BENTUK DAN MAKNA SIMBOL TARI TEMBUT-TEMBUT DALAM UPACARA ADAT NDILO WARI UDAN PADA MASYARAKAT KARO.

(1)

BENTUK DAN MAKNA SIMBOL TARI TEMBUT-TEMBUT

DALAM UPACARA ADAT NDILO WARI UDAN PADA

MASYARAKAT KARO

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

DINA MARIANA BR SIREGAR NIM: 208142097

JURUSAN SENI DRAMA, TARI, DAN MUSIK

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2015


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

i

ABSTRAK

Dina Mariana Br Siregar, NIM 20814097 Bentuk dan Makna Simbol Tari Tembut-tembut Dalam Upacara Adat Ndilo Wari Udan pada Masyarakat Karo.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Bentuk dan Makna Simbol Tari

Tembut-Tembut dalam Upacara Adat Ndilo Wari Udan Pada Masyarakat Karo di

Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo fokus utama dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan arti Bentuk dan Makna simbol yang terkandung dalam tarian tembut-tembut pada masyarakat Karo.

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskripsi untuk mengumpulkan data dan informasi kualitatif, untuk menjelaskan secara terperinci mengenai arti Bentuk dan Makna simbol dari Tarian Tembut-Tembut, untuk mengumpulkan data lapangan dilakukan metode, wawancara, dan observasi lapangan. Data yang di peroleh tersebutakan di analisis secara kualitatif. Proses analisa data pada penelitian ini di mulai dengan seluruh data yang di peroleh dari observasi dan wawancara. Penelitian ini menggunakan teori Fungsi, Bentuk dan Makna simbol, Tari tembut-tembut in dilaksanakan pada upacara adat ndilo wari uda didesa Seberaya kecanatan Tigapanah, yang disebabkan karena kemarau panjang yang mengakibatkan tanaman-tanaman masyarakat Karo menjadi rusak. Tari tembut -

tembut juga memiliki fungsi sebagai sarana hiburan. Tari tembut - tembut sudah

lebih dominan sebagai sarana hiburan yang menyenangkan.

Didalam acara adat ndilo wari udan ini musik yang berperan diantaranya adalah seperti, Gendang Lima Sendalanen antara lain terdiri dari : Sarune (Serunai, sebagai pembawa melodi lagu), Gendang Singindungi, (Gendang Ibu, sebagai pembawa variasi ritmis), Gendang Singanai ( Gendang anak, sebagai pembawa ritmis tetap), Gung (Gong, sebagai penentu siklus terbesar, Penganak (Gong Kecil, sebagai pembawa siklus terkecil).


(7)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan hingga pada tingkat akhir dan penyelesaian Skripai ini yang berjudul “Bentuk dan Makna Simbol tari tembut-tembut dalam Upacara Adat Ndilo Wari udan pada Masyarakat Karo”.

Tujuan dari Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Jurusan Sendratasik Program Studi Pendidikan Tari Fakultas Bahasa dan Seni yang memiliki keterbatasan pengetahuan, penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi penulisan, tata bahasa dan penyampaian ide penulis. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari sipembaca yang bersifat membangun untuk memperbaiki dimasa yang akan datang. Dalam penyelesaian tugas akhir ini, penulis juga mengalami berbagai kesulitan, namun berkat doa dan dorongan atau bantuan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaiakan Skripsi ini. Disini penulis dengan segala rendah hati mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof.Dr.Ibnu Hajar, M.Si, selaku Rektor Universitas Negeri Medan 2. Dr.Isda Pramuniati,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni 3. Uyuni Widiastuti, M .Pd, selaku Ketua Jurusan Sendratasik

4. Nurwani,S.S.T,M.Hum, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Tari 6. Dra.Tuti Rahayu,M.Si, selaku Dosen pembimbing II


(8)

iii

8. Bapak/Ibu Program Studi Pendidikan Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan

9.Kepada suami yang terkasih yang selalu memberikan dukungan penuh kepada penulis dan memberikan semangat

10. Kepada kedua orang Tua penulis yang tercinta yang selama ini memberikan dorongan untuk menyelesaikan perkuliahan penulis 9. Untuk semua kerabat, ,terkhususnya kepada keluarga besar penulis.

Terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian Skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu. Semoga Semua bantuan dan dukungan Bapak/Ibu menjadi berkah dan pahala serta dapat balasan dari Tuhan Yang Maha Kuasa, dan semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2015 Penulis

Dina Mariana Br Siregar

  


(9)

iv DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 13

C. Pembatasan Masalah ... 14

D. Rumusan Masalah ... 14

E. Tujuan Penelitian ... 15

F. Manfaat Penelitian ... 15

BAB II LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA KOSEPTUAL ... 17

A. LandasanTeoritis ... 17

1. Fungsi ... 17

2. Teori Bentuk... 18

3. Teori akna Simbol ... 19

4. Pengertian Tari Tembut-tembut ... 20

5. Pengertian Ndilo Wari Udan ... 21

B. Kerangka Koseptual ... 22

BAB III METODOLOGI PENULISAN ... 24

A.Metode Penelitian ... 24

B. Tempat dan Waktu ... 24

C.PopulasidanSampelPenelitian ... 25


(10)

v

2. Sampel ... 25

D.Metode Pengumpulan Data ... 26

1. Wawancara ... 26

2. Observasi ... 27

3. Dokumentasi ... 28

4. Studi Kepustakaan ... 28

E. Analisa Data ... 31

BAB IV HASIL DAN PENELITIAN ... 32

A.Gambar Umum Lokasi Penelitian ... 32

1. Letak Geografis ... 32

2. Sistem Kemasyarakatan ... 33

3. Sistem Kekerabatan ... 34

a. Merga Silima ... 34

b. Tutur Siwalu ... 36

1. Hubungan Darah ... 36

2. Rakut Sitelu ... 37

B. Proses Upacara NdiloWariUdan ... 38

1. Sesajen Untuk Tembut-Tembut ... 38

2. Persiapan Khusus UntukTembut-Tembut ... 41

3. Persiapan Upacara NdiloWariUdan ... 42

a. Ersimbu ... 44

b. Sipalem-paleman ... 47

c. Ertembut-tembut ... 47

d. Ertoto Ku Sembahen ... 48

4. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Upacara ... 50

5. Pemimpindan Pendukung Upacara ... 51

6. Perlengkapan Upacara ... 52

C. FungsiTari Tembut-tembut ... 53

D. Bentuk Tari Tembut-tembut ... 55


(11)

vi

2. Musik Pengiring Tari Tembut-tembut ... 61

3. Property Tari Tembut-tembut ... 64

4. Busana Tari Tembut-tembut ... 69

E. Makna Simbol Tari Tembut-tembut ... 70

1. Makna gerak ... 70

2. Makna musik pengiring tari tembut-tembut ... 71

3. Makna busana tari tembut-tembut ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(12)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4. 1... 32

