. Pengertian Pendidikan dan Pelatihan ……….. 2. Tujuan Pelatihan ………. 3. Pelaksanaan Pelatihan ………. 4. Pelatihan Kecakapan Vokasional ……… 5. Sasaran Pendidikan dan Pelatihan ……….. B. Hakekat Hidup Mandiri ……….. 1. Pengertian Mandiri ………. 2. Mengembangkan Kemandirian ……….. 3. Pemberdayaan Masyarakat ……… 4. Menumbuh Kembangkan Kemandirian Warga Belajar .. 5. Karakteristik Kemandirian ……….. 6. Dampak Kemandirian ……….

23 23 29 31 36 37 57 58 60 63 74 77 79


(9)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman

C. Dampak Pelatihan ……….. 1. Perubahan Orientasi Mata Pencaharian………..…. 2. Proses Perubahan Sosial ………. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sosial … D. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan ……… E. Kerangka Berpikir Penelitian ………..

81 83 84 87 95 99

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Subyek Penelitian ………. B. Desain Penelitian ……… C. Metode Penelitian ……….. D. Definisi Operasional ……… E. Instrumen Penelitian ……… F. Teknik Pengumpulan Data ………. G. Analisis Data Kualitatif ……….

102 105 109 111 113 115 119

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran pelaksanaan. pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri pada masyarakat pascabencana erupsi merapi ……...….……… 1. Deskripsi Kondisi Lokasi Penelitian ……….………… 2. Deskripsi Pelatihan Kecakapan Vokasional ………….. 3. Kasus Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi

dalam Mewujudkan Hidup Mandiri ……….. B. Ketercapaian Pelatihan Kecakapan Vokasional

Dalam Mewujudkan Hidup Mandiri ……….. C. Dampak Pelatihan Kecakapan Vokasional Dalam

Mewujudkan Hidup Mandiri ………...… D. Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Pelatihan

Kecakapan Vokasional ……….... E. Pembahasan hasil penelitian ………

1. Gambaran Pelaksanaan Pelatihan Kecakapan Vokasional ………..… 2. Ketercapaian Pelatihan Kecakapan Vokasional

Dalam Mewujudkan hidup Mandiri ………... 3. Dampak Pelatihan Kecakapan Vokasional Dalam

Mewujudkan Hidup Mandiri ……….. 4. Pendukung dan Penghambat Pelatihan Kecakapan

Vokasional ……….

123 129 135 162 167 200 239 241 241 259 263 269


(10)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta

A. Simpulan ……….

B. Rekomendasi ………...

272 274

DAFTAR PUSTAKA ………..

LAMPIRAN-LAMPIRAN ……….

RIWAYAT HIDUP ………..……….

276 283 321

DAFTAR TABEL

No Tabel Halaman 2.1. 2.2. 2.3 2.4. 3.1 3.3 4.1 4.2 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8 4.9. 4.10

Kondisi Belajar dan Prinsip-prinsip Mengajar ……….…... Model Empowerment Masyarakat ……….…….…. Elemen Kemandirian ……….………..…. Kemandirian Kelompok Terkena Dampak Elemen ………... Karakteristik Informan ………... Teknik Analisa Data ………..…... Karakteristik Informan ………..………... Komposisi Penduduk Kecamatan Cangkringan Menurut

Usia Pendidikan dan Mata Pencaharian ………..…..………...

Kurikulum Pelatihan Kecakapan Vokasional ………. Luas Wilayah Desa Kepuharjo per Padukuhan Pasca Erupsi…

Daftar Sebaran Hunian Sementara Korban Erupsi Merapi…… Pernyataan Informan Tentang Tujuan Pembelajaran ………… Pernyataan Informan Tentang Strategi Pembelajaran………... Pernyataan Informan Tentang Pola Pikir Masyarakat Peserta Pelatihan ………..………. Pernyataan Informan Tentang Karakteristik Masyarakat Peserta Pelatihan ………..…..……….…. Pernyataan Informan Tentang Evaluasi Pelatihan ……..……

51 68 74 80 104 122 128 131 146 150 155 177 181 184 188 194


(11)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Halaman 2.1 2.2 2.3 2.4 3.1 3.2 3.3 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7

Langkah Kegiatan Model Pelatihan Partisipasif ………..…... Andragogy In Practice ……… The Statges Of Planned Change ………. Kerangka Berfikir Penelitian ………... Situasi Sosial ……… Disain Penelitian………... Komponen Dalam Analisa Data Kualitatif ……… Sistim Pembelajaran………. Proses Pelatihan Praktek ……… Analisis SWOT Efektifitas Pelatihan Kecakapan Vokasional …… Inisiatif Mengatasi Kesulitan ……….. Menciptakan Lapangan Pekerjaan………

Modal Usaha ………

Mengembangkan Pengetahuan ………...

33 42 90 99 102 109 120 124 161 197 230 232 234 235


(12)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta

DAFTAR LAMPIRAN

No Lampiran Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10

Kisi-kisi Penelitian ……….. Pedoman Dokumentasi ……… Pedoman Diskusi Kelompok Terfokus .………...….. Pedoman Observasi ……….. Pedoman Wawancara Untuk Sumber Belajar……….. Pedoman Wawancara Untuk Dukuh, Ketua Kelompok dan Peserta Pedoman Wawancara Untuk Lurah ……… Jadwal Pelatihan Tukang ……….. Daftar Peserta Pelatihan ……….. Photo-photo Kegiatan Penelitian Pasca Bencana Erupsi Merapi…..

283 285 286 288 292 295 298 301 302 304


(13)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman


(14)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Letak geografi dan struktur geologi, Indonesia termasuk wilayah rawan terhadap bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi, seperti; gempa bumi tektonik, aktifitas vulkanik, banjir, tanah longsor, angin topan, tsunami, kebakaran hutan, maupun letusan gunung berapi. Indonesia berada dalam wilayah perbenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik dan lempeng India Australia yang membawa dampak kerawanan Indonesia terhadap berbagai aktivitas seismic yang kuat dan intensif. Dan pertemuan dua jalur gempa utama, yaitu Circum Pacific, jalur gempa Alpine Transasiatic, karena itu kepulauan Indonesia berada pada daerah yang mempunyai aktivitas gempa bumi cukup tinggi. Selain itu, Indonesia juga memiliki lebih dari 500 gunung berapi, 128 gunung berapi diantaranya masih aktif. (Puslibang SDA, 2004)

Pada beberapa tahun terakhir ini bencana alam akibat gempa bumi makin sering terjadi di Indonesia Tidak bisa dilupakan gempa bumi di Laut Flores 12 Desember 1992, Lampung 16 Februari 1994, Banyuwangi 3 Juni 1994, Pulau Alor 24 Oktober-15 November 2004, Nabire 6 Februari 2004, Aceh 26 November 2004 gempa tersebut memicu gelombang Tsunami yang dampaknya terasa di 11 negara Asia dengan jumlah korban diperkirakan tidak kurang dari 80.000 jiwa, dan Daerah Istimewa Yogyakarta 26 Oktober 2010 - 5 November 2010. Jumlah kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 hingga berkisar Rp. 4,23 trilyun.

Kondisi geografi Indonesia dengan ribuan pulau besar dan kecil yang terletak sedemikian rupa, serta campur tangan manusia dalam mengeksploitasi hutan yang berlebihan, penambangan liar oleh masyarakat sehingga hal tersebut sebagai penyebab terjadinya bencana alam di berbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini sesuai dengan Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, menjelaskan bahwa “Wilayah Negara Republik


(15)

Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional”.

Dampak dari terjadinya bencana alam tersebut merusakkan rumah-rumah masyarakat, infrastruktur, hilangnya harta benda, luka, trauma psikologis penduduk, bahkan menimbulkan korban manusia terutama sekitar kejadian bencana alam. Kehilangan pekerjaan rutin kesehariannya seperti bertani, beternak dan memerah susu, perniagaan bahkan layanan umumpun tidak berjalan. Selain itu, dari dampak bencana alam tersebut secara langsung berhubungan dengan kehidupan masyarakat secara luas. Menyadari wilayah yang merupakan kawasan rawan bencana, pemerintah mengupayakan langkah-langkah strategis untuk melindungi setiap warga negara dengan langkah-langkah penanggulangan bencana yang dimulai dari sebelum, pada saat dan setelah bencana terjadi

Selanjutnya Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono mengingatkan, ada dua hal yang mengancam warga sekitar Merapi saat ini. Dua ancaman itu adalah erupsi atau letusan dan banjir lahar, sementara itu banjir lahar juga mengancam karena di saat musim penghujan, kata Surono. "Hujan itu bisa menyapu abu sehingga tidak mengganggu pernafasan dan kesehatan manusia tapi keburukannya, jika hujan sangat lebat, dapat menimbulkan banjir lahar yang mengancam masyarakat yang beraktivitas di sungai-sungai yang berhulu di Merapi." (BVMKG: 1 November 2011).

Lahan pertanian tidak dapat segera diperbaiki bahkan tidak mungkin lagi dapat diperbaiki, degradasi lingkungan, gagal panen, terganggunya industri dan perdagangan, petani, peternak, kehilangan mata pencaharian yang merupakan tumpuan hidup keluarga. Seperti bencana gunung api, total kerugian bencana merapi mencapai 5,4 Trilyun, laporan bupati di depan anggota DPRD Sleman.

