Identifikasi Mutasi Gen rpoB, katG dan embB Penyebab Multidrug Resistance Tuberkulosis Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Resistensi bakteri M. tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan ketika
bakteri tidak dapat dibunuh dengan OAT (Ditjen PP dan PL, 2013), sedangkan
Multidrug Resistant Tuberculosis (resistensi ganda terhadap OAT) didefinisikan
sebagai M. tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan
atau tanpa OAT lini pertama lainnya (WHO, 2012; Caminero, 2013). Rifampisin
dan isoniazid merupakan 2 obat terbaik untuk melawan M. tuberculosis karena
rifampisin dan isoniazid merupakan obat yang paling efektif, paling bertoleransi,
dan tidak mahal (Caminero, 2013).
Tuberkulosis resistensi OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan
manusia atau man made phenomenon, sebagai akibat dari pengobatan pasien TB
yang tidak tepat maupun penularan dari pasien TB resistensi OAT (Ditjen PP dan
PL, 2013). Resistensi OAT merupakan infeksi dan dapat ditransmisikan dari
manusia ke manusia (Enarson dan Harries, 2013). Multidrug resistant
tuberculosis merupakan gambaran dari mismanagement pada penderita TB,
masalah kesalahan diagnosis, lamanya menegakkan diagnosis, pengobatan yang
tidak tepat atau terputus, serta mistreatment lini pertama dan lini kedua (Hakeem,
2010).

Menurut Soepandi (2010) disebutkan bahwa secara umum resistensi
terhadap OAT dibagi menjadi :

9
Universitas Sumatera Utara

a. resistensi primer yaitu apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan.
b. resistensi initial yaitu apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada
riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah.
c. resistensi sekunder yaitu apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan
OAT minimal 1 bulan.
2.2 Epidemiologi
Sampai pada akhir 2012 berdasarkan data yang ada, resistensi terhadap
OAT terdapat pada 136 negara (70% dari 194 negara anggota WHO). Dalam hal
ini termasuk 70 negara yang mempunyai sistem survei berkelanjutan berdasarkan
diagnostik uji kepekaan obat pada semua pasien dan 66 negara yang
mengandalkan data pada survei epidemiologi. Eropa Timur dan khususnya
negara-negara di Asia Tengah termasuk negara dengan tingkat MDR-TB tinggi
(WHO, 2013a). Menurut Soepandi (2010) prevalensi TB meningkat 4,3% di

seluruh dunia dan lebih dari 200 kasus baru terjadi di dunia dan di negara
berkembang prevalensi MDR-TB berkisar 4,6%-22,2%.
Survei yang dilakukan di Indonesia diantaranya di Kabupaten Timika
Papua pada tahun 2004, menunjukkan data kasus MDR-TB di antara kasus baru
TB adalah 2%; di Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2006, data kasus MDR-TB di
antara kasus baru TB adalah 1,9% dan kasus MDR-TB pada TB yang pernah
diobati sebelumnya adalah 17,1%; di Kota Makasar pada tahun 2007, data kasus
MDR-TB di antara kasus baru TB adalah 4,1% dan pada TB yang pernah diobati
sebelumnya adalah 19,2% (Ditjen PP dan PL, 2013).

10
Universitas Sumatera Utara

Penelitian yang dilakukan oleh Pires di Mozambique tahun 2011
menunjukkan dari 280 pasien MDR-TB, 188 (65,7%) di antaranya mempunyai
riwayat pengobatan TB sebelumnya dan laki-laki dengan usia 21-40 tahun lebih
sering menderita MDR-TB. Penelitian lain yang dilakukan di Brazil pada tahun
2007 menunjukkan bahwa dari 299 penderita MDR-TB, 221 (73,9%) di antaranya
adalah laki-laki dan 77 (27,3%) mempunyai riwayat TB serta usia rata-rata
penderita TB adalah 36 tahun. Prevalensi MDR-TB 4,7%; 2,2% di antaranya

adalah dari kasus baru TB dan 12% di antaranya dari pasien yang mempunyai
riwayat pengobatan TB sebelumnya. Lamanya waktu diagnosis dan riwayat
pengobatan sebelumnya dapat digunakan sebagai prediksi MDR-TB (Micheletti,
2014).
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya MDR-TB
Faktor utama penyebab terjadinya resistensi bakteri terhadap OAT adalah
ulah manusia sebagai akibat tatalaksana pengobatan pasien TB yang tidak
dilaksanakan dengan baik. Menurut Susanty (2015) penatalaksanaan pasien TB
yang tidak tepat tersebut dapat ditinjau dari sisi:
a. pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena:
i. diagnosis tidak tepat
ii. pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat
iii. dosis, jenis, jumlah obat, dan jangka waktu pengobatan yang tidak tepat.
iv. penyuluhan kepada pasien yang tidak tepat
b. pasien, yaitu karena:
i. tidak memenuhi anjuran dokter/petugas kesehatan
ii. tidak teratur menelan paduan OAT

11
Universitas Sumatera Utara


iii. menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya
iv. gangguan farmakokinetik dan farmakologi obat
c. program Pengendalian TB, yaitu karena:
i. persediaan OAT yang kurang
ii. kualitas OAT yang disediakan rendah atau Pharmaco-vigillance (Ditjen PP
dan PL, 2013).
d. obat
i. pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga
membosankan pasien
ii. obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan tidak komplit
atau tidak sampai selesai
iii. obat tidak dapat diserap dengan baik misalnya rifampisin diminum setelah
makan atau ada diare
e. faktor HIV/AIDS
i. kemungkinan terjadinya MDR-TB lebih besar
ii. gangguan farmakokinetik dan metabolisme obat
iii. kemungkinan terjadinya efek samping lebih besar
f. faktor bakteri
Bakteri M. tuberculosis super strain (bakteri yang resisten paling sedikit 3 atau

