INTERNALISASI NILAI-NILAI IBADAH SYAUM DI PONDOK PESANTREN : Studi Kasus Kesalehan Sosial di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta.

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... ... 17

C.Tujuan Penelitian ... ... 17

E. Manfaat Penelitian ... ... 18

F. Asumsi Penelitian .... ... 19

F. Metode Penelitian .... ... 20

G. Lokasi Penelitian .. ... 21

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG NILAI-NILAI IBADAH AUM ... 23

A. Makna dan Nilai-nilai yang Terkandung dalam ibadah aum . 23 B. aum dalam Perspektif Al-Quran ... 25

1. Ketentuan Pelaksanaan Ibadah aum ... 25

2. Tujuan Pelaksanaan Ibadah aum ... 30

3. Sejarah Singkat Perintah Pelaksanaan aum ... 43

4. Keistimewaan Ibadah aum ... 48

C. Relevansi Hikmah-hikmah Ibadah aum dengan Nilai-nilai Kehidupan Pribadi dan Masyarakat ... 52

1. aum dan Nilai Kepribadian ... 52

2. aum dan Nilai Kesabaran ... 59

3. aum dan Nilai Kejujuran ... 63

4. aum dan Nilai Kesehatan ... 65

D. Temuan Hasil Penelitian Terdahulu ... 71

BAB III METODE PENELITIAN ... 77

A. Lokasi dan Subyek Penelitian ... 77

B. Definisi Operasional ... 78

C. Instrumen Penelitian ... 80

D. Teknik Pengumpulan Data ... 82

E. Pedekatan yang Digunakan ... 84

F. Prosedur dan Tahapan Penelitian ... ... 85

BAB IV ANALISIS HASIL KAJIAN . ... 88

A. Data Penelitian ... 88

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 88

2. Keadaan Santri Pontren Al-Muhajirin Purwakarta ... 89

3. Keadaan Staf Pengajar Pontren Al-Muhajiri Purwakarta .... 91 vii


(2)

6. Kurikulum Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta ... 93

B. Sistem Pembelajaran di Pondok Pesantren Al-Muhajirin ... 96

1. Pembelajaran Sorogan ... 96

2. Pembelajaran balagan ... 97

3. Proses Pembelajaran Nilai-nilai Kesalehan Sosial di Pontren Al-Muhajirin Purwakara ... 98

4. Upaya yang Dilakukan Kyai dan Ustaż Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta dalam Menginternalisasikan Nilai-nilai Kesalehan Sosial. ... 106

C. Nilai-nilai Kesalehan Sosial ... 116

1. Kesalehan Sosial dalam Perspektif Al-Qur`an dan Al-Hadiś. ... 120

2. Kriteria Nilai Kesalehan Sosial. ... 121

3. Kesalehan Sosial dalam Perspektif Pendidikan Umum/Nilai 131 4. Nilai-nilai Kesalehan yang Terkandung dalam Ibadah aum ... .. ... 134

D. Strategi Pembelajaran Nilai-nilai Kesalehan Sosial. ... 155

1. Strategi Pembelajaran Nilai-nilai Kesalehan Sosial di Pondok Pesantren ... 157

2. Langkah-Langkah Srategi Pembelajaran Nilai-Nilai Kesalehan Sosial di Pondok Pesantren Berdasarkan Analisis SWOT ... ... 158

E. Metode Pembelajaran Nilai-nilai Kesalehan Individu dan Sosial yang terkandung dalam Ibadah aum... 166

F. Langkah-langkah Pembelajaran Nilai Kesalehan Sosial ... 186

G. Pembahasan ... ... 193

BAB V KESIMPULAN, DAN IMPLIKASI, REKOMENDASI ... 213

A. Kesimpulan ... ... 213

B. Implikasi Hasil Penelitian ... 221

C. Rekomendasi ... ... 224 DAFTAR RUJUKAN


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Dewasa ini, umat Islam mempunyai kecenderungan yang keliru dalam memaknai ibadah aum hanya sebatas melaksanakan kewajiban ritual saja. alat, zakat, haji atau umrah selalu dilaksanakan, akan tetapi perilaku kesehariannya belum mencerminkan seorang pribadi muslim yang utuh. Dahlan (2003: 8) mengungkapkan bahwa dalam kehidupan sekitar kita, terlihat fenomena orang yang kesalehan ritualnya sangat tinggi (rajin alat, aum wajib dan sunat, haji dan umrah berulang kali), akan tetapi membiarkan kemiskinan merajalela. Bahkan nampak jelas bahwa orang itu seakan-akan mati rasa terhadap penderitaan orang di sekelilingnya.

Di Indonesia tidak sedikit orang yang hidup mewah dengan berelimpah harta dan berpoya ria, akan tetapi tidak sedikit pula orang yang tidak memiliki kepedulian terhadap kehidupan sesama, seakan nuraninya tertutup dengan berbagai kesibukan dunia. Persetruan antarpetinggi bangsa yang menyoal pengembalian uang rapel, dana talangan bank century, koruptor yang tidak dapat disentuh hukum, oknum hakim dan jaksa yang yang menjadi makelar kasus, pencurian kayu dan perusakan kekayaan alam yang tidak ada hentinya, demontrasi dengan perusakan sarana yang ada, perkelahian antarmahasiswa, maraknya


(4)

anak-anak usia sekolah yang menjadi pengemis jalanan, sampai pada rebutan beras murah (raskin), merupakan pemandangan keseharian dan sekaligus menambah sempurnanya kemiskinan moral bangsa yang mayoritas berpenduduk muslim. Ini tentu saja bukan tanpa sebab, dan sebab utamanya adalah kemiskinan nilai keyakinan terhadap Sang Pencipta, Allah Rabbul `Izzah sehingga aktivitas hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak lagi bernilai ibadah.

Sebenarnya, respons ajaran Islam atas kesalehan sosial ini terlihat pada penentuan zakat setelah melaksanakan ibadah aum Ramaďan sebagai rukun Islam yang sejatinya dipegang teguh, diyakini, dan dilaksanakan oleh setiap muslim. Jika ibadah alat merupakan ibadah yang bersifat individual sebagai wujud keta`atan terhadap Allah SWT. yang nampak dalam gerak dan ucap, maka ibadah aum merupakan wujud keta`atan kepada Allah SWT. yang pelaksananya tidak dapat dilihat kasat mata. (HQR. Bukhari dan Muslim).

Di dalam aum, terkandung nilai strategis yang dapat mengembalikan mentalitas manusia agar memiliki sikap kasih sayang, empati, sabar, jujur, dermawan, dan senang menolong sesama. Terutama dalam menata kehidupan yang tidak berlebihan, serta mampu menebar sikap kesederhanaan, menahan hawa nafsu, dan senang memberi ma`af kepada. Tindakan kesalehan sosial dimaksud diasumsikan dengan wujud nyata adanya sikap kepedulian sosial yang dilakukan untuk membantu


(5)

kaum yang lemah atas dasar sistem keyakinan terhadap nilai-nilai yang dianutnya; Al-Islam.

Al-Jarjawi (1961: 201) mengungkapkan bahwa aum bukan hanya sekedar menahan makan, minum dan senggama di siang hari. Akan tetapi juga menahan diri dari berbagai perbuatan tercela, dan atau perkataan yang merusak aum itu sendiri. Di dalam hadiś riwayat Imam Jabir, Rasulullah SAW. bersabda bahwa nilai ibadah aum akan rusak dengan lima perilaku, yakni: 1) berkata dusta, 2) menceritakan kebusukan orang lain, 3) mengadudomba, 4) bersumpah palsu, dan 5) memandang lain jenis dengan syawat. Oleh karenanya, aum identik dengan prisai diri agar berperilaku tidak menyimpang dari ketentuan Allah SWT. dan rasulNya.

Apabila diteliti kembali, ternyata ibadah aum memiliki korelasi positif dengan ibadah-ibadah lain dalam ajaran Islam, seperti alat, zakat, dan sedekah yaitu selalu dibarengi dengan dimensi konsekuensial, atau ikutan. Dalam kajian Madjid N. (2001:129) diungkapkan bahwa perintah menjalankan ibadah alat selalu diiringi dengan perintah berzakat (zakat harta). Ini dapat ditemukan dari ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan mendirikan alat dengan pengeluaran zakat, di antaranya, “Dirikanlah olehmu alat, dan tunaikanlah (olehmu) zakat, dan ruku`lah kamu beserta orang-orang yang ruku” (QS. Al-Baqarah/2: 43) atau dalam QS. Al-Haj/22: 78, QS. Yunus/10: 87, dan An-Nūr/24: 56.


(6)

Selanjutnya, Madjid N. (2001:130) mengungkapkan:

...Dalam menjalankan praktik ibadah aum, kita dianjurkan mengeluarkan zakat fitrah yang tujuannya adalah pembuktian keimanan kita. Dalam praktik ibadah alat, kita disuruh menyertainya dengan mengeluarkan zakat. Kalau dalam ibadah

aum kita mengeluarkan zakat fitrah sebagai perwujudan nilai kemanusiaan, dimensi horizontal, maka dalam alat-pun disimbolisasikan dengan salam pada akhir alat. Itulah sebabnya, ada yang beranggapan bahwa nilai ibadah aum dianggap tidak sah apabila tidak disertai mengeluarkan zakat fitrah, dengan menganalogikan salam pada alat. Di dalam alat, seseorang dinilai tidak sah apabila tidak mengucapakan (menutupnya dengan) salam. Baik ibadah aum maupun alat sebagai perwujudan keimanan dan ketaqwaan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk lahiriyahnya amal saleh atau kepedulian sosial, dengan sendirinya terdapat paralelisme antara iman, taqwa, dan amal saleh atau lebih populernya kesalehan sosial. Zakat harta, ataupun zakat fitrah pada dasarnya merupakan simbolisasi pemadatan nilai keimanan yang tidak kasat mata. Adapun ide dasar yang terkandung di dalam keduanya adalah pensucian diri dengan menunjukkan komitmen kesalehan sosial.

Shihab (1997: 532) berpendapat bahwa pada pelaksanaan ibadah aum, tahap awal dan minimal manusia berupaya untuk mencontoh sifat-sifat Allah SWT.---Tidak makan dan tidak minum, akan tetapi memberi makan dan minum kepada orang lain (ketika berbuka aum), dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangannya ada. Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga perilaku itu, akan tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk Allah. Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lainnya. Upaya peneladanan dimaksud dapat mengantarkan manusia untuk


(7)

menghadirkan Allah dalam kesadarannya, dan apabila berhasil dilakukan, maka nilai ketaqwaan sebagaimana diungkap dalam QS. Al-Baqarah/2: 183 dapat pula dicapai.