Secara makro banyak masyarakat yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung akibat bencana alam. Dampak langsung, yaitu: Pertama, korban


(16)

Agus Winarti, 2014

jiwa, korban meninggal biasanya berasal dari pemukiman penduduk yang terletak di daerah rawan bencana. Mereka meninggal akibat sapuan awan panas “Wedus Gembel”, dan kepanikan saat mau mengungsi; Kedua, akibat guncangan hebat pada saat bencana berlangsung dan realitas “kehampaan” hidup, trauma akibat kehilangan banyak hal; sanak keluarga dan harta benda pasca masyarakat belum bisa menerima kenyataan apa yang terjadi; Ketiga, kondisi masyarakat yang hidup serba kesulitan, keadaan ini akan membelenggu mereka ke dalam kondisi psikologis yang semakin rentan karena mereka tidak sanggup menanggung beban hidup yang lebih berat lagi; Keempat, kehilangan pekerjaan yang berakibat pada merosotnya perekonomian di daerah bencana. Hilangnya lahan pertanian dan peternakan yang mayoritas adalah bertani (36.14%) dan beternak (31,91%), hilang pula mata pencaharian masyarakat, dampaknya adalah pengangguran mendadak yang secara langsung muncul kemiskinan baru bagi masyarakat di wilayah ini.

Banyak dampak merugikan yang bersifat tak langsung akibat bencana alam erupsi merapi, yaitu Pertama, hilangnya/rusak sarana dan prasarana, serta hilangnya lahan-lahan pertanian, hutan lindung, peternakan maupun ladang yang produktif tertutupi oleh lahar dingin; Kedua, dampak sektor sosial seperti puskemas, tempat ibadah, sekolah, kantor polisi, dan kalurahan, gedung pertemuan, irigasi, penerbangan terganggu, serta lembaga sosial budaya lainnya;

Ketiga, Penilaian kerusakan dilakukan terhadap fasilitas sosial yang mengalami

kerusakan sehingga potensi pendapatan dan pemasukan retribusi dan fasilitas sosial terhenti; Keempat, dampak fisik pasca bencana alam bila turun hujan, bencana berikutnya adalah banjir lahar dingin.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dampak bencana, antara lain;

Pertama, banyaknya masyarakat yang tinggal di lereng-lereng gunung berapi

yang curam, rawan bencana, di pinggir sungai; Kedua, pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan orang menggunakan lokasi rawan bencana sebagai pemukiman; Ketiga, kemiskinan, industrialisasi, urbanisasi, eksploitasi sumber daya alam sehingga merusak ekosistem; Keempat, Belum adanya motivasi untuk


(17)

mempertahankan hidup bagi keluarga pasca bencana alam, dan belum mempunyai kemauan untuk bangkit; Kelima, kurangnya barak pengungsian dan pelayanan penanggulangan krisis sehingga saat kejadian tidak mampu menyelamatkan diri.

Sejalan dengan hasil penelitian Zamroni dalam Jurnal Penanggulanngan Bencana Volume 2 Nomor 1, Tahun 2011 adalah.

Masyarakat di perbukitan G,Merapi umumnya hidup di lereng-lereng yang curam dan rentan terjadi longsor. Hal ini masih diperparah dengan kondisi sebagian masyarakat yang berada pada garis kemiskinan dan ekonomi subsistensi. Lemahnya kapasitas warga menjadikan kerentanan semakin tinggi. Oleh karenanya, jika terjadi guncangan atau bencana sekecil apapun warga akan mudah sekali terperosok dalam ketidakberdayaan (exposure)

Dalam keadaan menderita, manusia biasanya tidak mampu berpikir jernih sehingga sulit bersikap tenang. Kondisi psikososial didaerah bencana bagi masyarakat mengakibatkan berbagai goncangan psikologis seperti hilangnya rasa percaya diri, muncul kekhawatir bahkan memunculkan gejala phobia yaitu perasaan takut yang berlebihan seperti rasa takut, cemas, duka cita yang mendalam, tidak berdaya, putus asa, kehilangan kontrol, frustrasi sampai depresi. Individu dan masyarakat mengalami trauma dan tekanan hidup bertubi-tubi dan berkelanjutan. Selain menderita luka fisik, para korban yang selamat juga mengalami gangguan psikologis yang berdampak pada kondisi psikis maupun spiritual mereka. Perubahan mendadak sering membawa dampak psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh para korban tersebut dapat mengubah pandangan mereka tentang kehidupan dan penghidupan yang menyebabkan tekanan pada jiwa mereka.

Situasi demikian dapat menurunkan motivasi untuk mempertahankan hidup selanjutnya. Selain implikasi psikososial yang pada umumnya muncul dikalangan masyarakat pasca bencana, mereka mengalami pengalaman traumatis dimana daya penyesuaian satu individu dengan individu lainnya akan mengalami hambatan.

Dampak traumatik masyarakat enggan untuk bekerja bahkan tidak mempunyai motivasi untuk mencari nafkah, karena ketrampilan yang mereka andalkan sebelumnya ada ketergantungan dengan alam seperti petani dan


(18)

Agus Winarti, 2014

beternak. Motivasi masyarakat pasca bencana sangat menurun bahkan tidak memiliki lagi motivasi untuk masa depannya sendiri kekalipun, tidak memiliki harta benda, ternak bahkan lahan pertanian pun tidak ada lagi

Pascabencana erupsi merapi menurut sebagian masyarakat setempat juga merupakan berkah, sumber daya alam yang melimpah seperti pasir, batu, kerikil yang belum dimanfaatkan secara optimal. Demikian juga potensi yang ada dalam masyarakat berupa sumber daya masyarakat, masyarakat yang hidup bersama menghasilkan kebudayaan dapat diberdayakan secara optimal, seperti budaya gotong royong, filosofi hidup, dan strategi penghidupan. Pengembangan sumber daya masyarakat pasca bencana tidak dapat terlepas dari kebutuhan yang mendesak yang harus segera terpenuhi. Kebutuhan akan makan, masyarakat harus bekerja secara produktif untuk memperoleh pendapatan sebagai pemenuhan kebutuhan pokok hidup. Hal ini jika tidak segera ditangani akan menambah panjang daftar kemiskinan dan kehidupan mandiri masyarakat semakin rendah.

Budaya gotong royong/ saling membantu antar sesama individu korban bencana menjadi motivasi hidup masyarakat, kekuatan yang besar dalam masyarakat korban bencana ini dapat membangkitkan motivasi untuk bangkit dan membangun kembali dari keterpurukan, hingga dapat memenuhi kebutuhan untuk hidup mandiri, lepas dari ketergantungan pihak luar.

Dalam hirarki kebutuhan Maslow (1984) pangan dan sandang dikategorikan sebagai physiological/survival need bagi setiap orang. Pangan dan sandang dapat diperoleh melalui bekerja. Untuk meningkatkan kemampuan memenuhi kebutuhan sandang dan pangan masyarakat pasca bencana harus bekerja produktif. Kecakapan vokasional masyarakat pasca bencana erupsi merapi harus dikembangkan agar dapat meningkatkan kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan, meningkatkan kualitas hidup, hingga dapat hidup mandiri lepas dari ketergantunngan dari pihak luar.

Penanggulangan pascabencana dan penanganan pengungsi telah dilakukan, seperti diketahui bahwa banyak sekali bantuan livelihood dari pemerintah, khususnya badan yang mengkoordinir penanganan bencana pengungsi yaitu


(19)

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Sedangkan dalam pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh sektor-sektor teknis seperti; Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Pekerjaan Umum maupun Departemen Dalam Negeri.

Sementara lembaga non pemerintah, seperti: Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik lokal, nasional maupun internasional, serta organisasi-organisasi masyarakat, maupun secara perorangan banyak berpartisipasi membantu.

Bantuan-bantuan yang diberikan pada umumnya berupa: pertama, pangan;

kedua, modal usaha; ketiga, fasilitas tempat tinggal (hunian sementara), keempat, peralatan/bahan untuk pengembangan usaha, dan kelima, peningkatan

kemampuan (pelatihan). Dari beberapa jenis bantuan tersebut yang lebih sering diberikan adalah bantuan yang bersifat fisik (pangan dan modal usaha) daripada yang bersifat non-fisik (pedampingan dan pelatihan). Kondisi ini terjadi karena pihak luar lebih sering melihat korban bencana sebagai objek, bukan subjek yang dapat menolong dirinya sendiri. Akibat dari hal tersebut akan terbentuk sikap mental ketergantungan korban bencana pada pihak luar. Hal ini menjadi salah satu sebab semakin rendahnya kehidupan mandiri masyarakat. Kehidupan masyarakat sangat memprihatinkan, semakin sulit untuk dapat hidup mandiri. Dimana mandiri merupakan kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu yang dikekendakinya tanpa minta bantuan kepada orang lain. Dengan menerima bantuan-bantuan ini menjadikan masyarakat tergantung pada pihak luar.

Adanya bantuan tersebut akibatnya membentuk sikap mental ketergantungan pada masyarakat korban bencana. Berjalannya waktu masyarakat semakin berat untuk menopang kehidupan sehari-harinya, tanpa memiliki penghasilan yang dapat diandalkan.

Strategi survival dapat dilihat dari sisi internal, yaitu seseorang dalam menghadapi berbagai kesulitan dipengaruhi oleh perilaku yang dimiliki seseorang, seperti semangat (daya juang), keyakinan kepada Tuhan, keberanian menghadapi resiko, inisiatif, dan memiliki visi ke depan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Percaya diri, bahwa dirinya adalah bisa dan mampu menghadapi


(20)

Agus Winarti, 2014

kenyataan ini. Sisi eksternal, strategi survival dipengaruhi oleh solidaritas sosial seseorang sebagai tempat mengadu/ curahan hati dari kepedihan akibat bencana.