Gambar 4. 2... 62

Gambar 4. 3... 63

Gambar 4. 4... 64

Gambar 4. 5...65

Gambar 4. 6... 66

Gambar 4. 7... 67

Gambar 4.8...68


(13)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 4. 1... 35 Tabel 4. 2...57 Tabel 4. 3... 58


(14)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1... 76

Lampiran 2... 77

Lampiran 3... 81


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Seni pada dasarnya adalah saling berkaitan proses dengan kareativitas dari manusia. Seni dilihat sebagai ekspresi dari kreativitas manusia yang mengandung unsur estetik. Dengan demikian, kesenian tidak tercipta begitu saja, ada beberapa macam seni yang saling berkaitan dan sering kali dilaksanakan oleh manusia dalam waktu tertentu yaitu seni musik, seni tari, seni rupa, dan sebagainya. Oleh karena kesenian bukanlah dimiliki oleh seniman saja, namun dimiliki oleh setap kelompok.“ Seni tari adalah ekspresi jiwa manusia yang dituangkan melalui media tubuh manusia yang menghasilkan gerak-gerak yang ritmis dan mengandung keindahan Sumanadiyo Hadi (2005:13)”.

Kesenian adalah unsur dan ekspresi kebudayaan manusia, yang berhubungan erat dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya. Sampai sekarang dalam kajian ini , kesenian dibagi menjadi beberapa unsur yaitu. (a) seni pertunjukan atau pertunjukan budaya yang terdiri dari : musik, tari, dan teater yang kadang kala meluas sampai kajian pada bidang olah raga, sirkus, prosesi dan juga ritual; (b) seni rupa atau seni visual yang terdiri dari: seni lukis, seni patung, pahat, kerajinan dan lainnya; (c) seni media rekam yang terdiri dari : radio, televisi, komputer dan lain-lain.

Seni pada umun mempunyai nama yang berbeda-beda di setiap daerah, salah satunya adalah pada daerah masyarakat Karo. Seni musik yang disebut


(16)

2

gendang sedangkan seni tari yang disebut dengan landek. Seni tari pada

umumnya dimiliki oleh semua suku bangsa yang ada didunia, termasuk oleh suku Karo yang ada di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, seni pertunjukan dalam masyarakat Karo merupakan bagian dari kebudayannya. Seni pertunjukan ini mencerminkan ide-ide budaya yang terwujud dalam aktivitas masyarakat sehari-hari dan keadat-istiadatan masyarakat Karo. Dalam seni pertunjukan Karo terkandung juga keunikan-keunikan yang memperjelas dan mempertajam jati diri masyarakat Karo.

Pada masa lalu, keberadaan tari tembut-tembut ini memiliki peran yang cukup besar pada masyarakat Karo. Selain juga sebagai alat untuk upacara ndilo

wari udan, juga berfungsi sebagai hiburan untuk menyambut tamu-tamu penting

yang berkunjung ke daerah Karo. Hal ini menunjukkan betapa besar peran dari tari tembut-tembut dalam kahidupan masyarakat Karo. Jauh berbeda dengan kenyataan yang ada saat ini dimana tari tembut-tembut hanya dianggap sebagai hiasan yang melengkapi sebuah pertunjukan budaya Karo. Misalnya pelengkap dalam Perayaan Pesta Bunga dan Buah atau Pesta Budaya Karo lainnya dimana tari tembut-tembut bukan dianggap objek yang penting, hanya sebagai pajanga.

Dari beberapa uraian tentang keberadaan tari tembut-tembut pada masyarakat Karo saat ini maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai tari tembu-tembut, khususnya di daerah asal tari tembu-tembut yaitu Desa Seberaya. Tulisan ini akan mendeskripsikan secara umum bentuk dan makna simbol yang terkandung dalam tarian tari tembut-tembut pada masyarakat Karo


(17)

3

dan keberadaan tari tembut-tembut pada masyarakat Karo yang saat ini semakin jarang ditemui dalam setiap upacara-upacara adat Karo.

Pada masyarakat Karo, memiki beberapa fungsi yang dibagi menjadi tiga yaitu tari sebagai hiburan, tari sebagai upacara, dan tari sebagai pertunjukkan. Fungsi ini dapat dilihat melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Karo, yang pada hakikatnya menghadirkan tari. Fungsi tari sebagai hiburan dapat dilihat pada tari piso surit, tari terang bulan, tari mbuah page, tari roti manis, tari

ndikkar, tari tembut-tembut, dan sebagainya. Fungsi tari sebagai upacara dapat

dilihat pada upacara adat erdemu bayu (pernikahan), upacara adat nuru-nurun (kematian), upacara adat perumah begu (memanggil roh), upacara adat raleng

tendi (memanggil roh untuk orang yang sakit), merdang merdem atau kerja tahun

(upacara adat pertanian), nurun-nurun (upacara adat kematin), guro-guro aron (upacara adat muda mudi). Tari sebagai pertunjukkan Karo biasanya adalah tari yang dikemas khusus untuk pertunjukkan, bisa saja diangkat dari tari upacara.

Tari Tembut-Tembut yang terdapat di Desa Seberaya

(www.sejarahtembut-tembut limamarga.blogspot.com) dibuat Oleh Pirei Sembiring Depari,

diperkirakan muncul sekitar tahun 1910-an. Pirei Sembiring Depari semasa hidupnya adalah seorang tukang ukir dan tukang pahat yang tersohor. Kepandaiannya yang utama adalah menempa atau membentuk pisau, parang dan belati. Masyarakat Karo pada masa itu mangakui pisau dan belati hasil buatan Pirei Sembiring Depari memiliki kualitas yang sangat baik.