Kalimat “La`allakum Tattaqūn” yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah/2: 183 mengandung pesan moral bahwa hanya dengan bertaqwalah manusia dapat hidup bahagia di dunia, terutama di akhirat kelak. Al- ugair (2006: 29) mengungkapkan bahwa ketaqwaan merupakan: a) sarana untuk memudahkan persoalan yang dihadapi oleh pribadi dan masyarakat (QS. Al- alaq/65: 44; QS. Al-Lail/92: 5-7), b) kunci untuk membuka pintu berbagai macam berkah dari langit dan bumi, serta kunci untuk mendapat rizki dan harta yang berlimpah (QS. Al-`Araf/ 07: 96; QS Al- alaq/65: 2 dan 3; QS. Al-Anfāl/8: 29; dan QS. Al-Hadid/57; 28), c) salah satu faktor efektif untuk menghilangkan rasa takut dari konspirasi musuh dan acaman orang-orang kafir (QS Al-`Imrān/03: 120), d) sarana untuk mendapatkan wilayah (pertolongan) dari Allah SWT. (QS. Al-Anfāl/08: 34), e) sarana untuk mendapatkan ilmu pegetahuan yang bermanfa`at dan meraih berkah darinya (QS. Al-Baqarah/02: 28), f) jalan untuk menggapai rahmat Allah di dunia dan akhirat (QS. Al-`Araf/07: 156), g) orang bertaqwa akan menerima khabar gembira dan mendapatkan ketenangan selama hidup di dunia, baik melalui mimpi dan ataupun karena disukai, disanjung, dan dido`akan oleh banyak orang (QS.Yunus/ 10: 63). Sedangkan pengaruh positif dari perbuatan taqwa itu sendiri, akan mendapatkan: a) kemenangan dan keberuntungan, b) selamat dari


(8)

ażab Allah, c) diterima seluruh amal kebajikannya, d) diampuni segala kesalahannya, e) ditempatkan pada derajat yang paling tinggi, serta f) pahala dan kebaikannya dilipatgandakan. (QS. Al-Nur/24: 52).

Dari ungkapan di atas, didapat pemahaman bahwa sifat-sifat yang paling menonjol dari perbuatan taqwa setelah melaksanakan aum adalah: a) beriman kepada Allah SWT. dengan tidak menyekutukanNya, b) menjalankan ibadah yang didasarkan hanya karena Allah SWT. semata, c) memberikan konstribusi dalam berbagai lapangan kebaikan, d) memiliki akhlak mulia sehingga mencapai kemampuan mengontrol emosi dan mengekang hawa nafsu sehingga tidak mudah marah, e) senang mema`afkan dan menyikapi kesalahan orang lain dengan cara yang baik, f) senang bertaubat, beristighfar, dan kembali kepada Allah SWT. di sa`at melakukan kesalahan atau terjerumus ke dalam perbuatan maksiat di saat lalai atau dikala jiwanya lemah, dan g) bersegera dalam menyambut dan memenuhi seruan-seruan Allah SWT., sehingga hatinya senantiasa sigap dalam melaksanakan seruan dimaksud (QS. Al-`Imrān/03: 134 -136).

Dahlan (2000: 57) mengungkapkan bahwa ibadah aum dapat melenturkan kalbu dan mendidik nafsu agar tidak menguasai dirinya. Melakukan sesuatu bukan atas dasar syahwat. Dididiknya kita untuk mampu menahan diri, bukan sekedar menahan dari makan dan minum. Kita ditunjuki untuk mampu mencari momen-momen yang memungkinkan hubungan kita dekat dengan Allah SWT. Oleh karena itu, kita memanfa`atkan betul Ramaďan itu untuk melatih diri, sehingga


(9)

benar-benar tercapai aum yang hakiki. Pada bagian lain, beliau (2000: 60) mengajak: ”Mari kita jadikan Ramaďan ini sebagai periode berbenah diri dalam mencapai derajat taqwa kepada Allah SWT. Kita berbenah diri mulai dari tauhid, jangan sampai tersimpan syirik, menyekutukan Allah SWT. jangan percaya akan adanya tenaga dan kekuatan yang menandingi kekuatan Allah SWT.”.

Sifat-sifat manusia bertaqwa sebagaimana diungkap di atas merupakan gambaran kehidupan yang mengandung makna, yaitu nilai kesalehan sosial yang diaktualisasikan melalui sikap sabar, jujur, kasih sayang, kedermawanan, kebersamaan, empati, senang meminta ma`af dan mema`afkan kekhilapan orang lain, sehingga terwujudlah kehidupan yang serasi, rukun dan damai, tidak saling menyakiti, dan inilah kehidupan yang menjadi sasaran dalam Pendidikan Umum, yaitu manusia yang berkepribadian utuh.

Ibadah aum mengandung makna pelatihan diri agar menjadi manusia yang memiliki sikap tanggung jawab yang diimplementasikan melalui sikap empati, kepekaan sosial, kasih sayang, kebersamaan, dan tidak kikir, tidak takabbur, dan tidak serakah, serta membersihkan harta agar tidak terkontaminasi harta yang haram. Melalui ibadah aum, manusia dapat sejahtera lahir dan bathin. Lahiriyahnya, manusia akan terbebas dari rasa lapar dan haus, karena hidup saling menyayangi di antara sesama, sedangkan secara batiniyah, manusia akan memiliki rasa tanggung jawab sosial, bersikap amanah, dermawan, kasih sayang, dan


(10)

rasa syukur, serta terhindar dari sifat-sifat tercela seperti takabbur, zalim, riya, kikir atau lebih jauhnya kufur nikmat.

Ramaďan merupakan bulan pendidikan untuk melahirkan kembali ruh kebersamaan, menumbuhkan jiwa kasih sayang, dan rasa empati terhadap sesama sebagai wujud kesalehan sosial. Output seorang muslim yang beribadah aum sebulan Ramaďan adalah lahirnya kembali sebagai manusia bertaqwa (QS. Al-Baqarah/2: 183), manusia yang kembali kepada fitrahnya, seakan tanpa noda sedikitpun. Ramaďan merupakan bulan motivasi untuk bersaing dalam melakukan berbagai kebajikan, kedermawanan, dan berbuat ihsan. Ramaďan merupakan bulan kepedulian dan kepekaan sosial dalam memenuhi kebutuhan orang-orang yang tidak mampu.

Tidak ada bulan yang penuh dengan rahmat, dan bekah kecuali bulan Ramaďan. Pada bulan Ramaďan, orang islam berduyun-duyun untuk berbuat sosial dengan menginfaqkan hartanya baik berbentuk zakat, infaq, dan ataupun sadaqah lainya. Ramaďan merupakan bulan kasih sayang.

Alwasilah (Harian Pikiran Rakyat, Edisi Rabu, 27 September 2006) mengungkapkan bahwa rasa lapar dan haus yang disengaja selama melakukan ibadah aum di siang hari merupakan media pendidikan untuk membangun rasa empati terhadap sesama yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Dalam setiap masyarakat selalu ada kelompok yang kurang beruntung seperti orang fakir dan miskin, dan


(11)

ataupun yatim piatu. Bagi mereka “boro-boro” pendidikan tinggi, rumah mewah, atau kendaraan pribadi, makan-pun mungkin hanya satu kali dalam sehari. Ibadah aum mengomando kaum ilmuan Muslim untuk sigap mencermati krisis sosial dan bertanggung jawab sosial. Bahwa kepakaran dan profesionalisme itu seyogianya dimanfa`atkan demi kesejahteraan ummat manusia.

Di antara tripusat pendidikan, lembaga pondok pesantren marupakan lingkungan kedua setelah keluarga yang cukup berperan di dalam mewarnai perilaku peserta didik. Lembaga pondok pesantren seyogianya menjadi lembaga pendidikan yang mampu menjamah aspek pembudayaan spiritual, penguasaan pengetahuan dan pemilikan keterampilan peserta didik, sehingga lulusannya dapat memiliki jati diri bangsa secara utuh.

Sadulloh U. (2004: 64) mengungkapkan bahwa dalam kehidupan modern seperti sekarang, pondok pesantren merupakan suatu keharusan, karena tuntutan-tuntutan yang diperlukan bagi perkembangan anak tidak memungkinkan didapat di rumah. Materi yang diberikan di pondok pesantren berhubungan langsung dengan perkembangan pribadi anak, berisikan nilai, moral, dan agama, berhubungan langsung dengan pengembangan sains dan teknologi, serta pengembangan kecakapan-kecakapan tertentu yang langsung dapat dirasakan dalam pengisian tenaga kerja.


(12)

Sauri S. (2006: 44) mengungkapkan bahwa pondok pesantren merupakan institusi pendidikan. Pendidikan pondok pesantren adalah proses pembelajaran atau proses komunikasi edukatif antara guru dan murid. Dilihat dari pandangan sosial, pondok pesantren merupakan institusi sosial yang tidak berdiri sendiri. Sebagai institusi sosial, pondok pesantren memiliki peranan dan fungsi tersendiri. Pondok pesantren berperan membimbing dan mengarahkan para santri untuk mengenal, memahami, dan mengaktualisasikan pola hidup yang berlaku dalam masyarakat. Orang-orang yang baik di tengah masyarakat merupakan figur yang diidolakan untuk dicontoh.--- Nilai moral dan etika kesopanan menjadi acuan untuk dapat dilakukan santri baik dalam bentuk ucapan, maupun perbuatan. Dengan demikian, pondok pesantren pada hakikatnya merupakan institusi yang mewariskan dan melestarikan nilai-nilai moral yang dipegang teguh oleh masyarakatnya.

Peranan pondok pesantren tidak hanya sebatas pewarisan dan pelestarian ilmu pengetahuan, akan tetapi juga sebagai lokomotif pembaharuan masyarakat atau agen pembaharuan, karena pondok pesantren merupakan lembaga pembinaan manusia yang akan mengisi masa depan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, proses pembelajaran di pondok pesantren tidak berhenti pada penyampaian materi kurikulum saja, akan tetapi pada pengembangan dan reproduksi budaya dan kebiasaan baru yang lebih unggul.


