Analisis Yuridis Penyelesaian Sengketa Pembagian Waris Berdasarkan Hukum Adat Angkola Di Kabupaten Tapanuli Selatan Chapter III V

BAB III
PERAN LEMBAGA ADAT JIKA TERJADI SENGKETA DALAM
PEMBAGIAN WARIS PADA MASYARAKAT ANGKOLA DI KABUPATEN
TAPANULI SELATAN

A. Pengertian Lembaga Adat Masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli
Selatan
1. Pengertian Lembaga Adat
Keberagaman yang ada di masyarakat Indonesia harus dikelola dengan
baik. Setiap kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang mempunyai budaya
dan adat istiadat yang berbeda harus dipenuhi dan diselaraskan dengan
kepentingan masyarakat Indonesia. Karena itu, dibentuk lembaga budaya yang
menaungi kebutuhan pengembangan adat istiadat. Lembaga budaya di dalam
masyarakat

berperan untuk pengembangan budaya, ilmu pengetahuan,

lingkungan, seni dan pendidikan pada masyarakat yang bersangkutan.
Keberagaman hukum adat yang hidup berkembang dalam masyarakat
indonesia yang masing-masing dilatar belakangi oleh karakter budaya berbedabeda menciptakan hukum yang berbeda-beda pula sehingga keberagaman itu
lebih ramah disebutkan oleh kalangan penstudi atropologi hukum sebagai

pluralisme hukum, hal ini pula terjadi perbedaan paradigma penyelesaian
sengketa dalam masyarakat hukum adat antara yang satu dengan yang lainnya.

97
Universitas Sumatera Utara

Disamping itu eksistensi institusi lokal termasuk lembaga adat akhir-akhir
ini adalah sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati, lembaga adat yang
dulunya mampu eksis dan berperan dalam penyelesaian kasus atau perkara di
dalam masyarakat namun sekarang telah terjadi pergeseran paradigma
penyelesaian sengketa dalam masyarakat.
Hal ini dibuktikan dengan berbagai aktifitas penyelesaian sengketa di
kalangan masyarakat di Tapanuli Selatan tengah mengalami kemunduran dan
tidak mampu berbuat banyak dalam penyelesaian sengketa khususnya
penyelesaian sengketa waris di mana untuk penyelesaian sengketa, masyarakat
cenderung lebih menggunakan penyelesaian sengketa waris secara kekeluargaan
ataupun lembaga pengadilan.142 Namun di satu sisi harapan masyarakat untuk
menyelesaikan

sengketa


melalui

lembaga

pengadilan

justeru

kembali

menemukan permasalahan baru berupa resistensi atas sebuah keputusan
pengadilan terhadap perkara tertentu karena dianggap oleh sebagaian masyarakat
tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat.143
Istilah lembaga adat merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata
“lembaga” dan “adat”. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut Institution
yang bermakna pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian literal
ini, lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada
pola prilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki
142


Hasil wawancara dengan Marhan Harahap, Sekertaris camat Batang Angkola, tanggal
03 Maret 2016
143
Ibid

98
Universitas Sumatera Utara

struktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Struktur adalah tumpukan logis
lapisan-lapisan yang ada pada sistem hukum yang bersangkutan. 144
Menurut Pasal 95 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,
Lembaga adat adalah merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat
istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang
atas prakarsa masyarakar Desa.145 Lembaga yang dimaksud bertugas membantu
pemerintah desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan
mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat
masyarakat desa.
Menurut Ter Haar146 dalam buku Badruzzaman, lembaga hukum adat
lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum,

terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu
pelaksanaan perbuatan-perbuatan hakim yang bertugas mengadili sengketa,
sepanjang keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum.
Menurut ilmu-ilmu budaya, lembaga adalah suatu bentuk organisasi yang
tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasi-relasi
yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi
hukum guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.147 Sebagaimana
diketahui di Indonesia dikenal kelompok masyarakat adat dan disebut
144

Mohammad Daud Ali, HukumIslam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Hal. 216
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
146
Badruzzaman Ismail, 2007, Mesjid dan Adat Meunasha Sebagai Sumber Energi
Budaya Aceh, Banda Aceh, MAA, Hal. 150.
147
Hendropuspita, Sosiologi Agama, Yogyakarta : Kanisius, 1994, hal.114
145

99

Universitas Sumatera Utara

persekutuan-persekutuan yang berhubungan erat satu sama lainnya. Dalam
pergaulan sehari-hari, setiap orang sebagi anggota masyarakat persekutuan itu
merasa terikat untuk bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang
tergariskan sebagi suatu kesatuan.
Diketahui masyarakat adat Angkola memiliki lembaga adat yakni
Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu yaitu tiga unsur yang disebut kahanggi
(teman semarga), anak boru (pihak pengambil isteri), dan mora (pihak pemberi
isteri). Dalihan Na Tolu dianalogikan dengan tiga tungku, yang biasanya batu
yang dipakai untuk menyangga periuk atau kuali ketika sedang memasak. Jarak
antara ketiga tungku sama. Sehingga ketiganya dapat menyangga secara kokoh
alat memasak diatasnya. 148 Titik tumpu periuk atau kuali berada pada ketiga
tungku secara bersama-sama dan mendapat tekanan berat yang sama. Periuk
dapat diartikan sebagai beban kewajiban bersama,149 atau sebagai kerja bersama
atau lazim diartika Horja. Seluruh tataan Daliha Na Tolu mengambil bagian
dalam Horja.150 Karena itu, Dalihan Na Tolu disimbolkan dengan tiga tungku,

148


Berbeda dengan istilah Z. Pengaduan Lubis yang mengartikan Lubis yang
mengartikan Dalihan Na Tolu sebagai tiga tumpuan, bukan tiga tungku, sebagai sistem
kekerabatan tersebut menumpukan kehidupan pada tiga unsur Fungsional. Sedangkan dalam
“sastra mandailing dan kita : Suatu Perkenalan Awal”, makalah seminar kebudayaan mandailing,
Fakultas Sastra USU, Medan, 1990, lebih lanjut dikatakan bahwa masyarakat mandiling yang
garis keturunannya patrineal disebut dengan Dalihan Na tolu. Inilah yang berperan dan
menentukan pada kelompok kekerabatan kahanggi, anak boru, dan mora.
149
Maksud “beban kewajiban bersama” disini adalah beban kewajiban adat, yakni
kebiasaan yang tidak tertulis tetapi sudah sejak lama dipraktikkan. Adanya unsur kebiasaan yang
tidak tertulis menjadikannya sebagai hukum adat.
150
Horja berarti kerja, bukan hanya secara fisik, tetapi bermakna lahir dan batin, yang
didalamnya berisi nilai-nilai religi, kultural dan sosial. Horja dapat dilakukan setelah

100
Universitas Sumatera Utara

bertujuan untuk menunnjukkan kesamaan peran, kewajiban dan hak dari ketiga
unsur dalam Dalihan Na Tolu.

