Tembut-Tembut (Arti Simbolik dan Tarian Tembut-Tembut) Studi Kasus di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo

(1)

U N I V ERSI T AS SU M AT ERA U T ARA

FAK U LT AS I LMU SOSI AL DAN I LM U POLI T I K

H ALAM AN PERSET U J U AN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh Nama : Romi Oktolius Ginting NIM : 020905011

Departemen : Antropologi

Judul : Tembut- Tembut ( Arti Simbolik dan Tarian Tembut-Tembut ) Studi Kasus di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo.

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

( Drs. Agustrisno, M. Sp ) ( Drs. Zulkifli Lubis, MA) Nip. 131 659 306 Nip. 131 882 275

Dekan FISIP USU

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA ) Nip. 131 757 010


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kasih dan anugrahnya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik oleh penulis.


(3)

ABSTRAKSI

Ginting, Romi Oktolius, 2008, Tembut-Tembut (Arti Simbolik dan Terian Tembut-Tembut) Studi Kasus di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo,

Skripsi ini berjudul Tembut (Arti Simbolik dan Tarian Tembut-Tembut ) Studi Kasus di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo fokus utama dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan arti simbolik yang terkandung dalam tarian topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo.

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskripsi untuk mengumpulkan data dan informasi kualitatif, untuk menjelaskan secara terperinci mengenai arti simbolik dari Tarian Topeng Tembut-Tembut, proses pembuatan topeng dan peran topeng tembut-tembut dalam Masyarakat Karo,untuk mengumpulkan data lapangan dilakukan metode wawancara dan observasi lapangan. Data yang di peroleh tersebut akan di analisis secara kualitatif. Proses analisa data pada penelitian ini di mulai dengan menelaah seluruh data yang di peroleh dari observasi dan wawancara, kemudian mengklasifikasikannya sesuai dengan kebutuhan dalam menjawab permasalahan yang seterusnya di susun secara sistematis agar lebih mudah di pahami.

Penelitian ini menggunakan teori simbol dari Victor Turner, dimana simbol didefenisikan sebagai sesuatu yang dianggap, dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili dan mengingatkan kembali dengan kualitas yang sama dalam membayangkan dalam kenyataan atau pikiran. Simbol sangat merangsang perasaan seseorang dan berpartisipasi dalam arti dan kekuatan yang sedang disimbolkan.

Dari penelitian ini diperoleh bahwa saat ini penggunaan Topeng Tembut-Tembut lebih berorientasi sebagai media hiburan pada Masyarakat Karo, sementara awalnya topeng ini memiliki dua fungsi yaitu sebagai media Ndilo Wari Udan dan media hiburan. Topeng Tembut-Tembut yang terdiri dari lima karakter tokoh yang berbeda dan memiliki peran tersendiri. Namun dalam pertunjukannya kelima topeng tersebut tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena dalam setiap rangkaian acara pertunjukan Tembut-Tembut, kelima karakter ini saling melengkapi.

Tembut-tembut saat ini biasanya hanya digunakan sebagai sarana hiburan saja, misalnya pertunjukan pada acara-acara tahunan yang diselenggarakan oleh masyarakat Karo baik yang berada di Desa Seberaya maupun di luar Desa Seberaya. Selain itu digunakan juga sebagai sarana mengumpulkan massa atau masyarakat dalam rangka acara tertentu.

Tembut-tembut yang dulunya banyak mengandung unsur mistik, kini dianggap sebagai hiburan bagi warga yang melihatnya. Hanya pada acara tertentu saja, misalnya dilakukannya kembali acara Ndilo Wari Udan, maka tembut-tembut yang fungsinya untuk Ndilo Wari Udan akan dimunculkan kembali. Namun hal ini tentunya sudah sangat jarang terjadi, karena masyarakat saat ini adalah masyarakat modern yang percaya pada hal-hal yang logika.


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN PERSETUJUAN

KATA PENGANTAR ... 1

ABSTRAKSI... 3

DAFTAR ISI ... 4

DAFTAR TABEL ... 7

DAFTAR GAMBAR ... 8

DAFTAR LAMPIRAN ... 9

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah ... 10

I.2 Ruang lingkup Masalah dan Lokasi Penelitian ...14

I. 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...15

I.4 Tinjauan Pustaka ...16

1.5 Metode Penelitian ... ....21

1.5.1 Wawancara ...21

1.5.2 Observasi (pengamatan)...22


(5)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

II.1 Identifikasi Desa ...24

II.1.1 Lokasi Desa Seberaya...24

II.2 Sejarah Desa Seberaya ... 26

II.3 Keadaan Penduduk ... 28

II.4 Topografi Desa Seberaya ... 31

BAB III

TEMBUT-TEMBUT SEBERAYA

III.1 Sejarah tembut-Tembut ... 37

III.2 Karakter Tembut-Tembut ...41

III.3 Cerita lakon Tembut-Tembut ...48

III.4 Bentuk Tembut-Tembut dan Pembuatannya ...50

III.5 Memainkan Tembut-Tembut ...52

III.6 Musik penggiring Tembut-Tembut ...53

III.7 Sesajen Untuk Tembut-Tembut ...55

BAB IV

FUNGSI TEMBUT-TEMBUT

DALAM

KEHIDUPAN MASYARAKAT KARO

IV.1 Fungsi Tembut-Tembut Sebagai Sarana Ritual ...58

IV.1.1 Upacara Ndilo Wari Udan ...59

IV.1.2 Persiapan Upacara Ndilo Wari Udan ...60

IV.1.3 Persiapan Khusus Untuk Tembut-Tembut ...62

IV.1.4 Bagian-Bagian Upacara Ndilo Wari Udan ...63

IV.1.4.1 Ersimbu ...64


(6)

IV.1.4.3 Ertembut- Tembut ...68

IV.1.4.4 Ertoto Ku Sembahen ...69

IV.1.5 Unsur-Unsur Dalam Upacara Ndilo Wari Udan ...70

IV.1.5.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Upacara ...71

IV.1.5.2 Pemimpin dan Pendukung Upacara ...72

IV.1.5.3 Perlengkapan Upacara ...73

IV.2 Fungsi Tembut-Tembut Sebagai Sarana Hiburan ...74

IV.3 Fungsi Tembut-Tembut Sebagai Presentasi Estetis ...75

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan ...76

V.2 Saran ...78


(7)

DAFTAR TABEL

Judul Halaman

Tabel I Penggunaan Lahan ...24

Tabel II Mata Pencaharian Penduduk ...30

Tabel III Bentang Lahan ...32

Tabel IV Kondisi Geografis ...32

Tabel V Kesuburan Tanah ...32

Tabel VI Jalan Sentra Pertanian Seberaya ...34


(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar I Foto Topeng Tembut-Tembut ...41

Gambar II Foto Panglima ...42

Gambar III Foto Kikir Labang ...44

Gambar IV Foto Anak Perana ...45

Gambar V Foto Singuda-nguda ...46


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

1.

Peta Tanah Karo

2.

Peta Desa Seberaya

3.

Surat Izin Penelitian dari FISIP USU

4.

Surat Rekomendasi dari Kesbang


(10)

ABSTRAKSI

Ginting, Romi Oktolius, 2008, Tembut-Tembut (Arti Simbolik dan Terian Tembut-Tembut) Studi Kasus di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo,

Skripsi ini berjudul Tembut (Arti Simbolik dan Tarian Tembut-Tembut ) Studi Kasus di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo fokus utama dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan arti simbolik yang terkandung dalam tarian topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo.

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskripsi untuk mengumpulkan data dan informasi kualitatif, untuk menjelaskan secara terperinci mengenai arti simbolik dari Tarian Topeng Tembut-Tembut, proses pembuatan topeng dan peran topeng tembut-tembut dalam Masyarakat Karo,untuk mengumpulkan data lapangan dilakukan metode wawancara dan observasi lapangan. Data yang di peroleh tersebut akan di analisis secara kualitatif. Proses analisa data pada penelitian ini di mulai dengan menelaah seluruh data yang di peroleh dari observasi dan wawancara, kemudian mengklasifikasikannya sesuai dengan kebutuhan dalam menjawab permasalahan yang seterusnya di susun secara sistematis agar lebih mudah di pahami.

Penelitian ini menggunakan teori simbol dari Victor Turner, dimana simbol didefenisikan sebagai sesuatu yang dianggap, dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili dan mengingatkan kembali dengan kualitas yang sama dalam membayangkan dalam kenyataan atau pikiran. Simbol sangat merangsang perasaan seseorang dan berpartisipasi dalam arti dan kekuatan yang sedang disimbolkan.

Dari penelitian ini diperoleh bahwa saat ini penggunaan Topeng Tembut-Tembut lebih berorientasi sebagai media hiburan pada Masyarakat Karo, sementara awalnya topeng ini memiliki dua fungsi yaitu sebagai media Ndilo Wari Udan dan media hiburan. Topeng Tembut-Tembut yang terdiri dari lima karakter tokoh yang berbeda dan memiliki peran tersendiri. Namun dalam pertunjukannya kelima topeng tersebut tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena dalam setiap rangkaian acara pertunjukan Tembut-Tembut, kelima karakter ini saling melengkapi.

Tembut-tembut saat ini biasanya hanya digunakan sebagai sarana hiburan saja, misalnya pertunjukan pada acara-acara tahunan yang diselenggarakan oleh masyarakat Karo baik yang berada di Desa Seberaya maupun di luar Desa Seberaya. Selain itu digunakan juga sebagai sarana mengumpulkan massa atau masyarakat dalam rangka acara tertentu.

Tembut-tembut yang dulunya banyak mengandung unsur mistik, kini dianggap sebagai hiburan bagi warga yang melihatnya. Hanya pada acara tertentu saja, misalnya dilakukannya kembali acara Ndilo Wari Udan, maka tembut-tembut yang fungsinya untuk Ndilo Wari Udan akan dimunculkan kembali. Namun hal ini tentunya sudah sangat jarang terjadi, karena masyarakat saat ini adalah masyarakat modern yang percaya pada hal-hal yang logika.


(11)

Bab I

Pendahuluan

I.1

Latar Belakang Masalah

Masing-masing unsur kebudayaan saling berkaitan dan mempengaruhi sehingga merupakan satu sistem yang bersifat holistik. Dengan demikian, unsur kesenian misalnya, tidak tercipta tersendiri atau hanya untuk seni saja, melainkan merupakan unsur universal kebudayaan yang berkaitan erat dengan adat istiadat, aktivitas sosial, teknologi dan lainnya. Oleh karenanya kesenian bukan hanya milik dari sekelompok seniman yang berada dalam satu wilayah saja, namun milik setiap anggota kelompok, dan mengatur perilaku sosial orang-orang yang ada dalam lingkup kelompok tersebut ( Edy Sedyawati, Seni Pertunjukaan Indonesia, Topeng Dalam Budaya. Jakarta, Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1993 )

Kesenian adalah unsur dan ekspresi kebudayaan manusia, yang berhubungan erat dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya. Sampai sekarang dalam kajian saintifik, kesenian dibagi menjadi rumpun-rumpun. (a) seni pertunjukan (performing art) atau pertunjukan budaya (cultural performance) yang terdiri dari : musik, tari, dan teater yang kadang kala meluas sampai kajian pada bidang olah raga, sirkus, prosesi dan juga ritual; (b) seni rupa atau seni visual yang terdiri dari: seni lukis, seni patung, pahat, kerajinan dan lainnya; (c) seni media rekam yang terdiri dari : radio, televisi, komput er dan lain-lain.

Seni pertunjukan atau seni persembahan dalam masyarakat Karo mencakup seni musik yang lazim disebut gendang, seni tari yang lazim disebut landek, dan seni teater yang didukung oleh genre tembut-tembut. Istilah landek dalam bahasa Karo memiliki denotasi yang hampir sama dengan tari dalam bahasa Indonesia.


