Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 Di Kota Padangsidimpuan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Uraian Teoritis

2.1.1. Pengertian Demokrasi dan Perkembangannya di Indonesia
Secara leksikal demokrasi berasal dari kata Yunani yakni “demos” yang berarti
rakyat dan “kratos” yang berarti wewenang untuk memerintah. Jadi secara sederhana
demokrasi dapat dimaknai sebagai kewenangan rakyat untuk memerintah atau rakyat
memiliki kedaulatan untuk memerintah.
Abraham Linclon seorang mantan presiden Amerika pernah mendefenisikan
demokrasi sebagai “government of the people, by the people, for the people”. Menurut
linclon demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana kekuasaan politik tertinggi
(supreme political authority) dan kedaulatan (sovereignty) ada di tangan rakyat. Rakyat
yang memiliki “sovereignty” berhak untuk memerintah. Karena itu, pemerintahan yang
demokratis adalah pemerintahan yang mendapat persetujuan rakyat atau pemerintahan
yang sudah memiliki mandat untuk memerintah dari rakyat (democratic government by
and with the consent of the people).
Dalam sistem pemerintahan modern, pemerintahan rakyat atau yang oleh

Lincoln disebut sebagai “government by people” tersebut terepresentasi dalam bentuk
lembaga perwakilan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Kehadiran rakyat
secara langsung dalam mengendalikan dan melaksanakan roda pemerintahan sangat
sulit dalam sistem politik modern, karena heterogenitas kepentingan politik, luas wilayah
dan populasi mobilitas warga negara yang sangat besar.
9

Universitas Sumatera Utara

Demokrasi modern memiliki spesifikasi yang luar biasa terhadap sistem
pemerintahan untuk membentuk sebuah pemerintahan yang demokratis diperlukan
institusionalisasi nilai-nilai demokrasi yang substansial menjadi nilai yang
terlembagakan. Nilai-nilai yang terlembagakan inilah yang oleh para pakar ilmu politik
disebut sebagai demokrasi prosedural, karena ia mengatur dengan jelas bagaimana
nilai-nilai demokrasi itu bisa berfungsi dalam sistem politik modern. Demokrasi
prosedural mengharuskan adanya Pemilu sebagai salah satu ruang bagi warga negara
berkontestasi dan berkompetisi secara sehat dalam pemerintahan. Pemilu menjadi tanda
jaminan terhadap hak-hak individu, kebebasan perorangan, partisipasi publik dan
kesadaran hak-hak politik warga negara dalam bentuk keterlibatan yang aktif untuk
memilih wakil-wakilnya di parlemen.

Pada abad XIX, pengertian demokrasi baru mengalami perluasan lagi mengikuti
tradisi pemikiran Schumpetarian, dimana demokrasi dimaknai sebagai proses
pengambilan keputusan kolektif yang penuh melalui Pemilu yang bebas, jujur, dan adil
guna memilih kandidat-kandidat yang berhak untuk memangku jabatan politis.
Demokrasi berdasarkan defenisi ini meliputi dua dimensi yaitu; 1) menyangkut
kontestan. Semua kontestan yang terlibat didalam proses demokrasi (Pemilu) memiliki
kesempatan untuk menarik dukungan dari orang lain dan menaati aturan bersama “rule
of the game” yang telah disepakati, 2) Sebagai partisipasi untuk mengukur sejauh mana
keterlibatan warga negara dalam suatu proses politik. Untuk mengukur tingkat
partisipasi warga negara dalam suatu proses politik, instrumen utama yang digunakan
adalah Pemilihan Umum.
Konsep demokrasi modern banyak diilhami oleh pemikiran Huntington.
Huntington mendefenisikan demokrasi sebagai : a) suatu bentuk pemerintahan (as a

