STUDI TENTANG INTERNALISASI NILAI UKHUWAH ISLAMIYAH DALAM RANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER DI LINGKUNGAN PESANTREN: Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung.

(1)

LEMBAR PENGESAHAN...i

PERNYATAAN KEASLIAN... ...ii

ABSTRAK... ..iii

KATA PENGANTAR... ..iv

UCAPAN TERIMA KASIH……….…..vii

DAFTAR ISI……….ix

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN... A. Latar Belakang Masalah………. B. Identifikasi masalah………

C. Rumusan Masalah………..

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……… E. Asumsi Penelitian………..

F. Kerangka Pemikiran………

G. Definisi Operasional………... H. Metode Penelitian………..

I. Lokasi Penelitian………

PENDIDIKAN NILAI DAN INTERNALISASI NILAI UKHUWAH ISLAMIYAH SEBAGAI PEMBENTUKAN KARAKTER DI LINGKUNGAN PESANTREN

A. Makna dan Tahapan Internalisasi……….. B. Tinjauan tentang Makna dan Hakikat Nilai……….. C. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Nilai……….. D. Makna Ukhuwah Islamiyah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah…… E. Makna Pendidikan Karakter………. F. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren……….. 1. Sejarah Pondok Pesantren……….. 2. Pengertian Pesantren……… 3. Unsur-unsur Pesantren……… 4. Ciri dan Jenis Pondok Pesantren……… 5. Lahirnya Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan……

1 1 8 9 9 11 12 16 18 19 20 20 24 39 43 51 54 54 60 62 66 72


(2)

BAB III

G. Makna Kyai dan Santri……….

1. Pengertian Kyai……….

2. Konsep dan Pengertian Santri………

H. Pendidikan Nilai di Lingkungan Pesantren……… I. Hubungan Pendidikan Umum dengan Pendidikan Pesantren……….

J. Penelitian Terdahulu………

METODE PENELITIAN……….. A. Pendekatan Penelitian………

1. Metode Penelitian………

2. Sumber dan Jenis Data……… 3. Instrumen Penelitian………

4. Sampling………

B. Teknik Pengumpulan Data………

1. Teknik Observasi……….

2. Teknik Wawancara……….

3. Teknik Dokumentasi………

4. Teknik Studi Pustaka………

C. Tahapan Penelitian………

1. Tahap Orientasi……….

2. Tahap Eksplorasi……….. 3. Tahap Pencatatan Data………. 4. Tahap Analisa Data……….

5. Tahap Pelaporan………..

D. Validitas dan Reliabilitas………

E. Paradigma Penelitian………

73 73 75 76 78 82 87 87 87 91 92 95 98 98 101 103 104 104 104 105 105 107 109 109 110


(3)

BAB V

A. Gambaran Umum Pondok Pesantren Al-Ihsan……….. B. Hasil Penelitian……….. 1. Sistim Pendidikan Pondok Pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung.. 2. Implementasi Ukhuwah Islamiyah Menurut Al-Qur’an dan

As-Sunnah... 3. Proses Internalisasi Nilai Ukhuwah Islamiyah di kalangan santri… 4. Pandangan Kyai, Ustadz, Santri dan Masyarakat tentang internalisasi

nilai Ukhuwah Islamiyah……….

5. Dampak Internalisasi Nilai Ukhuwah Islamiyah dalam Pembentukan

Karakter………...

6. Kendala dalam Proses Internalisasi Nilai Ukhuwah Islamiyah……. C. Pembahasan Hasil Penelitian……… KESIMPULAN DAN REKOMENDASI………

A. Kesimpulan………

B. Rekomendasi………..

114 118 118

131

139

147

157 159 160 169 169 174

DAFTAR PUSTAKA………. 177 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Teknologi informasi dan komunikasi telah menghilangkan batas ruang dan waktu sehinga dunia seakan menyatu dalam suatu kampung global (global village). Pertukaran informasi termasuk nilai antar bangsa berlangsung secara cepat dan penuh dinamika sehingga mendorong terjadinya proses perpaduan nilai, kekaburan nilai, bahkan terkikisnya nilai-nilai asli yang sebelumnya sakral dan menjadi identitas. Kegamangan nilai yang dialami masyarakat sekarang merupakan akibat manusia lebih mengutamakan kemampuan akal dan memarginalkan peran agama atau nilai-nilai ilahiah (Sauri dan Firmansyah: (2010: 1). Kemampuan otak dan rasionalitas telah mencapai titik puncak, tetapi tidak dibarengi dengan kekuatan rohaniah, akibatnya hidup menjadi kehilangan makna. Institusi pendidikan, institusi pekerjaan, media massa, televisi, dan internet mendorong persentuhan nilai antar budaya global sehingga penganekaragaman nilai pada diri seseorang menjadi kian kompleks. Dalam kondisi demikian, pertahanan nilai moral yang menjadi pegangan masyarakat akan semakin tergoyahkan, nilai tradisi bangsa Indonesia yang ramah, lembut, dan santun tergilas oleh nilai-nilai baru yang bersandar dan berlindung kepada kebebasan dengan mengatasnamakan hak asasi. Dengan demikian standar nilai yang dipegang oleh masyarakat akan semakin rapuh dan siap untuk digantikan dengan standar lainnya.


(5)

Dewasa ini pendidikan nilai kurang mendapatkan perhatian, baik di kalangan orang tua di dalam keluarga maupun guru di sekolah. Hal tersebut disebabkan oleh orientasi keberhasilan pendidikan yang hanya diukur oleh tingkat intelektualitas siswa. Sementara itu, pembinaan nilai yang membentuk karakter siswa kurang mendapat perhatian.

Pendidikan adalah pilar utama pembangunan bangsa. Keberhasilan pendidikan suatu bangsa berkaitan erat dengan kemajuan yang dicapai. Karena itu adalah suatu keniscayaan bila pemerintah dan masyarakat memprioritaskan pembangunan bidang pendidikan secara menyeluruh. Terutama pendidikan yang membentuk karakter nasional bangsa. Pendidikan sebagai salah satu komponen pembangun bangsa memiliki fungsi strategis untuk membentuk manusia yang bermoral dan berakhlak baik, sehingga dapat menghantarkan peserta didik menuju keseimbangan pribadi antara kecerdasan intelektual (ilmu) dengan kecerdasan emosional (perilaku). Pendidikan adalah salah satu bentuk kegiatan manusia dalam kehidupan yang mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai harus dinyatakan dengan jelas, sehingga semua pelaksana pendidikan memahami atau mengetahui semua proses kegiatan pendidikan.

Pendidikan dipandang sebagai salah satu wahana utama untuk mengembangkan kualitas (sumber daya) manusia (human development). (Rahardjo 1997: 256). Pendidikan adalah upaya membudayakan manusia muda. Sebagaimana dijelaskan oleh Prayitno dan Amti (2004: 181) bahwa:


(6)

Pendidikan dapat diartikan sebagai upaya membudayakan manusia muda menguasai alam lingkungannya, memahami, dan melaksanakan nilai-nilai dan norma yang berlaku, melakukan peranan yang sesuai, menyelenggarakan kehidupan yang layak dan meneruskan kehidupan generasi orang tua mereka. Untuk tugas-tugas masa depan mereka itu, melalui proses pendidikan manusia muda memperkembangkan diri dan sekaligus mempersiapkan diri dengan potensi yang ada pada diri mereka dan prasarana serta sarana-sarana yang tersedia.

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan apa yang termaktub dalam undang-undang tersebut haruslah diselenggarakan dengan baik. Menurut Hasan (2004: 11) bahwa:

Pendidikan yang baik yakni pendidikan yang mencakup pengembangan potensi-potensi dasar yang dimiliki oleh anak. Selanjutnya Hasan juga menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yang utuh tersebut akan mengembangkan kualitas kepribadian anak yang utuh juga dan akan mampu mengaktualisasikan potensi-potensi dirinya secara harmonis dan serasi. Dan kualitas sumber daya manusia yang demikianlah sebenarnya dibutuhkan sekarang dan masa mendatang, yakni kualitas sumber daya manusia yang mencakup kreativitas yang kuat, produktivitas yang tinggi, kepribadian yang tangguh, kesadaran sosial yang benar, serta keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang dalam.

Sardiman (2006: 118) menjelaskan bahwa: “... tujuan pendidikan nasional pada khususnya dan pembangunan pada umumnya adalah ingin menciptakan “manusia seutuhnya”. Maksudnya manusia yang lengkap, selaras, serasi, dan seimbang perkembangan semua segi kepribadian.”


(7)

Sardiman (2006: 119) juga menjelaskan bahwa:

Bagi Indonesia yang berfalsafah Pancasila, tujuan pendidikan dengan pembentukan manusia seutuhnya adalah sangat tepat. Konsep Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa telah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap individu untuk mengembangkan hubungan dengan Tuhan, dengan alam lingkungan, dengan manusia lain, dan dengan dirinya sendiri, bahkan juga untuk mengembangkan cipta, rasa, dan karsanya. Jasmani maupun rohaninya secara integral.

Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal 3 UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Amanat UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Menurut Ramli (2003) “ pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak”. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara


(8)

yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Pada dasawarsa terakhir, wacana multikultural menjadi isu penting dalam upaya pembangunan kebudayaan di Indonesia. Hal ini didasarkan beberapa alasan. Pertama, bahwa secara alami atau kodrati, manusia diciptakan Tuhan dalam keanekaragaman kebudayaan, dan oleh karena itu pembangunan manusia harus memperhatikan keanekaragaman budaya tersebut. Dalam konteks ke-Indonesia-an maka menjadi keniscayaan bahwa pembangunan manusia Indonesia harus didasarkan atas multikulturalisme mengingat kenyataan bahwa negeri ini berdiri di atas keanekaragaman


(9)

agama, dan ras) yang melanda negeri ini pada dasawarsa terakhir berkaitan erat dengan masalah kebudayaan. Dari banyak studi menyebutkan salah satu penyebab utama dari konflik ini adalah akibat lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya.