Perilaku mandiri merupakan dasar bagi seseorang dalam meningkatkan kualitas pekerjaannya Sagir,S (1986:15), menyatakan:

Mandiri, menciptakan kerja untuk diri sendiri, maupun berkembang menjadi wiraswasta yang mampu menciptakan lapangan kerja bagi orang lain ataupun mampu menjadi cendikiawan, manusia yang berkreasi, inovatif, melalui ide-idenya atau hasil penemuannya, menjadikan masyarakat lebih baik; baik dalam bentuk inovasi teknologi, ataupun inovasi ilmu yang mampu mengembangkan ilmu lebih maju, sebagai upaya preventive maupun repressif untuk kelangsungan hidup sumberdaya manusia.

Kemandirian merupakan salah satu ciri kedewasaan individu yang ditandai oleh adanya kemauan dan kemampuan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup minimalnya secara sah, wajar, dan bertanggungjawab. Kemandirian tidak identik dengan kehidupan individualistik yang mengisolasi diri dari orang lain dan lingkungan sekitar. Akan tetapi individu yang mandiri adalah individu yang hidup dan berada di tengah masyarakat yang bekerja sama dengan masyarakat di sekitarnya. Selain itu, individu mandiri memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri secara wajar walaupun dalam batas yang sangat minimal sekalipun. Kemandirian seseorang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pengalaman, kondisi ekonomi, dan status sosial. Perilaku yang selalu aktif untuk berusaha meningkatkan penghasilan tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Keterbatasan daya tangkap sehingga harapan hidup masyarakat menurun akibatnya hilang motivasi untuk mempertahankan hidup, karena tidak memiliki mata pencaharian/ pendapatan lagi. Pemerintah dalam hal ini memberikan jatah hidup/ bantuan pangan yang sifatnya sementara, untuk seterusnya masyarakat harus mampu menjalani hidup wajar.

Partisipasi masyarakat pada rehabilitasi dan rekonstruksi umumnya sangat antusias dengan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pendonor, hal ini disambut dengan baik oleh masyarakat pascabencana erupsi Merapi. Masyarakat pascabencana menyadari bahwa yang memiliki masalah adalah masyarakat sehingga jika tidak memberikan informasi yang dibutuhkan mereka tidak akan


(21)

mengetahui kebutuhan yang sebenarnya dibutuhkan. Patisipasi masyarakat dalam rehabilitasi dan kekonstruksi masyarakat sangat menentukan dalam kecepatan pemulihan dari bencana alam. Semakin cepat proses upaya meningkatkan kekuatan dan kemampuan masyarakat dalam melakukan control internal dalam memecahkan masalah-masalah pasca bencana alam maka semakin cepat pula rehabilitasi dan rekonstruksi masyarakat pasca bencana alam kembali normal.

Christina Bollin and Shivani Khanna hasil penelitiannya pada bulan

November 2007. (Post Disaster Recovery Needs Assessment and Methodologies,

Experiences from Asia and Latin America) menyimpulkan partisipasi langsung

masyarakat yang terkena dampak, representasi 'sebenarnya' masyarakat yang terkena dampak. Dalam pembangunan kembali daerah terkena bencana harus ada partisipasi langsung dari masyarakat sendiri dan LSM lokal, karena sebenarnya yang mengetahui persis kondisi dan situasi daerahnya adalah masyarakat yang terkena dampak bencana alam tersebut.

Partisipasi masyarakat sangat menentukan dalam pemulihan pasca bencana alam erupsi merapi. Dalam seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Yogyakarta 2008 yang disampaikan oleh Pratikno dkk; Esensi dasar dari partisipasi adalah menghasilkan pemberdayaan yaitu membangkitkan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan ketrampilan masyarakat yang lemah untuk meningkatkan kapasitas dalam menentukan masa depan mereka. Konsep utama yang terkandung dalam pemberdayaan adalah bagaimana memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk menentukan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya bersama, mengontrol implementasinya dan menikmati hasil dari implementasi tersebut. Dalam hal ini, Pujiono (2007:44) mengatakan bahwa;

Dalam kenyataannya masyarakat yang terkena bencana seringkali menjadi penonton dalam upaya penanggulangan bencana. Mereka dijadikan obyek, proyek, tidak diminta pendapat mengenai apa masalah yang mereka alami akibat bencana, apa kemampuan mereka dan apa yang dibutuhkan segera agar dapat pulih seperti sebelum bencana terjadi.


(22)

Agus Winarti, 2014

Melalui pendidikan dan pelatihan diharapkan masyarakat dapat menghadapi tantangan dimasa-masa yang akan datang serta menjadi manusia cerdas, terampil, mandiri dan bertanggung jawab (sense of responsibility). Pendidikan sepanjang hayat dapat memungkinkan individu mampu mengembangkan sikap kritis, kreatif dan mampu menghadapi perubahan, mampu bertahan pada situasi apapun dengan kuat dan penuh percaya diri. Sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa ”pendidikan dapat diperoleh melalui jalur formal, nonformal dan informal”. Belajar merupakan suatu upaya persiapan yang sangat positif bagi setiap insan agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan zaman. Pendekatan yang dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan.

Penanganan masyarakat pasca bencana dengan upaya-upaya pendidikan, telah diselenggarakan melalui berbagai program pelatihan. Masyarakat pasca bencana alam dengan berbagai kekurangan yang ada, belum cukup membuktikan dari dampak positif pelatihan (pendidikan nonformal) belum dapat digunakan sebagai bekal hidup secara mandiri. Ketidak berhasilan suatu pelatihan lebih sering diakibatkan adanya kesulitan dalam menyampaikan pesan dengan bahasa dan cara yang sesuai dengan budaya lokal. Proses komunikasi akan efektif jika sesuai dengan prinsip homophily (serupa), komunikasi akan lebih efektif jika dua orang yang berkomunikasi itu sampai dimana derajat kesamaannya dalam sifat-sifat tertentu seperti: bahasa, asal daerah, status sosial, kepercayaan, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Komunikasi seperti ini lebih besar kemungkinannya akan menjadi efektif, sehingga memperoleh keuntungan. Dilihat dari kelompok sasaran peserta didik adalah orang dewasa yang semula bertani dan berternak ada kendala jika harus alih mata pencaharian. Keadaan seperti ini merupakan masalah yang harus segera dipecahkan, karena akan berdampak munculnya pengangguran mendadak.

Kurang efektifnya pembelajaran dalam pelatihan kecakapan vokasional pada masyarakat pasca bencana alam memerlukan penelusuran dan pengkajian, sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat pasca bencana alam tersebut.


(23)

Peningkatan kemampuan masyarakat pasca bencana alam melalui pembelajaran dan pelatihan tidak dapat dilakukan melalui pendidikan sekolah, karena sekolah kurang berorientasi praktis pada kebutuhan hidup mereka. Pengetahuan, sikap dan keterampilan praktis yang langsung dapat digunakan masyarakat pasca bencana alam untuk meningkatkan taraf hidup mereka diperoleh di dalam pembelajaran pendidikan luar sekolah.

Pendidikan luar sekolah selain berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik (warga belajar) dengan penekanan pada pengusaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional. ( UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 26 ayat 1).

Pendidikan Luar Sekolah besar perannya dalam membangun masyarakat yang sedang terpuruk karena bencana alam. Hal ini dimungkinkan, karena pendidikan luar sekolah bukan merupakan pendidikan terminal yang tidak berlanjut, akan tetapi pendidikan luar sekolah dengan berbagai programnya mampu mempersiapkan sumber daya manusia yang handal.

Dalam perspektif Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Trisnamansyah,S (2007:39) mengemukakan sebagai berikut :

Pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang diselenggarakan dalam masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan warga belajar yang relevan dengan kebutuhan pengembangan masyarakat, yang dikelola (direncanakan, dilaksanakan, dievaluasi) oleh masyarakat dengan menekankan pada partisipasi aktif warganya dalam setiap tahap pengelolaan.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah dapat diterapkan dalam berbagai situasi, tidak terkecuali dalam menangani masyarakat pasca bencana alam erupsi merapi. Karena Pendidikan Luar Sekolah memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut :

(1) Memiliki tujuan untuk memperoleh keterampilan yang segera akan dipergunakan. Pendidikan luar sekolah menekankan pada belajar yang fungsional


(24)

Agus Winarti, 2014

yang sesuai dengan kebutuhan dalam kehidupan peseserta didik. Dengan memberikan pelatihan kecakapan vokasional, yang dapat memanfaatkan bahan lokal; (2) Berpusat pada peserta didik. Dalam pendidikan luar sekolah dan belajar mandiri, peserta didik mengambil inisiatif dan mengontrol kegiatan belajarnya; (3) Waktu penyelenggaraan relatif singkat, dan pada umumnya tidak berkesinambungan. Pengetahuan yang diperoleh dapat segera dimanfaatkan dan direalisasikan menjadi mata pencaharian baru. (4) Menggunakan kurikulum kafetaria. Kurikulum bersifat fleksibel, dapat dimusyawarahkan secara terbuka, dan banyak ditentukan oleh peserta didik, waktu disesuaikan dengan kesiapan warga belajar. (5) Menggunakan metode pembelajaran yang partisipatif, dengan penekanan pada belajar mandiri. Dimana peserta didik memiliki kebutuhan belajar, dan perilaku belajar. Pendidik menguasai metode dan teknik pembelajaran, memahami materi atau bahan belajar yang cocok dengan kebutuhan belajar. (6) Hubungan pendidik dengan peserta didik bersifat horisontal. Hubungan di antara kedua pihak bersifat informal dan akrab, peserta didik memandang fasilitator sebagai nara sumber dan bukan sebagai instruktur. (Sudjana S, D.2010:3).