Universitas Sumatera Utara

form of government); b) sebagai sumber kekuasaan pemerintah (sources of authority for
government); c) melayani tujuan (urusan) pemerintah (purposes by government), karena
demokrasi memberikan jaminan bagi pemerintah untuk menjalankan tugas-tugas
pemerintahan dan kenegaraan sesuai dengan kepentingan rakyat; d) sebagai prosedur

konstitusi pemerintahan (prosedurs for constitusing government).
Sedangkan menurut Robert A. Dhal mendefenisikan demokrasi sebagai
“political freedom to speak, publish, assemble, and organize”. Jadi demokrasi menurut
Dhal adalah suatu kebebasan politik untuk berbicara, berorganisasi, dan kebebasan pers.
Dalam negara demokrasi, setiap orang memiliki kesempatan untuk berekspresi
berdasarkan hak-haknya sebagai warga negara , baik hak untuk berbicara, maupun hak
untuk berorganisasi.
Dalam abad modern, dimana nilai-nilai demokrasi mulai hidup, sumber utama
kekuasaan adalah kedaulatan rakyat yang diserahkan kepada wakil-wakilnya di
parlemen untuk memilih individu yang berbakat menjadi pemimpin. Titik sentral
prosedur demokrasi terletak pada proses penyeleksian pemimpin-pemimpin yang
berbakat melalui Pemilu yang demokratis. Pemilu merupakan arena yang representatif
bagi masyarakat untuk menyeleksi para pemimpin yang benar-benar berkualitas,
memiliki dedikasi dan loyalitas yang tinggi terhadap masyarakat yang memilihnya.
Tujuan kekuasaan pun menjadi jelas yaitu untuk “melayani kepentingan rakyat banyak”.
Dalam sejarah demokrasi di Indonesia telah mencatat sepuluh kali Pemilu,
dimana Pemilu pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955 pada masa Presiden
Soekarno yang diikuti oleh 172 partai politik. Kemudian pada era kepemimpinan
Soeharto Indonesia juga melaksanakan Pemilu sebanyak 6 kali yaitu pada tahun 1971,
1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Pada masa pemerintahan Soeharto sistem demokrasi


Universitas Sumatera Utara

kita lebih cenderung kepada sistem Otoritarianisme dimana semua sistem demokrasi
pada saat itu dikendalikan oleh satu orang saja yaitu Soeharto. Walaupun dalam
pelaksanaannya kelihatan demokratis karena melaksanakan pemilihan umum.
Pasca pemerintahan Soeharto, Indonesia mengalami euphoria demokrasi dimana
semua orang berhak untuk menyampaikan pendapat dan pikirannya secara lebih bebas
dan terbuka yang kita kenal dengan Zaman Reformasi. Pada era reformasi ini pertama
kali diadakan pemilu pada tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik.
Selanjutnya, seiring dengan perkembangan demokrasi di Indonesia pada tahun
2004 terjadi perubahan dalam sistem pemilu dimana pada pemilu sebelumnya menganut
sistem proporsional tertutup dimana masyarakat hanya memilih tanda gambar partai saja
sehingga masyarakat jarang sekali mengenali anggota legislatif yang duduk di parlemen.
Baru pada tahun 2004 sistem pemilu proporsional terbuka diterapkan dimana
masyarakat dapat memilih nama Calon Anggota Legislatif (Caleg) dan tanda gambar
partai walaupun keterwakilan pemilih masih berdasarkan nomor urut tertinggi walaupun
perolehan suaranya rendah. Baru pada pemilu tahun 2009 Indonesia menganut sistem
proporsional terbuka dimana masyarakat (pemilih) dapat memilih tanda gambar partai
dan nama calon anggota legislatif yang diusung oleh partai, dimana yang berhak duduk

di parlemen adalah yang memperoleh suara terbanyak.

2.1.2. Partisipasi Politik
Dalam sistem politik demokratis, permasalahan partisipasi politik mendapatkan
perhatian utama. Mengingat bahwa sistem politik demokratis menjadikan rakyat atau
warga negara adalah pemilik mandat (stakeholder) dan pemerintah adalah pelaksana
mandat (agent). Oleh karena itu setiap keputusan politik yang diambil oleh pemerintah

Universitas Sumatera Utara

harus mendapatkan legalitas dari sebagian besar atau seluruh warga negara. Partisipasi
politik dianggap merupakan sarana yang paling efektif bagi pemerintah untuk
meningkatkan legalitas dari setiap keputusan dan kebijakan yang diambilnya. Artinya,
semakin besar ruang partisipasi politik yang disediakan oleh sistem politik, maka sistem
politik tersebut akan semakin demokratis.
Keyth Fauls (1999:133) memberikan penegasan bahwa partisipasi politik
adalah: keterlibatan secara aktif (the active engagement) dari individu atau kelompok ke
dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses
pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah. Sehingga dari
pengertian ini partisipasi politik merupakan pengertian yang luas mencakup aktifitas