(12)

Menurut masyarakat Karo, masing-masing gerakan tari (landek) selalu berhubungan dengan perlambangan tertentu. Masing-masing perlambangan tersebut selalu menggambarkan sifat manusia maupun hubungan seseorang dengan orang lain di dalam kehidupan sosialnya (A. G Sitepu, Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo Seri B. Bali Screen, 1998 )

Seni pertunjukan dalam masyarakat Karo merupakan bagian integral dari kebudayannya. Seni pertunjukan ini mencerminkan ide-ide budaya yang terwujud dalam aktivitas dan artifak. Dalam seni pertunjukan masyarakat Karo dapat dijumpai sistem-sistem yang relevan sampai saat ini. Dalam seni pertunjukan Karo terkandung juga keunikan-keunikan yang memperjelas dan mempertajam jatidiri masyarakat Karo.

Salah satu teater tradisional di Sumatera Utara yang cukup terkenal dalam konteks pariwisata adalah tembut-tembut dari Budaya Karo. Di Simalungun terdapat teater Toping-toping atau Huda-huda, sementara dalam kebudayaan Melayu contohnya adalah bangsawan, tonil, dan sandiwara. Pada masyarakat Batak adalah Opera Batak. Tembut-tembut di daerah Karo yang dikenal adalah yang ada di daerah Seberaya sehingga sering disebut Tembut-tembut Seberaya. Tema ceritanya adalah hiburan bagi raja yang ditinggal mati anaknya (Tridah Bangun, Manusia Batak Karo, Jakarta, Inti Indramayu, 1992)

Bilakah terciptanya tembut-tembut Seberaya tidak dapat dipastikan secara tepat. Namun menurut penjelasan para informan di Desa Seberaya, dapat diperkirakan berdasarkan tahun serta penyajiannya di Batavia Fair yaitu tahun 1920. berdasarkan tahun di atas, para informan memperkirakan terciptanya tembut-tembut adalah sekitar tahun 1915. Awalnya berfungsi hiburan, dalam arti


(13)

digunakan untuk menyenangkan hati masyarakat yang menontonnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya penyajiannya dilaksanakan dalam konteks ndilo wari udan (upacara memanggil hujan). Kapan awalnya pemakaian tembut-tembut dalam konteks ndilo wari udan pun tidak diketahui secara pasti (Putro Brahmana, Karo Dari Zaman Ke Zaman, Medan, Ulih Saber, 1999).

Tembut-tembut Seberaya terdiri dari dua jenis karakter (perwajahan), yaitu karakter manusia dan karakter hewan. Karakter manusia terdiri dari empat tokoh (peran) yaitu satu bapa (ayah), nande (ibu), satu anak dilaki (putra) dan satu anak diberu (putri). Karakter binatang hanya mempunyai satu tokoh (peran) yaitu gurda-gurdi (burung enggang).

Jalannya pertunjukan tembut-tembut adalah dimulai dengan membawa tembut-tembut serta kelengkapannya ke tempat penyajian. Di tempat penyajian masing-masing pemain memakai tembut-tembut dan pakaiannya sesuai dengan perannya masing-masing. Selepas itu, pemimpin penyajian menyuruh pemain musik supaya memainkan gendang dengan ucapan ”palu gendang ena..” yang artinya ”mainkan musiknya..”. Pemain musik memainkan gendang dan pemain tembut-tembut mulai menari. Posisi awal penari tembut-tembut adalah sejajar membelakangi pemain musik. Posisi ini dipertahankan hingga pemusik memainkan dua buah lagu yaitu lagu perang empat kali dan lagu simalungen rayat.

Pada lagu ketiga, yaitu lagu kuda-kuda, posisi penari mulai berubah, pola tariannya tidak mempunyai struktur yang baku dan dilakukan secara inprovisasi. Penari yang memainkan karakter burung enggang selalu seolah-olah ingin


(14)

mematuk tokoh (peran) anak diberu (anak perempuan). Penari yang berkarakter ayah selalu berusaha menghalangi gangguan burung enggang tersebut.

Bila pemain yang berkarakter ayah gagal menghalanginya maka pemain yang berkarakter anak laki-laki datang membantu. Demikian lakon pemain penari dapat dilihat pada waktu pertunjukan diiringi dengan lagu kuda-kuda dan lagu tembutta yang lebih cepat dibanding lagu kuda-kuda.

Dewasa ini keberadaan topeng tembut-tembut tampak kurang mendapat perhatian dari masyarakat Karo sendiri. Hal ini terlihat dari semakin kurangnya pemakaian tembut-tembut dalam upacara-upacara atau kegiatan-kegiatan yang bersifat ritual, dimana dulunya pada kegiatan ini topeng tembut-tembut memiliki peran yang cukup besar dalam berjalannya acara. Melihat fenomena yang terjadi pada masyarakat Karo, dikhawatirkan generasi muda Karo akan melupakan dan tidak dapat menikmati salah tembut-tembut sebagai salah satu produk asli budaya Karo.

Pada masa lalu, keberadaan tembut-tembut ini memiliki peran yang cukup besar pada masyarakat Karo. Selain juga sebagai alat untuk upacara ndilo wari udan, juga berfungsi sebagai hiburan untuk menyambut tamu-tamu penting yang berkunjung ke daerah Karo. Hal ini menunjukkan betapa besar peran dari tembut-tembut dalam kahidupan masyarakat Karo. Jauh berbeda dengan kenyataan yang ada saat ini dimana tembut-tembut hanya dianggap sebagai hiasan yang melengkapi sebuah pertunjukan budaya Karo. Misalnya pelengkap dalam Perayaan Pesta Bunga dan Buah atau Pesta Budaya Karo lainnya dimana tembut-tembut buka dianggap objek yang penting, hanya sebagai pajangan.


(15)

Dari beberapa uraian tentang keberadaan tembut-tembut pada masyarakat Karo saat ini maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai tembut-tembut, khususnya di daerah asal tembut-tembut yaitu Desa Seberaya dan Barusjahe. Tulisan ini akan mendeskripsikan secara umum makna simbolik yang terkandung dalam tarian topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo dan keberadaan tembut-tembut pada masyarakat Karo yang saat ini semakin jarang ditemui dalam setiap upacara-upacara adat Karo.

I.2

Ruang lingkup Masalah dan Lokasi Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka fokus utama dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan arti simbolik yang terkandung dalam tarian topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo. Melalui hal tersebut maka masalah utama ini dirinci menjadi beberapa pertanyaan kecil yaitu :Bagaimana arti simbolik yang ada pada topeng tembut-tembut dan pada tarian tembut-tembut, bagaimana peran topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo dan bagaimana proses pembuatan topeng tembut-tembut.

Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih lokasi di Desa Seberaya, kecamatan Tiga panah, dan desa Barusjahe, kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo. Hampir 90 % penduduk desa ini merupakan etnis Karo. Etnis Jawa merupakan penduduk terbesar kedua di desa ini, selain itu penduduk desa ini terdiri dari etnis Toba, Mandailing. Di sini masyarakat berhubungan baik walaupun berbeda etnis. Bahkan masyarakat jawa yang ada di desa ini sangat baik berbahasa Karo.


(16)

Alasan lain untuk memilih daerah ini sebagai lokasi penelitian adalah, karena desa Seberaya merupakan tempat pertama kali diciptakannya topeng tembut-tembut (gundala-gundala), selain itu desa ini juga terdapat banyak tokoh adat yang mengetahui proses penciptaan topeng tembut-tembut. Desa Seberaya juga merupakan tempat tinggal dari tokoh pewaris topeng gundala-gundala, hal ini dikuatkan oleh adanya pengakuan dari pemerintah setempat bahwa tokoh tersebut merupakan pewaris sah dari Topeng Gundala-Gundal.

Sedangkan di Desa Barusjahe terdapat beberapa perajin atau seniman pembuat topeng gundala-gundala. Pembuat gundala-gundala yang ada di Desa Barusjahe ini sering diminta membuat topeng untuk acara-acara di tingkat nasional maupun internasional. Beberapa orang asing yang pernah melihat pertunjukan gundala-gundala, kemudian memesan topeng tersebut sebagai koleksi pribadi.

I. 3

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini pada hakekatnya adalah usaha untuk memahami bagaimana arti simbolik yang terkandung dalam tarian topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo serta keberadaan topeng tembut-tembut saat ini pada masyarakat Karo, sehingga melalui pemahaman ini dapat diperoleh deskripsi yang baik tentang masalah yang diteliti dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan pada permasalahan utama tersebut. Disamping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memperoleh gambaran keberadaan topeng tembut-tembut pada masa dimana keberadaan topeng tembut-tembut adalah hal yang penting bagi masyarakat Karo.


(17)

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah tulisan ilmiah mengenai keberadaan topeng tembut-tembut dulu dan saat ini. Disamping itu tulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat Karo yang ingin mengetahui tentang tembut-tembut yang semakin jarang ditemui dalam upacara-upacara adat. Mengingat topeng tembut-tembut ini adalah salah satu ciri budaya Karo yang telah lama dikenal luas dan merupakan salah satu warisan nenek moyang masyarakat Karo yang harus tetap dijaga. Dengan harapan bahwa masyarakat Karo akan semakin mencintai dan melestarikan budaya Karo agar masyarakat Karo tidak kehilangan salah satu ciri budaya Karo tersebut.

1.4

Tinjauan Pustaka

Victor Turner mendefinisikan simbol sebagai sesuatu yang dianggap, dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili atau mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dalam membayangkan dalam kenyataan atau pikiran. Simbol sangat merangsang perasaan seseorang dan berpartisipasi dalam arti dan kekuatan yang sedang disimbolkan. Simbol menurut Victor memiliki beberapa ciri khas yaitu, multivokal, dimana simbol memiliki banyak arti dan menunjuk pada banyak hal atau sifat; polarisasi, dimana karena simbol memiliki banyak arti sehingga ada arti-arti yang bertentangan; unifikasi, dimana ciri khas simbol-simbol ritual adalah unifikasi dari arti-arti yang terpisah. Penyatuan ini menjadi mungkin karena da sifat-sifat yang sangat umum atau mirip (Wartaya Y.W Winangun dalam Masyarakat Bebas Struktur, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1990).


(18)

Selanjutnya Victor tiga dimensi arti simbol. Pertama, dimensi eksegetik arti simbol. Dimensi ini meliputi penafsiran yang diberikan oleh informan asli kepada peneliti. Penjelasan-penjelasan atau interpretasi harus digolongkan menurut ciri-ciri sosial dan kualifikasi informan. Eksegenesisnya meliputi apa yang dikatakan orang tentang simbol-simbol ritual mereka. Ada tiga arti yang mendasar dari arti eksigenetik simbol ritual yaitu nominal, substansial dan arti faktual. Dasar nominal adalah dasar yang memberikan nama pada simbol atau sekurang-kurangnya dari mana simbol itu berasal. Dasar substansial terdiri dari sifat-sifat alamiah. Dasar arti faktual ditampilkan dengan objek simbolik, karya seni manusia sendiri dan digunakan dalam konteks ritual. Dasar ini yang menghubungkan dengan tujuan ritus diadakan.

Kedua, dimensi operasional, dimensi ini meliputi tidak hanya penafsiran yang diungkapkan secara verbal, tetapi juga apa yang ditunjukkan pada pengamat dan peneliti. Dalam hal ini simbol perlu dilihat dalam rangka apa simbol itu digunakan. Perlu dilihat ekpresi-ekpresi apa saja yang muncul sewaktu simbol-simbol itu digunakan, misalnya kegembiraan, kesedihan, ketakutan, dan lain-lain.

Ketiga, dimensi posisional, dimana bahwa arti simbol-simbol itu berasal dari relasinya dengan simbol lain. Pada ritus tertentu mungkin simbol tertentu sangat ditekankan sedangkan pada ritul lainnya simbol tersebut tidak ditekankan meski masih dipakai, semua itu berhubungan dengan tujuan ritus digunakan (Wartaya Y.W Winangun dalam Masyarakat Bebas Struktur, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1990).