Sebagai suatu sistem, dalam Dalihan Na Tolu terdapat sejumlah hirarki
pengelompokan kekerabatan (mora,kahanngi,anakboru) yang saling berkaitan
(interpensi) dan berbagai fungsional yang harus dipenuhi dalam melaksanakan
tujuan bersama, memelihara pola, dan memepertahankan kesatuan. Semua kaitan
fungsional ini harus dipenuhi demi tercapainya keseimbangan dan keharmonisan.
Keseimbangan dan keharmonisan masing-masing unsur terlihat pada
ungkapan-ungkapan kata tradisional orang Tapanuli Selatan, “manat sanga pe
jamot marhamaranggi, elek marboru, hormat marmora”, artinya kita harus
berhati-hati kepada kahanggi, berlaku sayang kepada anak boru, dan selalu
hormat kepada mora. Ungkapan lain dan makna yang sama, “sagama
markahanggi, olong maranak boru, dan sangap marmora”. Ketiga unsur
kekerabatan ini terjadi karena hubungan darah dan hubungan perkawinan. Dari
garis keturunan ayah, abang ke atas disebut satu marga dan itulah unsur
kahanggi. Garis keturunan pihak ibu ke atas dinamakan mora. Sedangkan garis
anak perempuan kesamping melalui perkawinan dinamakan anak boru.
Perbedaan kedudukan dan fungsi ini ditentukan oleh kedudukannya,
apakah pada saat itu yang bersangkutan berkedudukan sebagai kahanggi, anak
memperoleh kata sepakat dari semua unsur Dalihan Na Tolu pada waktu pelaksanaan
marpokat/martahi atau disebut musyawarah mufakat.


101
Universitas Sumatera Utara

boru atau mora. Jika pada suatu saat tertentu seseorang berkedudukan sebagai
kahanggi, mora, dan anak boru maka pada saat lain dapat berubah-ubah sesuai
dengan situasi, kondisi dan tempat. Setiap orang secara pribadi memiliki 3 (tiga)
dimensi dalam kedudukannya sebagai Dalihan Na Tolu ataupun sebagai anggota
masyarakat. Oleh sebab itulah orang Mandailing Angkola selalu dapat
menyesuaikan diri jika dibutuhkan.
2. Unsur-unsur Dalihan Na Tolu
a. Suhut dan Kahanggi
Kahanggi adalah satu kelompok kerabat satu marga. Mereka ini termasuk
dalam salah satu kelompok kerabat dari tiga unsur Dalihan Na Tolu. Istilahistilah lain yang menyangkut kerabat kahanggi adalah antara lain : saama saina,
marangka maranggi, saama, saompu, saparaman, saparompuan, sabona, atau
sahaturunan.151 Yang dimaksud dengan suhut dan kahangginya adalah suatu
kelompok keluarga yang semarga atau yang mempunyai garis keturunan yang
sama dalam satu huta yang merupakan Bonabulu (pendiri Kampung). Suhut
berkedudukan sebagai tuan rumah didalam pelaksanaan upacara-upacara adat.
Suhut dan kahangginya terdiri dari :152
1. Suhut

2. Hombar Suhut (Kahanggi)
151

Basyral hamidy harahap, Siala sampagul: Nilai-nilai Luhur Budaya Masyarakat Kota
Padangsidimpuan, Cet. 1, Padang Sidimpuan : Pemerintah Kota Padang Sidimpuan, 2004, Hal.
23

102
Universitas Sumatera Utara

3. Kahanggi Pareban kelompok orang/seseorang yang kedudukannya
menjadi kahanggi, karena sepengambilan (isterinya bersaudara).
Didalam suatu huta (Kampung) dikenal dengan apa yang disebut
dengan Namoramora di huta.

Yang dimaksud dengan Namora adalah

kerabat-kerabat, kahanggi dan raja huta (yang mendirikan huta dan yang
masih satu keturunan dan semarga dengannya).


153

1. Yang dimaksud dengan “Suhut” adalah mereka yang merupakan tuan
rumah didalam pelaksanaan upacacara adat (yang punya hajatan).
Kelompok inilah yang merupakan penanggung jawab terhadap segala
sesuatunya yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara adat tersebut.
2. Hombar suhut, adalah keluarga dan kahanggi semarga dengan suhut tetapi
tidak satu nenek. Hombar suhut ini tidak hanya yang berasal dari huta
yang sama, tetapi juga dari luar huta yang masih mempunyai hubungnya
keluarga dan semarga dengan suhut.
3. Kahanggi pareban, adalah keluarga kelompok pertama dan yang ketiga
sama-sama mengambil isteri dari keluarga yang sama. Dalam status adat
Kahanggi Pareban ini dianggap sebagai saudara Markahanggi berdasarkan
perkawinan.

153

Pandapotan Nasution, Op. Cit. Hal.83

103

Universitas Sumatera Utara

b. Anak Boru
Anak boru adalah kelompok keluarga yang dapat atau yang mengambil
isteri dari kelompok suhut. Anak boru sebagaimana halnya dengan suhut
dibagi diatas:154
1. Anak Boru Bona Bulu ( anak boru asal pengalehenan ni boru) adalah anak
boru yang telah mempunyai kedudukan sebagai anak boru sejak
pertamakalinya suhut menempati huta. Anak boru inilah yang pertama
mengambil boru dari keluarga kelompok suhut. Anak boru ini bahkan turut
membuka huta dan turut bertempat tinggal dengan suhut di huta tersebut.
Anak boru ini didalam paradaton (upacara adat) turut menentukan segala
sesuatunya. Kedudukan anak boru terhadap suhut akan menjadi kedudukan
anak boru terhadap moranya. Jika dipandang dari sudut suhut, maka
pendampingnya adalah anak boru. Anak boru dari kelompok ini disebut
juga dengan bayo-bayo magodang (goruk-goruk hapinis).155
2. Anak boru busir ni pisang (anak boru pengalehenan ni boru) adalah anak
boru yang karena orang tuanya mengambil isteri dari kelompok suhut.
Oleh sebab itu anak-anaknya akan tampil sebagai anak boru busir ni
pisang. Dengan demikian secara turun temurun berhak menjadi isteri dari
kelompok suhut ini.156

154

Ibid, Hal. 84
Ibid, Hal. 84
156
Ibid, Hal. 84
155

104
Universitas Sumatera Utara

3. Anak boru sibuat boru adalah anak boru yang mengambil isteri dari suhut,
dengan demikian ia berkedudukan sebagai anak boru (sibuat boru). lama
kelamaan anak boru ini (turunannya) akan menjadi anak boru busir nipisang
(anak boru pada tingka kedua).