mendukung atau terlibat dalam suatu pemerintahan serta aktifitas yang berkaitan dengan
penolakan atau beroposisi kepada pemerintah.
Sejauh ini kita hanya menyinggung masalah partisipasi dalam pengertian
keikutsertaan, padahal dalam realitasnya tidak sedikit warga negara yang menghindari
atau tidak menaruh perhatian sama sekali, atau hanya sedikit perhatiannya pada
kehidupan politik. Mereka inilah yang digolongkan sebagai yang apati (masa bodoh).
Morris Rosenberg (1954) dalam Michael Rush dan Phillip Althoff (1971: 144)
menemukan tiga alasan pokok untuk menerangkan mengapa mereka apati politik. Hal
ini mengambil beberapa bentuk: individu dapat merasa bahwa aktifitas politik
merupakan ancaman terhadap berbagai aspek kehidupannya. Umpamanya, ia
mempercayai bahwa aktifitas politiknya dapat menjauhkannya dari kawan atau para
tetangganya.
Alasan yang kedua, individu dapat menganggap aktifitas politik adalah sia-sia
saja. Sebagai individu tunggal ia merasa bahwa ia sama sekali tidak mampu

Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi jalannya peristiwa, dan bahwa kekuatan politik yang bersifat
bagaimanapun juga ada di luar kontrol individu.
Alasan yang ketiga, menyangkut ketiadaan faktor yang memacu dirinya untuk

bertindak, atau disebut juga dengan “perangsang politik”. Individu mungkin merasa
bahwa buah pikiran politik tidak terlalu menarik baginya, dan bahkan dapat memisahkan
banyak kegiatan dari bidang politik karena dia menerimanya sebagai yang bersifat
pribadi ketimbang politis. Pendek kata, partisipasi politik diterima sebagai hal yang sama
sekali tidak layak bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan kebutuhan materiil individu.
Russel Dalton (1996) dalam surveinya berkaitan dengan perubahan sosial
mutakhir mengenai partisipasi politik, mengidentifikasikan kecenderungan terkini dari
partisipasi politik di negara demokrasi liberal, yakni:
a. Meningkatnya warga negara yang kritis dan melek informasi (informed and
critical citizenry)
b. Terjadinya penurunan kepercayaan terhadap elit-elit politik lembaga-lembaga
politik.
c. Semakin menurunnya loyalitas kepada partai politik tradisional.
d. Terjadi penurunan pemilih dalam Pemilu (falling electoral turn-out)
e. Peningkatan dalam partisipasi politik yang non-konvensional.

2.1.3. Perilaku Pemilih
Mengapa seseorang melakukan partisipasi politik atau terlibat dalam tindakan
politik tertentu, dan mengapa yang lain apatis? Mengapa orang memilih partai politik
tertentu dan tetap konsisten dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, sementara yang

lainnya berubah-ubah pilihan politiknya dari waktu ke waktu (swing voters).

Universitas Sumatera Utara

Mengapa anggota kelompok sosial maupun agama tertentu cenderung memiliki
pilihan yang hampir sama sementara yang lainnya berbeda-beda dalam menentukan
pilihannya? Sederet pertanyaan tersebut dan selainnya yang senada akan muncul apabila
kita hendak manganalisis perilaku pemilih dalam pemilu (voting behavior).
Selama ini, penjelasan-penjelasan mengenai voting behavior didasarkan pada
dua model atau pendekatan (Asfar,1996), yakni model/pendekatan sosiologi dan
model/pendekatan Psikologi.

1. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan
pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan
perilaku pemilih. Pengelompokan sosial seperti usia (tua-muda), jenis kelamin (lakiperempuan), agama, kelas sosial, organisasi agama, atau organisasi kemasyarakatan dan
semacamnya dianggap memiliki peranan di dalam menentukan pilihan-pilihan
politiknya.
Untuk itu pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal,
seperti kelompok keagamaan (misalnya NU, Muhammadiyah), organisasi profesi,

maupun pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok kecil
lainnya akan sangat berguna bagi penjelasan perilaku memilih seseorang.
Pengelompokan ini memiliki peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan
orientasi seseorang, yang nantinya sebagai dasar atau preferensi dalam menentukan
pilihan politiknya.

