Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo Jusuf Kalla dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan
BAB II
SEJARAH KEDAULATAN PANGAN DI INDONESIA DAN GAMBARAN
UMUM KONDISI PERTANIAN INDONESIA SERTA KEBIJAKAN
JOKOWI DALAM MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN BAGI
INDONESIA
2.1. Politik Pangan Era Orde Lama
Persoalan pangan tidak terlepas dari tersedianya lahan pertanian yang akan
dijadikan sebagai sarana utama dalam berproduksi. Sarana yang digunakan untuk
bercocok tanam hingga menghasilkan berbagai jenis hasil produksi dan yang akan
digunakan sebagai bahan konsumsi. Pangan sebagai kebutuhan masyarakat
moderen sekarang yang salah satunya beras dan diperoleh dari tanaman padi
merupakan kebutuhan yang sangat mendesak di era ini. Ketersediaan beras
menjadi isu penting untuk untuk di bahas. Ketersediaan dan pemerataan distribusi
beras serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat sejak dulu sampai sekarang
merupakan isu sentral yang berpengaruh terhadap kebiijaksanaan ekonomi
nasional.
Suryana dkk 2001 menguraikan sejumlah karakteristik yang membuat
beras itu unik. Pertama, menurut perkiraan sekitar 90% dari total produksi dan
konsusi beras di dunia dilakukan di Asia. Hal ini berbeda dengan jenis-jenis
komoditi pertanian lainnya, seperti gandum, kedelai dan jagung yang diproduksi
42
Universitas Sumatera Utara
oleh banyak negara di dunia. Kedua, pasar beras sangat tipis, tidak lebih dari total
produksi dibandingkan dengan misalnya jagung, kedelai dan gandum yang
masing-masing mencapai 15%,30% dan 25% dari total produksi. Ketiga, harga
beras sangat tidak stabil jika dibandingkan dengan misalnya gandum. Keempat,
struktur pasar dunia untuk beras bersifat oliogopolisik, sekitar 80% dari total
perdagangan beras dunia dikuasai oleh 6 negara yakni Thailand, Vietnam,
Pakistan, Cina, Myanmar dan AS. Kelima, belakangan ini Indonesia merupakan
negara importir terbesar. Tahun 1998, impornya mencapai 31% dari total beras
yang diperdagangkan di pasar dunia. Keenam, di sebagian besar negara di Asia
termasuk Indonesia, umumnya beras diperlakukan sebagai barang upah dan
barang politik. 53
Untuk itu, ketersediaan dan persediaan beras dengan jumlah yang cukup
banyak harus terpenuhi setiap tahunnya untuk memastikan tidak ada warga negara
yang kelaparan. Lalu bagaimana negara mampu mengatasinya merupakan suatu
persoalan mengingat jumlah warga negara yang begitu besar dan luas wilayah
yang harus disentuh pemerintah sangat luas. Dalam hal ini, pemerintah tentu
memerlukan koordinasi yang tepat antara kementerian yang bertanggungjawab
serta pemerintahan dari yang tertinggi hingga tingkat desa. Tidak hanya lembaga
pemerintahan, organisasi-organisasi tani juga merupakan bagian penting untuk
mampu memfasilitasi kebutuhan masyarakat sekarang ini.
53
Tulus Tambunan.2003.Perkembngan Sektor Pertanian di Indonesia.Jakarta. Ghalia Indonesia. Hal 202
43
Universitas Sumatera Utara
Mengapa hal tersebut sangat penting karena, politik pertanian yang
berkaitan
langsung dengan ketersediaan pangan pada hakekatnya menurut
Amartya Sen adalah “bagaimana kita mampu menciptakan sistem politik kuat dan
yang bisa
menciptakan petani dan keluarganya menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam proses politik itu sendiri, meningkatkan what farmers can be or
can do- capabilities”. Inilah yang dimaksud dengan ‘ development as freeedom’
ungkap pemenang hadiah Nobel dalam bidang ekonomi tersebut. Hal ini kental
dengan proses politik. Ujungnya adalah apakah kita akan mendapatkan Presiden
Indonesia nanti yang cinta petani dan pertanian. Karena hanya dengan dasar cinta
kepada petani dan pertanian inilah sistem politik, ekonomi dan yang lainnya akan
berpihak kepada petani dan pertanian, yang akan melahirkan Indonesia sebagai
negara kuat, sejahtera , besar dan membanggakan . 54 Upaya pencapaian
swasembada pangan sejak awal kemerdekaan bangsa dititikberatkan pada beras
sebagi bahan pangan utama bangsa Indonesia. Usaha tersebut diawali dengan
penggantian lembaga yang mengatur bahan makanan beras termasuk bentukan
Belanda pada April 1939 yaitu VMF ( Voedings Midedelen Fonds ) sebagai
pelaksana Rijst Ordonantie tahun 1948.
Setelah kemerdekaan tahun 1945-1950, Pemerintah RI mendirikan
Jawatan Pengawasan Makanan Rakyat untuk mengganti lembaga ketahanan
pangan bentukan Belanda dan Jepang, serta melakukan operasi intervensi. Pada
masa Kabinet VII – IX, penanganan distribusi pangan khususnya beras ditangani
54
Agus Pakpahan.2004. Petani Menggugat. Gepperindo.Bandung.hal 195
44
Universitas Sumatera Utara
oleh Menteri Persediaan Makanan Rakyat (PMR) dan Jawatan Persediaan dan
Pembagian Bahan Makanan (PPBM).
Demikian pula untuk kelembagaan
pertanian, pada masa awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia masih
memanfaatkan lembaga yang dibangun pada masa kolonial, baik Belanda maupun
Jepang. Namun setelah proklamasi kemerdekaan, dengan dibentuknya kabinet
presidensiil tanggal 2 September 1945, urusan pertanian diserahkan kepada
Kementerian Kemakmuran. Kaitannya dengan ketahanan pangan, di daerahdaerah yang dikuasai Republik Indonesia, Kementerian Kemakmuran menyusun
program pembangunan pertanian yang diberi nama Rencana Produksi Tiga Tahun
atau dikenal sebagai Plan Kasimo. Dasar pemikirannya adalah untuk mengatasi
kelangkaan pangan pada saat itu dan diperparah dengan mengalirnya ratusan ribu
pengungsi dari daerah-daerah yang diserbu Belanda. Plan Kasimo disusun pada
tahun 1947 dan dilaksanakan pada tahun 1948-1950. Tujuannya adalah: (1)
mencukupi kebutuhan rakyat akan bahan makanan pokok terutama beras, jagung,
ketela, kacang tanah, kedele, ikan dan daging secara mandiri; (2) memenuhi
sekitar 10 persen kebutuhan pakaian rakyat secara mandiri; dan (3) mengusahakan
tersedianya kelebihan produksi untuk diekspor.
Pada tanggal 1 Maret 1951 Menteri Pertanian dengan Keputusan No.
11/UM/1951 membentuk Yabama untuk mengganti VMF dan kemudian pada
tanggal 1 Februari 1952 dengan Keputusan No. 1302/3/Menteri Perekonomian
membentuk YUBM untuk mengganti Yabama . Tugas YUBM adalah membeli
dan menjual beras, memperlancar peredaran beras dan berusaha menstabilkan
45
Universitas Sumatera Utara
harga beras termasuk pembelian beras di dalam negeri dan dari luar negeri. Tahun
1957 daerah-daerah mulai tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat tentang
pelaksanaan pembelian beras dalam negeri karena tidak sepenuhnya dilaksanakan
oleh daerah dan akibatnya pada awal tahun 1958 dibentuk YBPP di Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk peningkatan produksi tani nasional maka
pemerintah membentuk Padi Sentra pada tahun 1958, yaitu upaya intensifikasi
yang dipusatkan pada sentra-sentra produksi padi ( 5 unit di Jawa Tengah dan 5
unit di Jawa Timur ) dengan luasan masing-masing sekitar 1000 hektar dan petani
padi diberi kredit dalam bentuk uang dan natura ( bibit dan pupuk ). Kemudian
dengan PP No. 7 Tahun 1958 dibentuk DBM ( Dewan Bahan Makanan ) yang
beranggotakan Menteri-menteri yang berwenang di bidang penyaluran dan
produksi pada beras serta bahan pangan lainnya dan pelaksanaanya dilakukan oleh
YBPP di beberapa daerah sentra produksi padi tersebut.
Upaya peningkatan produksi padi nasional tersebut ternyata belum optimal
karena kenyataanya pada tahun 1959 impor beras mencapai 3,5 milyar rupiah
sehingga Kementerian Pertanian Kabaniet Kerja memutuskan untuk dapat
swasembada beras dalam waktu tiga tahun ( 1959-1962 ). Rencana ini dikenal
dengan Rencana SSB yang dilakukan dengan upaya :
a) Rencana Jangka Pendek
( 3 tahun ) untuk menanggulangi
kekurangan beras dengan peningkatan produksi melalui
intensifikasi
dengan program Panca Usaha ( Penggunaan
46
Universitas Sumatera Utara
Benih Unggul,
Pupuk, Pemberantasan HPT, Irigasi dan
Perbaikan Budidaya)
b) Rencana Jangka Panjang dengan ekstensifikasi pertanian rakyat
ke
lahan
kering
pasang
surut
dan
perluasan
sawah.
Untukmempercepat realisasi SSB maka dengan INPRES No.
1/1959 dibentuk KOGM ( Komando Operasi gerakan Makmur
) yang dipimpin langsung oleh Presiden. Namun pada tahun
1960 dengan diterbitkannya Ketetapan MPRS no II/1960
tentang garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta
berencana tahap I yang menuntut peningkatan produksi pangan
non beras maka pada tahun 1963/64 SSB dirubah menjadi
SSBM ( Swa Sembada Bahan Makanan).
Namun, demikian pada tahun 1963 ada gejala kelangkaan beras maka
dicanangkan gerakan mengganti konsumsi beras dengan jagung sebagai
penggantinya sebagai antisipsi penurunan produksi beras dan naiknya angka
inflasi. Upaya tersebut disertai dengan upaya membentuk cadangan beras melalui
pengumpulan padi secara gotong-royong dan dari tiap kabupaten diberikan target.
Pada sisi lain, dilakukan Action Reserch yang disebut dengan program Panca
Usaha Lengkap di Jawa Barat agar diperoleh peningkatan produksi beras di dalam
negeri. Sementara itu, untuk menekan inflasi pemerintah melakukan upaya
stabilisasi harga tanpa melalui mekanisme pasar yaitu dengan melakukan
distribusi/pemasaran langsung kepada masyarakat. Untuk efektifitas pelaksanaan
47
Universitas Sumatera Utara
kebijakan tersebut maka pada tahun 1964 dengan Peraturan Presiden No. 3 Tahun
1964 diadakan reorganisasi DBM dengan membentuk Badan Pelaksana. Dengan
surat keputusan DBM No.001/SK/DM/64 maka pada tanggal 1 April 1964
YUBM dan YBPP dilebur menjadi BPUP ( Badan Pelaksana Urusan Pangan )
dengan kondisi pada saat itu terjadi impor beras sebesar 1.009.700 ton dengan
harga beras Rp202,08/kg.
Pembangunan pertanian Indonesia dianggap penting dari keseluruhan
pembangunan
nasional.
Beberapa
alasan
yang
mendasari
pentingnya
pembangunan pertanian di Indonesia : ( 1) potensi sumber dayanya yang besar
dan beragam, (2) pangsa terhadap pendapatan nasional cukup besar, (3) besarnya
pangsa terhadap ekspor nasional, (4) besarnya penduduk yang menggantungkan
hidupnya pada sektor pertanian, (5) perannya dalam penyedia pangan masyarakat
dan , (6) menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Potensi pertanian yang besar
namun sampai saat ini sebagian besar dari petani banyak yang termasuk golongan
miskin mengindiksikan bahwa pemerintah pada masa lalu bukan saja kurang
memberdayakan petani tetapi sektor pertanian seluruhnya. Melihat kenyataan
tersebut semenjak perang kemerdekaan pendiri negara telah sadar untuk
menyumbangkan pertanian sebagai basis ekonomi masyarakat. Dukungan yang
kuat masyarakat pedesaan dalam menyokong perang kemerdekaan tidak pernah
terlupakan oleh negara. Berbagai kebijakan untuk meningkatkan peran pertanian
dalam meningkatkan pembangunan di Indonesia tertuang dalam berbagai
kebijakan yang ditempuh pemerintah.
Pemasukan bagian pertanin dalam
48
Universitas Sumatera Utara
departemen kemakmuran dan usaha usaha modernisasi pertanian melalui BIMAS,
INMAS, INSUS, SUPRA INSUS, dalam gerakan revolusi hijau merupakan
tanggapan pemerintah untuk menjadikan pertanian sebagai tulang punggung
perekonomian bangsa. Meski berbagai kebijakan tersebut saat ini mendapat kritik
yang cukup tajam karena pada banyak kasus tidak meberikan hal yang lebih baik
bagi pertanian malah menjadi bumerang bagi pembangunan pertanian
selanjutnya. 55
2.2. Politik Pangan Era Orde Baru
Pada tahun 1964/65 dilakukan DEMAS
sebagai pengembangan dari
teknik Panca Usaha Lengkap dalam meningkatkan produksi padi yang kemudian
dikembangkan menjadi
program BIMAS. Sementara upaya
tersebut belum
memberikan hasil yang nyata, kondisi perberasan menunjukan bahwa pada tahun
1965 , gudang BPUP kosong, impor macet ( 203.200 saja ) persediaan devisa
habis, inflasi meningkat dan harga
beras mencapai Rp726,04/kg. Kontribusi
sektor pertanin sebesar 52,4% terhadap PDB dan naiknya harga beras mendorong
inflasi mencapai 650% . Untuk pengendalian operasional bahan-bahan kebutuhan
pokok maka pada bulan April 1966 dibentuk KOLOGNAS ( Komando Logistik
Nsional ) bidang Ekubang dan pada tanggal 22 Agustus 1966 dengan Keppres
182/1966 ditentukan bahwa KOLOGNAS kedudukannya berada dibawah
55
Nuhfil Hanani AR. 2003. Strategi Pembangunan Pertanian.. Jogjakarta: Lappera Pustaka Utama hal 31-32
49
Universitas Sumatera Utara
Presidium Kabinet Ampera dan Ketua Presidium Kabinet sebagai Panglima
KOLOGNAS. Kemudian, pada tanggal 31 Agustus dikeluarkan Keputusan
Presidium Kabinet Ampera No 11/EK/KEP/1996 yang melebur BPUP ke dalam
KOLOGNAS.