Menurut AlQadrie (2005), Profesor sosiologi pada Universitas Tanjungpura Pontianak, berbagai konflik sosial yang telah menimbulkan keterpurukan di negeri ini disebabkan oleh kurangnya kemauan untuk menerima dan menghargai perbedaan, ide dan pendapat orang lain, karya dan jerih payah orang lain, melindungi yang lemah dan tak berdaya, menyayangi sesama, kurangnya kesetiakawanan sosial, dan tumbuhnya sikap egois serta kurang perasaan atau kepekaan sosial. Hal sama juga dikemukakan oleh Rahman (2005) bahwa konflik-konflik kedaerahan sering terjadi seiring dengan ketiadaan pemahaman akan keberagaman atau multikultur. Konflik sosial yang terjadi sering mengambil bentuk kekerasan, sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Akibatnya bara dendam berlangsung turun-temurun dengan intensitas yang semakin tinggi. Hal itu pulalah yang mewarnai bangsa ini pada permulaan reformasi ketika konflik sosial bernuansa etnis menggejala di mana-mana. Konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.

Sementara itu fenomena yang terasa akhir-akhir ini adalah kaburnya nilai antara Islam dan Umat Islam semakin membuat jarak antara manusia dengan Allah SWT.


(10)

Umat Islam terjebak kepada fanatisme simbol dan golongan. Krisis yang telah lama mencekam masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim ini berdampak besar pada krisis kepercayaan, krisis moral dan paling parah krisis ukhuwah yang makin memudar warnanya tak tersentuh oleh hangatnya ukhuwah, padahal Islam selalu menghendaki ukhuwah yang bersih lahir dan batin. Hingga persaudaraan hangat yang munculpun bukanlah lips-service semata, namun memang terpatri kuat di dalam dada

Pesantren sebagai salah satu ruang pendidikan formal dan non formal, terutama dalam ranah pendidikan agama Islam, merupakan sebuah potensi yang bisa digunakan untuk mengenalkan pemahaman mengenai persaudaraan atas dasar ajaran Islam (Ukhuwah Islamiyah). Ukhuwah Islamiyah berarti "persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam (Shihab, 2002: 358). Sebab dalam pesantren berkumpul beragam jenis manusia yang berlatar belakang etnik, suku dan budaya yang berbeda. Hal tersebut akan semakin kompleks bila kita hubungkan dengan masyarakat di sekitar lingkungan pesantren. Pesantren dengan berbagai santri yang datang dari semua penjuru nusantra memungkinkan dunia pesatren lebih berwarna dengan berbagai campuran ras, budaya dan tradisi yang lebih dikenal dengan sebutan multikultur yang terkumpul dalam satu wadah „bilik pesantren‟. Interaksi sosial lebih berpotensi mengembangkan kemandirian santri dalam pergaulan sehari-hari untuk lebih dewasa dalam mengahadapi segala perbedaan yang ada. Menurut Menteri Pendidikan Nasional pola-pola pendidikan berbasis karakter yang berkembang di pondok pesantren dinilai berhasil. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional ingin memasukkan tradisi pendidikan pesantren


(11)

ke sekolah umum. Pada tahun 2011 pendidikan karakter dijadikan gerbong untuk menanamkan karakter mulai dari sekolah (Mendiknas, 2010).

Seorang pengasuh pesantren atau kyai memiliki peranan yang penting dalam menanamkan dan menginternalisasikan nilai-nilai Ukhuwah Islamiyah di pesantren dan lingkungan sekitarnya. Dalam konteks ini, pemahaman agama bisa menjadi salah satu faktor penentu pribadi dan karakter seseorang akan pemahaman Ukhuwah Islamiyah. Berkaitan dengan masalah tersebut penulis memandang perlu untuk meneliti masalah yang berkenaan dengan proses internalisasi nilai ukhuwah Islamiyah di lingkungan pesantren dalam hal ini di pondok pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini memfokuskan pada upaya untuk mendapatkan gambaran atau potret kondisi obyektif sistem pendidikan di pondok pesantren Al-Ihsan, konsep nilai ukhuwah islamiyah menurut al-Qur‟an dan as-Sunnah, proses internalisasi nilai ukhuwah islamiyah dalam rangka penbentukan karakter di kalangan santri, pandangan kyai, ustadz, santri dan masyarakat terhadap kegiatan internalisasi nilai ukhuwah Islamiyah, dampak internalisasi nilai ukhuwah Islamiyah terhadap pendidikan karakter dan kendala yang dihadapi dalam proses internalisasi ukhuwah islamiyah di lingkungan pesantren.


(12)

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka oleh penulis masalah dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi objektif sistem pendidikan yang digunakan dalam proses pendidikan karakter di Pondok Pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung?

2. Apa saja nilai ukhuwah Islamiyah menurut Alqur‟an dan As-Sunnah?

3. Bagaimana proses internalisasi nilai ukhuwah islamiyah dalam rangka pembentukan karakter di kalangan santri?

4. Bagaimana Pandangan kyai, ustadz, santri dan masyarakat terhadap kegiatan internalisasi nilai ukhuwah Islamiyah?

5. Apa dampak internalisasi nilai ukhuwah Islamiyah terhadap pendidikan karakter?

6. Apa kendala yang dialami dalam proses internalisasi nilai ukhuwah islamiyah dalam rangka pembentukan karakter di Pondok Pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pokok permasalahan di atas dalam konteks internalisasi nilai ukuwah islamiyah dalam rangka pendidikan karakter di Pondok Pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung. Adapun tujuan penelitian secara lebih rinci adalah untuk mendeskripsikan:


(13)

1. Kondisi objektif sistem pendidikan yang digunakan dalam proses pendidikan karakter di Pondok Pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung. 2. konsep nilai ukhuwah Islamiyah menurut Alqur‟an dan As-Sunnah.

3. Proses internalisasi nilai ukhuwah islamiyah dalam rangka pendidikan karakter di kalangan santri.

4. Pandangan kyai, ustadz, santri dan masyarakat terhadap kegiatan internalisasi nilai ukhuwah Islamiyah

5. dampak internalisasi nilai ukhuwah Islamiyah terhadap pendidikan karakter 6. Kendala yang dialami dalam proses internalisasi nilai ukhuwah islamiyah

dalam rangka pembentukan karakter di Pondok Pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung.

Adapun kegunaan yang diharapkan diperoleh melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara khusus dapat memberikan gambaran tentang kondisi obyektif internalisasi nilai ukhuwah islamiyah dalam rangka pendidikan karakter di lingkungan pesantren.

2. Secara umum dapat dijadikan sebagai wahana ilmu pengetahuan untuk mengembangkan model internalisasi nilai ukhuwah islamiyah dalam rangka pembentukan karakter di lingkungan pendidikan formal, non formal dan informal.


(14)

3. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para pemegang kebijakan dalam merumuskan kebijakan pengembangan pesantren yang lebih tepat demi optimalnya proses pencapaian tujuan pendidikan secara nasional.

4. Memberikan kontribusi bagi pengembangan dunia pendidikan pada umumnya dan pendidikan secara institusional pada khususnya sebagai sebuah kelembagaan pendidikan.

E. Asumsi Penelitian

Penelitian ini didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut:

1. Pendidikan tidak hanya bertujuan mengembangkan intelektual anak didik saja, melainkan merupakan usaha untuk mengembangkan keseluruhan dari aspek kepribadian anak didik.

2. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.

3. Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.


(15)

4. Lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan, khususnya pondok pesantren merupakan institusi yang tepat dalam upaya internalisasi nilai ukhuwah islamiyah dalam rangka pembentukan karakter. Heterogentias masyarakat santri (murid dan para guru) di dalam lembaga pendidikan pesantren inilah yang menjadi kunci efektif untuk internalisasi nilai ukhuwah islamiyah. Dengan sistem Asrama yang menjadi trademark pesantren, siswa yang berasal dari berbagai daerah dapat berinteraksi secara intensif, 24 jam tiap harinya

5. Peranan dan keteladanan kyai dalam membina dan menginternalisasi nilai ukhuwah islamiyah dalam membentuk karakter harus benar-benar, karena akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku santri. Tatanan nilai merupakan hasil proses interaksi antar potensi internal manusia dan potensi eksternal dengan dunia luas.

F. Kerangka Pemikiran

Pendidikan merupakan kebutuhan mutlak bagi manusia yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan, manusia tidak dapat berkembang sejalan dengan cita-cita untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup manusia itu sendiri.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlakukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.


(16)

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.

Amanat UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter,


(17)

sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut.

Pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Konflik sosial yang terjadi sering mengambil bentuk kekerasan, sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Akibatnya bara dendam berlangsung turun-temurun dengan intensitas yang semakin tinggi. Hal itu pulalah yang mewarnai bangsa ini pada permulaan reformasi ketika konflik sosial bernuansa etnis menggejala di mana-mana. Konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.

