Pengaruh Reward Dan Punishment Terhadap Kinerja Karyawan Pada Pt. Perkebunan Nusantara III (PERSERO) Medan

BAB II
KERANGKA TEORI

2.1. Teori Motivasi
Teori motivasi adalah suatu pandangan tentang cara atau sistem pemberian motivasi, yang sampai
batas-batas tertentu bersifat normative, dalam arti di dalamnya terdapat prinsip-prinsip, norma-norma
yang dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam memberikan motivasi kepada orang atau kelompok
tertentu (Wursanto, 1988: 137). Ada berbagai macam teori motivasi, yaitu:
1. Teori Kepuasan
Teori kepuasan disebut juga teori kebutuhan. Teori ini dibagi menjadi:
a. Teori Motivasi Klasik (Frederick W. Taylor)
Konsepsi dasar teori motivasi klasik adalah bahwa seseorang akan bersedia bekerja dengan
baik bila orang berkeyakinan akan memperoleh imbalan yang ada kaitannya langsung
dengan kerjanya. Konsep ini berarti bahwa seseorang akan menurun semangatnya dalam
kerja apabila imbalan yang berbentuk natura maupun uang itu (sesuai dengan perjanjian)
tidak segera diberikan/ditunda (Soeprihanto, 1987:34).
b. Teori Abraham Maslow
Menurut Wursanto (1988:137), teori Abraham Maslow disebut juga teori pemenuhan
kebutuhan (satisfaction of needs theory). Teori Maslow menitikberatkan kebutuhankebutuhan yang diperlukan oleh para pegawai untuk mencapai kepuasan, dan dorongandorongan yang menyebabkan para pegawai itu berperilaku tertentu. Maslow menggolongkan
kebutuhan-kebutuhan manusia menjadi lima tingkat kebutuhan. Kelima jenjang kebutuhan
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Kebutuhan-kebutuhan fisiologis (physiological needs) atau kebutuhan-kebutuhan untuk
mempertahankan hidup terdiri dari tiga macam kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan,
dan papan.

Universitas Sumatera Utara

2) Kebutuhan akan rasa aman (safety needs) berwujud kebutuhan akan keamanan jiwa, di
tempat kerja maupun di luar jam kerja, dan di mana pun manusia itu berada serta
kebutuhan akan keamanan harta.
3) Kebutuhan sosial (social needs) dapat digolongkan menjadi tiga macam, yakni:
a) Kebutuhan akan rasa diakui atau diterima oleh orang lain oleh kelompok tempat
manusia itu berada (sense of belonging)
b) Kebutuhan akan pencapaian prestasi (sense of achievement)
c) Kebutuhan akan perasaan ikut serta (sense of participation)
4) Kebutuhan akan prestise (esteem needs) berhubungan dengan soal status. Semakin tinggi
kedudukan seseorang dalam jenjang oganisasi semakin tinggi pula status dan prestisenya.
Prestise dan status dimanifestasikan dalam banyak hal, misalnya: kamar kerja sendiri
lengkap dengan perabot ruang kerja, kursi berlengan, dan lain sebagainya.
5) Kebutuhan akan kemampuan kerja yang lebih tinggi (self actualization) tampak dalam
keinginan untuk mengembangkan kemampuan mental dan kemampuan kerja melalui on

the job training, pendidikan akademis dan lain sebagainya.
c. Teori Frederick Herzberg
Menurut Wursanto (1988:139), teori Frederick Herzberg disebut juga teori pemeliharaan
motivasi (motivation maintenance theory). Menurut teori ini ada dua faktor yang
mempengaruhi kerja para pegawai, yaitu faktor yang memberi kepuasan kerja (satisfier) dan
faktor yang tidak memberi kepuasan kerja (dissatisfier). Faktor yang memberi kepuasan
kerja (satisfier) antara lain achievement (penghargaan oleh sesama), recoginition
(pengakuan), responsibility (tanggung jawab), dan advancement (kemajuan). Faktor yang
mempengaruhi ketidakpuasan para pegawai terdiri dari company policy and administration
(administrasi dan kebijaksanaan perusahaan), supervision technics (teknik supervisi), job
security (keamanan kerja), dan status. Secara singkat dapat dikatakan bahwa menurut teori
Herzberg, gaji besar bukan satu-satunya faktor yang dapat memberikan perangsang kerja
kepada para pegawai, tetapi faktor yang memberi kepuasan kerjalah yang justru dapat
memotivasi para pegawai.

Universitas Sumatera Utara

d. McClelland’s Achievement Motivation Theory oleh David McClelland
Menurut Wursanto (1988:139), menurut teori ini ada tiga macam kebutuhan yang
diperhatikan apabila pimpinan akan memotivasi para pegawai. Tiga macam kebutuhan itu

ialah kebutuhan akan kekuasaan (needs for power), kebutuhan akan kerja sama (needs for
affiliation), dan kebutuhan akan penghargaan (needs for achievement).
Menurut Hasibuan (2000:161), teori motivasi prestasi McClelland berpendapat bahwa
karyawan mempunyai cadangan energi potensial. Bagaimana energi ini dilepaskan dan
digunakan tergantung pada kekuatan dorongan motivasi seseorang dan situasi serta peluang
yang tersedia. Energi akan dimanfaatkan oleh karyawan karena didorong oleh:
1) Kekuatan motif dan kebutuhan dasar yang terlibat.
2) Harapan keberhasilannya.
3) Nilai insentif yang terlekat pada tujuan.
e. Aldefer’s Existence, Relatedness and Growth (ERG) Theory oleh Aldefer
Menurut Hasibuan di dalam Ketaren (2010:98) teori ini dikemukakan oleh Clayton Alderfer
yang merupakan penyempurnaan dari teori kebutuhan A. H. Maslow. Alderfer
mengemukakan bahwa ada 3 kelompok kebutuhan yang utama, yaitu:
1) Kebutuhan akan Keberadaan (Existence Needs)
Berhubungan dengan kebutuhan dasar termasuk didalamnya Physiological Needs dan
Safety Needs dari Maslow.
2) Kebutuhan akan Afiliasi (Relatedness Needs)
Menekankan akan pentingnya hubungan antar individu dan juga masyarakat.
3) Kebutuhan akan Kemajuan (Growth Needs)
Adalah keinginan intrinsik dalam diri seseorang untuk maju atau meningkatkan

