PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT PASCA ERUPSI MERAPI (STUDI DI HUNIAN TETAP BANJARSARI, DESA GLAGAHARJO, CANGKRINGAN, SLEMAN, YOGYAKARTA).

(1)

i

PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT PASCA ERUPSI MERAPI (STUDI DI HUNIAN TETAP BANJARSARI DESA GLAGAHARJO

CANGKRINGAN SLEMAN YOGYAKARTA) SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Dwi Ardiaty Cahyani NIM 09102241023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul '?ERILAKU SOSIAL MASYARAKAT PASCA ERUPSI MERAPI

(STT]DI

DI

HLTNIAN TETAP

BANJARSARI,

DESA

GLAGAI{ARIO,

CANGKRINGAN, SLEMAN, YOGYAKARTA)" yang disusun

oleh

Dwi

Ardiaty Cahyani, NIM 09102241023 ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.

Yogyakarta,29 Juru2Al5 Pembimbing

,ujarwo, M.Pd.


(3)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau di terbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisankarya ilmiah yang telah lazim.

Tanda tangan penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada episode berikutnya.

Yogyakarta" 29 Juni 2015 Yang Msmbuat Pernyataarq

Dwi Ardiaty Cahyaai NIMS9102241fr23


(4)

SURAT PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul "PERILAKU SOSiAL MASYARAKAT PASCA ERUPSI MERAPI (STUDI DI HUNIAN TETAP BANJARSARI, DESA GLAGAHARJO, CANGKRINGAN, SLEMAN, YOGYAKARTA)" yi'ilrg disusut-t

oleh

Dw r Ardiaty Cairyani, NIlv,I 09102241023

ini telah diperlahankan

di depan

De'"vatr Penguji pada tauggal 12 Agusrus 2016 dan dinyatakan lulus'

Narla

Dr. Sujar-wo, M. Pd.

Dr. Puji Yanti Fauziah, M. Pd. Joko Sri Sukardi, M. Si.

DEWAN PENGUJI Jabatan

Ketua Penguji Sekretaris Penguji Penguji Utama

Tancia Tangan Tanggal

'ydnttr, M. Pd.


(5)

MOTTO

 Melawan rasa takut dan putus asa akan membawa keberhasilan (Penulis).

 Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil; kita baru yakin kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik (Evelyn Underhill).

 semua orang tidak perlu menjadi malu karena pernah berbuat kesalahan, selama ia menjadi lebih bijaksana daripada sebelumnya (Alexander Pope).


(6)

PERSEMBAHAN

Atas Karunia Allah SWT karya ini akan saya persembahkan untuk:

1. Kedua orangtua tercinta, adik dan kakak penulis yang selalu mendoakan untuk keberhasilan penulis dalam menyusun karya ini. 2. Teman-teman yang telah mendukung saya dan menemani saya dalam

menyusun karya ini. 3. Agama, Nusa dan Bangsa.


(7)

PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT PASCA ERUPSI MERAPI (STUDI DI HUNIAN TETAP BANJARSARI, DESA GLAGAHARJO,

CANGKRINGAN, SLEMAN, YOGYAKARTA) Oleh

Dwi Ardiaty Cahyani NIM 09102241023

ABSTRAK

Penelitian ini bertujjuan untuk mendeskripsikan: perubahan perilaku masyarakat pasca erupsi merapi, dampak yang ditimbulkan akibat dari erupsi merapi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. subjek penelitian ini adalah warga Hunian Tetap Banjarsari. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Peneliti merupakan instrumen utama dalam melakukan penelitian yang dibantu oleh pedoman observasi, pedoman wawancara, dan pedoman dokumentasi. Teknik yang digunakan dalam analisis data adalah display data, reduksi data, dan pengambilan kesimpulan. Trianggulasi yang dilakukan untuk menjelaskan keabsahan data dengan menggunakan sumber dan metode.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) perubahan perilaku masyarakat pasca erupsi merapi meliputi perubahan perilaku di dalam keluarga dan perubahan perilaku antar warga Hunian Tetap (2) proses sosial masyarakat pasca erupsi merapi meliputi kontak sosial dan komunikasi (3) interaksi sosial pasca erupsi merapi meliputi pola asosiatif dan pola diasosiatif (4) dampak yang ditimbulkan akibat pasca erupsi merapi meliputi dampak terhadap sektor ekonomi, dampak terhdap sektor sosial, dampak terhadap religious dan dampak terhadap mental warga.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari adanya bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, yang telah memberikan fasilitas dan sarana sehingga studi saya berjalan dengan lancar.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, yang telah memberikan kelancaran dalam pembuatan skripsi ini.

3. Bapak Dr. sujarwo, M.Pd selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan membimbing.

4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan.

5. Seluruh warga dan tokoh masyarakat Hunian Tetap Banjarsari Desa Glagaharjo Cangkringan Sleman Yogyakarta atas ijin dan bantuan untuk penelitian.

6. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang peduli terhadap Pendidikan terutama Pendidikan Luar Sekolah dan bagi para pembaca umumnya.

Yogyakarta, 20 Juli 2016 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori ... 8

1. Tinjauan Mengenai PerilakuSosial ... 8

a. Pengertian Perilaku ... 8

b. Prinsip Perilaku... 12

c. Jenis Perilaku ... 14


(10)

e. Determinan Perilaku ... 15

f. Bentuk Perilaku ... 16

g. Pengertian Perilaku Sosial ... 17

h. Bentuk dan Jenis Perilaku Sosial ... 17

i. Faktor Pembentuk Perilaku Sosial ... 18

2. Tinjauan Mengenai Interaksi Sosial... 18

a. Konsep Interaksi Sosial... 18

b. Syarat Terjadinya Interaksi Sosial ... 21

c. Bentuk Interaksi Sosial ... 23

3. Tinjauan Mengenai Perubahan Sosial... 24

a. Pengertian Perubahan Sosial... 24

b. Teori Evolusi Sosial ... 25

c. Perspektif Teori Perubahan Sosial ... 25

4. Tinjauan Mengenai Masyarakat... 26

a. Pengertian Masyarakat ... 26

b. Pengertian Masyarakat Desa ... 28

5. Tinjauan Mengenai Penanggulangan Bencana ... 29

a. Kesiagaan Menghadapi Bencana ... 29

b. Sistem Nasional Penanggulangan Bencana ... 33

c. Prosedur Tetap Dusun Tentang Penanggulangan Bencana... 37

B. Kerangka Berpikir ... 38

C. Pertanyaan Penelitian ... 40

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 41

B. Subjek dan Objek Penelitian ... 41

C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

D. Metode Pengumpulan Data... 42


(11)

2. Wawancara... 43

3. Dokumentasi ... 44

E. Instrumen Pengumpulan Data ... 45

F. Teknik Analisis Data... 46

1. Reduksi Data ... 47

2. Penyajian Data ... 47

3. Penarikan Kesimpulan ... 48

G. Keabsahan Data/Triangulasi ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 50

1. Deskripsi Tempat Penelitian ... 50

2. Deskripsi Hunian Tetap Banjarsari ... 51

a. Sejarah Berdirinya Hunian Tetap Banjarsari ... 51

b. Sumber Pendanaan Hunian Tetap Banjarsari... 51

c. Sarana dan Prasarana... 52

B. Data Hasil Penelitian... 52

1. Perubahan Pola Perilaku Sosial Masyarakat Pasca Erupsi Merapi ... 52

2. Dampak Perilaku Sosial Masyarakat Pasca Erupsi Merapi ... 54

C. Pembahasan ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 60

B. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba, merusak, berhenti,

secara tiba-tiba dan membutuhkan usaha yang besar untuk

menanggulanginya. Bencana alam meliputi hampir semua kejadian yang terjadi di alam semesta. Tidak semuanya diakibatkan oleh perilaku manusia, namun akibatnya dapat bertambah ataupun dikurangi dengan beberapa perilaku.

Definisi tentang bencana alam termasuk seluruh keadaan cuaca yang ekstrim. Gempa bumi, letusan gunung, tanah longsor juga termasuk bencana alam, tetapi dapat juga diakibatkan oleh pengolahan bumi oleh manusia. Pada akhir tahun 2010, salah satu gunung api di Indonesia yang aktif yaitu Gunung Merapi mengalami erupsi sejak tanggal 26 Oktober 2010 dan mencapai puncaknya pada tanggal 5 November 2010. Erupsi pertama tejadi sekitar pukul 17.02 WIB tanggal 26 Oktober 2010. Sedikitnya tejadi hingga tiga kali letusan. Letusan menyemburkan material vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km dan disertai keluarnya awan panas yang menerjang Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan dan menelan korban 43 orang, ditambah seorang bayi dari Magelang yang tewas karena gangguan pernapasan. Sejak saat itu mulai terjadi muntahan awan panas secara tidak teratur. Mulai 28 Oktober 2010, Gunung Merapi memuntahkan larva pijar yang muncul hampir bersamaan dengan keluarnya awan panas pada pukul 19.54 WIB. Selanjutnya mulai teramati


(13)

titik api diam di puncak pada tanggal 1 November, menandai fase baru bahwa magma telah mencapai lubang kawah.

Berbeda dari karakter Merapi biasanya, bukannya terjadi

pembentukan kubah larva baru, tetapi yang terjadi adalah peningkatan aktifitas semburan larva dan awan panas sejak 3 November 2010. Erupsi eksplosif berupa letusan besar diawali pada pagi hari Kamis, 4 November 2010, menghasilkan kolom awan setinggi 4 km dan semburan awan panas ke berbagai arah di kaki Merapi. Selanjutnya, sekitar pukul tiga siang hari terjadi letusan yang tidak henti-hentinya hingga malam hari dan mencapai puncaknya pada dini hari Jumat 5 November 2010. Menjelang tengah malam, radius bahaya untuk semua tempat di perbesar menjadi 20 km dari puncak. Rangkaian letusan ini serta suara gemuruh terdengar hingga Kota Yogyakarta (jarak sekitar 27 km dari puncak), Kota Magelang dan pusat Kabupaten Wonosobo (jarak 50 km). hujan kerikil dan pasir mencapai Kota Yogyakarta bagian Utara, sedangkan hujan abu vulkanik pekat melanda hingga Purwokerto dan Cilacap. Pada siang harinya, debu vulkanik diketahui telah mencapai Tasikmalaya, Bandung dan Bogor.