Kemudian pada tanggal 10 Mei
1967 dengan Keppres No. 67/1967
KOLOGNAS dibubarkan dan diganti dengan BULOG ( Badan Urusan Logistik )
melalui Keppres No. 114/U/KEP/5/1967 yang diberi tugas untuk melayani
pemenuhan tunjangan bahan pangan bagi, PN, ABRI, Karyawan Perusahaan
Negara dan Swasta yang diberikan dalam bentuk natura. Selain itu, BULOG
ditugasi untuk melakukan pembelian padi/beras dalam negeri yang berasal dari
produksi
Program
pembangunana
Bimas
pertanian
dan
yang
Perdagangan
dititikberatkan
umum.
pada
Perjalanan
upaya
sejarah
pencapaian
swasembada beras tersebut hingga lengsernya presiden pertama RI belum dapat
terwujud. Kenyataan sejarah selanjutnya dibawah pemerintahan Soeharto sebagai
Presiden kedua RI , menunjukkan bahwa upaya pencapaian swasembada beras
tersebut masih menjadi prioritas pembangunan pertanian. Program pembanguan
pertanian sebagai bagian dari pembangunan ekonomi dalam REPELITA I ( 196973 ) diawali dengan diperkenalkannya varietas padi unggul hasil penelitia dari
IRRI yang disebut dengan IR-5 dan IR-8, namun karena dihasilkan dari keturunan
padi PETA asal Indonesia dan demi identitas bangsa maka variets tersebut
dinamakan dengan PB-5 dab PB-8 ( Peta Baru ) oleh pemerintah. Kedua varietas
unggul tersebut ternyata sangat responsif terhadap pupuk kimia ( urea, TSP dan
50
Universitas Sumatera Utara
KCI) maka agar penerapan varietas tersebut dapat dilakukan secara luas kemudian
pemerintah memberi subsidi terhadap pupuk -pupuk tersebut. Kenyataan lain
menunjukkan bahwa penerapan varietas unggul tersebut memunculkan eksplosi
hama wereng sehingga pemerintah menganjurkan untuk menggunakan pestisida
kimia yang disertai pula dengan pemberian subsidi harga. Dukungan pemerintah
untuk
upaya
peningkatan
produksi
padi/beras
juga
dilakukan
melalui
pembangunan dan perbaikan jaringan irigasi, baik di daerah sentra produksi
maupun daerah pengembangan produksi padi/beras di Indonesia. Semua upaya
tersebut dilakukan secara terintegrasi yang kemudian disebut dengan program
BIMAS yang disempurnakan.
Program peningkatan produksi padi/beras di Indonesia tersebut ternyata
merupakan bagian dari Revolusi Hijau atau Green Revolution yang dilakukan di
beberapa negara produsen padi/beras di Asia. Hal tersebut dapat dimengerti
mengingat kondisi pertumbuhan produksi pangan yang relatif lebih lambat dari
tingkat
pertumbuhan
penduduk
yang
menimbulkan
kekhawatiran
akan
kekurangan beras baik domestik masing-masing negara maupun internasional.
Sebagai dampak dari revolusi hijau tersebut terjadi juga revolusi teknologi baik
pada sisi ‘on-farm’ maupun ‘pasca-panen’. Pada sisi ‘on-farm’ terjadi pergeseran
penggunaan ‘ani-ani’ sebagai alat pemanen kepenggunaan ‘sabit bergerigi’ karena
varietas PB atau IR yang diadopsi itu mempunyai tinggi tanaman yang relatif
jauh lebih pendek dari variets lokal sehingga tidak dapat menggunakan ‘ani-ani’.
Dampak selanjutnya adalah tergesernya tenaga kerja perempuan yang dulunya
51
Universitas Sumatera Utara
mendapat kesempatan kerja laki-laki yang menggunakan ‘sabit bergerigi’.
Revolusi di bidang ‘pasca panen’ terjadi dengan menurunnya kegiatan perontokan
padi dari ‘meng-iles’ dengan kaki oleh para perempuan di pedesaan ke perontokan
dengan sistem ‘dibanting’ atau bahkan dengan alat perontok ( Thresher ) , baik
sistem ‘pedal’ atau mesin. Revolusi teknologi pasca panen juga terjadi antara
tahun 1966 dan 1973 yaitu bergesernya kegiatan penumpukan padi dengan tangan
yang bisanya dilakukan oleh kaum perempuan di pedesaan dengan tingkat
penurun lebih dari 50% oleh penggilingan-penggilingan padi skala kecil di
pedesaan terutama di Jawa.
Pada periode REPELITA II ( 1974- 1978 ) pembangunan pertanian masih
dititikberatkan pada upaya peningkatan produksi beras yang disertai dengan
pembangunan gudang-gudang BULOG baru di setiap Kabupten. Di samping itu
pemerintah melakukan program penguatan lembaga ekonomi tingkat petani yang
diawali dengan pembentukan BUUD ( Badan Usaha Unit Desa ) sebagai cikal
bakal terbentuknya Koperasi Unit Desa selanjutnya disingkat menjadi ( KUD ).
Pembentukan BUUD/KUD tersebut merupakan bagian dari konsep WILUD (
Wilayah Unit Desa ). Untuk upaya pengembangan BUUD/KUD pada saat itu,
pemerintah mewajibkan BULOG untuk tugas pengadaan beras dari petani harus
melibatkan KUD. Di samping , untuk pengadaan dan penyaluran beras dari
BULOG ditetapkan melalui penentuan harga dasar ( floor price ) di tingkat petani
dan harga atas ( celling price ) di tingkat konsumen. Pada saat itu pemerintah
mencanangkan Program Diversifikasi Pangan dan Program Usaha Perbaikan
52
Universitas Sumatera Utara
Mutu Makanan Rakyat dengan terbitnya INPRES ( anggaran program bantuan )
No 14/1974. Pelaksanaan kebijakan ini diikuti dengan program Optimalisasi
Lahan kering dan pekarangan untuk tanaman pangan dan palawija serta
pembangunan saluran irigasi kecil termasuk saluran tersier dan kuarter.
Pemerintah juga memotivasi peningkatan produksi jagung dengan penetapan
harga dasar jagung.
Namun kemudian upaya peningkatan produksi terganggu oleh terjadinya
kemarau panjang pada tahun 1977 yang disertai dengan serangan hama wereng
sehingga pemerintah mengintroduksikan IR-26 dan IR-36 sebagai Varietas
Unggul tahan wereng. Gangguan kondisi alam tersebut menyebabkan terjadinya
kekurangan beras pada tahun itu sehingga diperlukan impor sebesar 2,3 juta ton .
Dilapangan ditunjukkan
bahwa ekplosi hama wereng tersebut bukan hanya
disebabkan karena penanaman padi secara terus-menerus sepanjang tahun tetapi
juga diakibatkan oleh berkurangnya musuh alami dari hama tersebut akibat
penggunaan pestisida yang berlebihan. Kemudian pada tahun 1978 diperkenalkan
inovasi baru berupa program pengendalian hama terpadu atau PHT. Konsekuensi
dari diterapkannyan program PHT pada saat itu dilakukan pembatasan
penggunaan pestisida kimia dan dikembangkan pestisida hayati yang diikuti pula
dengan pengurangan subsidi untuk beberapa pestisida kimiawi oleh pemerintah,
terutama yang bersifat sistemik dan menyebabkan pencemaran lingkungan akibat
53
Universitas Sumatera Utara
akumulasi residu pestisida tersebut.
56
Tidak heran apabila Indonesia mengalami
ancaman yang serius , terjadinya krisis pangan. Untuk mengatasai hal tersebutlah
Presiden waktu itu Soeharto membuka keran impor pangan dari luar negeri. Pada
Orde Baru setelah tahun 1984 berhasil mencapai swasembada beras, namun
pada tahun 1998 kembali mengalami krisis pangan. Pada tahun 2003, pemerintah
berhasil mengatasi krisis pangan yang terjadi pada tahun 1998 tersebut dengan
menggenjot produksi pangan domestik melalui berbagai kebijakan yang
komprehensif. Impor beras bahkan pernah mencapai puncaknya pada tahun 1998,
sebesar
5,8
juta
ton,
dan
4
juta
ton
pada
tahun1999yangIndonesiamenjadiimportirberasterbesardidunia.Indonesia
juga
masih rutin menjadi importir gula dengan tingkat ketergantungan pada impor
mencapai30persendanpernahmenjadinomorduaimportirterbesardi
dunia
setelahRusia.Padahalkitapernahmenjadieksportirgulaterbesarkeduadi
dunia
padatahun1930an. 57 Ini jelas akibat dari penggunaan berlebihan pestisida kimia
yang cepat sekali merusak unsur hara tanah.
Pembangunan
pertanin
REPELITA
III
merupakan
lanjutan
dan
peningkatan dari segala usaha yang telah dilakukan dalam PELITA II, dimana
sasaran yang belum tercapai harus dirampungkan, hasil-hasil positif yang telah
dicapai dikembangkan terus, sedangkan masalah baru yang timbul sebagai akibat
56
Triwibowo Yuwono.2012. Pembangunn Pertanin : Membangun Kedaulatan Pangan. UGM
Press.Yogyakarta hal 57-63
57
Delima Hasri.2008. Membangun Kemandirian Pangan Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional.
Analisis Kebijakan Pertanian.Hal177. http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind.pdffiles/ART-2e.pdf pukul 21:40
tgl 04-05-2017
54
Universitas Sumatera Utara
dinamika pembangunan harus segera dipecahkan. Berdasarkan pengalamanpengalaman dari REPELITA II, maka pada REPELITA III pembangunan
pertanian yang ditujukan yaitu :
1. Meningkatkan produksi pangan menuju swasembada karbohidrat non
terigu, sekaligus meningkatkan gizi mayarakat melalui penyediaan protein,
lemak , vitamin dan mineral.
2. Meningkatkan tingkat hidup petani melalui peningkatan penghasilan
petani
3. Memperluas lapangan pekerjaan disektor pertanian dalam rangka
pemerataan pendapatan
4. Meningkatkan ekspor sekaligus mengurangi impor hasil pertanian
5. Meningkatkan dukungan yang kuat terhadap pembangunan industri untuk
menghasilkan barang jadi atau setengah jadi
6. Memanfaatkan dan memelihara kelestarian sumber daya alam, serta
memelihara dan memperbaiki lingkungan hidup
7. Meningkatkan pertumbuhan pembangunan pedesaan secara terpadu dan
serasi dalam kerangka pembangunan daerah. 58
Pada REPELITA III ( 1979-83 ) pemerintah mencanangkan Program
Diversifikasi Pangan 59yang berbasis Sagu dengan INPRES No. 20/1979 yang
58
Departemen Pertanian R.I. 1979.REPELITA III. Jakarta.hal 78
Diversifikasi dimaksudkan adalah keanekaragaman dalam usaha tani baik secara vertikal mulai produksi
sampai pemasaran, maupun secara horizontal yang merupakan imbangan pengembangan antar berbagai
komoditi dan wilayah. Diversifikasi juga diterapkan dalam pemilihan lokasi pembangunan, artinya
59
55
Universitas Sumatera Utara
didukung oleh Bantuan Presiden ( Banpres ) untuk pengembangan tanaman dan
industri Sagu dan Jagung., terutama di Kawasan Timur Indonesia. Akan tetapi,
ternyata jumlah impor beras mencapai 2,6 juta ton di tahun 1979 sehingga
pemerintah mencanangkan program
intensifikasi 60 dan ekstensifikasi 61 padi
melalui program Insus-Opsus untuk meningkatkan produksi sekaligus menekan
impor dengan memberi motivasi bagi petani untuk meningkatkan produksi
pangan. Kenyataannya kemudian titik berat pelaksanaan program Insus-Opsus
tersebut mengurangi perhatian pemerintah terhadap upaya difersifikasi produksi
pangan selain beras. Keadaan tersebut diperparah dengan terjadi eksplosi hama
wereng biotipe baru dibeberapa daerah dan agar tidak terjadi penurunan produksi
yang meluas maka pemerintah melakuka introduksi variets Cisadane, Krueng
Aceh dan Bahbolon untuk daerah-daerah tertentu. Pada kondisi tersebut
pemerintah juga melakukan bantuan pangan untuk daerah-daerah
kekurangan pangan tetapi
yang
dengan introduksi mie instan sebagai salah satu
komponen bantuan yang disadari atau tidak ternyata kemudian industri mie instan
tersebut berpotensi menghambat program pengembangan sagu, jagung dan umbiumbian untuk diversifikasi pangan. 62
diversifikasi juga diperhatikan dalam pengembangan wilayah sehingga terjadi keseimbangan antara propinsi
maju dan propinsi yang sedang tumbuh.
60
Intensifikasi adalah peningkatan produktivitas sumber daya alam, peningkatan penggunaan teknologi tepat
guna, peningkatan penggunaan tanah kering, perairan dan areal pasang surut serta peningkatan pemanfaatan
segla sarana produksi seperti air, benih unggul, pupuk dan insektisida.
61
Ekstensifikasi adalah usaha untukmeningkatkan luas panen tanaman pangan maupun tanaman perkebunan,
perluasan areal penanaman kapan ikan denganmemperluas budidaya ikan, perluasan penanaman rumput
unggul untuk makanan ternak, mengembalikan kawasan hutan yang telah menjadi areal tanah kritis, serta
perluasan sumber daya lainnya.
62
Triwibowo Yuwono.2012.Op.Cit.hal 64
56
Universitas Sumatera Utara
Dalam menjalankan berbagai kegiatan usaha pokok, pelaksanaannya
dilapangan diarahkan agar dapat berjalan secara terpadu dan tidak secara sendirisendiri, serta berdasarkan kebijaksanaan dasar pembangunan pertanian yang
isinya sebagai berikut :
1.
Kebijaksanaan usahatani terpadu, adalah suatu kegiatan pembinaan
terhadap usahatani yang mempunyai satu cabang usaha atau beraneka
ragam cabang usaha, dalam memanfaatkan secara optimal , segala sumber
dana dan daya yang dimilikinya, untuk mencapai tujuan meningkatkan
kesejahteraan petani atau produsen lain dalam arti luas.
2. Kebijaksanaan komoditi terpadu, yaitu suatu kegiatan
pembinaan
terhadap peningkatan produksi berbagai komoditi secara seimbang baik
ditinjau secara vertikal mulai produksi pengolahan sampai pemasaran,
maupun secara horizontal dalam menetapkan imbangan antara berbagai
kelompok komoditi.