kemampuan pribadinya.
f. Teori Motivasi Human Relation
Menurut Hasibuan di dalam Ketaren (2010:98), teori ini mengutamakan hubungan
seseorang dengan lingkungannya. Menurut teori ini, seseorang akan berprestasi baik, jika ia
diterima dan diakui dalma pekerjaan serta lingkungannya. Teori ini menekankan peranan

Universitas Sumatera Utara

aktif pimpinan organisasi dalam memelihara hubungan dan kontak-kontak pribadi dengan
bawahannya yang dapat membangkitkan gairah kerja. Teori ini menganjurkan bila dalam
memotivasi bawahan memerlukan kata-kata, hendaknya kata-kata itu mengandung
kebijakan, sehingga dapat menimbulkan rasa dihargai dan sikap optimis.
g. Teori X dan Teori Y oleh Douglas Mc Gregor
Menurut Hasibuan (2000:159), teori ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia secara jelas
dan tegas dapat dibedakan atas manusia penganut teori X (Teori Tradisional) dan manusia
penganut teori Y (Teori Demokratik). Teori X yaitu:
1) Rata-rata karyawan malas dan tidak suka bekerja.
2) Umumnya karyawan tidak berambisi mencapai prestasi yang optimal dan selalu
menghindarkan tanggung jawabnya dengan cara mengkambinghitamkan orang lain.
3) Karyawan lebih suka dibimbing, diperintah, dan diawasi dalam melaksanakan

pekerjaannya.
4) Karyawan lebih mementingkan diri sendiri dan tidak memperdulikan tujuan organisasi.
Menurut teori ini, untuk memotivasi karyawan harus dilakukan dengan cara
pengawasan yang ketat, dipaksa dan diarahkan supaya mereka mau bekerja sungguhsungguh. Jenis motivasi yang diterapkan adalah cenderung kepada motivasi negatif yakni
dengan menerapkan hukuman yang tegas. Sedangkan, teori Y, yaitu:
1) Rata-rata karyawan rajin dan menganggap seseungguhnya bekerja, sama wajarnya
dengan bermain-main dan beristirahat. Pekerjaan ini tidak perlu dihindari dan
dipaksakan, bahkan banyak karyawan tidak betah dan merasa kesal jika tidak bekerja.
2) Lazimnya karyawan dapat memikul tanggung jawab dan berambisi untuk maju dengan
mencapai prestasi kerja yang optimal.
3) Karyawan selalu berusaha mencapai sasaran organisasi dan mengembangkan dirinya
untuk mencapai sasaran itu. Organisasi seharusnya memungkinkan karyawan
mewujudkan potensinya sendiri dengan memberikan sumbangan pada tercapainya
sasaran perusahaan.

Universitas Sumatera Utara

Menurut teori Y ini untuk memotivasi karyawan hendaknya dilakukan dengan cara
peningkatan prestasi karyawan, kerja sama, dan keterikatan pada keputusan.
2. Teori Motivasi Proses

Menurut Hasibuan (2000:163), teori motivasi proses pada dasarnya berusaha menjawab
pertanyaan bagaimana menguatkan, mengarahkan, memelihara, dan menghentikan perilaku
individu bekerja sesuai dengan keinginan pimpinan. Teori ini merupakan proses sebab dan
akibat dan bagaimana seseorang bekerja serta hasil apa yang akan diperolehnya. Karena ego
manusia yang selalu menginginkan hasil yang baik-baik saja daya penggerak yang memotivasi
semangat kerja seseorang terkandung dari harapan yang akan diperolehnya pada masa depan.
Yang termasuk ke dalam teori motivasi proses adalah:
1) Teori harapan (expectancy theory)
Teori harapan ini dikemukakan oleh Victor Vroom, yang mendasarkan teorinya pada 3
konsep penting, yaitu:
a. Harapan (expectancy), adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena perilaku.
Harapan mempunyai nilai yang berkisar dari nol yang menunjukkan tidak ada
kemungkinan bahwa suatu hasil akan muncul sesudah perilaku atau tindakan perilaku
atau tindakan tertentu, sampai angka positif satu yang menunjukkan kepastian bahwa
hasil tertentu akan mengikuti suatu tindakan atau perilaku. Harapan dinyatakan dalam
probabilitas.
b. Nilai (valence), adalah akibat dari perilaku tertentu mempunyai nilai/martabat tertentu
(daya atau nilai memotivasi) bagi setiap individu tertentu.
c. Pertautan (instrumentality), adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama
akan dihubungkan dengan hasil tingkat kedua.

3. Teori Keadilan (Equity Theory)
Keadilan merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang. Jadi atasan
harus bertindak adil terhadap semua bawahannya. Penilaian dan pengakuan mengenai perilaku
bawahan harus dilakukan secara objektif (baik/salah), bukan atas suka/tidak suka (like/dislike).