Pada tahun 2010 merupakan letusan Gunung merapi yang terbesar yang pernah tejadi dan paling banyak memakan korban jiwa. Ratusan nyawa hilang terkena awan panas serta harta benda yang mereka miliki. Salah satu desa yang terkena erupsi merapi cukup parah adalah desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Hal ini menimbulkan dampak perubahan lingkungan yang nyata bagi masyarakat di lereng


(14)

gunung merapi, khususnya di desa Glagaharjo. Sebagaimana hasil wawancara yang dilakukan peneliti bahwa desa Glagaharjo sebelum erupsi merapi ini merupakan desa yang asri dan damai dengan lahan perkebunan serta peternakan, memiliki lahan yang lua dan subur untuk bercocok tanam serta beternak berbagai macam hewan ternak. Namun, setelah serupsi merapi semuanya berubah, masyarakat setempat tidak lagi bisa bercocok tanam, beternnak hewan-hewan besar yang awalnya merupakan mata pencaharian dari masyarakat di desa Glagaharjo. Dengan adanya perubahan tersebut masyarakat setempat harus beusaha beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada. Dari mata pencaharian yang beternak menjadi berdagang, dan ada juga yang harus menjadi buruh serta pola kehidupan sehari-hari yang sudah mempunyai aturan sendiri. Masyarakat yang sebelumnya ceroboh bisa membuang sampah disembarang tempat, namun paska erupsi merapi hal itu tidak lagi dipebolehkan. Serta air yang digunakan untuk mandi, minum, mencuci dan lain sebagainya sekarang memanfaatkan bantuan pemerintah daerah. Namun saat ini dngan adanya bencana alam tentu saja memberikan dampak yang berbanding terbalik dngan keadaan sebelumnya. Keadaan ini menyebabkan tekanan psikologis dan perubahan pada perilaku masyarakat setempat.

Sebagaimana diketahui bencana alam adalah suatu musibah yang tidak pernah diinginkan. Dan akibat dari bencana alam tersebut pun tidak pernah diinginkan. Akibat dari bencana alam tersebut dapat menimbulkan gejala-gejala yang akan disebut sebagai perilaku. Menurut Soerjono


(15)

Soekanto (2002;15) perilaku itu mungkin bersifat mental atau eksternal; peilaku itu mungkin merupakan aktifitas atau keadaan pasif. Soerjono Soekanto (2002;37) menambahkan

perilaku sosial mungkin berorientasi pada masa lampau, dewasa ini, atau perilaku masa mendatang dari orang-orang lain. Oleh karenanya hal itu mungkin disebabkan karena adanya rasa dendam pada masa lampau, pertahanan terhadap bahaya yang mengancam dewasa ini atau pada masa-masa mendatang.

Berdasarkan uraian tersebut perilaku sosial yang disebabkan bencana alam berorientasi pada perilaku pertahanan terhadap bahaya yang mengancam dewasa ini atau pada masa-masa mendatang. Perilaku-perilaku ini dapat mengalami perubahan tergantung dengan situasi yang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Soejarno Soekanto (2006;53) yang mengungkapkan bahwa

Memang tidak dapat disangkal bahwa masyarakat mempunyai bentuk-bentuk strukturalnya seperti, kelompok-kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi, dan kekuasaan tetapi semuanya itu mempunyai suatu derajat tertentu yang menyebabkan pola-pola perilaku yang berbeda, tergantung dari masing-masing situasi yang dihadapi.

Dengan demikian, pola-pola perilaku masyarakat akan berubah manakala masyarakat menghadapi situasi yang menguntungkan atau sebaliknya. Situasi ini beragam bentuknya, salah satunya adalah ketika masyarakat dihadapkan pada situasi bencana alam yang termasuk dalam situasi yang bersifat ancaman.

Perubahan yang disebabkan oleh bencana alam inilah yang terjadi pada masyarakat korban bencana letusan merapi tahun 2010 khususnya di


(16)

desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta merupakan bagian dari problem sosial. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jalaluddin Rakhmat (2000) yang mengumpamakan perubahan merupakan rekayasa sosial yang muncul akibat adanya problem-problem sosial. Problem adalah (adanya) perbedaan antaradas sollen(yang seharusnya) dandas sein(yang

nyata). Akibat bencana yang memporak-porandakan desa mereka maka akan terjadi perubahan di dalam kehidupan mereka pasca merapi, baik perubahan pola perilaku sosial atau budaya.

Perubahan pola perilaku sosial pada masyarakat korban bencana letusan merapi 2010 ini sangat menarik, sehingga peneliti tertarik untuk mengetahuinya secara detail.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat di paparkan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bencana erupsi merapi menimbulkan tekanan psikologis dan

perubahan pada perilaku masyarakat setempat.

2. Desa Glagaharjo merupakan desa yang mengalami kerusakan cukup parah akibat erupsi merapi.

3. Pasca erupsi merapi masyarakat di desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta harus beradaptasi atas perubahan.

4. Perubahan perilaku sosial masyarakat pasca erupsi merapi berorientasi pada perilaku pertahanan terhadap bahaya yang mengancam dewasa ini


(17)

C. Batasan Masalah

Agar pembahasan tidak terlalu meluas dan penelitian akan lebih terfokus sehingga pada penelitian akan diperoleh suatu kesimpulan yang terarah pada aspek yang akan diteliti, maka peneliti membatasi masalah yang akan diteliti yaitu pada perubahan pola perilaku sosial masyarakat pasca erupsi merapi di desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Mengacu pada pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana perubahan pola perilaku sosial masyarakat pasca erupsi merapi di desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta?

2. Apa dampak yang di timbulkan Pasca Erupsi Merapi terhadap Masyarakat di Huntap Banjarsari?

E. Tujuan Masalah

Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang :

1. Perubahan pola perilaku sosial pada masyarakat pasca erupsi merapi di desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

2. Dampak yang di timbulkan Pasca Erupsi Merapi terhadap Masyarakat di Huntap Banjarsari?


(18)

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini daharapkan akan memberikan manfaat kepada semua pihak. Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan atau sebagai kajian ilmiah suatu fenomena sosial kehidupan masyarakat korban bencana dalam menghadapi perubahan.

2. Manfaat Praktis

Bagi lembaga terutama Universitas Negeri Yogyakarta dapat menambah referensi bacaan mengenai perubahan pola peilaku sosial masyarakat pada masyarakat korban bencana alam.


(19)

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori

1. Tinjauan Mengenai Perilaku Sosial a. Pengertian Perilaku

Perilaku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diinterpretasikan sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Leonard F. Polhaupessy dalam sebuah buku yang berjudul perilaku manusia menguraikan perilaku adalah sebuah gerakan yang dapat diamati dari luar, seperti orang berjalan, naik sepeda dan mengendarai motor atau mobil. (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:114)

Dari sudut pandang biologis, semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas manusia dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, berbicara, tertawa, bekerja, menulis, membaca dan sebagainya.

Perilaku adalah kegiatan organisme yang dapat diamati dan yang bersifat umum mengenai otot-otot dan kelenjar kelenjar sekresi eksternal sebagaimana terwujud pada gerakan bagian-bagian tubuh atau pada pengeluaran air mata, dan keringat (Desnita, 2005: 54). Perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organism itu tidak timbul dengan sendirinya,tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh


(20)

organisme yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal.

Namun demikian sebagian terbesar dari perilaku organisme itu sebagai respon terhadap stimulus eksternal. Bagaimana kaitan antara stimulus dan perilaku sebagai respon terdapat sudut pandang yang belum menyatu antara para ahli. Ada ahli yang memandang bahwa perilaku sebagai respon terhadap stimulus, akan sangat ditentukan oleh keadaan stimulusnya, dan individu atau organisme seakan-akan tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan perilakunya, hubungan stimulus dan respon seakan-akan bersifat mekanistis. Pandangan semacam ini pada umumnya merupakan pandangan yang bersifat behavioristis.

Berbeda dengan pandangan kaum behavioristis, aliran kognitif memandang perilaku individu merupakan respon dari stimulus, namun dalam diri individu itu ada kemampuan untuk menenttukan perilaku yang diambilnya (Bimo Walgito, 2003: 13). Ini berarti individu dalam keadaan aktif dalam menentukan perilaku yang diambilnya. Hal itu sejalan dengan Skinner yang merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar(Soekidjo Notoatmodjo, 2006: 133). Sedangkan menurut Miftah Thoha (2010: 33), perilaku merupakan fungsi dari interaksi antara individu dan lingkungannya.

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku merupakan respon dari stimulus yang merupakan fungsi


(21)

interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Perilaku, lingkungan, dan individu saling berinteraksi satu dengan yang lain. Ini berarti bahwa perilaku individu dapat mempengaruhi individu itu sendiri, di samping itu perilaku juga berpengaruh terhadap lingkungan, begitu pula lingkungan dapat mempengaruhi individu.

Manusia sebagai makhluk individu dan sosial akan menampilkan tingkah laku tertentu, akan terjadi peristiwa pengaruh mempengaruhi antara individu yang satu dengan individu yang lain. Hasil dari peristiwa saling mempengaruhi tersebut maka timbulah perilaku sosial tertentu yang akan mewarnai pola interaksi tingkah laku setiap individu. Menurut George Ritzer (2011: 71-72), perilaku sosial adalah tingkah laku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkah laku. Perilaku sosial individu akan di tampilkan apabila berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini individu akan mengembangkan pola respon tertentu yang sifatnya cenderung konsisten dan stabil sehingga dapat di tampilkan dalam situasi sosial yang berbeda-beda. Misalnya dalam hidup bermasyarakat, ada individu yang menghormati hak orang lain dan ada juga yang tidak.

George Ritzer (2011: 73) dalam bukunya yang berjudul sosiologi ilmu pengetahuan berparadigma ganda memasukkan teori Behavioral Sociology ke dalam paradigma perilaku sosial. Teori ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang


(22)

terjadi di dalam lingkungan aktor dengan menggunakan konsep

reinforcement, yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward). Ganjaran (reward) akan mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam perilaku sosialnya, apakah aktor akan mengulangi perilakunya atau tidak.