(13)

Lembaga pondok pesantren seyogianya menjadi lembaga pelatihan bagi santri dalam kehidupan nyata. Pendidikan di pondok pesantren sejatinya secara seimbang dan serasi menjamah aspek spiritual, budaya, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keterampilan para santri. Alteranatif yang mungkin dilakukan sesuai dengan situasi kondisi pondok pesantren, antara lain dengan pembelajaran yang mendidik, yaitu pembelajaran yang secara terintegrasi menyentuh dunia afeksi, tidak sekedar penyampaian materi pelajaran.

Mudjito (2007: 25) mengungkapkan bahwa pembentukan perilaku santri dapat dilakukan secara maksimal dalam kultur pondok pesantren yang kondusif. Oleh karena itu, kyai sebagai pimpinan pondok pesantren sejatinya mampu menciptakan kultur pondok pesantren benar-benar kondusif bagi penanaman dan tumbuh kembangnya nilai, karakter, kepribadian serta kecakapan hidup para santrinya.---Kultur pondok pesantren yang kondusif yaitu iklim terbuka (open climate), budaya positif (positive culture), suasana batin yang menyenangkan (enjoy spiritual atmosphere); kultur yang mampu memberikan pengalaman yang baik bagi pertumbuhan para santri secara utuh (kognitif, afektif dan psikomotor) sesuai dengan nilai, karakter, kepribadian serta kecakapan hidup yang diharapkan.

Suharno (PR, Edisi Jum`at, 17 Juli 2009) mengungkapkan bahwa salah satu keistimewaan pendidikan sistem pondok pesantren adalah sistem boarding school atau sistem asrama. Dengan sistem boarding


(14)

school ini, para santri sepanjang hari dan malam berada dalam legkungan belajar. Mereka bergaul bersama santri yang lain dan para ustaż dan kyai mereka. Para kyai da atau ustaż dapat memantau dan mengarahkan setiap perilaku santri sepanjang hari. Di samping itu, dengan bergaul sepanjang waktu, memungkinkan bagi santri untuk mencontoh perilaku dan cara hidup Kyai. Sebab mencontoh merupakan salah satu cara belajar yang paing efektif dari pada sekedar belajar secara kognitif. Dengan model pendidikan ala pondok pesantren, ketiga aspek ranah pendidikan, yaitu ranah kognitif, afektif, dan ranah psikomotor akan sangat mudah diimplementasikan.

Dalam kehidupan asrama, para santri mendapatkan pembelajaran dan pengalaman hidup. Kyai, dan para ustaż hidup berdampingan dengan para santri di lingkungan pondok pesantren untuk sebanyak-banaknya memberikan pengaruh yang baik agar budaya hidup. Pola pendidikan sistem pesantren (boarding school) ini memungkinkan untuk terbentuknya karakter santri sebagai peserta didik.

Lebih lanjut, Suharno (PR, Edisi Jum`at, 17 Juli 2009) mengungkapkan bahwa memilih pondok pesantren, bukan merupakan keputusan yang mudah bagi orang tua. Sedikitnya ada empat hal yang sejatinya dipersiapkan selain biaya pendidikan. Pertama, perlu adaptasi dengan lingkungan. Sebab yang biasanya anak bergaul hanya dengan teman sebaya dalam wilayah tertentu, kemudian harus bergaul dengan teman secara lebih luas dan kompleks. Komunitas pondok pesantren berasal dari berbagai daerah dan berbagai karakter. Kedua, perlu kesiapan mental baik dari didri si anak dan ataupun orang tua. Sebab secara fisik mereka akan berpisah dalam waktu tertentu. Ketiga, perlu kesabaran. Dengan kesabaran yang matang, anak akan mampu menangulangi berbagai permasalahan yang dihadapinya, dan keempat, yang tidak kalah pentingnya, adalah iringan do`an dari


(15)

orang tua, teutama do`a di sepertiga malam. Rasulullah bersabda,”Ada tiga macam do`a yang tidak diragukan lagi, pasti diterima, yaitu do`a orang yang teraniaya, do`a seorang musafir, dan do`a orang tua kepada anaknya” (HR. Tabrani).

Dalam sistem pembelajaran sorogan, dimungkinkan santri dapat meneladani kyai di dalam kehidupan sehari-hari. Santri dapat melihat secara langsung perilaku kyai ketika berhadapan dengan dirinya, santri dapat mengdengar tutur kata kyai melalui tausiahnya. Ini merupakan langkah awal bagi santri dalam mengainternalisasi nilai-nilai kehidupan yang sejatinya dilakukan santri (Dhofier, 1985: 28). Oleh karenanya, pondok pesantren merupakan salah satu lembaga yang berfungsi sebagai pembudayaan nilai-nilai kehidupan.

Bagan di bawah ini memberikan tambahan penjelasan tentang fungsi pondok pesantren sebagai lembaga pelestarian dan pembudayaan nilai.

(Bagan; Fungsi Pondok Pesantren dalam Pembudayaan Nilai-nilai Kesalehan Sosial, Mudjito, 2007: 17).

Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan non formal yang berupaya mendidik para santri agar memiliki kecakapan spiritual


(16)

yang dijadikan landasan untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma agama, serta memiliki kesadaran mendalam atas segala konsekuensi dari semua perilaku, baik yang berhubungan dengan harapan dirinya sendiri dan ataupun harapan masyarakat luas terutama yang berkaitan dengan norma-norma kehidupan di lingkungan tempat dirinya mengamalkan ilmu. (Dhofier, 1985:18).

Dalam tatanan kehidupan di pondok pesantren, seorang kyai merupakan figur anutan bagi setiap santri. Perilaku dan tutur kata kyai dipandang sebagai landasan kokoh dalam berberilaku dan bertutur kata para santri.

Pondok pesantren Al-Muhajirin yang didirikan pada tahun 1993 merupakan salah satu pondok pesantren di Kabupaten Purwakarta yang pada tahun ajaran 2008-2010 memiliki santri sebanyak 854 orang, terdiri dari 354 orang santri laki-laki, dan 500 orang santri perempuan yang berasal dari wilayah IV, dan ada pula dari Tasikmalaya, Sumedang, dan Bogor. (Wawancara dengan KH. Marfu Ilyas, Alumni dan Staf Pengajar Ponpoes Al-Muhajirin, 11 Januari 2009).

Dengan misi “Mencetak Mukmin Al-Salihin, Imam Al-Muttaqin, dan `Ulama Al-Amilin” dan semboyan, ”Berfikir dinamis, berakhlak salaf, serta beraqidah Ahlu Al-Sunnah wa Al-Jama`ah”, pondok pesantren Al-Muajirin secara dinamis berkembang menuju pesantren yang unggul dan semakin dikenal masyarakat khususnya di Wilayah IV Jawa Barat.


(17)

Sebagaimana pondok-pondok pesantren lainnya, di pondok pesantren Al-Muhajirin diterapkan sistem asrama atau boarding school. Para santri sebagai pembelajar mengikuti kegiatan pendidikan keagamaan dari pagi hingga sore dan malam hari. Selama 24 jam, para santri berada di bawah bimbingan dan pengawasan kyai.

Di ligkungan pondok pesantren Al-Muhajirin, para santri dipacu untuk menguasai ilmu-ilmu agama secara intensif. Sementara di asrama, mereka diterpa untuk menerapkan ajaran agama serta mengekspresikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan kyai atau para ustaż. Dari segi sosial, boarding school mengisolasi peserta didik dari lingkungan sosial yang heterogen. Sedangkan dari segi semangat agama, pondok pesantren menjajikan pendidikan yang seimbang antar kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual, emosional, dan spiritual.

Adapun yang menjadi fokus masalah dalam kajian ini adalah “Apa sebabnya Nilai-nilai kesalehan sosial yang terkandung dalam ibadah aum belum mempribadi pada setiap orang yang aum”. Setiap bulan Ramaďan tiba, umat Islam ramai-ramai melaksanakan aum, akan tetapi makna aumnya sendiri belum mempribadi; tidak menjadikan dirinya sebagai hamba yang benar-benar bertaqwa (QS. Al-Baqarah/2: 183). Tatanan kehidupan yang dialami orang yang aum belum mencerminkan pribadi muslim yang memiliki nilai-nilai kesalehan sosial yang mampu menebar sikap empati, kasih sayang, amanah, sabar, pemaaf, dermawan,


(18)

senang menolong sesama, serta menata kehidupan yang tidak berlebihan.

Ketimpangan sosial di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat semakin hari semakin mengerikan. Para petinggi negeri tidak lagi merasa malu berebut uang rakyat yang dikumpulkan melalui pajak. Para demonstran tidak tidak lagi merasa resah apabila merusak fasilitas yang dibangun dengan uang pajak dirinya. Orang tidak lagi merasa gerah dan gelisah, apabila menyaksikan sesamanya yang tidak layak hidup sebagai manusia. Tidak lagi merasa risih, apabila diri dengan mudah mendapatkan dan sekaligus membuang jutaan dan bahkan miliyaran rupiah hanya untuk sekedar pesta perkawinan anak, sementara di sekililingnya, masih terdapat orang yang bergelut dengan kemiskinan. Secara rutinitas, ibadah alat, zakat, aum, dan haji dilaksanakan, sementara dalam menata kehidupan diri masih penuh dengan ketidakjujuran, ketidakadilan, dan tidak memiliki sikap kepekaan sosial terhadap sesama.

Dengan aum yang benar ( aum yang tidak hanya sekedar melaksanakan kewajiban), manusia dapat membentuk pola hidup bermasyarakat yang santun di dalam ucapan dan perilakunya, sehingga tatanan kehidupannya dihiasi dengan rasa tenang dan damai. Ketenangan dan kedamaian dalam bentuk lahiriyah, terbebas dari sifat-sifat tercela seperti takabbur, iri hati, riya, pelit, serakah, dan diganti dengan sifat-sifat terpuji, seperti sikap sabar, amanah, jujur, disiplin, kebersamaan, dermawan, ramah, santun, kasih sayang, empati, dan memiliki sikap


(19)

kepedulian sosial yang tinggi. Sedangkan kedamaian dalam bentuk batiniyah, manusia akan merasa aman di sisi Allah SWT.

B. Rumusan Masalah.

Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Makna dan nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam ibadah aum, sehingga aum dipandang sebagai ibadah yang privat?

2. Bagaimana proses pembelajaran nilai-nilai kesalehan sosial yang dilakukan oleh Kyai di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta? 3. Upaya apa saja yang dilakukan Kyai Pondok Pesantren Al-Muhajirin

Purwakarta agar nilai kesalehan sosial dapat diinternalisasi para santrinya?

4. Faktor-faktor apa saja yang dapat mendukung dan menghambat dalam proses internalisasi nilai-nilai kesalehan sosial di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta?.