Pelatihan kecakapan vokasional bagi masyarakat pasca bencana bukan sekedar dimaknai sebagai forum kebencanaan. Melainkan juga dimaknai sebagai wahana untuk menguasai seperangkat keterampilan, seperti pengetahuan yang dapat segera diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap mental yang efektif masyarakat pasca bencana, kecakapan vokasional yang sesuai dengan kebutuhan, dapat menjadi bekal hidup bersama secara simbiosis mutualistik dengan pihak-pihak terkait, pemilik modal, pedagang, pengguna jasa dan kebijakan pemerintah agar masyarakat pasca bencana alam dapat hidup mandiri.

Penanggulangan bencana merupakan kegiatan ekonomi yang bertujuan memulihkan kehidupan dan penghidupan masyarakat yang terkena bencana, penanggulangan bencana tidak dapat dianggap sebagai kegiatan rutin atau kegiatan sampingan yang sekadar bersifat reaktif. Penanggulangan bencana adalah


(25)

kegiatan pembangunan yang terkordinasi, menyeluruh dan terpadu serta berkelanjutan. (Subiyanto,I.2010:9)

Sejalan dengan temuan penelitian Wijayanti dkk (2010:39), ia menyimpulkan hancurnya lahan pertanian secara tidak langsung mempengaruhi aspek ekonomi. Hilangnya mata pencaharian para petani dapat mengakibatkan kelemahan ekonomi dan kelemahan ekonomi dapat mengakibatkan kerentanan kesehatan dan rendahnya kualitas kesehatan dapat mempengaruhi kemampuan masyartakat untuk lepas dari belenggu kelemahan ekonomi yang dideritanya. Aspek ekonomi sangat terganggu karena petani ataupun buruh kehilangan pekerjaannya karena lahan pertanian mereka hancur dan baru bisa dipanen sekitar 3-4 tahun kemudian. Pendidikan dan pelatihan yang telah diselenggarakan pada masyarakat pada umumnya memperoleh kendala seperti latar belakang pendidikan sederajat dengan SMP, bahasa teknik yang digunakan semakin menambah sulitnya pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dapat diterima oleh masyarakat korban bencana, begitu juga dengan metode yang dipergunakan dalam penyampaian kurang tepat bila sasaran peserta adalah orang dewasa.

Bernardin (2003: 146) dalam bukunya “Human Resources Management” menyatakan training is defined as any attemp to improve employee performance

on current held job or one related to it, bahwa pelatihan adalah segala usaha

untuk meningkatkan kinerja karyawan pada jabatan yang dipegangnya atau sesuatu yang berhubungan dengan pelatihan. Sementara menurut Moekijat (1993:3) pelatihan adalah suatu bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan ketrampilan di luar system pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang relatif singkat dan dengan metode yang lebih mengutamakan praktek daripada teori. Jadi pelatihan perupakan proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir, dengan mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis untuk tujuan tertentu.

Kegiatan belajar yang dapat memberikan manfaat bagi kita semua adalah pendidikan dan pelatihan yang akan membawa kita ke arah perubahan


(26)

Agus Winarti, 2014

pengetahuan, sikap, perilaku dan nilai-nilai serta ketrampilan yang bermanfaat baik secara pribadi maupun kelompok dalam masyarakat. Perubahan tersebut dapat mengantar kita untuk terbuka terhadap kebutuhan-kebutuhan yang makin bervariasi dan memberi jalan kearah pemenuhannya.

Perubahan lahan yang terjadi akibat bencana alam mengakibatkan perubahan tatanan penghidupan bagi masyarakat yang terkena dampak bencana alam, banyak masyarakat yang tidak berani kembali menetap di lahannya akibat peristiwa besar yang telah terjadi dan menimbulkan trauma mendalam bagi seluruh masyarakat yang ada di daerah bencana. Kondisi ini yang mengakibatkan masyarakat kehilangan atas akses terhadap lahan yang mereka miliki sehingga mempengaruhi aset penghidupan yang sudah ada. Selain itu juga memaksa masyarakat untuk tinggal di hunian-hunian sementara yang dibangun oleh swasta dan pemerintah di daerah yang jauh dari radius bencana alam. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masyarakat harus merubah pola penghidupan yang sudah ada bahkan harus menyesuaikan dengan kondisi lahan yang tersedia sehingga perlu adanya suatu penyesuaian terhadap lingkungan sekitarnya, kurangnya akses masyarakat terhadap penghidupan di tempat yang baru, bukan tidak mungkin masyarakat akan kembali menempati lahan-lahan mereka yang sudah dinyatakan tidak aman apabila ada becana alam berikutnya.

Pendekatan pemberdayaan (empowerment) memposisikan masyarakat pasca bencana sebagai subyek kegiatan pengembangan komunitas (community

development) dengan menghimpun dan peningkatan partisipasi serta pemberdayaan masyarakat. Perubahan orientasi mata pencaharian dari memposisikan masyarakat sebagai obyek menjadi subyek yang menjadikan masyarakat berperan aktif untuk berbuat, semuanya membawa kepada situasi yang mengarah pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Pemahaman pemberdayaan ini bukan sekedar pengetahuan saja tapi harus diaplikasikan pada metode dan media yang digunakan dimana salah satunya melalui partisipasi aktif masyarakat.


(27)

Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan individu khususnya kelompok rentan dan lemah dan tidak memiliki akses sehingga individu tersebut memiliki kekuatan atau kemampuan dalam berbagai dimensi kehidupan.

Kindervatter (1979) mengartikan pemberdayaan (empowering) sebagai

proses pemberian kekuatan atau daya dalam bentuk pendidikan yang bertujuan membangkitkan kesadaran, pengertian, dan kepekaan warga belajar terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan atau politik, sehingga pada akhirnya ia memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kedudukannya dalam masyarakat. Batasan ini lebih menekankan pada produk akhir dari proses pemberdaayaan, yaitu masyarakat memperolah pemahaman dan mampu mengontrol daya-daya sosial, ekonomi dan politik, agar bisa meningkatkan kedudukannya dalam masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut, Pujiono (2007:45) mengemukakan bahwa:

Ditinjau dari sudut prakmatik, dapat diasumsikan bahwa yang paling memahami kondisi dan dinamika suatu komunitas adalah komunitas itu sendiri. Asumsi ini kemudian diikuti dengan keyakinan bahwa penanggulangan bencana yang paling efektif adalah yang dilaksanakan oleh komunitas yang bersangkutan.

Sejalan dengan pendapat Subiyanto,I (2010:11) bahwa masyarakatlah yang pertama bersinggungan langsung terhadap bencana dan dampak bencana. Selain itu, masyarakat pula yang harus bertanggungjawab terhadap penanggulangan bencana, terutama masyarakat yang berada disekitar lokasi bencana atau masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana.

Penanggulangan bencana bukan saja menjadi tugas tanggung jawab pemerintah semata, akan tetapi menjadi tanggung jawab dan kewajiban masyarakat luas, (alim ulama, dunia pendidikan, dunia usaha, para ahli kebencanaan, para pemerhati bencana). Oleh karena penanggulangan bencana menjadi kewajiban masyarakat, maka keikutsertaan masyarakat dalam penanggulangan bencana menjadi wajib dan perlu disosialisasikan pada masyarakat.


(28)

Agus Winarti, 2014

Pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan bencana adalah upaya penanggulangan bencana yang berbasiskan pada masyarakat. Selain itu, juga bertumpu pada kemampuan sumberdaya manusia setempat (Community Based

Disaster Management). Wilayah Indonesia merupakan daerah yang rawan

bencana dan terjadi bencana hampir di sepanjang tahun dengan intensitas yang tinggi. Untuk mengubah potensi penduduk menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas adalah salah satu upaya peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Sebagai tahap ketiga dari penanggulangan bencana adalah tahap pasca

bencana. Kegiatan ini sedapat mungkin dilaksanakan oleh masyarakat secara

gotong royong dengan bantuan memberikan pelatihan-pelatihan kecakapan yang di butuhkan masyarakat.

Proses pemberdayaan lebih diutamakan pada situasi nyata dimana tujuan pelatihan dapat ditetapkan bersama pelatih dan peserta pelatihan. Masyarakat sebagai peserta pelatihan adalah tergolong orang dewasa, oleh karena itu prinsip yang digunakan dalam proses pelatihan harus mengacu pada prinsip pembelajaran orang dewasa. Dalam pembelajaran orang dewasa (andragogy) Knowles,M (1990:41) menjelaskan tentang konsep andragogi dengan “the art and science of

helping adults learn”, yaitu seni dan ilmu dalam membantu orang dewasa belajar. Dimana orang dewasa sebenarnya telah memiliki konsep diri, pengalaman, kesiapan belajar, perspektif waktu dan orientasi belajar. Hal tersebut dapat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran yang tepat dalam pelatihan yang kualitas dukungannya terhadap kegiatan pembelajaran pastisipasif sangat tinggi yaitu mengikutsertakan peserta pelatihan dapat semaksimal mungkin dan memotivasi potensi peserta untuk mampu melakukan sendiri.

Pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan melalui upaya pendidikan dan pelatihan dipengaruhi oleh kondisi budaya lokal. Nilai budaya lokal yang ditampilkan dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan lokal, yang dianut oleh masyarakat merupakan konsep yang telah lama berakar pada diri individu yang direfleksikan kedalam sikap hidup keseharian. Masyarakat menyadari cepat atau lambat bantuan dari pendonor akan berakhir, sehingga masyarakat betul-betul


(29)

harus memiliki kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan, ketreampilan dan sikap yang diperolehnya dalam kehidupan keseharian lepas dari ketergantungan dan dapat hidup mandiri.