c. Mora
Mora adalah tingkat keluarga yang oleh suhut mengambil boru (isteri)
dari kelompok ini. Mora terbagi atas tiga kelompok yaitu: 157
1. Mora mata ni ari adalah kelompok keluarga yang secara turun temurun
menjadi mora, karena kelompok suhut sejak pertamakalinya, telah
mengambil boru dari kelompok ini. Dalam upacara adat mora mata ni ari
ini dapat hadir sebagai harajaon.
2. Mora Ulu Bundar (Pangalapan Boru) adalah Mora tempat kelompok
suhut mengambil boru. Mora ini adalah kelompok keluarga yang telah
pernah memberi boru kepada suhut, oleh kerena itu secara turun temurun
kelompok suhut dapat mengambil boru dari kelompok mora ini.
3. Mora Pambuatan Boru adalah kelompok keluarga tempat suhut
mengambil isteri. Mora sebagai kelompok keluarga yang baru
pertamakalinya memberikan boru kepada keluarga suhut. Suhut yang
mengambil boru secara langsung ini menganggap keluarga mora ini
sebagai mora pambuatan boru.
157

Ibid, Hal. 85

105
Universitas Sumatera Utara

Apabila Dalihan Na Tolu ini dikembangkan, mora tentu mempunyai mora,
maka jika dipandang dari sudut suhut, maka kedudukannya adalah mora ni mora.
Demikian juga dengan anak boru tentu mempunyai anak boru dan jika dipandang
dari sudut suhut, kedudukannya disebut pisang raut. Upacara-upacara yang
terdapat pada horja (Kerja adat) pada dasarnya adalah musyawarah adat yang telah
tertata dan teratur sebagaimana terlihat pada upacara siriaon dan Siluluton.
Termasuk dalam siriaon (kegembiraan) meliputi kelahiran Perkawinan, dan
memasuki rumah baru. Sedang dalam siluluton (peristiwa kesedihan atau dukacita)
meliputi kematian, tolak bala dan musibah lain.158 Dalam melakukan kedua
peristiwa tersebut orang Tapanuli Selatan berpedoman pada norma-norma dan
aturan yang bersumber dari adat-istiadat159 dan ajaran agama Islam.
Dengan

demikian,

dalam

menyikapi

peristiwa-peristiwa

tersebut

masyarakat Mandailing dan Angkola dipengaruhi oleh dua nilai pokok, yakni : (1)
nilai-nilai adat dan (2) Islam. Kedua nilai ini saling mempengaruhi sikap, tindakan
dan perilaku masyarakat Muslim Mandailing dan Angkola. Interaksi yang berasal
dari kata social Interaction, memberikan kepada aktornya pengaruh timbal balik
atau saling mempengaruhi.

158

Abbas Pulungan, Peranan Dalihan Na Tolu Dalam Proses Interaksi Antara Nilai-Nilai
Adat Dengan Islam Pada Masyarakat Mandailing dan Angkola Tapanuli Selatan, IAIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2003, Hal .2
159
Maksud adat istiadat di sini adalah nilai adat, yakni kebiasaan yang tidak tertulis tetapi
sudah dipraktikkan (kebiasaan) dimasyarakat. Sebab disamping hukum tertulis biasanya ada apa
yang disebut dengan “hukum kebiasaan” atau hukum tidak terkodifikasi, yakni kompleks
peraturan-peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan. Lihat R van Dijk, Pengantar hukum adat
Indonesia, ter. A. Soehardi (Bandung: Sumur Bandung 1979), Hal. 6 dan 8.

106
Universitas Sumatera Utara

Sejalan dengan proses interaksi sosial dalam perjalanan sejarah, kedua
etnis Mandailing dan Angkola, mempunyai kecenderungan kehidupan sosial,
budaya, dan keberagaman yang berbeda, Masyarakat Mandailing memiliki aturanaturan adat yang relatif melonggar karena intensitas pengaruh nilai-nilai ajaran
Islam.160 Sebaliknya masyarakat Angkola masih sangat terikat dengan aturanaturan adat. Kuat dan longgarnya pengalaman aturan adat dalam sistem kehidupan
sosio religius masyarakat Tapanuli Selatan dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Faktor-faktor tersebut pada prinsipnya dapat dibagi menjadi dua, yakni: (1)
Internal, dan (2) eksternal.161
Basyral Hamidy Harahap menemukan bahwa gubungan Islam dengan adat
sering bersifat antagonistik, bahkan lebih jauh lagi, adat sedang dalam proses
pembersihan dari islam. Lebih lanjut menurut Basyral, kalangan batak muslim
cenderung melaksanakan ketentuan agama Islam sambil tetap melaksanakan
lembaga adat Dalihan Na Tolu dalam memecahkan masalah keseharian.162 Namun
dari segi adat, praktik tersebut telah melemah dan dearajat keberlakuannya berkurang
menjadi sekedar sistem seremonial belaka. Bahkan menurut temuannya, Islam tidak
menyesuaikan diri terhadap adat, tetapi Islam telah turut memberi defenisi terhadap
adat. Ketaatan orang terhadap ajaran agama sekarang lebih kuat daripada adat.163

160

Abbas Pulungan, Op. Cit. Hal. 2
Abbas Pulungan, Op. Cit. Hal. 3
162
Ibid. Hal. 4
163
Basyral Hamidy Harahap, Islam and Adat Among South Tapanuli Migrants in tree
Indonesia Cities”, Tahun ke XIII, No 2, 1986, Hal. 236
161

107
Universitas Sumatera Utara

Adat Tapanuli Selatan juga melentur ketika berhadapan dengan kemajuan
zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, langsung atau tidak
mempengaruhi sistem dan nilai sosial. Faktor-faktor inilah yang dimaksud dengan
faktor eksternal interaksi adat dan Islam. Dengan demikian maksudnya adalah
bagaimana kedua nilai adat dan Islam saling mempengaruhi terhadap tindakan dan
perilaku masyarakat Mandailing dan Angkola.
Sistem nilai adat Tapanuli Selatan adalah sistem nilai yang tak tertulis.
Konsekuensinya sulit mendapatkan satu sistem yang mencakup seluruh aspek
kehidupan,164 yang berfungsi sebagai alat memupuk rasa solidaritas dan rasa
identitas. Ada beberapa prinsip yang telah ditanamkan untuk mengikat rasa
solidaritas dan identitas orang Tapanuli Selatan yaitu:165
1. Baenama huta dohot banua martalaga na so hiang, artinya jadikanlah desa
sekitarnya menjadi lahan yang tidak kering. Tujuannya adalah ingin mencapai
kemakmuran dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada.
2. Baenma huta dohot banua merguluan na so marlinta, artinya jadikanlah desa
dan sekitarnya menjadi kubangan yang tidak berlintah (security/aman).
Maknanya agar desa dan sekitarnya harus diperjuangkan supaya menjadi
tentram, rukun, bekerja sama, tolong menolong dan saling gotong royong,
tidak saling menipu, tidak ada pemerasan, tidak ada lintah daratnya.
3. Baenma huta dohot banua marjalangan na so marrongit, artinya jadikanlah
desa dan sekitarnya menjadi lapangan bermain yang tidak bernyamuk artinya
bersih dan nyaman.
4. Baenma huta dohot banua mardomu tahi, artinya jadikanlah desa dan
sekitarnya menjadi masyarakat yang slalu bermusyawarah mufakat.