Universitas Sumatera Utara

2. Pendekatan Psikologis
Menurut pendekatan ini, perilaku pemilih ditentukan oleh kekuatan psikologis
yang berkembang dalam diri pemilih (voters) sebagai produk dari proses sosialisasi.
Mereka menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refleksi dari kepribadian seseorang
merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya.
Menurut Greenstein (dalam Asfar:50) terdapat tiga alasan mengapa sikap
sebagai variabel sentral untuk menjelaskan perilaku pemilih. Pertama, sikap merupakan
fungsi kepentingan. Artinya, penilaian terhadap suatu objek diberikan berdasarkan
motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan fungsi
penyesuaian diri. Seseorang bersikap tertentu sesuai dengan kepentingan orang itu untuk
sama atau tidak sama dengan tokoh yang diseganinya atau kelompok panutannya.
Ketiga, sikap merupakan eksternalisasi dan pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang itu

merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin
berwujud mekanisme pertahanan (defence mechanism) dan eksternalisasi diri seperti
proyeksi, rasionalisasi, dan identifikasi.
Namun, sikap bukanlah sesuatu yang begitu saja jadi. Sikap merupakan hasil
dan kepribadian merupakan hasil dari proses sosialisasi yang panjang, yang boleh jadi
sarananya terdiri dari kelompok primer seperti adat, desa, dan sebagainya, atau
kelompok-kelompok sekunder termasuk kelompok keagamaan dan mungkin juga
asosiasi-asosiasi lainnya.
Perilaku politik, sebagaimana perilaku manusia pada umumnya, dapat dijelaskan
melalui beberapa pendekatan. Sebagaimana telah dikemukakan, berdasarkan penjelasan
pendekatan sosiologis, dinyatakan bahwa pilihan politik seseorang sedikit banyak

Universitas Sumatera Utara

ditentukan oleh sejauh mana orientasi politik individu terhadap sistem politik, aktor, atau
elit politik.
Luas sempitnya orientasi dan pemahaman seseorang ditentukan oleh ruang
lingkup dari kelompok sosial dan/atau keagamaan yang dimasukinya. Dengan kata lain,
seseorang yang hanya terlibat kedalam keanggotaan kelompok primer, misalnya adat
atau desa, akan memiliki orientasi yang lebih sempit ketimbang mereka yang terlibat ke

dalam organisasi yang lebih luas, misalnya partai politik.
Pendekatan psikologis lebih melihat faktor kekuatan dari dalam individu sebagai
faktor yang menentukan pilihan-pilihan politiknya. Kekuatan psikis tersebut
terefleksikan ke dalam sikap-sikap dan kepribadian yang dibentuk melalui proses
sosialisasi.
Terlepas dari beberapa pendekatan tersebut, Bambang Cipto (1999) dalam Indra
Ismawan (1999:23) menjelaskan bahwa proses pengambilan keputusan pemilih dapat
diperkirakan menurut tolok ukur tradisional yang meliputi tiga aspek penting, yakni: (a)
Party Identification, (b) issues of candidate and party, (c) candidate’s (Party elite’s)
personality, style, and performance.
Identifikasi partai merupakan perasaan terikat pada kelompok dimana ia menjadi
anggota ataupun kelompok yang ia pilih, sebagaimana di kemukakan oleh Campbell,
Gurin, dan Millers (1960) dalam Barry C Burden and Casey (2003:3): the sense of
personal attachment which the individual feels toward the (partisan) group of his
choice. Selanjutnya, Miller dan Shank (1996) dalam Barry C Burden and Casey
(2003:3) menyatakan bahwa identifikasi partai adalah : a concept… positing that one’s
sense of self may include a feeling of personal identity with… a political party. Identitas
partai akan berkaitan dengan kesetiaan (loyalitas) dan ketidaksetiaan (volatilitas) dari

Universitas Sumatera Utara

massa suatu partai. Semakin tinggi identitas partai akan semakin menjamin loyalitas
massa partai, sebaliknya semakin rendah identitas partai akan semakin rendah pula
loyalitas massanya.