Sementara itu fenomena yang terasa akhir-akhir ini adalah kaburnya nilai antara Islam dan Umat Islam semakin membuat jarak antara manusia dengan Allah SWT. Umat Islam terjebak kepada fanatisme simbol dan golongan. Krisis yang telah lama


(18)

mencekam masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim ini berdampak besar pada penurunan krisis kepercayaan, krisis moral dan paling parah krisis ukhuwah yang makin memudar warnanya tak tersentuh oleh hangatnya ukhuwah. Padahal Islam selalu menghendaki ukhuwah yang bersih lahir dan batin. Hingga persaudaraan hangat yang muncul pun bukanlah lips service semata, namun memang terpatri kuat di dalam dada

Pesantren sebagai salah satu ruang pendidikan formal dan nonformal, terutama dalam ranah pendidikan agama islam, merupakan sebuah potensi yang bisa digunakan untuk mengenalkan pemahaman nilai ukhuwah islamiyah.. Sebab dalam pesantren berkumpul beragam jenis manusia yang berlatar belakang etnik, suku dan budaya yang berbeda. Hal tersebut akan semakin kompleks bila kita hubungkan dengan masyarakat di sekitar lingkungan pesantren.

Jika dibandingkan sekolah lain pada umumnya, proses pendidikan pesantren akan jauh lebih efektif dan efisien, sebab semuanya berjalan tanpa disadari pada muridnya. Murid seringkali tidak menyadari bahwa mereka sedang diajarkan tentang suatu hal. Proses transformasi dan saling pengaruh antar unsur-unsur budaya seperti; bahasa, dialek, cara berpakaian, makanan kesukaan, hoby, dan lain-lain, terjadi secara alamiah, tanpa harus digurui, apalagi dipaksa. Semua keanekaragaman itu menyatu dan membentuk cara hidup

Seorang pengasuh pesantren atau kyai memiliki peranan yang penting dalam menanamkan dan menginternalisasikan nilai-nilai ukhuwah Islamiah di pesantren dan


(19)

lingkungan sekitarnya. Dalam konteks ini, pemahaman agama bisa menjadi salah satu faktor penentu pribadi dan karakter seseorang akan pemahaman Ukhuwah Islamiyah.

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam mengartikan istilah yang terdapat dalam judul penelitian ini, maka perlu didefinisikan secara operasional antara lain sebagai berikut:

1. Internalisasi. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1991: 576), internalisasi artinya ialah penghayatan. Internalisasi berarti proses menanamkan dan menumbuhkembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri orang yang bersangkutan. Penanaman dan penumbuhkembangan nilai tersebut dilakukan melalui berbagai didaktik-metodik pendidikan dan pengajaran, seperti pendidikan, pengarahan, indoktrinasi, brain-washing, dan lain sebagainya

2. Karakter. Menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Musfiroh ( 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).

3. Menurut Shihab (2007: 486) kata ukhuwwah yang biasa diartikan sebagai"persaudaraan", terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti


(20)

"memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara. Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya ukhuwah diartikan sebagai "setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak,atau keduanya, maupun dari segi persusuan". Secara majazi kata ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur seperti suku, agama, profesi, dan perasaan.

Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata ukhuwah digunakan juga dengan arti teman akrab atau sahabat. Masyarakat Muslim mengenal istilah ukhuwmah Islamiyyah. berarti "persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam.

4. Pesantren. Pesantren berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri. Zamakhsari berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji (Zamakhsari 1982: 18).

Pesantren adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional yang para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal. Di samping itu


(21)

juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Biasanya komplek pesantren dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi arus keluar masuknya santri. Dari aspek kepemimpinan pesantren kyai memegang kekuasaan yang hampir-hampir mutlak.

H. Metode Penelitian

Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik dengan tipe studi kasus. Metode deskriptif analitik merupakan metode penelitian yang menekankan kepada usaha untuk memperoleh informasi mengenai status atau gejala pada saat penelitian, memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, juga lebih jauh menerangkan hubungan serta menarik makna dari suatu masalah yang diinginkan. Adapun studi kasus umumnya menghasilkan gambaran yang longitudinal yakni hasil pengumpulan dan analisa kasus dalam satu jangka waktu. Kasus dapat terbatas pada satu orang, satu lembaga, satu peristiwa ataupun satu kelompok manusia dan kelompok objek lain-lain yang cukup terbatas, yang dipandang sebagai satu kesatuan, segala aspek kasus tersebut mendapat perhatian sepenuhnya dari peneliti. Sesuai dengan kekhasannya, pendekatan studi kasus dilakukan pada objek yang terbatas.

Oleh karena metode yang digunakannya metode deskriptif, maka dalam penelitian ini tidak menggunakan hipotesis yang dirumuskan di awal untuk diuji kebenarannya, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Arikunto (1998: 245) bahwa pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis. Kalaupun dalam


(22)

perjalanannya terdapat hipotesis, ia mencuat sebagai bagian dari upaya untuk membangun dan mengembangkan teori berdasarkan data lapangan (grounded theory). Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, pendekatan ini dipilih karena penulis menganggap sangat cocok dengan karakteristik masalah yang menjadi fokus penelitian.

I. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Pondok Pesantren Al-Ihsan yang beralamat di Jalan Adipati Agung 40 Baleendah Bandung. Alasan pengambilan lokasi penelitian ini adalah berdasarkan hasil studi pendahuluan diperoleh informasi bahwa Pondok Pesantren Al-Ihsan memiliki fasilitas pendidikan yang cukup memadai bagi peningkatan mutu atau kualitas pendidikan, dengan pendidikan yang sistematik dan terpadu ditunjang dengan pemberlakuan tata tertib dan dan penanaman disiplin yang ketat sebagai upaya untuk menghasilkan santri yang berkualitas, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti kehidupan di lingkungan pesantren khususnya proses internalisasi nilai ukhuwah Islamiyah dalam rangka pembentukan karakter santri.


(23)

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian 1. Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode deskriptif analitik dengan tipe studi kasus. Metode deskriptif analitik merupakan metode penelitian yang menekankan kepada usaha untuk memperoleh informasi mengenai status atau gejala pada saat penelitian, memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, dan lebih jauh menerangkan hubungan, serta menarik makna dari suatu masalah yang diinginkan.

Oleh karena metode yang digunakannya metode deskriptif maka dalam penelitian ini tidak menggunakan hipotesis yang dirumuskan sejak awal, melainkan hipotesis kerja mencuat, terumuskan dan mengembang seiring dengan proses penelitian, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Arikunto (1998:245) bahwa pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis.

Sementara studi kasus umumnya menghasilkan gambaran yang longitudinal yakni hasil peugumpulan dan analisa kasus dalam satu jangka waktu Kasus dapat terbatas pada satu orang, satu lembaga, satu peristiwa ataupun satu kelompok manusia dan kelompok objek lain-lain yang cukup terbatas yang dipandang sebagai satu kesatuan Sesuai dengan kekhasamnya, bahwa pendekatan studi kasus dilakukan pada objek yang terbatas. Maka persoalan pemilihan sampel yang


(25)

menggunakan pendekatan tersebut tidak sama dengan persoalan yang dihadapi oleh penelitian kuantitatif Sebagai implikasinya, penelitian yang menggunakan pendekatan studi kasus hasilnya tidak dapat digeneralisasikan dengan kata lain hanya berlaku pada kasus itu saja.

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif pendekatan ini dipilih karena penulis menganggap sangat cocok dengan karakteristik masalah yang menjadi fokus penelitian Selain itu, pendekatan ini juga memiliki karakteristik yang menjadi kelebihannya tersendiri. Guba dan Lineoln dalam Al wasilah (2006:104-107) mengungkapkan terdapat 14 karakteristik pendekatan kualitatif sebagai berikut;

1) Latar alamiah; secara ontologis suatu objek harus dilihat dalam konteksnya yang alamiah, dan pemisahan anasir-anasirnya akan mengurangi derajat keutuhan dan makna kesatuan objek itu, sebab makna objek itu tidak identik dengan jumlah keseluruhan bagian-bagian tadi. Pengamatan juga akan mempengaruhi apa yang diamati, karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang maksimal keseluruhan objek itu hams diamati.

2) Manusia sebagai instrurnen; Penéliti menggunakan dirinya sebagai pengumpul data utama. Benda-benda lain sebagai manusia tidak dapat menjadi instrumen karena tidak akan mampu memahami dan meyesuaikan diri dengan realitas yang sesungguhnya. Hanya manusialah yang mampu melakukan interaksi dengan instrumen atau subjek penelitian tersebut dan memahami kaitan kenyataan-kenyataan itu.


(26)

3) Pemanfaatan pengetahuan non·proporsional; Peneliti naturalistis melegitimasi penggunaan intuisi, perasaan,firasat dan pengetahuan lain yang tak terbahaskan (tacit knowledge) selain pengetahuan proporsional (propostional knowledge) karena pengetahuan jenis pertama itu banyak dipergunakan dalam proses interaksi antara peneliti dan responden. Pengetahuan itu juga banyak diperoleh dari responden terutama sewaktu peneliti mengintip nilai-nilai, kepereayaan dan sikap yang tersembunyi pada responden.

4) Metode-metode kualitatif, Peneliti kualitatif memilih metode-metode kualitatif karena Metode-metode inilah yang lebih mudah diadaptasikan dengan realitas yang beragam dan saling berinteraksi

5) Sampel purposif, Pemilihan sampel secara purposif atau teoretis disebabkan peneliti ingin meningkatkan cakupan dan jarak data yang dicari demi mendapatkan realitas yang berbagai-bagai, sehingga segala temuan akan terlandaskan secara lebih mantap karena prosesnya melibatkan kondisi dan nilai lokal yang semuanya saling mempengaruhi.

6) Analisis data secara induktif, Metode induktif dipilih ketimbang metode deduktif karena metode ini lebih memungkinkan peneliti mengidentifikasi realitas yang berbagai-bagai dilapangan, membuat inteaksi antara peneliti dan responden lebih eksplisit, nampak, dan mudah dilakukan, serta memungkinkan identifikasi aspekaspek yang saling mempengaruhi.