Dalam ritual tertentu, topeng dapat dijadikan sebuah simbol. Topeng tersebut dapat mengungkapkan ekpresi tertentu dalam sebuah ritual. Topeng atau


(19)

disebut juga kedok atau penutup muka dikenal ada beberapa suku di Indonesia, bentuk dan fungsinya berbeda-beda. Topeng merupakan benda asli budaya manusia yang mungkin setua budaya manusia itu sendiri, ia juga dikenal sejak jaman pra-sejarah. Penggunaan topeng sejak dahulu telah dikenal penerapannya terlihat pada benda-benda pakai seperti, gagang senjata, keris, tombak, parang, yang diletakkan di atas pintu candi disebut hiasan kala dan banaspati. Bahkan pada pertunjukkan wayang orang, penggunaan topeng sangat dominan. Menurut Sedyawati dijelaskan bahwa, topeng adalah “ merupakan salah satu wujud ekspresi simbolis yang dibuat oleh manusia untuk maksud tertentu” (1993 : 1). Topeng juga dapat didefinisikan sebagai tiruan wajah yang dibentuk atas bahan dasar yang tipis, atau ditipiskan dengan memperhitungkan untutk dipergunakan di permukaan wajah manusia, sehingga wajah yang menggunakannya tertutup.

Perlu direnungkan, apa kiranya dasar-dasar orang membuat topeng. Sedyawati juga mengatakan bahwa “yang, melandasi makna kepada topeng ialah bahwa wajah adalah wakil dari keseluruhan kepribadian, maka manusia lebih lanjut menggambarkan suatu pribadi melalui simbolisasi visual yang dipusatkan pada gambaran wajah, maka muncullah ide untuk membuat topeng tersebut”. (1993 : 1).

Pribadi yang dilambangkan dengan topeng itu beraneka ragam, tidak hanya terbatas pada sesama manusia melainkan juga tokoh-tokoh gaib, dari yang bercitra kemanusiaan dan bertataran kedewatan sampai pada citra kebintangan sampai yang paling rendah dari manusia. Fungsi dalam sistem kebudayan yang dipenuhi oleh topeng dapat dibedakan atas fungsi keagamaan dan fungsi kesenian. Fungsi yang pertama topeng merupakan sarana ekspresi simbolis dalam mewujudkan


(20)

konsepsi-konsepsi keagamaan khususnya berkaitan dengan kekuatan gaib tertentu. Fungsi yang kedua topeng merupakan ekspresi simbolis untuk menyalurkan tanggapan, kesan atas alam beserta sifat-sifatnya maupun konsep budaya tertentu melalui bentuk visual yang terencana.

Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa kebudayaan suku bangsa di Indonesia, peran topeng pada awalnya mempunyai fungsi keagamaan kemudian beralih kepada fungsi kesenian, khususnya dalam seni pertunjukkan.

Berdasarkan ukuran topeng dapat digolongkan menjadi dua yaitu : topeng besar, dan topeng kecil. Sedyawati mengatakan “topeng besar adalah topeng yang berukuran diatas ukuran normal wajah manusia. Sedangkan topeng kecil adalah topeng yang kurang lebih seukuran dengan ukuran normal wajah manusia”. (1993 : 3).

Lebih lanjut Sedyawati mengatakan bahwa: “secara garis besar topeng dapat dipisahkan antara yang bergaya natural dan bergaya grostesk (1993 : 4). Bergaya natural yaitu yang dalam pemberian bentuk maupun proposisi antara bagian-bagiannya terdapat kesejajaran dengan wujud-wujud yang dikenal di alam nayata, dan yang bergaya grostesk yaitu, pemberian bentuk maupun proposisi internalnya tidak mengacu secara setia kepada alam nyata, bahkan sering sekali bertentangan dengan ketentuan ukuran proposionalnya. Tiga macam bentuk topeng yang dikenal dengan penggunaan gaya grostesk yaitu : (1) Kesan seram dashyat, dan menakutkan, (2). Kesan seram dan menjijikan, dan (3). Kesan lucu dan meggelikan. Inilah variasi bentuk topeng yang diperoleh dengan gaya grostesk yang masing-masing menimbulkan kesan yang khas, selanjutnya masing-masing kesan topeng dapat digunakan untuk berbagai maksud tertentu misalnya roh-roh


(21)

jahat, seperti yang ditemukan dalam bentuk kala dan banaspati di candi Hindu Indonesia.

Tembut-tembut adalah sejenis topeng (penutup wajah) yang dipakai dalam acara tarian ritual, yang rupa dan bentuknya mempunyai karakter yang berbeda, dan memiliki fungsi dan makna tersendiri bagi masyarakat Karo. Lahirnya tembut-tembut dikalangan masyarakat Karo berhubungan erat dengan kepercayaan lama (animisme), dimana kepercayaan itu dianggap sebagai sesuatu yang teramat penting. Karena menurut kepercayan masyarakat Karo kuno, topeng tembut-tembut memiliki suatu hal yang luar biasa, dan mempunyai kekuatan magis. Dengan adanya kepercayaan ini topeng tembut-tembut harus tetap dipelihara dan dilestarikan keberadaanya.

Peran topeng (tembut-tembut) dulunya sangat erat hubungannya dengan berbagai kegiatan ritual, salah satunya adalah untuk memanggil hujan (ndilo wari udan), praktek pelaksanaanya adalah dalam bentuk tarian (menari bersama) dimana penari menggunakan penutup muka, masing-masing penari memakai topeng yang memiliki karakter berbeda. Seiring dengan perkembangan jaman, penggunaan topeng tembut-tembut telah beralih fungsi penggunaanya tidak lagi sebagai bentuk acara ritual melainkan hanya sebagai hiasan saja ataupun dimanfaatkan dalam acara ceremonial untuk menyambut tamu-tamu penting yang datang ke daerah Karo. Bentuk seni pertunjukkan dalam pesta adat seperti: pesta bunga dan buah yang dalam pelaksanaanya sekali setahun di Berastagi.


(22)

1.5

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskripsi untuk mengumpulkan data dan informasi kualitatif, untuk menjelaskan secara terperinci mengenai arti simbolik dari Tarian Topeng Tembut-Tembut, proses pembuatan topeng dan peran topeng tembut-tembut dalam Masyarakat Karo.

Penelitian mengenai topeng tembut-tembut (gundala-gundala) ini dilakukan dengan menggunakan penelitian yang bersifat kualitatif Untuk mengumpulkan data lapangan dilakukan dengan beberapa cara yang relevan dalam pencapaian tujuan penelitian ini.

a. Wawancara.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini terutama data primer yang diperoleh melalui wawancara. Wawancara yang sifatnya mendalam (depth interview) terutama ditujukan kepada informan kunci yaitu keturunan Sembiring Mergana sebagai merga Simantek Kuta, para pewaris topeng tembut-tembut yang ada di dua Desa tersebut. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data atau menjawab pertanyaan penelitian tentang bagaimana arti simbolik yang ada pada topeng tembut-tembut dan pada tarian tembut-tembut serta bagaimana peran topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo pada masa lalu dan saat ini.

Data yang mendukung untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang bagaimana proses pembuatan topeng tembut-tembut dilakukan dengan mewawancarai informan pangkal yaitu pembuat topeng tersebut. Disamping itu, untuk memeperoleh data mengenai bagaimana peran topeng tembut-tembut saat ini pada masyarakat Karo juga dilakukan dengan mewawancarai para seniman


(23)

atau sering disebut pemain topeng tembut-tembut, para pemusik (penggual) yang biasanya menjadi pengiring dalam tarian topeng tembut-tembut.

Wawancara dengan informan biasa yaitu masyarakat yang desa tersebut yang telah menyaksikan tarian topeng tembut-tembut dan kelompok masyarakat yang pernah melakukan ritual dengan menggunakan topeng tembut-tembut, misalnya dalam upacara ndilo wari udan (memanggil hujan) dilakukan untuk memperoleh gambaran umum tentang bagaimana peran topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo saat ini.

Dalam wawancara ini peneliti menggunakan alat perekam untuk menghindari adanya data yang hilang pada saat wawancara. Catatan-catatan kecil juga disediakan jika informan tidak merasa nyaman dengan adanya alat perekam.

b. Observasi (pengamatan).

Dalam hal pengamatan penulis mengamati seluruh rangkaian kegiatan dalam pembuatan topeng. Selain mengamati kegiatan pembuatan Topeng ini, peneliti juga akan mengamati bagaimana palaksanaan ritual yang menggunakan topeng tersebut, jika tidak memungkinkan ada acara yang menggunakan topeng dalam waktu yang telah ditentukan, maka peneliti akan mewawancarai warga atau para pelaku yang terlibat dalam acara ini. Peneliti juga akan berusaha memperoleh beberapa dokumentasi Tarian Tembut-Tembut dari para pewaris atau warga desa yang memilikinya. Dalam menggunakan pengamatan (observasi) ini, peneliti menggunakan alat bantu berupa kamera foto untuk mempublikasikan hal-hal yang penting yang berkaitan dengan masalah penelitian. Hal ini untuk memudahkan peneliti dalam memberikan gambaran tentang topeng tembut-tembut.


(24)

1.7

Analisa Data

Data yang di peroleh tersebut akan di analisis secara kualitatif. Proses analisa data pada penelitian ini di mulai dengan menelaah seluruh data yang di peroleh dari observasi dan wawancara, kemudian mengklasifikasikannya sesuai dengan kebutuhan dalam menjawab permasalahan yang seterusnya di susun secara sistematis agar lebih mudah di pahami. Kemudian penulisan laporan sesuai dengan data yang di peroleh sampai akhir penelitian.


(25)

Bab II

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

II.1 Identifikasi Desa

II.1.1 Lokasi Desa Seberaya

Penelitian ini dilakukan di Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo. Adapun jarak desa dengan kota kecamatan sekitar 3 Km, dari ibukota kabupaten sekitar 12 Km dan dari ibukota propinsi sekitar 76 Km. Dekat dengan ibukota kacamatan, desa ini memiliki batas-batas wilayah yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ajimbelang dan Desa Ajijahe, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kutabalai dan Tigapanah, sebalah Barat berbatasan dengan Desa Lepar Samura dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kubu Colia, Bertah-Kutajulu dan Desa Sukanalu. Luas wilayah desa ini sekitar 1.125 Ha dengan perincian penggunaan lahan yang tertera pada tabel berikut :

Tabel I Penggunaan Lahan

No Penggunaan Lahan LUAS

(Ha)

1 Pemukiman Umum 15,0

2 Perkantoran 0,02


(26)

4 Tempat Ibadah 0,6

5 Pertokoan/ Dagang 0,02

6 Kuburan/ Makam 0,75

7 Jalan Besar 6m x 8.000m 4,5

8 Pertanian-Sawah 40,0

9 Hutan 25,0

10 Ladang-Tegalan 1016,0

11 Perikanan Darat/ Air Tawar 1,0 12 Padang rumput ladang / Gembala 20,0

Jumlah Luas Seluruhnya 1125Ha

Jarak desa ini dari Kota Medan sebagai ibukota propinsi sekitar 76 Km. Angkutan yang dapat digunakan untuk mencapai desa ini dari Kota Medan diawali dengan menaiki Sinabung Jaya, Borneo, Sutra atau angkutan umum yang melewati Berastagi atau Kabanjahe. Sampai di Berastagi atau di Kabanjahe, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan angkutan Astra atau Sibayak yang menuju Desa Seberaya.

Ruas jalan dari Berastagi atau dari Kabanjahe menuju Desa Seberaya telah diaspal, namun ada sebagian ruas jalan yang sudah berlubang dan digenangi air jika turun hujan. Sebagian besar jalan yang rusak ini dijumpai pada rute perjalanan dari Berastagi menuju Desa Seberaya. Sementara ruas jalan dari Kabanjahe menuju Desa Seberaya tidak banyak yang mengalami kerusakan. Rute perjalanan baik dari Berastagi juga dari Kabanjahe, disepanjang jalan menuju desa, dijumpai perladangan warga yang sebagian besar ditanami tanaman Jeruk


(27)

dan jenis tanaman holtikultura. Antara perladangan yang satu dengan perladangan lain milik warga sebagian besar hanya dibatasi dengan kawat duri atau hanya ditanami pohon kembang sepatu serta pohon pisang yang ditanam dengan jarak yang rapat.