Universitas Sumatera Utara

Jika dasar keadilan diterapkan dengan baik oleh atasan, gairah kerja bawahan cenderung
meningkat.
4. Teori Pengukuhan (Reinforcement Theory)
Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat dari perilaku dengan pemberian
kompensasi. Teori pengukuhan terdiri dari 2 jenis, yaitu:
1. Pengukuhan positif (positive reinforcement) yaitu bertambahnya frekuensi perilaku yang
terjadi apabila penukuh positif diterapkan secara bersyarat.
2. Pengukuhan negative (negative reinforcement) yaitu bertambahnya frekuensi perilaku yang
terjadi apabila pengukuh negative dihilangkan secara bersyarat.
2.2. Reward (Penghargaan)
2.2.1. Pengertian Reward
Reward adalah sesuatu yang diharapkan untuk diperoleh (Sule dan Saefullah, 2006:248).
Sumber daya manusia yang tidak terpelihara dan merasa tidak memperoleh ganjaran atau imbalan

yang wajar dan adil mudah sekali tergoda dengan keadaan diluar organisasi dan melarikan diri dari
organisasi semula. Ada suatu masa dimana terdapat satu situasi langka pada sejenis tenaga kerja,
mereka dengan mudah dibajak oleh organisasi lain seperti pembajakan para pimpinan (Zainun,
2001:46).
Oleh karena itu, program penghargaan penting bagi organisasi karena mencerminkan upaya
organisasi untuk mempertahankan sumber daya manusia sebagai komponen utama, dan merupakan
komponen biaya yang paling penting. Di samping pertimbangan tersebut, penghargaan juga
merupakan salah satu aspek yang berarti bagi pegawai, karena bagi individu/pegawai besarnya
penghargaan mencerminkan ukuran nilai karya mereka diantara para pegawai itu sendiri, keluarga dan
masyarakat. Bila penghargaan diberikan secara benar, pegawai akan termotivasi dan lebih terpusatkan
untuk mencapai sasaran-sasaran organisasi (Sulistiyani dan Rosidah, 2003:206).
Sistem pengganjaran yang paling banyak dibicarakan orang adalah mengenai gaji atau upah.
Gaji atau upah dianggap sebagai ganjaran atau imbalan jasa atau penghargaan atas prestasi kerja

Universitas Sumatera Utara

orang yang bersangkutan. Ada anggapan bahwa gaji yang besar dapat memelihara orang untuk
menjadi betah dan seolah-olah merupakan kekuatan pendorong yang paling kuat bagi orang itu untuk
meningkatkan prestasi kerjanya (Zainun, 2001:46).
2.2.2.


Jenis-Jenis Reward

Zainun (2001:47) mengatakan, selain ganjaran yang bersifat finansiil berupa gaji, upah,
tunjangan-tunjangan, ganjaran itu dapat pula bersifat materiil dan immaterial, yaitu:
1. Ganjaran yang bersifat materiil antara lain, berupa bantuan sosial, pengobatan, fasilitas
perumahan, kendaraan, pendidikan, dan sebagainya.
2. Ganjaran yang bersifat immaterial sangat bervariasi jenis, sifat, dan besar kecilnya.
Kekuasaan, kewenangan, kesempatan, dan sarana yang melekat pada jabatan, berbeda
menurut golongan dan tingkat kedudukan.
Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2006:228) menyatakan bahwa penghargaan terbagi ke
dalam dua kategori luas, yaitu ekstrinsik dan intrinsik.
1. Penghargaan ekstrinsik
Penghargaan ekstrinsik didefinisikan sebagai penghargaan yang diatur sendiri oleh seseorang.
a. Penghargaan finansial: gaji dan upah
Uang merupakan penghargaan ekstrinsik yang utama. Penelitian menunjukkan bahwa suatu
sistem pembayaran yang benar-benar terbuka di mana tidak terdapat rahasia mengenai
berapa banyak yang dibayarkan kepada karyawan, berjalan baik dalam organisasi di mana
kinerja karyawan dapat diukur secara objektif, dan terdapat interpedensi yang rendah antar
karyawan.

b. Penghargaan finansial: tunjangan karyawan
Tunjangan finansial utama karyawan di kebanyakan organisasi adalah rencana pensiun, dan,
untuk kebanyakan karyawan, kesempatan untuk berpartisipasi dalam rencana pensiun
merupakan penghargaan yang bernilai. Tunjangan karyawan, seperti dana pensiun,
perawatan di rumah sakit, dan liburan, pada umumnya merupakan hal yang tidak

Universitas Sumatera Utara

berhubungan dengan kinerja karyawan, akan tetapi didasarkan pada senioritas atau catatan
kehadiran.
c. Penghargaan interpersonal
Pimpinan memiliki sejumlah kekuasaan untuk mendistribusikan penghargaan interpersonal,
seperti status dan pengakuan. Dengan memberi individu pekerjaan yang bergengsi,
pimpinan dapat berusaha meningkatkan atau menghilangkan status yang dimiliki seseorang.
Akan tetapi, jika rekan kerja tidak meyakini kemampuan seseorang dalam suatu pekerjaan
tertentu, tidak mungkin status tersebut bisa ditingkatkan. Pimpinan dan rekan kerja samasama memainkan peran dalam memberikan status pekerjaan.
d. Promosi
Bagi banyak karyawan, promosi tidak sering terjadi; beberapa karyawan tidak pernah
mengalaminya selama karier mereka. Pimpinan menjadikan penghargaan promosi sebagai
usaha untuk menempatkan orang yang tepat pada pekerjaan yang tepat. kriteria yang sering