Pirei Sembiring Depari hidup dari pekerjaannya sebagai penempa pisau dan belati serta juga pengukir batu. Popularitas Pirei Sembiring Depari sampai juga


(18)

4

pada pemerintahan Belanda yang pada masa itu mengusai Tanah Karo sebagai penjajah. Hal ini membuat pihak Belanda memesan belati buatan Pirei Sembiring Depari, dan pesanan-pesanan tersebut membuat kehidupan Pirei Sembiring Depari makin membaik dari segi ekonomi. Pirei Sembiring Depari memiliki satu sifat yang kurang baik yaitu gemar bermain judi. Dalam kegiatannya bermain judi, Pirei sering mengalami kekalahan. Pada suatu hari, sehabis dia kalah bermain judi dia pulang melewati areal perladangan, dimana di areal perladangan tersebut banyak dipajang Gundala-Gundala yang digunakan petani untuk menakut-nakuti hewan pengganggu tumbuhan mereka seperti burung dan moyet.

Melihat gundala-gundala tersebut, muncul keinginan Pirei Sembiring Depari untuk memahat tembut-tembut yang sama. Meskipun telah memiliki niat untuk membuat gundala-gundala yang dilihatnya dalam perjalanan menuju pulang, namun Pirei Sembirng Depari belum dapat menemukan apa bahan atau kayu apa yang akan dipahat untuk membuat tembut-tembut tersebut. Hal ini membuat Pirei dalam melakukan perjalanan kemanapun dia pergi melakukan pengamatan terhadap pohon-pohon yang dijumpainya, memilih kayu apa yang cocok untuk rencananya membuat tembut-tembut

Dalam sebuah perjalannya menuju suatu tempat, Pirei Sembiring Depari

melihat pohon gecih (pohon nangka). Pohon kayu tersebut berbentuk lurus, bersih dan tak bercacat serta mudah dipahat. Hal ini membuat Pirei menjatuhkan pilihan pada kayu gecih untuk dijadikan kayu pembuat tembut-tembut. Pada suatu hari Pirei Sembiring Depari berniat menebang pohon tersebut, namun ketika hendak menebang pohon ini tiba-tiba petir datang menyambar dan hujan pun turun


(19)

5

dengan lebatnya, hal ini membuat usaha Pirei untuk mebang pohon tersebut gagal. Berkali-kali Pirei Sembiring Depari mencoba menebang kembali pohon tersebut, namun selalu gagal dengan adanya sambaran petir dan turunnya hujan. Keadaan seperti ini tidak membuat Pirei menyerah untuk mendapatkan pohon tersebut, akhirnya Pirei meminta pertunjuk dari para orang tua bagaimana cara agar penebangnya agar baehasil.

Dari arahan para orang tua yang ditanya oleh Pirei Sembiring Depari, maka Pirei haruslah memberikan sesajen pada kekuatan gaib yang menunggui hutan.Sesajen tersebut dalam bentuk makanan seperti seekor ayam yang sudah dimasak, pisang, nasi dan buah-buahan ditambah beberapa lembar daun sirih yang dilengkapi dengan kapur sirih dan gambir. Sesajen tersebut sebagai tanda minta permisi untuk menebang salah satu pohon yang ada di dalam hutan tersebut. Setelah melakukan ritual pemberian sesajen pada kekuatan gaib pemilik hutan, akhirnya Pirei dapat melakukan penebangan terhadap kayu gecih ini. Pada saat penebangan kayu ini, petir memang tidak datang lagi menyambar, namun hujan masih tetap turun, namun ini tidak begitu mengganggu penebangan yang dilakukan Pirei. Dari kayu gecih tersebut Pirei Sembiring Depari membentuk dan mengukir seperangkat tembut-tembut. Tembut-tembut tersebut terdiri dari empat topeng dan satu kepala burung. Mengacu pada gundala-gundala, maka Pirei Sembiring Depari dalam membuat patung atau topeng tersebut berusaha semirip mungkin dengan imajinasinya.

Namun, topeng yang dihasilkan oleh Pirei Sembiring Depari, menurut orang -orang pada saat itu lebih seram dan menakutkan dari gundala-gundala biasanya.


(20)

6

Hal buatan Pirei Sembiring Depari disebut Tembut-Tembut. Pada awalnya, tari

tembut- tembut di pertunjukan oleh Pirei Sembiring Depari dan meminta

beberapa anak muda yang termasuk dalam kekerabatan anak beru-nya untuk memainkannya tari tembut- tembut di halaman rumahnya,untuk meainkan gerak yang sesuai dengan karakter masing-masing ke-5 tembut-tembut tersebut. Sebagaimana tradisi yang terdapat pada masyarakat Karo, seseorang yang lazim untuk disuruh dalam melakukan suatu pekerjaan adalah kerabat yang masuk dalam kelompok anak beru (kelompok pengambil anak dara), sedangkan dari pihak kalimbubu (pemberi anak dara) pantang untuk disuruh-suruh.

Permainan tari tembut-tembut dari Pirei Sembiring menarik perhatian banyak warga desa, sehinggasetiap keluarga Pirei memainkan tari tembut-tembut ini selalu saja banyak warga yang menonton. Selain karena pada masa itu hiburan masih sangat minim, hal ini juga dikarenakan permainan ini dianggap unik dan menghibur. Namun setiap tari tembut-tembut tersebut dimainkan maka selalu saja turun hujan, sehingga masyarakat dan Pirei sendiri pun marasakan keganjilan. Sampai pada suatu saat Pirei Sembiring Depari mendapatkan suatu “ bisikan ” gaib dalam tidurnya.

Bisikan tersebut mengatakan kalau dia harus menjaga dan merawat tembut-tembut tersebut sampai pada anak cucunya nanti. Pirei juga diwajibkan untuk memandikan dan memberi sesajen pada waktu-waktu tertentu pada tembut-tembut tersebut, tembut- tembut ini juga hanya dapat dimainkan oleh anak beru dari pihak Pirei Sembiring Depari. Berdasarkan hal tersebut diataslah sehingga sampai saat ini tembut-tembut yang dibuat oleh Pirei Sembiring Depari tetap dijaga dan


(21)

7

dipelihara oleh keturunnya. Dari Pirei Sembiring Depari sampai sekarang, sudah empat generasi yang menjadi ahli warisnya. Untuk lebih jelasnya lagi dapat dilihat dari urutannya sebagai berikut :Pirei Sembiring Depari,Ngasal Sembiring Depari anak pertama dari Pirei Sembiring Depari, Firman Sembiring Cucu Dari Pirei Sembiring sedangkan Dwi Kora Sembiring adalah anak dari cucu Pirei Sembing Depari yang menjadi ahli waris tembut-tembut.