3. Kebijaksanaan wilayah terpadu, adalah suatu kegiatan pembinaan wilayah
pertanian sebagai bagian dari wilayah seutuhnya, dengan memperhatikan
potensi wilayah secara seimbang, baik ditinjau dari kepentingan sektoral
maupun kepentingan teriotorial. 63 Masing-masing kegiatan yang tercakup
dalam Usaha Pokok seperti intensifikasi, perluasan areal, diversifikasi
maupun rehabilitsi harus dilaksanakan berdasarkan kebijaksanaan dasar
tersebut, yang selanjutnya disebut Trimatra Pembangunan Pertanian.
63
Departemen Pertanian .R.I.Op.Cit hal 87
57
Universitas Sumatera Utara
Upaya pemerintah untuk peningkatan produksi beras kemudian semakin
ditingkatkan pada REPELITA IV ( 1984-1988 ) dengan meningkatkan sarana dan
prasarana, termasuk input penunjang produksi padi di seluruh daerah dengan
mengutamakan perhatian pada daerah-daerah sentra produksi padi. Bahkan,
keseriusan pemerintah dalam upaya peningkatan produksi pangan itu ditunjukkan
dengan perubahan struktur kelembagaan Depertemen Pertanian RI yaitu selain
Menteri Pertanian yang dijabat oeh Prof. Ir. Sedarsono Hadisapoetra di angkat
pula Ir. Achamd Affandi sebagai Menteri Muda Urusan Pangan. Upaya
pengerahan segala upaya di bidang pangan yang dimulai dengan perbaikan
kondisi lapangan dan usaha tani hingga kelembagaan pertanian yang didukung
oleh kondisi iklim yang baik ternyata menghasilkan peningkatan produksi beras
yang relatif tinggi sehingga dapat dicapai Swasembada beras pada tahun 1984/85
dengan produksi padi nasional mencapai 25,9 juta ton setara beras. Pada saat itu
terjadi kelebihan stok beras nasional sehingga dilakukan ekspor beras termasuk
untuk program bantuan ke Afrika yang kekurangan pangan. Prestasi pencapaian
swasembada beras yang didambakan selama empat dekade tersebut membawa
Presiden Soeharto menerima penghargaan FAO karena dianggap telah mampu
menjadikan Indonesia dari negara pengimpor menjadi pengekspor beras.
Kebijakan pertanian di bidang pangan kemudian dilakukan dengan
melarang penggunaan 57 jenis pestisida melalu INPRES No. 3/ 1986 tetapi
kemudian pada tahun 1987 terjadi lagi kemarau panjang yang sangat kering dan
terjadi penurunan produksi beras nasional sehingga pemerintah harus melakukan
58
Universitas Sumatera Utara
impor beras lagi untuk mengamankan stok. Kemudian pemerintah melaksanakan
Program Supra-Insus yang disertai dengan introduksi varietas IR-64 sebagai
upaya peningkatan produksi padi
nasional akan tetapi peningkatan jumlah
penduduk dan tingkat konsumsi pangan per kapita ternyata mempersulit upaya
untuk mempertahankan swasembada beras.
Pada REPELITA V ( 1989-1993 ) selain program peningkatan produksi
pangan kenyataanya pemerintah menghendaki untuk meningkatkan pula laju
pertumbuhan sektor ekonomi lainnya, terutama industri yang berbasis pertanian.
Pilihan industri yang dikembangkan pada saat itu adalah tekstil dan produk tekstil
yang berbahan baku kapas dari sektor pertanian tetapi kerana produksi kapas
nasional pada saat itu tidak mencukupi kebutuhan bahan baku industri tekstil
nasional maka dilakukan impor kapas. Pada sisi lain, agar upaya pengembangan
industri tersebut dapat berjalan maka pemerintah mengupayakan agar tingkat upah
sektor industri relatif murah dengan melakukan stabilitas harga pangan pada
tingkat yang relatif rendah. Kenyataanya, kebijakan harga pangan yang stabil dan
murah tersebut tidak hanya mendukung pengembangan industri nasional saja
tetapi juga memotivasi peningkatan konsumsi beras. Peningkatan konsumsi beras
per kapita tersebut berdampak pada melambatnya program diversifikasi pangan
dan berakibat bahwa swasembada beras semakin tidak dapat dipertahankan lagi.
Oleh karena itu pemerintah mencanangkan program swasembada On Trend yang
mengikuti mekanisme ekspor-impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan
nasional. Program pemerintah tersebut didiukung oleh Gerakan Sadar Pangan dan
59
Universitas Sumatera Utara
Gizi yang disebut dengan UPGK ( Upaya Perbaikan Gizi Keluarga ) dengan
harapan dapat mempercepat diversifikasi pangan ditingkat rumah tangga.
Pemerintah pada prinsipnya masih melakukan upaya pengembangan
produksi pangan yaitu dengan melakukan introduksi varitas padi baru seperti IR72 Ciliwung dan Bengawan serta motivasi perluasan penggunaan traktor untuk
pengolahan lahan pada tahun 1989. Upaya peningkatan produksi padi nasional
tersebut ternyata memberikan peningkatan produksi dari 28,34 juta ton di tahun
1988 menjadi 30,41 juta ton di tahun 1989 atau meningkat sebesar 2,07 juta ton.
Kemudian, pelaksanaan program Pegendalian Hama Terpadu ( PHT ) semakin
diperluas dan ditunjang dengan dicabutnya subsidi pestisida pada tahun 1990.
Selain itu, penelitian untuk menghasilkan varietas padi yang tahan hama dan
penyakit tetap dikembangkan sehingga pmerintah mengintroduksikan dua varietas
padi hasil rekayasa Badan Tenaga Atom Nasional yang dinamakan varietas
Atomita-1 dan Atomita-2. Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
usaha tani maka pemerintah mengeluarkan UU No.2 / 1992 tentang budidaya
tanaman, kemudian untuk dapat meningkatkan pelaksanaan program diversifikasi
pangan secara nasional maka pada tahun 1993 dibentuk kantor Menteri Negara
Urusan Pangan dan Hortikultura.
Pada pelaksanaan REPELITA VI ( 1993-1998 ) program intensifikasi ,
ekstensifkasi dan diversifikasi untuk meningkatkan produksi beras masih
dilakukan dengan introduksi varietas padi gogo. Varietas tersebut ditujukan untuk
usaha peningkatan produksi padi di daerah perkebunan dan lingkungan Hutan
60
Universitas Sumatera Utara
Tanaman Industri ( HTI ) dan juga diintroduksikan varietas Memberamo serta
varietas lain untuk daerah pasang surut dan lebak. Pemerintah juga melakukan
perbaikan irigasi desa dan mengintroduksi Urea Tablet serta sistem percepatan
tanam dengan tabur benih langsung dan TOT ( Tanpa Olah Tanah ). Selanjutnya,
setelah FAO mengadakan World Food Summit pada tahun 1996 yang melahirkan
konsep “food security” atau ketahanan pangan maka pemerintah Indonesia
merumuskan kembali sasaran program pengembangan pangan dari swasembada
on trend
ke program ketahanan pangan nasional. Program tersebut menjadi
landasan untuk menerbitkan UU No. 7/ 1996 tentang pangan agar memberi
perlindungan
hukum untuk upaya pengembangan pangan nasional. Upaya
pengembangan pangan tetap dilakukan oleh pemerintah dengan menyediakan
modal usaha melalui program Kredit Usaha Tani selanjutnya disingkat menjadi (
KUT ) dan pada sisi lain pemerintah melakukan perluasan areal padi dengan
program pembukaan lahan gambut sejuta hektar.
Akan tetapi upaya-upaya
tersebut relatif tidak efektif meningkatkan produksi beras nasional karena hanya
terjadi peningkatan produksi sebesar sekitar 882 ribu ton dibandingkan produsi
tahun 1995.
International Food Policy Research Institu ( IFRRI ) TANGGAL , 13 Juni
1995 mengedarkan suatu makalah yang ditujukan kepada anggota FAO dan
berbagai pakar yang berjudul “ A 2020 Vision For Food, Agriculture And The
Environ-Ment’. Bahan ini akan dijadikan acuan untuk konferensi internasional
tahun 2020. Salah satu kesimpulan yang dikemukakan adalah
61
Universitas Sumatera Utara
...”there is no magic solution that will make the 2020 vision is
realiti.
The action nededs not new, but it will requare joint efforts by
individuals, household, local, international community. Goverment
in both developing and deleloped countries must chang theri
priorities and policies to reflect the vision...”
Campur tangan pemerintah untuk menciptakan iklim kondusif, telah
mengantar Indonesia dalam era swasesembada beras sejak tahun 1984.
Sebagaimana diketahui dapat dibedakan dala 3 hal yaitu :
1. Seasembada absolut artinya selisih suplay dan demand beras sama
dengan nol
2. Swaembada subsektoral pangan artinya ekspor bahan pangan dapat
membiayai impor pangan
3. Swasembada sektoral artinya ekspor seluruh komoditas pertanian
dapat membiayai impor pangan. 64
Dari sudut pandang swasembada sektoral, sebelum tahun 1984 sebenarnya
Indonesia sudah tergolong swasembada, karena bila ekspor komoditas pertanian
kita sangat mampu bahkan surplus untuk mengimpor pangan. Akan tetapi ada
dampak negatif dari revolusi hijau tersebut dan memiliki kelemahan seperti :
1. Merubah padi yang tidak rontok, menjadi rontok
64
Beddu Amang. 1995.Pembangunan Pertanian dan Perdagangan Komoditi Pertanian di Kawasan Timur
Indonesia.Jakarta.Dharma Karsa Utama. Hal.8
62
Universitas Sumatera Utara
2. Merubah padi yang besar air tinggi menjadi padi pendek, menyebabkan
tidak dapat dilakukan mina padi. Padahal hasil penjualan ikon dari mina
padi mendapat 2-3 kali hasil penjualan padinya. Revolusi hijau
menyebabkan terjadi peingkatan produksi padi akan tetapi pendapatan
petani
menurun karena hasil tambahan dari mina padi, pemeliharaan
ayam, itik. Selain daripada itu panen padi rontok di
musim hujan,
memerlukan biaya besar untuk ongkos panen. Akhirnya timbul budaya
negatif (1) petani menjual padi saat hijau (ijon) , (2) petani menjual padi
sebelum di panen (tebasan), (3) petani menjual padi saat panen (4) petani
tidak dapat melakukan usaha mina padi 65. Ini menjelaskan bagaimana
dampak negatif dari kebijakan yang dibuat oleh Rezim Orba yang ingin
mensuskseskan swasembada beras akan tetapi dengan metode penggunaan
pupuk dan pestisida yang berlebih.
Pada tahun 1996 tersebut pemerintah juga turut meratifkasi GATT pada
putaran Urugay yang berarti akan semakin membuka perdagangan produk
pertanian, termasuk bahan pangan secara membuka perdagangan produk
pertanian, termasuk bahan pangan secara lebih luas dengan negara-negara lain.
Kenyatan yang terjadi adalah bahwa produsen pangan nasional tidak mampu
menghadapi tekanan pasar internasional yang cenderung oligopolistik dan
semakin lemahnya posisi Indonesia dalam perjanjian-perjanjian perdagangan
dengan negara-negara maju. Kondisi tersebut diperburuk dengan terjadinya krisis
65
Soemitro Arintadisastra.2012.Revolusi Pertanian Dengan Kearifn Lokal.Jakarta
63
Universitas Sumatera Utara
likuiditas keuangan atau dikenal dengan krisis moneter yang berkembang menjadi
krisis ekonomi.
Kemudian muncul negara-negara maju yang tergabung
dalam IMF ( International Monetary fund ) dengan alasan untuk membantu
perekonomian Indonesia sehingga muncul Letter of Intent ( Lol) pada tahun 1997
untuk menghapuskan subsidi, termasuk subsidi di bidang pertanian karena krisis
likuiditas tersebut. Penghapusan subsidi tersebut direliasikan oleh pemerintah
pada tahun 1998 terutama subsidi bunga KUT
tetapi dampaknya kemudian
adalah terjadinya penurunan produksi beras nasional dari 33,2 jut ton pada tahun
1996 menjadi 31,2 juta ton pada tahun 1997 dan menurun lagi menjadi 31,1 juta
ton pada 1998. Kondisi pangan nasional semakin diperburuk lagi dengan tekanan
lembaga internasional terhadap pemerintah untuk melakukan ‘demonopolisasi
impor’ Bulog dengan Lol tertanggal 15 januari 1998. Perjanjian dalam Lol
tersebut disetujui oleh pemerintah dan dituangkan dalam keputusan presiden (
Keppres ) no. 19/1998 untuk membatasi peran Bulog yang hanya mengurusi beras
dalam negeri saja. Tekanan IMF terhadap pemerintah Indonesia ternyata masih
berlanjut dengan Lol yang menghapuskan Bea Masuk ( BM ) untuk beras dan
gula dan berdampak pada semakin bersarnya impor beras yang dilakukan oleh
pedagang beras nasional. Pada tahun 1998 impor beras yang dilakukan Bulog
tercatat sebesar 5,8 juta ton dan pedagang sebesar 1,3 juta ton kemudian dengan
demonopolisasi impor Bulog maka pada tahun 1999 impor beras oleh Bulog
tercatat 1,9 juta ton dan pedagang besar mencapai 3,2 juta ton.
64
Universitas Sumatera Utara
2.3. Politik Pangan Era Pasca Reformasi
Setelah lengsernya presiden Soeharto pada tahun 1998 dan sistem politik
Indonesia memasuki era reformasi tetapi kenyatannya kebiijakan pangan masih
tidak menguntungkan petani. Kebijakan untuk pengurangan subsidi pupuk dan
bunga kredit KUT masih dilanjutkan pada tahun 1999 sehingga bunga kredit KUT
menjadi 10,5% per tahun dan diikuti dengan pengurangan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia ( KLBI ) untuk pengadaan beras oleh Bulog. Kebijakan pengurangan
KLBI
untuk pengadaan beras oleh Bulog tersebut berdampak pada semakin
lemahnya Bulog dalam mengatur stok nasional dan pedagang beras nasional
semakin meguasai pasar perberasan nasional.
Sedangkan rendahnya tingkat
bunga KUT dibandingkan bunga kredit komersim ternyata menimbulkan ‘ moral
hazard’ yangberupa penyimpangan penggunaan KUT tersebut untuk usaha di luar
usaha tani atau bahkan didepositkan pada bank-bank komersial untuk memperoleh
keuntungan selisih bunga.