4 OAT) sangat virulen dan memiliki daya tahan tubuh lebih tinggi (Soepandi,
2010).
Penderita dengan risiko resisten OAT dibagi atas 3 kelompok yaitu:
penderita yang kontak dengan pasien yang resisten OAT, penderita yang pernah
mendapat pengobatan, dan penderita yang gagal pengobatan (Pinto dan Menzies,

12
Universitas Sumatera Utara

2011). Penelitian yang dilakukan Liang pada tahun 2012 di Cina menunjukkan
bahwa pasien yang mendapat pengobatan ulang berisiko 5,48 kali (95%)
menderita MDR-TB dibandingkan dengan kasus baru. Pasien yang pernah
mendapat isoniazid dan rifampisin lebih dari 180 hari berisiko 4,82 kali (95%)
menderita MDR-TB dibandingkan dengan pasien yang pernah mendapat isoniazid
dan rifampisin kurang dari 180 hari. Ada hubungan antara usia dan lamanya
mendapat

pengobatan

TB


dengan

MDR-TB.

Kemiskinan,

kurangnya

pengetahuan, dan efek samping pengobatan TB juga merupakan faktor yang
mempengaruhi terjadinya MDR-TB. Kurangnya koordinasi pelayanan dan
pengawasan pengobatan yang tidak memuaskan dapat mengancam pengendalian
MDR-TB.
Pasien yang mendapat beberapa pengobatan TB dan mendapat pengobatan
terakhir di rumah sakit 13 kali mempunyai risiko MDR-TB dibandingkan dengan
pasien yang mendapat pengobatan di tempat lain. Ada beberapa penjelasan yang
mungkin untuk penemuan kasus ini: pasien mungkin saja sudah MDR-TB ketika
pasien terdaftar di rumah sakit dan pasien tidak menerima pengobatan yang efektif
untuk MDR-TB; pasien telah terdaftar tanpa MDR-TB dan menerima pengobatan
salah yang menyebabkan permasalahan dalam perkembangan MDR-TB; atau

pasien adalah MDR-TB yang didapat dari transmisi nosokomial (Zhao, 2012).
Menurut Sarwani (2012), pengobatan yang terputus ataupun tidak sesuai
dengan standar Directly Observed Treatment, Short-Course (DOTS) juga dapat
berakibat pada munculnya kasus MDR-TB. Penyebaran MDR-TB, maupun MDRTB dengan HIV dan tidak tersedianya rapid diagnostic ikut menyumbang
terjadinya kegagalan pengendalian TB di seluruh dunia (Lawn dan Nicol, 2011;

13
Universitas Sumatera Utara

Zumla, 2013). Bahkan di negara kaya, MDR-TB berhubungan dengan
meningkatnya risiko yang merugikan, termasuk kematian (Low, 2009; Migliori,
2009; Minion, 2013).
2.4 Klasifikasi Resistensi OAT
Menurut WHO (2013b) dan dalam buku petunjuk Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) tahun
2013 klasifikasi resistensi OAT yaitu:
a. monoresitance: resisten terhadap salah satu OAT misalnya resisten isoniazid
(H).
b. polyresistance: resisten terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistensi isoniazid dan etambutol

(HE), rifampisin etambutol (RE), isoniazid etambutol dan streptomisin (HES),
rifampisin etambutol dan streptomisin (RES).
c. Multi Drug Resistance (MDR): resisten terhadap isoniazid dan rifampisin
dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya HR, HRE, HRES.
d. Extensively Drug Resistance (XDR): MDR-TB disertai resisten terhadap salah
satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin dan amikasin).
e. TB Resisten Rifampisin (TB RR): resisten terhadap rifampisin (monoresisten,
poliresisten, MDR-TB, TB XDR) yang terdeteksi menggunakan metode
fenotip atau genotip dengan atau tanpa resisten OAT lainnya.

14
Universitas Sumatera Utara

2.5 Suspek TB Resisten Obat
Suspek TB resisten obat adalah semua orang yang mempunyai gejala TB
yang memenuhi satu atau lebih kriteria suspek di bawah ini:
a. pasien TB kronik.
b. pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan.

c. pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta
menggunakan kuinolon atau obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan.
d. pasien TB kategori 1 yang gagal.
e. pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan pengobatan.
f. pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan kategori 2.
g. pasien TB kasus kambuh setelah loss to follow-up (lalai berobat/default).
h. suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien MDR-TB.
i. pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian OAT.
Pasien yang memenuhi salah satu kriteria suspek TB resisten obat harus
dirujuk secara sistematik ke RS Rujukan MDR-TB untuk kemudian dikirim ke
laboratorium rujukan MDR-TB dan dilakukan pemeriksaan apusan basil tahan
asam (BTA) mikroskopis, biakan, dan uji kepekaan M. tuberculosis dengan
metode konvensional maupun rapid test atau metode cepat (Ditjen PP dan PL,
2013).
2.6 Mekanisme Resistensi M. tuberculosis terhadap OAT
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri obligat aerob dan
pertumbuhannya memerlukan oksigen konsentrasi tinggi. Pada lesi kavitas
parenkim paru yang mempunyai oksigen konsentrasi tinggi, M. tuberculosis