Tembut-tembut adalah kesenian pada Masyarakat Kabupaten Karo dengan

menggunakan "topeng" kayu. Tari tembut-tembut pada masa lampau ditampilkan dalam upacara "ndilo wari udan" (memanggil hujan) pada musim kemarau panjang (di beberapa desa masih dilaksanakan sampai sekarang). Pada mulanya pertunjukan tari tembut-tembut ini ditampilkan di Desa Seberaya mengisahkan legenda/dongeng si gurda-gurdi.Menurut kisahnya dulu, di masa lampau di dataran tinggi Karo hidup masyarakat yang rukun dan damai dipimpin seorang raja yang disebut "Sibayak" Sang raja memiliki satu-satunya keturunan yaitu seorang anak perempuan. Anak raja diperlakukan sebagai sorang putri yang yang sangat dimanjakan raja dengan sejumlah dayang-dayang yang senantiasa siap melayaninya. Setelah dewasa, sang putri menikah dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang pegawai istana yang saat itu bertugas sebagai kepala pengawal raja. Setelah perkawinannya, sang pengawal raja diberi jabatan baru sebagai Panglima Kerajaan.

Suatu hari raja mengajak panglima untuk berburu di hutan yang lebat. Di tengan hutan rimba, rombongan ini bertemu dengan seekor burung raksasa, burung yang sangat sakti jelmaan seorang pertapa yang sakti mandraguna


(22)

8

bernama gurda-gurdi. Burung gurda-gurdi tidak seperti hewan lainnya, dia mampu berbicara seperti layaknya seorang manusia. Pada saat rombongan Raja dan panglimanya bertemu dengan burung ini, burung gurda-gurdi menyapa salam sang raja seraya menunjukkan rasa hormatnya, membuat panglima raja menaruh simpati dan mengajaknya pulang untuk tinggal di Istana Raja menemani istrinya sang putri raja.

Hari-hari kehidupan sang putri yang ditemani gurda-gurdi bertambah ceria dan bahagia, karena pada saat Panglima kerajaan suaminya melaksanakan tugas keluar daerah, gurda-gurdi mampu menghibur sang putri sekaligus mampu memberikan perlindungan yang sempurna, karena burung jelmaan pertapa sakti ini tidak hanya tangguh dalam dunia persilatan, namun juga ampuh menangkal semua jenis racun, mantra, guna-guna, termasuk ilmu santet. Sisi lain dari kesaktian burung raksasa ini adalah pantangan yang telah disumpahkannya sejak dahulu yakni paruhnya yang merupakan simbol kehormatannya tidak boleh dipegang.

Suatu ketika, selagi sang putri asyik bercanda dengan putri raja, tanpa sengaja sang putri memegang paruh gurda-gurdi yang membuat burung ini berang dan tidak menunjukkan sikap bersahabat. Mengetahui keadaan ini, panglima raja suaminya berusaha membujuk gurda-gurdi dengan "mengelus" paruh burung tersebut. Ketidak tahan keluarga raja atas karakter dan sifat gurda-gurdi membuat terjadinya kemarahan yang berulang, karena paruh gurda-gurdi kembali dielus, padahal tindakan tersebut dianggap sang burung sebagai bentuk pelecehan yang sangat menyakitkan.


(23)

9

Gurda- Gurdi menjadi marah besar, dengan mata merah dan bulu berdiri,

dia melakukan sambaran dan pukulan kearah Panglima. semakin lama pertarungan kedua jawara sakti ini bertambah sengit, sang panglima pun tidak kalah sigap, sebagai pria sejati yang gagah perkasa dan sakti mandraguna dia tidak mau dipermalukan oleh seekor burung. Pertarungan yang sengit terus berlangsung selama beberapa hari, banyak kerbau mati terkena pukulan jarak jauh salah sasaran serta pohon-pohon bertumbangan akibat pertarungan kedua jawara dan belum ada tanda-tanda menunjukkan pihak yang lebih kuat atau yang lebih lemah. Melihat bahwa pertarungan ini telah menimbulkan keresahan bagi raja dan seluruh istana, Raja memerintahkan para pengawalnya untuk membantu panglima dengan menyalurkan tenaga dalam dari jarak jauh, akibatnya gurda- gurdi terhempas ke tanah terkena pukulan mematikan dibagian kepalanya. Kematian

gurda-gurdi dihormati sebagai kematian seorang pahlawan Kerajaan, seluruh

Istana berkabung, rakyat ikut berkabung bahkan hari tiba - tiba mendung dan menitikkan air tanda berkabung nya, hujan deras pun melanda seluruh negeri. Demikianlah setiap kali pertunjukan atau tarian tembut-tembut dilaksanakan dalam upacara Ndilo Wari Udan akan diahiri dengan turunnya hujan deras.

Dalam hal setiap ada acara adat ndilo wari udan tari tembut-tembut selalu berperan di saat acar ndilo wari udan dilakukan, Pelaksanaan tari tembut-tembut dalam upacara ndilo wari udan dimulai dengan membawa tembut - tembut serta kelengkapannya ke tempat penyajian. Di tempat penyajian masing-masing pemain memakai tari tembut-tembut dan pakaiannya sesuai dengan perannya masing-masing. Selepas itu, pemimpin penyajian menyuruh pemain musik supaya


(24)

10

memainkan gendang dengan ucapan ”palu gendang ena” yang artinya ”mainkan musiknya. Pemain musik memainkan gendang dan pemain tari tembut-tembut mulai menari.

Posisi awal penari tari tembut-tembut adalah sejajar membelakangi pemain musik.Posisi ini dipertahankan hingga pemusik memainkan dua buah lagu yaitu lagu perang empat kali dan lagu simalungen rayat. Pada lagu ketiga, yaitu lagu

kuda-kuda, posisi penari mulai berubah, pola tariannya tidak mempunyai struktur

yang baku dan dilakukan secara inprovisasi. Penari yang memainkan karakter burung enggang selalu seolah-olah ingin mematuk tokoh (peran) anak diberu (anak perempuan).Penari yang berkarakter ayah selalu berusaha menghalangi gangguan burung enggang tersebut.