Kondisi krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi tersebut
juga berdampak pada ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk memenuhi
keutuhan pangannya sehingga terjadi kondisi kekurangan pangan dan gizi. Untuk
itu pemerintah melaksanakan program penjualan beras murah bagi keluarga
miskin melalui program OPK ( Operasi Pasar Khusus ) oleh Bulog yang dimulai
pada bulan juni 1998. Namun, kenyataannya sebagian masyarakat tersebut
semakin menurun daya – belinya akibat dari meningkatnya pengangguran akibat
pengurangan tenaga kerja di sektor industri. Untuk itu sejak agustus 1998
65
Universitas Sumatera Utara
pemerintah merancang program penyelamatan yang dikenal dengan Jaring
Pengaman Sosial ( JPS ) di bidang pendidikan, kesehatan dan pemerataan
pendapatan bagi pengangguran melalui program padat karya yang ternyata efektif
dilakukan pada tahun 1999.
Sebelum Indonesia memasuki krisis ekonomi dan moneter,
Indonesia
telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yakni antara 5%
sampai dengan 7% per tahunnya. Dari segi teori pertumbuhan makro yang relatif
tinggi tersebut diharapkan pula akan memperbaiki kinerja sektor pertaniana
Indonesia, serta tingkat kesejahteraan masyarkat pertanian Indonesia. Tetapi
kenyataan empiriknya tidaklah demikian. Salah satu indikator penting yang
digunakan untuk mengetahui tinggi rendahnya kesejahteraan petani adalah nilai
tukar produk pertanian. 66 Semakin tinggi nilai tukar produk pertanin, semakin
tinggi kesejahteraan para petani. Sebaliknya semakin rendah nilai tukar produk
pertanian semakin rendah kesejahteraan petani. Di Indonesia nilai tukar produk
pertanian petani mengalami penurunan dari tahun ke tahun seperti terlihat dalam
tabel berikut :
66
NTP atau nilai tukar petani adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani, yakni indeks harga jual
outputnya terhadap indeks harga yang dibayar petani, yakni indeks harga input-input yang digunakan untuk
bertani misalnya pupuk. Berdasarkan rasio ini, maka dapat dikatakan semakin tinggi NTP semakin baik
profit yang diterima petani, atau semakin baik posisi pendapatan petani.
66
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Nilai Tukar Produk Pertanian di Jawa
Tahun
Jawa Barat
Jawa Tengan
Yogyakarta
Jawa Timur
1988
105,95
111,58
109,08
113,26
1989
103,65
106,34
102,33
104,63
1990
105,70
106,02
104,02
104,30
1991
105,97
104,21
104,21
102,83
1992
102,30
99,56
101,39
100,00
Sumber : Warta HKTI , No.16 XIV, hal 29, 1997.
Dari angka-angka tersebut nampak bahwa harga yang diterima oleh petani
dari produk hasil pertanian mereka, khususnya produk dari sub sektor pertanian
yakni padi, tidak sebanding dengan harga-harga yang dibayarkan petani baik
untuk konsumsi maupun untuk keperluan usaha tani. Harga padi diatur oleh
pemerintah agar harga beras di Indonesia dapat dijangkau oleh semua sektor
masyarakat Indoensia. Setiap tahun pemerintah menentukan harga gabah. Namun
setiap tahun pula subsidi pemerintah terhadap harga beberapa jenis saprodi
dikurangi. Akibatnya memang menjadikan para petani harus membayar keperluan
mereka lebih dari harga dasar produk pertanian mereka. 67
67
Loekinan Soetrisno. 1998. Pertanian Pada Abad ke 21.Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Hal 8-9
67
Universitas Sumatera Utara
Perimbangan antara biaya yang dikeluarkan dan penerimaan bersih yang
diperoleh , sering kurang menguntungkan produsen pertanian yang begitu banyak
macam dan jumlahnya mengalir ke kota-kota untuk menghidupi sektor kota.
Sering terjadi bahwa harga komoditi pertanian dinilai rendah terhadap barang
industri yang datang dari kota. Dalam hubungan dini, dapat dikatakan, bahwa
daerah pedesaan telah lama mensubsidi daerah perkotaan, dengan jumlah nilai
ekspor yang cukup besar. Kepincangan nilai tukar antara barang yang dihasilkan
di sektor desa dan kota ini lambat laun harus dibenahi sehingga tercapai ‘trade
off’ antara pembangunan desa dan kota. Disinilah pentingnya memberi nilai tukar
yang berarti terhadap hasil-hasil pertanian. 68
Pada sisi produksi pangan pemerintah masih memberi insentif kepada
petani menjadi Rp1.500/kg yang disertai dengan penurunan bunga kredit KUT
ternyata efektif meningkatkan produksi beras nasional sebesar 1,03 juta ton pada
tahun 1999. Kemudian pada tahun 2000 pemerintah memberlakukan Bea Masuk
beras impor sebesar Rp430/kg dan pemberian kredit pengadaan untuk KUD
masih efektif meningkatkan produksi beras nasional sebesar 652 ribu ton. Selain
itu, ketidaktepatan pemerintah untuk mengganti dengan program KKP ( Kredit
Ketahanan Pangan ). Pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah no.6/2001 mewajibkan pemerintah daerah untuk mendorong
terbentuknya Lumbung Pangan Masyarakat Desa ( LPMD ) sebagai lembaga
68
Departemen Pertanian .R.I.Log.Cit hal 48
68
Universitas Sumatera Utara
milik rakyat desa/kelurahan dan perdagangan bahan pangan yang dibentuk dan
dikeola oleh masyarakat.
Pada tahun 2002 terjadi peningkatan produksi karena meningkatnya
produktifitas
menyebabkan
namun
jumlah
terjadi
beras
penurunan
impor
harga
meningkat.
beras
internasional
Mengingat
yang
keterbatasan
kemampuan Bulog mengelola beras pemerintah maka pemerintah melalui
Peraturan Pemerintah ( PP ) no 68/2002 membentuk cadangan pangan hingga di
tingkat daerah untuk konsumsi, bahan baku industri, dan untuk menghadapi
keadaan darurat. Kemudian, pada akhir tahun 2002 pemerintah menaikkan HDPP
melalui inpres no. 9/2002 menjadi Rp1725/kg yang ternyata masih digunakan
sebagai patokan harga bagi petani untuk produksi di tahun 2003. Hal ini terbukti
dengan terjadinya peningkatan produksi walaupun relatif kecil yaitu sekitar 2,7
juta ton karena harga internasional relatif lebih murah dari harga domestik.
Pada tahun 2003 dengan PP no.7 / 2003 Bulog berstatus sebagai
Perusahaan Umum ( Perum ) dan berada di bawah Kementerian Negara BUMN
yang tentunya tidak lagi sepenuhnya Lembaga Pemerintah tetapi juga menjadi
Badan Usaha yang harus mampu menghasilkan keuntungan dari usahanya.
Sebagai perusahaan tentunya Perum Bulog akan selalu meminimalkan kerugian
dari bahan pangan yang dikelolanya sehingga prinsip
semakin kecil stok di
gudang Perum Bulog lebih menguntungkan. Alternatif upaya untuk memperkecil
kerugian maka Perum Bulog akan melakukan perputaran stok lebih cepat
sehingga efisien jika melakukan stok dalam bentuk beras dari pada gabah yang
69
Universitas Sumatera Utara
dapat disimpan lebih lama. Perubahan kebijakan manajemen Perum Bulog
tersebut berdampak pada semakin jauhnya posisi Perum Bulog dengan petani
produsen yang menjual produk dalam bentuk gabah. Namun, Perum Bulog masih
ditugasi oleh pemerintah untuk
mengelola beras pemerintah untuk Raskin
sedangkan Menteri Perdagangan melakukan pembatasan impor beras.
Pembatasan impor beras masih berlaku hingga tahun 2004 dan walaupun
HDPP tidak mengalami perubahan ternyata terjadi peningkatan produksi beras
nasional sekitar 1,2 juta ton. Pemerintah dengan PP no. 28/2004 menentukan
tentang keamanan, mutu dan gizi pangan untuk melindungi masyarakat dari
kandungan kimia pada bahan pangan, standarisasi mutu dan gizi pangan. Namun
kemudian dengan Inpres no. 2/2005 tertanggal 2 maret 2005 pemerintah merubah
HDPP menjadi HPP yang relatif lebih ‘ rigid’ walaupun ditentukan meningkat
tetapi membatasi Perum Bulog dalam pembelian beras untuk pemerintah. Kondisi
ekonomi pada saat itu relatif kurang baik terutama dengan peningkatan harga
BBM
( Bahan Bakar Minyak ) yang terjadi pada tanggal 10 Oktober
mengeluarkan Inpres no. 13/2005 yang menetapkan HPP meningkat menjadi Rp
2280/kg agar memotivasi petani untuk peningkatan produksi pangannya.
Kenyataannya, jumlah produksi di tahun 2005 menurun dan harga beras
meningkat signifikan sehingga pemerintah mengijinkan Perum Bulog untuk
mengimpor beras sebesar 70.000 ton pada bulan desember 2005 walaupun harga
internasional relatif lebih tinggi dari harga domestik. Hingga awal tahun 2006
ternyata harga beras masih naik sementara belum masuk masa panen padi maka
70
Universitas Sumatera Utara
pemerintah mengijinkan lagi perum bulog untuk mengimpor beras dan terealisasi
sebesar 83.000 ton. Untuk memenuhi stok pangan pemerintah maka pada saat
panen besar di musim hujan 2006 Perum Bulog melakukan pembelian gabah
disamping dalam bentuk beras seperti yang selama ini dilakukan dan terealisasi
sekitar 1,25 juta ton setra beras. Akan tetapi karena pada akhir 2006 stok Perum
Bulog hanya tinggal sekitar satu juta ton dan harga pada bulan november
meningkat maka pemerintah mengijinkan lagi Perum Bulog untuk mengimpor
sebesar 210 ribu ton untuk memperkuat stok. Harga beras di bulan desember
ternyata terus meningkat yang mengindikasikan bahwa stok beras di masyarakat
semakin menipis maka perum Bulog diijinkan untuk mengimpor lagi sebesar 500
ribu ton beras untuk mengantisipasi peningkatan harga yang lebih tinggi lagi.
Pada bulan januari 2007 ternyata harga beras terus naik sehingga Perum
Bulog mengadakan Operasi Pasar dengan jumlah yang relatif besar sehingga
menguras stok beras di gudang Bulog tetapi hingga bulan februari ternyata harga
masih naik terus. Untuk stabilisasi harga beras tersebut akhirnya pemerintah
melakukan impor beras lagi sebesar 500 ribu ton akan tetapi harga beras naik dan
diperkirakan bahwa harga beras akan mencapai tingkat keseimbangan baru yang
cukup tinggi. Kenaikan harga tersebut ternyata mulai menurun lagi pada bulan
maret yaitu saat mulai ada panen di daerah-daerah produsen padi dan pada 31
maret 2007 dikeluarkan Inpres no.3 2007 yang menentukan HPP gabah kering
giling dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14% dan kadar
71
Universitas Sumatera Utara
hampa/kotoran maksimum 3% adalah Rp 2575 / kg di penggilingan atau Rp
2.600/kg di gudang Bulog.
Pada tahun 2008 dengan kondisi iklim yang cukup mendukung maka
pemerintah optimis untuk dapat meningkatkan produksi beras nasional dan untuk
memberikan patokan harga maka dikeluarkan Inpres no. 1/2008 yang menentukan
HPP gabah kering panen sebesar Rp2.200/kg dan gabah kering keliling sebesar
Rp 2.800/kg . Disamping itu, pembatasan impor beras masih diberlakukan dan
tercatat jumlah impor yang dilakukan oleh pedagang sekitar 110.596 ton dan
Perum Bulog sebesar 30.200 ton. Kemudian pada tahun 2009 dengan didukung
oleh iklim yang kondusif maka produksi padi meningkat sekitar 3,5 juta ton padi
dari pertambahan luas panen sebesar 515 ribu hektar. Pemerintah dengan inpres
no.7/2009 meningkatkan HPP gabah kering giling dalam negeri dengan kualitas
kadar air maksimum 14 % dan kadar hampa/kotoran maksimum 3% adalah
Rp3.300/kg di penggilingan, atau Rp3.345/kg di gudang Bulog.
Demikian pula kondisi pada tahun 2010 dengan kemarau yang basah
memungkinkan petani melakukan penanaman sepanjang tahun termasuk di areal
sawah tadah hujan sehingga diperkirakan terjadi kenaikan produksi padi. Namun
kenyatan menunjukkan bahwa penanaman padi secara terus menerus sepanjang
tahun menyebabkan terjadinya eksplosi hama wereng di beberapa daerah sentra
produksi padi. Selain itu, musim kemarau yang basah juga menyebabkan
rendahnya rendemen gabah beras karena gabah yang tidak dapat memenuhi
72
Universitas Sumatera Utara
persyaratan kering giling. Pada tahun 2010 tercatat pengadaan beras oleh Perum
Bulog dari dalam negeri hanya 1,896 juta ton dari impor sebesar 468 ribu ton.
Usai era Orde Baru, sektor pertanian kembali memasuki era baru, dimana
pembangunan pertanian tidak lagi bersifat sentralistik. Era reformasi yang
dicirikan dengan otonomi daerah mengharuskan sektor pertanian bersifat
desentralistik, yang diikuti pula oleh program penelitian dan pengembangan yang
bersifat lebih spesifik lokasi, meskipun gaungnya masih rendah. Fokus riset pada
padi masih mendominasi di seluruh provinsi, sehingga belum terlihat kekhasan
dan potensi yang dimiliki masing-masing provinsi tersebut. Sejak 2000 perhatian
pembangunan pertanian pada palawija mulai tumbuh dengan diluncurkannya
program GEMA PALAGUNG Departemen Pertanian, 1998. Fokus pembangunan
pertanian pada ketahanan pangan tetap dipertahankan, sambil pula menjalankan
program pembangunan pertanian berupa pengembangan agribisnis, swasembada
daging sapi dan kerbau serta gula, peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan
nilai tambah, daya saing, dan ekspor, serta peningkatan kesejahteraan petani.
Pada Musrenbang Pertanian Nasional yang diselenggarakan pada
pertengahan Mei 2014 telah menyepakati program Pembangunan PertanianBioindustri untuk Peningkatan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani.