15

Universitas Sumatera Utara

bereplikasi dengan cepat (Chiang, 2013). Resistensi terhadap OAT bukanlah
fenomena yang baru terjadi. Sejak pertama kali antimikroba digunakan untuk
pengobatan TB, sesungguhnya telah terjadi resistensi yang cukup tinggi, sehingga
antimikroba yang baru menjadi banyak digunakan di masyarakat (Enarson dan
Harries, 2013). Strain M. tuberculosis resisten terhadap strepromisin segera
muncul setelah diperkenalkannya obat untuk mengobati TB pada tahun 1944
(Zhang dan Yew, 2009).
Resisten terhadap antimikroba merupakan karakteristik bawaan (innate) M.
tuberculosis. Hal ini berhubungan dengan mutasi genetik yang terjadi secara
alamiah pada sebagian besar populasi M. tuberculosis wild type padahal
antimikroba belum pernah digunakan dan tidak menimbulkan gejala klinis.
Timbulnya gejala klinis yang signifikan disebabkan pengunaan antimikroba yang
salah dan yang merupakan fenomena akibat aktivitas manusia. Jika pasien hanya
diobati dengan 1 antimikroba saja (hanya 1 M. tuberculosis yang sensitif), M.
tuberculosis yang sensitif akan mati, sedangkan M. tuberculosis yang resisten
bertahan untuk memperbanyak diri sehingga seluruh populasi M. tuberculosis
menjadi resisten terhadap obat. Resisten terhadap lebih dari 1 jenis antimikroba
biasanya terjadi ketika antimikroba terus menerus digunakan dengan salah,

sehingga M. tuberculosis yang resisten terhadap obat jumlahnya semakin banyak
(Enarson dan Harries, 2013).

16
Universitas Sumatera Utara

Strain wild M.tuberculosis
Mutasi spontan

Strain resisten obat
Seleksi oleh rejimen yang salah,
penggunaan obat atau kepatuhan
Resistensi Obat Perolehan
transmisi karena keterlambatan diagnosis,
kepadatan penduduk dan pengendalian
infeksi yang tidak memadai

Resistensi Obat Primer

Gambar 2.1 Konsep perkembangan resistensi OAT (dimodifikasi dari sumber :
Zhang dan Yew, 2009)

Jika ditelaah secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi gen dan
akibatnya membuat obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi secara
spontan dan individu menghasilkan resistensi OAT. Pada kasus baru resisten OAT
terdapat galur M. tuberculosis pada pasien baru yang didiagnosis TB dan
sebelumnya tidak pernah diobati dengan OAT atau durasi kurang dari 1 bulan.
Pasien ini terinfeksi galur M. tuberculosis yang resisten OAT disebut dengan
resistensi primer. Kasus resisten OAT yang telah diobati sebelumnya yaitu
terdapatnya galur M. tuberculosis resisten pada pasien selama mendapatkan terapi
TB paling sedikit 1 bulan. Pada awalnya TB resisten OAT terjadi karena
terinfeksi galur M. tuberculosis yang masih sensitif obat tetapi selama perjalanan
terapi timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi obat perolehan atau
resistensi sekunder. Populasi galur M. tuberculosis resisten mutan dalam jumlah

17
Universitas Sumatera Utara

kecil dapat dengan mudah diobati. Terapi yang tidak tepat menyebabkan
proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat (Hanafi dan
Prasenohadi, 2010).
2.7 Jenis-jenis Resistensi M. tuberculosis terhadap OAT
2.7.1 Intrinsik Drug Resistance atau Natural Resistance (Resistensi Obat
Intrinsik atau Resistensi Alami)
Resistensi obat intrinsik M. tuberculosis terjadi karena adanya struktur
asam mikolat yang terkandung pada dinding sel sehingga mempunyai
permeabilitas yang rendah terhadap berbagai jenis bahan seperti antibiotik dan
obat kemoterapi lainnya (Da Silva dan Palomino, 2011; Chiang, 2013).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada M. tuberculosis, aktivitas βlaktamase dikode oleh blaC dan blaS. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
pada M. tuberculosis, Rv1698 mempunyai peranan fungsi yang sama dengan
MspA dalam resistensi intrinsik terhadap bahan hidrofilik. Tidak hanya
permeabilias barier atau β-laktamase yang bertanggung jawab terkait dengan
resistensi intrinsik tetapi juga disebabkan adaptasi fisiologi di antara host (Da
Silva dan Palomino, 2011).
2.7.2 Acquired Drug Resistance (Resistensi Perolehan)
Penelitian yang dilakukan Kochi, et al dalam Da Silva dan Palomino
(2011) menunjukkan bahwa resistensi M. tuberculosis berbeda dengan spesies
bakteri lainnya, resistensi perolehan umumnya terjadi melalui perpindahan elemen
genetik seperti plasmid, transposon atau integron secara horizontal. Resistensi
obat perolehan pada M. tuberculosis kebanyakan disebabkan oleh mutasi spontan
pada gen kromosomal sehingga menghasilkan seleksi strain M. tuberculosis