Wilayah pemukiman desa berada di sepanjang jalan besar desa ini, sebagian besar rumah yang ada di desa ini adalah permanen. Rumah-rumah tersebut terdiri dari beberapa lapis yang dibatasi oleh pekarangan atau jalan kecil yang hanya dapat dilewati gerobak kerbau yang biasa digunakan warga petani untuk mengangkat hasil pertanian mereka ke rumah. Secara umum letak rumah penduduk pada lapisan kedua sudah tidak beraturan, hal ini terlihat dari banyak diantara rumah yang menghadap tidak searah dengan rumah yang di depannya. Hanya rumah yang menghadap jalan besar yang letaknya beraturan dengan batas jalan setapak atau gang kecil yang hanya dapat dilewati 1 orang.

II.2 Sejarah Desa Seberaya

Dalam sejarah terbentuknya Desa Seberaya dan penamaan Desa Seberaya, masyarakat Desa Seberaya memiliki cerita sendiri dan cerita sejarah ini diakui dari generasi ke generasi penduduk Desa Seberaya. Kata Seberaya ini sebenarnya berasal dari kata Serayan, dalam bahasa Karo serayan artinya kelompok atau kelompok kerja. Kata serayan ini juga dapat disamakan dengan kata aron dalam bahasa Karo yang berarti kelompok kerja, biasanya untuk mengerjakan ladang anggota kelompoknya.

Kata serayan dipilih karena pada awalnya ada sekelompok orang dengan marga Karo Sekali yang mendiami daerah ini. Kelompok orang ini membuka


(28)

lahan untuk dijadikan tempat tinggal. Kelompok orang ini adalah 3 keluarga yang masih memiliki hubungan darah (satu keluarga) dengan marga Karo Sekali. Karena merasa cocok dengan daerah tersebut, akhirnya ketiga keluarga ini memutuskan untuk menetap dan mendirikan rumah-rumah bagi keluarga dan keturunan masing-masing mereka. Daerah yang semula tidak ada namanya ini kemudian diberi nama Serayan karena mereka yang mula-mula mendiami daerah ini adalah sekelompok orang. Seiring dengan berjalannya waktu, kata serayan berubah menjadi kata Seberaya, tidak ada yang mengetahui jelas kapan dan siapa yang mengubah nama serayan menjadi Seberaya.

Dalam budaya Karo, ada istilah merga simentek kuta, yaitu marga orang yang awalnya mendiami daerah tersebut atau orang yang mendirikan kampung atau desa tersebut dan istilah anak beru kuta. Desa Seberaya marga simantek kuta adalah marga Karo Sekali, karena kelompok orang dengan Marga Karo Sekali lah yang awalnya mendiami dan mendirikan desa ini. Sementara anak beru kuta adalah Merga Sembiring.

Di seberaya sendiri, ada tiga kesain besar, kesain dalam bahasa Indonesia berarti kelompok pemukiman yang berada dalam sebuah wilayah desa. Kesain tersebut adalah Kesain Rumah Karo Raja Urung, Kesain Saribu dan Kesain Julun. Nama-nama kesain ini diyakini adalah nama ketiga kepala keluarga yang awalanya mendiami daerah Seberaya ini. Dari ketiga nama ini, Karo Raja Urung adalah yang tertua, disusul oleh kedua saudaranya yaitu Saribu dan Julun.

Sampai saat ini, penduduk dengan marga Karo Sekali dan Sembiring lah yang paling banyak terdapat di Desa Seberaya. Marga Karo Sekali juga diyakini berasal dan berkembang dari Desa Seberaya, sehingga jika dimanapun ada orang


(29)

Karo dengan marga Karo Sekali kemungkinan besar adalah berasal dari Desa Seberaya.

II.3 Keadaan Penduduk

Desa Seberaya berpenduduk sekitar 3.270 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki adalah 1.510 jiwa dan perempuan sekitar 1.760 jiwa. Kepadatan penduduk desa ini sekitar 291 jiwa/ Km. Penduduk desa ini sebagian besar beragama Kristen (95%). Panduduk yang beragama Kristen Protestan sekitar 70%, beragama Kristen Katolik sekitar 25% dan sisanya adalah beragama Islam.

Penduduk yang ada di Desa Seberaya ini sebagian besar adalah suku Karo (90%), dengan adanya perpindahan penduduk, kini Desa Seberaya juga ditinggali oleh kelompok etnis lain seperti Batak Toba, Simalungun, Jawa, Nias, dan orang dari kelompok lainnya. Masuknya etnis lain ke desa ini terjadi dengan beberapa cara misalnya ada warga Desa Seberaya yang menikah dengan orang dari etnis lain dan menetap di Desa Seberaya, orang dari etnis lain masuk dan menetap di Desa Seberaya dengan tujuan mencari pekerjaan (biasanya sebagai buruh tani) atau kedatangan etnis lain karena faktor kesadaran sendiri ingin menetap di Desa Seberaya. Bagi warga yang berasal dari etnis lain ini biasanya setelah sah sebagai warga Desa Seberaya yang dibuktikan dengan pemberian KTP oleh Kepala Desa akan membuat keluarga angkat yang mereka anggap cocok untuk mereka. Biasanya keluarga angkat ini akan memberikan marga orang Karo keluarga mereka atau marga yang cocok untuk orang yang berasal dari etnis lain tersebut. Sehingga jika ada kegiatan adat di Desa Seberaya, mereka mengetahui posisi mereka dalam Adat Karo.


(30)

Dari segi tingkat pendidikan sebagian besar penduduk Desa Seberaya sudah menamatkan SMP, terutama para warga yang sudah diatas usia 40 tahun, hanya sebagian kecil yang tamat SD atau tidak tamat sekolah sama sekali (warga yang sudah lanjut usia). Anak remaja atau anak muda usia produktif sebagian besar telah tamat SMA. Banyak anak remaja dari Desa Seberaya yang melanjutkan jenjang kuliah di luar kota propinsi atau di ibukota propinsi (Medan), ada juga yang menjalani bangku SMA di Kota Medan. Sekolah SMA yang dapat dijangkau pulang balik dari Desa Seberaya adalah SMA yang ada di Tigapanah, Kabanjahe, Barusjahe dan Berastagi. Hal ini membuat banyak juga anak-anak terpelajar yang berasal dari Desa Seberaya yang telah menduduki jabatan penting baik di tingkat daerah kabupaten, propinsi maupun tingkat nasional.

Bertani merupakan mata pencaharian mayoritas warga desa ini, meskipun mata pencaharian pokoknya bukan dari bertani (misalnya mereka bekerja di instansi pemerintahan), namun mereka tetap memiliki lahan untuk dijadikan tempat bercocok tanam. Orang dengan pekerjaan pokok bukan sebagai petani, biasanya mengerjakan lahan mereka ketika mereka selesai melakukan pekerjaan di kantor atau tempat lain. Tanaman yang paling banyak ditanam oleh warga desa adalah tanaman jeruk, namun disela-sela tanaman atau di bagian lain dari lahan mereka yang tidak ditanami jeruk ditanami lagi jenis tanaman palawija, seperti padi, sayur-sayuran dan buah-buahan lainnya. Desa Seberaya juga terkenal dengan penghasil tanaman bunga dengan berbagai macam jenis mulai dari bunga anggrek, melati dan sebagainya.

Berdasarkan aktifitas mata pencaharian utama warga Desa Seberaya tersebut, maka musim kemarau merupakan musim yang sangat tidak


(31)

menguntungkan bagi warga desa. Hal ini karena sebagian besar tanaman warga sangat membutuhkan air yang cukup. Kemarau juga akan sangat mengganggu bagi kesehatan hewan peliharaan warga karena rumput yang menjadi makanan utama ternak mereka menjadi kering dan selit didapat.

Berikut ini merupakan tabel mata pencaharian penduduk Desa Seberaya.

Tabel II

Mata Pencaharian Penduduk

No Jenis Pekerjaan Jumlah Orang

1 Petani 1.754

2 Beternak 298

3 Usaha Perikanan 3

4 Pertambangan Galian C 12

5 Industri Kecil dan Kerajinan 17

6 PNS 71

7 Pensiunan ABRI/ Sipil 57

8 Pegawai Swasta 19

9 Perkreditan rakyat 19

10 Asuransi 3

11 Jasa Dagang 15

12 Warung 23

13 Kios 18


(32)

15 Mobil Kenderaan Umum 15

16 Tukang Jahit 1

17 Tukang Cukur 2

JUMLAH 2.324

II.4 Topografi Desa Seberaya

Jenis tanah desa ini tidak jauh berbeda dengan jenis tanah di Tanah Karo pada umumnya yaitu gembur dan berwarna hitam. Jenis tanah seperti ini cocok untuk lahan pertanian terutama pertanian janis tanaman palawija. Namun tidak semua lahan tanah di desa ini memiliki kondisi seperti diatas. Ada wilayah yang tanahanya berwarna kecoklatan dan sedikit berpasir, biasanya tanah seperti ini adalah tanah atau lahan yang berada dekat dengan aliran sungai yang melintasi desa. Meskipun tanah seperti ini kurang sesuai sebagai lahan pertanian, namun dengan pemupukan yang teratur akan membuat lahan ini bisa ditanami jenis tanaman tertentu seperti jagung dan padi.

Adapun tabel yang menunjukkan kondisi topografi Desa Seberaya dapat dilihat dibawah ini.


(33)

Tabel III Bentang Lahan

NO Bentang Lahan Luas (Ha)

1 Dataran 1.095

2 Perbukitan atau Pegunungan 30

Jumlah 1.125

Tabel IV Kondisi Geografis

NO Kondisi Geografis Keterangan

1 Tinggi tempat dari permukaan laut 1200m – 1300m 2 Curah Hujan rata-rata pertahun 1000m - 1400 m 3 Keadaan Suhu Rata-rata 17 *c – 24 *c

Tabel V Kesuburan Tanah

NO Tingkat Kesuburan Luas (Ha)

1 Sangat Subur -

2 Subur 675

3 Sedang 450

4 Tidak Subur -


(34)

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar lahan atau tanah di Desa Seberaya adalah tanah dataran yang landai, hanya sebagian kecil yang berbukit. Dengan curah hujan yang cukup setiap tahunnya (hanya sesekali warga menghadapi kekurangan air) membuat tanaman warga dapat tumbuh dengan baik. Namun, belakangan kasuburan tanah di Desa Seberaya yang juga dialami oleh desa-desa yang ada di Tanah Karo mengalami penurunan kesuburan karena pemakaian pestisida dan pupuk yang berlebihan demi memacu pertumbuhan buah atau menghilangkan serangga pada tumbuhan. Akibat yang ditimbulkan dari pemakaian pestisida secara terus menerus dan pupuk tersebut tidak hanya pada turunnya kesuburan tanah, melainkan juga semakin kebalnya serangga perusak tumbuhan terhadap pestisida, sehingga kadarnya racunnya harus terus ditingkatkan. Tentunya ini sangat berbahaya bagi lahan dan kesehatan manusia.

Di Desa Seberaya, areal perladangan atau yang dalam bahasa Karo disebut Perjumaan, dibagi menjadi beberapa bagian, dimana setiap bagian dibuat nama oleh para petani yang berada dalam kelompok areal tersebut. Areal perladangan ini dapat dijumpai dari sejak awal memasuki wilayah desa. Adapun nama-nama areal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Juma Sabah Pertumbuken 2. Juma Sabah Sumabai 3. Juma Sabah Tada-tada 4. Juma Sabah Kamedan 5. Juma Kata Beski 6. Juma Telen Gugung 7. Juma Serat


(35)

8. Juma jabi-jabi 9. Juma Kayu Silima 10. Juma Senduduk 11. Juma Gajah-Gajah 12. Juma Tiga Belawan 13. Juma Sikambing

Areal perjumaan ini tidak dibagi berdasarka marga atau keturunan, melainkan pembagian areal yang memang telah ditentukan sebelumnya oleh kesepakatan warga desa.