Biomas yang dihasilkan harus mampu menggerakkan usahatani, baik dari sisi
kecukupan ekonomi, energi, dan kebutuhan ekologi tanah dan tanaman . Selaras
dengan Permentan No. 50 tahun 2012, konsep pembangunan pertanian berbasis
kawasan telah pula disepakati dan akan diimplementasikan oleh seluruh
73
Universitas Sumatera Utara
pengambil
kebijakan
pembangunan
pertanian
di
pusat
dan
provinsi/kabupaten/kota, melalui alokasi anggaran DIPA TA 2015 sekitar 30
persen untuk pelaksanaan
SEJARAH KEDAULATAN PANGAN DI INDONESIA DAN GAMBARAN
UMUM KONDISI PERTANIAN INDONESIA SERTA KEBIJAKAN
JOKOWI DALAM MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN BAGI
INDONESIA
2.1. Politik Pangan Era Orde Lama
Persoalan pangan tidak terlepas dari tersedianya lahan pertanian yang akan
dijadikan sebagai sarana utama dalam berproduksi. Sarana yang digunakan untuk
bercocok tanam hingga menghasilkan berbagai jenis hasil produksi dan yang akan
digunakan sebagai bahan konsumsi. Pangan sebagai kebutuhan masyarakat
moderen sekarang yang salah satunya beras dan diperoleh dari tanaman padi
merupakan kebutuhan yang sangat mendesak di era ini. Ketersediaan beras
menjadi isu penting untuk untuk di bahas. Ketersediaan dan pemerataan distribusi
beras serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat sejak dulu sampai sekarang
merupakan isu sentral yang berpengaruh terhadap kebiijaksanaan ekonomi
nasional.
Suryana dkk 2001 menguraikan sejumlah karakteristik yang membuat
beras itu unik. Pertama, menurut perkiraan sekitar 90% dari total produksi dan
konsusi beras di dunia dilakukan di Asia. Hal ini berbeda dengan jenis-jenis
komoditi pertanian lainnya, seperti gandum, kedelai dan jagung yang diproduksi
42
Universitas Sumatera Utara
oleh banyak negara di dunia. Kedua, pasar beras sangat tipis, tidak lebih dari total
produksi dibandingkan dengan misalnya jagung, kedelai dan gandum yang
masing-masing mencapai 15%,30% dan 25% dari total produksi. Ketiga, harga
beras sangat tidak stabil jika dibandingkan dengan misalnya gandum. Keempat,
struktur pasar dunia untuk beras bersifat oliogopolisik, sekitar 80% dari total
perdagangan beras dunia dikuasai oleh 6 negara yakni Thailand, Vietnam,
Pakistan, Cina, Myanmar dan AS. Kelima, belakangan ini Indonesia merupakan
negara importir terbesar. Tahun 1998, impornya mencapai 31% dari total beras
yang diperdagangkan di pasar dunia. Keenam, di sebagian besar negara di Asia
termasuk Indonesia, umumnya beras diperlakukan sebagai barang upah dan
barang politik. 53
Untuk itu, ketersediaan dan persediaan beras dengan jumlah yang cukup
banyak harus terpenuhi setiap tahunnya untuk memastikan tidak ada warga negara
yang kelaparan. Lalu bagaimana negara mampu mengatasinya merupakan suatu
persoalan mengingat jumlah warga negara yang begitu besar dan luas wilayah
yang harus disentuh pemerintah sangat luas. Dalam hal ini, pemerintah tentu
memerlukan koordinasi yang tepat antara kementerian yang bertanggungjawab
serta pemerintahan dari yang tertinggi hingga tingkat desa. Tidak hanya lembaga
pemerintahan, organisasi-organisasi tani juga merupakan bagian penting untuk
mampu memfasilitasi kebutuhan masyarakat sekarang ini.
53
Tulus Tambunan.2003.Perkembngan Sektor Pertanian di Indonesia.Jakarta. Ghalia Indonesia. Hal 202
43
Universitas Sumatera Utara
Mengapa hal tersebut sangat penting karena, politik pertanian yang
berkaitan
langsung dengan ketersediaan pangan pada hakekatnya menurut
Amartya Sen adalah “bagaimana kita mampu menciptakan sistem politik kuat dan
yang bisa
menciptakan petani dan keluarganya menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam proses politik itu sendiri, meningkatkan what farmers can be or
can do- capabilities”. Inilah yang dimaksud dengan ‘ development as freeedom’
ungkap pemenang hadiah Nobel dalam bidang ekonomi tersebut. Hal ini kental
dengan proses politik. Ujungnya adalah apakah kita akan mendapatkan Presiden
Indonesia nanti yang cinta petani dan pertanian. Karena hanya dengan dasar cinta
kepada petani dan pertanian inilah sistem politik, ekonomi dan yang lainnya akan
berpihak kepada petani dan pertanian, yang akan melahirkan Indonesia sebagai
negara kuat, sejahtera , besar dan membanggakan . 54 Upaya pencapaian
swasembada pangan sejak awal kemerdekaan bangsa dititikberatkan pada beras
sebagi bahan pangan utama bangsa Indonesia. Usaha tersebut diawali dengan
penggantian lembaga yang mengatur bahan makanan beras termasuk bentukan
Belanda pada April 1939 yaitu VMF ( Voedings Midedelen Fonds ) sebagai
pelaksana Rijst Ordonantie tahun 1948.
Setelah kemerdekaan tahun 1945-1950, Pemerintah RI mendirikan
Jawatan Pengawasan Makanan Rakyat untuk mengganti lembaga ketahanan
pangan bentukan Belanda dan Jepang, serta melakukan operasi intervensi. Pada
masa Kabinet VII – IX, penanganan distribusi pangan khususnya beras ditangani
54
Agus Pakpahan.2004. Petani Menggugat. Gepperindo.Bandung.hal 195
44
Universitas Sumatera Utara
oleh Menteri Persediaan Makanan Rakyat (PMR) dan Jawatan Persediaan dan
Pembagian Bahan Makanan (PPBM).
Demikian pula untuk kelembagaan
pertanian, pada masa awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia masih
memanfaatkan lembaga yang dibangun pada masa kolonial, baik Belanda maupun
Jepang. Namun setelah proklamasi kemerdekaan, dengan dibentuknya kabinet
presidensiil tanggal 2 September 1945, urusan pertanian diserahkan kepada
Kementerian Kemakmuran. Kaitannya dengan ketahanan pangan, di daerahdaerah yang dikuasai Republik Indonesia, Kementerian Kemakmuran menyusun
program pembangunan pertanian yang diberi nama Rencana Produksi Tiga Tahun
atau dikenal sebagai Plan Kasimo. Dasar pemikirannya adalah untuk mengatasi
kelangkaan pangan pada saat itu dan diperparah dengan mengalirnya ratusan ribu
pengungsi dari daerah-daerah yang diserbu Belanda. Plan Kasimo disusun pada
tahun 1947 dan dilaksanakan pada tahun 1948-1950. Tujuannya adalah: (1)
mencukupi kebutuhan rakyat akan bahan makanan pokok terutama beras, jagung,
ketela, kacang tanah, kedele, ikan dan daging secara mandiri; (2) memenuhi
sekitar 10 persen kebutuhan pakaian rakyat secara mandiri; dan (3) mengusahakan
tersedianya kelebihan produksi untuk diekspor.
Pada tanggal 1 Maret 1951 Menteri Pertanian dengan Keputusan No.
11/UM/1951 membentuk Yabama untuk mengganti VMF dan kemudian pada
tanggal 1 Februari 1952 dengan Keputusan No. 1302/3/Menteri Perekonomian
membentuk YUBM untuk mengganti Yabama . Tugas YUBM adalah membeli
dan menjual beras, memperlancar peredaran beras dan berusaha menstabilkan
45
Universitas Sumatera Utara
harga beras termasuk pembelian beras di dalam negeri dan dari luar negeri. Tahun
1957 daerah-daerah mulai tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat tentang
pelaksanaan pembelian beras dalam negeri karena tidak sepenuhnya dilaksanakan
oleh daerah dan akibatnya pada awal tahun 1958 dibentuk YBPP di Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk peningkatan produksi tani nasional maka
pemerintah membentuk Padi Sentra pada tahun 1958, yaitu upaya intensifikasi
yang dipusatkan pada sentra-sentra produksi padi ( 5 unit di Jawa Tengah dan 5
unit di Jawa Timur ) dengan luasan masing-masing sekitar 1000 hektar dan petani
padi diberi kredit dalam bentuk uang dan natura ( bibit dan pupuk ). Kemudian
dengan PP No. 7 Tahun 1958 dibentuk DBM ( Dewan Bahan Makanan ) yang
beranggotakan Menteri-menteri yang berwenang di bidang penyaluran dan
produksi pada beras serta bahan pangan lainnya dan pelaksanaanya dilakukan oleh
YBPP di beberapa daerah sentra produksi padi tersebut.
Upaya peningkatan produksi padi nasional tersebut ternyata belum optimal
karena kenyataanya pada tahun 1959 impor beras mencapai 3,5 milyar rupiah
sehingga Kementerian Pertanian Kabaniet Kerja memutuskan untuk dapat
swasembada beras dalam waktu tiga tahun ( 1959-1962 ). Rencana ini dikenal
dengan Rencana SSB yang dilakukan dengan upaya :
a) Rencana Jangka Pendek
( 3 tahun ) untuk menanggulangi
kekurangan beras dengan peningkatan produksi melalui
intensifikasi
dengan program Panca Usaha ( Penggunaan
46
Universitas Sumatera Utara
Benih Unggul,
Pupuk, Pemberantasan HPT, Irigasi dan
Perbaikan Budidaya)
b) Rencana Jangka Panjang dengan ekstensifikasi pertanian rakyat
ke
lahan
kering
pasang
surut
dan
perluasan
sawah.
Untukmempercepat realisasi SSB maka dengan INPRES No.
1/1959 dibentuk KOGM ( Komando Operasi gerakan Makmur
) yang dipimpin langsung oleh Presiden. Namun pada tahun
1960 dengan diterbitkannya Ketetapan MPRS no II/1960
tentang garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta
berencana tahap I yang menuntut peningkatan produksi pangan
non beras maka pada tahun 1963/64 SSB dirubah menjadi
SSBM ( Swa Sembada Bahan Makanan).
Namun, demikian pada tahun 1963 ada gejala kelangkaan beras maka
dicanangkan gerakan mengganti konsumsi beras dengan jagung sebagai
penggantinya sebagai antisipsi penurunan produksi beras dan naiknya angka
inflasi. Upaya tersebut disertai dengan upaya membentuk cadangan beras melalui
pengumpulan padi secara gotong-royong dan dari tiap kabupaten diberikan target.
Pada sisi lain, dilakukan Action Reserch yang disebut dengan program Panca
Usaha Lengkap di Jawa Barat agar diperoleh peningkatan produksi beras di dalam
negeri. Sementara itu, untuk menekan inflasi pemerintah melakukan upaya
stabilisasi harga tanpa melalui mekanisme pasar yaitu dengan melakukan
distribusi/pemasaran langsung kepada masyarakat. Untuk efektifitas pelaksanaan
47
Universitas Sumatera Utara
kebijakan tersebut maka pada tahun 1964 dengan Peraturan Presiden No. 3 Tahun
1964 diadakan reorganisasi DBM dengan membentuk Badan Pelaksana. Dengan
surat keputusan DBM No.001/SK/DM/64 maka pada tanggal 1 April 1964
YUBM dan YBPP dilebur menjadi BPUP ( Badan Pelaksana Urusan Pangan )
dengan kondisi pada saat itu terjadi impor beras sebesar 1.009.700 ton dengan
harga beras Rp202,08/kg.
Pembangunan pertanian Indonesia dianggap penting dari keseluruhan
pembangunan
nasional.
Beberapa
alasan
yang
mendasari
pentingnya
pembangunan pertanian di Indonesia : ( 1) potensi sumber dayanya yang besar
dan beragam, (2) pangsa terhadap pendapatan nasional cukup besar, (3) besarnya
pangsa terhadap ekspor nasional, (4) besarnya penduduk yang menggantungkan
hidupnya pada sektor pertanian, (5) perannya dalam penyedia pangan masyarakat
dan , (6) menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Potensi pertanian yang besar
namun sampai saat ini sebagian besar dari petani banyak yang termasuk golongan
miskin mengindiksikan bahwa pemerintah pada masa lalu bukan saja kurang
memberdayakan petani tetapi sektor pertanian seluruhnya. Melihat kenyataan
tersebut semenjak perang kemerdekaan pendiri negara telah sadar untuk
menyumbangkan pertanian sebagai basis ekonomi masyarakat. Dukungan yang
kuat masyarakat pedesaan dalam menyokong perang kemerdekaan tidak pernah
terlupakan oleh negara. Berbagai kebijakan untuk meningkatkan peran pertanian
dalam meningkatkan pembangunan di Indonesia tertuang dalam berbagai
kebijakan yang ditempuh pemerintah.
Pemasukan bagian pertanin dalam
48
Universitas Sumatera Utara
departemen kemakmuran dan usaha usaha modernisasi pertanian melalui BIMAS,
INMAS, INSUS, SUPRA INSUS, dalam gerakan revolusi hijau merupakan
tanggapan pemerintah untuk menjadikan pertanian sebagai tulang punggung
perekonomian bangsa. Meski berbagai kebijakan tersebut saat ini mendapat kritik
yang cukup tajam karena pada banyak kasus tidak meberikan hal yang lebih baik
bagi pertanian malah menjadi bumerang bagi pembangunan pertanian
selanjutnya. 55
2.2. Politik Pangan Era Orde Baru
Pada tahun 1964/65 dilakukan DEMAS
sebagai pengembangan dari
teknik Panca Usaha Lengkap dalam meningkatkan produksi padi yang kemudian
dikembangkan menjadi
program BIMAS. Sementara upaya
tersebut belum
memberikan hasil yang nyata, kondisi perberasan menunjukan bahwa pada tahun
1965 , gudang BPUP kosong, impor macet ( 203.200 saja ) persediaan devisa
habis, inflasi meningkat dan harga
beras mencapai Rp726,04/kg. Kontribusi
sektor pertanin sebesar 52,4% terhadap PDB dan naiknya harga beras mendorong
inflasi mencapai 650% . Untuk pengendalian operasional bahan-bahan kebutuhan
pokok maka pada bulan April 1966 dibentuk KOLOGNAS ( Komando Logistik
Nsional ) bidang Ekubang dan pada tanggal 22 Agustus 1966 dengan Keppres
182/1966 ditentukan bahwa KOLOGNAS kedudukannya berada dibawah
55
Nuhfil Hanani AR. 2003. Strategi Pembangunan Pertanian.. Jogjakarta: Lappera Pustaka Utama hal 31-32
49
Universitas Sumatera Utara
Presidium Kabinet Ampera dan Ketua Presidium Kabinet sebagai Panglima
KOLOGNAS. Kemudian, pada tanggal 31 Agustus dikeluarkan Keputusan
Presidium Kabinet Ampera No 11/EK/KEP/1996 yang melebur BPUP ke dalam
KOLOGNAS.