Mandiri berarti memiliki kemampuan dan kemauan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya secara sah, wajar dan bertanggung jawab. Orang yang mandiri mampu hidup ditengah-tengah masyarakat yang bekerjasama dengan masyarakat sekitar, namun mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya secara wajar. Istilah lain yang maknanya hampir sama yaitu autonomi. Steinberg (dalam Sutanto 2006) menjelaskan, independence (mandiri) secara umum menunjuk pada kemampuan individu untuk menjalankan atau melakukan sendiri aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain. Sedangkan seseorang yang mandiri secara ekonomi artinya dia memiliki pendapatan yang cukup untuk membiayai kebutuhannya. Kemandirian ekonomi ini dapat juga dipandang sebagai kemandirian pekerjaan karena dengan mandiri pekerjaan berarti memiliki pendapatan.

Identifikasi kebutuhan belajar dalam perencanaan pelatihan dimaksudkan sebagai upaya menghimpun data dan informasi yang relevan dengan kebutuhan belajar warga belajar, menganalisis dan membuat sebuah kesimpulan. Kegiatan tersebut melalui proses menghimpun data dan informasi, pengecekan data dan informasi, analisa data dan informasi serta menarik kesimpulan. Data dan informasi sebagai wujud kebutuhan belajar warga belajar diformulasikan dalam bentuk model intervensi.

Kebutuhan pelatihan sangat berkaitan erat dengan kebutuhan belajar, kebutuhan belajar dimaksudkan adanya kesenjangan kemampuan di antara kemampuan yang telah dimiliki dengan kemampuan yang dituntut. Kemampuan tersebut menyangkut kemampuan pengetahuan , sikap, nilai dang tingkah laku sesuai dengan aspek yang menjadi fokus perhatian. Apabila kita sedang berbicara dalam kaitannya dengan peserta pelatihan, maka kebutuhan peserta pelatihan tersebut sangat berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berlaku pada kehidupannya atau pada dunia kerjanya.


(30)

Agus Winarti, 2014

Kaufman (dalam Abdulhak,I. 2000:29) berpendapat bahwa terdapat tiga model pendekatan dalam menetapkan kebutuhan belajar, yaitu: (1) model induktif, (2) model deduktif, (3) model klasik. Model induktif menekankan pada usaha yang dilakukan dari pihak yang terdekat, langsung dan dari bagian-bagian kearah pihak yang lebih luas dan menyeluruh. Model induktif digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar yang dirasakan langsung oleh calon warga belajar berupa pelatihan yang dapat mendukung rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, dapat menumbuhkan kembali kehidupan bermasyarakat pasca bencana dan dilaksanakan secara langsung kepada calon warga belajar. Identifikasi kebutuhan belajar yang demikian akan menuju pada proses pembelajaran yang menjawab pada kebutuhan nyata warga belajar (yang sasarannya adalah orang dewasa) dalam interaksinya dengan lingkungan, harapan dan tantangan masa depan.

Pembelajaran yang demikian hanya dapat diperoleh dalam pendidikan luar sekolah dan pendidikan orang dewasa melalui sejumlah prinsip seperti yang dikemukakan oleh Kindervatter (1979) maupun Knowles.M, (2005) menekankan mengenai hakikat kemandirian, bahwa bentuk pembelajaran apapun hendaknya didasarkan pada kebutuhan, berdasarkan kekuatan yang ada pada diri peserta belajar dan perangkat pendukung, mengarahkan pada kemandirian/self reliant dan autonomi, bermakna dari tinjauan lingkungan dan adanya perubahan struktural (Kindervatter, 1979:45). Pada perubahan struktural terjadi pada saat proses pembelajaran maupun setelahnya. (Knowle.M, 2005: 4) menekankan pentingnya motivasi, kebutuhan, orientasi belajar, kesiapan belajar, pengalaman dan hakikat diri dan aktualisasi diri. Konsep ini secara utuh diambil pula dari dan memiliki kaitan dengan pemikiran Allen Tough mengenai pembelajaran mandiri. Sehubungan dengan itu pembelajaran kemandirian untuk korban bencana alam diawali dengan konsep dan teori pendidikan luar sekolah melalui pembelajaran orang dewasa.

Kebutuhan belajar pada setiap orang dewasa dapat berkembang, bertambah, dan berkurang. Bahkan dapat secara berkelanjutan, dan berganti-ganti.


(31)

Terpenuhinya suatu kebutuhan, dapat menjadi potensi untuk melahirkan kebutuhan baru yang kedudukannya lebih tinggi. Adanya kebutuhan belajar pada orang dewasa untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di lapangan (kajian empiris), kondisi masyarakat pasca bencana antara lain:

a. Masyarakat menjadi rapuh dan rentan, dalam konteks kerentanan (vulnerability context) merupakan lingkungan eksternal yang mempengaruhi keberadaan dan dinamika masyarakat. Dalam hal ini adalah bencana alam merapi, menumbuhkan suatu kerentanan terutama akses dan kontrol lahan terhadap penghidupan. Kerentanan berpengaruhnya secara langsung dan tidak langsung terhadap aset dan aktivitas serta kapabilitas dalam mencapai penghidupan.

b. Gangguan dan guncangan (shock) akibat bencana alam mempengaruhi secara langsung aset yang dimiliki dan kegiatan yang dilakukan serta kapabilitas yang ada pada individu, masyarakat, maupun kawasan yang secara langsung terkena dampak.

c. Hilangnya motivasi untuk mempertahankan hidup bagi diri dan keluarga, serta belum mempunyai kemauan untuk bangkit. Masyarakat masih trauma terhadap bencana yang menimpa dirinya dan masyarakat sekitar. d. Ketergantungan pada lahan, hilangnya lahan pertanian dan peternakan

berarti hilangnya mata pencaharian yang merupakan tumpuan hidup bagi keluarganya.

e. Hilangnya mata pencaharian muncul pengangguran mendadak dan ketergantungan pada pihak luar, yang bila tidak ditangani dengan segera hidup akan menjadi sulit. Pendekatan untuk mengatasinya dengan memberikan kecakapan baru selain bertani dan beternak. Keterampilan yang mudah dan segera dapat diaplikasikan dalam kehidupan keseharian. B. Identifikasi dan Perumusan Masalah


(32)

Agus Winarti, 2014

Faktor-faktor yang memiliki keterkaitan dengan hidup mandiri bagi masyarakat pasca bencana, antara lain:

a. Pelatihan kecakapan vokasional, terkait dengan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas (Rekompak) yang diselenggarakan di hunian sementara.

b. Perhatian pemerintah dan non pemerintah, pemukiman kembali masyarakat yang kehilangan tempat tinggal pascabencana erupsi merapi, dengan menempatkan pada hunian sementara. Memberikan bantuan dana rumah, bantuan dana lingkungan, bantuan pangan dan atau jatah hidup.

c. Dukungan modal untuk usaha, bahan/alat pengembangan usaha, recovery industry kecil menengah. Bantuan-bantuan tersebut bersifat sementara yang pada akhirnya harus diarahkan pada bantuan yang lebih fungsional untuk bertahan hidup lebih lanjut.

d. Kepedulian tokoh-tokoh agama memberikan pembinaan mental religious yang menjadi landasan utama bagi manusia dalam menjalani berbagai ragam kehidupan dengan harapan dapat menerima apa yang sedang terjadi. Mampu menghadapi penderitaan berlandaskan nilai-nilai moral agama.

e. Perhatian departemen kesehatan, pemeriksaan kesehatan, self trauma healing. Dampak erupsi merapi sangat mengganggu bagi penyakit paru dan kulit, penyakit lain yang berhubungan dengan stress.

f. Dukungan pariwisata dengan recovery tempat pariwisata, membuka peluang kerja dan meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.

g. Dukungan sarana prasarana, pembangunan tempat ibadah, air bersih, balai pertemuan dan sekolah-sekolah dan fasilitas umum lainnya.

Penulis tidak akan mengkaji keseluruhan faktor tersebut akan tetapi di batasi kepada faktor pelatihan kecakapan vokasional. Kajian ini akan dilakukan pada masyarakat pasca bencana erupsi merapi yang tinggal di hunian sementara terkait dengan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas (Rekompak).


(33)

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi tersebut, dapat dirumuskan kedalam pertanyaan utama penelitian adalah Bagaimanakah Pelatihan Kecakapan

Vokasional Dalam Mewujudkan Hidup Mandiri pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Isrimewa Yogyakarta?

Rumusan masalah tersebut dapat dirinci menjadi pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana gambaran pelaksanaan pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri pada masyarakat pascabencana erupsi Merapi? b. Bagaimana ketercapaian pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan

hidup mandiri pada masyarakat pascabencana erupsi Merapi?

c. Bagaimana dampak pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri pada masyarakat pascabencana erupsi Merapi?

d. Apa yang menjadi pendukung dan penghambat pelaksanaan pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri pada masyarakat pascabencana erupsi Merapi?

C.Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Secara umum penelitian ini mendeskripsikan pelatihan kecakapan vokasional terkait dengan Rekompak yaitu gambaran pelatihan, ketercapaian pelatihan, dampak pelatihan, pendukung dan penghambat pelatihan kecakan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri.