7) Teori dilandaskan pada data di lapangan; Para peneliti naturalistis mencari teori yang muneul dati data. Mereka tidak berangkat dari teori a priori


(27)

karena teori ini tidak akan mampu menjelaskan berbagai temuan (realitas dan nilai) yang akan dihndapi di lapangan

8) Desain penelitian mencuat secara alamiah, Para peneliti memilih desain penelitian muncul, mencuat, mengalir secara bertahap, bukan dibangun di awal penelitian. Desain yang muncul merupakan akibat dari fungsi interaksi antara peneliti dau responden.

9) Hasil penelitian berdasarkan negosiasi; Para peneliti naturalistik ingin melakukan negosiasi dengan responden untuk memahami makna dan interpretasi mereka ihwal data yang memang di peroleh dan mereka

10) Cara pelaporan kasus; Gaya pelaporan lebih cocok ketimbang cara pelaporan saintifik yang lazim pada penelitian kuantitatif sebab pelaporan kasus lebih mudah-diadaptasikan terhadap deskripsi realitas di lapangan yang dihadapi para peneliti. Juga mudah diadaptasi untuk menjelaskan hubungan antara peneliti dengan responden.

11) lnterprestasi idiografik; Data yang terkumpul termasuk kesimpulannya akan diberi tafsir secara idiografik, yaitu secara kasus, khusus, dan kontekstual, tidak secara nomotetis, yakni berdasarkan hokum-hukum generalisasi.

12) Aplikasii tentatif, Peneliti kualitatif kurang berminat (ragu-ragu) untuk membuat k1aim-k1aim aplikasi besar dari temuanya karena realitas yang dihadapinya bermacam-macam. Setiap temuan adalah hasil interaksi peneliti dengan responden dengan memperhatikan nilai-nilai dan kekhususan lokal yang


(28)

mungkin sulit direplikasi dan diduplikasi, jadi memang sulit untuk ditarik generaslisasinya.

13) Batas penelitian ditentukan fokus; Ranah teritorial penelitiau kualitatif sangat ditentukan oleh fokus penelitiau yang memang mencuat ke permukaan. Fokus demikian memungkimkan interaksi lebih mantap antara peneliti dan responden pada konteks tertentu Batas penelitian ini akan sulit ditegakam tanpa pengetahuan kontekstual dari fokus penelitian.

14) Keterpercayaan derngan kriteria khusus; Istilah-istilah seperti intenal validity, external validity, reliability dan objectivity kedengaran asing bagi para peneliti naturalistik, karena memang bertentangan dengan aksioma-aksioma naturalistik. Keempat istilah tersebut dalam panelitian naturalistik diganti dengan credibility, transferability, depandability, dan confirmability.

2. Sumber dan Jenis Data

Dalam penelitian ini, sumber data utamanya adalah kata-kata dan tindakan yang dilakukam oleh Kyai dan santri Pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung yang menjadi subjek penelitian. Selain itu, dimanfaatkan pula berbagai dokumen resmi yang mendukung seperti kitab·kitab yang menjadi rujukan kyai serta kitab-kitab dan buku-buku yang menjadi rujukan para santri, data base santri dan profile pesantren. Hal tersebut merujuk kepada ungkapan Lofland dan Lofland dalam Moleong (2007:157-158) bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan.


(29)

Selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen, sumber data tertulis lainnya, foto, dan statistik.

Pencatatan sumber data utama melalui wawancara dan pengamatan berperan serta (observasi) merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya peneliti terhadap subyek penelitian. Hal tersebut dilakukan secara sadar dan terarah karena memang direncanakan oleh peneliti. Terarah karena memang dari berbagai macam informasi yang tersedia tidak seluruhnya akan digali oleh peneliti. Senantiasa bertujuan karma peneliti memiliki seperangkat tujuan penelitian yang diharapkan dicapai untuk memecahkan sejumlah masalah penelitian.

3. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dimaksudkan sebagai alat pengumpul data seperti tes pada penelitian kuantitatif, adapun instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, maksudnya bahwa peneliti langsung menjadi pengamat dan pembaca situasi pendidikan di Pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung. Yang dimaksud dengan peneliti sebagai pengamat adalah peneliti tidak sekedar melihat berbagai peristiwa dalam situasi pendidikan, melainkan memberikan interpretasi terhadap situasi tersebut. Sebagai pengamat, peneliti berperanserta dalam kehidupan sehari-hari subjeknya pada setiap situasi yang diinginkannya untuk dapat dipahaminya. Sedangkan yang dimaksud peneliti sebagai pembaca situasi adalah peneliti melakukan analisa terhadap berbagai peristiwa yang terjadi dalam situasi tersebut, selanjumya menyimpulkan sehingga dapat digali maknanya.


(30)

Moleong (2007; 169-172) mengungkapkan bahwa ciri-ciri manusia sebagai instrumen mencakup hal-ha1 sebagai benkut:

a. Responsif, Manusia sebagai instrumen responsif terhadap lingkungan dan terhadap pribadi-pribadi yang menciptakan lingkungan. Sebagai manusia ia bersifat interaktif terhadap orang dan lingkungannya. Ia tidak hanya responsive terhadap tanda-tanda, tetapi ia juga menyediakan tanda-tanda kepada orang-orang. Tanda-tanda yang diberikannya biasanya dimaksudkan untuk secara sadar berinteraksi dengan konteks yang ia berusaha memahaminya. Ia tesponsif karena ia berusaha memahaminya Ia responsif katena menyadari perluya merasakan dimensi-dimensi konteks dan berusaba agar dimensi-dimensi itu menjadi ekplisit.

b. Dapat menyesuaikan diri, Manusia sebagai instrumen hampir tidak terbatas dapat menyesuaikan diri pada keadaan dan situasi pengumpulan data. Manusia sebagai peneliti dapat melakukam tugas pengumpulan data sekaligus.

c. Menekankan Kebutuhan, Manusia sebagai instrumen memanfaatkan imajinasi. dan kreativitasnya dan memandang dunia ini sebagai suatu keutuhan, jadi sebagai konteks yang berkesinambungan dimana mereka memandang dirinya sendiri dan kehidupnnya sebagai sesuatu yang riel, benar dan mempunyai arti. Pandangan yang menekankan keutuhan ini memberikan kesempatan kepada peneliti untuk memandang konteksnya dimana ada dunia nyata bagi subjek dan responden dan juga memberikan suasana, keadaan dan perasaan tertentu. Peneliti berkepentingn dengan konteks dalam keadaan utuh untuk setiap kesempatan.


(31)

d. Mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki oleh peneliti sebelum melakukan penelitian menjadi dasar-dasar yang membimbingnya dalam melakukam penelitian, Dalam prakteknya, peneliti mernperluas dan meningkatkan pengetahuannya berdasarkan penga1aman- pengalaman praktisnya. Kemampuan memperluas pengetahuannya juga diperoleh melalui praktek pengalaman lapangan dengan jalan memperluas kesadaran terhadap situasi sampai pada dirinya terwujud keinginan-keinginan tak sadar melebihi pengetahuan yang ada dalam dirinya, sehingga pengumpulan data dalam proses penelitian menjadi Iebih dalam dan lebih kaya.

e. Memproses data secepatnya, Kemampuan lain yang ada pada diri manusia sebagai instrumen adalah memproses data secepatnya seteleh diperolehnya menyusunnya kembali, mengubah arah inkuiri atas dasar penemuannya, merumuskan hipotesis kerja sewaktu berada di lapangan, dan mengetes hipotesis kerja itu pada respondenya Hal demikian akan membawa peneliti untuk mengadakan, pengamatan. dan wawancara yang lebih mendalam lagi dalam proses pengumpulan data itu.

f. Memanfaatkan kesempatan untuk mengklarifikasikan dan mengikhtisarkan, Manusia sebagat instrumen memiliki kemampuan lainnya, yaitu kemampuan untuk menjelaskan sesuatu yang kurang dipahami oleh subjek atau responden. Sering hal ini tujadi apabila informasi yang diberikan oleh subjek sudah berubah, secepatnya peneliti akan mengetahuinya, kemudian ia berusaha meneliti lebih dalam lagi apa yang melatarbelakangi perubahan itu. Kemampuan Iainnya yang ada pada peneliti


(32)

adalah kemampuan mengikhtisarkan informasi yang begitu banyak diceritakan oleh responden dalam wawancara. Kemampuan mengikhtisarkan itu digunakannya ketika suatu wawancara berlangsung.

g. Memanfaatkan kesempatan untuk mencari respons yang tidak lazim dan idiosinkratik. Manusia sebagai instrumen memiliki pula kemampuan untuk menggali informasi yang lain dari yang lain yang tidak direncanakan semula, yang tidak diduga terlebih dahulu, atau yang tidak lazim terjadi. Kemampuan peneliti bukan menghindari melainkan justru mencari dan berusaha menggalinya lebih dalam. Kemampuan demikian tidak ada tandingannya dalam penelitian mana pun dan sangat bermanfaat bagi penemuan ilmu pengetahuan baru

4. Sampling

Dalam paradigma alamiah, menurut Guba dan Lineoln dalam Moleong (2007:223) peneliti memulai dengan asumsi bahwa konteks itu kritis sehingga masing-masing konteks itu ditangani dari segi konteksnya sendiri. Selain itu dalam penelitian kualitatif sangat erat kaitanya dengan faktor-faktor kontekstual. Jadi, maksud sampling daiam hal ini adalah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dam bangunannya (construetions).