Kemudian pada tanggal 10 Mei
1967 dengan Keppres No. 67/1967
KOLOGNAS dibubarkan dan diganti dengan BULOG ( Badan Urusan Logistik )
melalui Keppres No. 114/U/KEP/5/1967 yang diberi tugas untuk melayani
pemenuhan tunjangan bahan pangan bagi, PN, ABRI, Karyawan Perusahaan
Negara dan Swasta yang diberikan dalam bentuk natura. Selain itu, BULOG
ditugasi untuk melakukan pembelian padi/beras dalam negeri yang berasal dari
produksi
Program
pembangunana
Bimas
pertanian
dan
yang
Perdagangan
dititikberatkan
umum.
pada
Perjalanan
upaya
sejarah
pencapaian
swasembada beras tersebut hingga lengsernya presiden pertama RI belum dapat
terwujud. Kenyataan sejarah selanjutnya dibawah pemerintahan Soeharto sebagai
Presiden kedua RI , menunjukkan bahwa upaya pencapaian swasembada beras
tersebut masih menjadi prioritas pembangunan pertanian. Program pembanguan
pertanian sebagai bagian dari pembangunan ekonomi dalam REPELITA I ( 196973 ) diawali dengan diperkenalkannya varietas padi unggul hasil penelitia dari
IRRI yang disebut dengan IR-5 dan IR-8, namun karena dihasilkan dari keturunan
padi PETA asal Indonesia dan demi identitas bangsa maka variets tersebut
dinamakan dengan PB-5 dab PB-8 ( Peta Baru ) oleh pemerintah. Kedua varietas
unggul tersebut ternyata sangat responsif terhadap pupuk kimia ( urea, TSP dan
50
Universitas Sumatera Utara
KCI) maka agar penerapan varietas tersebut dapat dilakukan secara luas kemudian
pemerintah memberi subsidi terhadap pupuk -pupuk tersebut. Kenyataan lain
menunjukkan bahwa penerapan varietas unggul tersebut memunculkan eksplosi
hama wereng sehingga pemerintah menganjurkan untuk menggunakan pestisida
kimia yang disertai pula dengan pemberian subsidi harga. Dukungan pemerintah
untuk
upaya
peningkatan
produksi
padi/beras
juga
dilakukan
melalui
pembangunan dan perbaikan jaringan irigasi, baik di daerah sentra produksi
maupun daerah pengembangan produksi padi/beras di Indonesia. Semua upaya
tersebut dilakukan secara terintegrasi yang kemudian disebut dengan program
BIMAS yang disempurnakan.
Program peningkatan produksi padi/beras di Indonesia tersebut ternyata
merupakan bagian dari Revolusi Hijau atau Green Revolution yang dilakukan di
beberapa negara produsen padi/beras di Asia. Hal tersebut dapat dimengerti
mengingat kondisi pertumbuhan produksi pangan yang relatif lebih lambat dari
tingkat
pertumbuhan
penduduk
yang
menimbulkan
kekhawatiran
akan
kekurangan beras baik domestik masing-masing negara maupun internasional.
Sebagai dampak dari revolusi hijau tersebut terjadi juga revolusi teknologi baik
pada sisi ‘on-farm’ maupun ‘pasca-panen’. Pada sisi ‘on-farm’ terjadi pergeseran
penggunaan ‘ani-ani’ sebagai alat pemanen kepenggunaan ‘sabit bergerigi’ karena
varietas PB atau IR yang diadopsi itu mempunyai tinggi tanaman yang relatif
jauh lebih pendek dari variets lokal sehingga tidak dapat menggunakan ‘ani-ani’.
Dampak selanjutnya adalah tergesernya tenaga kerja perempuan yang dulunya
51
Universitas Sumatera Utara
mendapat kesempatan kerja laki-laki yang menggunakan ‘sabit bergerigi’.
Revolusi di bidang ‘pasca panen’ terjadi dengan menurunnya kegiatan perontokan
padi dari ‘meng-iles’ dengan kaki oleh para perempuan di pedesaan ke perontokan
dengan sistem ‘dibanting’ atau bahkan dengan alat perontok ( Thresher ) , baik
sistem ‘pedal’ atau mesin. Revolusi teknologi pasca panen juga terjadi antara
tahun 1966 dan 1973 yaitu bergesernya kegiatan penumpukan padi dengan tangan
yang bisanya dilakukan oleh kaum perempuan di pedesaan dengan tingkat
penurun lebih dari 50% oleh penggilingan-penggilingan padi skala kecil di
pedesaan terutama di Jawa.
Pada periode REPELITA II ( 1974- 1978 ) pembangunan pertanian masih
dititikberatkan pada upaya peningkatan produksi beras yang disertai dengan
pembangunan gudang-gudang BULOG baru di setiap Kabupten. Di samping itu
pemerintah melakukan program penguatan lembaga ekonomi tingkat petani yang
diawali dengan pembentukan BUUD ( Badan Usaha Unit Desa ) sebagai cikal
bakal terbentuknya Koperasi Unit Desa selanjutnya disingkat menjadi ( KUD ).
Pembentukan BUUD/KUD tersebut merupakan bagian dari konsep WILUD (
Wilayah Unit Desa ). Untuk upaya pengembangan BUUD/KUD pada saat itu,
pemerintah mewajibkan BULOG untuk tugas pengadaan beras dari petani harus
melibatkan KUD. Di samping , untuk pengadaan dan penyaluran beras dari
BULOG ditetapkan melalui penentuan harga dasar ( floor price ) di tingkat petani
dan harga atas ( celling price ) di tingkat konsumen. Pada saat itu pemerintah
mencanangkan Program Diversifikasi Pangan dan Program Usaha Perbaikan
52
Universitas Sumatera Utara
Mutu Makanan Rakyat dengan terbitnya INPRES ( anggaran program bantuan )
No 14/1974. Pelaksanaan kebijakan ini diikuti dengan program Optimalisasi
Lahan kering dan pekarangan untuk tanaman pangan dan palawija serta
pembangunan saluran irigasi kecil termasuk saluran tersier dan kuarter.
Pemerintah juga memotivasi peningkatan produksi jagung dengan penetapan
harga dasar jagung.
Namun kemudian upaya peningkatan produksi terganggu oleh terjadinya
kemarau panjang pada tahun 1977 yang disertai dengan serangan hama wereng
sehingga pemerintah mengintroduksikan IR-26 dan IR-36 sebagai Varietas
Unggul tahan wereng. Gangguan kondisi alam tersebut menyebabkan terjadinya
kekurangan beras pada tahun itu sehingga diperlukan impor sebesar 2,3 juta ton .
Dilapangan ditunjukkan
bahwa ekplosi hama wereng tersebut bukan hanya
disebabkan karena penanaman padi secara terus-menerus sepanjang tahun tetapi
juga diakibatkan oleh berkurangnya musuh alami dari hama tersebut akibat
penggunaan pestisida yang berlebihan. Kemudian pada tahun 1978 diperkenalkan
inovasi baru berupa program pengendalian hama terpadu atau PHT. Konsekuensi
dari diterapkannyan program PHT pada saat itu dilakukan pembatasan
penggunaan pestisida kimia dan dikembangkan pestisida hayati yang diikuti pula
dengan pengurangan subsidi untuk beberapa pestisida kimiawi oleh pemerintah,
terutama yang bersifat sistemik dan menyebabkan pencemaran lingkungan akibat
53
Universitas Sumatera Utara
akumulasi residu pestisida tersebut.
56
Tidak heran apabila Indonesia mengalami
ancaman yang serius , terjadinya krisis pangan. Untuk mengatasai hal tersebutlah
Presiden waktu itu Soeharto membuka keran impor pangan dari luar negeri. Pada
Orde Baru setelah tahun 1984 berhasil mencapai swasembada beras, namun
pada tahun 1998 kembali mengalami krisis pangan. Pada tahun 2003, pemerintah
berhasil mengatasi krisis pangan yang terjadi pada tahun 1998 tersebut dengan
menggenjot produksi pangan domestik melalui berbagai kebijakan yang
komprehensif. Impor beras bahkan pernah mencapai puncaknya pada tahun 1998,
sebesar
5,8
juta
ton,
dan
4
juta
ton
pada
tahun1999yangIndonesiamenjadiimportirberasterbesardidunia.Indonesia
juga
masih rutin menjadi importir gula dengan tingkat ketergantungan pada impor
mencapai30persendanpernahmenjadinomorduaimportirterbesardi
dunia
setelahRusia.Padahalkitapernahmenjadieksportirgulaterbesarkeduadi
dunia
padatahun1930an. 57 Ini jelas akibat dari penggunaan berlebihan pestisida kimia
yang cepat sekali merusak unsur hara tanah.
Pembangunan
pertanin
REPELITA
III
merupakan
lanjutan
dan
peningkatan dari segala usaha yang telah dilakukan dalam PELITA II, dimana
sasaran yang belum tercapai harus dirampungkan, hasil-hasil positif yang telah
dicapai dikembangkan terus, sedangkan masalah baru yang timbul sebagai akibat
56
Triwibowo Yuwono.2012. Pembangunn Pertanin : Membangun Kedaulatan Pangan. UGM
Press.Yogyakarta hal 57-63
57
Delima Hasri.2008. Membangun Kemandirian Pangan Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional.
Analisis Kebijakan Pertanian.Hal177. http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind.pdffiles/ART-2e.pdf pukul 21:40
tgl 04-05-2017
54
Universitas Sumatera Utara
dinamika pembangunan harus segera dipecahkan. Berdasarkan pengalamanpengalaman dari REPELITA II, maka pada REPELITA III pembangunan
pertanian yang ditujukan yaitu :
1. Meningkatkan produksi pangan menuju swasembada karbohidrat non
terigu, sekaligus meningkatkan gizi mayarakat melalui penyediaan protein,
lemak , vitamin dan mineral.
2. Meningkatkan tingkat hidup petani melalui peningkatan penghasilan
petani
3. Memperluas lapangan pekerjaan disektor pertanian dalam rangka
pemerataan pendapatan
4. Meningkatkan ekspor sekaligus mengurangi impor hasil pertanian
5. Meningkatkan dukungan yang kuat terhadap pembangunan industri untuk
menghasilkan barang jadi atau setengah jadi
6. Memanfaatkan dan memelihara kelestarian sumber daya alam, serta
memelihara dan memperbaiki lingkungan hidup
7. Meningkatkan pertumbuhan pembangunan pedesaan secara terpadu dan
serasi dalam kerangka pembangunan daerah. 58
Pada REPELITA III ( 1979-83 ) pemerintah mencanangkan Program
Diversifikasi Pangan 59yang berbasis Sagu dengan INPRES No. 20/1979 yang
58
Departemen Pertanian R.I. 1979.REPELITA III. Jakarta.hal 78
Diversifikasi dimaksudkan adalah keanekaragaman dalam usaha tani baik secara vertikal mulai produksi
sampai pemasaran, maupun secara horizontal yang merupakan imbangan pengembangan antar berbagai
komoditi dan wilayah. Diversifikasi juga diterapkan dalam pemilihan lokasi pembangunan, artinya
59
55
Universitas Sumatera Utara
didukung oleh Bantuan Presiden ( Banpres ) untuk pengembangan tanaman dan
industri Sagu dan Jagung., terutama di Kawasan Timur Indonesia. Akan tetapi,
ternyata jumlah impor beras mencapai 2,6 juta ton di tahun 1979 sehingga
pemerintah mencanangkan program
intensifikasi 60 dan ekstensifikasi 61 padi
melalui program Insus-Opsus untuk meningkatkan produksi sekaligus menekan
impor dengan memberi motivasi bagi petani untuk meningkatkan produksi
pangan. Kenyataannya kemudian titik berat pelaksanaan program Insus-Opsus
tersebut mengurangi perhatian pemerintah terhadap upaya difersifikasi produksi
pangan selain beras. Keadaan tersebut diperparah dengan terjadi eksplosi hama
wereng biotipe baru dibeberapa daerah dan agar tidak terjadi penurunan produksi
yang meluas maka pemerintah melakuka introduksi variets Cisadane, Krueng
Aceh dan Bahbolon untuk daerah-daerah tertentu. Pada kondisi tersebut
pemerintah juga melakukan bantuan pangan untuk daerah-daerah
kekurangan pangan tetapi
yang
dengan introduksi mie instan sebagai salah satu
komponen bantuan yang disadari atau tidak ternyata kemudian industri mie instan
tersebut berpotensi menghambat program pengembangan sagu, jagung dan umbiumbian untuk diversifikasi pangan. 62
diversifikasi juga diperhatikan dalam pengembangan wilayah sehingga terjadi keseimbangan antara propinsi
maju dan propinsi yang sedang tumbuh.
60
Intensifikasi adalah peningkatan produktivitas sumber daya alam, peningkatan penggunaan teknologi tepat
guna, peningkatan penggunaan tanah kering, perairan dan areal pasang surut serta peningkatan pemanfaatan
segla sarana produksi seperti air, benih unggul, pupuk dan insektisida.
61
Ekstensifikasi adalah usaha untukmeningkatkan luas panen tanaman pangan maupun tanaman perkebunan,
perluasan areal penanaman kapan ikan denganmemperluas budidaya ikan, perluasan penanaman rumput
unggul untuk makanan ternak, mengembalikan kawasan hutan yang telah menjadi areal tanah kritis, serta
perluasan sumber daya lainnya.
62
Triwibowo Yuwono.2012.Op.Cit.hal 64
56
Universitas Sumatera Utara
Dalam menjalankan berbagai kegiatan usaha pokok, pelaksanaannya
dilapangan diarahkan agar dapat berjalan secara terpadu dan tidak secara sendirisendiri, serta berdasarkan kebijaksanaan dasar pembangunan pertanian yang
isinya sebagai berikut :
1.
Kebijaksanaan usahatani terpadu, adalah suatu kegiatan pembinaan
terhadap usahatani yang mempunyai satu cabang usaha atau beraneka
ragam cabang usaha, dalam memanfaatkan secara optimal , segala sumber
dana dan daya yang dimilikinya, untuk mencapai tujuan meningkatkan
kesejahteraan petani atau produsen lain dalam arti luas.
2. Kebijaksanaan komoditi terpadu, yaitu suatu kegiatan
pembinaan
terhadap peningkatan produksi berbagai komoditi secara seimbang baik
ditinjau secara vertikal mulai produksi pengolahan sampai pemasaran,
maupun secara horizontal dalam menetapkan imbangan antara berbagai
kelompok komoditi.