Bila pemain yang berkarakter ayah gagal menghalanginya maka pemain yang berkarakter anak laki-laki datang membantu.Demikian lakon pemain penari dapat dilihat pada waktu pertunjukan diiringi dengan lagu kuda-kuda dan lagu

tembutta yang lebih cepat dibanding lagu kuda-kuda. Dewasa ini keberadaan tari tembut-tembut tampak kurang mendapat perhatian dari masyarakat Karo sendiri.

Hal ini terlihat dari semakin kurangnya pemakaian tari tembut-tembut dalam upacara-upacara atau kegiatan-kegiatan yang bersifat ritual, dimana dulunya pada kegiatan ini tari tembut-tembut memiliki peran yang cukup besar dalam berjalannya acara.

Melihat fenomena yang terjadi pada masyarakat Karo, dikhawatirkan generasi muda Karo akan melupakan dan tidak dapat menikmati salah tari


(25)

11

tari tembut-tembut ini memiliki peran yang cukup besar pada masyarakat Karo. Selain juga sebagai alat untuk upacara ndilo wari udan, juga berfungsi sebagai hiburan untuk menyambut tamu-tamu penting yang berkunjung ke daerah Karo.

Perbedaan antara tembut-tembut dan gundala-gundala terdapat pada makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun arti yang dibawakannya sama namun makna yang terkandung adalah berbeda. Tembut-tembut sebelumnya mengatakan bahwa kata gundala-gundala berasal dari orang-orangan sawah yang berfungsi untuk menakut- nakuti burung, namun orang-orangan sawah ini umumnya digerakkan oleh petani dari rumah kecil/sapo yang ada di ladang

. Hal ini berbeda dengan tari tembut-tembut, makna tari tembut-tembut yang terkandung di dalamnya mengandung arti menakut-nakuti namun dapat bergerak dan berpindah untuk menakut-nakuti orang yang mempunyai niat jahat. Dari penjelasan ini, maka sangat jelaslah bahwa cerita yang dibawakan oleh

tembut-tembut Seberaya memiliki latar belakang kisah dari penciptanya yaitu Pirei

Sembiring Depari. Kisah tembut-tembut Seberaya dilatar belakangi berdasarkan pengalaman dari Kakek Pirei yang melintasi ladang padi ketika hendak berpetualang dan melihat bagaimana rukunnya kehidupan suku di seberaya yang terdiri dari keluarga-keluarga yang ingin agar ladang padi-nya membuahkan hasil yang besar namun banyak burung-burung yang mengganggu proses pertanian tersebut.

Hal ini menunjukkan betapa besar peran dari tembu-tembut dalam kahidupan masyarakat Karo. Jauh berbeda dengan kenyataan yang ada saat ini dimana tembut-tembut hanya dianggap sebagai hiasan yang melengkapi sebuah


(26)

12

seseorang yang lazim untuk disuruh dalam melakukan suatu pekerjaan adalah kerabat yang masuk dalam kelompok anak beru (kelompok pengambil anak dara), sedangkan dari pihak kalimbubu (pemberi anak dara) pantang untuk disuruh-suruh. Permainan tari tembut-tembut dari Pirei Sembiring menarik perhatian banyak warga desa, sehingga setiap keluarga Pirei memainkan tari tembut-tembut ini selalu saja banyak warga yang menonton.Selain karena pada masa itu hiburan masih sangat minim, hal ini juga dikarenakan permainan ini dianggap unik dan menghibur. Pada umumnya tari tembu-tembut ditampilkan dalam upacara ndilo

wari udan, yaitu upacara memanggil hujan pada musim kemarau panjang.

Upacara adat ndilo wari udan adalah upacara untuk memanggil hujan, upacara adat ini dilaksanakan saat musim kemarau panjang terjadi pada masyarakat Karo, yang mengakibatkan banyak tanaman-tanaman masyarakat yang mati dan terjadilah bencana bagi masyarakat tersebut. Sehingga ketua adat dan kepala desa berkumpul memusyawarahkan supaya mengadakan ritual untuk memanggil hujan.Ritual ini dilaksanakan oleh semua masyarakat dengan struktur penyajian yang diawali dengan melaksanakan acara saling menyiram di kesain1.

Kemudian acara akan dilanjutkan berjalan menuju Lau Kemit (sungai kemit) tetap sambil menyiram dalam perjalanan, disungai tersebut akan dilaksanakan ritual dengan memberikan persembahan (sesajen) berupa sirih, selanjutnya masyarakat masuk kedalam lau kemit tetap saling menyiram dan berkata-kata kasar, melanggar sistem adat ( menyiram turangkunya2 ataupun rebunya3 ), dan

1 Lapangan desa ataupun alun-alun desa

2 Sebutan untuk istri dari saudara laki laki. (tidak dapat berbicara langsung dengan


(27)

13

masyarakat tersebut menari sambil menyerukan “dogal-dogal dibata udan ko wari”. Upacara adat tersebut dilakukan empat hari berturut-turut, namun hanya hari pertama saja pergi ke lau kemit. Hari kedua sampai hari keempat masyarakat hanya saling menyiram dan melanggar sistem adat di daerah sekitar desa ataupun

kesain.

Pelaksanaan tari tembut-tembut pada hari ke-4 akan dilaksanakan di kesain (alun-alun) desa, pada dasarnya bentuk tari tembut-tembut memiliki dasar makna yang sangat di percaya oleh para masyarakat karo. Banyak hal yang terjadi dalam upacara adat ndilo wari udan yang membuat penulis ingin menggali lebih dalam dan mengangkat tari dalam upacara adat ini menjadi topik penelitian. Supaya tari ataupun upacara adat ini dapat dilestarikan dan dapat menjadi wawasan budaya bagi anak bangsa. Dengan demikian penulis mengambil judul untuk penelitian ini adalah “Bentuk Dan Makna Simbol tari tembut-tembut. Dalam Upacara Adat

Ndilo Wari Udan Pada Masyarakat Karo”

B. Identifikasi Masalah

Pada identifikasi masalah dikemukakan secara eksplisit permasalahan yang akan diteliti. Semua masalah yang ditulis pada bagian ini telah diuraikan dalam latar belakang masalah, dan diidentifikasi dengan pertanyaan-pertanyan yang akan dicari jawabannya melalui penelitian. Berikut ini adalah daftar permasalahan yang akan diteliti:

1. Apa itu tembut-tembut pada masyarakat Karo?

3 Suatu yang diangap suci, larangan, pantang, suatu yang dibatasi, tidak bebes (biasanya

karena tutur dalam adat ) : ngerana, pantang berbicara, harus memakai perantaraan atau menggunakan kalimat tidak langsung