Perilaku sosial berkembang melalui interaksi dengan lingkungan. Sedangkan lingkungan akan turut membentuk perilaku seseorang. Lewin mengemukakan formulasi mengenai perilaku dengan bentuk B=F (E - O) dengan pengertian B = behavior, F = function, E = environment, dan O = organism (Bimo Walgito, 2003: 16). Formulasi tersebut mengandung pengertian bahwa perilaku (behavior) merupakan fungsi atau bergantung kepada lingkungan (environment) dan individu (organisme) yang saling berinteraksi.

Lingkungan sosial merupakan lingkungan masyarakat yang di dalamnya terdapat interaksi individu dengan individu lain (Bimo Walgito, 2003: 29). Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial sangat erat kaitannya dengan interaksi sosial, sebab interaksi terjadi di dalam sebuah lingkungan sosial. Hubungan yang terjalin antara individu dengan lingkungannya berlangsung dua arah, yaitu saling mempengaruhi satu sama lain (timbal balik). Bimo Walgito (2003: 29) mengemukakan hubungan atau sikap individu terhadap lingkungannya, antara lain:

1) Individu menolak lingkungan, yaitu bila individu tidak sesuai dengan keadaan lingkungannya. Dalam keadaan yang demikian ini, individu dapat memberikan bentuk pada lingkungan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh individu yang bersangkutan. Misal dalam kehidupan bermasyarakat, kadang-kadang orang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada di lingkungannya, maka seseorang


(23)

dapat memberikan pengaruh atau memberikan bentuk pada lingkungan tersebut.

2) Individu menerima lingkungan, yaitu bila keadaan lingkungan sesuai atau cocok dengan keadaan individu. Dengan demikian individu akan menerima keadaan lingkungan tersebut.

3) Individu bersikap netral atau statuskuo, yaitu bila individu tidak cocok dengan keadaan lingkungan, tetapi individu tidak mengambil langkah-langkah bagaimana sebaiknya. Individu bersikap diam saja, dengan suatu pendapat biarlah lingkungan dalam keadaan yang demikian, asal individu yang bersangkutan tidak berbuat demikian.

Berdasarkan deskripsi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku sosial manusia dapat di pengaruhi oleh lingkungan sosialnya, baik lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Apabila lingkungan sosial tersebut memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan manusia secara positif, maka manusia akan dapat mencapai perkembangan sosial secara matang. Namun sebaliknya apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan kasar dari orang tua, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat yang tidak baik, maka perilaku sosial manusia cenderung menampilkan perilaku yang menyimpang.

b. Prinsip Perilaku

Di dalam mempelajari perilaku manusia, Miftah Thoha (2010: 36-45) mengemukakan prinsip-prinsip dasar perilaku manusia yaitu:

1) Manusia berbeda perilakunya karena kemampuan tidak sama. Prinsip ini penting untuk memahami mengapa seseorang berbuat dan berperilaku berbeda-beda. Adanya perbedaan ini karena sejak lahir manusia ditakdirkan tidak sama kemampuannya. Selain itu juga karna perbedaanya menyerap informasi dari suatu gejala dan ada pula yang beranggapan bahwa perbedaan


(24)

kemampuan itu disebabkan oleh kombinasi keduanya. Manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda

2) Manusia berperilaku karena di dorong oleh serangkaian kebutuhan. Yang di maksud kebutuhan adalah beberapa pernyataan di dalam diri seseorang yang menyebabkan seseorang itu berbuat sesuatu untuk mencapainya sebagai suatu obyek atau hasil. Kebutuhan seseorang berbeda dengan kebutuhan orang lain. Kadangkala seseorang yang sudah berhasil memenuhi kebutuhan yang satu, misalnya kebutuhan mencari makan atau papan, kebutuhannya akan berlanjut dan berubah atau berkembang, berganti dengan kebutuhan yang lain. Kebutuhan yang sekarang mendorong seseorang bisa merupakan hal yang potensial dan bisa juga tidak untuk melakukan perilakunya di kemudian hari.

3) Orang berpikir tentang masa depan dan membuat pilihan tentang bagaimana bertindak.

Kebutuhan-kebutuhan manusia dapat dipenuhi lewat perilakunya masing-masing. Di dalam banyak hal, seseorang dihadapkan dengan sejumlah kebutuhan yang potensial harus di penuhi lewat perilaku yang dipilihnya. Hal ini mendasarkan suatu anggapan yang menunjukkan bagaimana menganalisa dan meramalkan rangkaian tindakan apakah yang akan diikuti oleh seseorang manakala ia mempunyai kesempatan untuk membuat pilihan mengenai perilakunya.

4) Seseorang memahami lingkungannya dalam hubungannya dengan pengalaman masa lalu dan kebutuhannya.

Memahami lingkungan adalah suatu proses yang aktif, dimana seseorang mencoba membuat lingkungannya itu mempunyai arti baginya. Proses yang aktif ini melibatkan seorang individu mengakui secara selektif aspek aspek yang berada di lingkungan, menilai apa apa yang dilihatnya dalam hubungannya dengan pengalaman masa lalu dan mengevaluasi apa yang dialami itu dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan dan nilai lainnya. Oleh karena kebutuhan dan pengalaman seseorang itu berbeda sifatnya, maka persepsinya terhadap lingkungan juga akan berbeda. 5) Seseorang itu mempunyai rasa senang atau tidak senang.

Orang-orang jarang bertindak netral mengenai suatu hal yang mereka ketahui dan alami. Orang cenderung untuk mengevaluasi sesuatu yang mereka alami dengan cara senang atau tidak senang. Perasaan senang dan tidak senang ini akan menjadikan seseorang


(25)

berbuat yang berbeda dengan orang lain dalam rangka menanggapi suatu hal.

6) Banyak faktor yang menentukan perilaku seseorang.

Perilaku seseorang itu ditentukan oleh banyak faktor. Ada kalanya perilaku seseorang dipengaruhi oleh kemampuannya, ada pula karena kebutuhannya dan ada juga yang karena dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungannya.

c. Jenis Perilaku

Skinner membedakan perilaku menjadi perilaku alami dan perilaku operan (Bimo Walgito, 2003: 15). Perilaku alami yaitu perilaku yang dibawa sejak organisme dilahirkan, yaitu berupa refleks-refleks dan insting-insting. Perilaku refleksif terjadi secara spontan terhadap stimulus yang mengenai organisme yang bersangkutan. Missal reaksi bersin saat mencium bau yang menyengat, merinding saat merasakan hawa dingin, reaksi kedip mata bila mata terkena sinar yang kuat. Perilaku ini terjadi dengan sendirinya secara otomatis, tidak diperintah oleh pusat susunan syaraf atau otak.

Selain perilaku alami, ada perilaku operan yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar. Perilaku ini dikendalikan oleh pusat kesadaran atau otak. Setelah stimulus diterima oleh reseptor, kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat susunan syaraf, sebagai pusat kesadaran, kemudian baru terjadi respons melaluib afektor. Proses yang terjadi dalam otak atau pusat kesadaran ini yang disebut proses psikologis. Perilaku atau aktivitas atas dasar proses psikologi ini yang disebut perilaku atau aktivitas psikologi menurut Branca dalam Bimo Walgito (2003: 15).


(26)

d. Proses Terjadinya Perilaku

Rogers (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:122) mengungkapkan bahwa sebelum orang berperilaku baru di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:

1) Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu

2) Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus

3) Evaluation, orang menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya

4) Trial, orang telah mencoba perilaku baru

5) Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya perilaku itu sendiri didasari oleh kesadaran adanya ketertarikan subjek terhadap rangsangan objek. Dan subjek itu sendiri telah mencoba perilaku baru yang sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

e. Determinan Perilaku

Determinan perilaku merupakan faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus (Soekidjo Notoatmodjo, 2007: 139). Determinan ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan misalnya; tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya

2) Faktor eksternal yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering menjadi faktor yang paling dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Perilaku seseorang itu berbeda-beda tergantung dari faktor yang membedakan respon terhadap stimulus. Faktor tersebut dibedakan


(27)

menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor dari perilaku yang merupakan bawaan sehingga orang yang bersangkutan berperilaku secara alamiah. Misalnya dari tingkat kecerdasan seseorang atau kelaminnya sehingga menyebabkan perilakunya terbentuk dengan sendirinya. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang berdasarkan dari lingkungannya, sehingga menyebakan seseorang berperilaku menyesuaikan dengan keadaan lingkungannya.

f. Bentuk Perilaku

Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2007: 114) dilihat dari bentuk respon terhadap rangsangan dari luar (stimulus), maka perilaku dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain.

2) Perilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice). Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dari perilaku itu terbagi menjadi dua, yaitu perilaku tertutup dan perilaku terbuka. Perilaku tertutup ini masih tebatas pada persepsi seseorang yang belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain. Sedangkan perilaku terbuka merupakan perilaku yang nyata. Perilaku nyata ini sudah jelas dalam bentuk tindakan.


(28)

g. Pengertian Perilaku Sosial

Manusia sebagai makhluk individu dan sosial akan menampilkan tingkah laku tertentu, akan terjadi peristiwa pengaruh mempengaruhi antara individu yang satu dengan individu yang lain. Hasil dari peristiwa saling mempengaruhi tersebut maka timbulah perilaku sosial tertentu yang akan mewarnai pola interaksi tingkah laku setiap individu. Perilaku sosial individu akan ditampilkan apabila berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini individu akan mengembangkan pola respon tertentu yang sifatnya cenderung konsisten dan stabil sehingga dapat ditampilkan dalam situasi sosial yang berbeda-beda.

Menurut George Ritzer (2011: 71-72) dalam bukunya sosiologi ilmu pengetahuan berparadigma ganda menyatakan bahwa perilaku sosial adalah tingkahlaku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkahlaku. Perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan manusia (Rusli Ibrahim dalam Didin Budiman: 2011). Sebagai bukti bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sebagai diri pribadi tidak dapat melakukannya sendiri melainkan memerlukan bantuan dari orang lain. h. Bentuk dan Jenis Perilaku Sosial

Bentuk dan perilaku sosial seseorang dapat pula ditunjukkan oleh sikap sosialnya. Sikap menurut Menurut Allport dalam Sarlito W.