C. Tujuan Penelitian.

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui tentang strategi pembelajaran nilai-nilai kesalehan sosial yang terkandung dalam ibadah aum di Pondok Pessantren Al-Muhajirin Purwakarta. Untuk mendapat jawabannya, perlu diungkap tentang:

1. Makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah aum, sehingga aum dipandang sebagai ibadah yang privat.


(20)

2. Proses pembelajaran nilai-nilai kesalehan sosial yang dilakukan oleh kyai dan ustaż di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta.

3. Upaya yang dilakukan kyai dan ustaż Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta dalam menginternalisasikan nilai-nilai kesalehan sosial. 4. Faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam proses internalisasi

nilai-nilai kesalehan sosial di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta.

D. Manfa`at Penelitian.

Ada dua manfa`at yang didapat dari penelitian ini, yaitu: 1. Dari sudut teoretis.

Secara teoretis, hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfa`at bagi kalangan akademisi sebagai motivator dalam pengkajian nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ibadah mahzah, di antaranya nilai pendidikan dalam ibadah alat, zakat, haji, dan bentuk ibadah lainnya.

2. Dari sudut praktis.

Sedangkan secara praktisnya, kajian ini bermanfa`at sebagai:

a. Motivator bagi para pendidik baik orang tua di rumah, guru di sekolah, kyai dan ustaż di pondok pesantren dan Majlis Taklim, serta para tokoh masyarakat di lingkungan masing-masing dalam penanaman nilai kesalehan sosial.

b. Sebagai konstribusi bagi para pendidik baik informal, formal dan ataupun nonformal, sehingga dalam pembelajaran nilai-nilai kesalehan


(21)

sosial tidak sekedar menyuruh dan melarang, akan tetapi dibelajarkan melalui pembiasaan, suri tauladan, dan pembudayaan dari orang tua sendiri, guru di sekolah, kyai dan ustaż di pondok pesantren dan majlis taklim, serta para tokoh masyarakat di lingkungan masing-masing, sehingga peserta didik dapat meniru, memahami, dan meneladani nilai-nilai kehidupan yang ditampilkan orang tua, guru, kyai dan ustaż, yang pada gilirannya peserta didik dapat tampil sebagai hamba yang saleh sesuai dengan ketentuan Allah dan rasulNya.

E. Asumsi Penelitian.

1. aum merupakan wahana pengendalian diri dari ketergantungan hidup terhadap kebendaan. aum dapat menumbuhkan sikap tawakkal, dan sabar dalam menata kehidupan. Orang yang aum akan menyadari betul bahwa dunia bukan tujuan hidupnya, akan tetapi dipandang sebagai alat pengabdian diri kepada Sang Pencipta.

2. aum dapat menumbuhkan sikap kesalehan sosial terutama dalam menata kehidupan yang tidak berlebihan, dan mampu menebar sikap kesederhanaan, sehingga waktu demi waktu hanya diisi dengan perilaku yang dapat bermanfa`at bagi kehidupan sesama.

3. Dengan aum yang benar, manusia dapat membentuk pola hidup bermasyarakat yang santun dalam ucapan dan perilakunya, sehingga hidupnya tenang dan damai. Ketenangan dan kedamaian dalam bentuk lahiriyah, manusia akan terbebas dari sifat-sifat tercela seperti takabbur, riya, pelit, serakah, dan diganti dengan sifat-sifat terpuji,


(22)

seperti sikap sabar, amanah, jujur, disiplin, kebersamaan, dermawan, ramah, santun, kasih sayang, empati, dan memiliki sikap kepedulian sosial yang tinggi, sehingga kesenjangan sosial yang terjadi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat akan musnah, paling tidak berkurang. Sedangkan kedamaian dalam bentuk batiniyah, manusia akan merasa aman di sisi Allah SWT..

4. Untuk menginternalisasi nilai-nilai aum, diperlukan kerja sama antara orang tua di rumah, para kepala sekolah, staf guru, pesuruh dan para pedagang yang ada di lingkungan kampus, kyai dan ustaż di pondok pesantren dan majlis taklim, serta para tokoh masyarakat di lingkungannya sendiri untuk menjadikan dirinya sebagai suri tauladan.

F. Metode Penelitian.

Masalah dalam kajian ini bekaitan dengan berbagai aspek yang memerlukan kajian mendalam. Oleh karenanya, metode yang dipandang relevan adalah analisis deskriptif, sebab sifat data yang dikumpulkan bersifat kualitatif, dan tidak menggunakan alat ukur (Nasution, 1988: 18). Sedangkan pendekatannya bersifat kualitatif naturalistik, karena lapangan penelitiannya bersifat wajar (natural); apa adanya; tanpa dimanipulasi; tidak diatur dengan eksperimen, dan ataupun test.

Sudjana D. (2003: 8) mengungkapkan bahwa pendekatan kualitatif bukan mengutamakan kuantifikasi, akan tetapi menggunakan pendekatan konstruktivis, naturalistik, interpretatif, atau post-positivist post dengan


(23)

penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empirik.

G. Lokasi dan Subyek Penelitian. 1. Lokasi Penelitian.

Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta, dengan pertimbangan bahwa: a) pondok pesantren Al-Muhajirin Purwkarta memiliki visi yang jelas, yaitu melaksanakan pendidikan ke arah terwujudnya komunitas umat yang saleh, cerdas, terampil, dan mandiri, b) pembinaan akhlak dilakukan melalui suri tauladan kyai, para ustaż, staf tata usaha, dan penjaga kantin di lingkungan pondok pesantren, dan c) pembudayaan nilai-nilai kesalehan sosial dilakukan dalam rangka peningkatan disiplin dan pembinaan akhlak mulia, sebab pembinaan akhlak mulia merupakan bagian yang sangat menonjol dalam mengevaluasi para santri.

2. Subyek Penelitian.

Yang dijadikan subyek dalam penelitian ini adalah perilaku kesalehan sosial para santri pondok pesantren Al-Muhajirin Purwakarta. Pemilihan ini sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, terutama upaya KH. Abun Bunyamin, MA. dalam menginternalisasikan nilai-nilai kesalehan sosial kepada para para santrinya sesuai dengan norma-norma agama. Adapun santri yang mondok di pesantren Al-Muhajirin pada tahun ajaran 2008-2009, berjumlah 854 orang, terdiri dari


(24)

354 laki-laki, dan 500 perempuan. (Dokumen Pontren Al-muhajirin Purwakarta Tahun Ajaran 2008-2009).

Nasution (1988: 11) mengungkapkan bahwa pada penelitian naturalistik biasanya sampelnya sedikit dan dipilih menurut tujuan penelitian, berupa kasus atau multi kasus. Sedangkan Moleong (1997: 114) menegaskan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat memalui catatan tertulis atau melalui perekaman vidio atau oudo tapes, pengambilam foto, atau film.

Selanjutnya, Moleong (1997: 112) mengugkapkan bahwa pencatatan sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan berperanserta merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya. --- Jika si peneliti menjadi pengamat berperan serta pada suatu latar penelitian tertentu, maka kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya akan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bergantung pada suasana dan keadaan yang dihadapi. Pada dasarnya, ketiga kegiatan tersebut merupakan kegiatan biasa yang dilakukan oleh semua orang. Namun, pada penelitian kualitatif, kegiatan-kegiatan itu dilakukan secara sadar, terarah, dan senantiasa bertujuan memperoleh suatu informasi yang diperlukan.


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi, dan Subyek Penelitian.

Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Al-Muhajirin yang berlokasi di Jalan Veteran Nomor 155 Kebonkolot, Kelurahan Nagrikaler, Kecamatan dan Kabupaten Purwakarta. Semenjak berdirinya di tahun 1983 sampai 2009, para santri yang (pernah) mondok di pesantren ini sebanyan 854 orang, terdiri dari 354 orang santri laki-laki, dan 500 orang santri perempuan (Dokumen Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Tahun Ajaran 2009-2009). Adapun yang menjadi subyek penelirian dalam kajian ini adalah upaya yang dilakukan KH. Abun Bunyamin, MA. dalam menginternalisasikan nilai-nilai kesalehan sosial kepada para santrinya.

Misi yang dikedepankan pesantren Al-Muhajirin adalah “Mencetak mukmin salihin, imam Al-Muttaqin, dan `Ulama Al-Amilin”, dengan motto, “Berzikir dinamis, berakhlak salaf, beraqidah Ahlu Sunnah wa Al-Jama`ah”.

Sebaran bahan ajar yang diberikan di Pondok Pesantren Al-Muhajirin meliputi: a) fiqh dan u ul fiqh , b) tauhid, c) nahwu, d) araf, e) hadiś dan mus alah Al-Hadiś, f) balagah, g) mantiq, dan h) akhlak. Adapun yang dijadikan subyek penelitiannya adalah dua orang santri yang sekarang menjadi pengajar dan sekaligus mantu kyai.


(26)

3. Keadaan Santri.

Keadaan santri yang menimba ilmu di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta pada awal berdirinya (tahun 1983) hanya berjumlah 26 orang yang berasal dari wilayah setempat. Seiring dengan perkembangannya, pada tahun ajaran 2008-2009 jumlah santri yang mondok bertambah pesat, yaitu sebanyak 854 orang, terdiri dari 354 orang berjenis kelamin laki-laki (47,70%), dan 500 orang perempuan (52,30%). Lebih jelasnya dapat disimak pada tabel berikut ini.

Tabel 3.1

KEADAAN SANTRI AL-MUHAJIRIN PURWAKARTA DILIHAT DARI SUDUT USIA TAHUN PELAJARAN 2008-2009 No. Usia Laki-laki Perempuan Jumlah

01. 12 - 15 tahun 21 123 144

02. 16 - 19 tahun 198 288 486

03. 20 - 23 tahun 122 87 209

04. 24 – 27 tahun 11 2 13

05. 28 tahun ≥ 2 - 2

Jumlah 354 500 854

(Dokumen Pondok Pesantren Al-Muhajiri Purwakarta tahun 2008-2009)

B. Definsi Operasional.

Di dalam kajian ini terdapat istilah-istilah yang dipandang perlu penjelasan maknanya guna memenuhi rambu-rambu penelitian dan memahami makna yang dimaksud dalam naskah penelitian ini.


(27)

Kartono dan Gulo (2003: 236) mengartikan internalisasi sebagai penyatuan ke dalam pikiran atau kepribadian; pembuatan nilai-nilai, patokan-patokan, ide-ide atau praktik-praktik dari orang lain menjadi bagian dari dirinya sendiri.