(28)

14

2. Bagaimana keberadaan tembut-tembut pada masyarakat Karo? 3. Bagamana bentuk tembut-tembut pada masyarakat Karo?

4. Apakah makna simbol tembut-tembut pada upacara adat ndilo wari udan pada masyarakat Karo?

C. Pembatasan Masalah

Mengingat ruang lingkup masalah bisa menjadi luas, maka penulis membuat batasan masalah terhadap materi penelitian.Serta pembatasan masalah dibuat karena adanya keterbatasan waktu, tenaga, dan teori. Maka tidak semua masalah yang telah diidentifikasi akan diteliti. Dengan demikian dari identifikasi masalah yang ada maka pembatasan masalah didalam penelitian ini adalah:

1. Apa fungsi tari tembu-tembut pada pada masyarakat Karo?

2. Bagaimanai bentuk gerak-gerak tari tembut-tembut pada upacara adat ndilo

wari udan?

3. Bagaimana makna simbol tembut-tembut dalam upacara adat ndilo wari udan bagi masyarakat Karo?

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tegas pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicari jawabannya.Rumusan masalah merupakan jabaran mengenai fokus penelitian, supaya peneliti dapat mempertajam arah penelitian. Menurut pendapat Hendra Mahayana dalam Naburko (2005:52) bahwa “Apabila digunakan istilah rumusan masalah, maka


(29)

15

fokus penelitian berisi pertanyaan-pertanyaanyang akan dijawab dalam penelitian dan alasan diajukan pertanyaan, hal ini dilakukan untuk mengetahui gambaran apa yang akan diungkapkan di lapangan. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Bagaimana fungsi tari tembut-tembut dalam Upacara Adat Ndilo Wari Udan Pada Masyarakat Karo”?

E. Tujuan Penelitian

Dalam membuat tujuan dari penelitian seorang peneliti harus mengungkapkan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian. Tujuan penelitian harus benar-benar mengacu pada rumusan masalah penelitian. Sesuai dengan pendapat dari Hendra Mahayana dalam Naburko (2005:54) menyatakan, “Tujuan penelitian merupakan sasaran hasil yang ingin dicapai dalam penelitian, ini sesuai dengan fokus yang telah dirumuskan.

1. Mendeskripsikan fungsi tari tembut-tembut pada masyarakat Karo

2. Mendeskripsikan bentuk tari tembut-tembut pada upacara adat ndilo wari

udan pada masyarakat Karo

3. Mendeskripsikan makna simbol tembut-tembut pada upacara adatndilo wari

udan pada masyarakat Karo.

F. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian pastilah hasilnya akan bermanfaat, karena penelitian dilakukan untuk mengetahui peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi, sehingga dengan adanya hasil dar penelitian, manusia akan tahu bagaimana masa lalu, dan


(30)

16

bagaimana menghadapi masa yangakan datang. Manfaat penelitian ini diharapkan dari hasilpenelitian tersebut, dan manfaat penelitian mencakup dua hal yaitu kegunaan dalam pengembangan ilmu atau manfaat dibidang teoritis dan manfaat di bidang praktik.

1.Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai tari

tembut-tembut pada upacara adat ndilo wari udan pada masyarakat Karo.

2.Sebagai sumber informasi tertulis bagi setiap pembaca mengenai tari

tembut-tembut pada upacara adat ndilo wari udan pada masyarakat Karo.

3.Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai refrensi bagi peneliti-peneliti lainnya yang hendak meneliti kesenian ini lebih jauh.


(31)

72

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil gambaran umum dan hasil penelitian yang telah dideskripsikan pada bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Tembut-tembut Seberaya merupakan salah satu aset budaya daerah dari

etnis Karo dan merupakan budaya bangsa yang harus dilestarikan.

Tembut-tembut Seberaya diciptakan oleh Pirei Sembiring Depari yang

berasal dari Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo. Topeng ini diperkirakan dibuat oleh Pirei Sembiring Depari pada tahun 1910-an. Topeng ini terbuat dari kayu gecih yang dipahat dan di cat dengan warna-warna cerah seperti kuning, merah, putih dan hitam. Topeng yang terdiri dari lima karakter wajah ini diberi nama

Panglima, Kiker Labang, Manuk Si Gurda Gurdi, Anak Perana dan Singuda-nguda. Tembut-tembut ini awalnya digunakan hanya oleh

keluarga dari Pirei Sembiring Depari untuk dipertontonkan pada warga Desa Seberaya. Namun karena setiap kali tembut-tembut

dipertontonkan atau dimainkan di halaman rumah Pirei Sembiring, hujan selalu turun. Hal ini membuat sebuah keganjilan yang dirasakan masyarakat, ditambah lagi adanya bisikan gaib yang dirasakan oleh Pirei Sembiring untuk tetap menjaga topeng tersebut. Sejak saat itu, keluarga Pirei Sembiring mengsakralkan topeng tersebut.


(32)

73

Sebelumnya tembut-tembut digunakan pada ritual Ndilo Wari Udan (Upacara Memanggil Hujan), namun sekarang ini acara seperti itu hampir tidak pernah dilaksanakan lagi. Hal ini karena upacara tersebut dianggap sud

2. Upacara adat Ndilo Wari Udan merupakan kebiasaan masyarakat Karo pada saat terjadi kemarau yang panjang. Kebiasaan atau adat ini bertujuan untuk menurunkan hujan. Ndilo Uari Udan adalah suatu kebiasaann yang bersifat magis-mistis-animistis. Dalam adat ini dipercaya bahwa kemarau terjadi karena adanya kesalahan dari pihak manusia yang menyebabkan “Nini” (ro-roh para leluhur) marah atau

Dibata” (bukan dalam pengertian orang Kristen sekarang). Dengan mengadakan ritual Ndilo Uari Udan ini masyarakat mengharapkan supaya para leluhur berbelas kasih dan menurunkan hujan.

3. Alat yang digunakan dalam tari tembut-tembut pada upacara Ndilo

Wari Udan disebut musik gendang lima sendalanen terdiri dari lima

buah instrumen yang dimainkan sejalan dan tidak bisa dipisahkan. Seperti halnya pada Upacara Ndilo Wari Udan, Gendang Lima

Sendalanen sangat berperan sebagai pengiring dalam upacara tersebut.