(29)

Sarwono (2009: 81), sikap merupakan kesiapan mental, yaitu suatu proses yang berlangsung dalam diri seseorang, bersama dengan pengalaman individual masing-masing, mengarahkan dan menentukan respons terhadap berbagai objek dan situasi.

i. Faktor-Faktor Pembentuk Perilaku Sosial

Menurut Baron dan Byrne (dalam Didin Budiman: 2011) berpendapat bahwa ada empat kategori utama yang dapat membentuk perilaku sosial seseorang, yaitu :

1) Perilaku dan karakteristik orang lain

Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang yang memiliki karakter santun, ada kemungkinan besar ia akan berperilaku seperti kebanyakan orang-orang berkarakter santun dalam lingkungan pergaulannya. Sebaliknya, jika ia bergaul dengan orang-orang berkarakter sombong, maka ia akan terpengaruh oleh perilaku seperti itu.

2) Proses kognitif

Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan pertimbangan yang menjadi dasar kesadaran sosial seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku sosialnya.

3) Faktor lingkungan

Lingkungan alam terkadang dapat mempengaruhi perilaku sosial seseorang.

4) Tatar Budaya sebagai tempat perilaku dan pemikiran sosial itu terjadi

Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu mungkin akan terasa berperilaku sosial aneh ketika berada dalam lingkungan masyarakat yang beretnis budaya lain atau berbeda. 2. Tinjauan Mengenai Interaksi Sosial

a. Konsep Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan


(30)

dngan kelompok manusia, menurut Gillin dan Gillin (dalam Soerjono Soekanto, 2005: 55). Jadi interaksi sosial adalah sebuah bentuk hubungan yang dibangun antara individu dngan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok dalam kehidupan masyarakat, dimana interaksi juga merupakan sebuah proses sosial yang secara sengaja dibentuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. dalam hal ini interaksi sosial terbentuk dengan adanya sebuah tindakan sosial yang dilakukan oleh para pelakunya, kemudian didalamnya juga terjadi sebuah kontak sosial yaitu terjadi penyampaian pesan dari komunikator terhadap komunikan serta yang terakhir adalah terjadi sebuah komunikasi sosial yang mana sebuah bentuk hubungan dengan stimulus-stimulus tertentu. Pengaturan interaksi sosial diantara para anggota terjadi karena

commitment mereka terhadap norma-norma menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan-pebedaan pendapat dan kepentingan diantara mereka, suatu hal yang memungkinkan mereka menemukan keselarasan satu sama lain di dalam sesuatu tingkat integrasi sosial (Nasikun, 2009: 16).

Pada masyarakat yang majemuk, tidak jarang ditemukan orang-orang yang berinteraksi dengan cukup harmonis, sekalipun etnis dan agama mereka berlainan. Lebih Menurut Lewis A. Coser, dalam masyarakat yang sedang berkonflik pun selalu saja ditemukan orang-orang yang secara diam-diam menjalin hubungan baik, walaupun mereka berada pada dua kubu yang berbeda. Lebih lanjut dikatakan, tidak


(31)

selamanya konflik sosial itu mempunyai potensi yang menyebabkan rusaknya sistem sosial yang ada, tetapi juga justru membantu terwujudnya integrasi sosial. Inilah sebenarnya watak dasar manusia sebagai makhluk sosial, selalu saja membangun interaksi satu sama lain untuk memenuhi kepentingan individu dan sosialnya (Margaret M. Poloma, 2004: 118).

Dalam hal ini interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat menghasilkan sesuatu hasil, dimana gambarannya adalah sebuah interaksi sosial akan diikuti dengan tindakan sosial (social action). Dengan komunikasi ide-ide baru dan informasi baru akan merubah penilaian masyarakat tentang berbagai hal (kebutuhan-kebutuhan baru), yang selanjutnya akan mengubah kearah tindakan yang baru (Jaffa Leibo, 1994: 70).

Interaksi sosial yang tejadi dalam kehidupan masyarakat akan merujuk pada sebuah persepsi, relevansinya adalah interaksi akanmemunculkan proses sosial dan tindakan sosial yang menjadikan hal tersebut sebuah persepsi bagi masyarakat secara umum. Persepsi sendiri merupakan sebuah tanggapan atas apa yang ada atau yang terjadi, dan sebuah tanggapan tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Dapat dikatakan bahwa persepsi merupakan sebuah proses aktif dimana individu menanggapi sesuatu hal, kemudian menentukan sikap atas realitas sosial yang terjadi didalam kehidupan sosial.


(32)

b. Syarat Terjadinya Interaksi Sosial

Interaksi sosial itu sendiri tidak akan terjadi bila tidak ada unsur atau syarat terjadinya interaksi sosial. Menurut Soerjono Soekanto (2006: 58), syarat interaksi sosial ada dua yaitu:

1) Kontak

Kontak berasal dari bahasa latin con atau cum (yang artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya menyentuh), jadi arti secara harfiahnya adalah menyentuh bersama-sama (Soerjono Soekanto, 2006: 59). Kontak sosial bisa berupa tindakan atau tanggapan terhadap tindakan. Kontak sosial juga bersifat positif dan negatif, hal ini dapat dilihat dari hasil interaksi yang menunjukkan tindakan positif atau negatif. Selain berdasarkan positif dan negatif, kontak sosial secara konseptual dibagi menjadi dua yaitu kontak sosial primer dan kontak sosial sekunder. Kontak sosial primer terjadi apabila hubungan atau interaksi tersebut dilakukan tanpa menggunakan perantara atau dengan kata lain langsung bertatap muka. Sedang kontak sosial sekunder terjadi apabila hubungan atau interaksi dilakukan dengan menggunakan perantara.

2) Komunikasi

Komunikasi merupakan proses selanjutnya dari unsur terjadinya interaksi sosial. Kontak sosial tidak berarti telah terjadi komunikasi diantara pelaku. Komunikasi merupakan proses pemberian makna pada perilaku seseorang, perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan (Soerjono Soekanto, 2006: 62). Sedang menurut Burhan Bungin (2006: 57), komunikasi adalah proses memaknai yang dilakukan oleh seseorang terhadap informasi, sikap, dan perilaku orang lain yang berbentuk pengetahuan, pembicaraan, gerak-gerik, atau sikap, perilaku, dan perasaan-perasaan, sehingga seseorang membuat reaksi-reaksi terhadap informasi, sikap, dan perilaku tersebut berdasarkan pada pengalaman yang pernah di alami.

Arti penting komunikasi adalah sebagai proses pemaknaan atau penafsiran dilakukan untuk memberikan reaksi atau kontak yang telah


(33)

Komunikasi sosial memiliki tiga unsur utama yaitu sumber informasi (Receiver), saluran (media), dan penerima informasi (Audience)

Proses pemaknaan dalam komunikasi sosial dibagi menjadi dua, bersifat subjektif dan bersifat kontekstual. Sifat subjektif artinya masing-masing pihak (sumber informasi dan penerima informasi) memiliki kapasitas untuk memaknakan informasi yang disebarkan atau diterimanya berdasarkan pada apa yang ia rasakan, ia yakini, dan ia mengerti serta berdasarkan tingkat pengetahuan kedua pihak. Bersifat kontekstual artinya pemaknaan itu berkaitan erat dengan kondisi waktu dan tempat di mana informasi itu ada dan di mana kedua belah pihak berada (Bungin, 2006: 57-58).

Dari pemaparan di atas, kontak dan komunikasi tidak bisa dipisahkan dan harus ada dalam setiap proses interaksi sosial. Setiap interaksi akan diawali dengan kontak, di sini pelaku memberikan tindakan atau tanggapan dari proses yang sedang terjadi. Setelah terjadi kontak, komunikasi menjadi unsur atau syarat berikutnya yang berjalan. Di mana komunikasi ini merupakan tahap pemberian makna atau penafsiran terhadap kontak sosial yang berlangsung. Dalam proses komunikasi mungkin saja terjadi berbagai penafsiran makna dan perilaku.


(34)

c. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

Interaksi sosial memiliki beberapa bentuk, yaitu Asosiatif dan Disasosiatif (Soerjono Soekanto, 2010: 64), yang dijelaskan sebagai berikut:

1) Asosiatif

Asosiatif terdiri dari kerjasama (cooperation), akomodasi (accommodation). Kerjasama merupakan suatu usaha bersama individu dengan individu atau kelompok-kelompok untuk mencapai satu atau beberapa tujuan. Akomodasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan, di mana terjadi suatu keseimbangan dalam interaksi anatara individu-individu atau kelompok-kelompok manusia berkaitan dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Usaha itu dilakukan untuk mencapai suatu kestabilan. Sedangkan asimilasi merupakan suatu proses dimana pihak-pihak yang berinteraksi mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan kelompok. 2) Disasosiatif

Disasosiatif terdiri dari persaingan (competition), dan kontravensi (contravention), dan pertentangan (conflict). Persaingan diartikan sebagai proses sosial di mana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Kontravensi merupakan sikap mental yang tersembunyi terhadap orang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan suatu golongan tertentu. Pertentangan merupakan suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang sering disertai dengan ancaman atau kekerasan.


(35)

3. Tinjauan Mengenai Perubahan Sosial a. Konsep Perubahan Sosial

Konsep sosial dituangkan oleh beberapa ahli menurut Mustain mashud yang dikutip oleh J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (2011;361), sebagai beikut:

1) Davis dalam Allen, fenomena tentang peubahan sosial hanya dilakukan dalam kaitannya dngan perubahan yang terjadi dalam organisasi sosial.

2) Mac Iver dan Page (1949), fenomena peubahan sosial sejauh fenomena itu bisa diamati (diukur), seperti mobilitas sosial (tenaga kerja), komposisi penduduk, perubahan sistem pemerintahan, dan seterusnya.