Pondok Pesantren merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142); dan tempat pendidikan calon kyai. Para santri dibelajarkan secara langsung melalui asuhan dan keteladan kyai, sehingga sangat memungkinkan bagi santri untuk mencontoh perilaku dan cara hidup kyai. Sebab mencontoh merupakan salah satu cara belajar yang paing efektif dari pada sekedar belajar secara kognitif. (Wakhudin PR. Edisi 17 juli 2007).

Internalisasi nilai-nilai ibadah aum di pondok pesantren, mengandung arti proses penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah aum khususnya nilai kesalehan sosial yang sejatinya dimiliki dan dijadikan pedoman hidup oleh para santri dalam menata kehidupan sehari-hari di masa kini dan masa mendatang.

Internalisasi nilai-nilai kesalehan sosial dimaksudkan agar nilai-nilai tersebut menjadi nilai yang tercernakan dalam diri peserta didik. Nilai yang tercernakan (personalized value) merupakan suatau landasan dari reaksi-reaksi yang diberikan secara otomatis terhadap situasi-situasi tingkah laku yang ada. Pada hakikatnya, nilai itu meresapi dan menjiwai setiap perilaku dan kebiasaan, serta apa-apa yang dimiliki oleh suatu masyarakat (Manan, 1989: 19). Apabila terjadi pemaksaan terhadap nilai-nilai


(28)

tersebut, maka akan muncul rasa bersalah dan ketakutan yang sulit untuk dihilangkan.

Dari pengertian di atas, disertasi berjudul: ”Internalisasi Nilai-nilai Ibadah aum di Pondok Pesantren (Studi Kasus Kesalehan Sosial di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta)”, mengandung arti menjadikan nilai-nilai kesalehan sosial sebagai milik peserta didik, sehingga ketika melakukan aktivitas hidupnya, akan senansiasa didasarkan kepada keinginan dan keikhlasan diri, tanpa harus disuruh dan ataupun dilarang.

Apabila nilai-nilai ibadah aum sudah terinternalisasi dalam diri manusia, maka perilakunya akan menjadi baik. Perilaku yang baik akan membuahkan tatanan kehidupan yang aman, tentram, dan damai. Ketentraman dan kedamaian dalam bentuk lahiriyah, manusia akan terbebas dari sifat-sifat tercela seperti takabbur, riya, pelit, iri, hasud, dan serakah. Diganti dengan sifat-sifat terpuji, seperti amanah, tanggung jawab, disiplin, kebersamaan, dermawan, sabar, ramah, santun, pemaaf, kasih sayang, dan memiliki sikap kesalehan sosial yang tinggi. Sedangkan kedamaian dalam bentuk ba iniyah, manusia akan merasa aman di sisi Allah SWT..

C. Instrumen Penelitian.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri atau Human Instrument, artinya si peneliti merupakan perencana, pelaksana, pengumpul, dan sekaligus sebagai penafsir data.


(29)

Moleong (1997: 5) mengungkapkan bahwa dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Ini dilakukan karena jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan mempersiapkannya terlebih dahulu sebagai yang lazim dalam penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian dengan kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Selain itu, manusia dapat berhubungan dengan responden atau obyek lainnya, dan hanya manusialah yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan. Hanya manusia sebagai instrumen pulalah yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian, ia pasti dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya.

Sudjana (2003: 13) mengungkapkan bahwa pengamatan adalah teknik untuk menghimpun data atau informasi tentang gejala atau peristiwa dengan upaya mengamati dan mencatat, bukan melalui perkataan. Instumen ini dapat terdiri atas: 1) pengamatan partisipasi (participant observation) dengan cara melibatkan diri dalam suatu kegiatan atau peristiwa, dan 2) pengamatan dengan tidak melibatkan diri (non-participant observation). Sedangkan alat bantu dalam observasi dapat terdiri atas check list, rating scale, denah, kamera foto, tape recorder, dan selainnya.


(30)

D. Teknik Pengumpulan Data.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan pelibatan diri si peneliti di dalam kegiatan keseharian para santri di pondok pesantren. Berbagai aktivitas keseharian, mulai dari salat berjama`ah subuh, pengajian balagan, berangkat sekolah, makan siang, istirahat, alat a ar yang dilanjutkan pengajian sorogan, alat magrib berjama`ah, sampai menjelang para santri tidur. Pengamatan ini dilakukan selama satu tahun.

Wawancara dilakukan dengan pimpinan pondok pesantren dan dua orang ustaz sebagai badal (pembantu atau pengganti) pak kyai. Si peneliti bertanya tentang cara penanaman nilai-nilai kesalehan sosial yang dilakukan kyai. Di samping itu pula ditanyakan tentang faktor-faktor pendukung dan penghambat di dalam melakukan tugas sebagai kyai, khusunya di dalam penanaman nilai-nilai kesalehan sosial. Sedangkan dalam bentuk peran serta atau pelibatan diri, si peneliti ikut serta di dalam mengisi materi pengajian rutin mingguan yang diadakan pada setiap hari minggu yang secara terjadual.

Data yang terhimpun melalui observasi, wawancara, dan berperan serta ini dianalisis secara langsung sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian yang diungkap pada bab pendahuluan. Kegiatannya melaiputi: a) meredukdsi, b) menyajikan, c) menarik kesimpulan, dan d) melakukan verifikasi data (Moleong, 1991: 190). Mereduksi data dimaksudkan untuk memilih dan memilah informasi-informasi yang didapat disesuaikan dengan tujuan penelitian. Ini dimaksudkan agar diperoleh gambaran


(31)

secara menyeluruh berkaitan dengan proses internalisai nilai-nilai kesalehan sosial yang dilakukan di Pondok Pesantren Al-Muhajirin.

Adapun analisis datanya dilakukan selama pengumpulan data di lapangan, dengan langkah sebagai berikut:

1. Mempersempit fokus penelitian, yaitu telaah terhadap proses internalisasi nilai-nilai kesalehan sosial yang dilakukan di pondok pesantren Al-muhajirin Purwakarta.

2. Mengembangkan pertanyaan baru untuk memperoleh jawaban yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti secara kontinyu. 3. Mengungkap kembali kepustakaan yang ada relevansinya degan

tujuan penelitian.

4. Hasil kajian buku, observasi, dan wawancara direduksi untuk memperjelas fenomena yang nampak, dan menarik kesimpulan, dengan desain penelitian sebagai berikut:

Gambar 3.1; Desain Penelitian. Makna dan

Nilai-nilai Ibadah aum Strategi

Pembelajaran Nilai-nilai Kesalehan Sosial di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Temuan Penelitian Nilai-nilai Kesalehan Sosial Cek Keabsahan Data Analisis Hasil Penelitian

Misi dan Motto Pondok Pesantren Al-Muhajirin

Proses Penanaman Nilai-nilai Kesalehan Sosial di

Pondok Pesantren Al-Muhajirin


(32)

E. Pendekatan yang Digunakan.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif naturalistik, yaitu penelitian yang didasarkan pada asumsi bahwa realitas merupakan sesuatu yang bersifat ganda; saling terkait, dan di dalamnya terjadi saling bertukarnya pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok. Pendekatan kualitatif lebih melihat sesuatu sebagaimana adanya dalam satu keastuan yang saling terkait. ( Sudjana, 2001: 396).

Nazir (1999: 68) mengungkapkan bahwa pendekatan kualitatif merupakan penelitian yang mendasarkan diri pada fakta dan analisis perbandingan, bertujuan untuk mengadakan generalisasi empirik, menetapkan konsep, membuktikan teori dan pengembangannya, dan analisis datanya berjalan pada waktu yang bersamaan. Pendekatan ini bersifat ganda; saling berkaitan, dan di dalamnya terjadi pertukaran pengalaman sosial yang dapat diinternalisasikan oleh individu-individu atau kelompok, dan pendekatan kualitattif lebih melihat sesuatu sebagaimaa adanya dalam satu kesatuan yang utuh.

Dengan pendekatan kualitatif naturatistik ini, si peneliti berinteraksi secara langsung dengan komunitas santri di pondok pesantren Al-Muhajiri Purwakarta. Ini dilakukan untuk mendapatkan informasi akurat; dan apa adanya melalui observasi, partisipasi aktif, dan wawancara. Moleong (1997: 125-158) mengungkapkan bahwa fenomena dan peristiwa dapat dimaknai secara baik jika dilakukan dengan interaksi melalui observasi dan wawancara mendalam dengan sumber informasi.


(33)

F. Prosedur dan Tahap-tahap Penelitian.

Sumber informasi di dalam penelitian ini adalah KH. Drs. A. Bunyamin, MA. sebagai pimpinan pondok pesantren Al-Muhajirin Purwakarta, dan dua orang alumni yang sekarang menjadi staf pengajar, yaitu KH. Marfu Ilyas, S.Ag., M.Ag., dan KH. Sobari, S.Ag. Ketiga sumber informasi dimaksud dipandang dapat mengungkap secara mendalam mengenai fenomena-fenomena yang terjadi dan ditemukan berdasarkan perspektif partisipan, sehingga proses pewarisan nilai-nilai kesalehan sosial yang terjadi di pondok pesantren Al-muhajrin dapat diketahui secara menyeluruh.

Adapun tahapan-tahapan yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penjajagan Awal.

Pada tahapan penjajagan awal dilakukan: a) pencarian literatur berupa kitab-kitab dan buku-buku yang membahas tentang makna dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam ibadah aum. Di dalam pelaksanaannya, si peneliti mengungjungi perpustakaan-perpustakaan dan toko-toko buku yang terjangkau, dan b) mengunjungi pondok pesantren Al-Muhajirin Purwakarta serta bersilaturrahmi dengan pimpinan pondok dengan menyampaikan maksud melakukan penelitian di pondok yang dipimpinnya.


(34)

2. Pengumpulan dan Pencatatan Data.

Data yang diperoleh melalui observasi, wawancara, dan berperan serta yang dilakukan di pondok pesantren Al-Muhajirin Purwakarta dicatat dalam catatan khusus yang selanjutnya melakukan bimbingan kepada Panitia Disertasi untuk mendapat arahan dan sekaligus pengayaan informasi baik yang menyangkut makna dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam ibadah aum, konsep internalisasi nilai-nilai kesalehan sosial yang dihasilkan melalui kajian literatur, dan ataupun iformasi-informasi yang diperoleh melalui observasi dan wawancara di pondok pesantren.