kali digunakan untuk meraih keputusan promosi adalah senioritas. Kinerja, jika diukur
dengan akurat, sering kali memberikan pertimbangan yang siginifikan dalam alokasi
penghargaan promosi.
2. Penghargaan intrinsik
a. Penyelesaian
Kemampuan memulai dan menyelesaikan suatu pekerjaan atau proyek merupakan hal yang
penting bagi sebagian orang. Beberapa orang memiliki kebutuhan untuk menyelesaikan
tugas, dan efek dari menyelesaikan tugas bagi seseorang merupakan suatu bentuk
penghargaan pada dirinya sendiri. Kesempatan yang memungkinkan orang seperti ini
menyelesaikan tugasnya dapat memiliki efek motivasi yang kuat.
b. Pencapaian
Pencapaian merupakan penghargaan yang muncul dalam diri sendiri, yang diperoleh ketika
seseorang meraih suatu tujuan yang menantang. Dalam program penetapan tujuan, telah
diusulkan bahwa sasaran yang sulit menghasilkan tingkat kinerja individu yang lebih tinggi
daripada sasaran yang umum. Akan tetapi, bahkan dalam program semacam itu, perbedaan

Universitas Sumatera Utara

individual harus dipertimbangkan sebelum mencapai kesimpulan mengenai pentingnya
penghargaan pencapaian.
c. Otonomi
Sebagian orang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak untuk mengambil keputusan
dan bekerja tanpa diawasi dengan ketat. Perasaan otonomi dapat dihasilkan dari kebebasan
melakukan apa yang dianggap terbaik oleh karyawan dalam situasi tertentu. Pada pekerjaan
yang sangat terstruktur dan terkendali oleh manajemen, sulit untuk menciptakan tugas yang
mengarah pada otonomi.
d. Pertumbuhan pribadi
Pertumbuhan pribadi dari setiap orang merupakan pengalaman yang unik. Seseorang yang
mengalami pertumbuhan semacam itu bisa merasakan perkembangan dirinya dan bisa
melihat bagaimana kemampuannya dikembangkan. Dengan mengembangkan kemampuan,
seseorang mampu untuk memaksimalkan atau setidaknya memuaskan potensi keterampilan.
Robbins (2002:276) menyatakan:
1. Penghargaan intrinsik
a. Membuat keputusan partisipatif
b. Memiliki tanggung jawab yang lebih banyak
c. Kesempatan untuk mengembangkan diri
d. Kebebasan kerja dan kebebasan memilih yang lebih besar
e. Pekerjaan yang lebih menarik
f. Perbedaan yang beragam
2. Penghargaan ekstrinsik
a. Kompensasi langsung
1) Gaji pokok upah dasar
2) Premi lembur dan cuti
3) Bonus kinerja
4) Pembagian keuntungan

Universitas Sumatera Utara

5) Pilihan pembelian saham
b. Kompensasi tidak langsung
1) Program proteksi
2) Pembayaran untuk waktu tidak bekerja
3) Pelayanan dan penghasilan tambahan
c. Penghargaan nonfinansial
1) Perlengkapan alat kantor yang dibutuhkan
2) Tempat parkir yang disediakan
3) Jabatan yang menarik
4) Jam makan siang yang dipilih
5) Penugasan kerja yang dipilih
6) Sekretaris pribadi
2.2.3.

Faktor Penentu Reward

Robbins (2002:272) menyatakan ada beberapa faktor penentu penghargaan, yaitu.
1) Kinerja
Kinerja merupakan ukuran dari sebuah hasil. Selama penghargaan diletakkan atas dasar-dasar
faktor yang secara langsung berhubungan dengan pekerjaan yang dilakukan dengan baik, maka
kita menggunakan kinerja sebagai sebuah faktor yang menentukan.
2) Usaha
Penghargaan terhadap suatu usaha merupakan contoh klasik cara pemberian penghargaan,
bukan sekedar akhir dari usaha. Di dalam organisasi yang secara umum memiliki kinerja yang
rendah, penghargaan atas sebuah usaha hanyalah semata-mata sebagai kriteria pembeda
penghargaan. Usaha dapat dihitung lebih dari kinerja actual bila ada keyakinan bahwa orangorang yang mencoba seharusnya diberikan dukungan.
3) Senioritas
Senioritas, hak kerja, dan masa jabatan mendominasi kebanyakan sistem kepegawaian publik di
Amerika Serikat. Ketiganya tidak memainkan peranan penting seperti yang berlaku di

Universitas Sumatera Utara

perusahaan-perusahaan tetapi rentang waktu pekerjaan masih merupakan faktor utama dalam
menentukan alokasi penghargaan.
4) Keterampilan yang dimiliki
Praktik lain yang lazim didalam suatu organisasi adalah mengalokasikan penghargaan yang
didasarkan pada keterampilan dari para pekerja. Tanpa mempertimbangkan apakah
keterampilan itu terpakai, setiap individu yang memiliki tingkat keterampilan yang tinggi akan
diberi penghargaan yang memuaskan.
5) Komitmen pekerjaan
Komitmen pekerjaan dapat dijadikan sebagai kriteria pemberian penghargaan. Pekerjaan yang
sukar dilakukan atau yang tidak diharapkan karena tekanan atau kondisi pekerjaan yang tidak
mengenakkan, mungkin harus diberi reward yang lebih tinggi dengan tujuan untuk memikat
pekerja agar melakukan pekerjaan tersebut.
2.2.4. Mengatur Reward
Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2006:231) menyatakan bahwa pimpinan dihadapkan
dengan keputusan bagaimana mengatur penghargaan, yaitu : (1) reinforcement positif, (2) modeling
dan imitasi sosial, dan (3) ekspektansi.
1) Reinforcement positif
Dalam mengatur program reinforcement positif, penekanan terletak pada perilaku yang
diinginkan yang menghasilkan kinerja pekerjaan alih-alih kinerja itu sendiri. Pondasi dasar
dalam mengatur penghargaan melalui reinforcement positif adalah hubungan antara perilaku
dan konsekuensinya. Reinforcement positif dapat menjadi sebuah metode yang berguna dalam
membentuk perilaku yang diinginkan, pertimbangan lain yang berkenaan dengan jenis jadwal
penghargaan yang digunakan juga penting. Singkatnya, manajemen seharusnya mengeksplorasi
konsekuensi yang mungkin dari berbagai jenis jadwal penghargaan untuk individu. Penting
untuk mengetahui bagaimana karyawan merespons jadwal yang berkesinambungan, berinterval
tetap, dan rasio tetap.