a. Pendekatan Rasional
Dua pendekatan terdahulu secara implisit atau eksplisit menempatkan
pemilih pada waktu dan ruang yang kosong. Pemilih ibarat wayang yang tidak
mempunyai kehendak bebas kecuali atas keinginan dalang. Pemilih seakan pionpion catur yang dengan mudah dapat ditebak langkahnya. Mereka beranggapan
bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat menjelang atau ketika
berada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh
sebelum kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga,
pembelahan kultural, afiliasi-afiliasi okupasi, ataupun identifikasi partai melalui
proses sosialisasi dan pengalaman hidup, merupakan variable-variabel yang secara
sendiri-sendiri atau komplementer mempengaruhi perilaku pemilih seseorang.
Pemilih seakan-akan berada pada waktu dan ruang kosong, yang keberadaan dan
ruang geraknya ditentukan oleh posisi individu dalam lapisan sosialnya.
Kalau hal ini mengandung banyak kebenaran, persoalannya adalah
bagaimana kita menjelaskan tentang adanya variasi perilaku pemilih pada suatu
kelompok yang secara psikologis mempunyai persamaan karakteristik. Dan yang
lebih penting lagi, bagaimana kita menjelaskan pergeseran pilihan dari satu
pemilu ke pemilu lainnya dari orang yang sama dan status sosial yang sama. Itu
berarti ada variabel lain yang menentukan atau ikut menentukan dalam
mempengaruhi perilaku memilih seseorang. Ada faktor-faktor yang berperan

Universitas Sumatera Utara

dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang. Dengan begitu, para pemilih tidak
hanya terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi juga bebas bertindak.
Faktor-faktor situasional itu bisa merupakan isu-isu politik ataupun kandidat yang
dicalonkan.
Penggunaan pendekatan rasional dalam menjelaskan perilaku memilih
oleh ilmuan politik sebenarnya diadaptasi dari ilmu ekonomi. Mereka melihat
adanya analogi antara pasar (ekonomi) dan perilaku pemilih (Politik). Apabila
secara ekonomi masyarakat dapat bertindak secara rasional, yaitu menekan
ongkos sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya,
maka dalam perilaku pemilih pun masyarakat akan dapat bertindak secara
rasional, yakni memberikan suara ke partai yang dianggap mendatangkan
keuntungan kemaslahatan yang sebesar-besarnya dan menekan kerugian atau
kemudharatan yang sekecil-kecilnya.
Dengan demikian, perilaku pemilih berdasarkan pertimbangan rasional
tidak hanya berupa memilih alternatif yang paling menguntungkan atau
mendatangkan kerugian yang paling sedikit. Tetapi juga di dalam memilih
alternatif yang menimbulkan resiko paling kecil dan yang penting mendahulukan
selamat (Ramlan Surbakti : 1999). Penilaian rasional terhadap isu politik atau
kandidat ini bisa didasarkan pada jabatan, informasi pribadi yang popular karena
prestasi di bidang masing-masing seperti seni, olah raga, film, organisasi, politik
dan semacamnya.

Universitas Sumatera Utara

i. Pengertian PEMILUKADA (Pemilihan Umum Kepala Daerah)
Berdasarkan pasal 1 (ayat 1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juncto Peraturan
Pemerintah Nomor 49 tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan atas PP Nomor 6
Tahun 2005, Pemilukada merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di
wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Menurut Prihatmoko
(2005) Pemilukada merupakan mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen
pemimpin di daerah, dimana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan
kebebasan untuk memilih calon-calon yang didukungnya dan calon–calon
bersaing dalam satu medan permainan yang sama. Pelaksanaan Pemilukada
langsung adalah sebuah praktek politik demokratis yang didasarkan pada azas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (sesuai penjelasan UU No. 12
tahun 2003 tentang Pemilihan Umum).
Menurut Axel Hadenius dalam Prihatmoko (2005:112) mengatakan bahwa
suatu pemilu termasuk Pemilukada langsung disebut demokratis jika memiliki
makna atau istilah yang merujuk pada tiga kriteria yaitu, keterbukaan, ketepatan
dan keefektifan pemilu. Keterbukaan mengandung tiga maksud; Pemilukada harus
terbuka bagi setiap warga negara (universal suffrage), bahwa ada pilihan di antara
berbagai alternatif politik secara riil (para calon yang berkompetisi) dan hasilnya
tidak ditentukan sebelumnya. Akses warga yang terbuka berarti hak pilih benarbenar bersifat universal. Seluruh warga negara dijamin memiliki hak pilih tanpa
diskriminasi. Bukan merupakan kontroversi atau kontradiksi apabila hak untuk