18
Universitas Sumatera Utara

resisten selama penggunaan obat yang kurang optimal (Da Silva dan Palomino,
2011; Chiang, 2013) seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.1.
Menurut penelitian David dalam Chiang (2013), rerata mutasi tiap
bakteri/generasi adalah 2,56 X 10-8 untuk isoniazid; 2,95 X 10-8 untuk
streptomosin; 2,2 X 10-7 untuk etambutol; dan 2,25 X 10-10 untuk rifampisin.
Penelitian lain menunjukkan bahwa rerata mutasi terjadi pada seleksi obat alami,
tetapi pada kebanyakan OAT mutasi terjadi pada rerata 10-9 mutasi perbagian sel.
Hal ini menjadi alasan utama mengapa OAT diberikan secara kombinasi, karena
suatu mutan berisiko mengalami 2 mutasi resisten 10-18 (Da Silva dan Palomino,
2011).
Menurut Espinal dalam Patel (2012) ketika tuberkulosis diobati dengan 1
jenis obat, pada awalnya populasi basil TB berkurang karena membunuh populasi
TB yang sensitif sehingga pada sputum smear (apusan dahak) sering memberikan
hasil yang negatif (menunjukkan bahwa organisme hanya sedikit). Organisme
yang bertahan pada fase awal adalah mutan yang resisten obat, kemudian
berproliferasi dan akhirnya seluruh populasi basil menjadi resisten obat dan terus
menerus melakukan proliferasi sampai jumlah basil yang resisten mencukupi
untuk menimbulkan gejala dan pada sputum smear memberikan hasil positif, ini
yang disebut dengan fall and rise phenomenon.
Menurut Canetti dan Crofton dalam Pinto dan Menzies (2011) jika
tuberculosis hanya diobati dengan 1 jenis obat saja, bacillary load organisme
melebihi 106 dan dapat dipastikan muncul bakteri resisten obat. Jika bacillary
load melebihi 108, maka resistensi akan berkembang jika hanya 2 obat saja yang
digunakan dalam terapi tersebut. Bacillary load yang melebihi 106 terjadi pada

19
Universitas Sumatera Utara

penderita dengan infiltrat tuberkulosis (ketika hasil apusan dahak negatif
meskipun hasil kulturnya positif) dan melebihi 10 8 ketika kavitas terjadi pada
penderita TB dan biasanya sputum direct smear (apusan langsung) hasilnya
positif. Resistensi perolehan M. tuberculosis terhadap OAT dipaparkan sebagai
berikut :
a. resistensi terhadap isoniazid
Isoniazid merupakan salah satu obat utama dalam pengobatan TB (Zhang
dan Yew, 2009; Da Silva dan Palomino, 2011). Isoniazid hanya aktif melawan
pertumbuhan bakteri M. tuberculosis dan tidak aktif melawan yang tidak M.
tuberculosis atau di dalam suasana asam (Zhang dan Yew, 2009). Isoniazid
memiliki struktur yang sederhana, mengandung cincin piridin dan gugus hidrazid
yang sangat penting untuk aktivitas melawan M. tuberculosis. Meskipun
strukturnya sederhana, namun kerjanya rumit dan strain resisten isoniazid telah
diisolasi segera setelah aktivitas anti TB diketahui. Resistensi bakteri terhadap
isoniazid melalui proses yang rumit. Mutasi terjadi pada beberapa gen termasuk
katG, ahpC, inhA, kasA, dan ndh dihubungkan dengan resistensi isoniazid (Da
Silva dan Palomino, 2011).
Isoniazid merupakan pro-drug yang membutuhkan aktivasi enzim
katalase/peroksidase yang dikode oleh katG (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan
Palomino, 2011). Aktivasi isoniazid dipengaruhi oleh sintesis asam mikolat
dengan menginhibisi NADH-dependent enoyl-ACP reduktase, yang dikode oleh
inhA (Da Silva dan Palomino, 2011). Mekanisme dua molekuler tersebut telah
menunjukkan bahwa penyebab utama resistensi isoniazid yaitu dimediasikan

20
Universitas Sumatera Utara

melalui mutasi pada katG dan inhA atau lebih pada daerah promoter (Zhang dan
Yew, 2009; Da Silva dan Palomino, 2011).
b. resistensi terhadap rifampisin
Rifampisin merupakan lipophylic ansamycin yang diperkenalkan pada
tahun 1972. Oleh karena kerja antimikrobanya yang efisien, rifampisin dianjurkan
bersama dengan isoniazid menjadi dasar pengobatan TB (Da Silva dan Palomino,
2011). Rifampisin merupakan obat yang paling efektif untuk melawan M.
tuberculosis dan mungkin merupakan satu-satunya obat yang mampu membunuh
mikroorganisme dalam semua kondisi pertumbuhan metabolik (Caminero, 2013).
Target kerja rifampisin pada M. tuberculosis adalah sub unit β-RNA
(ribonucleid acid) polymerase, yang mengikat dan menginhibisi perpanjangan
RNA messenger atau mRNA (Da Silva & Palomino, 2011). Karakteristik utama
rifampisin adalah melawan secara aktif bakteri yang sedang tumbuh dan yang
lambat metabolismenya atau tidak tumbuh (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan
Palomino, 2011).
Resistensi rifampisin pertama kali diketahui pada tahun 1970-an, tetapi
tidak mendapat perhatian sampai pada tahun 1990-an (Caminero, 2013).
Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin disebabkan mutasi
pada gen rpoB yang dikode β-subunit RNA polymerase, sehingga menyebabkan
afinitas obat rendah terhadap target kerja, akhirnya berkembangnya resistensi.
Mutasi pada hot spot region pada 81 base phare (bp) dari rpoB telah ditemukan
pada sekitar 96% M. tuberculosis yang resisten rifampisin. Region ini terdapat
pada kodon 507-533, juga dikenal sebagai rifampicin resistance-determining
region (RRDR). Mutasi pada kodon 531 dan 526 (Da Silva dan Palomino, 2011),