3. Kebijaksanaan wilayah terpadu, adalah suatu kegiatan pembinaan wilayah
pertanian sebagai bagian dari wilayah seutuhnya, dengan memperhatikan
potensi wilayah secara seimbang, baik ditinjau dari kepentingan sektoral
maupun kepentingan teriotorial. 63 Masing-masing kegiatan yang tercakup
dalam Usaha Pokok seperti intensifikasi, perluasan areal, diversifikasi
maupun rehabilitsi harus dilaksanakan berdasarkan kebijaksanaan dasar
tersebut, yang selanjutnya disebut Trimatra Pembangunan Pertanian.
63
Departemen Pertanian .R.I.Op.Cit hal 87
57
Universitas Sumatera Utara
Upaya pemerintah untuk peningkatan produksi beras kemudian semakin
ditingkatkan pada REPELITA IV ( 1984-1988 ) dengan meningkatkan sarana dan
prasarana, termasuk input penunjang produksi padi di seluruh daerah dengan
mengutamakan perhatian pada daerah-daerah sentra produksi padi. Bahkan,
keseriusan pemerintah dalam upaya peningkatan produksi pangan itu ditunjukkan
dengan perubahan struktur kelembagaan Depertemen Pertanian RI yaitu selain
Menteri Pertanian yang dijabat oeh Prof. Ir. Sedarsono Hadisapoetra di angkat
pula Ir. Achamd Affandi sebagai Menteri Muda Urusan Pangan. Upaya
pengerahan segala upaya di bidang pangan yang dimulai dengan perbaikan
kondisi lapangan dan usaha tani hingga kelembagaan pertanian yang didukung
oleh kondisi iklim yang baik ternyata menghasilkan peningkatan produksi beras
yang relatif tinggi sehingga dapat dicapai Swasembada beras pada tahun 1984/85
dengan produksi padi nasional mencapai 25,9 juta ton setara beras. Pada saat itu
terjadi kelebihan stok beras nasional sehingga dilakukan ekspor beras termasuk
untuk program bantuan ke Afrika yang kekurangan pangan. Prestasi pencapaian
swasembada beras yang didambakan selama empat dekade tersebut membawa
Presiden Soeharto menerima penghargaan FAO karena dianggap telah mampu
menjadikan Indonesia dari negara pengimpor menjadi pengekspor beras.
Kebijakan pertanian di bidang pangan kemudian dilakukan dengan
melarang penggunaan 57 jenis pestisida melalu INPRES No. 3/ 1986 tetapi
kemudian pada tahun 1987 terjadi lagi kemarau panjang yang sangat kering dan
terjadi penurunan produksi beras nasional sehingga pemerintah harus melakukan
58
Universitas Sumatera Utara
impor beras lagi untuk mengamankan stok. Kemudian pemerintah melaksanakan
Program Supra-Insus yang disertai dengan introduksi varietas IR-64 sebagai
upaya peningkatan produksi padi
nasional akan tetapi peningkatan jumlah
penduduk dan tingkat konsumsi pangan per kapita ternyata mempersulit upaya
untuk mempertahankan swasembada beras.
Pada REPELITA V ( 1989-1993 ) selain program peningkatan produksi
pangan kenyataanya pemerintah menghendaki untuk meningkatkan pula laju
pertumbuhan sektor ekonomi lainnya, terutama industri yang berbasis pertanian.
Pilihan industri yang dikembangkan pada saat itu adalah tekstil dan produk tekstil
yang berbahan baku kapas dari sektor pertanian tetapi kerana produksi kapas
nasional pada saat itu tidak mencukupi kebutuhan bahan baku industri tekstil
nasional maka dilakukan impor kapas. Pada sisi lain, agar upaya pengembangan
industri tersebut dapat berjalan maka pemerintah mengupayakan agar tingkat upah
sektor industri relatif murah dengan melakukan stabilitas harga pangan pada
tingkat yang relatif rendah. Kenyataanya, kebijakan harga pangan yang stabil dan
murah tersebut tidak hanya mendukung pengembangan industri nasional saja
tetapi juga memotivasi peningkatan konsumsi beras. Peningkatan konsumsi beras
per kapita tersebut berdampak pada melambatnya program diversifikasi pangan
dan berakibat bahwa swasembada beras semakin tidak dapat dipertahankan lagi.
Oleh karena itu pemerintah mencanangkan program swasembada On Trend yang
mengikuti mekanisme ekspor-impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan
nasional. Program pemerintah tersebut didiukung oleh Gerakan Sadar Pangan dan
59
Universitas Sumatera Utara
Gizi yang disebut dengan UPGK ( Upaya Perbaikan Gizi Keluarga ) dengan
harapan dapat mempercepat diversifikasi pangan ditingkat rumah tangga.
Pemerintah pada prinsipnya masih melakukan upaya pengembangan
produksi pangan yaitu dengan melakukan introduksi varitas padi baru seperti IR72 Ciliwung dan Bengawan serta motivasi perluasan penggunaan traktor untuk
pengolahan lahan pada tahun 1989. Upaya peningkatan produksi padi nasional
tersebut ternyata memberikan peningkatan produksi dari 28,34 juta ton di tahun
1988 menjadi 30,41 juta ton di tahun 1989 atau meningkat sebesar 2,07 juta ton.
Kemudian, pelaksanaan program Pegendalian Hama Terpadu ( PHT ) semakin
diperluas dan ditunjang dengan dicabutnya subsidi pestisida pada tahun 1990.
Selain itu, penelitian untuk menghasilkan varietas padi yang tahan hama dan
penyakit tetap dikembangkan sehingga pmerintah mengintroduksikan dua varietas
padi hasil rekayasa Badan Tenaga Atom Nasional yang dinamakan varietas
Atomita-1 dan Atomita-2. Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
usaha tani maka pemerintah mengeluarkan UU No.2 / 1992 tentang budidaya
tanaman, kemudian untuk dapat meningkatkan pelaksanaan program diversifikasi
pangan secara nasional maka pada tahun 1993 dibentuk kantor Menteri Negara
Urusan Pangan dan Hortikultura.
Pada pelaksanaan REPELITA VI ( 1993-1998 ) program intensifikasi ,
ekstensifkasi dan diversifikasi untuk meningkatkan produksi beras masih
dilakukan dengan introduksi varietas padi gogo. Varietas tersebut ditujukan untuk
usaha peningkatan produksi padi di daerah perkebunan dan lingkungan Hutan
60
Universitas Sumatera Utara
Tanaman Industri ( HTI ) dan juga diintroduksikan varietas Memberamo serta
varietas lain untuk daerah pasang surut dan lebak. Pemerintah juga melakukan
perbaikan irigasi desa dan mengintroduksi Urea Tablet serta sistem percepatan
tanam dengan tabur benih langsung dan TOT ( Tanpa Olah Tanah ). Selanjutnya,
setelah FAO mengadakan World Food Summit pada tahun 1996 yang melahirkan
konsep “food security” atau ketahanan pangan maka pemerintah Indonesia
merumuskan kembali sasaran program pengembangan pangan dari swasembada
on trend
ke program ketahanan pangan nasional. Program tersebut menjadi
landasan untuk menerbitkan UU No. 7/ 1996 tentang pangan agar memberi
perlindungan
hukum untuk upaya pengembangan pangan nasional. Upaya
pengembangan pangan tetap dilakukan oleh pemerintah dengan menyediakan
modal usaha melalui program Kredit Usaha Tani selanjutnya disingkat menjadi (
KUT ) dan pada sisi lain pemerintah melakukan perluasan areal padi dengan
program pembukaan lahan gambut sejuta hektar.
Akan tetapi upaya-upaya
tersebut relatif tidak efektif meningkatkan produksi beras nasional karena hanya
terjadi peningkatan produksi sebesar sekitar 882 ribu ton dibandingkan produsi
tahun 1995.
International Food Policy Research Institu ( IFRRI ) TANGGAL , 13 Juni
1995 mengedarkan suatu makalah yang ditujukan kepada anggota FAO dan
berbagai pakar yang berjudul “ A 2020 Vision For Food, Agriculture And The
Environ-Ment’. Bahan ini akan dijadikan acuan untuk konferensi internasional
tahun 2020. Salah satu kesimpulan yang dikemukakan adalah
61
Universitas Sumatera Utara
...”there is no magic solution that will make the 2020 vision is
realiti.
The action nededs not new, but it will requare joint efforts by
individuals, household, local, international community. Goverment
in both developing and deleloped countries must chang theri
priorities and policies to reflect the vision...”
Campur tangan pemerintah untuk menciptakan iklim kondusif, telah
mengantar Indonesia dalam era swasesembada beras sejak tahun 1984.
Sebagaimana diketahui dapat dibedakan dala 3 hal yaitu :
1. Seasembada absolut artinya selisih suplay dan demand beras sama
dengan nol
2. Swaembada subsektoral pangan artinya ekspor bahan pangan dapat
membiayai impor pangan
3. Swasembada sektoral artinya ekspor seluruh komoditas pertanian
dapat membiayai impor pangan. 64
Dari sudut pandang swasembada sektoral, sebelum tahun 1984 sebenarnya
Indonesia sudah tergolong swasembada, karena bila ekspor komoditas pertanian
kita sangat mampu bahkan surplus untuk mengimpor pangan. Akan tetapi ada
dampak negatif dari revolusi hijau tersebut dan memiliki kelemahan seperti :
1. Merubah padi yang tidak rontok, menjadi rontok
64
Beddu Amang. 1995.Pembangunan Pertanian dan Perdagangan Komoditi Pertanian di Kawasan Timur
Indonesia.Jakarta.Dharma Karsa Utama. Hal.8
62
Universitas Sumatera Utara
2. Merubah padi yang besar air tinggi menjadi padi pendek, menyebabkan
tidak dapat dilakukan mina padi. Padahal hasil penjualan ikon dari mina
padi mendapat 2-3 kali hasil penjualan padinya. Revolusi hijau
menyebabkan terjadi peingkatan produksi padi akan tetapi pendapatan
petani
menurun karena hasil tambahan dari mina padi, pemeliharaan
ayam, itik. Selain daripada itu panen padi rontok di
musim hujan,
memerlukan biaya besar untuk ongkos panen. Akhirnya timbul budaya
negatif (1) petani menjual padi saat hijau (ijon) , (2) petani menjual padi
sebelum di panen (tebasan), (3) petani menjual padi saat panen (4) petani
tidak dapat melakukan usaha mina padi 65. Ini menjelaskan bagaimana
dampak negatif dari kebijakan yang dibuat oleh Rezim Orba yang ingin
mensuskseskan swasembada beras akan tetapi dengan metode penggunaan
pupuk dan pestisida yang berlebih.
Pada tahun 1996 tersebut pemerintah juga turut meratifkasi GATT pada
putaran Urugay yang berarti akan semakin membuka perdagangan produk
pertanian, termasuk bahan pangan secara membuka perdagangan produk
pertanian, termasuk bahan pangan secara lebih luas dengan negara-negara lain.
Kenyatan yang terjadi adalah bahwa produsen pangan nasional tidak mampu
menghadapi tekanan pasar internasional yang cenderung oligopolistik dan
semakin lemahnya posisi Indonesia dalam perjanjian-perjanjian perdagangan
dengan negara-negara maju. Kondisi tersebut diperburuk dengan terjadinya krisis
65
Soemitro Arintadisastra.2012.Revolusi Pertanian Dengan Kearifn Lokal.Jakarta
63
Universitas Sumatera Utara
likuiditas keuangan atau dikenal dengan krisis moneter yang berkembang menjadi
krisis ekonomi.
Kemudian muncul negara-negara maju yang tergabung
dalam IMF ( International Monetary fund ) dengan alasan untuk membantu
perekonomian Indonesia sehingga muncul Letter of Intent ( Lol) pada tahun 1997
untuk menghapuskan subsidi, termasuk subsidi di bidang pertanian karena krisis
likuiditas tersebut. Penghapusan subsidi tersebut direliasikan oleh pemerintah
pada tahun 1998 terutama subsidi bunga KUT
tetapi dampaknya kemudian
adalah terjadinya penurunan produksi beras nasional dari 33,2 jut ton pada tahun
1996 menjadi 31,2 juta ton pada tahun 1997 dan menurun lagi menjadi 31,1 juta
ton pada 1998. Kondisi pangan nasional semakin diperburuk lagi dengan tekanan
lembaga internasional terhadap pemerintah untuk melakukan ‘demonopolisasi
impor’ Bulog dengan Lol tertanggal 15 januari 1998. Perjanjian dalam Lol
tersebut disetujui oleh pemerintah dan dituangkan dalam keputusan presiden (
Keppres ) no. 19/1998 untuk membatasi peran Bulog yang hanya mengurusi beras
dalam negeri saja. Tekanan IMF terhadap pemerintah Indonesia ternyata masih
berlanjut dengan Lol yang menghapuskan Bea Masuk ( BM ) untuk beras dan
gula dan berdampak pada semakin bersarnya impor beras yang dilakukan oleh
pedagang beras nasional. Pada tahun 1998 impor beras yang dilakukan Bulog
tercatat sebesar 5,8 juta ton dan pedagang sebesar 1,3 juta ton kemudian dengan
demonopolisasi impor Bulog maka pada tahun 1999 impor beras oleh Bulog
tercatat 1,9 juta ton dan pedagang besar mencapai 3,2 juta ton.
64
Universitas Sumatera Utara
2.3. Politik Pangan Era Pasca Reformasi
Setelah lengsernya presiden Soeharto pada tahun 1998 dan sistem politik
Indonesia memasuki era reformasi tetapi kenyatannya kebiijakan pangan masih
tidak menguntungkan petani. Kebijakan untuk pengurangan subsidi pupuk dan
bunga kredit KUT masih dilanjutkan pada tahun 1999 sehingga bunga kredit KUT
menjadi 10,5% per tahun dan diikuti dengan pengurangan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia ( KLBI ) untuk pengadaan beras oleh Bulog. Kebijakan pengurangan
KLBI
untuk pengadaan beras oleh Bulog tersebut berdampak pada semakin
lemahnya Bulog dalam mengatur stok nasional dan pedagang beras nasional
semakin meguasai pasar perberasan nasional.
Sedangkan rendahnya tingkat
bunga KUT dibandingkan bunga kredit komersim ternyata menimbulkan ‘ moral
hazard’ yangberupa penyimpangan penggunaan KUT tersebut untuk usaha di luar
usaha tani atau bahkan didepositkan pada bank-bank komersial untuk memperoleh
keuntungan selisih bunga.