2. Tujuan Khusus

Untuk mencapai tujuan umum tersebut, secara khusus dirinci sebagai berikut:

a. Untuk memperoleh gambaran pelaksanaan pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri pada masyarakat pascabencana erupsi Merapi.

b. Mendeskripsikan ketercapaian pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri pada masyarakat pascabencana erupsi Merapi.


(34)

Agus Winarti, 2014

c. Menganalisis dan mendeskripsikan dampak pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri pada masyarakat pascabencana erupsi Merapi.

d. Menganalisis dan mendeskripsikan pendukung dan penghambat pelaksanaan pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri pada masyarakat pascabencana erupsi Merapi.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Secara teoritis temuan penelitian ini diharapkan dapat memetakan kekuatan dan aspek yang perlu dibenahi dari pendekatan pendidikan luar sekolah dan pembelajaran orang dewasa dalam memberikan kontribusi bagi pengembangan Pendidikan Luar Sekolah melalui teori pelatihan, teori pemberdayaan, teori pendidikan orang dewasa, teori perubahan sosial dan hidup mandiri. Untuk itu teori-teori yang dikaji sebagai dasar dalam penelitian ini adalah teori pelatihan, teori pemberdayaan, teori pendidikan orang dewasa, teori perubahan sosial dan hidup mandiri, sekaligus dapat memperkuat teori yang ada dan memungkinkan dikembangkan lebih lanjut menjadi teori. Dapat memberikan pengayaan nilai-nilai dan jiwa gotong royong, kebersamaan dalam menanggulangi pasca bencana serta pemberdayaan masyarakat sebagai instrumental values Pendidikan Luar Sekolah. Penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran pelatihan kecakapan vokasional yang efektif dapat memotivasi kemauan, minat dan kemampuan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap masyarakat dalam menghadapi pascabencana erupsi Merapi, mempercepat pemulihan kondisi masyarakat di daerah pascabencana yang pada akhirnya dapat hidup mandiri.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis temuan-temuan dalam penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait, dalam hal sebagai berikut:

a. Penyelenggara pendidikan masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuhan dalam langkah konkrit dan strategi untuk


(35)

penyelenggaraan pelatihan kecakapan vokasional pada masyarakat pascabencana erupsi Merapi, untuk dapat mewujudkan hidup mandiri. b. Pengambil kebijakan pendidikan masyarakat di tingkat kabupaten, penelitian

ini memberikan rekomendasi melalui data empirik terhadap perbaikan sistem pelatihan kecakapan vokasional dalam rangka memberdayakan masyarakat, ikut meningkatkan kemampuan, kemauan masyarakat pasca bencana dan peningkatan ekonomi keluarga, yang menjadi salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia yaitu pembangunan masyarakat.

c. Sebagai bahan pertimbangan bagi birokrat setingkat pemerintah Desa, Kecamatam maupun Kabupaten dan penelitian ini diharapkan dapat memicu pembentukan kelompok-kelompok usaha produktif dari hasil pelatihan. E. Struktur Organisasi Disertasi

Struktur penulisan disertasi ini dibagi ke dalam bab dengan rincian sebagai berikut:

Pada bab pertama pendahuluan yang berisi uraian berkaitan dengan latar belakang masalah, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian penelitian, manfaat penelitian, kerangka berfikir penelitian dan struktur organisasi disertasi. Pada bab ini menjelaskan tentang pentingnya penelitian ini dilakukan dan dasar-dasar yang melandasi serta fokus kajian penelitian ini.

Pada bab kedua adalah kajian pustaka yang berfungsi sebagai landasan teoritik dalam menyusun pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian. Pada bab ini mengkaji teori pendidikan dan pelatihan, pelaksanaan pendidikan luar sekolah dan pendidikan orang dewasa sebagai proses pembelajaran kemandirian. Pengembangan kurikulum pembelajaran mandiri, hakekat belajar hidup mandiri, pemberdayaan masyarakat, perubahan sosial dan pelatihan yang berhubungan dengan topik untuk dijadikan landasan dalam penyusunan kerangka berfikir konseptual. Dalam bab ini pula peneliti mencoba mendudukkan masalah yang diteliti dalam konteks bidang keilmuan.


(36)

Agus Winarti, 2014

Pada bab ketiga adalah metodologi. Pada bab ini menguraikan secara rinci mengenai lokasi dan subyek penelitian, desain penelitian, definisi operasional, teknik dan pengembangan instrument pengumpulan data dan teknik analisa data.

Pada bab keempat adalah hasil penelitian dan pembahasan. Pada bab ini menjelaskan mengenai hasil penelitian berupa; deskripsi hasil penelitian, gambaran pelaksanaan pelatihan pecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri pada pasyarakat pasca bencana alam, dampak pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri pada masyarakat pasca bencana, efektifitas penyelenggaraan pelatihan kecakapan vokasional dan faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri pada masyarakat pascabencana erupsi Merapi serta pembahasan dari hasil penelitian yang telah diperoleh.

Bab kelima kesimpulan dan saran. Pada bab ini adalah menyajikan pemaknaan hasil penelitian terhadap analisis temuan penelitian.


(37)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman

METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi, Subyek dan Sumber data Penelitian

Secara geografis lokasi penelitian ini adalah Di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Kecamatan Cangringan berada di sebelah Timur Laut dari Ibukota Kabupaten Sleman. Jarak Ibukota Kecamatan ke Pusat Pemerintahan Kabupaten Sleman adalah 25 Km, sedangkan jarak ke puncak Merapi Kurang lebih sekitar 10 Km. Oleh karena itulah daerah ini menjadi salah satu kawasan yang terkena dampak cukup parah dari erupsi Merapi November 2010.

Kecamatan Cangkringan dipilih melalui beberapa kriteria: (l) Kecamatan Cangkringan adalah wilayah terparah terdampak bencana alam `wesus gembel`; (2) pertimbangan variasi geo-demografis masyarakat pegunungan yaitu memiliki ciri khas mata pencaharian bertani dan beternak.

Dalam penelitian kualitatif ini tidak menggunakan istilah populasi, tetapi oleh

Spradley dinamakan `social situation` yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat

(place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial tersebut, dapat di rumah bersama dengan keluarga dan aktivitasnya, atau orang-orang di sudut-sudut jalan yang sedang ngobrol, atau di tempat kerja. Situasi sosial tersebut, dapat dinyatakan sebagai obyek penelitian yang ingin difahami secara lebih mendalam `apa yang terjadi` di dalamnya. Pada situasi sosial atau obyek penelitian ini peneliti dapat mengamati secara mendalam aktivitas orang-orang yang berada pada tempat tertentu. Situasi sosial seperti ditunjukkan pada gambar 3.1

Lokasi

Subyek Aktivitas Situasi


(38)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman

Subyek (actor) penelitian yang dapat memberikan data tersebut adalah Lurah, Kepala Dukuh, Ketua kelompok belajar, Warga Belajar dan Sumber belajar. Sampel dalam penelitian ini adalah Warga Belajar sebagai peserta pelatihan khususnya yang bertempat tinggal (place) di hunian sementara (huntara) Gondang II. Aktivitas (activity) dapat di rumah maupun tempat pelatihan kecakapan vokasional dan ketika sedang bekerja dan atau praktek di lapangan.

Dalam penelitian kualitatif ini tidak menggunakan populasi, karena peneliti berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi yang lebih luas, tetapi ditranferkan ke tempat lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada kasus yang diteliti. Sampel dalam penelitian kualitatif ini adalah berupa pemuka masyarakat, nara sumber, atau partisipan, informan, dan masyarakat.

Dalam penelitian kualitatif, sampel disebut sebagai nara sumber, partisipan atau informan. Lebih jauh Sugiyono menjelaskan:

Sampel dalam penelitian kualitatif, juga bukan disebut sampel statistik, tetapi sampel teoritis, karena tujuan kualitatif adalah untuk menghasilkan teori, juga disebut sebagai sampel konstruktif, karena dengan sumber data dari sampel tersebut dapat dikonstruksikan fenomena yang semula masih belum jelas. (2008:299)

Adapun pada aspek warga belajar, yang diteliti adalah pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap masyarakat pasca bencana alam mengenai pembelajaran pelatihan kecakapan vokasional tukang bangunan, dan motivasi masyarakat pasca bencana alam dalam mewujudkan hidup mandiri. Upaya meningkatkan taraf hidup secara sosial ekonomi. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka subjek utama penelitian ini adalah masyarakat pasca bencana alam yang tinggal dihuntara Gondang 2, karena di huntara ini terdapat warga masyarakat dari kelima desa yang ada di Kecamatan Cangkringan.

Dari 32 peserta pelatihan, dipilih secara purposif lima warga belajar yang akan diteliti secara mendalam, nara sumber data utama juga sebagai peserta


(39)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada Utomo (TU), (3) Heri (Hr), (4) Sigit (Sg), (5) Muhadi (Mh). Dan dua sumber belajar (6) Azis Setyawan (AS), (7) Bambang.K (BK)

Tabel 3.1 Karakteristik Informan

No Informan Jenis Kelamin/ Umur

Pekerjaan awal

Alasan Pemilihan

1 Rb Laki-laki/ 43 Petani Kepala dukuh yang kehilangan saudara dan warganya

2 TU Laki-laki/ 38 Petani Hidup dalam kondisi cacat akibat bencana

3 Hr Laki-laki/ 39 Petani Kehilangan rumah tinggal dan lahan garapan

4 Sg Laki-laki/ 33 Peternak Kehilangan rumah tinggal dan ternak

5 Mh Laki-laki/ 30 Peternak Kehilangan rumah tinggal, masih memiliki beberapa ternak sapi. 6 AS Laki-laki/34 Sumber

belajar

Fasilitator yang terlibat langsung dalam pelatihan.