21
Universitas Sumatera Utara

516 lebih sering dilaporkan pada kebanyakan penelitian (Zhang dan Yew, 2009;
Da Silva dan Palomino, 2011).
Beberapa studi juga melaporkan terjadinya mutasi di luar hot spot region
rpoB dari M. tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin. Penelitian di
Vietnam menunjukkan bahwa prevalensi mutasi resisten rifampisin pada rpoB
region core (76%) sama dengan prevalensi resistensi isoniazid dengan mutasi di
katG kodon 315 sebesar 76,83% (Minh, 2012). Hal utama yang berhubungan
dengan rifampisin adalah hampir semua strain resisten rifampisin juga
menunjukkan resisten terhadap obat lain, khususnya isoniazid (Yao, 2010; Da
Silva dan Palomino, 2011). Untuk alasan inilah deteksi resistensi rifampisin telah
diajukan sebagai penanda molekular pengganti (surrogate molecular marker)
untuk MDR (Da Silva dan Palomino, 2011). Metode molekuler untuk mendeteksi
mutasi rpoB pada resisten terhadap rifampisin umumnya lebih sensitif berbanding
metode mendeteksi katG atau mutasi inhA untuk identifikasi mutasi isoniazid
(Chiang, 2013).
c. resistensi terhadap pirazinamid
Pirazinamid adalah suatu struktur analog nikotinamid dan pro-drug yang
memerlukan konversi dari asam pirazinoat oleh enzim pirazinamidase (PZase)
yang dikode pada M. tuberculosis oleh gen pncA. Pirazinamid ditemukan pada
tahun 1952, digunakan dalam pengobatan TB yang sebelumnya selama 9 bulan
menjadi 6 bulan (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan Palomino, 2011). Salah
satu karakteristik pirazinamid adalah kemampuannya menghambat basil semi
dorman yang berada dalam suasana asam ((Da Silva dan Palomino, 2011; Chiang,
2013) dan membunuh basil yang tidak dapat dibunuh oleh obat lain jika dalam

22
Universitas Sumatera Utara

suasana asam (Zhang dan Yew, 2009). Aktivitas pirazinamid akan meningkat
dalam kondisi sedikit oksigen atau dalam kondisi anaerobik (Chiang, 2013).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pirazinamid masuk ke sel M.
tuberculosis secara difusi pasif lalu dikonversi ke dalam asam pirazinoat oleh
PZase dan diekskresikan oleh efflux pump yang lemah. Dalam suasana asam,
proton asam pirazinoat diabsorbsi dan diakumulasi di dalam sel oleh karena efflux
pump yang tidak efisien sehingga merusak sel. Teori lain juga menyatakan bahwa
asam pirazinoat dan n-propil ester menghambat sintesis asam lemak tipe 1 dalam
replikasi bakteri. Mutasi yang terjadi pada pncA merupakan mekanisme utama
resistensi pirazinamid pada M. tuberculosis. Perubahan paling sering terjadi pada
region 561 bp atau pada region 82 bp putative promoter (Da Silva dan Palomino,
2011)
d. resistensi terhadap streptomisin
Streptomisin merupakan suatu antibiotika aminocyclitol glicoside yang
merupakan antibiotika pertama yang digunakan dalam pengobatan TB.
Streptomisin pertama kali diisolasi dari mikroorganisme tanah, Streptomyces
griseus (Da Silva dan Palomino, 2011). Streptomisin menghambat sintesa protein
dengan mengikat 30S subunit ribosom bakteri, menyebabkan kesalahan membaca
pesan mRNA selama translasi. Resistensi streptomisin disebabkan oleh mutasi
pada S12 protein yang dikode oleh gen rpsL dan 16S rRNA yang dikode gen rrs
(Zhang dan Yew, 2009).
Mutasi pada rpsL (50%) dan rrs (20%) merupakan mekanisme utama pada
resistensi streptomisin (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan Palomino, 2011).
Mutasi utama pada rpsL adalah subsitusi pada kodon 43 dari lisin ke arginin yang

23
Universitas Sumatera Utara

menyebabkan resisten yang tinggi terhadap streptomisin. Mutasi juga terjadi pada
kodon 88. Mutasi gen rrs terjadi pada loop 16S rRNA yang terdiri dari 2 region
nukleotida 530 dan 915 (Zhang dan Yew, 2009).
e. resistensi terhadap etambutol
Etambutol,

2,2’-(1,2-ethanediyldiimino)

bis-1-butanol,

pertama

kali

digunakan pada tahun 1966 untuk melawan TB bersama isoniazid, rifampisin, dan
pirazinamid merupakan obat lini pertama yang digunakan untuk pengobatan TB.
Etambutol aktif melawan bakteri dengan mengganggu biosintesa arabinogalaktan
dinding sel (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan Palomino, 2011). Etambutol
menghambat polymerase dinding sel arabinan dari arabinogalaktan dan
lipoarabinomannan

dan

menyebabkan

akumulasi

D-arabinofuranosyl-P-

decaprenol, perantara dalam biosintesa arabinan (Zhang dan Yew, 2009).
Beberapa tahun yang lalu, resistensi etambutol menunjukkan bahwa gen
embCAB M. tuberculosis diatur sebagai 10 kbp operon yang dikode untuk
mycobacterial arabinosyl transferase. Pada penelitian isolat M. tuberculosis yang
resisten etambutol, menunjukkan bahwa hampir 50% mengalami mutasi pada
kodon 306 embB. Penelitian lebih lanjut oleh Sreevatsan menunjukkan terdapat
hubungan embB dengan resistensi terhadap etambutol (Da Silva dan Palomino,
2011).
2.8 Diagnosis dan Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis TB yang resisten terhadap obat dipastikan berdasarkan uji
kepekaan M. tuberculosis baik dengan metode konvensional maupun rapid test
atau metode cepat (Ditjen PP dan PL, 2014) dan semua metode mempunyai
keunggulan dan kelemahan (Ditjen Bina Upaya Kesehatan, 2012).