3) More (1967) perubahan sosial sebagai suatu perubahan penting dalam struktur sosial, pola-pola perilaku, dan sistem interaksi sosial, termasuk didalamnya peubahan norma, nilai, dan fenomena cultural.

4) Herbert Blumer (1955) melihat peubahan sosial sebagai usaha kolektif untuk menegakkan teciptanya tata kehidupan baru.

Dari perbedaan-perbedaan cara pemahaman konsep perubahan sosial di atas sudah tentu akan bepengaruh pada kajian-kajian substansi perubahan sosial. Meskipun definisinya berbeda-beda yang pelu diperhatikan adalah kenyataan bahwa setiap masyarakat selalu mengalami perubahan-perubahan, termasuk pada masyarakat primitif dan kuno sekalipun. Secara sederhana perubahan sosial dapat diartikan sebagai proses dimana dalam suatu sistem sosial terdapat perbedaan-pebedaan yang dapat diukur yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Jadi, perubahan itu normal adanya.


(36)

b. Teori Evolusi Sosial

1) Charles Darwin, antara individu-individu jenis tertentu dijumpai berbagai variasi dan bahwa varian-varian yang lebih tahan terhadap keadaan lingkungan lebih berhasil mengembangkan diri daripada varian-varian lain.

2) August Comte (1978-1857), evolusi sosial didasarkan pada konsep tiga tahap: dari masyarakat primitif sampai ke peradaban Perancis abad ke-19 yang menurutnya sangat maju.

c. Perspektif Teori Perubahan Sosial

Ada beberapa perspektif teori yang menjelaskan tentang perubahan sosial. Menurut Dwi dan Bagong (2004: 378) misalnya perspektif teori sosiohistoris, struktural fungsional, dan struktural konflik.

1) Teori Sosiohistoris

Perspektif ini melihat perubahan dalam dua dimensi yang saling berbeda asumsi yaitu perubahan sebagai suatu siklus, dan perubahan sebagai suatu perkembangan.

2) Teori Strukturalfungsional

Perspektif ini melihat perubahan sosial sebagai dinamika adaptif menuju keseimbangan baru akibat perubahan lingkungan eksternal.

3) Teori Konflik

Teori ini menjelaskan fenomena perubahan sosial karena adanya proses sosial disosiatif dalam masyarakat. Berbeda dengan teori strukturalfungsional, teori konflik secara eksplisit banyak berbicara tentang perubahan masyarakat.

Perubahan sosial terjadi sebagai suatu siklus dan merupakan perubahan suatu perkembangan sebagai dinamika adaptif menuju


(37)

keseimbangan baru akibat perubahan lingkungan eksternal dan adapula dikarenakan konflik.

4. Tinjauan Mengenai Masyarakat a. Pengertian Masyarakat

Masyarakat sebagai terjemahan istilah society adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup atau semi terbuka, dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Masyarakat (society) merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan komuniti manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan masyarakat itu merupakan jaringan perhubungan antara pelbagai individu. Dari segi perlakuan, ia bermaksud sesuatu yang dibuat atau tidak dibuat oleh kumpulan orang itu. Masyarakat merupakan subjek utama dalam pengkajian sains sosial (Ahmadi, 2003).

Secara sosiologis, masyarakat merupakan makna daripada penduduk. Menurut Sapari Imam Asy ari (1993 : 32), masyarakat sebenarnya juga istilah yang bersifat abstrak buatan manusia atau tegasnya buatan para ahli pikir, untuk menandai wadah pergaulan hidup bersama manusia . Ia sebagai tempat persemaian dan pertumbuhan


(38)

budaya manusia sebagai makhluk sosial. Di masyarakat terdapat symbol-simbol, nilai-nilai, aturan-aturan, norma-norma atau kaidah-kaidah tingkah laku yang bersifat normatif yang harus ditaati, dikembangkan atau dipertahankan dan bahkan diciptakan oleh manusia sebagai anggota masyarakat tersebut. Pada hakikatnya, masyarakat terdiri atas kelompok besar manusia yang relatif permanen, berinteraksi secara permanen, menganut dan menjunjung suatu sistem nilai dan kebudayaan tertentu.

Masyarakat dapat hidup bila memilih kemampuan untuk berdampingan dengan orang lain dimana mereka tinggal dan diatur oleh pemerintahan yang adil bagi seluruh rakyatnya. Sesuai dengan pendapat Strong (dalam Djopari, 2008: 211) mengemukakan bahwa pemerintahan adalah organisasi dalam mana diletakkan hak untuk melaksanakan kekuasaan berdaulat atau tertinggi .

Koentjaraningrat (2002: 144) menyebutkan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau saling berinteraksi . Ditambahkan oleh Parson (Sunarto, 2000: 56) bahwa masyarakat ialah suatu sistem sosial yang swasembada (self subsistent), melebihi masa hidup manusia normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya . Salam (2007: 262) mengungkapkan bahwa masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau di tengah-tengah antara Pemerintah dan perseorangan, yang mencakup baik


(39)

perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi.

Sedangkan para ahli lain mendefinisikan masyarakat secara bermacam-macam, namun secara garis besar dan berbagai macam pengertian tersebut mempunyai arti yang sama. Menurut Selo Soemardjan, masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan. Sedangkan menurut Ralph Linton, masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas (Soekanto, 2010: 22).

Pada dasarnya pengertian masyarakat di atas isinya sama, yaitu masyarakat yang mencakup beberapa unsur sebagai berikut (Soekanto, 2010: 22) :

1) Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama 2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama

3) Mereka sadar bahwa mereka adalah suatu kesatuan 4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama b. Pengertian Masyarakat Desa

Masyarakat desa adalah masyarakat yang memiliki karakteristik masih saling berinteraksi dalam kegiatan bermasyarakatt dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu, karakteristik


(40)

tersebut dapat dicontohkan pada kehidupan masyarakat desa di Jawa yang masih bergotong royong.

Terkait dengan etika dan budaya mereka yang bersifat umum, Lorent Febrian(2011) menyebutkan berikut ini ciri-ciri masyarakat desa: 1) Sederhana

2) Mudah curiga

3) Menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku di daerahnya 4) Memiliki sifat kekeluargaan

5) Lugas atau berbicara apa adanya 6) Tertutup dalam hal keuangan mereka

7) Perasaan tidak ada percaya diri terhadap masyarakat kota 8) Menghargai orang lain

9) Demokratis dan religius

10) Jika berjanji akan selalu diingat

Sedangkan cara beradaptasi mereka sangat sederhan, dengan menjunjung sikap kekeluargaan dan gotong royong antar sesama, serta yang paling menarik adalah sikap sopan santun yang sering digunakan masyarakat pedesaan.

5. Tinjauan mengenai Penanggunalangan Bencana a. Kesiagaan Menghadapi Bencana

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerugian lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-undang No. 24 Tahun 2007, Pasal 1 Ayat 1).


(41)

Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah dilanda berbagai bencana alam yang memakan korban ratusan ribu jiwa, serta membawa kerugian ratusan triliun rupiah. Beraneka bentuk bencana alam telah terjadi di Indonesia, mulai dari banjir, tanah longsor, angin puting beliung, gunung meletus, gempa bumi, hingga tsunami.

Bencana ini terjadi hampir di setiap provinsi yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, kita harus senantiasa mewaspadai potensi bencana alam yang bisa terjadi sewaktu-waktu di sekitar kita. Ancaman bencana bukan hanya tanggung jawab perorangan atau lembaga tertentu saja, akan tetapi menjadi tanggung jawab berbagai pihak baik lembaga pemerintahan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat umum guna menumbuhkan kesiagaan masyarakat terhadap ancaman bencana.

Pembangunan ketahanan masyarakat dalam mengurangi resiko bencana menjadi prioritas pembangunan nasional sejak disepakatinya Kerangka Aksi Hyogo atauhyogo Framework for Action 2005-2015dan selanjutnya disebut HFA oleh sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia. Dalam HFA tersebut dicantumkan 5 prioritas aksi untuk membangun ketahanan komunitas dalam pengurangan resiko bencana, yaitu :

1) Komponen pemerintahan 2) Pengukuran resiko


(42)

4) Penurunan kerentanan dan manajemen resiko 5) Kesiapsiagaan dan penanganan darurat

Dalam menghadapi bencana yang bisa sewaktu-waktu terjadi, diperlukan kesiagaan menghadapi bencana. Dalam leafleat Mengelola Bencana yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dijelaskan tentang kegiatan kesiagaan menghadapi bencana meliputi :

1) Mengetahui potensi ancaman bencana alam

Untuk menghadapi bencana alam, kita perlu mengetahui potensi ancaman bencana alam yang paling mungkin terjadi di wilayah tempat tinggal kita. Informasi mengenai ini bisa di dapat dari instansi pemerintah, seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan Geologi, BMKG, dan instansi terkait yang menangani kebencanaan. Dengan mengetahui informasi ini, maka kita bisa mengetahui daerah-daerah mana yang rawan bencana sekaligus daerah-daerah yang aman.

2) Menyusun Rencana Penanggulangan Bencana

Setelah kita menyadari dan mengenali potensi ancaman bencana yang mungkin terjadi di wilayah kita, maka kita perlu menyusun Rencana Penanggulangan Bencana guna menghadapi ancaman tersebut. Rencana ini bertujuan untuk meminimalisir korban jiwa dan kerugian berupa harta benda. Mitigasi bencana merupakan tindakan Penanggulangan Bencana yang meliputi


(43)

Kesiapsiagaan, Tanggap Darurat, Pemulihan awal, dan Rehabilitasi Rekonstruksi.

3) Menyusun Rencana Kontinjensi

Rencana kontinjensi adalah suatu proses identifikasi dan penyusunan rencana yang didasarkan pada keadaan atau situasi yang akan segera terjadi, pada keadaan yang tidak menentu. Penekanan rencana kontinjensi adalah kesiapsiagaan menghadapi bencana, yaitu suatu proses yang mengarah pada kesiapan dan kemampuan untuk memperkirakan terjadinya bencana, mencegah dan mengurangi resiko serta menanggulangi bencana.