7 BK Laki-laki/35 Sumber belajar

Fasilitator yang terlibat langsung dalam pelatihan.

Penetapan subjek penelitian ini dengan pertimbangan (l) kesediaan bekerjasama dengan memberikan informasi dalam penelitian ini, dan (2) keterjangkauan lokasi. Dengan mempertimbangkan kealamiahan dan validitas temuan ditetapkanlah tempat pelatihan kecakapan vokasional di Masjid huntara Gondang Dua

Untuk memperdalam temuan penelitian pengambilan sampel purposive diberlakukan pula terhadap berbagai pihak yang berkaitan langsung dengan pelatihan kecakapan vokasional. Dalam hal ini termasuk tokoh masyarakat formal dan informal, aparat pemerintah Kecamatan Cangkringan, Kepala desa Wukirsari, Kepala Desa Kepuharjo, Kepala Desa Umbulharjo, Kepala Desa Glagah Arjo, Kepala Desa Argomulyo beserta aparatnya. Dari unit-unit ini akan digali berbagai data yang relevan dengan fokus penelitian, yaitu pelaksanaan pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri.


(40)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman dokumentasi untuk pengkajian atas data-data tertulis dengan teknik sampel bola salju (snowball sampling technique). Melaui teknik ini semua informasi dijaring sehingga bertambah dan berkembang terus sampai pada titik jenuh.

Berdasarkan strategi penarikan sampel yang telah ditetapkan di atas, dengan melibatkan masyarakat pasca bencana alam yang mengikuti pelatihan kecakapan vokasional dalam satu kelompok pemukiman (KP) sebagai berikut.

Jumlah peserta pelatihan : 32 orang (Lampiran 9) Alamat tempat belajar : Masjid huntara Gondang II Kecamatan : Cangkringan

Organisasi penyelenggara : Rekompak Jumlah tutor : 5 orang

Jenis forum belajar : Pelatihan kecakapan Vokasional B. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kasus dengan metode penelitian kualitatif (qualitative approach). Pendekatan ini dipandang sesuai karena pertama, bidang kajian bukan disiplin yang “bebas

nilai”. Artinya, kegiatan pelatihan kecakapan vokasional sangat tergantung pada nilai-nilai, norma, budaya, dan perilaku tertentu yang terjadi di daerah pasca bencana. Kedua, tidak semua nilai, perilaku, dan interaksi antara social actors dengan lingkungannya dapat dikuantifikasi. Hal ini disebabkan persepsi seseorang atas sesuatu sangat tergantung pada nilai-nilai, budaya, pengalaman, motivasi, kebutuhan, orientasi, maupun konsep diri yang dibawa individu tersebut.

Penelitian ini juga mengkaji permasalahan dan memperoleh makna yang lebih mendalam di lapangan baik yang berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, tingkah laku maupun kata-kata responden, yang disain dengan studi kasus. Fokus studi kasus ini adalah kejadian baik itu yang mencakup individu, kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan yang berada di hunian sementara.


(41)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada untuk penelitian ; (2) Kasus dalam penelitian ini adanya suatu “sistem yang terikat” oleh waktu dan tempat yaitu pada daerah pasca bencana alam; (3) Studi kasus ini menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya untuk memperoleh gambaran secara terinci dan mendalam pada suatu peristiwa dan (4) Dalam studi kasus ini, peneliti akan “menghabiskan waktu” dalam menggambarkan suatu peristiwa.

Berdasarkan karakteristik tersebut, peneliti hendak mengidentifikasi kasus pelatihan kecakapan fokasional yang berada di daerah pasca bencana yang ada system keterikatan baik dari segi waktu maupun situasi, kondisi dengan kehidupan masyarakat setempat. Memperoleh gambaran secara rinci pada satu peristiwa tertentu dengan menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya. Peristiwa yang berkaitan dengan suatu kegiatan pelatihan kecakapan vokasional sejak sosialisasi, proses, ketercapaian, dampak dan yang menjadi pendukung dan penghambat pelaksanaan pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri masyarakat pasca bencana alam.

Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya terhadap fokus penelitian. Fokus penelitiannya adalah Bagaimanakah Pelatihan Kecakapan

Vokasional Dalam Mewujudkan Hidup Mandiri pada Masyarakat Pasca Bencana Alam di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakatara?

Fokus penelitian tersebut dapat dirinci ke dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran pelaksanaan pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri pada masyarakat pasca bencana alam?

2. Bagaimana ketercapaian penyelenggaraan pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri pada masyarakat pasca bencana alam?


(42)

Agus Winarti, 2014

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman

hidup mandiri pada masyarakat pasca bencana alam?

4. Apa yang menjadi pendukung dan penghambat pelaksanaan pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri pada masyarakat pasca bencana alam?

Landasan dalam penelitian kualitatif sebagaimana yang diungkapkan oleh

Craswell, 2009:261 peneliti kualitatif memiliki asumsi-asumsi sebagai berikut:

(1) peneliti kualitatif lebih memiliki perhatian pada proses daripada hasil atau produk; (2) lingkungan alamiah, peneliti kualitatif cenderung mengumpulkan data lapangan tertarik pada makna, yaitu bagaimana orang berusaha memahami kehidupan, pengalaman, dan struktur lingkungan mereka; (3) peneliti kualitatif merupakan instrument utama dalam pengumpulan dan analisis data. Data diperoleh melalui instrument manusia daripada melalui inventarisasi (inventories), kuesioner, atau pun melalui mesin; (4) peneliti kualitatif sangat berkaitan dengan

fildwork. Artinya, peneliti secara fisik terlibat langsung dengan orang, latar

(setting), tempat, atau institusi untuk mengamati atau mencatat perilaku dalam latar alamiahnya; (5) penelitian kualitatif bersifat deskriptif, dalam arti peneliti tertarik pada proses, makna, dan pemahaman yang diperoleh melalui kata-kata atau gambar-gambar; (6) proses penelitian kualitatif bersifat induktif dalam arti peneliti membangun abstraksi, konsep, hipotesis, dan teori.

Berdasarkan asumsi-asumsi di atas penelitian ini secara praktis berupaya untuk mengkaji peristiwa kehidupan yang nyata dialami oleh subyek penelitian ini (masyarakat pasca bencana alam) secara holistik dan bermakna. Dalam uraian yang lugas, penelitian ini berusaha untuk memberikan deskripsi dan menganalisis pelatihan kecakapan vokasional dalam mewujudkan hidup mandiri masyarakat pascabencana erupsi merapi.

Proses penelitian menurut tahapannya, untuk memperoleh data secara lengkap dan akurat yang berkaitan dengan pelatihan kecakapan vokasional. Pertama, tahap pra-lapangan antara lain: (1) Menyusun perencanaan awal penelitian, (2)


(1)

278

Kamil,M. (2010) Pendidikan Nonformal Pengembangnan melalui pusat Kegiatan

Belajar Mengajar (PKBM) Di Indonesia (Sebuah Pembelajaran dari Kominkan Jepang). Bandung: Alfabeta.

Kamil,M. (2002) Model-model Pelatihan., Bamdung: UPI

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2010), Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep

dan Aplikasi), Bandung: Alfabeta.

Kindervatter, S. (1979) Non Formal Education: As an Empowering Process Amerika

Serikat: Printer in The Unitet States of America.

Knowles,M. (1977) The Modern Practice of Adult Education: From Pedagogy to

Andragogy, Chicago: Follet Publishing Company.

Knowles,M. (1980) The Modern Practice of Adult Education From Pedagogy to

Andragogy. Chicago: Follet Publishing Company.

Knowles,M. (1990) The Adult Learner A Neglected Species. Tokyo: Gulf Publishing Company.

Knowles,M. (2005) The Adult Learnner, The Definitive Classic in Adult Education

and Human Resource Development, Tokyo Elsevier Inc.Butterworth-Heinemann.

Laird, D. (1995) Approaches to Training and Development. USA: Addison-Wesley Publishing Company.

Matowani dan Tri Suharti (2011) Pendampingan sosial pada Pelaksanaan

Pemulihan Pasca Bencana Erupsi Gunungapi Merapi, STKS.

Maslow,AH. (1984) Motivation and Personality, New York: Harper and Row Publisher.

Mukijat. (1993) Evaluasi Pelatihan dalam Rangka Peningkatan Produktivitas. Bandung: Mandar Maju.

Nasution,S (2003).Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung : Tarsito Nurjanah. (2010) Model Pelatihan Penanggulangan Bencana Berbasis Pemberdayaan Lokalitas untuk Meningkatkan Kemandirian Masyarakat. Desertasi.


(2)

279

Olim,A. (2007) Teori Antropologi Pendidikan (dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan). Bandung: Pedagogiana Press.

Peta Zona Gempa Indonesia Sebagai Acuan Dasar Perencanaan dan Perancangan Bangunan. (2004) Departemen Pekerjaan Umum Badan Penelitian dan

Pengembangan PuLitBang SDA. Bandung: Juanda.

Pratikno dkk. (2008) Penyusunan Konsep Perumusan Kebijakan Pelestarian

Nilai-nilai Kemasyarakatan (Social capital) untuk Integrasi Sosial. Yogyakarta: FISIPOL

UGM.

Pujiono dkk. (2007) Kerangka Kerja CBDRM, Yogyakarta: MPBI.

Rogers, E.M. (1983) Diffusion of Inovations, New York: Division of Macmillan Publishing Co. Inc.

Rogers, E.M., (1985) Komunikasi dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES.