Kondisi krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi tersebut
juga berdampak pada ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk memenuhi
keutuhan pangannya sehingga terjadi kondisi kekurangan pangan dan gizi. Untuk
itu pemerintah melaksanakan program penjualan beras murah bagi keluarga
miskin melalui program OPK ( Operasi Pasar Khusus ) oleh Bulog yang dimulai
pada bulan juni 1998. Namun, kenyataannya sebagian masyarakat tersebut
semakin menurun daya – belinya akibat dari meningkatnya pengangguran akibat
pengurangan tenaga kerja di sektor industri. Untuk itu sejak agustus 1998
65
Universitas Sumatera Utara
pemerintah merancang program penyelamatan yang dikenal dengan Jaring
Pengaman Sosial ( JPS ) di bidang pendidikan, kesehatan dan pemerataan
pendapatan bagi pengangguran melalui program padat karya yang ternyata efektif
dilakukan pada tahun 1999.
Sebelum Indonesia memasuki krisis ekonomi dan moneter,
Indonesia
telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yakni antara 5%
sampai dengan 7% per tahunnya. Dari segi teori pertumbuhan makro yang relatif
tinggi tersebut diharapkan pula akan memperbaiki kinerja sektor pertaniana
Indonesia, serta tingkat kesejahteraan masyarkat pertanian Indonesia. Tetapi
kenyataan empiriknya tidaklah demikian. Salah satu indikator penting yang
digunakan untuk mengetahui tinggi rendahnya kesejahteraan petani adalah nilai
tukar produk pertanian. 66 Semakin tinggi nilai tukar produk pertanin, semakin
tinggi kesejahteraan para petani. Sebaliknya semakin rendah nilai tukar produk
pertanian semakin rendah kesejahteraan petani. Di Indonesia nilai tukar produk
pertanian petani mengalami penurunan dari tahun ke tahun seperti terlihat dalam
tabel berikut :
66
NTP atau nilai tukar petani adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani, yakni indeks harga jual
outputnya terhadap indeks harga yang dibayar petani, yakni indeks harga input-input yang digunakan untuk
bertani misalnya pupuk. Berdasarkan rasio ini, maka dapat dikatakan semakin tinggi NTP semakin baik
profit yang diterima petani, atau semakin baik posisi pendapatan petani.
66
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Nilai Tukar Produk Pertanian di Jawa
Tahun
Jawa Barat
Jawa Tengan
Yogyakarta
Jawa Timur
1988
105,95
111,58
109,08
113,26
1989
103,65
106,34
102,33
104,63
1990
105,70
106,02
104,02
104,30
1991
105,97
104,21
104,21
102,83
1992
102,30
99,56
101,39
100,00
Sumber : Warta HKTI , No.16 XIV, hal 29, 1997.
Dari angka-angka tersebut nampak bahwa harga yang diterima oleh petani
dari produk hasil pertanian mereka, khususnya produk dari sub sektor pertanian
yakni padi, tidak sebanding dengan harga-harga yang dibayarkan petani baik
untuk konsumsi maupun untuk keperluan usaha tani. Harga padi diatur oleh
pemerintah agar harga beras di Indonesia dapat dijangkau oleh semua sektor
masyarakat Indoensia. Setiap tahun pemerintah menentukan harga gabah. Namun
setiap tahun pula subsidi pemerintah terhadap harga beberapa jenis saprodi
dikurangi. Akibatnya memang menjadikan para petani harus membayar keperluan
mereka lebih dari harga dasar produk pertanian mereka. 67
67
Loekinan Soetrisno. 1998. Pertanian Pada Abad ke 21.Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Hal 8-9
67
Universitas Sumatera Utara
Perimbangan antara biaya yang dikeluarkan dan penerimaan bersih yang
diperoleh , sering kurang menguntungkan produsen pertanian yang begitu banyak
macam dan jumlahnya mengalir ke kota-kota untuk menghidupi sektor kota.
Sering terjadi bahwa harga komoditi pertanian dinilai rendah terhadap barang
industri yang datang dari kota. Dalam hubungan dini, dapat dikatakan, bahwa
daerah pedesaan telah lama mensubsidi daerah perkotaan, dengan jumlah nilai
ekspor yang cukup besar. Kepincangan nilai tukar antara barang yang dihasilkan
di sektor desa dan kota ini lambat laun harus dibenahi sehingga tercapai ‘trade
off’ antara pembangunan desa dan kota. Disinilah pentingnya memberi nilai tukar
yang berarti terhadap hasil-hasil pertanian. 68
Pada sisi produksi pangan pemerintah masih memberi insentif kepada
petani menjadi Rp1.500/kg yang disertai dengan penurunan bunga kredit KUT
ternyata efektif meningkatkan produksi beras nasional sebesar 1,03 juta ton pada
tahun 1999. Kemudian pada tahun 2000 pemerintah memberlakukan Bea Masuk
beras impor sebesar Rp430/kg dan pemberian kredit pengadaan untuk KUD
masih efektif meningkatkan produksi beras nasional sebesar 652 ribu ton. Selain
itu, ketidaktepatan pemerintah untuk mengganti dengan program KKP ( Kredit
Ketahanan Pangan ). Pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah no.6/2001 mewajibkan pemerintah daerah untuk mendorong
terbentuknya Lumbung Pangan Masyarakat Desa ( LPMD ) sebagai lembaga
68
Departemen Pertanian .R.I.Log.Cit hal 48
68
Universitas Sumatera Utara
milik rakyat desa/kelurahan dan perdagangan bahan pangan yang dibentuk dan
dikeola oleh masyarakat.
Pada tahun 2002 terjadi peningkatan produksi karena meningkatnya
produktifitas
menyebabkan
namun
jumlah
terjadi
beras
penurunan
impor
harga
meningkat.
beras
internasional
Mengingat
yang
keterbatasan
kemampuan Bulog mengelola beras pemerintah maka pemerintah melalui
Peraturan Pemerintah ( PP ) no 68/2002 membentuk cadangan pangan hingga di
tingkat daerah untuk konsumsi, bahan baku industri, dan untuk menghadapi
keadaan darurat. Kemudian, pada akhir tahun 2002 pemerintah menaikkan HDPP
melalui inpres no. 9/2002 menjadi Rp1725/kg yang ternyata masih digunakan
sebagai patokan harga bagi petani untuk produksi di tahun 2003. Hal ini terbukti
dengan terjadinya peningkatan produksi walaupun relatif kecil yaitu sekitar 2,7
juta ton karena harga internasional relatif lebih murah dari harga domestik.
Pada tahun 2003 dengan PP no.7 / 2003 Bulog berstatus sebagai
Perusahaan Umum ( Perum ) dan berada di bawah Kementerian Negara BUMN
yang tentunya tidak lagi sepenuhnya Lembaga Pemerintah tetapi juga menjadi
Badan Usaha yang harus mampu menghasilkan keuntungan dari usahanya.
Sebagai perusahaan tentunya Perum Bulog akan selalu meminimalkan kerugian
dari bahan pangan yang dikelolanya sehingga prinsip
semakin kecil stok di
gudang Perum Bulog lebih menguntungkan. Alternatif upaya untuk memperkecil
kerugian maka Perum Bulog akan melakukan perputaran stok lebih cepat
sehingga efisien jika melakukan stok dalam bentuk beras dari pada gabah yang
69
Universitas Sumatera Utara
dapat disimpan lebih lama. Perubahan kebijakan manajemen Perum Bulog
tersebut berdampak pada semakin jauhnya posisi Perum Bulog dengan petani
produsen yang menjual produk dalam bentuk gabah. Namun, Perum Bulog masih
ditugasi oleh pemerintah untuk
mengelola beras pemerintah untuk Raskin
sedangkan Menteri Perdagangan melakukan pembatasan impor beras.
Pembatasan impor beras masih berlaku hingga tahun 2004 dan walaupun
HDPP tidak mengalami perubahan ternyata terjadi peningkatan produksi beras
nasional sekitar 1,2 juta ton. Pemerintah dengan PP no. 28/2004 menentukan
tentang keamanan, mutu dan gizi pangan untuk melindungi masyarakat dari
kandungan kimia pada bahan pangan, standarisasi mutu dan gizi pangan. Namun
kemudian dengan Inpres no. 2/2005 tertanggal 2 maret 2005 pemerintah merubah
HDPP menjadi HPP yang relatif lebih ‘ rigid’ walaupun ditentukan meningkat
tetapi membatasi Perum Bulog dalam pembelian beras untuk pemerintah. Kondisi
ekonomi pada saat itu relatif kurang baik terutama dengan peningkatan harga
BBM
( Bahan Bakar Minyak ) yang terjadi pada tanggal 10 Oktober
mengeluarkan Inpres no. 13/2005 yang menetapkan HPP meningkat menjadi Rp
2280/kg agar memotivasi petani untuk peningkatan produksi pangannya.
Kenyataannya, jumlah produksi di tahun 2005 menurun dan harga beras
meningkat signifikan sehingga pemerintah mengijinkan Perum Bulog untuk
mengimpor beras sebesar 70.000 ton pada bulan desember 2005 walaupun harga
internasional relatif lebih tinggi dari harga domestik. Hingga awal tahun 2006
ternyata harga beras masih naik sementara belum masuk masa panen padi maka
70
Universitas Sumatera Utara
pemerintah mengijinkan lagi perum bulog untuk mengimpor beras dan terealisasi
sebesar 83.000 ton. Untuk memenuhi stok pangan pemerintah maka pada saat
panen besar di musim hujan 2006 Perum Bulog melakukan pembelian gabah
disamping dalam bentuk beras seperti yang selama ini dilakukan dan terealisasi
sekitar 1,25 juta ton setra beras. Akan tetapi karena pada akhir 2006 stok Perum
Bulog hanya tinggal sekitar satu juta ton dan harga pada bulan november
meningkat maka pemerintah mengijinkan lagi Perum Bulog untuk mengimpor
sebesar 210 ribu ton untuk memperkuat stok. Harga beras di bulan desember
ternyata terus meningkat yang mengindikasikan bahwa stok beras di masyarakat
semakin menipis maka perum Bulog diijinkan untuk mengimpor lagi sebesar 500
ribu ton beras untuk mengantisipasi peningkatan harga yang lebih tinggi lagi.
Pada bulan januari 2007 ternyata harga beras terus naik sehingga Perum
Bulog mengadakan Operasi Pasar dengan jumlah yang relatif besar sehingga
menguras stok beras di gudang Bulog tetapi hingga bulan februari ternyata harga
masih naik terus. Untuk stabilisasi harga beras tersebut akhirnya pemerintah
melakukan impor beras lagi sebesar 500 ribu ton akan tetapi harga beras naik dan
diperkirakan bahwa harga beras akan mencapai tingkat keseimbangan baru yang
cukup tinggi. Kenaikan harga tersebut ternyata mulai menurun lagi pada bulan
maret yaitu saat mulai ada panen di daerah-daerah produsen padi dan pada 31
maret 2007 dikeluarkan Inpres no.3 2007 yang menentukan HPP gabah kering
giling dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14% dan kadar
71
Universitas Sumatera Utara
hampa/kotoran maksimum 3% adalah Rp 2575 / kg di penggilingan atau Rp
2.600/kg di gudang Bulog.
Pada tahun 2008 dengan kondisi iklim yang cukup mendukung maka
pemerintah optimis untuk dapat meningkatkan produksi beras nasional dan untuk
memberikan patokan harga maka dikeluarkan Inpres no. 1/2008 yang menentukan
HPP gabah kering panen sebesar Rp2.200/kg dan gabah kering keliling sebesar
Rp 2.800/kg . Disamping itu, pembatasan impor beras masih diberlakukan dan
tercatat jumlah impor yang dilakukan oleh pedagang sekitar 110.596 ton dan
Perum Bulog sebesar 30.200 ton. Kemudian pada tahun 2009 dengan didukung
oleh iklim yang kondusif maka produksi padi meningkat sekitar 3,5 juta ton padi
dari pertambahan luas panen sebesar 515 ribu hektar. Pemerintah dengan inpres
no.7/2009 meningkatkan HPP gabah kering giling dalam negeri dengan kualitas
kadar air maksimum 14 % dan kadar hampa/kotoran maksimum 3% adalah
Rp3.300/kg di penggilingan, atau Rp3.345/kg di gudang Bulog.
Demikian pula kondisi pada tahun 2010 dengan kemarau yang basah
memungkinkan petani melakukan penanaman sepanjang tahun termasuk di areal
sawah tadah hujan sehingga diperkirakan terjadi kenaikan produksi padi. Namun
kenyatan menunjukkan bahwa penanaman padi secara terus menerus sepanjang
tahun menyebabkan terjadinya eksplosi hama wereng di beberapa daerah sentra
produksi padi. Selain itu, musim kemarau yang basah juga menyebabkan
rendahnya rendemen gabah beras karena gabah yang tidak dapat memenuhi
72
Universitas Sumatera Utara
persyaratan kering giling. Pada tahun 2010 tercatat pengadaan beras oleh Perum
Bulog dari dalam negeri hanya 1,896 juta ton dari impor sebesar 468 ribu ton.
Usai era Orde Baru, sektor pertanian kembali memasuki era baru, dimana
pembangunan pertanian tidak lagi bersifat sentralistik. Era reformasi yang
dicirikan dengan otonomi daerah mengharuskan sektor pertanian bersifat
desentralistik, yang diikuti pula oleh program penelitian dan pengembangan yang
bersifat lebih spesifik lokasi, meskipun gaungnya masih rendah. Fokus riset pada
padi masih mendominasi di seluruh provinsi, sehingga belum terlihat kekhasan
dan potensi yang dimiliki masing-masing provinsi tersebut. Sejak 2000 perhatian
pembangunan pertanian pada palawija mulai tumbuh dengan diluncurkannya
program GEMA PALAGUNG Departemen Pertanian, 1998. Fokus pembangunan
pertanian pada ketahanan pangan tetap dipertahankan, sambil pula menjalankan
program pembangunan pertanian berupa pengembangan agribisnis, swasembada
daging sapi dan kerbau serta gula, peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan
nilai tambah, daya saing, dan ekspor, serta peningkatan kesejahteraan petani.
Pada Musrenbang Pertanian Nasional yang diselenggarakan pada
pertengahan Mei 2014 telah menyepakati program Pembangunan PertanianBioindustri untuk Peningkatan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani.
Biomas yang dihasilkan harus mampu menggerakkan usahatani, baik dari sisi
kecukupan ekonomi, energi, dan kebutuhan ekologi tanah dan tanaman . Selaras
dengan Permentan No. 50 tahun 2012, konsep pembangunan pertanian berbasis
kawasan telah pula disepakati dan akan diimplementasikan oleh seluruh
73
Universitas Sumatera Utara
pengambil
kebijakan
pembangunan
pertanian
di
pusat
dan
provinsi/kabupaten/kota, melalui alokasi anggaran DIPA TA 2015 sekitar 30
persen untuk pelaksanaan