3. Mengimpentarisir Data.

Data yang diperoleh, kemudian diimpetarisir guna memilih dan memilah mana yang tergolong pembahasan makna, dan hikmah-hikmah aum, dan mana pula yang membahas internalisasi nilai-nilai kesalehan sosial.

4. Menganalisis Data.

Langkah berikutnya, data dianalisis dengan cara pengkajian yang mendalam. Untuk itulah, si peneliti meminta bantuan kepada para kyai yang sudah dikenal, di antaranya Prof. Dr. MD. Dahlan di Bandung, Drs. KH. Abun Bunyamin, MA., KH. Asep Maksum Effendi, KH. Otoillah Mustari, Ketua MUI Kabupaten Purwakarta, dan khususnya kepada Panitia disertasi. Ini dilakukan untuk lebih memahami secara mendalam


(35)

tentang makna dan hikmah-hikmah yang terkandung ibadah aum kaitannya dengan internaslisasi nilai-nilai kesalehan sosial.

5. Menyusun hasil penelitian dalam bentuk laporan yang sistematikanya meliputi: 1) pendahuluan, 2) kajian teoretik, 3) metode penelitian, 4) analisis hasil kajian, dan 5) pengambilan kesimpulan dan rekomendasi.


(36)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan.

Kajian “Internalisasi Nilai-nilai Ibadah aum di Pondok Pesantren (Studi Kasus Kesalehan Sosial di Pondok Pesantren Al-Muhajirin purwakarta)” ini, menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Makna aum dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, menahan diri dari berbagai perbuatan yang membatalkan aum sebagai tuntutan jasamani seperti makan, minum, dan senggama di siang hari, dan kedua menahan diri dari berbagai perbuatan yang merusak pahala aum sebagai tuntutan hawa nafsu yang menjurus kepada perbuatan maksiat seperti sikap syirik, takabbur, dengki, dusta, dan penyakit ruhani lainnya. Di samping merupakan ritual yang wajib dilaksanakan, ibadah aum merupakan suatu kebutuhan (the need of). Butuh akan ampunan, pertolongan, rahmat, dan kasih sayang Allah SWT. Orang mukmin menyadari benar bahwa aum merupakan salah satu wahana pengaduan diri kepada Allah SWT.. Oleh karena itu, pelaksanaan aumnya didasarkan atas nilai keikhlasan, tanpa harus disuruh dan ataupun dilarang.

2. Relevansi hikmah-hikmah ibadah aum bagi nilai kehidupan antara lain: a) aum dan nilai kepribadian, melalui aum, manusia dididik untuk memiliki kepribadian yang utuh. Melalui ibadah aum pula manusia


(37)

terbina untuk memiliki sikap sabar dalam menghadapi berbagai ujian, bersyukur atas segala nikmat Allah SWT., bersikap kasih sayang, empati, dermawan, mampu menahan amarah, dan pemaaf, b) aum menumbuhkan sikap ketaqwaan kepada Allah SWT., dengan aum dapat menahan diri dari dorongan hawa nafsu, dengan aum pula, manusia dididik memiliki sikap kepekaan sosial, c) aum menumbuhkan akhlak mulia. Dilihat dari sudut pandang akhlak, aum berarti proses penanaman sifat kemuliaan, kejujuran, amanah, disiplin, sabar, ramah, belas kasih, dan empati, pelaksana aum akan terhindar dari berbagai penyakit ruhani, seperti kikir, tamak, thama, dan takabbur, sebab orang yang aumnya mabrur akan merasakan pahit dan kesengsaraan hidup yang diderita saudaranya.

3. Nilai-nilai kesalehan sosial yang terkandung dalam ibadah aum antara lain: a) sikap tuduk, patuh, dan taat terhadap ketentuan syari`ah sebagai bentuk ketaqwaan kepada Allah SWT., b) sikap kebersamaan, senang menolong dan saling menyayangi, c) sopan dan santun; tidak menyakiti perasaan orang lain, d) bersikap jujur dan berucap dan berperilaku; tidak suka berbohong, e) kebersamaan, dan persaudaraan, f) berani mempertang-gungjawabkan setiap perbuatan, g) rendah hati; tidak takabbur dalam tingkah laku sehari-hari, h) bersikap ikhlas dan sukarela.

4. Proses pembelajaran nilai-nilai kesalehan sosial yang dilakukan di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta antara lain dengan cara: a)


(38)

mengintegrasikan nilai-nilai kesalehan sosial dengan bahan ajar, b) penataan ruang belajar, c) penataan lingkungan sosial, dan d) penataan proses pembelajaran.

5. Upaya kyai dalam menginternalisasikan nilai-nilai aum, anata lain melalui: a) pengkondisian suasana kehidupan pondok pesantren, b) penanaman nilai-nilai keagamaan, c) pembinaan suasana kehidupan pontren yang nyaman,d) penataan kultur, dan e) penataan hubungan antarkyai yang harmonis.

6. Fator-faktor pendukung dalam proses internalisasi nilai-nilai aum (kesalehan sosial) di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta, antara lain: a) tenaga pengajar yang memadai. Di samping memiliki kualifikasi pendidikan Pondok Pesantren, juga pendidikan formal baik S.1, S.2, dan ataupun S.3, b) letak geografis Pondok Pesantren yang strategis; berada di kota Kecamatan sehingga mudah dijangkau dari berbagai arah baik menggunakan kendaraan sendiri dan atapun umum, dan c) ketersediaan asrama yang memadai baik bagi santri laki-laki dan ataupun perempuan. Sedangkan faktor-faktor yang dipandang sebagai penghambat, antara lain: 1) kurangnya kerja sama antara orangtua santri dengan pihak Pondok Pesantren. Keikutsertaan dalam pembudayaan nilai-nilai kesalehan sosial atau nilai-nilai keagamaan masih dipandang kurang. Hanya sebagain kecil saja (33%) orang tua santri yang memiliki kepedulian terhadap kebijakan-kebijakan yang diberlakukan di Pondok Pesantren, sedangkan sebagian besarnya


(39)

(67%) hanya menitipkan anak untuk dapat diterima sebagai santri, bersekolah di lingkungan Pondok Pesantren, dan membayar kewajiban iuran pada setiap bulannya, dan 2) masih kurangnya dana penunjang bagi kehidupan para santri.

7. Strategi Pembelajaran Nilai Kesalehan Sosial di Pondok Pesantren. Berdasarkan kajian teoretis dan praktis di lapangan, ditemukan strategi Pondok Pesantren dalam pembelajaran nilai-nilai kesalehan sosial. Yang dimaksud dengan strategi Pondok Pesantren adalah usaha atau cara-cara yang dilakukan kyai dalam mewujudkan iklim pendidikan yang tepat bagi terjadinya proses pembelajaran nilai-nilai kesalehan sosial.

Strategi yang diterapkan di Pondok Pesantren dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a) nilai-nilai kesalehan sosial diintegrasikan ke dalam setiap bahan ajar yang diberikan kepada santri, b) nilai-nilai kesalehan sosial dimasukkan ke dalam tata tertib Pondok Pesantren yang mengatur terjadinya interaksi yang baik antara santri yang satu dengan lainnya, antara santri dengan kyai, dan ataupun antara santri dengan tamu yang berkunjung ke Pondok Pesantren, c) peningkatan disiplin para ustaż, karyawan, dan santri dengan membiasakan berberilaku yang baik sebagai wujud dari nilai kasalehan sosial, d) pemasangan plakat, dan brosur yang berisikan anjuran atau ajakan untuk membiasakan berperilaku baik bagi warga Pondok Pesantren termasuk para tamu yang berkunjung, e) menjalin komunikasi antara pihak Pondok Pesantren, orang tua santri dan


(40)

masyarakat sekitar di dalam pembinaan perilaku para santri, dan f) membudayakan teguran kepada warga Pondok Pesantren yang berperilaku tidak baik.

8. Langkah-Langkah Srategi Pembelajaran Nilai-Nilai Kesalehan Sosial di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Berdasarkan SWOT.

Berdasarkan analisis SWOT, kekuatan Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta dalam pembelajaran nilai-nilai kesalehan sosial adalah adanya visi dan misi yaitu terwujudnya komunitas umat yang saleh, cerdas, terampil dan mandiri serta menjadi mukmin salihin, imam al-muttaqin dan `ulama al-amilin. Kyai sebagai pimpinan Pondok Pesantren di dalam merealisasikan visi dan misi diwujudkan dalam bentuk adanya peraturan Pondok Pesantren yang memberikan dasar bagi pembinaan nilai-nilai kesalehan sosial, dan kegiatan ekstrakurikuler yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan. Ini merupakan kekuatan yang dimiliki pondok pesantren.

Sementara peluang yang dimiliki Pondok Pesantren adalah diberikannya perhatian ekstra terhadap pendidikan akhlak. Semua bahan ajar yang diberikan di Pondok Pesantren bernuansa nilai keagamaan termasuk di dalamnya nilai akhlak mulia, sementara kelemahan dan ancaman yang muncul antara lain: a) masih adanya ustaż dan karyawan yang belum menjadikan dirinya sebagai suri tauladan di dalam menjalankan tugasnya; tidak disiplin kerja, dan terlambat datang, b) kondisi sosial keluarga santri belum mendukung sepenuhnya terhadap


(41)

pembinaan nilai-nilai kesalehan, misalnya tidak melibatkan anak (santri) dalam kegiatan sosial seperti jumsih di lingkungannya sendiri, dan c) perilaku warga masyarakat sekitar pondok yang memandang sebelah mata kepada santri. Ini merupakan ancaman bagi pembinaan nilai-nilai kesalehan di Pondok Pesantren.

Berdasarkan analisis kekuatan internal Pondok Pesantren dan peluang dari luar, diwujudkan dalam bentuk: a) penekanan terhadap pembinaan akhlak pada setiap pembelajaran dengan menggunakan pendekatan yang mendorong peserta didik untuk menghayati nilai-nilai akhlak Islam termasuk di dalamya nilai-nilai kesalehan sosial serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, b) peningkatan ekstra kurikuler ke-agama-an baik dilakukan di masjid dengan pembahasan akhlak, khususnya etika berperilaku akhlak berbicara, dan ataupun ekstra kurikuler yang bersifat sosial termasuk di dalamnya pelibatan santri dalam kegiatan kebersihan fisik lingkungan (jum`at bersih, c) mengintegrasikan nilai-nilai kesalehan sosial ke dalam setiap mata pelajaran.