Jalan sentra pertanian atau perladangan di Desa Seberaya juga telah dibuat sedemikian rupa oleh pemerintah desa setempat, sehingga jika ingin menunjuk atau menuju salah satu ladang atau areal perladangan warga tidak sulit mendeskripsikannya. Nama jalan beserta cabang jalan, lebar jalan dan panjang jalan tersebut dapat dilihat melalui tabel dibawah ini:

Tabel VI

Jalan Sentra Pertanian Desa Seberaya

No Nama Jalan Cabang Jalan Lebar

Rata-rata Pnjng (m) Total

1 Kamedan Simp.Kamedan-Juma Inget T Juma Inget T- Gung Tinjo Juma Inget T-Juma Bp.Jakaria

4m 3m 3,2m 500 800 850 2.150 m


(36)

2 Kuta Beski Simp.Ka.Beski-Simp.Rih Pulau Juma Hardi Pandia-Juma Bp. Jasmin

Simp. Rih Pulau-Rih Pulau

Simp. Rih Pulau- Juma K. Badak 5m 3m 5m 4m 1.600 400 400 500 2.900 m

3 Gajah-gajah Simp. Gajah-gajah- Juma Bakti Karo Sekali

4,6m 550 550m

4 Simpagul Simp.Simpagul-Simp.Sikambing Juma Nd. Dirman-Poris Gt Bp. Billi KS-Simp. Sikambing Bp.Billi KS- Juma Mentok Simp. Juma Bp. Agusti- Juma Arah Barat

Simp. G. Tebing- Darma KS Simp.G.Tebing-Bp.Markioano Simp.g.Tabing-Juma Pino

Simp.3 (Juma Bakti KS-Jln.G. Tebing) 4,5m 3.,2m 4,2m 4m 3m 3m 3m 3m 3m 350 400 220 500 200 450 600 300 850 5 Putri Hijau Simp.Putri Hijau-Bp. Supel T

Bp.Supel T-Bp.Hotman Ngl Bp.Linda-Simp.3 (Juma Bakti) Bp.Supel-Bp.Linda Bp.Linda-Juma Sekda 4,5m 2,7m 3,2m 4m 3,2m 900 300 400 270 1150


(37)

Bp.Supel-Juma Peraturen Depari/Simp.Gerat

Simp.Juma Peraturen-Ke Great

4m

3,5m

250

720 6 Juma Purba

Kubu Colia

Rumah Julun-Jembatan Jembatan-Simp.Kubu Colia Juma Purba-Juma Gusta Juma Agusta-Juma Lihtar

Juma Gusta-Simp.3 (Bp.Lindung)

Bp. Lindung-Keci-keci

Simp.3 (Bp. Lindung-Pa langit)

4,7m 5m 4m 3,5m 3,5m

3,5m 3m

280 500 1320 300 210

250 150


(38)

Bab III

Tembut-Tembut Seberaya

III.1 Sejarah tembut-Tembut

Tembut-Tembut yang terdapat di Desa Seberaya dibuat Oleh Pirei Sembiring Depari, diperkirakan sekitar tahun 1910-an. Pirei Sembiring Depari semasa hidupnya adalah seorang tukang ukir dan tukang pahat yang tersohor. Kepandaiannya yang utama adalah menempa atau membentuk pisau, parang dan belati. Masyarakat Karo pada masa itu mangakui pisau dan belati hasil buatan Pirei Sembiring Depari memiliki kualitas yang sangat baik.

Pirei Sembiring Depari hidup dari pekerjaannya sebagai penempa pisau dan belati serta juga pengukir batu. Popularitas Pirei Sembiring Depari sampai juga pada pemerintahan Belanda yang pada masa itu mengusai Tanah Karo sebagai penjajah. Hal ini membuat pihak Belanda memesan belati buatan Pirei Sembiring Depari, dan pesanan-pesanan tersebut membuat kehidupan Pirei Sembiring Depari makin membaik dari segi ekonomi.

Pirei Sembiring Depari memiliki satu sifat yang kurang baik yaitu gemar bermain judi. Dalam kegiatannya bermain judi, Pirei sering mengalami kekalahan. Pada suatu hari, sehabis dia kalah bermain judi dia pulang melewati areal perladangan, dimana di areal perladangan tersebut banyak dipajang Gundala-Gundala yang digunakan petani untuk menakut-nakuti hewan pengganggu tumbuhan mereka seperti burung dan moyet. Melihat gundala-gundala tersebut, muncul keinginan Pirei Sembiring Depari untuk memahat gundala-gundala yang sama.


(39)

Meskipun telah memiliki niat untuk membuat gundala-gundala yang dilihatnya dalam perjalanan menuju pulang, namun Pirei Sembirng Depari belum dapat menemukan apa bahan atau kayu apa yang akan dipahat untuk membuat gundala-gundala tersebut. Hal ini membuat Pirei dalam melakukan perjalanan kemanapun dia pergi melakukan pengamatan terhadap pohon-pohon yang dijumpainya, memilih kayu apa yang cocok untuk rencananya membuat gundala-gundala.

Dalam sebuah perjalannya menuju suatu tempat, Pirei Sembiring Depari melihat pohon gecih. Pohon kayu tersebut berbentuk lurus, bersih dan tak bercacat serta mudah dipahat. Hal ini membuat Pirei menjatuhkan pilihat pada kayu gecih untuk dijadikan kayu pembuat gundala-gundala. Pada suatu hari Pirei Sembiring Depari berniat menebang pohon tersebut, namun ketika hendak menebang pohon ini tiba-tiba petir datang menyambar dan hujan pun turun dengan lebatnya, hal ini membuat usaha Pirei untuk mebang pohon tersebut gagal. Berkali-kali Pirei Sembiring Depari mencoba menebang kembali pohon tersebut, namun selalu gagal dengan adanya sambaran petir dan turunnya hujan. Keadaan seperti ini tidak membuat Pirei menyerah untuk mendapatkan pohon tersebut, akhirnya Pirei meminta petunjuk dari para orang tua bagaimana cara agar penebangannya berhasil.

Dari arahan para orang tua yang ditanya oleh Pirei Sembiring Depari, maka Pirei haruslah memberikan sesajen pada kekuatan gaib yang menunggui hutan. Sesajen tersebut dalam bentuk makanan seperti seekor ayam yang sudah dimasak, pisang, nasi dan buah-buahan ditambah beberapa lembar daun sirih yang dilengkapi dengan kapur sirih dan gambir. Sesajen tersebut sebagai tanda minta


(40)

permisi untuk menebang salah satu pohon yang ada di dalam hutan tersebut. Setelah melakukan ritual pemberian sesajen pada kekuatan gaib pemilik hutan, akhirnya Pirei dapat melakukan penebangan terhadap kayu gecih ini. Pada saat penebangan kayu ini, petir memang tidak datang lagi menyambar, namun hujan masih tetap turun, namun ini tidak begitu mengganggu penebangan yang dilakukan Pirei.

Dari kayu gecih tersebut Pirei Sembiring Depari membentuk dan mengukir seperangkat gundala-gundala. Gundala-gundala tersebut terdiri dari empat topeng dan satu kepala burung. Mengacu pada gundala-gundala, maka Pirei Sembiring Depari dalam membuat patung atau topeng tersebut berusaha semirip mungkin dengan imajinasinya. Namun, topeng yang dihasilkan oleh Pirei Sembiring Depari, menurut orang-orang pada saat itu lebih seram dan menakutkan dari gundala-gundala biasanya. Hal ini membuat gundala-gundala buatan Pirei Sembiring Depari disebut Tembut-Tembut.

Pada awalnya, Pirei Sembiring Depari meminta beberapa anak muda yang termasuk dalam kekerabatan anak beru-nya untuk memainkannya di halaman rumahnya. Sebagaimana tradisi yang terdapat pada masyarakat Karo, seseorang yang lazim untuk disuruh dalam melakukan suatu pekerjaan adalah kerabat yang masuk dalam kelompok anak beru (kelompok pengambil anak dara), sedangkan dari pihak kalimbubu (pemberi anak dara) pantang untuk disuruh-suruh. Permainan tembut-tembut dari Pirei Sembiring menarik perhatian banyak warga desa, sehingga setiap keluarga Pirei memainkan tembut-tembut ini selalu saja banyak warga yang menonton. Selain karena pada masa itu hiburan masih sangat minim, hal ini juga dikarenakan permainan ini dianggap unik dan menghibur.


(41)

Namun setiap tembut-tembut tersebut dimainkan maka selalu saja turun hujan, sehingga masyarakat dan Pirei sendiri pun marasakan keganjilan. Sampai pada suatu saat Pirei Sembiring Depari mendapatkan suatu “bisikan” gaib dalam tidurnya. Bisikan tersebut mengatakan kalau dia harus menjaga dan merawat tembut-tembut tersebut sampai pada anak cucunya nanti. Pirei juga diwajibkan untuk memandikan dan memberi sesajen pada waktu-waktu tertentu pada tembut-tembut tersebut, tembut-tembut-tembut-tembut ini juga hanya dapat dimainkan oleh anak beru dari pihak Pirei Sembiring Depari.

Berdasarkan hal tersebut diataslah sehingga sampai saat ini tembut-tembut yang dibuat oleh Pirei Sembiring Depari tetap dijaga dan dipelihara oleh keturunnya. Dari Pirei Sembiring Depari sampai sekarang, sudah empat generasi yang menjadi ahli warisnya. Untuk lebih jelasnya lagi dapat dilihat dari urutannya sebagai berikut :

1. Pirei Sembiring Depari = Pembuat tembut-tembut pertama 2. Ngasal Sembiring Depari

3. Firman Sembiring Depari


(42)

III.2 Karakter Tembut-Tembut

Mengacu pada gundala-gundala, maka Pirei Sembiring Depari juga membentuk lima topeng yang mewakili lima karakter dan tokoh. Lima karakter dan tokoh tembut-tembut tersebut adalah Panglima, Kikir Labang, Manuk Si Gurda Gurdi, Anak Perana dan Singuda-nguda.

Foto I

Topeng Tembut-Tembut yang terdiri dari Panglima, Kikir Labang, Anak Perana, Singuda-nguda dan Manuk Si Gurda Gurdi


(43)

Untuk mewakili kelima tokoh atau karakter tembut-tembut tersebut, maka Pirei Sembiring Depari mambuat penafsiran dan interpretasi sendiri. Tembut-tembut yang dibuatnya untuk tokoh Panglima, topengnya berwarna hitam, dengan karakter wajah seperti orang tua dan juga memunculkan kesan keperkasaan, kebijaksanaan, keberanian, kekuatan ilmu dan kesepuhan. Untuk mendukung kesan-kesan tersebut dalam topeng ini, maka topeng ini diberi alis, kumis dan jenggot yang panjang dan berwarna putih. Sebagai bahan untuk alis, kumis dan jenggot terbuat dari kulit kambing yang disesuaikan kemudian dilengketkan pada topeng tersebut.

Foto II


(44)

Topeng Kikir Labang diinterpretasikan berwarna kuning, berkarakter wanita tua dengan gigi hitam yang dikikir rata. Hal ini mengacu pada kebiasaan pada masyarakat Karo pada jaman dahulu untuk membuat penampilan lebih baik, adalah dengan mengkikir giginya sendiri. Namun kebiasaan mengkikir gigi ini hanya dilakukan oleh wanita yang sudah berada diatas usia 60 tahun. Untuk membedakan Kikir Labang dengan Singuda-nguda, yaitu dimana Kikir Labang adalah wanita tua dan singuda-nguda adalah gadis muda, maka warna kuning pada topeng Kikir Labang dibuat lebih pucat sementara warna kuning pada topeng singuda-nguda dibuat lebih cerah. Selain itu, topeng Kikir labang ini juga diberi warna merah pada bibirnya, mengacu pada salah satu kebiasaan wanita di dalam masyarakat Karo yaitu memakan sirih. Dalam konteks gundala-gundala, Kikir Labang ini juga disebut Kemberahen atau permaisuri, sementara dalam konteks tembut-tembut lebih dikenal dengan Kikir Labang.

Gigi dari Kikir Labang dibuat berwarna hitam sesuai dengan kebiasaan ibu-ibu yang dikikir dan makan sirih, giginya menjadi berwarna hitam. Kedua telinganya juga memakai anting yang berbentuk seperti jantung pisang atau kudung-kudung dalam bahasa Karo.


(45)

Foto III


(46)

Untuk topeng anak perana, Pirei Sembiring Depari menginterpretasikannya dengan topeng berwarna kuning denga karakter laki-laki yang masih muda. Bentuk wajah topeng lebih menonjol dari semua tokoh lain.