Universitas Sumatera Utara

2) Modeling dan imitasi social
Hanya terdapat sedikit keraguan bahwa banyak keterampilan dan perilaku manusia diperoleh
dengan mengamati atau meniru orang lain. Pembelajaran melalui observasi memungkinkan
seseorang untuk menduplikasi suatu respons, tapi apakah respons tersebut benar-benar ditiru
bergantung pada apakah orang yang menjadi model tersebut dihargai atau dihukum karena
perilaku terkait. Dalam menggunakan modeling untuk mengatur penghargaan, manajer harus
menentukan siapa yang merespons pendekatan ini. Selain itu, memilih model yang sesuai juga
merupakan langkah yang penting.
3) Teori ekspektansi
Dari perspektif administrasi penghargaan, pendekatan ekspektansi, tidak seperti kedua metode
pengaturan penghargaan yang lain, memerlukan tindakan manajerial. Pimpinan harus
menentukan jenis penghargaan yang diinginkan oleh karyawan dan melakukan hal apapun yang
mungkin untuk mendistribusikan penghargaan tersebut. Jika tidak, pimpinan harus menciptakan
kondisi sehingga apa yang tersedia dapat diterapkan sebagai penghargaan. Dalam beberapa
situasi, tidaklah mungkin untuk menyediakan penghargaan yang dianggap berharga dan
disukai. Oleh karena itu, pimpinan sering kali harus meningkatkan rasa keinginan akan bentuk
penghargaan yang lain.
2.2.5. Tujuan Reward
Ivancevich, Konopaske dan Matteson (2006:226) menyatakan bahwa tujuan utama dari
program penghargaan adalah:
1) Menarik orang yang memiliki kualifikasi untuk bergabung dengan organisasi.
2) Mempertahankan karyawan agar terus datang untuk bekerja
3) Memotivasi karyawan untuk mencapai tingkat kinerja yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

2.2.6. Model Penghargaan Individu
Ivancevich, Konopaske dan Matteson (2006:227) menyatakan bahwa terdapat beberapa
pertimbangan penting yang dapat digunakan pimpinan untuk mengembangkan dan mendistribusikan
penghargaan, yaitu:
1)

Penghargaan yang tersedia harus cukup untuk memuaskan kebutuhan dasar manusia.

2)

Individu cenderung membandingkan penghargaannya dengan penghargaan orang lain. Jika ia
mempersepsikan ketidakadilan, ketidakpuasan akan muncul. Setiap orang tetap membuat
perbandingan, sebanyak apapun penghargaan yang telah ia terima.

3)

Proses ini akan meminimalkan persepsi bias dalam sistem penghargaan.

4)

Pimpinan yang mendistribusikan penghargaan harus mengenali perbedaan individu. Jika
perbedaan individu kurang dipertimbangkan, proses penghargaan akan selalu kurang efektif
daripada yang diinginkan.

2.3. Punishment (Hukuman)
2.3.1. Pengertian Punishment
Punishment (hukuman), yaitu diterapkannya konsekuensi-konsekuensi negative yang
cenderung mengurangi kemungkinan diulanginya perilaku yang bersangkutan dalam kerangka yang
serupa. Contohnya, seorang pimpinan memotong upah kerja karyawannya apabila karyawan tersebut
datang terlambat di tempat kerja (Ketaren, 2010:110).
Winardi (2004:245) mengatakan, definisi umum tentang pemberian hukuman adalah
melakukan sesuatu yang dianggap tidak menyenangkan bagi pihak tertentu. Pertama-tama dapat
dikatakan bahwa seorang pemberi hukuman merupakan sebuah kejadian aversif, yang mengikuti
suatu perilaku tertentu, dan ia mengurangi frekuensi perilaku tersebut. Istilah “aversif” berarti tidak
menyenangkan, dan pengendalian aversif berarti penerapan kejadian-kejadian yang tidak
menyenangkan guna memanaje perilaku karyawan.