Sedangkan kelemahan yang dimiliki Pondok Pesantren dan peluang dari luar, dapat dirumuskan strategi peluang sebagai berikut: a) peningkatan disiplin para ustaż dan karyawan dengan kegiatan yang menekankan kepada pembinaan akhlak, terutama dalam berperilaku yang dapat diteladani peserta didik; b) peningkatan disiplin peserta didik dengan menegakkan tata tertib Pondok Pesantren secara konsekuen; c) pemasangan plakat-plakat yang mendorong warga Pondok Pesantren


(42)

berperilaku baik; d) pelatihan para ustaż tentang metode pembelajaran akhlak, termasuk di dalamnya nilai-nilai kesalehan sosial yang diintegrasikan ke dalam bidang studi, dan pemetaan kegiatan di masjid yang kondusif bagi terciptanya iklim yang agamis.

Berdasarkan analisis kekuatan dan ancaman yang datang dari luar Pondok Pesantren, dapat dirumuskan strateginya, yaitu dengan: a) menerbitkan media komunikasi yang dapat menghubungkan pihak pondok pesantren, keluarga, dan masyarakat yang memberikan tempat pada pembelajaran nilai-nilai kesalehan baik di pondok pesantren, keluarga dan ataupun di lingkungan masyarakat, b) menciptakan kerja sama antara Pondok Pesantren dengan masyarakat sekitar yang ditujukan untuk menyamakan visi dan misi antara Pondok Pesantren dan masyarakat, termasuk visi pembinaan nilai-nilai kesalehan sosial, dan c) menyambungkan tali silaturahmi secara rutin antara pihak pondok pesantren, orang tua santri, dan tokoh masyarakat sebagai uapaya kerja sama di dalam pembinaan akhlak para santri, khususnya nilai-nilai kesalehan sosial.

Sedangkan berdasarkan kelemahan dan ancaman yang datang dan luar, dapat dirumuskan strategi sebagai berikut; a) silaturahmi dengan tokoh-tokoh masyarakat di lingkungan Pondok Pesantren, b) meningkatan kegiatan yang mengarah kepada pembinaan nilai-nilai kesalehan, c) mengadakan kerjasama antara pihak Pondok Pesantren dengan orang tua santri di dalam pembinaan akhlak santri.


(43)

9. Langkah-langkah Pembelajaran Nilai Kesalehan Sosial.

Langkah-langkah operasional pembelajaran nilai kesalehan sosial, dapat ditempuh dengan enam langkah, yaitu: a) langkah persiapan; pendidik mengkondisikan peserta didik ke dalam situasi pembelajaran yang kondusif. Ini dimaksudkan agar peserta didik mempunyai kesiapan belajar menghayati nilai-nilai kesalehan sosial yang terkandung dalam ibadah saum, b) muqaddimah, dan menciptakan suasana pembelajaran; pendidik mengkondisikan peserta didik pada proses pembelajaran yang kondusif. Pada tahap ini, pendidik mengungkapkan konsep ibadah aum serta pentingnya nilai kesalehan individu dan sosial di dalam kehidupan keseharian, c) pengecekan iklim belajar; pengecekan suasana pembe-lajaran ini dimaksudkan agar suasana pembepembe-lajaran dikendalikan secara kondusif. Kondusif dan tidaknya suasana pembelajaran sangat berpengaruh terhadap proses penghayatan yang dilakukan oleh peserta didik, d) penguatan dan pengayaan. Pada langkah ini, materi yang telah disampaikan diberi penguatan dan pengayaan sehingga materi yang diajarkan bukan saja diketahui dan atau dipahami, tetapi juga dihayati dan dijadikan bagian integral dari diri peserta didik. Penguatan dan pengayaan materi dapat dilakukan dengan pengulangan dan penekanan pada bagian-bagian materi yang dipandang penting, yaitu materi yang berkaitan dengan makna kesalehan dalam kehidupan sehari-hari. Ini dimaksudkan agar bahan ajar yang sudah disampaikan benar-benar menjadi milik peserta didik, e) evaluasi, mengevaluasi aspek pengetahuan peserta didik


(44)

dapat dievaluasi dengan cara memberikan formatif baik secara lisan dan ataupun tulisan yang berisikan nilai-nilai kesalehan sosial. Misalnya mengukur dalam aspek koginisi dengan pertanyaan, “apa yang dimaksud dengan kasih sayang, sabar, jujur” , dan yang lainnya . Sedangkan terhadap aspek penghayatan dan perilaku, dapat dilakukan dengan cara pengamatan perilaku peserta didik ketika berkomunikasi dan bertindak dengan sesama teman, dengan pendidik, orang tua, dan atau dengan tamu yang berkunjung ke Pondok Pesantren. Isyarat-isyarat kesalehan peserta didik dapat diamati elalui sikap resfeks seperti santun dan tawaddu dalam ucapan dan tindakannya, dan f) langkah penyimpulan dan penutup. Di dalam langkah ini, sejatinya pendidik mampu membimbing peserta didik agar dapat menyimpulkan bahan ajar yang telah dibahas. Di samping itu, pendidik juga memberikan penguatan dan pengayaan terhadap materi yang berkaitan dengan nilai-nilai kesalehan sosial yang sudah dibahas melaui pekerjaan rumah. Peyimpulan bahan ajar dapat dilakukan pula dengan cara melakukan tanya jawab antara pendidik dan peserta didik.

B. Implikasi Hasil Penelitian.

Temuan hasil penelitian ini berimplikasi pada pengembangan dunia pendidikan baik di dalam dan atupun di luar sekolah bahwa dalam menginternalisasikan nilai-nilai kesalehan sosial tidak bisa hanya dilakukan oleh seorang diri dengan ceramah atau pidato, akan tetapi diperlukan pelakonan, pembiasaan, dan suri tauladan dari orang dewasa,


(45)

yaitu orang tua, guru dan dosen di sekolah dan kampus, para kyai dan ustaż di Pondok Pesantren dan majlis taklim, serta para tokoh masyarakat di sekitar lingkungannya.

1. Pengembangan Pendidikan Umum/Nilai di dalam Keluarga.

Lingkungan keluarga merupakan pusat pendidikan pertama dan utama. Tatanan kehidupan keluarga sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan anak manusia. Keluarga merupakan benteng utama tempat anak-anak manusia dibesarkan melalui pendidikan. Saleh dan tidaknya perilaku anak manusia ditentukan oleh kepala keluarga itu sendiri sebagai pendidik pertama dan utama. Oleh karenanya, orang tua berkewajiban untuk mendidik anak-anaknya melalui pelakonan, pembiasaan dan keteladanan. Keluarga merupakan pangkal ketentraman dan kedamaian hidup bagi setiap anak manusia.

Keluarga bukan saja merupakan perkumpulan orang, akan tetapi merupakan suatu lembaga hidup manusia yang dapat memberi kemungkinan bahagia dan celakanya manusia di dunia terutama di akhirat kelak. Di dalam QS. At-Tahrim/66: 6 diungkapkan, ”Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.

2. Pengembangan Pendidikan Umum/Nilai di Sekolah.

Di antara tiga tripusat pendidikan, sekolah merupakan lembaga formal yang secara sengaja dirancang untuk menyelenggarakan pendidikan. Sekolah marupakan lingkungan kedua setelah keluarga


(46)

yang cukup berperan dalam mewarnai perilaku peserta didik. Oleh karena itu, lembaga ini seyogianya mampu menjamah aspek pembudayaan spiritual, penguasaan pengetahuan dan pemilikan keterampilan peserta didik, sehingga lulusannya dapat memiliki jati diri bangsa secara utuh.

Agar kondisi lembaga sekolah mampu mencerdaskan peserta didik yang memiliki akhlak mulia, tentu diperlukan kerja sama di antara seluruh komponen lembaga dimaksud. Mulai dari kepala sekolah, para guru, penjaga, dan bahkan para pedagang yang ada di sekitar kampus, sejatinya mampu menjadi suri taudalan bagi para peserta didik. Tanpa keteladanan, boleh jadi peserta didiknya pintar, akan tetapi ucap dan perilakunya tidak lagi mencerminkan anak sekolahan.

3. Pengembangan Pendidikan Umum/Nilai di Masyarakat.

Pendidikan di masyakarat beraneka ragam bentuknya. Mulai dari pengajian rutin, pengajian-pengajian yang diadakan di rumah-rumah ustaż, Karang Taruna, PKK, dan ataupun di Pondok Pesanren yang kesemuanya mempunyai tujuan sama, yaitu turut serta membimbing dan mempersiapkan generasi muda yang memiliki kepribadian utuh, sebagaimana diungkapkan Sudjana D. (2006: 407) bahwa karakteristik kunci nilai moral yang ideal bagi masyarakat Indonesia adalah kepribadian kuat yang didasari nilai-nilai keyakinan dan ketaatan terhadap Agama, etika dan moral, budaya yang tercermin dalam perilaku tanggung jawab, amanah, `adil, dan bijak.


(47)

Pendidikan Umum/Nilai sebenarnya memiliki makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak, sebab tujuan yang hendak dicapainya adalah pembentukan kepribadian peserta didik agar menjadi manusia yang baik atau kaffah, menjadi warga masyarakat dan warga negara yang bermanfa`at bagi sesama. Manusia yang baik ditandai dengan memiliki sikap kesalehan sosial yang dipengaruhi oleh nilai Agama, budaya dan bangsanya sendiri.

C. Rekomendasi.

Sebagaimana dimaklumi bahwa nilai-nilai kesalehan sosial berada pada tataran afeksi, yang model pembelajarannya tidak bisa dilakukan dengan metode ceramah atau dipidatokan, melainkan dibelajarkan melalui pelakonan, pembiasaan, dan suri tauladan dari pendidik itu sendiri, baik di rumah, sekolah dan kampus, Pondok Pesantren dan Majlis Ta`lim, dan ataupun di lingkungan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, direkomendasikan kepada:

1. Para orang tua, kyai, guru, dan para tokoh masyarakat, seyogianya lebih mengedepankan suri tauladan di dalam membimbing peserta didik. Saleh dan tidaknya peserta didik bergantung kepada keteladanan orang tua, kyai, guru, dan para tokoh dan lingkungan sekitar sebab hanya dengan suri tauladan-lah nilai-nilai kesalehan sosial dapat diinternalisasi.

2. Para pendidik di sekolah, dan Pondok Pesantren, seyogianya menyadari bahwa fokus utama pendidikan adalah pembentukan pribadi


(48)

peserta didik yang mampu bertaqarrub kepada Allah SWT. dengan baik dan benar, serta mampu hidup layak di tengah-tengah masyarakatnya. Oleh karena itu, di dalam preses pembelajaran, sejatinya mampu menintegrasikan nilai-nilai kesalehan sosial dengan bahan ajar yang diampunya.