Alat musik tradisional Karo yang disebut Gendang Lima Sendalanen, terdiri dari Sarune, Gendang Singanaki, Gendang Singindungi, Penganak dan Gung.

4. Tari tembut-tembut juga memiliki fungsi sebagai sarana hiburan, hal ini


(33)

74

iringan musik dan ini merupakan tontonan yang menarik bagi warga desa. Pada kesempatan ini kadang muncul kegembiraan ketika melihat orang ada yang terkejut dan takut melihat tari tembut-tembut. Ketika acara inti dari upacara ndilo wari udan di pinggir desa selesai, dan topeng diarah kembali ke dalam desa,tari tembut-tembut sudah lebih dominan sebagai sara hiburan yang menyenangkan.

B. Saran

Penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam tetap masih sangat dibutuhkan sehubungan dengan seni pertunjukan tembut-tembut yang berasal dari etnis Karo. Hal ini menyangkut karena masih banyaknya versi-versi cerita tentang

tembut-tembut, baik tentang kisah, lakon, fungsi sampai pada cara memainkannya. Hal ini

sangat penting untuk dapat memberikan sejarah yang sebenarnya dari

tembut-tembut tersebut. Tembut-tembut-tembut telah menjadi aset budaya

Masyarakat Karo pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, sudah sepantasnya untuk tetap dilestarikan dan diperkenalkan pada khalayak ramai dengan harapan ini dapat menciptakan rasa memiliki dan mencintai terhadap

tembut-tembut ini sendiri. Hal ini karena dari pengamatan peneliti, tembut-tembut

seakan-akan makin terlupakan dan tidak menutup kemungkinan akan hilang sama sekali. Meskipun ada keluarga dari Pirei Sembiring Depari yang akan tetap menjaga keberadaan tembut-tembut, namun jika tidak didukung oleh masyarakat Karo dan pemerintah, akan sia-sia.

Kepada pihak pemerintahan Kabupaten Karo pada khususnya, agar semakin mendukung pelestarian budaya Karo seperti tembut-tembut dan aset


(34)

75

budaya lainnya.Misalnya dengan mengikutsertakan aset budaya seperti

tembut-tembut dalam kegiatan-kegiatan budaya yang bersifat lokal maupun nasional.

Dengan demikian, masyarakat akan merasa bangga dengan budayanya dan ikut bersama melestarikannya. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penelitian ini hanyalah merupakan suguhan data awal yang belum dapat dikatakan sempurna dalam memberikan deskripsi tentang tembut-tembut.


(35)

76

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Sumanadiyo.2005.Sosiologi Tari. Yogyakarta: Pustaka

Ginting, Malem Ukur.2008. Adat Karo Siruko. Medan: Kalangan Sendiri,

Prinsheba, Edenth Glorya. 2012. “Penyajian Musik Gendang Lima Sendalanen pada Upacara Ndilo Wari Udan di Desa Tiga Binaga Kabupaten Karo”. Skripsi untuk memperoleh gelar S1 pada Program studi Seni Tari. Medan: Univesitas Negeri Medan

Nova, Cristi. 2012. “ Karakteristik Landek pada Masyarakat Karo”. Skipsi untuk memperoleh gelar S1 pada program studi Seni Tari. Medan: Universitas Negeri Medan

Royce, Anya Peterson. 2007. Antopologi Tari. Terjemahan Fx. Widaryanto. Bandung: STSI Press Bandung

Nasution, Putri Melisa. 2013. “Landek dalam Upacara Cawir Metua pada Masyarakat Karo”. Skripsi untuk memperoleh gelar S1 pada program studi Seni Tari. Medan: Universitas Negeri Medan

Ginting, Stepen Pedro. 2013. “Eksistensi Upacara Negget pada Masyarakat Karo”. Skripsi untuk memperoleh gelar S1 pada program studi Seni Tari. Medan: Universitas Negeri Medan

www.sejarhtembut-tembut. (diakses tanggal 19 Oktober 2014). Limamarga.blogspot. com

Tarigan, Brevin. 2011. “Ansambel Gendang Lima Sendalanen pada Masyarakat Karo. Studi Kasus Pembawa Trance pada Ritual Erpangir Ku Lau dalam Konteks Sosiobudaya di Lau Debuk-debuk Kecamatan Berastagi


(36)

77

Kabupaten Karo”.Skripsi untuk memperoleh gelar S1 pada program studi Seni Tari. Medan: Universitas Negeri Medan

Royce piter, Anya.2007. Antrpologi tari,Terjemah : F.X. Bandung

Winagun.Wartaya,Y.W. 1990.Dalam Masyarakat bebas struktur,penerbit Kanusiusi.Yogyakarta

Bangun, Tridah. 1992. Manusia Batak Karo. Jakarta, inti indramayu.

Prinst, Darwin. 2010. Kamus Karo Indonesia. Medan: Bina Media Perintis

Tarigan, Sarjani. 2008. Dinamika Orang Karo, Budaya dan Modernisasi, Medan: SIBNB Press, Balai Adat Budaya Karo Indonesia


(1)

72 A. Kesimpulan

Dari hasil gambaran umum dan hasil penelitian yang telah dideskripsikan pada bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Tembut-tembut Seberaya merupakan salah satu aset budaya daerah dari etnis Karo dan merupakan budaya bangsa yang harus dilestarikan. Tembut-tembut Seberaya diciptakan oleh Pirei Sembiring Depari yang

berasal dari Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo. Topeng ini diperkirakan dibuat oleh Pirei Sembiring Depari pada tahun 1910-an. Topeng ini terbuat dari kayu gecih yang dipahat dan di cat dengan warna-warna cerah seperti kuning, merah, putih dan hitam. Topeng yang terdiri dari lima karakter wajah ini diberi nama Panglima, Kiker Labang, Manuk Si Gurda Gurdi, Anak Perana dan

Singuda-nguda. Tembut-tembut ini awalnya digunakan hanya oleh

keluarga dari Pirei Sembiring Depari untuk dipertontonkan pada warga Desa Seberaya. Namun karena setiap kali tembut-tembut dipertontonkan atau dimainkan di halaman rumah Pirei Sembiring, hujan selalu turun. Hal ini membuat sebuah keganjilan yang dirasakan masyarakat, ditambah lagi adanya bisikan gaib yang dirasakan oleh Pirei Sembiring untuk tetap menjaga topeng tersebut. Sejak saat itu, keluarga Pirei Sembiring mengsakralkan topeng tersebut.