Rencana Kontinjensi harus dibuat secara bersama-sama antara pemerintah daerah dan stake holder yang ada setelah dilakukan analisis terhadap bencana dan analisis resiko. Rencana Kontinjensi disusun berdasar prinsip kebersamaan, terbuka, kejelasan dalam pembagian peran dan tugas setiap pelaku, mengikat sebagai konsensus bersama serta dibuat untuk menghadapi keadaan darurat.

4) Sistem Peringatan Dini

Sistem peringatan dini yang tepat, cepat, dan akurat menjadi dasar dilakukannya evakuasi. Peringatan dini ini dimaksudkan untuk mengingatkan dan menyiagakan masyarakat dan petugas operasi tanggap darurat setempat atas kemungkinan terjadinya bencana. Dengan adanya peringatan dini ini masyarakat bisa


(44)

menyiapkan diri sebelum dilakukan evakuasi, misalnya dengan mengemasi barang-barang yang sekiranya penting untuk dibawa saat mengungsi dan tidak membebani.

Peringatan dini disebarluaskan kepada masyarakat melalui berbagai cara, seperti menggunakan sirine, megaphone, pengeras suara, kentongan, HT, telepon seluler dan lain sebagainya. Bagi petugas operasi tanggap darurat, peringatan dini aadalah perintah untuk segera mempersiapkan peralatan khusus guna mengevakuasi masyarakat yang masuk dalam kelompok rentan. Selain itu juga perintah untuk segera mempersiapkan kendaraam untuk evakuasi, mengkoordinir masyarakat menuju titik kumpul evakuasi, memimpin evakuasi hingga tempat pengungsian, menyiapkan sarana dan prasarana di tempat pengungsian, mempersiapkan dapur umum, dan pendataan jumlah pengungsi untuk mempersiapkan kebutuhan logistik yang diperlukan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan kesiagaan menghadapi bencana meliputi mengetahui potensi ancaman bencana alam, menyusun rencana penanggulangan bencana, menyusun rencana ontinjensi, dan sistem peringatan dini.

b. Sistem Nasional Penanggulangan Bencana

Sistem Nasional Penanggulangan Bencana adalah sistem pengaturan yang menyeluruh tentang kelembagaan, penyelenggaraan, tata kerja, dan mekanisme serta pendanaan dalam penanggulangan


(45)

bencana, yang ditetapkan dalam pedoman atau peraturan dan perundangan (Undang-undang No. 24 Tahun 2007). Secara kelembagaan, penanggungjawab upaya penanggulangan bencana di Indonesia berada pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam menjalankan tugasnya, Kepala BNPB didukung oleh unsur pengarah dan pelaksana.

Dalam kegiatan penanggulangan bencana, diperlukan keterlibatan antar pihak yang sesuai dengan kewenangan masing-masing sehingga dibutuhkan koordinasi yang kuat. Koordinasi ini bertujuan untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan operasional bersama guna mewujudkan pengelolaan bencana secara menyeluruh pada aspek ancaman, daya dukung lingkungan dan sosial budaya masyarakat.

Pihak-pihak yang terkait dapat penanggulangan bencana (unsur pengarah) meliputi :

1) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yaitu badan pemerintah daerah yang memiliki wewenang dan tangung jawab untuk melakukan dan penanggulangan terhadap bencana yang terjadi pada daerah yang bersangkutan.

2) Badan Geologi, yaitu instansi pemerintah yang salah satu tugasnya adalah melaksanakan mitigasi bencana geologi meliputi gunungapi, gempa bumi, dan tanah longsor.

3) Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), yaitu instansi pemerintah yang mengelola sumberdaya air meliputi perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi sumberdaya air, pengembangan sumberdaya air, pendayagunaan sumberdaya air, dan pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai.

4) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisikan (BMKG), yaitu yaitu instansi pemerintah yang memberikan informasi dan peringatan dini kepada instansi dan pihak terkait serta masyarakat


(46)

berkenaan dengan bencana karena faktor meteorologi, klimatologi, dan geofisika.

5) Dinas Sosial, yaitu instansi pemerintah yang ada di Kabupaten/Kota, bertugas untuk menangani bidang kesejahteraan, termasuk di dalamnya membantu masyarakat yang dilanda bencana, melalui Taruna Siaga Bencana (Tagana) yang sudah terlatih dalam upaya-upaya penanganan bencana.

6) Dinas Pekerjaan Umum, yaitu instansi pemerintah yang bertugas untuk melaksanakan pengelolaan, pengembangan wilayah dan teknik konstruksi.

7) Dinas Kesehatan, yaitu instansi pemerintah yang bertugas memberikan layanan kesehatan melalui Puskesmas dan Rumah Sakit pemerintah maupun swasta.

8) Kepolisian, yaitu instansi pemerintah yang berfungsi menjaga keamanan dam ketertiban masyarakat, termasuk juga melindungi keselamatan manusia dan harta bendanya. Instansi ini bisa melakukan tindakan-tindakan yang bersifat darurat dalam penanganan bencana.

9) Tentara Nasional Indonesia (TNI), yaitu organisasi yang paling efektif, termasuk untuk memberi pelatihan kepada masyarakat guna meningkatkan kemampuan dalam bidang operasi di lapangan. 10) Palang Merah Indonesia (PMI), yaitu sebagai lembaga penolong

kemanusiaan,PMI mempunyai kemampuan SAR, memberikan pertolongan pertama, dan penyediaan darah guna keperluan transfusi.

11) Search and Rescue (SAR), yaitu organisasi yang menaruh perhatian pada usaha-usaha pencarian, pertolongan dan penyelamatan orang-orang yang menjadi korban dalam suatu musibah atau bencana.

12) Hansip/Linmas, yaitu kelompok masyarakat sipil yang bertugas membantu kepolisian dalam hal perlindungan keamanan kepada masyarakat. Secara organisasi mereka di bawahi oleh Kantor Kesbanglinmas.

13) Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana (KMPB), merupakan kelompok masyarakat yang anggotanya telah terlatih dan memiliki kemampuan untuk melakukan upaya-upaya penanganan bencana.

14) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), di mana LSM lokal bisa membantu masyarakat dalam menanggulangi bencana, mulai dari


(47)

pendataan korban dan kebutuhan hingga menghubungkan masyarakat dengan instansi atau lembaga lain

15) Media massa yang dapat membantu menyebarkan berita tentang bencana kepada masyarakat luas untuk membangun simpati dan empati masyarakat agar tergerak memberikan bantuan.

Berikut ini adalah bagan Sistem Nasional Penanggulangan Bencana dan keterkaitan antar pihak.

Unsur Pemerintah

Unsur Profesional

Unsur pemerintah dan unsur profesional

Gambar 2.1

Sistem Nasional Penanggulangan Bencana

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa diperlukan keterlibatan antar pihak yang sesuai dengan kewenangan masing-masing sehingga dibutuhkan koordinasi yang kuat untuk menanggulangi

BNPB

Unsur Pengarah Unsur Pelaksana

BNPB

Unsur Pengarah Unsur Pelaksana

BNPB


(48)

bencana. Pihak-pihak terkait dalam penanggulangan bencana (unsur pengarah) meliputi BPBD, Badan Geologi, BBWS, BMKG, Dinas Sosial, DPU, Dinas Kesehatan, Kepolisian, TNI, PMI,SAR, Hansip/Linmas, KMPB, LSM, dan media massa.

c. Prosedur Tetap Dusun tentang Penanggulangan Bencana

Prosedur tetap dusun tentang penanggulangan bencana bertujuan untuk memberikan pedoman masyarakat tentang ancaman bahaya bencana alam yang potensial terjadi di wilayah mereka, tatacara penanggulangannya, dan teknis penyampaian informasi penting yang mendesak kepada pemerintah untuk mendapatkan tindak lanjut. (Leafleat Wajib latih Penanggulangan Bencana, BNPB).

Dalam Leafleat Wajib latih Penanggulangan Bencana yang diterbitkan oleh BNPB, dijelaskan tentang hal-hal yang harus ada dalam prosedur tetap dusun tentang penanggulangan bencana. Hal-hal tersebut meliputi :

1) Karakteristik dusun yang meilputi peta wilayah, data penduduk dan kelompk yang rentan terkena bencana, sarana dan prasarana yang ada, data kapasitas relawan, serta data harta benda baik milik masyarakat maupun pemerintah

2) Mekanisme penanggulangan bencana dusun yang meliputi struktur organisasi tata laksana penanggulangan bencana, perlatan komuniakasi, pemantuan wilayah yang dianggap rawan, dan aspek peringatan dini.


(49)

3) Evakuasi dan tempat pengungsian meliputi jalur evakuasi dan identifikasi alat transportasi.

B. Kerangka Bepikir

Pola-pola perilaku sosial dapat berubah manakala masyarakat menghadapi situasi yang menguntungkan atau sebaliknya. Seperti yang diketahui bahwa pada tanggal 28 Oktober 2010 salah satu gunung berapi di Yogyakarta mengalami erupsi yang menarik pehatian banyak kalangan. Erupsi merapi merupakan situasi yang tidak menguntungkan yang dialami oleh masyarakat di sekitarnya temasuk di desa Glagaharjo. Pra erupsi merapi masyarakat hidup secara normal tanpa adanya ancaman yang membuat kehidupan sosial masyarakat terganggu.