164
Belakangan telah dijumpai beberapa literatur tentang adat istiadat etnis Tapanuli Selatan yang
mencerminkan etnis-etnis lokal dan marga-marga, di antaranya: Horja :adat istiadat Dalihan Na Tolu Iyang
disusun parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna dan Basyral Hamidi Harahap, yang terbit tahun
1993. Pandapotan Nasution, Uraian Singkat tentang adat Mandailing serta tatacara perkawinannya, (Jakarta:
Widya press 1994). Lembaga adat kecamatan Sipirok, Adat budaya Angkola-Sipirok Haruannya Mardomu
Bulung Napa-napa Ni sibualbuali (sipirok: tnp 1997)

165

Abbas Pulungan, Op. Cit. Hal.5

108
Universitas Sumatera Utara

5. Baenma huta dohot banua martonggo tu somboan, artinya jadikanlah desa
dan sekitarnya bertaqwa kepada Tuhan.166
Na di parsinta di atas lebih mengacu kepada masyarakat dan lingkungan.
Sedang prinsip atau sistem nilai yang lebih mengacu kepada individu dinamakan
Poda na lima (ajaran yang lima) meliputi:
1. Paias rohamu, bersihkan jiwamu
2. Paias pamatangmu, bersihkan tubuhmu
3. Paias parabitonmu, bersihkan pakaianmu
4. Paias bagasmu, bersihkan rumahmu
5. Paias pakaranganmu, bersihkan lingkungan tempat tinggalmu
Ajaran di atas mengandung ajaran yang cukup mendalam, sebab kalau na
di parsinta diakhiri dengan ajaran bersifat spiritual, sementara poda na lima
diawali dengan ajran bersifat spiritual pula. Maka dapat dianalisi bahwa
masyarakat Angkola sejak dahulu telah menganut nilai spiritual-religius.
B. Lembaga Adat Pada Masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan
Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Waris.
1. Sengketa Waris pada Masyarakat Angkola
Dalam kehidupan sehari-hari persoalan waris seringkali menjadi
persoalan krusial yang terkadang memicu pertikaian serta menimbulkan
keretakan dalam keluarga sehingga hukum waris menduduki tempat yang sangat
penting dalam hukum adat, hukum waris islam maupun hukum positif di
166

Ibid

109
Universitas Sumatera Utara

Indonesia. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh
setiap orang. Disamping itu masalah kewarisan sangat mudah menimbulkan
sengketa di antara ahli waris.
Seperti kasus sengketa waris yang terjadi pada keluarga Almarhum T.
Harahap, bukanlah satu-satunya kasus sengketa yang pernah terjadi di Tapanuli
Selatan. Ada beberapa kasus yang terjadi di Tapanuli Selatan, di kecamatan
Angkola Timur misalnya tepatnya pada Desa Pargarutan Pasar. Disana terdapat
kasus yang hampir persis sama seperti yang terjadi pada keluarga almarhum T.
Harahap.
Pada kasus yang terjadi di Desa Pargarutan pasar kecamatan Angkola
Timur, terjadi sengketa pembagian harta warisan yang melibatkan keluarga A.
Siregar dengan B. Boru Siregar. Pokok masalah pada kasus ini, B boru Siregar
tidak menyetujui hasil pembagian harta warisan berupa persawahan. B. Boru
Siregar merasa tidak dipenuhi hak warisnya, hanya dikarenakan dia anak
perempuan dia tidak mendapatkan hak waris. Padahal sebelum ayahnya
meninggal dialah yang mengurus perwasahan tersebut. Tetapi pada akhirnya
kasus ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan menggunakan waris
secara Islam dan tidak sampai pada tingkat musyawarah adat dan pengadilan.167
Lalu berdasarkan data penelitian yang dilakukan, di daerah desa
Parsalakan Kecamatan Angkola Barat, juga pernah terjadi kasus Sengketa waris

167

Hasil Wawancara dengan Darwin Dalimunthe S.pd, Camat Kecamatan Angkola
Timur, Tanggal 02 Maret 2016

110
Universitas Sumatera Utara

yang terjadi kali ini berbeda. Di dalam kasus ini sengketa yang terjadi pada
Keluarga M. Ritonga dengan adiknya N. Ritonga, di kasus ini yang terjadi adalah
M. Ritonga dengan diam-diam menjual sebidang tanah milik keluarga tanpa
persetujuan keluarga lainnya yakni adiknya N. Ritonga. Disini N. Ritonga tidak
diberikan hak warisnya, M. Ritonga kemudian dilaporkan ke pihak yang
berwajib, tetapi kemudian laporan ini dicabut kemudian kasus ini diselesesaikan
secara Kekeluargaan dengan menggunakan penyelesaian waris Islam dengan
bantuan dari Dalihan Na Tolu.168
Di Kecamatan Batang Angkola tepatnya di desa Huta Tongah, pernah
terjadi kasus sengketa waris pada Keluarga H. Siregar dengan adiknya B.
Siregar. Ayah H. Siregar yakni Z. Siregar adalah pemilik Angkutan umum di
desanya. Mereka memiliki 3 petak sawah, Z. Siregar mewariskan 2 petak sawah
kepada anak ke 2nya B. Siregar dan 1 petak sawah lagi kepada anak pertamanya
H. Siregar. H. Siregar tidak menerimanya dikarenakan mereka sama-sama anak
lelaki. H. Siregar merasa ia berhak atas bagian yang sama rata. Kasus ini
kemudian dimusyawarahkan secara kekeluargaan

tapi tidak ditemukan kata

kesepakatan, kemudian kasus ini berlanjut untuk dimusyawarahkan secara adat
dan diputuskan bahwa mereka mendapat bagian yang mereka inginkan.169

168

Hasil Wawancara dengan Maruhum Hot Taufiq, S.Sos, sekertaris camat Kecamatan
Angkola Barat, Tanggal 02 April 2016
169
Hasil Wawancara dengan Mahran Harahap, S.Sos, sekertaris camat Kecamatan, Batang Angkola,
Tanggal 03 Maret 2016

111
Universitas Sumatera Utara

Dari ketiga kasus, dua kasus diselesaikan dengan cara musyawarah
keluarga

2

kasus

menggunakan

waris

Islam

sebagai

patokan

untuk

menyelesaikan masalah dan 1 kasus menggunakan hukum waris Adat. Adapun
penylesaian dilakukan dengan bantuan lembaga Dalihan Na Tolu dan yang satu
menggunakan musyawarah adat yang di mediasi oleh Lembaga Dalihan Na Tolu
dan Hatobangon Harajaon.
2. Peran dan Kedudukan