Dengan demikian, tujuanya bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan-perbedaan yang nantinya dikembangkan ke dalam generalisasi. Tujuannya adalah untuk kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik. Maksud kedua dari ling adalah menggali informasi yang akan menjadi dasar dan rancangan dan teori muncul


(33)

Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi bertujuan (purposive sample). Menurut Moleong (2007:224—225) sampel tujuan dapat diketahui dan cirri-cirinya sebagai berikut: rancangan sampel yang muncul, yaitu sampel tidak dapat ditentukan atau ditarik terlebih dahulu. pemilihan sampel secara berurutan. Tujuan memperoleh variasi sebanyak-banyaknya hanya dapat dicapai apabila pemilihan satuan sampel dilakukan jika satuannya sebelumnya sudah dijaring dan dianalisis. Setiap sampel berikutnya dapat dipilih untuk memperluas infonnasi yang telah diperoleh terlebih dahulu sehingga dapat dipertentangkan atau di isi adanya kesenjangan informasi yang ditemui. Dari mana dan dari siapa ia mulai tidak menjadi persoalan, tetapi bila hal itu sudah berjalan, pemilihan berikutnya bergantung pada apa keperluan peneliti. Teknik sampling bola salju bermanfaat dalam hal ini, yaitu mulai dari satu makin lama makin banyak, Penyesuaian berkelanjutan dari sampel. Pada mulanya, setiap sampel dapat sama kegunaannya. Namun, sesudah makin banyak informasi yang masuk dan makin mengembangkan hipotesis kerja maka sampel akan dipilih atas dasar focus penelitian. Pemilihan berakhir jika sudah teijadi pengulangan Pada sampel bertujuan seperti ini, jumlah sampel ditentukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan informasi yang diperlukan. Jika maksudnya memperluas informasi yang dapat dijaring, penarikan sampel pun sudah dapat diakhiri. Jadi, kuncinya disini adalah jika sudah terjadi pengulangan infomasi, penarikan sampel sudah harus dihentikan.

Dalam kontek penelitian ini, sampel semula ditentukan hanya kyai, ustadz dan perwakilan santri, dalam perjalananya mengalami pengembangan seiring dengan makin banyaknya informasi yang masuk dan makin mengembangkan hlpotesis kerja, hal ini


(34)

sesuai dengan kekhasan dari penelitian kualitatif yang memberlakukan teori bola salju dalam pemilihan sampel, serta grounded theory yang mengembangkan teori berdasarkan data lapangan dan diuji terus menerus sepanjang penelitian. Pemilihan sampel berakhir pada saat terjadi pengulangan informasi yang diperoleh dari sampel yang dipilih, dalam hal ini kyai dan Santri. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Moleong di atas bahwa dalam pemilihan sampel kuncinya adalah jika sudah terjadi pengulangan infomasi, maka penarikan sampel sudah harus dihentikan.

Selain masalah sampel, satuan kajian biasanya ditetapkan juga dalam rancangan penelitian Keputusan tentang penentuan sampel, besarnya, dan strategi sampling pada dasamya bergantung pada penetapan satuan kajian. Kadang-kadang satuan kajian itu bersifat perseorangan, seperti santri, klien, atau pasien yang menjadi satuan kajian Bila perseorangan itu sudah ditentukan sebagai satuan kajian maka pengumpulan data dipusatkan ` disekitamya. .·Hal yang dikumpulkan adalah apa yang terjadi dalam kegiatannya, apa yang mempengaruhinya, bagaimana sikapnya., dan seterusnya Dalam kontek penelitian satuan kajiannya adalah Kyai, para ustadz, dan Santri yang ada di Pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung, sedangkan sampelnya kyai pimpinan pesantren dan santri yang sudah lama tinggal di pesantnen.

B. Teknik Péngumpulan Data

Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti menggunakan empat teknik yakni observasi/pengamatan berperan serta,wawancara, dokumentasi dan studi pustaka.


(35)

1. Teknik Observasi

Observasi merupakan kegiatan pengamatan sistematis dan terencana yang diniati untuk memperoleh data yang dikontrol validitas dan reliabilitasnya. Dalam penelitian ini, observasi yang dilakukan adalah observasi sambil partisipasi atau disebut juga pengamatan berperanserta, maksudnya peneliti mengamati sekaligus ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan responden. Peneliti berpartisipasi dalam kegiatan responden, dalam hal ini Kyai dan Santri, tidak sepenuhnya artinya dalam batas tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara kedudukan peneiiti sebagai orang luar (pengamat) dan sebagai orang yang ikut berpartisipasi dalam lingkungan pendidikan responden Dalam kesempatan tertentu, selain bertindak sebagai pengamat pada saat Kyai mengajar, peneliti juga mencoba untuk mengambil alih peran sebagai pengajar di kelas responden, hal ini dilakukan untuk menguji konsistansi temuan yang mencuat pada saat peneliti berperan sebagai pengamat.

Selain sambil partisipasi, observasipun dilakukan secara terbuka, artinya diketahui oleh-responden karena sebelumnya telah mengadakan survey terhadap responden dan kehadiran peneliti ditengah-tengah responden atas ijin responden. Seperti dalam melakukan observasi kelas, peneliti meminta ijin dan membuat janji waktu yang tepat dengan Kyai dan Santri, sehingga proses pengamatan atas sepengetahuan Kyai bersangkutan.

Apa yang dilakukan peneliti di atas relevan dengan ungkapan Moleong (2007:163) bahwa ciri khas penelitian kualitatif tidak bisa dipisahkan dari pengamatan


(36)

berperanserta, namun peran penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya. Bogdan dalam Moleong (20071164) mendefiniskan pengamatan berperan serta sebagai penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subjek dalam lingkungan subjek, dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematik dan berlaku tanpa gangguan.

Agar hasil observasi dapat membantu menjawab tujuan penelitian yang sudahn digariskan, maka peneliti dalam penelitain ini memperhatikan apa yang diungkapkan oleh Merriam dalam Alwasilah (2006:215-216) yang menyebutkau bahwa dalam observasi harus ada lima unsur penting sebagai berikut:

1. Latar (setting) 2. Pelibat (participant)

3. Kegiatan dan interaksi (activity and interaction) 4. Frekuensi dan durasi (frequency and duration) 5. Faktor substil (subtle factors)

Terdapat beberapa alasan mengapa dalam penelitian ini pengamatan dimanfaatkan Sebesar-besarnya, Guba dan Lincoln dalam Moleong (2007: 174-175) memberikan bantuan alasan sebagai berikut:

1. Teknik pengamatan ini didasarkan atas pengalaman secara langsung.Pengalaman langsung merupakan alat yang ampuh untuk mengetes suatu kebenaran. Jika suatu data yang diperoleh kurang meyakinkan, biasanya peneliti ingin menanyakannya kepada subjek, tetapi karena ia hendak memperoleh keyakinan tentang keabsahan


(37)

data tersebut, jalan yang ditempuhnya adalah mengamati sendiri yang berarti mengalami langsung peristiwanya.

Teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenamya. Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan propersional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data.

Sering terjadi ada keraguan pada peneliti, jangan-jangan pada data yang dijaringnya ada yang keliru atau bias. Kemungkinan keliru itu terjadi karena kurang dapat mengingat peristiwa atau hasil wawancara, adanya jarak antara peneliti dan yang diwawancarai, ataupun karena reaksi peneliti yang emosional pada suatu saat. Jalan yang terbaik untuk mengecek kepereayaan data tersebut ialah dengan jalan memanfaatkan pengamatan

Tehnik pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi yang rumit. Situasi yang rumit mungkin terjadi jika peneliti ingin memperhatikau beberapa tingkah laku sekaligus. Jadi, pengamatan dapat menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang rumit dan untuk perilaku yang kompleks. Dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan,pengamatan dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat.

Selama melakukan pengamatan, peneliti mencatat setiap fenomena yang dtemukan dan sesampainya di rumah (pada malam hari) catatan yang dibuat pada saat dilapangan, langsung ditranskif ke dalam Catatan Lapangan yang dibagi menjadi dua


(38)

bagian, yakni catatan deskriptif dan catatan reflektif Selanjutnya, dalam rangka mengkonfirmasi dan menindak lanjuti temuan-temuan pada saat observasi yang sudah dituangkan ke dalam catatan lapangan, maka peneliti selanjutnya melakukan proses wawancara terhadap kyai bersangkutan dan tiga orang santri, kegiatan wawancara akan diuraikan dalam bagian selanjutnya.

2. Teknik Wawancara

Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (intervewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Maksud mengadakan wawancara, seperti ditegaskan 0leh Lineoln dan Guba dalam Moleong (2007:186) antara lain mengkontruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan kebulatan; merekonstruksi kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi, mengubah, dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota.

Menurut Lincoln dan Guba dalam Alwasilah (2006:195) terdapat lima langkah penting dalam melakukan interviu, yakni:

l. Menentukan siapa yang akan diinterviu 2. Menyiapkan bahan-bahan interviu


(39)

3. Langkah-langkah pendahuluan

4. Mengatur kecepatan menginteviu dan mengupayakan agar tetap produktif 5. Mengakhiri interviu

Berdasarkan langkah-langkah yang diungkapkan oleh Lincoln dan Guba di atas, langkah awal yang dilakukan oleh peneliti adalah menentukan siapa yang akan di interviu, hal ini dilakukan setelah dilakukan observasi pendahuluan dan minta nama santri kepada Ustad bersangkutan. Ustadz dan beberapa orang santri dan masing-masing tingkatan yang diobservasi ditetapkan sebagai responden interviu.

Setelah orang yang akan diinterviu jelas, selanjutnya peneliti menyusun pedoman wawancara sebagai kompas dalam praktek wawancara agar senantiasa terarah kepada penelitian, dalam prakteknya pertanyaan terlontar secara sistematis sesuai dengan pedoman, namun tidak jarang ditambahkan beberapa pertanyaan tambahan atas fenomena yang mencuat. Pedoman wawancara isinya mengacu kepada rumusan masalah, hasil observasi dan hasil wawancara sebelumnya, ruang lingkup pedoman wawancara berbeda sasaran responden yang diwawancarai (lihat lampiran).