Pola-pola perilaku ini akan berubah terkait dengan interaksi sosial yang mereka lakukan. Menurut Soerjono Soekanto (2006: 64), bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan

(competition), dan bahkan juga dapat berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Sebelum erupsi merapi, masyarakat hidup dengan lingkungan yang bejarak dengan satu sama lainya sehingga membuat masyarakat desa Glagaharjo ini tidak terlalu membutuhkan sosialisasi secara utuh. Kehidupan seperti itu juga tidak menjanjikan masyarakat satu dengan yang lainnya saling akur tanpa ada rasa iri dan dengki dikarenakan masalah sosial. Namun dengan adanya erupsi merapi masyarakat desa Glagaharjo yang tadinya hidup dilingkunganya sendiri harus berpindah ke hunian tetap dengan halaman yang sempit dan rumah saling menempel


(50)

satu sama lainya. Ini menyebabkan masyarakat harus secara tepaksa saling sapa menyapa dan rukun atau melakukan interaksi sosial. Bersosialisaasi dengan tetangga meskipun tetangga yang berada dihunian tetap ini masih sama dengan lingkungan yang dulu. Namun disini belum tentu masyarakat berbaur dengan ikhlas dikarenakan perilaku masalalu yang masih tertinggal mungkin perlakuan tidak disukai.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat perubahan kehidupan yang dialami oleh masyarakat korban erupsi terutama di desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Secara garis besar alur berpikir terdapat dalam gambar berikut ini:

Bencana Alam Erupsi Merapi

Pasca Pra

- Tinggal di hunian tetap

- Masyarakat mengalami tekanan psikologis

- Mata pencaharian (keterampilan,

berdagang)

- Tinggal dilingkungan asal

- Masyarakat hidup normal tanpa tekanan psikologi

- Mata pencaharian (bertani, beternak)

Perubahan peilaku


(51)

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana perubahan pola perilaku sosial masyarakat pasca erupsi merapi di Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta?

a. Bagaimanakah perilaku sosial masyarakat pasca erupsi merapi? b. Bagaimana interaksi sosial masyarakat pasca erupsi merapi?

2. Apa dampak yang di timbulkan Pasca Erupsi Merapi terhadap Masyarakat di Huntap Banjarsari?

a. Apa dampak ekonomi yang ditimbulkan pasca Erupsi Merapi terhadap masyarakat di Huntap Banjarsari?

b. Apa dampak sosial yang ditimbulkan pasca Erupsi Merapi terhadap masyarakat di Huntap Banjarsari?

c. Apa dampak relijius yang ditimbulkan pasca Erupsi Merapi terhadap masyarakat di Huntap Banjarsari?

d. Apa dampak mental yang ditimbulkan pasca Erupsi Merapi terhadap masyarakat di Huntap Banjarsari?


(52)

T LITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong (2011:4) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.

Pada penelitian ini, peneliti mempelajari tindakan kata-kata untuk mendeskripsikan fenomena yang dialami oleh subjek penelitian secara holistic pada situasi yang alami. Penelitian ini berusaha mendapatkan informasi tentang bagaimana perubahan perilaku sosial masyarakat pasca erupsi merapi. Informasi tersebut di gali melalui pencatatan dan perekaman yang didasarkan pada pengamatan atau observasi, wawancara dan dokumentasi.

B. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian merupakan posisi yang penting karena pada subjek terdapat data tentang variable yang akan diteliti dan diamati oleh peneliti. Dalam penelitian ini yang menjadi subyek penelitian adalah warga hunian tetap dan tokoh masyarakat korban bencana erupsi merapi di desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

Pemilihan subjek penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono (2012:124) purposive sampling adalah teknik


(53)

penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Jumlah subjek penelitian ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan informasi yang diperlukan. Pemilihan subjek ini dimaksudkan untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber sehingga data yang diperoleh dapat diakui kebenarannya.

Dalam penelitian ini objek kajiannya adalah yang terkait dengan masalah-masalah yang akan di teliti yaitu perubahan perilaku sosial masyarakat pasca erupsi merapi.

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah di desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Desa ini dipilih berdasarkan data yang di peoleh bahwa desa tersebut mengalami kerusakan yang cukup parah karena erupsi merapi. Aktifitas penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai dengan bulan Januari 2014.

D. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah segala sesuatu yang menyangkut bagaimana cara atau dengan apa data dapat dikumpulkan. Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik yaitu: pengamatan (observasi), wawancara, dan dokumentasi. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:

1. Pengamatan (observasi)

Dalam Sugiyono (2012: 310) Nasution menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja


(54)

berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang kelakuan manusia seperti yang terjadi dalam kenyataan. Dengan observasi dapat kita peroleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial, yang sukar diperoleh dengan metode lain. (Nasution, 2002:106) Teknik ini digunakan untuk memperoleh data atau informasi yang tidak diungkapkan oleh informan dalam wawancara. Data informasi yang diperoleh melalui pengamatan selanjutnya dituangkan dalam tulisan.

Dalam penelitian ini menggunakan observasi non partisipatif. Artinya bahwa peneliti bukan merupakan bagian dari kelompok yang ditelitinya dan peneliti hanya datang di tempat kegiatan orang yang diamati tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Observasi dilakukan dengan menggunakan pedoman observasi.

2. Wawancara

Menurut Esterberg dalam Sugiyono (2012: 317) wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Sedangkan Moleong (2005: 186) mengemukakan bahwa wawancara adalah percakapan dilakukan oleh dua orang pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 198) wawancara adalah


(55)

sebuah dialog yang dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh informasi dari informan.

Deddy Mulyana (2004: 180) menjelaskan wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. \

Dedi Mulyana juga menambahkan wawancara terbagi menjadi dua, yaitu wawancara terstruktur (standardized interview) dan wawancara tak terstruktur (opened interview). Wawancara tidak terstruktur mirip dengan percakapan. Metode ini bertujuan memperoleh bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua responden, tetapi susunan pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara termasuk sosial-budaya. Sedangkan wawancara terstruktur susunan pertaannya sudah ditetapkan sebelumnya (biasanya tertulis) dengan pilihan-pilihan jawaban yang juga sudah disediakan.

Dalam penelitian ini wawancara ditujukan kepada warga hunian tetap dan tokoh masyarakat korban bencana erupsi merapi guna memperoleh informasi tentang keadaan desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta pasca erupsi merapi. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.


(56)

(Sugiyono, 2012: 329). Dalam penelitian ini dokumentasi berbentuk foto dan data-data berbentuk tulisan tentang data pekerja buruh gendong perempuan, data statistik jumlah tenaga kerja penduduk baik laki-laki dan perempuan,buku-buku dan leafleat yang berkaitan dengan buruh gendong dan Yasanti. Dokumentasi digunakan untuk melengkapi data hasil observasi dan wawancara.

Tabel 3. Teknik Pengumpulan Data

No Aspek Sumber Data Teknik

1 Aktivitas perilaku sosial masyarakat korban bencana erupsi merapi

Korban bencana erupsi merapi, dokumentasi berupa foto sebelum erupsi merapi

Observasi, wawancara dan dokumentasi

2 Perubahan sosial masyarakat korban bencana erupsi merapi

korban bencana erupsi merapi

Observasi dan wawancara

4. Instrumen Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penilitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya


(57)

(Sugiyono, 2012:306). Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah. (Suharsimi Arikunto, 2010: 203).

Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen utama penelitian adalah peneliti sendiri dibantu dengan pedoman observasi, pedoman wawancara, dan pedoman dokumentasi terstruktur yang dibuat sendiri oleh peneliti.

5. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka data akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif. Aktivitas dalam analisis data, yaitu reduksi data (data reduction), display data (data display), dan kesimpulan atau verivikasi (conclusion drawing/verivication). Adapun model interaktif analisis data menurut Miles dan Huberman ditunjukkan pada gambar berikut ini

Data collection

Data Reduction

Data Display

Conclusion:dra wing/verivicatio n


(58)

Gambar 3. Komponen dalam analisis data (interactive model) Miles dan Huberman

1. Data Reduction(Reduksi Data)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang direduksi akan memberikan gambaran lebih jelas tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.

Dalam mereduksi data, setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai. Tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah pada temuan. Oleh karena itu, kalau peneliti dalam melakukan penelitian menemukan segala sesuatu yang dipandang asing, tidak dikenal, belum memiliki pola, justru itulah yang harus dijadikan perhatian peneliti dalam melakukan reduksi data.

2. Data Display(Penyajian Data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Akan tetapi sebelum di displaykan data diklasifikasikan terlebih dahulu. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dalam bentuk uraian singkat berbentuk teks yang bersifat naratif. Dengan mennyajikan data maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.


(59)

3. Conclusion Drawing(Penarikan Kesimpulan)

Kesimpulan awal merupakan kesimpulan sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung ada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan di tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan akan semakin valid apabila selalu dilakukan verifikasi kelapangan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang awalnya belum jelas sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa kasual atau interaktif, hipotesis atau teori.

6. Teknik Keabsahan Data

Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan. Data yang dikumpulkan diklarifikasi sesuai dengan sifat tujuan penelitian untuk dilakukan pengecekan kebenaran melalui teknik trianggulasi.

Mengacu pada pendapat Lexy J. Moleong (2011: 330), triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.

Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber data. Menurut Moleong (2011: 330-331), triangulasi sumber data adalah peneliti mengutamakan check-recheck, cross-recheck


(60)

antar sumber informasi satu dengan lainnya. Dengan kata lain bahwa dengan triangulasi, peneliti dapat me-receck temuannya dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode, penyidik, atau teori. Untuk itu, menurut Moleong (2011: 332) peneliti dapat melakukannya dengan jalan:

1. Mengajukan berbagai macam variasi pertanyaan. 2. Mengeceknya dengan berbagai sumber.

3. Memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan kepercayaan data dapat dilakukan.

Dalam penelitian ini triangulasi sumber data dilakukan dengan cara membandingkan data hasil wawancara antar masyarakat korban bencana erupsi merapi di desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.


(61)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Deskripsi Tempat Penelitian.

Desa Glagaharjo terletak di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Glagaharjo memiliki luas 795 Ha. Batas-batas Desa Glagaharjo adalah:

a. Sebelah Utara : Kehutanan

b. SebelahTimur : Kabupaten Klaten Jawa Tengah c. Sebelah Selatan : Desa Argomulyo

d. Sebelah Barat : Kaligendol Desa Kepuharjo

Desa Glagaharjo terdiri dari 10 Dusun, 41 RT dan 20 RW. Data monografi Desa Glagaharjo tahun 2013 menyebutkan jumlah penduduk Desa Glagaharjo adalah 3.557 jiwa. Terdiri dari laki-laki 1.714 dan perempuan 1.843 yang semuanya merupakan WNI (Warga Negara Indonesia). Jumlah kepala keluarga 1.225 KK, sedangkan penduduk berdasarkan agama menyebutkan bahwa penduduk Desa Glagaharjo yang beragama Islam berjumlah 3.553 orang dan Katolik berjumlah 4 orang. Adapun struktur perekonomian Desa Glagaharjo sebagai berikut: a) pertanian (buah-buahan Palawijo dan tanaman kayu tahunan), b) peternakan (sapi potong dan sapi perah), c) perdagangan (pasar desa), d) industri rumah tangga (gula kelapa, tempe, makanan tradisional/lokal) dan d) pertambangan golongan C .