24
Universitas Sumatera Utara

a. metode konvensional
i. menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/LJ) atau media cair (MGIT)
ii. digunakan untuk uji kepekaan terhadap OAT lini pertama dan OAT lini
kedua
b. tes cepat (rapid test)
i. Menggunakan Xpert MTB/RIF atau lebih dikenal dengan GeneXpert :
a) Merupakan tes amplifikasi asam nukleat secara otomatis sebagai sarana
deteksi TB dan uji kepekaan untuk rifampisin.
b) Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2 jam.
c) Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin
ii. Menggunakan Line probe assay (LPA):
a) Dikenal sebagai Hain test/Genotype MTB DR plus.
b) Hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu kurang lebih 24 - 48 jam
tergantung ketersediaan sarana dan sumber daya yang ada.
c) Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin dan Isoniazid
2.8.1

Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1985, merupakan prosedur

yang efektif untuk pelipatgandaan (amplifikasi) DNA. Proses ini mirip dengan
proses replikasi DNA dalam sel. Amplifikasi ini menghasilkan lebih dari sejuta
kali DNA asli. Hasil pelipatgandaan segmen DNA ini menyebabkan segmen DNA
yang dilipatgandakan tersebut mudah dideteksi karena konsentrasinya tinggi.
Pendeteksian dilakukan dengan metode pemisahan molekul berdasarkan bobot
molekulnya, yang disebut elektroforesis menggunakan gel agarosa (Sudjadi,

25
Universitas Sumatera Utara

2008). Proses pelipatgandaan DNA oleh PCR meliputi tiga tahapan proses utama,
yaitu:
Proses pertama melepaskan rantai ganda DNA menjadi dua rantai tunggal DNA
dengan proses denaturasi. Proses denaturasi DNA dilakukan dengan cara
menaikkan suhu sampai 95oC. Sebelum proses denaturasi, biasanya diawali
dengan proses denaturasi inisial untuk memastikan rantai DNA telah terpisah
sempurna menjadi rantai tunggal.
Proses kedua adalah annealing atau pemasangan 2 rantai primer pada kedua
rantai DNA tersebut. Primer berfungsi sebagai pancingan awal untuk
pelipatgandaan segmen DNA. Primer terdiri dari 18 - 24 deret basa nukleotida
pengode DNA adenin(A), guanin (G), sitosin (C), dan timin (T) yang disintesis
secara artifisial dan biasanya dapat dipasangkan dengan DNA yang akan
dideteksi. Proses pemasangan primer dengan DNA yang akan dideteksi
membutuhkan suhu optimum sesuai kebutuhan primer. Biasanya dengan cara
menurunkan suhu antara 37oC-60oC.
Proses ketiga disebut ekstension atau perpanjangan. Pada proses ini
deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), yang sebelumnya telah ditambahkan dalam
pereaksi, menyebabkan primer yang awalnya hanya 18 sampai 24 deret basa
nukleotida akan memperoleh tambahan basa nukleotida yang terdapat di dNTP
dan kemudian sesuai dengan panjang segmen DNA yang dilipatgandakan. Proses
ini dibantu oleh enzim DNA polimerase yang bekerja optimum pada suhu 72oC.
dNTP merupakan kumpulan 4 jenis basa nukleotida (A,G,C, dan T) yang terikat
pada 3 gugus fosfat dan masing-masing berdiri bebas sampai enzim DNA
polimerase mengkatalis pengikatannya pada primer. Setelah siklus PCR berakhir,

26
Universitas Sumatera Utara

proses final extension dilakukan selama 5-15 menit pada suhu yang sama dengan
proses ekstensi untuk menjamin semua rantai tunggal DNA telah penuh terbentuk.
Ketiga proses ini dilakukan berulang-ulang sampai jumlah kelipatan segmen DNA
sesuai dengan kebutuhan (Sudjadi, 2008).
2.8.2

Elektroforesis
Elektroforesis merupakan teknik pemisahan molekul dalam suatu campuran

di bawah pengaruh medan listrik. Molekul yang terlarut dalam medan listrik akan
bergerak dengan kecepatan tertentu. Elektroforesis melalui gel agarosa merupakan
metode standar untuk pemisahan, identifikasi, dan pemurnian fragmen DNA.
Agarosa diisolasi dari ganggang laut dengan stuktur D-galaktosa dan 3,6-anhidroL
–galaktosa. Gel agarosa dibuat dengan melelehkan agarosa dalam bufer dengan
pemanasan dan kemudian dituangkan pada cetakan serta didiamkan sampai
dingin. Setelah mengeras, dialiri medan listrik pada kedua ujungnya, sehingga
DNA yang bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak ke anoda. Molekul
DNA yang lebih besar akan bergerak lebih lambat karena terjadi gesekan lebih
besar. Untuk mendeteksi adanya DNA, sebelum dimasukkan dalam gel agarosa,
terlebih dahulu diwarnai dan kemudian dapat dilihat adanya pita molekul pada gel
agarosa jika diletakkan di atas cahaya ultraviolet. Pita molekul ini menandakan
adanya segmen DNA (Sudjadi, 2008).