Lembaga Adat dalam Menyelesaikan Sengketa

secara Adat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan
Pengertian lembaga adat menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan,
Lembaga Adat adalah Lembaga Kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk
maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah
masyarakat atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah
hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak
dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai
permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat
dan hukum adat yang berlaku.170
Pasal 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 Tentang
Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan Lembaga Adat berfungsi bersama
pemerintah merencanakan, mengarahkan, mensinergikan program pembangunan
170

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan

112
Universitas Sumatera Utara

agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang
dalam masyarakat demi terwujudnya keselarasan, keserasian, keseimbangan,
keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Lembaga adat berfungsi sebagai
alat kontrol keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik
preventif maupun represif, antara lain:171
a. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;
b. Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul di
masyarakat.
Kemudian, lembaga adat juga memiliki fungsi lain yaitu:
a. Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan di
segala bidang terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan
kemasyarakatan.
b. Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya
c. Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial kepadatan dan keagamaan.
d. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat dalam rangka memperkaya,
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan
kebudayaan adat khususnya.
171

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penataan
Lembaga Kemasyarakatan

113
Universitas Sumatera Utara

e. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk
kesejahteraan masyarakat desa adat.
Adapun wewenang dari lembaga adat meliputi:
a. Mewakili masyarakat adat dalam pengurusan kepentingan masyarakat adat

tersebut.
b. Mengelola hak-hak dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan

kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.
c. Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan

kebiasaan-kebiasaan

masyarakat

sepanjang

penyelesaiannya

tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat dan

agama untuk kepentingan desa adat.
e. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan pada

tingkat desa.
f.

Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, kabupaten/
kota desa adat tersebut berada.
Sengketa dalam pembagian warisan diantara para ahli waris timbul

dikarenakan adanya pihak yang ingin menguasai harta secara perorangan dan
menuntut bagian atas harta warisan. Salah satu faktor yang menyebabkan
sengketa terjadi adalah faktor ekonomi yang merupakan pokok masalah utama
dari timbulnya masalah pembagian waris.

114
Universitas Sumatera Utara

Contoh dari kasus yang pernah terjadi pada keluaga T Harahap. Yang
menjadi permsalahanya disini ialah pembagian warisan yang menurut salah satu
keturunanya tidak adil. Ibu T Siregar (52 tahun) mendapatkan kabar dari
keluarga mantan suaminya bahwa P Harahap (58 Tahun) – mantan suaminya
meninggal

karena

serangan

Jantung.

Keluarga

mantan

suaminya

memberitahukan : bahwa sebelum meninggal P Harahap pernah berpesan secara
lisan kepada kakaknya D Harahap bahwa salah satu rumah miliknya diberikan
kepada A boru Harahap, yaitu anak kandung P Harahap yang berusia 26 tahun.
Walaupun keluarganya mengakui wasiat yang diberikan P Harahap secara lisan
melalui kakaknya, T Siregar merasa ragu karena tidak ada bukti tertulis bahwa P
Harahap memang pernah mewasiatkan rumah tersebut untuk anak mereka.
Yang menjadi masalah disini putra dari P Harahap anak dari perkawinan
ke duanya dengan M boru Samosir yaitu F Harahap (24 Tahun) tidak menyetujui
hal ini. Padahal dia juga sudah mempunyai hak waris yang sudah ditentukan oleh
P harahap. Dari persoalan ini timbul sengketa karena merasa dia anak lelaki
seharusnya dia berhak atas semua harta dari ayahnya.
Kasus ini pernah diselesaikan secara kekeluargaan namun tidak dapat
mencapai

kesepakatan

sehingga

pihak

keluarga

berkesimpulan

untuk

menyelesaikan kasus ini secara adat dan kedua belah pihak yang bersengketa
diberi nasihat oleh kepala desa dan ketua adat, yang akhirnya kasus ini dapat

115
Universitas Sumatera Utara

terselsaikan. Sehingga pembagian warisan terlaksana sesuai dengan amanat
pewaris yaitu A. Boru Harahap mendapat sebuah dari almarhum P. Harahap.
Dalam wawancara dengan Kepala adat di Tapanuli Selatan, Sutan Tinggi
Barani Perkasa Alam menyatakan 172 secara hukum adat memang benar semua harta
warisan yang ada berhak dimiliki oleh F. Harahap dikarenakan dia adalah anak lelaki
satu-satunya. Secara adat harta warisan itu adalah haknya seutuhnya. tetapi anak
perempuan juga punya hak atas harta warisan tersebut.
Dalam pelaksanaan pembagian waris di Kabupaten Tapanuli Selatan peranan
pemuka masyarakat memegang peranan penting. Pada masyarakat adat Angkola, di
kecamatan Batang Angkola, Angkola Timur dan Angkola Barat. Khususnya di
kecamatan Angkola Batang Angkola sengketa mengenai warisan pernah terjadi
tetapi tidak sampai dilanjutkan ke pengadilan hanya diselesaikan dengan
musyawarah keluarga.173 karena rasa kekeluargaan masih tinggi dan peranan ketua
adat maupun pemuka agama masih berpengaruh besar bagi masyarakat adat
setempat.
Tabel 6.
Penyelesaian Sengketa waris di Kabupaten Tapanuli Selatan
No. Tindakan yang dilakukan jika terjadi perselisihan diantara Responden
ahli waris terhadap pembagian harta warisan

n=30

172

Hasil wawancara dengan Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, Ketua Adat di Padang
Sidimpuan, Tanggal 05 April 2016
173
Hasil wawancara dengan Marhan Harahap, Sekertaris camat Batang Angkola, tanggal
03 maret 2016

116
Universitas Sumatera Utara

1.

Melalui musyawarah Keluarga

12

2.

Melalui musyawarah adat/Sidang Adat

18

3.