Universitas Sumatera Utara

Pada organisasi-organisasi, berbagai macam tipe kejadian-kejadian aversif digunakan orang
sebagai alat pemberian hukuman (punisher). Konsekuensi-konsekuensi material misalnya mencakup
kejadian-kejadian seperti:
1. Penurunan dalam upah atau gaji, PHK tanpa mendapatkan uang pesangon.
2. Penurunan pangkat dalam klasifikasi jabatan, atau transfer pekerjaan karena kegagalan
melaksanakan tugas-tugas dengan baik pada masa lampau.
Hukuman tertinggi pada organisasi-organisasi adalah PHK, dipecatnya karyawan yang
bersangkutan, karena ia tidak dapat melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan syarat-syarat yang
digariskan. Tindakan aversif antar perorangan cenderung lebih banyak digunakan sehari-hari. Sebagai
contoh, pemberian hukuman yang bersifat antarpribadi, dapat misalnya disebut teguran secara lisan
yang dilakukan seorang pimpinan terhadap seorang karyawannya karena perilaku karyawan tersebut
tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh organisasi yang bersangkutan (Winardi,
2004:246).
2.3.2. Tipe Pemberian Hukuman
Menurut Winardi (2004:246) ada dua macam tipe pemberian hukuman, yaitu:
1. Tipe pertama berupa penyajian suatu kejadian aversif setelah terjadi suatu perilaku yang tidak
dikehendaki.
2. Tipe kedua mencakup ditiadakannnya suatu kejadian yang menyenangkan setelah suatu
perilaku yang tidak diinginkan terjadi.
Kedua macam tipe pemberian hukuman menimbulkan efek berupa menyusutnya frekuensi
perilaku target.
Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa pemberian hukuman merupakan sebuah teknik
pengendalian aversif, yang memanaje perilaku para karyawan, melalui penerapan kejadian-kejadian
yang timbul setelah perilaku tertentu yang tidak dikehendaki terjadi. Pemberian hukuman
menimbulkan efek mengurangi frekuensi perilaku yang bersangkutan (Winardi, 2004:246).

Universitas Sumatera Utara

2.3.3. Perilaku Buruk Yang Terpilih
Tabel 2.1 Contoh dari perilaku yang buruk ditempat kerja
Pembakaran

Berbohong

Memeras

Informasi yang salah

Suap

Pelanggaran privasi

Menggertak

Balas dendam

Menipu

Sabotase

Diskriminasi

Pelecehan seksual

Ketidakjujuran

Penganiayaan

Spionase

Pencurian

Kecurangan/penipuan

Ancaman

Tidak beradab

Menyebar gossip dan fitnah

Intimidasi

Menyimpan informasi (menutupi)

Reaksi negative
Sumber: Ivancevich, Konopaske dan Matteson (2006:259)

Ivancevich, Konopaske dan Matteson (2006:263) menyatakan bahwa, daftar perilaku buruk
karyawan yang potensial dapat menjadi daftar yang panjang. Beberapa perilaku buruk yang disajikan
dalam gambar diatas dimasukkan dalam pembahasan berikut.
1) Pelecehan seksual
Pelecehan seksual merupakan bentuk agresi dan perilaku yang tidak etis. Perilaku buruk ini
mengambil bentuk godaan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk pelayanan seksual,
dan tindakan fisik atau verbal lain yang bersifat seksual. Pelecehan seksual muncul karena
perbedaan kekuasaan, nafsu, dan untuk beberapa alasan yang tidak sepenuhnya dipahami. Hal
ini bukan saja merupakan perilaku buruk tapi juga illegal.
2) Agresi
Agresi di tempat kerja adalah usaha dari seorang individu yang menimbulkan bahaya terhadap
orang lain yang sebelumnya bekerja dengannya, atau yang pada saat ini bekerja untuknya, atau

Universitas Sumatera Utara

yang bekerja dalam organisasi itu sendiri. Usaha untuk membahayakan ini dilakukan dengan
sengaja dan mengakibatkan cedera psikologis dan juga cedera fisik.
3) Bullying
Bullying didefinisikan sebagai tindakan berulang, yang tidak diinginkan, yang diarahkan
kepada rekan kerja yang lain, dimana hal tersebut dilakukan dengan sengaja maupun secara
tidak sadar – jelas menyebabkan rasa malu dan tertekan, dan menciptakan lingkungan kerja
yang tidak menyenangkan.
4) Ketidaksopanan
Ketidaksopanan tempat kerja berhubungan dengan tindak tanduk kasar, tidak sopan, atau
merendahkan orang lain. Ini merupakan ujung bawah dari kontinum penganiayaan.
Ketidaksopanan bukan kejahatan atau kekerasan, tapi hal tersebut menunjukkan kurangnya rasa
hormat terhadap orang lain. Ketidaksopanan tampak semakin sering terjadi di dalam dan di luar
tempat kerja. Hal ini disayangkan karena penting bagi individu, yang berinteraksi dan bekerja
sama, untuk bertindak dengan cara yang beradab.
5) Penipuan
Penipuan

didefinisikan

sebagai

tindakan

yang

disengaja

untuk

mengalihkan

atau

menyalahartikan informasi yang menyebabkan orang lain atau kelompok yang menyerahkan
sesuatu yang berharga. Banyak pimpinan dan nonpimpinan yang dituduh melakukan penipuan.
6) Penyalahgunaan obat di tempat kerja
Survey terhadap pekerja penuh waktu yang melaporkan penggunaan obat terlarang menyatakan
bahwa mereka biasanya telah memiliki tiga atau lebih pekerjaan sebelumnya, sering kali tidak
hadir ke tempat kerja dan sebagia akibatnya dengan sukarela meninggalkan perusahaan atau
diberhentikan oleh perusahaan.
7) Cyberslacking
Internet telah menyediakan fitur teknologi yang memungkinkan banyak karyawan untuk
bersantai dalam pekerjaan harian mereka. Penggunaan internet untuk kepentingan pribadi
merupakan suatu bentuk dari bermalas-malasan secara virtual atau “cyberslacking”. Perilaku ini
menghabiskan waktu dan tenaga karyawan yang didedikasikan pada persoalan yang tidak

Universitas Sumatera Utara

berkaitan dengan organisasi. Cyberslacking pribadi juga dapat membebani jaringan komputer
organisasi. Karyawan yang mengakses situs pornografi di kantor juga memberikan kontribusi
pada perilaku pelecehan seksual.