Foto IV


(47)

Untuk topeng singuda-nguda juga diinterpretasikan topeng warna kuning dengan karakter anak gadis yang cantik, diperjelas dengan memakai anting-anting berbentuk kudung-kudung. Kedua topeng tersebut, yaitu anak perana dan singuda-nguda mamakai warna kuning yang cerah, melambangkan anak muda. Kemudian ketiga topeng itu, Kikir Labang, Singuda-nguda dan anak perana bagian atasnya diberi cat warna hitam sebagai lambang dari rambut, namun topeng panglima diatas diberi cat warna putih sebagai lambang dari rambut orang yag telah tua (ubanan).

Foto V


(48)

Sedangkan Manuk Si Gurda Gurdi karena merupakan binatang buas dan mampu memangsa manusia, maka diinterpretasikan memiliki paruh yang panjang. Karena paruhnya yang panjang tersebut maka di Desa Seberaya tokoh ini dikenal dengan nama Tubinggang, karena paruhnya panjang menyerupai burung enggang. Dalam hal gerak, Tubinggang ini cenderung melakukan gerakan-gerakan yang melambangkan kebuasan dengan mengejar, melompat, berjongkok dan seolah-olah akan menerkam.

Foto VI


(49)

Dalam masyarakat Karo, ada beberapa warna yang selalu ada pada setiap peralatan adat masyarakat Karo, misalnya kain adat, baju adat dan sebagainya. Warna-warna tersebut adalah mbiring (hitam), megara (merah), megersing (kuning) dan mbentar (putih). Adapun arti dari masing-masing warna tersebut adalah :

1. mbiring (hitam) melambangkan kesabaran dan ketekunan (megenggeng). 2. megara (merah) melambangkan teguh dalam mempertahankan kejujuran. 3. megersing (kuning) melambangkan penyejuk atau pengobat hati.

4. mbentar (putih) melambangkan kesucian.

III.3 Cerita lakon Tembut-Tembut

Tidak ditemukannya catatan yang tertulis mengenai kisah cerita tembut-tembut membuat ada beberapa versi kisah yang dikenal dalam masyarakat Karo. Hal ini merupakan satu kebiasaan dari tradisi lisan, yang kadang diadaptasi sesuai dengan kemahiran dan keinginan orang atau oknum yang menceritakannya. Dalam berbagai konteks pertunjukan tembut-tembut, biasanya melakonkan kisah sebagai berikut :

Menurut kisah pada jaman dahulu, di suatu tempat di Tanah Karo, ada sebuah keluarga yang memiliki seorang anak gadis yang sangat cantik. Di tempat itu juga ada seorang pemuda yang menyukai gadis tersebut, namun karena pemuda tersebut memiliki sifat yang buruk dan tidak memiliki budi pekerti, sehingga maksud hatinya tidak dihiraukan oleh sang gadis. Untuk memenuhi keingiannnya untuk mendapatkan gadis tersebut, pemuda yang memiliki sifat jelek tersebut melakukan segala cara, antara lain dengan berguru ilmu hitam.


(50)

Akhirnya dia memperoleh kesaktian dari hasil bergurunya, namun hal itu juga yang membuatnya berubah menjadi seekor Burung Enggang.

Dengan kesaktiannya yang dapat berubah wujud menjadi manusia atau burung, maka pemuda tersebut dapat dengan mudah mengintai gadis pujaannya kapan dia inginkan. Pamuda tersebut merubah wujudnya menjadi burung ketika akan mendekati gadis itu, karena jika melihat wajahnya gadis tersebut takut dan selalu menghindar. Pada suatu hari pemuda yang telah berubah menjadi burung enggang tersebut tidak dapat lagi menahan keinginannya untuk memiliki si gadis, sehingga dia berniat untuk menerkam dan melarikan gadis pujaan.

Namun rencana jahat pemuda tersebut diketahui oleh orang tua sang gadis. Dikarenakan orang tua gadis tidak sanggup melawan kasaktian si pemuda, maka orang tua si gadis meminta pertolongan kepada anak beru jabunya yang memiliki kekuatan atau kesaktian. Pertarungan terjadi antara anak beru dengan burung jelmaan tersebut. Setelah pertarungan sengit yang terjadi, akhirnya anak beru dapat mengalahkan burung jelmaan pemuda tersebut. Setelah mengalami kekalahan, burung tersebut kembali lagi berubah menjadi manusia dan kehilangan kesaktiannya, sejak saat itu pemuda tersebut berjanji tidak akan mengganggu anak gadis keluarga itu lagi.

Selanjutnya dalam pertunjukan tembut-tembut, diyakini bahwa singuda-nguda adalah seorang putri raja. Hubungan dari kelima tokoh tersebut adalah bahwa Panglima adalah anak beru, sedangkan Kikir Labang adalah salah seorang pengasuh (dayang-dayang) putri raja, yang juga memiliki kekuatan mistik. Manuk Si Gurda Gurdi atau Tubinggang adalah jelmaan dari seorang pemuda yang suka terhadap singuda-nguda, namun karena sifat dan kelakuannya yang buruk,


(51)

singuda-nguda tidak menyukainya. Sedangkan anak perana adalah seorang raja yang memiliki putri yang cantik.

Versi sekarang cerita tentang tembut-tembut, menurut Dwikora Sembiring Depari, bahwa Panglima adalah ayah, sedang Kikir Labang adalah seorang ibu. Panglima dan Kikir Labang adalah sepasang suami istri yang memiliki sepasang anak laki-laki dan perempuan, yaitu singuda-nguda dan anak perana. Namun cerita ini dimunculkan ketika yang menjadi penjaga tembut-tembut adalah ayahnya, atas masukan dari pemerintah Kabupaten Karo. Adapun tujuannya memodifikasi cerita ini adalah dalam rangkan menggalakkan program KB (Keluarga Berencana) sekitar tahun 1970-an, dimana dua anak saja cukup. Karena untuk kebutuhan kampanye KB tersebut, sering juga pemerintah memakai tembut-tembut untuk pertunjukan. Hal ini membuat banyak masyarakat yang tahu cerita atau kisah dari tembut-tembut itu sendiri.

III.4 Bentuk Tembut-Tembut dan Pembuatannya

Mengenai detail pembuatan tembut-tembut yang dilakukan oleh Pirei Sembiring Depari, tidak ada satu orang pun yang mengetahuinya lagi. Tembut-tembut adalah topeng pada masyarakat Karo yang terdapat di Desa Seberaya dan memiliki ciri khas tertentu, yang tidak ditemui di daerah lain. Tembut-tembut merupakan topeng yang menirukan wajah manusia. Bentuk tembut-tembut adalah bulat lonjong (oval), dengan ukuran lebih besar dari kepala manusia. Meskipun bentuk dan permukaan tembut-tembut melampaui garis wajah manusia, atau dapat dikatakan kurang realistis bila dibanding dengan wajah manusia pada umumnya,


(52)

namun perwujudan ekspresinya sama dengan struktur wajah manusia, hal ini terlihat dari struktur anatominya (mata, hidung, mulut, telinga dan sebagainya)

Didalam topeng tembut-tembut dibuat ruang untuk tempat kepala dan wajah. Didalam rongga topeng dibuat lubang pada bagian mata dan hidung agar pemain dapat melihat dan bernafas. Cara memakai tembut-tembut adalah dengan memasukkan topeng ke kepala, sehingga menutupi seluruh muka, kepala, tengguk hingga dagu pemakainya.

Bahan baku untuk pembuatan topeng tembut-tembut adalah dari kayu gecih, jenis kayunya ringan, tidak keras sehingga mudah membentuknya. Pemilihan bahan tersebut sangat berkaitan dengan kebutuhan pembuat dan pemakainya. Kayu gecih mudah dipahat dan diukir sehingga mudah dibentuk oleh pembuatnya. Sedangkan sifatnya yang ringan dapat memudahkan pemain dalam memakai topeng dalam lakon tembut-tembut. Jika bahan bakunya berat, akan sangat mengganggu ruang gerak dari si pemainnya.

Pembuatan tembut-tembut yang terdapat di Desa Seberaya masih menggunakan peralatan tradisional, seperti gaji (gergaji), sekin (Parang), dan pahat. Namun hasilnya cukup baik dan permukaannya halus. Akan tetapipada bagian dalamnya, karena pada masa itu belum ada alat bor yang modern seperti saat ini, permukaan dalamnya kurang rata. Untuk menghindari rasa sakit yang ditimbulkan pada wajah di pemakai, biasanya bagian dalamnya dilapisi kain.

Tangan tembut-tembut ini juga terbuat dari kayu, yang dibentuk sedemikian rupa sehingga mirip dengan bentuk tangan manusia yang terbuka dan jari-jarinya lurus terkembang. Tangan-tangan kayu ini juga diberi warna sama


(53)

dengan topeng tembut-tembut. Bagian pangkal disisakan panjang yang kemudian dijadikan pegangan bagi orang yang memainkannya.

Paruh Manuk Si Gurda-Gurdi atau Tubinggang juga terbuat dari kayu gecih, yang diukir sedemikian rupa sehingga menyerupai leher, kepala dan paruh burung. Bagian kepala diberi warna hitam, paruh diberi warna putih dan jambul diberi warna kuning.

III.5 Memainkan Tembut-Tembut

Seorang pemain tembut-tembut pada dasarnya harus juga menguasai gerak tari Karo, hal ini karena penampilan tembut-tembut tersebut diiringi musik tradisional Karo. Dalam hal menari, masyarakat Karo memiliki suatu aturan dimana pada saat gong berbunyi maka jinjitan penari adalah naik ke atas, hal ini juga harus dilakukan oleh seorang pemain tembut-tembut. Demikian juga mengenai pola gerak tangan, sekalipun memainkan tembut-tembut dengan mempergunakan tangan palsu yang sifatnya kaku, tetapi urutan dan rangkaiannya harus meniru seperti gaya orang yang menari.

Namun mengenai aturan gerak tersebut di atas, ada kalanya tidak sepenuhnya dilaksanakan, terutama pada saat berjalan dalam upacara Ndilo Wari Udan. Hal ini disesuaikan dengan kondisi si pemusik yang juga tidak bermain sepenuhnya seperti ketika bermain sambil duduk di atas pentas. Dalam acara pertunjukan tembut-tembut untuk suatu kebutuhan pertunjukan pun, pada saat adegan perang antara Panglima dan singuda-nguda melawan Tubinggang atau Manuk Si Gurda-Gurdi, ketentuan gerak menari tersebut juga diabaikan.


(54)

Pada saat penyajiannya, pemain tembut-tembut ini memakai jubah panjang sampai menutupi mata kaki. Sebelum memakai jubah tersebut, pemain juga biasanya membuat buntelan kain yang diikatkan di perut mereka, hal ini membuat pemain ini memperlihatkan perut yang buncit. Jubah yang dipakai memiliki lengan baju yang panjang sehingga menutupi telapak tangan. Karena tangan sudah tertutup, maka pemain dilengkapi dengan tangan palsu yang terbuat dari kayu yang besarnya setara dengan kira-kira dua kali ukuran tangan sebenarnya.

Karena penyajian tembut-tembut sangat mengutamakan permainan topeng yang dikenakan para pemainnya, sumber gerak didominasi oleh kepala dan muka. Sedangkan gerakan kedua tangan yang dikoordinasikan dengan gerakan kaki yang lebih banyak bersifat memperindah dan memperkaya penampilan. Sehingga pada bagian tertentu penampilan tembut-tembut memungkinkan terjadinya gerakan-gerakan tangan yang minimal, sejauh pemain yang bersangkutan memberikan gerakan cukup pada bagian mukanya.

III.6 Musik penggiring Tembut-Tembut

Pertunjukan tembut-tembut diiringi oleh musik tradisional dalam bentuk ensembel yang disebut Gendang Lima Sendalanen (gendang lima sejalan), antara lain terdiri dari : Sarune = Serunai, sebagai pembawa melodi lagu; Gendang Singindungi = Gendang Ibu, sebagai pembawa variasi ritmis; Gendang Singanaki = Gendang anak, sebagai pembawa ritmis tetap; Gung = Gong, sebagai penentu siklus terbesar; Penganak = Gong Kecil, sebagai pembawa siklus terkecil.