Melalui pengadilan Agama/Pengadilan Negeri

0

jumlah

30

Sumber : Data hasil wawancara di 3 (tiga) kecamatan yakni Kecamatan
Angkola Timur, Angkola Barat dan Batang Angkola, Tahun 2016

Dari tabel diatas 12 orang responden mengambil tindakan yang dilakukan
jika terjadi perselisihan diantara ahli waris terhadap pembagian harta warisan
memilih menyelesaikan melalui musyawarah keluarga dan 18 orang responden
memilih menyelesaikan melalui musyawarah adat. Tabel ini merupakan
keseluruhan dari hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tapanuli Selatan
yang meliputi desa Pargarutan pasar, desa Parsalakan dan desa Huta Tongah.
Dari 12 orang responden yang memilih tindakan melalui musyawarah
keluarga, terdapat 8 orang yang memilih menggunakan pewarisan secara Islam.
Sedangkan 4 responden memilih menggunakan hukum waris adat. Menurut
Darwin Dalimunthe masyarakat desa Pargarutan Pasar dominan beragama Islam
dan tunduk pada Hukum Islam sedangkan hanya sebagian kecil masyarakat
beragama Nasrani.174 Sedangkan 18 orang responden yang memilih melalui

174

Hasil wawancara dengan Camat Angkola Timur, tanggal 2 Maret 2016

117
Universitas Sumatera Utara

musyawarah adat atau sidang adat, juga terdapat pembagian waris secara Islam
yakni 17 orang responden dan 1 orang responden menggunakan hukum adat.175
Apabila terjadi perselisihan dalam pembagian harta warisan pada
masyarakat Angkola, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara musyawarah,
baik melalui musyawarah keluarga maupun musyawarah dengan Hatobangon
dan Dalihan Na Tolu. Musyawarah ini bertujuan untuk mencapai penyelesaian
damai sehingga kerukunan keluarga dapat terpelihara dan masing-masing pihak
yang berselisih dapat menerima hasil musyawarah itu. Adapun perselisihan
dengan cara musyawarah tersebut yaitu:176
a. Musyawarah secara kekeluargaan
Musyawarah keluarga dipimpin oleh keluarga yang tertua yang
dianggap mampu dan bijak sana dalam mengambil keputusan. Di dalam
musyawarah ini juga dihadirkan Dalihan Na Tolu yang diwakili dengan Mora,
Kahanggi Idan Anak Boru. Musyawarah di mulai dengan membicarakan
masalah dari pokok sengketa yang terjadi diantara ahli waris, kemudian
pimpinan musyawarah akan mengemukakan nasihat dan masukan yang isinya
menguraikan arti penting kerukunan hidup dalam keluarga dan menguraikan
dampak buruk akibat perpecahan keluarga yang mungkin terjadi akibat
sengketa harta warisan.
175
176

Hasil dari Penelitian melalui Angket di 3 desa
Hasil wawancara dengan Ketua Adat Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, tanggal 05

April 2016

118
Universitas Sumatera Utara

Kemudian para ahli waris lain diberi kesempatan oleh pimpinan
musyawarah untuk mengeluarkan pendapat terhadap masalah sengketa
warisan yang terjadi. Setelah semua ahli waris secara bergantian
mengeluarkan pendapat dan usulan untuk menyelesaikan sengketa warisan
tersebut, maka kemudian pihak yang berselisih paham diberi kesempatan
untuk mengemukakan pandangannya dan alasan atas apa yang menjadi
masalah perselisihan.
Apabila dengan musyawarah secara kekeluargaan ini perselisihan
dapat diatasi dan didapatkan jalan keluar yang disetujui oleh para ahli waris,
maka penyelesaian sengketa tercapai.177 Akan tetapi apabila perselisihan tidak
juga menemui titik terang dan pihak yang bersengketa tetap bertahan pada
pendiriannya, maka langkah penyelesaian yang dapat diambil selanjutnya
dapat ditempuh melalui musyawarah adat ataupun sidang adat.178
b. Musyawarah Adat
Menurut Adat Tapanuli Selatan untuk menyelesaikan suatu masalah
ataupu memulai suatu pekerjaan kecil ataupun besar apalagi yang menyangkut
dengan perselisihn maka diadakan musyawarah adat.179 Musyawarah lebih dulu

177

Hasil wawancara dengan Ketua Adat Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, tanggal 05

April 2016
178

Hasil wawancara dengan Ketua Adat Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, tanggal 05

April 2016
179

Ch. Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, Buku Pelajaran Adat Tapanuli Selatan Surat
Tumbaga Holing1, Penerbit Mitra, Medan, 2012, Hal.59

119
Universitas Sumatera Utara

dibicarakan keluarga kecil yang kemudian disampaikan kepada keluarga
merupakan keluarga besar. Sehingga musyawarah itupun mempuyai tingkat.
Musyawarah dalam adat disebut “Martahi”.180
Beberapa tingkatan musyawarah sesuai dengan orang yang ikut dalam
musyawarah itu:
1. Tahi Ungut – ungut – ungutni sibahue tahi tot, ini adalah musyawarah antara
suami dan isteri, yang didahului dalam rumah tangga yakni antara suami dan
isteri.
2. Tahi sabagas, yakni musyawarah yang dihadiri hibungan darah yang terdekat.
Yaitu pihak Kahanggi, Anak Boru dan Mora, yakni keluarga terdekat atau
musyawarah satu rumah atau tahi sabagas.
3. Tahi Godang parsahutaon, itulah musyawarah yang dihadirkan kawan
sekampung. Termasuk hadir unsur pemerintahan adat, yang ada di kampung
itu, disamping keluarga seluruhnya. Dalam musyawarah ini harus hadir:
a. Kahanggi dan kahanggi hombar suhut
b. Anak boru
c. Pisang Rahut (sibuat bere)
d. Mora (kemungkinan mora dongan satahi/mataniari)
e. Hatobangon
f. Raja (kemungkinan Raja Pamusuk/ Raja panusunan bulung).
g. Harajaon
h. Orang Kaya.

180

Ibid

120
Universitas Sumatera Utara

4. Tahi Godang Haruayu Mardomu Bulung, dalam hal ini hadir segala unsur
pemerintah adat, dan raja-raja yang berdekatan dihadiri oleh:
a. Kahanggi dan Hombar suhut
b. Anak boru
c. Pisang rahut (sibuat bere)
d. Mora dongan satahi (diberi janatan harajaon)
e. Ompu ni kotuk
f. Hatobangon
g. Harajaon
h. Harajaon torbing balok dan raja-raja luat
i. Orang kaya luat dan orang kaya bayo-bayo
j. Raja pamusuk (raja pangundian, banir paroding-oding)
k. Raja panusun bulung
Musyawarah adat dilakukan ketika perselisihan anatara ahli waris yang
timbul dalam pembagian warisan tidak mencapai kesepakatan melalui musyawarah
yang dilakukan secara kekeluargaan. Adapun tata cara penyelesaian sengketa waris
masyarakat Angkola melalui musyawarah adat sebagai berikut.:181
a. Jika musyawarah yang dilakukan secara kekeluargaan tidak diterima oleh
ahli waris, maka dilakukanlah musyawarah secara adat. Yakni dengan
181

Hasil wawancara dengan Ketua Adat Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, tanggal 05