(2)

73

Sebelumnya tembut-tembut digunakan pada ritual Ndilo Wari Udan (Upacara Memanggil Hujan), namun sekarang ini acara seperti itu hampir tidak pernah dilaksanakan lagi. Hal ini karena upacara tersebut dianggap sud

2. Upacara adat Ndilo Wari Udan merupakan kebiasaan masyarakat Karo pada saat terjadi kemarau yang panjang. Kebiasaan atau adat ini bertujuan untuk menurunkan hujan. Ndilo Uari Udan adalah suatu kebiasaann yang bersifat magis-mistis-animistis. Dalam adat ini dipercaya bahwa kemarau terjadi karena adanya kesalahan dari pihak manusia yang menyebabkan “Nini” (ro-roh para leluhur) marah atau “Dibata” (bukan dalam pengertian orang Kristen sekarang). Dengan mengadakan ritual Ndilo Uari Udan ini masyarakat mengharapkan supaya para leluhur berbelas kasih dan menurunkan hujan.

3. Alat yang digunakan dalam tari tembut-tembut pada upacara Ndilo Wari Udan disebut musik gendang lima sendalanen terdiri dari lima

buah instrumen yang dimainkan sejalan dan tidak bisa dipisahkan. Seperti halnya pada Upacara Ndilo Wari Udan, Gendang Lima Sendalanen sangat berperan sebagai pengiring dalam upacara tersebut.

Alat musik tradisional Karo yang disebut Gendang Lima Sendalanen, terdiri dari Sarune, Gendang Singanaki, Gendang Singindungi, Penganak dan Gung.

4. Tari tembut-tembut juga memiliki fungsi sebagai sarana hiburan, hal ini terlihat ketika barisan tari tembut-tembut melewati jalan - jalan desa dengan


(3)

iringan musik dan ini merupakan tontonan yang menarik bagi warga desa.

Pada kesempatan ini kadang muncul kegembiraan ketika melihat orang ada

yang terkejut dan takut melihat tari tembut-tembut. Ketika acara inti dari

upacara ndilo wari udan di pinggir desa selesai, dan topeng diarah kembali ke

dalam desa,tari tembut-tembut sudah lebih dominan sebagai sara hiburan

yang menyenangkan.

B. Saran

Penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam tetap masih sangat dibutuhkan sehubungan dengan seni pertunjukan tembut-tembut yang berasal dari etnis Karo. Hal ini menyangkut karena masih banyaknya versi-versi cerita tentang tembut-tembut, baik tentang kisah, lakon, fungsi sampai pada cara memainkannya. Hal ini

sangat penting untuk dapat memberikan sejarah yang sebenarnya dari tembut-tembut tersebut. Tembut-tembut-tembut telah menjadi aset budaya

Masyarakat Karo pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, sudah sepantasnya untuk tetap dilestarikan dan diperkenalkan pada khalayak ramai dengan harapan ini dapat menciptakan rasa memiliki dan mencintai terhadap tembut-tembut ini sendiri. Hal ini karena dari pengamatan peneliti, tembut-tembut

seakan-akan makin terlupakan dan tidak menutup kemungkinan akan hilang sama sekali. Meskipun ada keluarga dari Pirei Sembiring Depari yang akan tetap menjaga keberadaan tembut-tembut, namun jika tidak didukung oleh masyarakat Karo dan pemerintah, akan sia-sia.

Kepada pihak pemerintahan Kabupaten Karo pada khususnya, agar semakin mendukung pelestarian budaya Karo seperti tembut-tembut dan aset


(4)

75

budaya lainnya.Misalnya dengan mengikutsertakan aset budaya seperti tembut-tembut dalam kegiatan-kegiatan budaya yang bersifat lokal maupun nasional.

Dengan demikian, masyarakat akan merasa bangga dengan budayanya dan ikut bersama melestarikannya. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penelitian ini hanyalah merupakan suguhan data awal yang belum dapat dikatakan sempurna dalam memberikan deskripsi tentang tembut-tembut.


(5)

76

Ginting, Malem Ukur.2008. Adat Karo Siruko. Medan: Kalangan Sendiri,

Prinsheba, Edenth Glorya. 2012. “Penyajian Musik Gendang Lima Sendalanen pada Upacara Ndilo Wari Udan di Desa Tiga Binaga Kabupaten Karo”. Skripsi untuk memperoleh gelar S1 pada Program studi Seni Tari. Medan: Univesitas Negeri Medan

Nova, Cristi. 2012. “ Karakteristik Landek pada Masyarakat Karo”. Skipsi untuk memperoleh gelar S1 pada program studi Seni Tari. Medan: Universitas Negeri Medan

Royce, Anya Peterson. 2007. Antopologi Tari. Terjemahan Fx. Widaryanto. Bandung: STSI Press Bandung

Nasution, Putri Melisa. 2013. “Landek dalam Upacara Cawir Metua pada Masyarakat Karo”. Skripsi untuk memperoleh gelar S1 pada program studi Seni Tari. Medan: Universitas Negeri Medan

Ginting, Stepen Pedro. 2013. “Eksistensi Upacara Negget pada Masyarakat Karo”. Skripsi untuk memperoleh gelar S1 pada program studi Seni Tari. Medan: Universitas Negeri Medan

www.sejarhtembut-tembut. (diakses tanggal 19 Oktober 2014). Limamarga.blogspot. com

Tarigan, Brevin. 2011. “Ansambel Gendang Lima Sendalanen pada Masyarakat Karo. Studi Kasus Pembawa Trance pada Ritual Erpangir Ku Lau dalam Konteks Sosiobudaya di Lau Debuk-debuk Kecamatan Berastagi


(6)

77

Kabupaten Karo”.Skripsi untuk memperoleh gelar S1 pada program studi Seni Tari. Medan: Universitas Negeri Medan

Royce piter, Anya.2007. Antrpologi tari,Terjemah : F.X. Bandung

Winagun.Wartaya,Y.W. 1990.Dalam Masyarakat bebas struktur,penerbit Kanusiusi.Yogyakarta

Bangun, Tridah. 1992. Manusia Batak Karo. Jakarta, inti indramayu.

Prinst, Darwin. 2010. Kamus Karo Indonesia. Medan: Bina Media Perintis

Tarigan, Sarjani. 2008. Dinamika Orang Karo, Budaya dan Modernisasi, Medan: SIBNB Press, Balai Adat Budaya Karo Indonesia