Urutan lagu yang dimainkan untuk mengiringi tembut-tembut terdiri dari Gendang Tangtugut atau Siarak-araki, Gendang Limbe, Gendang Mbertik


(55)

Rurusen serta Gendang Peselukken. Masing-masing gendang ini memiliki tempo bervariasi, mulai dari lambat, sedang, cepat dan sangat cepat.

Untuk mengiringi tembut-tembut dalam upacara Ndilo Wari Udan, Gendang Siarak-araki atau Tangtugut (lambat) dimainkan mengiringi tembut-tembut pada saat mulai berjalan. Pada saat ini semua barisan yang masuk dalam prosesi upacara mengatur jalan sambil menyesuaikan barisan. Setelah setengah perjalanan kemudian dimainkan Gendang Limbe atau Mari-Mari yang memiliki tempo sedang. Setelah barisan prosesi sampai di tepi lau Kemit (pada saat ersimbu mulai) atau sampai ke batas desa dimana upacara dilakukan, kemudian dimainkan Gendang Mbertik Rurusen yang temponya cepat. Lagu terakhir adalah Gendang Peselukken yang temponya sangat cepat. Pada saat ini, ketika acara ersimbu dimulai, para pemain tembut-tembut sudah dalam keadaan kesurupan, namun padas saat setelah acara ersimbu selesai, penari tembut-tembut tidak lagi dalam kondisi kesurupan.

Memainkan Gendang ini pada saat berjalan adalah dengan mengikatkannya di pinggang pemain dengan kain sarung. Namun ada juga kalanya gendang dipegang dengan satu tangan dan satu tangan lagi memainkannya. Sedangkan Gong dipikul dua orang kemudian satu orang lagi memainkannya sambil berjalan disamping, namun Gong dapat juga dibawa oleh satu orang yang sekaligus juga sebagai pemainnya. Karena posisi pemain musik gendang lima sendalanen untuk mengiring tembut-tembut sambil berjalan bukanlah hal yang biasa, maka sierjabaten atau pemain musiknya hanyalah orang-orang dengan kemampuan bermain musik yang tinggi.


(56)

III.7 Sesajen Untuk Tembut-Tembut

Menurut Kora Sembiring Depari sebagai ahli waris dari Tembut-Tembut Seberaya, ada perlakuan-perlakuan khusus terhadap tembut-tembut, yang dilaksanakan secara periodik ataupun sehubungan dengan penggunaannya. Perlakuan tersebut ada tiga hal yaitu : pertama ketika hendak dimainkan, kedua setelah dimainkan dan ketiga dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.

Sebelum tembut-tembut dimainkan dalam upacara Ndilo Wari Udan ataupun pertunjukan lainnya, semua tembut-tembut dikeluarkan dari kotaknya kemudian dibariskan di halaman depan rumah. Setelah dibersihkan sejenak maka tembut-tembut tersebut dimandikan dengan air yang telah dicampur dengan abu dapur yang telah disaring sebelumnya, 3 buah rimo mukur beserta bunganya, 7 jenis bunga (bunga sapa) dan umbi utama dari kunyit (indung kuning gersing). Kesemua ini adalah campuran untuk memandikan tembut-tembut.

Adapun urutan memandikan tembut-tembut adalah yang pertama sekali topeng panglima, kemudian Kikir labang, disusul anak perana, Manuk Si Gurda-Gurdi dan yang terakhir adalah singuda-nguda. Urutan memandikan ini diyakini berdasarkan urutan pembuatan topeng oleh Pirei Sembiring Depari pada masa lalu. Air yang diberi ramuan yang digunakan untuk memandikan tembut-tembut sebelum dimainkan ini disebut Lau Peniresen.

Setelah tembut-tembut selesai dimainkan dalam upacara Ndilo Wari Udan atau acara lain, dilakukan juga acara memandikannya. Sebelum dimandikan, masing-masing topeng tembut-tembut tersebut diperhatikan dan dibersihkan dengan kain lap. Setelah diyakini tidak ada lagi kotoran yang melekat, maka dimandikan dengan air yang telah diberi ramuan Lau penguras. Adapun urutan


(57)

memandikan tembut-tembut adalah sama seperti ketika dimandikan saat akan dimainkan. Pertama yang dimandikan adalah Panglima, kemudian Kikir Labang, disusul anak perana, tubinggang atau anak manuk si gurda gurdi dan yang terakhir adalah singuda-nguda.

Lau penguras ini adalah air yang dimasukkan ramuan yang terdiri dari : bulung simalem-malem, bulung besi-besi, sangkel sipilit, siang-siang, bulung rimo mukur, kapal-kapal, slantam, bunga sapa dan rimo mukur. Keseluruhan ramuan tersebut disatukan, dicampur kemudian dimasukkan ke dalam air yang akan digunakan untuk memandikan tembut-tembut.

Setelah tembut-tembut selesai dimandikan, dibiarkan sejenak hingga benar-benar kering. Bila sudah kering, masing-masing dibungkus dangan kain putih (dagangen) lalu disusun kembali ke tempat penyimpanan. Tempat penyimpanan tembut-tembut adalah sebuah kotak dari kayu yang di dalamnya terdapat sekat-sekat tempat meletakkan tembut-tembut.

Selain sesajen dalam bentuk memandikan, ada juga sesajen dalam bentuk makanan yang diberikan kepada tembut-tembut. Sesajen dalam bentuk makanan ini diberikan sekali dalam setahun, dan mengenai waktu pelaksanaannya tidak dapat dipastikan. Biasanya jika sudah tiba saatnya pemberian sesajen dalam bentuk makanan pada tembut-tembut, Kora Sembiring Depari sebagai ahli wari tembut-tembut bermimpi dan dimana dalam mimpinya dia bertemu dengan orang tua yang memnyuruhnya untuk menyiapkan dan memberikan sesajen pada tembut-tembut tersebut. Namun adakalanya bukan Kora Sembiring Depari yang bermimpi, melainkan anggota keluarganya yang lain.


(58)

Adapun sesajen yang diberikan kepada tembut-tembut adalah terdiri dari : bawang putih tunggal, lada hitam (merica), dawa cur, rimo bunga (jeruk asam), rimo mukur (jeruk Purut), cimpa buka siang (makanan khas orang karo yang terbuat dari tepung beras), galuh si emas sada ncikat (pisang emas satu sisir), belo cawir (daun sirih) dan buah mayang (pinang).

Semua tembut-tembut dikeluarkan dari kotak penyimpanan, kemudian dibariskan diatas tikar kecil yang terbuat dari pandan (amak mbentar). Urutannya mulai dari kanan adalah topeng Panglima, Kikir Labang, Anak Perana, Tubinggang dan yang terakhir adalah singuda-nguda. Kemudian seluruh sesajen tersebut diletakkan di hadapan tembut-tembut dan dibiarkan sesaat.

Pelaksanaan pemberian sesajen ini dilaksanakan di rumah Kora Sembiring Depari, yang dilakukan sebelum tengah hari (sebelum pukul 12 siang). Setelah sesajen dibiarkan beberapa saat dihadapan tembut-tembut, kemudian anggota keluarga yang ingin memakannya dapat juga ikut memakannya.

Semua bahan-bahan untuk sesajen tembut-tembut, bila dibutuhkan pemakaian pisau dalam menggunakannya, misalnya membelah jeruk purut, harus menggunakan pisau yang merupakan warisan dari Pirei Sembiring Depari. Pisau tersebut ada dua jenis, jenis pedang dan belati. Kedua pisau tersebut juga disimpan bersama dengan tembut-tembut setelah dibalut dengan tikar putih atau dalam bahasa Karo disebut amak mbentar.


(59)

Bab IV

Fungsi Tembut-Tembut Dalam Kehidupan Masyarakat Karo

IV.1 Fungsi Tembut-Tembut Sebagai Sarana Ritual

Tembut-tembut memiliki fungsi sebagai sarana ritual, dimana tembut-tembut tersebut digunakan sebagai sarana atau alat untuk memanggil hujan (ndilo wari udan). Keberadaan tembut-tembut tersebut begitu penting sehingga sejak tahun 1910-an tidak pernah dilaksanakan upacara ndilo wari udan di Desa Seberaya tanpa mengikutsertakan tembut-tembut.

Masyarakat Karo di Desa Seberaya sesuai dengan kepercayaan tradisionalnya, menyakini bahwa tidak turunnya hujan adalah disebabkan gangguan dan hambatan dari roh-roh atau kekuatan gaib yang bersifat jahat. Untuk mengatasi ini, maka dilakukan suatu acara untuk mengusirnya atau membujuknya, dalam hal ini peran dari tembut-tembut dibutuhkan.

Ada anggapan masyarakat Karo di Desa Seberaya, karena karakter dari tembut-tembut yang begitu menyeramkan, maka berbagai mahluk takut padanya. Sehingga dalam upacara ndilo wari udan, tembut-tembut tersebut diharapkan dapat mengusir kekuatan jahat yang menghalangi datangnya hujan.

Sebelum tembut-tembut dimainkan, maka ahli warisnnya menyelipkan selembar belo cawir (daun sirih) pada masing-masing tangan kayu tembut-tembut tersebut. Hal ini maksudnya adalah sebaga persentain (mohon izin). Kegiatan seperti ini biasa dilakukan masyarakat Karo bila hendak melakukan sesuatu dimana memohon restu sebelumnya.


(60)

IV.1.1 Upacara Ndilo Wari Udan

Upacara Ndilo Wari Udan (upacara memanggil hujan) merupakan salah satu ritual yang terdapat pada masyarakat Karo di Desa Seberaya, kecamatan Tigapanah. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, bahwasanya upacara yang sejenis juga dilaksanakan di beberapa wilayah lain seperti di Desa Lingga, Desa Kuta Buluh dan Kabanjahe. Namun dalam hal ini, peneliti hanya melakukan penelitian tentang Ndilo Wari Udan di Desa Seberaya.

Upacara ndilo wari udan dimana semua rangkaian kegiatannya lengkap diikuti sepenuhnya di Desa Seberaya, terakhir kali dilaksanakan adalah pada tahun 1975. Atas kritikan dari berbagai tokoh agama (Islam dan Kristen), maka beberapa bagian dari upacara ndilo wari udan, dihilangkan dalam pelaksanaannya. Upacara ndilo wari udan terakhir terakhir kali dilaksanakan di Desa Seberaya adalah pada tahun 2001, dengan menghilangkan beberapa bagian dari rangkaian kegiatan upacaranya. Pada pelaksanaan ndilo wari udan pada tahun 2001 di Desa Seberaya, inti kegiatannya hanya ertembut, dimana tembut-tembut dikeluarkan dan dimainkan di halaman desa. Tembut-tembut-tembut dimainkan mulai dari halaman rumah Kora Sembiring Depari, kemudian terus ke ujung sebelah bawah Desa Seberaya, dilanjutkan ke ujung sebelah atas, kemudian kembali ke rumah Kora Sembiring Depari.

Bila terjadi kemarau berkepanjangan, sehingga tanah-tanah mulai gersang dan berdebu, tanam-tanaman sudah banyak yang mengering dan debit air sungai atau pancuran juga berkurang, maka diadakanlah upacara ndilo wari udan. Jika sudah terlihat keadaan alam yang sudah sangat kering, maka para pengetua adat desa dan kepala desa akan mengambil inisiatif untuk mengadakan upacara ndilo


(61)

wari udan. Hal ini dilakukan karena adanya kekhawatiran keadaan seperti ini akan terus berlajut dan akan merugikan bagi warga desa sendiri, misalnya gagal panen, kebakaran, timbulnya penyakit dan lainnya.

Menurut kepercayaan tradisional masyarakat Desa Seberaya, apabila hujan tidak turun, ada banyak faktor penyebabnya, antara lain adanya hantu (begu), keramat dan penguasa-penguasa gaib pada suatu tempat di Desa Seberaya. Dalam hal ini, tembut-tembut diharapkan dapat membujuk atau mengusir kekuatan tersebut yang menghalangi turunnya hujan. Dalam upacara ndilo wari udan ini nantinya akan ditanyakan kemauan dari kekuatan gaib yang menghalang turunnya hujan agar supaya kekuatan tersebut tidak lagi menghalangi turunnya hujan ke desa.