Bidang internet

Tabel 2.2 Di mana cyberslacker berselancar ?
Jumlah waktu (%)

Berita umum

29,1%

Investasi

22,5%

Pornografi

9,7%

Travel

8,2%

Hiburan

6,6%

Olah raga

6,1%

Belanja

3,5%

Lainnya

143%

Sumber: Ivancevich, Konopaske dan Matteson (2006:271)

Gambar diatas menunjukkan bagaimana cyberslacker menggunakan waktu mereka berselancar
di internet. Kemampuan menghilangkan semua cyberslacking tidaklah mungkin. Akan tetapi,
dengan memiliki aturan, mengkomunikasikannya, dan memberlakukannya akan mengurangi
jenis perilaku buruk semacam ini.
8) Sabotase
Suatu bentuk perilaku buruk yang mengeluarkan banyak biaya adalah sabotase, yang
berhubungan dengan merusak atau menghancurkan peralatan, tempat kerja atau data rekan
kerja atau organisasi. Sabotase merupakan suatu bentuk kejahatan yang ekstrem. Hal tersebut
dideskripsikan sebagai perilaku buruk yang memasukkan sedikit unsure balas dendam. Orang
yang berusaha melakukan sabotase berusaha untuk mengganggu, menghancurkan atau
membubarkan organisasi
9) Pencurian
Pencurian didefinisikan sebagai pengambilan, konsumsi, atau transfer uang atau barang tanpa
izin dari organisasi. Definisi dari pencurian ini seharusnya mengindikasikan bahwa pencurian

Universitas Sumatera Utara

bukan terbatas pada properti berwujud. Data, informasi, dan kekayaan intelektual, dapat dicuri
pula. Pencurian oleh karyawan merupakan persoalan serius yang perlu diatasi pimpinan.
10) Privasi
Privasi ditempat kerja merupakan hal penting yang dihadapi pimpinan dan karyawan.
Perspektif manajerial mengenai privasi dapat termasuk pengujian obat terlarang, penggeledahan
komputer, pengintaian dengan menggunakan rekaman kaset atau video, dan memonitor
perilaku di luar jam kerja. Kemunculan dan pertumbuhan internet telah menciptakan persoalan
mengenai bagaimana teknologi di tempat kerja dapat mengaburkan batas antara perilaku
pribadi dan perilaku profesional. Survey menyatakan bahwa mayoritas perusahaan
menggunakan beberapa bentuk pengawasan dan/atau pengintaian elektronik untuk menelusuri
aktifitas karyawan.
2.3.4. Segi-Segi Potensial Pemberian Hukuman
Winardi (2004:247) mengatakan, salah satu argumen yang dikemukakan terhadap pemberian
hukuman adalah bahwa timbulnya kemungkinan berupa dampak sampingan yang tidak dikehendaki.
Sekalipun perilaku target karyawan yang tidak dikehendaki dapat ditiadakan, dampak sekunder yang
mungkin timbul karena penghukuman tersebut, akan menimbulkan problem lebih besar dibandingkan
dengan perilaku orisinal yang tidak dikehendaki itu. Sebagai contoh misalnya dapat dikemukakan
bahwa seorang pekerja yang dimarahi oleh atasannya karena ia terlampau lama kembali setelah
istirahat makan siang, mungkin akan menunjukkan reaksi berupa sikap marah terhadap sang pimpinan
dan terhadap organisasi di mana ia bekerja.
Perlu diingatkan bahwa penghukuman kerap kali hanya berarti ditekannya perilaku karyawan
yang tidak dikehendaki tersebut untuk jangka pendek, dan hal itu bukanlah berarti bahwa perilaku
tersebut ditiadakan sama sekali. Hal itu berarti bahwa penghukuman terus-menerus perlu dilakukan
dalam jangka waktu lama, agar perilaku yang tidak diinginkan tersebut dapat ditekan secara terusmenerus pula. Di samping itu, perlu juga diingat bahwa penghukuman dapat menyebabkan terjadinya
upaya masa yang akan datang untuk menghindari atau melepaskan diri dari situasi penghukuman
tersebut (Winardi, 2004:247).

Universitas Sumatera Utara

Dipandang dari sudut pandangan keorganisasian, hal tersebut (reaksi itu) mungkin kurang
menguntungkan, karena seorang karyawan tertentu mungkin menghindari situasi pekerjaan tertentu,
yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaannya yang normal. Problem lain yang
berhubungan dengan penghukuman, adalah potensinya untuk menekan inisiatif dan keluwesan
karyawan. Kita sering kali mendengar ungkapan seorang karyawan yang dimarahi, bahwa “kini akan
saya lakukan hanya apa yang diperintahkan, tidak lebih dari itu”. Salah satu alasan mengapa banyak
pimpinan cenderung memanfaatkan penghukuman sebagai sebuah teknik behavioral, adalah bahwa
perilaku pemberian hukuman sering kali menyebabkan timbulnya hasil-hasil cepat dalam jangka
pendek (Winardi, 2004:248).
Di dalam organisasi-organisasi, bentuk manajemen aversif yang paling umum terlihat adalah
teguran-teguran secara lisan, yang bertujuan untuk mengurangi atau menghentikan suatu perilaku
target karyawan yang tidak dikehendaki (Winardi, 2004:248).
2.4. Kinerja
2.4.1. Pengertian Kinerja
Sulistiyani (2003:223) mengatakan kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan,
usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Mangkunegara (2000:67) mengatakan
kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya. Rivai (2004:309) mengatakan kinerja merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan
setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam
perusahaan.
Pengelolaan kinerja atau manajemen kinerja adalah suatu proses yang dirancang untuk
meningkatkan kinerja organisasi, kelompok dan individu yang digerakkan oleh pimpinan. Pada
intinya manajemen kinerja adalah suatu proses yang dijalani bersama oleh para pimpinan dan individu
serta kelompok yang mereka kelola. Proses ini lebih didasarkan pada prinsip manajemen berdasarkan
kesepakatan (management by objective) daripada manajemen berdasarkan perintah. Manajemen