27
Universitas Sumatera Utara

2.9 Pengobatan dan Pencegahan MDR-TB
2.9.1

Pengobatan dan Panduan Obat MDR-TB di Indonesia
Berdasarkan WHO (2014), klasifikasi OAT dibagi atas 5 kelompok

pengobatan pasien MDR-TB berdasarkan khasiat, pengalaman penggunaan,
potensi, dan efikasinya (Tabel 2.1)
Tabel 2.1 Pengelompokan OAT (Sumber: WHO guidelines for the programmatic
management of drug-resistant tuberculosis, 2014)
Golongan
Golongan 1

Jenis
Obat lini pertama

Golongan 2

Obat injeksi
kedua

Golongan 3

Golongan
Fluorokuinolon

Golongan 4

Obat bakteriostatik
lini kedua

Golongan 5

Obat yang
mempunya data
terbatas mengenai
efikasi dan
keamanan jangka
panjang jika
digunakan secara
rutin MDR-TB
(Termasuk
didalamnya agen
OAT baru)

lini

Obat
Isoniazid (H)
Rifampisin (R)
Etambutol (E)
Pirazinamid (Z)
Rifabutin
Rifapentine
Streptomisin (S)
Kanamisin (Km)
Amikasin (Am)
Kapreomisin (Cm)
Levofloksacin (Lfx)
Moksifloksasin (Mfx)
Gatifloksasin (Gfx)
Etionamid (Eto)
Protionamid (Pto)
Sikloserin (Cs)
Terizidon (Trd)
Para amino salisilat (PAS)
Para amino salisilat sodium (PAS-Na)
Bedaquiline (Bdq)
Delamanid (Dlm)
Linezolid (Lzd)
Clofazimine (Cfz)
Amoksisilin/Asam klavulanat (Amx/Clv)
Imipenem/Cilastatin (Ipm/Cln)
Meropenem (Mpm)
High-dose Isoniazid (High dose H)
Thioacetazone (T)
Klaritromisin (Clr)

28
Universitas Sumatera Utara

Pilihan kombinasi obat MDR-TB saat ini adalah kombinasi standar, yang pada
permulaan pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien MDR-TB yang
sudah positif menderita MDR-TB secara laboratoris. Adapun kombinasi yang
akan diberikan adalah:
Km – Eto – Lfx – Cs- Z – (E)/ Eto – Lfx – Cs – Z – (E)

Keterangan : Pada fase awal injeksi Km diberikan selama 6 hari, obat peroral Eto–
Lfx – Cs- Z – (E) diberikan setiap hari selama minimal 8 bulan, pada
fase lanjutan hanya diberikan obat peroral Eto – Lfx – Cs – Z – (E)
single dose setiap hari selama minimal 12 bulan.
a. paduan OAT MDR standar diberikan pada pasien yang sudah positif menderita
TB RR/MDR secara laboratoris.
b. bila ada riwayat penggunaan paduan OAT yang dicurigai telah ada resistensi,
misalnya pasien sudah pernah mendapat fluorokuinolon pada pengobatan TB
sebelumnya maka diberikan levofloksasin dosis tinggi.
c. paduan OAT MDR standar akan disesuaikan paduan atau dosisnya jika:
i. terdapat tambahan resistensi terhadap OAT lainnya berdasarkan hasil uji
kepekaan. Contoh:
a) etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resistan
b) apabila pasien terbukti resistan terhadap Kanamisin maka Kanamisin
diganti dengan Kapreomisin
ii. terjadi efek samping berat dan obat penyebab sudah diketahui, maka obat
bisa diganti bila tersedia obat pengganti, contoh:
a) apabila pasien mengalami efek samping gangguan kejiwaan karena
sikloserin maka sikloserin dapat diganti dengan PAS.

29
Universitas Sumatera Utara

b) apabila pasien mengalami gangguan pendengaran karena kanamisin,
maka kanamisin dapat diganti dengan kapreomisin
iii. dosis atau frekuensi disesuaikan bila:
a) terjadi perubahan kelompok berat badan
b) terjadi efek samping berat dan obat pengganti tidak tersedia
d. jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar
adalah sebagai berikut:
Cm – Lfx - Eto – Cs- Z – (E)/ Lfx - Eto – Cs – Z – (E)
Keterangan : Pada fase awal injeksi Cm diberikan selama 6 hari, obat peroral Eto–
Lfx – Cs- Z – (E) diberikan setiap hari selama minimal 8 bulan, pada
fase lanjutan hanya diberikan obat peroral Eto – Lfx – Cs – Z – (E)
single dose setiap hari selama minimal 12 bulan.

e. jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon, maka paduan standar
adalah sebagai berikut:
Km – Mfx - Eto – Cs- PAS - Z – (E)/ Mfx - Eto – Cs –PAS- Z – (E)
Keterangan : Pada fase awal injeksi Km diberikan selama 6 hari, obat peroral Eto–
Mfx – Cs- PAS – Z - (E) diberikan setiap hari selama minimal 8
bulan, pada fase lanjutan hanya diberikan obat peroral Eto – Mfx –
Cs – PAS - Z – (E) single dose setiap hari selama minimal 12 bulan.
f. jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB
XDR), maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Cm – Mfx - Eto – Cs- PAS - Z – (E)/ Mfx - Eto – Cs –PAS- Z – (E)
Keterangan : Pada fase awal injeksi Cm diberikan selama 6 hari, obat peroral Eto–
Mfx – Cs- PAS - Z – (E) diberikan setiap hari selama minimal 8
bulan, pada fase lanjutan hanya diberikan obat peroral Eto – Mfx –
Cs –PAS - Z – (E) single dose setiap hari selama minimal 12 bulan.