April 2016

121
Universitas Sumatera Utara

menghadirkan Dalihan Na Tolu, Hatobangon, Harajaon dan tokoh
masyarakat. Tokoh masyarakat termasuk didalamnya alim ulama dan
pemerintahan. Biasanya masyarakat Angkola dalam hal ini melakukan
secara lisan karena dapat langsung memberitahukan secara jelas bagaimana
persolan sengketa yang terjadi diantara para ahli waris yang bersengketa
secara jelas dan langsung kepada Dalihan Na Tolu, Hatobangon, Harajaon
dan tokoh masyarakat.
b. Kemudian Dalihan Na Tolu maupun Tokoh masyarakat mengerti persoalan
sengketa waris dan menerima permohonan penyelesaian sengketa waris
tersebut, maka Dalihan Na Tolu atau tokoh masyarakat mengundang
Hatobangon Harajaon dan tokoh masyarakat beserta para ahli waris yang
bersengketa. Musyawarah biasanya diadakan di sopo godang atau balai
desa setempat. Kemudian Musyawarah dilangsungkan dengan dipimpin
Hatobangon sebagai ketua adat maupun pemuka agama dengan dihadiri
oleh para ahli waris yang bersengketa, Dalihan Na Tolu, Harajaon, kerabat
pihak yang bersengketa yang disaksikan oleh Kepala Desa. Menghindari
perpecahan keluarga akibat harta warisan, dalam hal ketua adat maupun
pemuka agama akan memberikan nasehat dan petuah uang berdasarkan
pada ajaran agama Islam. Kemudian akan dilanjutkan pada Hatobangon
Harajaon dan para ahli waris yang bersengketa untuk mengemukakan
pendapatnya masing-masing terhadap sengketa warisan yang terjadi dan
bagaimana sikap yang diambil. Pada tahap ini biasanay para ahli waris

122
Universitas Sumatera Utara

yang bersengketa akan mencapai kesepakatan untuk memecahkan sengketa
warisnya, hal ini dikarenakan masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli
Selatan masih benar-benar menghormati keberadaan para ketua adat
maupun pemuka agama.

123
Universitas Sumatera Utara

BAB IV
KEKUATAN HUKUM DARI HASIL PENYELESAIAN SENGKETA WARIS
MENURUT LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA WARIS ADAT PADA
MASYARAKAT ANGKOLA DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

A. Pengertian Sengketa Waris Pada Masyarakat Angkola
Sengketa yang sering muncul sebagai salah satu permasalahan yang
terjadi di Angkola merupakan masalah yang menarik untuk dikaji, lebih-lebih
sudah menyangkut tentang pembagian warisan, karena umumnya warisan
mempunyai nilai ekonomis dan religius yang tinggi. Dengan kata lain warisan
dapat menimbulkan kebahagiaan satu pihak dan piha lain dapat menimbulkan
ketidakpuasan. Apabila dalam pengaturan dan pembagian tidak sesuai dengan
ketentuan yang seharusnya diikuti bersama.
Persoalan pembagian dan sengketa warisan di kalangan mayarakat
Angkola merupakan hal banyak terjadi namun jarang sampai diselesaikan di
pengadilan. Apapun model permasalahan yang terjadi menyangkut sengketa
warisan, tetap saja dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Hal ini tentu
merupakan suatu keunggulan tersendiri bagi masyarakat Angkola dalam
menghadapi setiap masalah di desa di banding dengan permasalahan yang terjadi
di wilayah kota yang lebih mengandalakan permasalahan model kapitalis.
Pada dasarnya setiap sengketa di Tapanuli Selatan tidak selamanya harus
berakhir di pengadilan. Dalam hal-hal tertentu setiap sengketa yang muncul yang

124
Universitas Sumatera Utara

melibatkan masyarakat Angkola idealnya dapat diselesaikan sesegera mungkin di
tingkat desa saja. Apalagi kalau sengketa tersebut masih merupakan sengketa
yang bersifat kekeluargaan, maka penyelesaiannya pun seharusnya diselesaikan
secara kekeluargaan melalui perantaranya seorang Kepala Desa.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala sesuatu
yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau pembantahan timbulnya
sengketa hukum adalah bermula dari pengaduan suatu pihak (orang/badan) yang
berisi keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap suatu tanah, prioritas
maupun kepemilikannya dengan harapan dapat adiministrasi sesuai dengan
ketentua peraturan yang berlaku.182
Dalam kosakata Inggris terdapat dua istilah yakni “conflict” dan
“dispute” yang kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan
kepentingan di antara dua pihak atau lebih tetapi keduanya dapat dibedakan.
Kosakata “conflict” sudah diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”,
sedangkan

kosakata

“dispute”

dapat

diterjemahkan

dengan

kosakata

“sengketa”.183
Sebuah konflik yakni sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih
dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah

182

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990(
Jakarta; Balai Pustaka), Hal. 643
183
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, 2013
(Bandung; Citra Aditya) Hal. 3

125
Universitas Sumatera Utara

sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak
puas atau keprihatinan.
Menurut Koentjaraningrat,

184

konflik atau sengketa terjadi juga karena

adanya perbedaan persepsi yang merupakan gambaran lingkungan yang
dilakukan secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki seseorang,
lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Konflik merupakan suatu peristiwa hukum sehingga sebabnya juga dapat dikenal
dengan melihatnya melalui pandangan hukum. sebuah konflik berkembang atau
berubah menjadi sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah
menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya baik secara langsung kepada
pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian maupun kepada pihak lain.185
Sengketa atau konflik hakekatnya merupakan bentuk aktualisasi dari suatu
pertentangan atau perbedaan anatara dua pihak atau lebih.186
Sengketa menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin adalah persepsi
mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu
kepercayaan bahwa asirasi pihak-pihak yang bersengketa tidak dicapai secara
simultan (secara serentak).187 Sedangkan konflik merupakan perselisihan yang
belum diketahui oleh pihak-pihak yang tidak terlibat di dalam perselisihan yang
184

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mataliteit dan Pembangunan, 1982
(Jakarta;Gramedia), Hal. 103
185
Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, Sengketa dan Penyelesaiannya, Buletin
Musyawarah Nomor 1 Tahun I, 2013 (Jakarta;Indonesian Center For Environmental Law), Hal. 1
186
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis: Solusi dan Antisipasi Bagi
Peminat Bisnis Dalam Menghadapi Sengketa Kini dan Mendatang, 2006 (Yogyakarta;Citra
Media), Hal. 3
187
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, 2009, (Jakarta: Sinar Grafika), Hal. 6