Universitas Sumatera Utara

kinerja didasarkan pada kesepakatan tentang sasaran, persyaratan pengetahuan, keahlian, dan
kompetensi serta rencana kerja dan pengembangan (Nasution, 2010:141).
Mengginson dalam Mangkunegara (2009:9) mengatakan penilaian prestasi kerja (performance
appraisal) adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk mennetukan apakah seorang
karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Selanjutnya Sikula
dalam Mangkunegara (2009:10) mengatakan penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis
dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian dalam proses penafsiran atau
penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa obyek orang ataupun sesuatu (barang).
2.4.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja
Simamora dalam Mangkunegara (2009:14), kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:
a. Faktor individual yang terdiri dari:
1) Kemampuan dan keahlian
2) Latar belakang
3) Demografi
b. Faktor psikologis yang terdiri dari:
1) Perseps
2) Attitude (tingkah laku)
3) Personality (kepribadian)
4) Pembelajaran
5) Motivasi
c. Faktor organisasi yang terdiri dari:
1) Sumber daya
2) Kepemimpininan
3) Penghargaan
4) Struktur
5) Job design

Universitas Sumatera Utara

2.4.3. Aspek-Aspek Standar Kinerja
Umar dalam Mangkunegara (2009:18) membagi aspek-aspek kinerja sebagai berikut.
a. Mutu pekerjaan,
b. Kejujuran karyawan,
c. Inisiatif,
d. Kehadiran,
e. Sikap,
f.

Kerjasama,

g. Keandalan,
h. Pengetahuan tentang pekerjaan,
i.

Tanggung jawab, dan

j.

Pemanfaatan waktu kerja.

2.4.4. Langkah-Langkah Peningkatan Kinerja
Mangkunegara (2009:22) menyatakan dalam rangka peningkatan kinerja, paling tidak
terdapat tujuh langkah yang dapat dilakukan sebagai berikut:
1) Mengetahui kekurangan dalam kinerja.
Dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu:
a. Mengidentifikasi masalah melalui data dan informasi yang dikumpulkan terus-menerus
mengenai fungsi-fungsi bisnis.
b. Mengidentifikasi masalah melalui karyawan.
c. Memperhatikan masalah yang ada.
2) Mengenai kekurangan dan tingkat keseriusan.
Untuk memperbaiki keadaan tersebut, diperlukan beberapa informasi, antara lain:
a. Mengidentifikasikan masalah setepat mungkin.
b. Menentukan tingkat keseriusan masalah dengan mempertimbangkan:

Universitas Sumatera Utara

a) Harga yang harus dibayar bila tidak ada kegiatan.
b) Harga yang harus dibayar bila ada campur tangan dan penghematan yang diperoleh
apabila ada penutupan kekurangan kinerja.
3) Mengidentifikasikan hal-hal yang mungkin menjadi penyebab kekurangan, baik yang
berhubungan dengan sistem maupun yang berhubungan dengan pegawai itu sendiri.
4) Mengembangkan rencana tindakan untuk menanggulangi penyebab kekurangan tersebut.
5) Melakukan rencana tindakan tersebut.
6) Melakukan evaluasi apakah masalah tersebut sudah teratasi atau belum.
7) Mulai dari awal, apabila perlu.
2.4.5. Karakter-Karakter Individu Dengan Kinerja Tinggi
Berdasarkan hasil penelitian McClelland tentang pencapaiann kinerja, dapat disimpulkan
bahwa individu-individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi untuk mencapai kinerja dapat
dibedakan dengan yang lainnya dalam 4 (empat) ciri seperti yang disadur oleh Pace dalam
Mangkunegara (2009:28) sebagai berikut:
a. Individu yang senang bekerja dan menghadapi tantangan yang moderat.
b. Individu yang memperoleh sedikit kepuasan jika pekerjaannya sangat mudah dan jika terlalu
sulit cenderung kecewa.
c. Individu yang senang memperoleh umpan balik yang konkret mengenai keberhasilan
pekerjaannya.
d. Individu yang cenderung tidak menyenangi tugas tersebut jika tidak mencapai prestasi sesuai
dengan yang diinginkan.
e. Individu yang lebih senang bertanggung jawab secara personal atas tugas yang dikerjakan.
f.

Individu yang puas dengan hasil bila pekerjaan dilakukan sendiri.

g. Individu yang kurang istirahat, cenderung inovatif dan banyak bepergian.
h. Individu yang selalu mencari kemungkinan pekerjaan yang lebih menantang, meninggalkan
sesuatu yang lama dan menjadi rutinitas serta berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru.

Universitas Sumatera Utara

2.5. Pengaruh Reward dan Punishment Terhadap Kinerja Karyawan
Reward merupakan penghargaan atau ganjaran yang diberikan pimpinan kepada karyawannya
yang berprestasi. Sedangkan punishment merupakan sanksi atau hukuman yang diberikan pimpinan
kepada karyawannya yang melanggar peraturan perusahaan. Kinerja merupakan perilaku nyata yang
ditampilkan karyawan. Reward dan punishment bisa dikatakan merupakan beberapa hal yang dapat
memotivasi karyawan untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik. Pimpinan harus mampu
menerapkan reward dan punishment yang seimbang kepada karyawannya.

Universitas Sumatera Utara