Waktu dan tempanya interviu ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan wawancara. Diakhir kegiatan wawancara, peneliti tidak langsung menutup kegiatan wawancara, melainkan berpesan agar kiranya terwawancara bersedia kembali untuk diwawancarai pada kesempatan lain apabila terdapat fenomena-fenomena yang diperlukan penjelasan lebih Ianjut. Dalam penelitian ini, teknik wawancara dilakukan melengkapi data-data hasil observasi, wawancara dilakukan terhadap subyek penelitian yang dalam hal ini Kyai dan sepuluh santri.


(40)

Teknik wawancara yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah wawancara struktur, yakni wawancara yang dilakukan untuk menanyakan permasalahan-permasalahan seputar yaan penelitian dalam rangka memperjelas data atau informasi yang tidak jelas pada saat observasi/pengamatan berperanserta.

3. Teknik Dokumentasi

Guba dan Lincoln dalam Moleong (2006:216) mendefinisikan dokumen sebagai setiap bahan tertulis ataupun film. Dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.

Dalam penelitian ini, teknik dokumentasi dilakukan untuk mengetahui dokumen tentang bagaimana kurikulum dan proses pembelajaran ekonomi yang berlangsung di Pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung sebelum penelitian. Dokumen diperoleh dari kyai dan petugas administrsi pesantren. Data demografi santri dan petugas pesantren, buku-buku rujukan dari petugas perpustakaan, serta profile dan struktur kurikulum Pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung.

4. Teknik Studi Pustaka

Studi pustaka dilaksanakan untuk mengumpulkan data ilmiah dah berbagai literatur yang berhubungan dengan pendidikan umum, pendidikan nilai, nilai-nilai tauhid, strategi belajar mengaj ar, metode penelitian pendidikan dan studi ekonomi Islam.


(41)

Dalam memperoleh data-data ilmiah penulis mengkaji referensi-referensi kepustakaan dari perpustakaan UPI, perpustakaan Programr Studi Pendidikan Umum SPS UPI, perpustakaan pribadi penulis, internet, dan sumber lainnya.

A. Tahapan-Tahapan Penelitian

Upaya pengumpulan data dalam penelitian ini melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Tahap Orientasi

Pada tahap orientasi, awalnya peneliti mengadakan survei terhadap lembaga, terutama melalui acara dialog dengan pimpinan pesantren, para ustadz dan beberapa santri. Selanjumya mengadakan wawancara sederhana tentang proses pendidikan yang dilaksanakan di Pesantren. Dari hasil pendekatan ini peneliti menentukan dua unsur responden yakni kyai dan santri.

Setelah ditentukan responden penelitian, peneliti mengadakan observasi permulaan untuk memperoleh data tentang proses kegiatan belajar mengajar di Pesantren. Pada tahap ini peneliti juga tidak lupa mengurus surat izin penelitian dalam rangka menjaga keamanan dan stabilitas sosial di lokasi penelitian 2. Tahap Eksplorasi

Pada tahap ini, peneliti mulai melakukan kunjungan pada Pesantren dan responden mulai mengenal dekat dengan responden. Mengadakan pengamatan permulaan terhadap proses pembelajaran di lingkungan Pesantren, selanjutnya


(42)

meningkat tidak hanya mengamati, melakukan berpartisipasi bersama responden dan mengadakan wawancara kyai yang menjadi responden serta beberapa santri untuk mendukung kelengkapan data.

Proses pengamatan dilakukan dengan membuat janji terlebih dahulu dengan kyai bersangkutan sebingga proses pengamatan diketahui oleh Kyai tersebut, adapun dalam menentukan santri yang akan diwawancara juga atas masukan dari Ustadz bersangkutan, selain didasari oleh hasil pengamatan di ruang belajar.

3. Tahap Pencatatan Data

Catatan merupakan rekaman hasil observasi dan wawancara, dilakukan pada saat di lapangan berupa catatan singkat atau catatan kunci (keywords) maupun setelah selesai dari lapangan. Pencatatan data setelah dari lapangan segera dilakukan pada saat ingatan masih segar.

Pada waktu berada di lapangan, peneliti membuat catatan kemudian setelah pulang ke rumah barulah membuat catatan lapangan. Catatan yang dibuat di lapangan sangat berbeda dengan catatan lapangan. Catatan itu berupa coretan seperlunya yang sangat dipersingkat, berisi kata-kata kunci, pokok—pokok isi pembicaraan atau pengamatan, gambar, sketsa, sosiograrn, diagram, dan lain-lain. Catatan itu berguna hanya sebagai alat perantara yaitu antara apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dicium,dan diraba dengan catatan sebenarnya dalam bentuk catatan lapangan. Catatan itu baru dirubah ke dalam catatan yang lengkap dan

dinamakan catatan lapangan setelah peneliti tiba di rumah. Proses itu dilakukan setiap kali selesai mengadakan pengamatan atau wawancara tidak dilalaikan karena akan


(43)

tercampur dengan informasi lain dan ingatan seseorang itu sifatnya terbatas. Catatan lapangan menurut Bogdan dan Biklen dalam Moleong (2007;208—209) adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif.

Penemuan pengetahuan atau teori harus didukung oleh data konkret dan bukan ditopang oleh yang berasal dari ingatan. Pengajuan hipotesis kerja, penentuan derajat. Kepercayaan dalam rangka keabsahan data, semuanya harus didasarkan atas data yang terdapat dalam catatan lapangan Di sinilah letak pentingnya catatan lapangan itu. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam penelitian kualitatif ’jantungnya" adalah catatan lapangan.

Menurut Bogdan dan Biklen dalam Moleong (2007:211-212), pada dasarnya catatan lapangan berisi dua bagian, Pertama, bagian deskriptif yang berisi gambaran tentang latar pengamatan, orang, tindakan, dan pembicaraan. Kedua, bagian reflektif yang berisi kerangka berfikir dan pendapat peneliti, gagasan, dan kepeduliannya. Bagian deskriptif adalah bagian terpanjang yang berisi semua peristiwa dan pengalaman yang didengar dan yang dilihat serta dicatat selengkap dan seobjektif mungkin. Dengan sendirinya, uraian dalam bagian ini sangat rinci. Adapun Bagian reflektif disediakan tempat khusus untuk menggambarkan sesuatu yang berkaitan dengan pengamat itu sendiri. Bagian ini berisi spekulasi, perasaan, masalah, ide, sesuatu yang mengarahkan, kesan, dan prasangka. Catatan ini berisi pula sesuatu yang diusulkan untuk dilakukan dalam penelitian yang akan datang, dan juga berarti pembetukan atas kesalahan dalam catatan lapangan. Dengan demikian, peneliti sebagai pengamat dapat "memuntahkan"


(44)

segala sesuatu yang berkenaan dengan pengakuan kesalahan yang diperbuat, ketidakcukupan sesuatu yang dilakukan, prasangka, yang disukai maupun yang tidak.

Moleong (2006; 216-217) mengungkapkan langkah-langkah penulisan catatan pangan adalah sebagai berikut:

Pencatatan awal. Pencatatan ini dilakukan sewaktu berada di latar penalitian dengan jalan menuliskan hanya kata-kata kunci pada buku-nota.

Pembuatan catatan lapangan lengkap setelah kembali ke tempat tinggal. Pembuatan catatan ini dilakukan dalam suasana yang tenang dan tidak ada gangguan Hasilnya sudah berupa catatan lapangan lengkap.

Apabila sewaktu ke lapangan penelitian kemudian teringat bahwa masih ada yang belum dicatat dan dimasukkan dalam catatan lapangan, dan hal itu dimasukkan

4. Tahap Analisa Data

Bogdan & Biklen dalam Moleong (20071248) mengungkapkan bahwa analisis kata kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Adapun Seiddel dalam Moleong (2007:248) mengungkapkan bahwa proses berjalannya analisis data kualitatif adalah sebagai berikut;

a. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.


(45)

b. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasiifikasikan, mensitesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksinya.

c. Berfikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hunbungan, serta membuat temuan-temuan umum.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang telah dituangkan kedalam lapangan, selanjutnya data diolah dan dianalisa. Pengolahan dan penganalisaan merupakan upaya menata data secara sistematis. Maksudnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti terhadap masalah yang sedang diteliti dan upaya memahami. Langkah pertama dalam pengolahan data yang sudah dituangkan dalam lapangan adalah membuat koding atas fenomena yang ditemukan, selanjutnya buat kategorisasi dan pengembangan teori.

5. Tahap PeIaporan

Data yang sudah dianalisa kemudian dipadukan dengan teori·teori yang relevan dan konsepsi penulis tentang permasalahan yang menjadi fokus penelitian, Proses pemaduan konsepsi penelitian dituangkan dalam Iaporan penelitian dengan sistematika mengacu kepada pedoman penulisan karya tulis ilmiah dari Universitas Pendidikan Indonesia edisi 2007. SeIain itu, daiam rangka menyempurnakan laporan penelitian dilakukan proses bimbingan secara berkelanjutan dengan dosen pembimbing, baik pembimbing I maupun pembimbing II.


(46)

D. Validitas dan Reliabilitas Penelitian

Agar nilai kebenaran secara ilmiahnya dapat teruji serta memiliki nilai keajegan, maka dalam penelitian ini dilakukan uji validitas dan reliabilitas atas data yang ditemukan dari lapangan.