Adapun yang menjadi tujuan upacara ndilo wari udan yang dilaksanakan adalah sebagai suatu sarana atau media komunikasi dari sekelompok masyarakat kepada Yang maha Penguasa alam semesta. Inti dari yang dikomunikasikan adalah suatu permintaan agar kiranya segera diturunkan hujan. Dalam hal ini segala kekuatan yang dianggap menghalangi maksud tersebut diusir atau dibujuk agar tidak menggangu lagi.

IV.1.2 Persiapan Upacara Ndilo Wari Udan

Menyikapi berlangsungnya musim kemarau yang berkepanjangan ini, maka Kepala Desa dan Pengetua adat desa berkumpul dan berembuk bagaimana perencanaan acara ndilo wari udan. Setelah ada kesepakatan mulai dari waktu dan tempat serta bagaimana pelaksanaannya, Kepala Desa dan beberapa perwakilan desa dan pengetua adat mendatangi Kora Sembiring Depari sebagai ahli waris


(62)

tembut-tembut. Mereka ini meminta agar kiranya Kora Sembiring bersedia mengeluarkan tembut-tembut dalam upacara tersebut.

Selanjutnya Kepala Desa dan beberapa pengetua adat dan ahli waris tembut-tembut memilih dan menentukan siapa guru si baso (Dukun) yang nantinya akan memimpin upacara tersebut. Setelah ditentukan siapa yang dipilih, maka Kepala Desa mengutus seseorang menemui dukun tersebut untuk mengutarakan maksud warga desa mengundangnya sekaligus mengundang secara resmi dukun tersebut untuk memimpin upacara ndilo wari udan. Begitu juga dengan pemain musik pengiringnya (sierjabaten) yang akan ikut dalam upacara ini, juga ditentukan bersama dengan Kepala Desa dan Pengetua adat dan Kepala Desa menyuruh seseorang untuk mengundangnya secara resmi.

Setelah semua orang yang nantinya berperan dalam upacara tersebut sudah lengkap, maka pihak pemerintahan desa akan mengadakan momo (pengumuman) pada warga desa dengan cara meminta seseorang meneriakkan pengumuman denganberkeliling desa sambil membawa gong kecil. Isi pengumuman tersebut adalah mengatakan bahwa pada hari yang telah ditentukan anak diadakan upacara ndilo wari udan yang dilaksanakan di desa mereka.

Pengumuman tersebut harus diyakini diketahui oleh seluruh warga desa, sehingga mereka dapat bersiap-siap. Pengumuman biasanya dilakukan pada malam hari sekitar jam 20.00-22.00 WIB, dimana semua warga desa sudah pulang dari ladang dan sedang beristirahat di rumah atau di warung kopi.


(63)

IV.1.3 Persiapan Khusus Untuk Tembut-Tembut

Mengetahui bahwa tembut-tembut akan dipakai dalam acara ndilo wari udan, maka ahli waris tembut-tembut mempersiapkan beberapa persiapan khusus dan ritual khusus seperti yang biasa dilakukan secara turun-temurun. Sebagai langkah awal, ahli waris tembut-tembut memanggil beberapa orang yang dalam sistem kekerabatan Karo masuk ke dalam posisi anak beru nya, yaitu orang yang mengambil istri beru Sembiring Depari.

Dari beberapa orang anak beru merga Sembiring Depari yang dipanggil, makan dirembukkan siapa lima diantaranya yang akan ikut memainkan tembut-tembut dalam acara upacara ndilo wari udan tersebut. Kelima orang tersebut kemudian dipersiapkan pakaian dan perlengkapannya. Kelima orang tesebut akan memainkan perannya sebagai Panglima, Kikir Labang, Anak Perana, Singuda-nguda dan Tubinggang.

Selain itu, mereka juga diminta untuk mengingat nenek moyang mereka yang pertama sekali membuat Tembut-Tembut tersebut yaitu Pirei Sembiring Depari. Bila ada rasa khawatir atau ketakutan dalam memainkan tembut-tembut tersebut, maka disarankan untuk jiarah dan manabur bunga ke makam Pirei Sembiring Depari yang berada di pinggir Desa Seberaya. Mengenai persiapan-persiapan secara ritual nantinya akan dipersiapkan oleh guru si baso (dukun) itu sendiri pada saat ndilo wari udan. Dan sebelum acara tersebut berlangsung, tembut-tembut akan dimandikan terlebih dahulu dengan ramuan tertentu.

Pada hari pelaksanaan ndilo wari udan, sekitar jam tujuh pagi semua tembut-tembut dikeluarkan dari kotaknya kemudian dibariskan di halaman depan rumah. Setelah dibersihkan sejenak maka tembut-tembut tersebut dimandikan


(64)

dengan air yang telah dicampur dengan abu dapur, tiga buah rimo mukur dan bunganna (jeruk purut dan bunganya), bunga sapa tujuh jenis (sejenis bunga) dan indung kuning gersing (induk kunyit). Semua ramuan tersebut harus dipotong menggunakan pisau atau pedang buatan Pirei Sembiring.

Adapun urutan dalam memandikan tembut-tembut adalah yang pertama sekali topeng panglima, kemudian topeng kikir labang, disusul topeng anak perana, topeng tubinggang atau manuk sigurda-gurdi dan yang terakhir adalah topeng singuda-nguda. Urutan memandikan ini diyakini berdasarkan urutan pembuatan topeng tersebut oleh Pirei Sembiring Depari. Menurut Dwikora Sembiring Depari yang merupakan pewaris tembut-tembut saat ini, proses memandikan tembut-tembut ini sudah berlangsung sejak dahulu dan belum ada yang dirubah. Setelah selesai dimandikan dan dikeringkan, para anak beru memainkan topeng tersebut menuju kesain, dimana warga telah menanti.

IV.1.4 Bagian-Bagian Upacara Ndilo Wari Udan

Dalam pelaksanaan ndilo wari udan, terdapat bagian-bagian sesuai dengan hal yang merupakan inti kegiatan. Pada dasarnya, bagian-bagian tidak dapat dipisahkan satu dan lainnya, karena merupakan serangkaian kegiatan upacara ndilo wari udan. Secara umum, kegiatan ndilo wari udan dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu dimulai dari ersimbu, sipalem-palem, ertembut-tembut dan yang terakhir adalah ertoto ku sembahen.

Setiap rangkaian dari upacara ini memiliki makna tersendiri, dimana masing-masing tahapan tidak ada yang lebih penting antara yang satu dan lainnya. Tahapan ini dimulai sejak pagi hari dan terus berlanjut sepanjang hari dengan


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Topeng tembut-tembut Seberaya merupakan salah satu aset budaya daerah dari etnis Karo dan merupakan budaya bangsa yang harus dilestarikan. Topeng tembut-tembut Seberaya diciptakan oleh Pirei Sembiring Depari yang berasal dari Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo. Topeng ini diperkirakan dibuat oleh Pirei Sembiring Depari pada tahun 1910-an. Topeng ini terbuat dari kayu gecih yang dipahat dan di cat dengan warna-warna cerah seperti kuning, merah, putih dan hitam. Topeng yang terdiri dari lima karakter wajah ini diberi nama Panglima, Kiker Labang, Manuk Si Gurda Gurdi, Anak Perana dan Singuda-nguda.

Tembut-tembut ini awalnya digunakan hanya oleh keluarga dari Pirei Sembiring Depari untuk dipertontonkan pada warga Desa Seberaya. Namun karena setiap kali tembut-tembut dipertontonkan atau dimainkan di halaman rumah Pirei Sembiring, hujan selalu turun. Hal ini membuat sebuah keganjilan yang dirasakan masyarakat, ditambah lagi adanya bisikan gaib yang dirasakan oleh Pirei Sembiring untuk tetap menjaga topeng tersebut. Sejak saat itu, keluarga


(2)

menyalahi aturan agama yang dianut sebagian besar masyarakat, misalnya Islam atau Kristen.

Tembut-tembut saat ini biasanya hanya digunakan sebagai sarana hiburan saja, misalnya pertunjukan pada acara-acara tahunan yang diselenggarakan oleh masyarakat Karo baik yang berada di Desa Seberaya maupun di luar Desa Seberaya. Selain itu digunakan juga sebagai sarana mengumpulkan massa atau masyarakat dalam rangka acara tertentu.

Tembut-tembut yang dulunya banyak mengandung unsur mistik, kini dianggap sebagai hiburan bagi warga yang melihatnya. Hanya pada acara tertentu saja, misalnya dilakukannya kembali acara Ndilo Wari Udan, maka tembut-tembut yang fungsinya untuk Ndilo Wari Udan akan dimunculkan kembali. Namun hal ini tentunya sudah sangat jarang terjadi, karena masyarakat saat ini adalah masyarakat modern yang percaya pada hal-hal yang logika.

Tembut-tembut sebagai sarana hiburan juga sudah sangat jarang dipertontonkan di khalayak ramai. Hal ini karena sangat sedikit orang yang mampu memainkannya dan tidak juga banyak pemusik Karo yang mampu mengiringi pertunjukan ini. Sehingga untuk acara-acara tertentu, ketika tembut-tembut akan dipertontonkan, maka pemain topeng dan pemain musiknya harus melakukan latihan-latihan untuk dapat memainkannya secara baik.


(3)

V.2 Saran

Penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam tetap masih sangat dibutuhkan sehubungan dengan seni pertunjukan tembut-tembut yang berasal dari etnis Karo. Hal ini menyangkut karena masih banyaknya versi-versi cerita tentang tembut-tembut, baik tentang kisah, lakon, fungsi sampai pada cara memainkannya. Hal ini sangat penting untuk dapat memberikan sejarah yang sebenarnya dari tembut-tembut tersebut.

Tembut-tembut telah menjadi aset budaya Masyarakat Karo pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, sudah sepantasnya untuk tetap dilestarikan dan diperkenalkan pada khalayak ramai dengan harapan ini dapat menciptakan rasa memiliki dan mencintai terhadap tembut-tembut ini sendiri. Hal ini karena dari pengamatan peneliti, tembut-tembut seakan-akan makin terlupakan dan tidak menutup kemungkinan akan hilang sama sekali. Meskipun ada keluarga dari Pirei Sembiring Depari yang akan tetap menjaga keberadaan tembut-tembut, namun jika tidak didukung oleh masyarakat Karo dan pemerintah, akan sia-sia.

Kepada pihak pemerintahan Kabupaten Karo pada khususnya, agar semakin mendukung pelestarian budaya Karo seperti tembut-tembut dan aset budaya lainnya. Misalnya dengan mengikutsertakan aset budaya seperti tembut-tembut dalam kegiatan-kegiatan budaya yang bersifat lokal maupun nasional.


(4)

penulisan-penulisan selanjutnya yang mungkin akan ada pada masa yang akan datang. Besar harapan penulis agar melalui tulisan ini, pembaca dapat semakin mencintai dan melestarikan budaya Karo.


(5)

I. 8

DAFTAR PUSTAKA

Bangun, Tridah, Adat Istiadat Karo, Bandung, Yayasan Merga Silima, 1994.

Bangun, Tridah, Manusia Batak Karo, Jakarta, Inti Indramayu, 1992. Dananjaya, James, Folklore Indonesia, Jakarta, Pustaka Grafity, 1986. Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta, Gramedia 1985.

Putro, Brahmana, Karo Dari Zaman Ke Zaman, Medan, Ulih Saber, 1999. Prinst, D dan D, Sejarah dan Kebudayaan Karo, Jakarta, CV Irama, 1985. Sipiro, M.E. A Thypology of Fungtional Analysis, Exploration, 1953. Sedyawati, Edi, Seni Pertunjukaan Indonesia, Topeng Dalam Budaya. Jakarta, Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1993.

Sitepu A.G, Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo Seri B. Bali Screen, 1998.

Sitepu, Bujur, Adat Istiadat Karo, Jakarta, Balai Pustaka, 1992.

Soedarsono, R. M, Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata, Yogyakarta, 1999.

Tarigan, Henry Guntur, Percikan Budaya Karo, Jakarta, Yayasan Merga Silima, 1990.


(6)