30
Universitas Sumatera Utara

g. terapi antiretroviral (ART) direkomendasikan untuk semua pasien MDR-TB
dengan HIV sedini mungkin (dalam delapan minggu pertama) setelah memulai
pengobatan anti-TB.
Pada Desember 2012, Food and Drug Administration (FDA) Amerika
Serikat menyetujui diarylquinoline sebagai obat baru untuk MDR-TB. Obat baru
MDR-TB yang lain yaitu delamanid telah sampai pada uji coba klinis fase kedua
(Shim dan Jo, 2013).
2.9.2

Pemberian Obat Pada Penderita MDR-TB
Pemberian obat pada penderita yang sudah didiagnosis MDR-TB yaitu:

a. pada fase awal adalah tahap pemberian suntikan minimal 8 bulan dan durasi
dapat berubah sesuai dengan respon pasien terhadap terapi. Obat per oral
diberikan single dose setiap hari (7 hari dalam 1 minggu) dan suntikan
diberikan 6 (enam) hari dalam seminggu (Senin – sabtu). Obat suntikan harus
diberikan oleh petugas kesehatan (WHO, 2014).
b. pada fase lanjutan adalah pasien pemberian paduan OAT tanpa suntikan setelah
menyelesaikan fase awal. Obat per oral diberikan single dose selama 7 (tujuh)
hari dalam seminggu minimal selama 12 bulan.
c. lama pengobatan fase awal dan fase lanjutan minimal 20 bulan setelah terjadi
konversi biakan. Lama pengobatan dapat berubah sesuai dengan respon pasien
terhadap terapi. Metode utama untuk melihat respon terapi adalah dengan
melihat konversi biakan, gejala klinis dan hasil radiografi.
d. pada pengobatan MDR-TB dosis dapat dinaikkan secara bertahap (incremental
dose) untuk menimalkan efek samping obat. Tanggal pertama pengobatan
adalah hari pertama pasien mendapatkan obat dengan dosis penuh.

31
Universitas Sumatera Utara

e. pemberian obat oral selama periode pengobatan fase awal dan fase lanjutan
adalah berdasarkan prinsip Directly Observed Treatment (DOT) dengan
Pengawas Minum Obat (PMO) diutamakan adalah tenaga kesehatan terlatih
(Ditjen PP dan PL, 2013).
2.9.3 Dosis
Dosis obat pada penderita yang sudah didiagnosis MDR-TB didasarkan
pada berat badan pasien. Adapun perhitungan dosis OAT MDR-TB adalah seperti
tercantum pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Perhitungan dosis OAT MDR
OAT
Isoniazid
Rifampicin
Pirazinamid
Ethambutol
Rifabutin
Levofloksasin
Moksifloksasin
Etionamid
Protionamid
Sikloserin
PAS
Bedaquiline
Klofazimin
Linezolid
Amoxicillin/ Clavulanat 7/1
Amoxicillin/ Clavulanat 8/1
Isoniazid Dosis tinggi
Imipenem / cilastatin
Meropenem
OAT
Streptomisin
Kanamisin

Dosis Harian
4-6 mg/kg sehari sekali
8-12 mg/kg sehari sekali
20-30 mg/kg sehari sekali
15-25 mg/kg sehari sekali
5-10 mg/kg sehari sekali
750-1000 mg/kg sehari sekali
400 mg sehari sekali
500-750 mg/ hari terbagi dalam 2 dosis
500-750 mg/ hari terbagi dalam 2 dosis
500-750 mg/ hari terbagi dalam 2 dosis
8 g/ hari terbagi dalam 2 dosis
400 mg sehari sekali selama 2 minggu, kemudian
200 mg diberikan dalam 3 kali seminggu
200-300 mg (2 bulan pertama) kemudian 100 mg
600 mg sehari sekali
800 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis
800 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis
16-20 mg/kg sehari sekali
1000 mg imipenem / 1000 mg cilastatin sehari 2
kali
1000 mg sehari 3 kali (dosis alternatif 2000 mg
sehari 2 kali)
Injeksi OAT
Dosis Harian
12-18 mg/kg sehari sekali
15-20 mg/kg sehari sekali

32
Universitas Sumatera Utara

Lanjutan Tabel 2.2 Perhitungan dosis OAT MDR
OAT
Dosis Harian
Amikasin
15-20 mg/kg sehari sekali
Kapreomisin
15-20 mg/kg sehari sekali
(Sumber : WHO guidelines for the programmatic management of drug-resistant
tuberculosis, 2014)
Penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Ahuja, et al., (2012)
menunjukkan bahwa keberhasilan pengobatan MDR-TB dan keberlangsungan
hidup pasien berhubungan dengan penggunaan florokuinolon, etionamid atau
protionamid dan dosis obat yang efektif. Hasil penelitian Johnston, et al., (2009)
secara systemic review dan meta-analisis menunjukkan bahwa faktor yang
berhubungan dengan outcome pengobatan yang lebih buruk adalah penggunaan
alkohol, body mass index (BMI) rendah, apusan dahak positif pada saat diagnosis
dan resisten florokuinolon. Sedangkan faktor yang berhubungan dengan outcome
yang baik adalah adanya tindakan pembedahan, tidak ada riwayat OAT dan
penggunaan florokuinolon sebelumnya.
2.9.4

Pencegahan Terjadinya MDR-TB
Pencegahan resitensi OAT, khususnya MDR-TB, merupakan bagian

penting dari program kontrol TB (Nathanson, et al., 2010). Hasil penelitian di
Cina menunjukkan bahwa lebih dari 40% penderita MDR-TB adalah penderita
yang telah mendapat pengobatan sebelumnya tetapi tidak lengkap. Usaha yang
langsung untuk mencegah dan mengobati MDR-TB secara efektif serta resistensi
OAT lainnya diperlukan untuk menurunkan jumlah prevalensi kasus dan
mengurangi transmisi MDR-TB (WHO, 2013a).
Salah satu cara untuk mencegah MDR-TB pada pasien, sebaiknya tes
resistensi terhadap obat harus dilakukan sebelum dilakukan pengobatan dan
pilihan pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil tes tersebut (Zhao et al 2012).

33
Universitas Sumatera Utara