1. Validitas

Menurut Alwasilah (2006:169) validitas adalah kebenaran dan kejujuran sebuah deskripsi, kesimpulan, penjelasan, tafsiran dan segala jenis laporan. Ancaman terhadap validitas hanya dapat ditangkis dengan bukti, bukan dengan metode, karena metode hanyalah alat untuk mendapatkan bukti. Dalam menguji validitas ini dapat dilakukan dengan beberapa teknik, peneliti dalam penelitian ini menggunakan teknik-teknik yang disarankan oleh Alwasilah (2006:175-184) bahwa terdapat 14 teknik dalam menguji validitas penelitian sebagai berikuti 1) Pendekatan Modus Operandi (MO) 2) Mencari bukti yang menyimpang dan kasus negatif. 3) Triangulasi 4) Masukan, asupan atau feeddback. 5) Mengecek ulang atau member checks. 6) ”Rich” data atau data yang melimpah. 7) Quasi- statistics 8) Perbandingan 9) Audit; 10) Observasi jangka panjang long-term observation) 11) Metode partisipatori (participatory mode of research); 12) penelitian; 13) Jurnal reflektif (Reflecive Journal); 14) Catatan pengambilan keputusan.

2. Reliabilitas

Reliabilitas mengandung makna sejauh mana temuan-temuan penelitian dapat replikasi, jika penelitian tersebut dilakukan ulang, maka hasilnya akan tetap. Guba dan


(47)

Lincoln dalam Alwasilah (2006:187) mengungkapkan bahwa tidak perlu untuk mengekplisitkan persyaratan reliabilitas, mereka menyarankan penggunaan istilah pendedability atau consistenscy, yakni keterhandalan atau keistiqomahan.

E. Paradigma Penelitian.

Penelitian ini di latar belakangi oleh adanya kesenjangan antara tujuan pendidikan nasional dengan realitas karakter yang ada di masyarakat .

Pendidikan merupakan pilar tegaknya bangsa; Melalui pendidikanlah bangsa akan tegak mampu menjaga martabat. Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam realitas di masyarakat dewasa ini pendidikan nilai kurang mendapatkan perhatian, baik di kalangan orang tua di dalam keluarga maupun guru di sekolah. Hal tersebut disebabkan oleh orientasi keberhasilan pendidikan yang hanya diukur oleh tingkat intelektualitas siswa. Sementara itu, pembinaan nilai yang membentuk karakter siswa kurang mendapat perhatian.


(48)

Memperhatikan fenomena sosial yang berkembang saat ini, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan.

Sementara itu fenomena lainnya yang terasa akhir-akhir ini adalah kaburnya nilai antara Islam dan Umat Islam semakin membuat jarak antara manusia dengan Allah SWT. Umat Islam terjebak kepada fanatisme simbol dan golongan. Krisis yang telah lama mencekam masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim ini berdampak besar pada penurunan krisis kepercayaan, krisis moral dan paling parah krisis ukhuwah yang makin memudar warnanya tak tersentuh oleh hangatnya ukhuwah. Padahal Islam selalu menghendaki ukhuwah yang bersih lahir dan batin. Hingga persaudaraan hangat yang muncul pun bukanlah lips service semata, namun memang terpatri kuat di dalam dada

Melihat kondisi tersebut di atas, maka pendidikan karakter bangsa perlu diintervensi pendidikan umum. Sedangkan pendidikan umum sebagai general education menurut Mulyana (1999: 14) adalah upaya nnengembangkan keseluruhan kepribadian seséorang dalam kaitannya dengan masyarakat lingkungan hidup, dengan tujuan agar; 1) peserta didik memiliki wawasan yang menyeluruh tentang segala aspek kehidupan, serta 2) memiliki kepribadian yang utuh. lstilah menyeluruh dan utuh merupakan dua terminologi yang memerlukan isi dan bentuk yang disesuaikan dengan konteks sosial budaya dan keyakinan suatu bangsa. Dalam ajaran Islam pada dasarnya membawa misi dan konsep pendidikan yang berupaya mengarahkan dan membentuk kepribadian yang


(49)

utuh dan integral dalam ikatan nilai-nilai agama, yang sekaligus merupakan suatu upaya merekonstruksi suatu masyarakat yang ideal.

Secara kontekstual, pendidikan Islam dilaksanakan dengan berlandaskan kepada nilai-nilai. Islam sebagai agama wahyu sarat dengan konsepsi nilai yang menjadi pedoman hidup manusia dalam segala bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Dan dapat dibuktikan bahwa nilai Islam yang paling utama, dalam kaitannya dengan proses kependidikan dan pembentukan karakter kepribadian muslim, adalah nilai keimanan. Dalam tujuan pendidikan nasional, keimanan dan ketaqwaan juga dijadikan ciri utama kualitas manusia Indonesia yang akan dicapai oleh pendidikan, di samping ciri-ciri kualitas yang lain (Ludjito, 1996 : 295). Hal ini menegaskan bahwa keberadaan aspek keimanan sebagai landasan pendidikan telah mendapat legitimasi dan legalitas penuh secara konstitusional dari negara. Dengan demikian, seluruh lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam pada level manapun, harus menempatkan keimanan sebagai nilai dasar dan landasan dalam menetapkan tujuan pendidikan.

Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter terutama dalam internalisasi nilai ukhuwah Islamiyah.

Salah satu lembaga pendidikan yang penulis teliti adalah Pondok Pesantren Al-Ihsan. Tesis ini menyoroti bagaimana proses internalisasi nilai ukhuwah Islamiyah di lingkungan pondok Pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung dalam membentuk karakter santrinya sehingga dapat menghargai perbedaan yang ada dan membangun sikap saling


(50)

rukun, menghargai, mencintai, menghormati, bekerja sama, toleran dalam upaya membangun persatuan sebagai bekal dalam menghadapi masyarakat yang plural dikemudian hari.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analitik tipe studi kasus. Lokasi penelitiannya di Pondok Pesantren Al-Ihsan Baleendah Bandung. Subyek penelitiannya adalah kyai, ustadz dan santri. Sumber data utamanya adalah kata-kata dan tindakan yang dilakukan oleh kyai, ustadz dan santri. Instrument dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan empat teknik yakni observasi/pengamatan, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka.


(51)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A .Kesimpulan

Berdasarka hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dituangkan pada bab-bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Jenjang pendidikan yang ada di Pondok Modern Al-Ihsan Baleendah adalah KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) 6 ( enam ) tahun, setingkat dengan SLTP dan SLTA. KMI ini merupakan inti dari lembaga pendidikan Pondok Pesantren Modern Ihsan Baleendah, dan semua siswa KMI pesantren Al-Ihsan Baleendah wajib tinggal di dalam asrama, tidak diperkenankan pulang ke rumah masing-masing setiap hari. Arti dari Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah adalah persemaian guru-guru Islam. Lembaga KMI berusaha untuk mendidik para santri untuk menjadi guru Agama Islam, dengan pembekalan memadai, yang diharapkan mereka setelah lulus dari KMI dapat mengajar anak-anak tingkat SD dan SLTP dalam bidang agama.

2. Pendidikan di pondok pesantren Al-Ihsan tidak hanya dilaksanakan di dalam kelas, tetapi di semua aktivitas santri, baik ketika mereka berada di asrama, di masjid, di perpustakaan, maupun di lapangan olah raga, semuanya dimaksudkan untuk pendidikan. Seluruh aktivitas santri yang dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan pesantren adalah pendidikan.


(52)

Dalam motto pesantren disebutkan : “Semua yang kamu dengar, yang kamu lihat, dan yang kamu lakukan adalah untuk pendidikan”.

3. Proses internalisasi nilai ukhuwah islamiyah di kalangan santri dilaksanakan dalam bidang non akademik dan bidang akademik.

Dalam bidang non akademik dilaksanakan pada saat :

a. Proses internalisasi nilai ukhuwah islamiyah dimulai pada awal penerimaan santri baru yang yang masuk ke pondok pesantren Al-Ihsan dalam acara serah terima santri dari orang tuanya kepada pimpinan pondok dan guru-guru yang ada di lingkungan pesantren. Pimpinan pondok dalam acara tersebut memperkenalkan seluruh guru-guru yang ada dilingkungan pesantren.

b. Pekan Perkenalan atau disebut Pekan Khutbatul 'Arsy diadakan sebagai program wajib untuk memperkenalkan dan mengingatkan serta pengarahan kepada santri baru maupun santri yang sudah lama mengenai Pondok Pesantren. Apa itu Pondok dan Apa yang dicari di Pondok dan segala perkara yang berkaitan dengan Pondok. Kegiatan ini mirip dengan pidato pembukaan tahunan dalam suatu organisasi atau pemerintah. Seluruh santri dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 wajib mengikuti acara ini sehingga mereka hadir berbaur antara santri baru dan lama membangun rasa persahabatan dan persaudaraan/ukhuwah.


(53)

temannya yang memiliki latar belakang budaya yang beraneka ragam. Pertukaran atau pergantian kamar dikalangan santri dalam satu tahun dilaksanakan dua kali dan minimal satu kali. Tujuan pertukaran kamar dimaksudkan untuk memperluas wawasan antara teman sepondok selama tinggal di pondok pesantren. Selama hidup di pondok mereka dapat saling kenal sesma santri dipesantren Al-Ihsan. Selain itu perpndahan kamar dimaksudkan untuk menghilangkan kejenuahan dengan perubahan suasana. Selain daripada itu ada kegiatan lari pagi. Lari pagi ini dilaksanakan untuk membangun kebersamaan sekaligus menjalin ukhuwah dengan sesame santri. Setelah acara lari pagi mereka melaksanakan kebersihan umum yang disebut “Tandziful „Am” di lingkungan pesantren.