126
Universitas Sumatera Utara

belum diketahui oleh pihak-pihak yan tidak terlibat di dalam perselisihan tersebut
mencakup perselisihan yang bersifat laten, oleh karena itu konflik mempunyai
ruang lingkup yang lebih luas daripada sengketa, namun dalam penanganannya
secara ilmiah, khususnya dalam ruang lingkup penelitian hukum, istilah sengketa
(dispute) telah menjadi istilah baku dalam praktik hukum.188
Sedangkan menurut Takdir Rahmadi189 konflik mempunyai cakupan
yang lebih luas daripada sengketa yang termasuk didalamnya perselisihanperselisihan yang bersifat laten dan perselisihan yang mengemukakan yang
disebut sengketa. sengketa atau konflik hakikatnya merupakan bentuk aktualisasi
dari suatu perbedaan dan/atau pertentangan antara dua pihak atau lebih.190
Sengketa Waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan
mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan. 191
Dengan demikian maka sengketa merupakan kelanjutan dari konflik.
Sebuah kelanjutan dari konflik akan berubah menjadi sengketa apabila tidak
dapat terselaikan. Konflik dapat diartikan “pertentanga” di antara para pihak
untuk menyelesaikan masalah yang kalau tidak diselesaikan dengan baik dapat
mengganggu hubungan di antara mereka. Sepanjang para pihak tersebut dapat

188

Nurmaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, 2011, ( Jakarta, Pt. Grafindo Press), Hal. 12
189
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat,
(Jakarta: Pt. Grafindo Persada), Hal. 1-2
190
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. 2013,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), Hal. 3
191
http://www/bpn.go.id/program/penanganan-kasus-pertanahan, Penanganan Kasus
Pertanahan diakses tanggal 6 juli 2015, jam: 09.50 WIB.

127
Universitas Sumatera Utara

menyelesaikan masalahnya dengan baik maka sengketa tidak akan terjadi. Akan
tetapi jika sebaliknya, para pihak tidak dapat mencapai kesepatan mengenai
solusi pemecahan masalahnya maka sengketa yang akan timbul.192
Masalah sengketa pembagian waris yang terjadi di keluaga T Harahap.
Yang menjadi permsalahanya disini ialah pembagian warisan yang menurut salah
satu keturunanya tidak adil. Ibu T Siregar (52 tahun) mendapatkan kabar dari
keluarga mantan suaminya bahwa P Harahap (58 Tahun) – mantan suaminya
meninggal

karena

serangan

Jantung.

Keluarga

mantan

suaminya

memberitahukan : bahwa sebelum meninggal P Harahap pernah berpesan secara
lisan kepada kakaknya D Harahap bahwa salah satu rumah miliknya dan
diberikan kepada A boru Harahap, yaitu anak kandung P Harahap yang berusia
26 tahun. Walaupun keluarganya mengakui wasiat yang diberikan P Harahap
secara lisan melalui kakaknya, T Siregar merasa ragu karena tidak ada bukti
tertulis bahwa P Harahap memang pernah mewasiatkan rumah dan sejumlah
deposito tersebut untuk anak mereka. Yang menjadi masalah disini putra dari P
Harahap anak dari perkawinan ke duanya dengan M boru Samosir yaitu F
Harahap (24 Tahun) tidak menyetujui hal ini. Padahal dia juga sudah mempunyai
hak waris yang sudah ditentukan oleh P harahap. Dari persoalan ini timbul
sengketa karena merasa dia anak lelaki seharusnya dia berhak atas semua harta
dari ayahnya.

192

Rachmadi Usman, OP. Cit., Hal,3

128
Universitas Sumatera Utara

Menurut hasil dari wawancara dari ketua adat Angkola di Padang
Sidimpuan, memang di dalam hukum adat Angkola benar anak lelaki akan
mendapatkan semua harta warisan peninggalan orang tuanya. Tetapi disini anak
perempuan juga memiliki hak dari harta warisan tersebut, yakni pemberian hibah
atau biasanya disebut dengan Holong Ate. Holong ate ini adalah istilah di Batak
Angkola sebagai istilah untuk menjelaskan pemberian harta kepada anak perempuan
biasanya sebidang tanah atau dengan bangunan kepada anak Putri atau
Perempuannya.193
Pemberian ini biasanya berbentuk pemberian yang cukup hanya disetujui
oleh Istrinya tanpa persetujuan seluruh anak atau ahliwaris lainnya. Besarannya tentu
sudah diperhitungkan dengan cermat, tanpa melebihi legitimasi porsi, atau besaran
hak kewarisan lainnya secara seimbang. Indahan Arian atau Holong ate tentu
tindakan Arif dan Bijaksana bagi seorang orang tua, sebab, menurut adat Batak,
yang menganut turunan laki-laki/partianial, hanya laki-lakilah yang mendapatkan
warisan, sedangkan perempuan tidak mendapatkan oleh karena sudah masuk pada
clan suami dengan menerima sejumlah uang Mahar/boli/jujur.194
B. Bentuk Penyelesaian Sengketa Waris Pada Masyarakat Angkola
Untuk mengatur soal warisan yang sering menjadi masalah di desa,
kiranya perlu dibuat atau ditetapkan ketentuan sebagai patokan dan pedoman
193

Hasil wawancara dengan Ketua Adat Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, tanggal 05

April 2016
194

Hasil wawancara dengan Ketua Adat Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, tanggal 05

April 2016

129
Universitas Sumatera Utara

baik dalam bentuk hukum yang tertulis maupun tidak tertulis demi
terselenggaranya pembagian harta warisan yang adil bagi setiap pihak. Hal ini
disebabkan rasa keadilan pada masing-masing orang adalah tidak sama.
Karakteristik kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap kehidupan masyarakat
Angkola itulah yang mulai dirasakan oleh lembaga penyelesaian sengketa
warisan.
Dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama sengketa-sengketa yang
terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga
adat seperti peradilan desa atau yang disebut dengan peradilan adat. Biasanya
yang bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat
(kepala adat) dan ulama. Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak sematamata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus sengketa
dalam semua bidang hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana,
perdata, publik,195 dan lain-lain. Dalam hal ini proses penyelesaian sengketa
dilakukan berdasarkan tiga asas kerja untuk menghadapi perkara-perkara adat,
yaitu asas rukun, patut dan keselarasan.196
Penyelesaian dari sebuah sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan
ataupun dengan jalan di luar pengadilan. Salah satu saran penyelesaian diluar
pengadilan adalah melalui proses Mediasi. Mediasi berasal dari kata mediation

195

Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung,
Mandar Maju, Hal. 40.
196
Moh. Koesnoe, 1974, Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Surabaya,
Erlangga University Press, Hal. 44-45.

130
Universitas Sumatera Utara

yang berarti penyelesaian sengketa dengan jalan menengahi 197 atau oenyelesaian
sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian
sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan mediator atau orang
yang menjadi penengah.
Menurut Moore198, Mediasi adalah Interventasi terhadap suatu sengekta
atau negosiasi oleh para pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan
netral yang tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam
membantu para pihak berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara
sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan.
Sedangkan menurut Folberg dan Taylor199,Mediasi adalah suatu proses
dimana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang secara
sistematis menyelesaikan permasalahan yang disengketakan untuk mencari
alternatif

dan

mencapai

kesepakatan

penyelesaian

yang

dapat

mengakomodasikan tujuan mereka.
Dalam m