3. Para peneliti lain, direkomendasikan untuk mengkaji kembali nilai-nilai yang terkandung dalam syari`at Islam, sebab tidak semata-mata Allah SWT. Menciptakan suatu makhluk, kecuali di dalamnya terkandung makna yang dalam. Misalnya, a) Islam tampil dengan ajaran yang sarat nilai, akan tetapi umatnya belum mampu menafsirkan dan meningkatkan kesalehan sosial kemasyarakatannya, b) umat Islam sangat mengetahui bahwa alat, zakat, dan haji merupakan kebutuhan bagi dirinya, akan tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya belum dapat mempribadi, sehingga perilakunya belum menunjukkan kepribadian sebagai orang mukmin. Berkata dusta, kikir, takabbur, dan sikap busuk lainnya masih menjadi hiasan diri dalam kehidupan sehari-hari.


(1)

9. Langkah-langkah Pembelajaran Nilai Kesalehan Sosial.

Langkah-langkah operasional pembelajaran nilai kesalehan sosial, dapat ditempuh dengan enam langkah, yaitu: a) langkah persiapan; pendidik mengkondisikan peserta didik ke dalam situasi pembelajaran yang kondusif. Ini dimaksudkan agar peserta didik mempunyai kesiapan belajar menghayati nilai-nilai kesalehan sosial yang terkandung dalam ibadah saum, b) muqaddimah, dan menciptakan suasana pembelajaran; pendidik mengkondisikan peserta didik pada proses pembelajaran yang kondusif. Pada tahap ini, pendidik mengungkapkan konsep ibadah aum serta pentingnya nilai kesalehan individu dan sosial di dalam kehidupan keseharian, c) pengecekan iklim belajar; pengecekan suasana pembe-lajaran ini dimaksudkan agar suasana pembepembe-lajaran dikendalikan secara kondusif. Kondusif dan tidaknya suasana pembelajaran sangat berpengaruh terhadap proses penghayatan yang dilakukan oleh peserta didik, d) penguatan dan pengayaan. Pada langkah ini, materi yang telah disampaikan diberi penguatan dan pengayaan sehingga materi yang diajarkan bukan saja diketahui dan atau dipahami, tetapi juga dihayati dan dijadikan bagian integral dari diri peserta didik. Penguatan dan pengayaan materi dapat dilakukan dengan pengulangan dan penekanan pada bagian-bagian materi yang dipandang penting, yaitu materi yang berkaitan dengan makna kesalehan dalam kehidupan sehari-hari. Ini dimaksudkan agar bahan ajar yang sudah disampaikan benar-benar menjadi milik peserta didik, e) evaluasi, mengevaluasi aspek pengetahuan peserta didik


(2)

dapat dievaluasi dengan cara memberikan formatif baik secara lisan dan ataupun tulisan yang berisikan nilai-nilai kesalehan sosial. Misalnya mengukur dalam aspek koginisi dengan pertanyaan, “apa yang dimaksud dengan kasih sayang, sabar, jujur” , dan yang lainnya . Sedangkan terhadap aspek penghayatan dan perilaku, dapat dilakukan dengan cara pengamatan perilaku peserta didik ketika berkomunikasi dan bertindak dengan sesama teman, dengan pendidik, orang tua, dan atau dengan tamu yang berkunjung ke Pondok Pesantren. Isyarat-isyarat kesalehan peserta didik dapat diamati elalui sikap resfeks seperti santun dan

tawaddu dalam ucapan dan tindakannya, dan f) langkah penyimpulan

dan penutup. Di dalam langkah ini, sejatinya pendidik mampu membimbing peserta didik agar dapat menyimpulkan bahan ajar yang telah dibahas. Di samping itu, pendidik juga memberikan penguatan dan pengayaan terhadap materi yang berkaitan dengan nilai-nilai kesalehan sosial yang sudah dibahas melaui pekerjaan rumah. Peyimpulan bahan ajar dapat dilakukan pula dengan cara melakukan tanya jawab antara pendidik dan peserta didik.

B. Implikasi Hasil Penelitian.

Temuan hasil penelitian ini berimplikasi pada pengembangan dunia pendidikan baik di dalam dan atupun di luar sekolah bahwa dalam menginternalisasikan nilai-nilai kesalehan sosial tidak bisa hanya dilakukan oleh seorang diri dengan ceramah atau pidato, akan tetapi diperlukan pelakonan, pembiasaan, dan suri tauladan dari orang dewasa,


(3)

yaitu orang tua, guru dan dosen di sekolah dan kampus, para kyai dan ustaż di Pondok Pesantren dan majlis taklim, serta para tokoh masyarakat di sekitar lingkungannya.

1. Pengembangan Pendidikan Umum/Nilai di dalam Keluarga.

Lingkungan keluarga merupakan pusat pendidikan pertama dan utama. Tatanan kehidupan keluarga sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan anak manusia. Keluarga merupakan benteng utama tempat anak-anak manusia dibesarkan melalui pendidikan. Saleh dan tidaknya perilaku anak manusia ditentukan oleh kepala keluarga itu sendiri sebagai pendidik pertama dan utama. Oleh karenanya, orang tua berkewajiban untuk mendidik anak-anaknya melalui pelakonan, pembiasaan dan keteladanan. Keluarga merupakan pangkal ketentraman dan kedamaian hidup bagi setiap anak manusia.

Keluarga bukan saja merupakan perkumpulan orang, akan tetapi merupakan suatu lembaga hidup manusia yang dapat memberi kemungkinan bahagia dan celakanya manusia di dunia terutama di akhirat kelak. Di dalam QS. At-Tahrim/66: 6 diungkapkan, ”Wahai orang-orang

yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.

2. Pengembangan Pendidikan Umum/Nilai di Sekolah.

Di antara tiga tripusat pendidikan, sekolah merupakan lembaga formal yang secara sengaja dirancang untuk menyelenggarakan pendidikan. Sekolah marupakan lingkungan kedua setelah keluarga


(4)

yang cukup berperan dalam mewarnai perilaku peserta didik. Oleh karena itu, lembaga ini seyogianya mampu menjamah aspek pembudayaan spiritual, penguasaan pengetahuan dan pemilikan keterampilan peserta didik, sehingga lulusannya dapat memiliki jati diri bangsa secara utuh.

Agar kondisi lembaga sekolah mampu mencerdaskan peserta didik yang memiliki akhlak mulia, tentu diperlukan kerja sama di antara seluruh komponen lembaga dimaksud. Mulai dari kepala sekolah, para guru, penjaga, dan bahkan para pedagang yang ada di sekitar kampus, sejatinya mampu menjadi suri taudalan bagi para peserta didik. Tanpa keteladanan, boleh jadi peserta didiknya pintar, akan tetapi ucap dan perilakunya tidak lagi mencerminkan anak sekolahan.

3. Pengembangan Pendidikan Umum/Nilai di Masyarakat.

Pendidikan di masyakarat beraneka ragam bentuknya. Mulai dari pengajian rutin, pengajian-pengajian yang diadakan di rumah-rumah ustaż, Karang Taruna, PKK, dan ataupun di Pondok Pesanren yang kesemuanya mempunyai tujuan sama, yaitu turut serta membimbing dan mempersiapkan generasi muda yang memiliki kepribadian utuh, sebagaimana diungkapkan Sudjana D. (2006: 407) bahwa karakteristik kunci nilai moral yang ideal bagi masyarakat Indonesia adalah kepribadian kuat yang didasari nilai-nilai keyakinan dan ketaatan terhadap Agama, etika dan moral, budaya yang tercermin dalam perilaku tanggung jawab, amanah, `adil, dan bijak.


(5)

Pendidikan Umum/Nilai sebenarnya memiliki makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak, sebab tujuan yang hendak dicapainya adalah pembentukan kepribadian peserta didik agar menjadi manusia yang baik atau kaffah, menjadi warga masyarakat dan warga negara yang bermanfa`at bagi sesama. Manusia yang baik ditandai dengan memiliki sikap kesalehan sosial yang dipengaruhi oleh nilai Agama, budaya dan bangsanya sendiri.

C. Rekomendasi.

Sebagaimana dimaklumi bahwa nilai-nilai kesalehan sosial berada pada tataran afeksi, yang model pembelajarannya tidak bisa dilakukan dengan metode ceramah atau dipidatokan, melainkan dibelajarkan melalui pelakonan, pembiasaan, dan suri tauladan dari pendidik itu sendiri, baik di rumah, sekolah dan kampus, Pondok Pesantren dan Majlis Ta`lim, dan ataupun di lingkungan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, direkomendasikan kepada:

1. Para orang tua, kyai, guru, dan para tokoh masyarakat, seyogianya lebih mengedepankan suri tauladan di dalam membimbing peserta didik. Saleh dan tidaknya peserta didik bergantung kepada keteladanan orang tua, kyai, guru, dan para tokoh dan lingkungan sekitar sebab hanya dengan suri tauladan-lah nilai-nilai kesalehan sosial dapat diinternalisasi.

2. Para pendidik di sekolah, dan Pondok Pesantren, seyogianya menyadari bahwa fokus utama pendidikan adalah pembentukan pribadi


(6)

peserta didik yang mampu bertaqarrub kepada Allah SWT. dengan baik dan benar, serta mampu hidup layak di tengah-tengah masyarakatnya. Oleh karena itu, di dalam preses pembelajaran, sejatinya mampu menintegrasikan nilai-nilai kesalehan sosial dengan bahan ajar yang diampunya.

3. Para peneliti lain, direkomendasikan untuk mengkaji kembali nilai-nilai yang terkandung dalam syari`at Islam, sebab tidak semata-mata Allah SWT. Menciptakan suatu makhluk, kecuali di dalamnya terkandung makna yang dalam. Misalnya, a) Islam tampil dengan ajaran yang sarat nilai, akan tetapi umatnya belum mampu menafsirkan dan meningkatkan kesalehan sosial kemasyarakatannya, b) umat Islam sangat mengetahui bahwa alat, zakat, dan haji merupakan kebutuhan bagi dirinya, akan tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya belum dapat mempribadi, sehingga perilakunya belum menunjukkan kepribadian sebagai orang mukmin. Berkata dusta, kikir, takabbur, dan sikap busuk lainnya masih menjadi hiasan diri dalam kehidupan sehari-hari.