Dalam bidang akademik internalisasi nilai ukhuwah islamiyah dilaksanakan : a. pada saat santri menduduki kelas 5. Mereka sudah dikenalkan dengan

berbagai keragaman sikap dan pendapat dalam Islam. Salah satu pengenalan itu adalah santri mempelajari berbagai ilmu fikih dari bermacam mazhab atau aliran. Tak hanya mempelajari, mereka juga dibebaskan untuk mempraktikkan keragaman tersebut termasuk dalam ibadah ritual, seperti dalam shalat.

b. Acara Fathul Kutub. Untuk memperluas wawasan keislaman santri Al-Ihsan, Kulliyatu-l-Mu‟allimin Al-Islamiyah (KMI) menggelar acara


(54)

Fathul Kutub wa Bahsul Masail untuk seluruh siswa kelas kelas 6. Seluruh siswa kelas 6 diharuskan mengikuti Fathul Kutub ini dengan sungguh-sungguh. Fathul Kutub sendiri merupakan sistem belajar kelompok dengan cara menelaah kitab-kitab Fiqih yang dikarang para ulama terdahulu. Acara ini bertujuan memberikan pengenalan kepada siswa kelas 6 KMI berbagai macam kitab klasik yang dikenal lebih akrab di kalangan pondok salaf dengan sebutan kitab kuning di samping menambah wawasan ilmu keislaman dari kitab-kitab tersebut. Sehingga, para santri dapat mengetahui bagaimana tingkat keilmuan para ulama terdahulu. Dengan membaca kitab dan pemikiran para ulama terdahulu diaharapkan dalam diri santri ada semangat menghargai perbedaan dan pendapat orang lain.Selain itu, ada tujuan yang tidak kalah pentingnya dari pelaksanaan Fathul Kutub ini, yaitu mengasah kemampuan bahasa Arab siswa kelas 6 KMI.

4. Keteladanan kyai sebagai pembina nilai-nilai santri adalah kunci keberhasilan Pondok Pesantren Al-Ihsan dalam proses pendidikan dan pembentukan karakter santri khususnya dalam penanaman nilai-nilai ukhuwah islamiyah. Peranan ini berpengaruh besar terhadap perilaku santri sebagai calon ulama yang intelektual dan intelektual yang ulama. Melalui proses yang terus menerus setiap santri memiliki tanggung jawab terhadap ucapan dan tingkah lakunya. Mereka telah melaksanakan nilai ukhuwah islamiyah dan


(1)

keterputusan kurikulum dan proses pendidikan di pesantren tidak mencapai target sesuai dengan visi dan misi pesantren.

c. Adanya kemajuan teknologi informasi seperti internet. Ketika mereka izin keluar pondok pesantren santri mungkin saja akan membuka internet di warung-warung internet atau handphone yang ada fasilitas intrnetnya. Nilai-nilai yang diperoleh santri melalui intrnet dikhawatirkan akan menghambat intrnalisasi nilai-nilai keislaman khususnya masalah akhlak atau karakter. Bila mereka di luar pondok, maka pihak pesantren akan mengalami kesulitan dalam mengawasi mereka secara penuh. Kecuali bila mereka bermain internet di ruang komputer yang disediakan oleh pihak pesantren, maka hal tersebut masih dalam pengawasan pondok pesantren.

A. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti mengajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

1. Kepada orang tua diperlukan keikhlasan dan kepercayaan penuh dalam menyerahkan putra putrinya untuk dididik, dilatih dan dibina oleh pondok pesantren sesuai dengan program pendidikan yang diterapkan di pesantren. 2. Untuk lebih meyakinkan diri, orang tua perlu mencari informasi sebanyak

mungkin sebelum memasukkan putra putrinya ke lembaga pendidikan seperti pesantren, sehingga ketika proses pembinaan sedang berlangsung, tidak ada


(2)

penyesalan serta tidak menarik putra-putrinya untuk dipindahkan ke tempat lain.

3. Langkah setrategis membangun karakter nasional bangsa adalah melalui pendidikan. Hanya negara-negara yang memiliki karakter nasional kuat yang siap bersaing ditengah globalisasi. Pesantren sebagai salah satu khazanah kekayaan budaya dan pendidikan di Indonesia bisa dijadikan model dalam pendidikan karakter bangsa.

4. Pesantren sebagai tempat menuntut ilmu dipandang sangat strategis bila

memainkan peranan utama dalam mengembangkan da‟wah. Oleh karena itu,

landasan yang mungkin dapat digunakan pesantren dapat mengacu pada konsep-konsep pendidikan dan pembinaan yang komprehensif dan pengembangan masyarakat di sekitar pesantren, baik dari sisi budaya beribadah atau tradisi ber-muamalah yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan memaksimalkan aspek da‟wah dan ukhuwah islamiyah, pesantren diharapkan memiliki para santri yang memiliki kesadaran untuk turut terlibat

dalam pekerjaan da‟wah, sehingga antara pesantren dan lingkungan di

sekitarnya tidak memiliki jarak dalam hal nilai keislaman yang dikembangkan dalam budaya pesantren.

5. Pesantren sebagai lembaga pendidikan pengkaderan ulama harus tetap melekat pada pesantren, karena pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang melahirkan ulama. Namun demikian tuntutan modernisasi dan globalisasi mengharuskan ulama memiliki kemampuan lebih, kapasitas


(3)

intelektual yang memadai, wawasan, akses pengetahuan dan informasi yang cukup serta responsive terhadap perkembngan dan perubahan sehingga kurikulum pesantren harus dipadukan dengan kurikulum modern yang berbasis pendidikan nilai.

6. Hasil penelitian tentang internalisasi nilai ukhuwah islamiyah di lingkungan pesantren ini masih terbuka untuk ditindak lanjuti, sehingga dapat diperoleh dan dikembangkan temuan-temuan baru yang lebih kontekstual dan sempurna.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. C. (2009), Pokoknya Kualitatif, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Arikunto, S. (2003), Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta.

__________, (2006), Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta.

Azmi, Anwar. (2003), Ta’lim, Vol. 1 No. 1, Jurnal Kajian Pendidikan Agama, Bandung, Value Press

Bungin, B. (2001), Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

__________, (2003), Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Daulay, H.P. (2001), Historisitas dan Eksistensi Pesantren, sekolah dan Madrasah, Yogyakarta, Tiara Wacana

DEPAG RI. (1992), Al-Quran dan Terjemahnya, Bandung, Gema Risalah Press

__________(2001), Pola Pengembangan Pondok Pesantren, Proyek Peningkatan Pembinaan Pesantren, Jakarta, Binbaga Depag Pusat

__________(1982), Standarsiasi Pengajaran Agama di Pondok Pesantren, Proyek Pembinaan Pondok Pesantren, Jakarta, Binbaga Depag Pusat

Djaelni, AQ. (1994), Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu

Djahiri, Kosasih. (1996), Menelusuri Dunia Afeksi Pendidikan Nilai dan Moral, Bandung, Lab Pengajaran PMP IKIP Bandung

____________1995, Dasar-dasar Umum Metodologi dan Pengajaran Nilai Moral PVCT, Bandung, Lab. PMPKN FPIPS UPI Bandung


(5)

____________2007, Kapita Selecta Pembelajaran,Bandung. Lab. PMPKN FPIPS UPI Bandung Dhofier, Z. (1982), Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES Ensiklopedi Indonesia, (1989), Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve

Hasan, M. T. (2004), Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta: Lantabora Press. Khan, Y. (2010),Pendidikan Karakter Berbasis Potensi diri, Pelangi Publishing.

Koentjaraningrat, (1990), Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, Gramedia Margono, S. (2003), Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka

Cipta.

Madjid, Nurcholish. (1997), Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta, Paramadina

Moleong, Lexy. (2007), Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung, Remaja Rosdakarya

Muhaimin. (1996), Strategi Belajar Mengajar, Surabaya, CV Media,

Mulyana, Rahmat. (2004), Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta Musfiroh, (2008), Pendidikan Karakter, tersedia: http/www.adisucipto.

wordpress.com/2010

Phenix Philip, H. (1964), Realm of Meaning A Philosophy of The Curiculum for General

Education, New York: Mc. Grow-Hill Bool Company

Prayitno dan Amti,E. (2004), Dasar-dasar Bimbingan Konseling, Jakarta: Rineka Cipta.

Rahman, perpustakaan dan pendidikan multikulturalisme tersedia (http/www: yusufmaster.blog.friendster.com/

Rahardjo, M. D. (Eds.), (1997), Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional, Jakarta, Intermasa


(6)

Ruhudin, (2010), Pendidikan Karakter Merupakan Sebuah Kebutuhan dalam Prosiding Seminar Aktualisasi Pendidikan Karakter Bangsa, Bandung, Widya Aksara Press

Sadulloh, U. (2010), Pedagogik (Ilmu Mendidik), Bandung: Alfabeta. Sardiman, A. M. (2006), Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Sauri, S. dan Herlan.F. (2010), Meretas Pendidikan Nilai, Arfino Raya Shihab, Q. (2007), Wawasan Alqur’an, Bandung, Mizan

Soelaeman, Mi. (1998), Suatu Telaah Tentang Manusia-Religi-Pendidikan, Jakarta, Depdikbud PPLPTK

Sumaatmadja, Nursid. (2000), Manusia dalam Konteks Sosial dan Lingkungan Hidup, Bandung Alfabeta

Supriadi, Udin. (2005), Ta’lim, Vol. 3 No.1 Jurnal Kajian Pendidikan Agama, Bandung, Value Press

Undang-Undang Republik Indonesia tentang Guru dan Dosen, (2005).

Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional, (2003).

Universitas Pendidikan Indonesia, (2009), Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Bandung, UPI