Ranjabar.J.(2008) Perubahan Sosial Dalam Teori Makro pendekatan realitas social. Bandung: Alfabeta.

Rifaid, (2000) Dampak Pelatihan Ketrampilan Terhadap Perubahan Sikap dan

Perilaku Serta Kemandirian Bekas Wanita Tuna Susila di Nusa Tenggara Barat,

Tesia Magister PLS, Universitas Pendidikan Indonesia.

Rusman. (2011) Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, Jakarta: Rajawali Pers.

Sadulloh.U. (2009) Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

Sagir, S (1986) Kapita selecta Ekonomi Indonesia. Ed. 1 cet 1. Fakultas Ekonomi – Unpad

Saripah, Iip., (2011) Model Pelatihan Pembentukan Sikap Inovatif Petani (Studi pada

Kelompok Usaha Tani Padi Organik di Kabupaten Garut Jawa Barat) Bandung: SPS

UPI).

Siregar, Eveline dan Nara,Hartini,(2010) Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia.


(3)

280

Soemardjan,S. (2009) Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas bambo. Soekanto, S. (1990). Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: Rajawali Pers

Srinivasan,L. (1977). Perspektive on Non Formal Adult Learning Function Education

for Individual, Community and National Development, USA: Co The Van Dyck

Printing Co, North Haven Connecticut.

Steinberg, L. (1995) Adolescence. Sanfrancisco: McGraw-Hill Inc.

Sudjana S, D. (2001) Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan Sejarah Perkembangan

Falsafah Teori Pendukung Asas, Bandung: Falah Production.

Sudjana S, D. (2007). Sistem dan Manajemen Pelatihan Teori dan Praktek, Bandung: Falah Production.

Sudjana S,D.,(2000) Strategi Pembelajaran, Bandung: Falah Produktion.

Sudjana S,D., (2010) Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipasif, Bandung: Falah Production.

Sugiyono., (2007) Metode Penelitian Kualitatif kuantitatif Dan R & D, Bandung: Alfabeta.

Sugiyono.,(2008) Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kualitatif,

dan R & D, Bandung: Alfabeta.

Suharto.E. (2010). Membangun Masyarakat Memberdayaka Rakyat . Bandung: refika Aditama.

Suprijanto. (2009) Pendidikan Orang Dewasa ; Dari Teori Hingga Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Suprayogi, U (2004) Pengembangan Model Program Pendidikan Luar Sekolah Dalam Memberdayakan Kelompok Masyarakat Lanjut Usia Mencapai Kemandirian (Studi di Karang Lansia Air Mengalir Desa Ranjeng Kecamatan Cisitu Kabupaten Semedang), Disertasi UPI: Pasca Sarjana.

Suryana, (2006) Kewira Usahaan, Pedoman Praktis Kiat-kiat Proses Menuju Sukses. Jakarta: Salemba Empat.


(4)

281

Susanto,R,A.(2010) Definisi kemandirian dari berbagai tokoh.http://ariesh-uzumaki.blogspot.com/2010/11/definisi-kemandirian-dari-berbagai.html Diakses 27Agustus 2012

Taqiyuddin. (2008) Pendidikan untuk Semua: Dasar dan Falsafah Pendidikan Luar

Sekolah, Bandung: Mulia Press

Tim Pengembang Jurusan PLS., Keilmuan, Kompentensi dan Etika Profesi

Pendidikan Luar Sekolah Dalam Pengembangan Masyarakat, Handout Peserta

PKM-PLS

Trisnamansyah,S. (2005) Teori dan Perkembangan Implementasi PLS. Bandung: Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Trisnamansyah,S.(1984) Perubahan Sikap dan Perubahan Sosial Dalam Konteks

Pembangunan dan Modernisasi, Bandung: IKIP.

Trisnamansyah,S. (2007) Pendidikann Sekolah dan Luar Sekolah dalam

Natawidjaya.R et al. (Eds) Rujukan Filsafat-teori dan Praktis Ilmu Pendidikan

Bandung: UPI Press.

Uno, HB. (2011) Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang

Kreatif dan Efektif, Jakarta: Bumi aksara.

Wibhawa, dkk. (2010) Dasar-dasar Pekerjaan Sosial. Bandung: Widya Padjadjaran. Yasui Etsuko. (2007) A Thesis Submitted In Partial Fulfillment Of The Requirements For The Degree Of Doctor Of Philosophy In The Faculty Graduate

Studies. University of British Columbia.

Rakhmanda,A. (2011) Merapi dan petani ikan Cangkringan. Tersedia: http:// cawankecil. blogspot.com/2011/01seorang-petani-ikan-sedang-memandang. html. Wijayanti,PP M dkk (2010). Analisis Kesehatan Pasca Erupasi Gunung Merapi Di

Kecanatan Srumbung, Magelang, Jawa Tengah. http://dppm.uii.ac.id.

Yasui,E. (1995) Post Disaster Recovery: The Cases of Mano and Mikura

Neigbourhoods in The Wake of The 1995 Kobe Eaethquake. Columbia:University of

British Columbia.


(5)

282

Yusdani. (2010) Studi konvergensi dan divergensi pengetahuan Dan Tata Nilai

Warga Desa Girikerto Kecamatan Turi Sleman Terhadap Gunung Merapi Pasca Letusan 2010. Dalam Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi: Aspek

Kebencanaan dan Pengembangnan Masyarakat Pasca Bencana Di Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta pada tanggal 29 Mei 2012.

Jurnal

Andayani,T.(2011) Dana Sumbangan Masyarakat untuk Pembangunan Ekonomi

Pasca Bencana Merapi, Jurnal Penanggulanngan Bencana Volume 2 Nomor 1,

Tahun 2011, hal 41-49.

Baiquni. (2001) Participatory Rural Appraisal “Pendekatan dan Metode Partisipatif

Dalam Pengembangan Masyarakat”. Makalah National Training Session Cohort IX. LEAD (Leadership Environment and Development) dan YPB (Yayasan Pembangunan Berkelanjutan) Jakarta, Tahun 2001

Baiquni. (2006) Strategi Penghidupan Di Masa Krisis, Ideas Media Yogyakarta Tahun 2007.

Helmi, S. 2010. Pemberdayaan. http://shelmi.wordpress.com/2009/05/08/pemberda yaan-karyawan/. Diakses tanggal 15 April 2010

Indra,dkk, Strategi Pemberdayaan Masyarakat Survival Pasca Bencana, (Proseding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 – 19 April 2011 hal 40-44)

Lumongga, dkk. (2012). The Impact of Toll Road Construction Policy toward the

Community’s Independence, Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal: 45-53 Jakarta: Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum

Syamsul Maarif et al., (2012) Kontestasi Pengetahuan dan Pemaknaan tentang

Ancaman Bencana Alam, Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1,

Tahun 2012, hal 1-13, 1 tabel.

JawabSlamet, M. 2010. Pemberdayaan.

http://www.unri.ac.id/download/manajemen.../P


(6)

283

Subiyanto, I (2010). Upaya Mengantisipasi Bencana Melalui Kekuatan Berbasiskan

Masyarakat, Jurnal Dialog Penanggulanggan Bencana, Vol. 1, No. 2, Tahun 2010,

hal 9-16.

Zamroni,MI (2011). Islam dan Kearifan Lokal dalam Penanggulangan Bencana di Jawa. Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 2 Nomor 1, Tahun 2011, hal 1-10, tabel 1

http://www.duniajogja.com/2012/02/25/ diunduh tgl 11-03-2012. http://ekonomi.kompasiana. com/bisnis/2011/10/21/

(http://alzuurjani.blospot.com).

Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor.24 Tahun 2007 tentang penanggulangan


Dokumen yang terkait

Strategi Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Tonggak Awal Bangkitnya Masyarakat Sleman Pasca Letusan Merapi

0 5 15

PENDAHULUAN STUDI FAKTOR PENENTU DALAM PEMILIHAN MATERIAL REKONSTRUKSI RUMAH TINGGAL PASCA ERUPSI MERAPI DI DESA UMBULHARJO, KECAMATAN CANGKRINGAN, KABUPATEN SLEMAN.

0 4 11

KLASIFIKASI TANAH DI LERENG SELATAN GUNUNG MERAPI KECAMATAN CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

0 0 6

PENYELENGGARAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA KORBAN ERUPSI MERAPI DI HUNIAN TETAP (HUNTAP) DONGKELSARI DESA WUKIRSARI KECAMATAN CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN.

1 5 177

LAPORAN INDIVIDU KEGIATAN PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA LOKASI : SMA NEGERI 1 CANGKRINGAN Jln. Merapi Golf, Bedoyo, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 0 172

PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT PASCA ERUPSI MERAPI (STUDI DI HUNIAN TETAP BANJARSARI, DESA GLAGAHARJO, CANGKRINGAN, SLEMAN, YOGYAKARTA).

1 2 124

LAPORAN PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN (PPL) UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA LOKASI : SMA N 1 CANGKRINGAN Jl. Merapi Golf, Bedoyo, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 24 231

LAPORAN INDIVIDU KEGIATAN PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA LOKASI : SMA N 1 CANGKRINGAN Jl. Merapi Golf, Bedoyo, Wukirsari, Cangkringan, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 1 188

HUBUNGAN JUMLAH PARITAS DENGAN USIA MENOPAUSE DI PADUKUHAN CANGKRINGAN, DESA ARGOMULYO, KECAMATAN CANGKRINGAN, KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

1 0 5

299 EVALUASI POTENSI MATAAIR UNTUK KEBUTUHAN AIR DOMESTIK DI KECAMATAN CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN PASCA ERUPSI MERAPI 2010

0 1 11