Sebelum erupsi merapi pada tanggal 5 November 2010, Desa Glagaharjo merupakan desa yang asri dan damai dengan lahan perkebunan serta peternakan,


(62)

memiliki lahan yang luas dan subur untuk bercocok tanam serta beternak berbagai macam hewan ternak.

Namun setelah terjadinya erupsi merapi semuanya berubah, masyarakat desa Glagaharjo tidak bisa melakukan aktifitas bercocok tanam, beternak hewan-hewan besar yang awalnya merupakan mata pencaharian masyarakat setempat. Dengan adanya perubahan tersebut, masyarakat setempat harus berusaha beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada. Dari matapencaharian yang beternak beralih menjadi berdagang dan ada juga yang harus menjadi buruh.

2. Deskripsi Hunian Tetap Banjarsari

a. Sejarah Berdirinya Hunian Tetap Banjarsari

Hunian tetap (Huntap) Banjarsari di adakan guna relokasi dari rumah warga yang hancur dikarenakan peristiwa erupsi merapi pada tahun 2010.Huntap Banjarsari dibangun atas dana dari bantuan pihak ke-3 (REKOMPAK) dan Pemerintah yang bekerjasama dengan Pemerintah Desa. Huntap Banjarsari juga di bangun dengan tenaga kerja lokal.

b. Sumber Pendanaan Huntap

Huntap Banjarsari di bangun atas dana dari bantuan pihak ke-3 (REKOMPAK) dan Pemerintah yang bekerjasama dengan Pemerintah Desa dan Tim Pengelola Kegiatan (TPK). Dengan rumah tipe 36 dan luas 100 m2/ KK, Huntap Banjarsari dihuni oleh dua Padukuhan yaitu Padukuhan Ngancar dan Padukuhan Basalen sejumlah 179 KK dengan rincian penduduk 636 jiwa. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga memberikan bantuan dana seberapa 30juta/KK.


(63)

c. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana di Huntap Banjarsari ini di fasilitasi oleh Pemerintah.

B. Data Hasil Penelitian

1. Perubahan Pola Perilaku Sosial Masyarakat Pasca Erupsi Merapi di Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta

a. Perilaku Sosial Masyarakat Pasca Erupsi Merapi

Erupsi merapi yang terjadi di Huntap Banjarsari mengakibatkan adanya perubahan perilaku di dalam keluarga maupun di masyarakat. Para orang tua yang menjadi sangat khawatir bila ada tanda-tanda yang membuat mereka teringat dengan kejadian erupsi merapi, sehingga orang tua menjadi membatasi anaknya dalam melakukan aktifitas sehari-sehari. Begitupun sebaliknya, tidak hanya orang tua yang mengkhawatirkan anaknya, sebagai anak pun mempunyai rasa khawatir sehingga lebih mengayomi orang tua agar tidak khawatir dan takut atau cemas jika ada tanda-tanda yang membuat kejadian erupsi merapi itu teringat.

Seperti yang di sampaikan oleh SPM selaku tokoh masyarakat di Huntap Banjarsari sebagai berikut:

saya sering takut mbak kalo ada hujan gede sama angin, pasti saya udah sibuk nelponin anak yang masih di luar, anak saya juga kalo ada hujan atau angin gede langsung saya dicari disuruh didalam rumah. Lagi ngelakuin kegiatan apa disuruh tinggalin aja. (CW, 06/08/2015)

Hal serupa juga di dukung oleh pernyataan SML sebagai berikut:

saya suka khawatir mbak kalo ada tanda-tanda angin rada kenceng, atau hujan deres, pasti langsung masuk rumah tutup pintu. Anak lagi main tak susul pokoknya harus di rumah semua. (CW, 06/08/2015)

Selain kecemasan secara informal, ada pula kecemasan yang dirasakan sebagai warga masyarakat. Warga Huntap Banjarsari yang merupakan kumpulan


(64)

dari Dusun Besalen dan Dusun Pancar ini memiliki lingkungan yang berdampingan setelah terjadinya erupsi merapi dengan adanya Huntap Banjarsari. Di Huntap Banjarsari ini warga di alokasikan dengan rumah tipe yang berdempetan sehinggga mempengaruhi perilaku sosial antar warga menjadi berbeda dari sebelumnya. Warga yang sebelumnya individual dikarenakan jarak dari rumah satu kerumah lainnya jauh, sekarang menjadi lebih terbina hubungan kekerabatannya. Seperti yang disampaikan oleh SPM, sebagai berikut:

Semenjak di Huntap ini saya lebih bisa berbaur sama tetangga mbak, karna udah berdekatan gini jadi enak mau ngobrol atau mau saling peduli (CW, 24/03/2015)

Namun selain pernyataan diatas ada juga perubahan perilaku warga yang disebabkan karena adanya rasa saling menghargai sesama warga. Seperti yang di sampaikan FTM, sebagai berikut:

Saya tinggal di Huntap ini jadi menjaga sikap mbak kalau mau ngelakuin sesuatu, takut kalau saya jadi mengganggu warga lainnya, kan gakenak juga mbak rumahdeketantapi nantigaktegur-teguran. (CW, 24/03/2015)

Berdasarkan pemaparan di atas dan hasil observasi di lungkungan huntap, dapat disimpulkan bahwa perilaku sosial masyarakat didalam keluarga menjadi berubah dikarenakan rasa cemas akan kejadian erupsi merapi yang pernah menimpa warga Huntap Banjarsari. Selain itu kondisi dan keadaan lingkungan huntap menyebabkan Warga Huntap Banjarsari saling menjaga keadaan lingkungan satu sama lainnya.


(65)

Di dalam Huntap Banjarsari terdapat suatu bentuk kerjasama yang berfungsi untuk mencapai tujuan masyarakat dalam membangun kembali perekenomian warga agar kembali pulih seperti sebelum adanya erupsi merapi. Suatu bentuk kerjasama ini dapat dilihat dari berbagai program usaha kecil masyarakat Huntap Banjarsari seperti, jasa cuci pakaian, warung sembako, pembuatan makanan-makanan ringan, pengolahan sampah, kebun hijau.

Dari berbagai macam usaha masyarakat tersebut, maka interaksi antar warga akan lebih terjalin dikarenakan usaha-usaha masyarakat tersebut terdapat di wilayah tempat tinggal masyarakat Huntap itu sendiri. Di wilayah tempat tinggal Huntap juga terdapat norma-norma dalam kehidupan sehari-hari yang dijadikan sebagai patokan untuk menstabilkan interaksi masyarakat agar tetap terjaga lingkungan yang harmonis.

Namun di Huntap Banjarsari tidak terdapat bentuk persaingan yang secara terbuka meskipun memiliki jenis usaha yang hampir sama. Hal ini dikarena masyarakat Huntap banjarsari mempunyai rasa kekeluargaan yang sangat tinggi.

2. Dampak yang Ditimbulkan Pasca Erupsi Merapi Terhadap Masyarakat Di Huntap Banjarsari

a. Dampak Ekonomi yang Ditimbulkan Pasca Erupsi Merapi

Mata pencaharian yang merupakan sumber pendapatan warga Huntap Banjarsari sangat di pengaruhi oleh keadaan lingkungan dari Desa Argomulyo yang mempunyai lahan yang subur dan luas. Dengan lahan yang subur dan luas sehingga sangat memungkinkan untuk warga setempat beternak dan bercocok tanam. Keadaan ini berubah seketika saat merapi memporak-porandakan Desa


(1)

108 Foto usaha loundry warga Huntap

Taman bermain anak di Huntap


(2)

109 Usaha kecil warga Huntap


(3)

110 Wawancara dengan tokoh masyarakat Huntap


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT PASCA BENCANA ERUPSI GUNUNG KELUD (Studi Kasus Tentang Perubahan Perilaku dan Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Padansari Pasca Bencana Erupsi Gunung Kelud)

6 28 28

PENDAHULUAN STUDI FAKTOR PENENTU DALAM PEMILIHAN MATERIAL REKONSTRUKSI RUMAH TINGGAL PASCA ERUPSI MERAPI DI DESA UMBULHARJO, KECAMATAN CANGKRINGAN, KABUPATEN SLEMAN.

0 4 11

TINJAUAN LOKASI PENELITIAN STUDI FAKTOR PENENTU DALAM PEMILIHAN MATERIAL REKONSTRUKSI RUMAH TINGGAL PASCA ERUPSI MERAPI DI DESA UMBULHARJO, KECAMATAN CANGKRINGAN, KABUPATEN SLEMAN.

0 7 18

KESIMPULAN DAN SARAN STUDI FAKTOR PENENTU DALAM PEMILIHAN MATERIAL REKONSTRUKSI RUMAH TINGGAL PASCA ERUPSI MERAPI DI DESA UMBULHARJO, KECAMATAN CANGKRINGAN, KABUPATEN SLEMAN.

0 6 53

PELATIHAN KECAKAPAN VOKASIONAL DALAM MEWUJUDKAN HIDUP MANDIRI : Studi pada Masyarakat Pascabencana Erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 12 71

Hubungan antara persepsi terhadap dukungan sosial dengan penyesuaian diri pada korban erupsi gunung Merapi yang tinggal di hunian tetap.

0 3 171

PENYELENGGARAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA KORBAN ERUPSI MERAPI DI HUNIAN TETAP (HUNTAP) DONGKELSARI DESA WUKIRSARI KECAMATAN CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN.

1 5 177

peningkatan berkesenian bagi masyarakat desa kaliurang pasca erupsi merapi

0 0 4

299 EVALUASI POTENSI MATAAIR UNTUK KEBUTUHAN AIR DOMESTIK DI KECAMATAN CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN PASCA ERUPSI MERAPI 2010

0 1 11

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA KORBAN ERUPSI GUNUNG MERAPI YANG TINGGAL DI HUNIAN TETAP

0 0 169