Universitas Sumatera Utara

memilih dibatasi dengan syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi warga seperti
usia, kesehatan jasmani dan rohani, domisili dan lamanya bermukim.
Keterbukaan juga berarti persamaan nilai suara dari seluruh warga negara
tanpa terkecuali. Prinsip yang biasa digunakan ialah one man , one vote, one
value, semua warga negara dihitung sama. Kriteria mengenai ketepatan bertujuan
pada pendaftaran dan identifikasi pemilih, kampanye dan prosedur pemilu dalam
pengertian lebih ketat, yaitu semua calon harus mempunyai akses yang sama
kepada media negara dan swasta berdasarkan standar hukum yang sama, aparat
negara harus netral secara politis saat penyelenggaraan Pemilukada. Keefektifan
Pemilukada berarti bahwa jabatan politis yang telah ditentukan harus diisi melalui
mekanisme pemilihan (Pemilukada langsung), dan jabatan tersebut nantinya harus
mampu merepresentasikan pemilih dalam bentuk kebijakan yang pro rakyat.

ii. Pemilukada Sebagai Media Pendidikan Politik
Pemilukada merupakan sarana pendidikan politik bagi masyarakat di
daerah. Menurut Kartono (1996 : 63) pendidikan politik disebut pula sebagai
political forming atau politische bildung. Disebut forming karena terkandung
intense untuk membentuk insan politik yang menyadari status atau kedudukan
politiknya di tengah-tengah masyarakat. Dan disebut bildung (pembentukan atau
pendidikan diri sendiri), karena istilah tersebut menyangkut aktifitas membentuk
diri sendiri, dengan kesadaran penuh dan tanggung jawab sendiri untuk menjadi
insan politik. Pendidikan politik yang dimaksud bukan berarti mendidik seseorang
untuk menjadi intelektual politik melainkan sebuah aktivitas pendidikan yang
menekankan pada pembentukan person seseorang, sehingga orang yang

Universitas Sumatera Utara

bersangkutan lebih mampu memahami dirinya sendiri dan situasi kondisi
lingkungan di sekitarnya. Kemudian mampu menilai segala sesuatu secara kritis,
untuk selanjutnya menentukan sikap dan cara-cara penanganan berbagai
permasalahan yang ada di tengah-tengah lingkungan hidupnya.
Melalui pendidikan politik tersebut sesorang akan berusaha melihat
permasalahan sosial politik yang ada di sekitarnya dengan cara-cara lain,
kemudian memperbincangkan, ikut memikirkan, dan ikut menangani atau
memecahkan dengan cara-cara lain. Dengan demikian pendidikan politik
merupakan proses belajar, bukan sekedar menambah informasi dan pengetahuan
saja akan tetapi lebih menekankan mawas situasinya secara kritis, menentukan
sikap yang benar dan melatih ketangkasan aksi berbuat.
Pendidikan politik ini berproses melalui partisipasi politik masyarakat
dalam Pemilukada. Menurut Miriam Budiardjo (1998 : 1) partisipasi politik
adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif
dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara
langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public
policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam
pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau
kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat
pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Dan menurut “Samuel P
Huntington” dan “Joan M Nelson” (1994 : 6) partisipasi politik adalah kegiatan
warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat
individual atau kolektif, terorganisir atau spontan mantap atau sporadik, secara

Universitas Sumatera Utara

damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.
Partisipasi politik yang dimaksud tidak hanya sekedar melibatkan masyarakat
dalam pemilihan umum tetapi lebih dari itu partisipasi politik yang terjadi akan
memberikan proses pendidikan politik kepada masyarakat. Sehingga masyarakat
menjadi sadar dan mengerti akan hak-hak nya sebagai warga negara. Masyarakat
mampu menganalisis dan mengidentifikasi berbagai kebutuhan dan kondisi
lingkungannya. Kemudian masyarakat menjadi lebih responsif dan kritis terhadap
kebijakan dan keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Melalui proses ini
diharapkan akan terbangun demokrasi lokal yang bertanggung jawab.
Dalam negara demokratis, pada umumnya dianggap bahwa lebih banyak
partisipasi masyarakat lebih baik. Dalam alam pikiran ini tingginya tingkat
partisipasi menunjukkan bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah
politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik tersebut. Dan
sebaliknya jika tingkat partisipasinya rendah pada umumnya dianggap sebagai
tanda yang kurang baik, karena diartikan bahwa banyak warga negara tidak
menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan. Lagipula dikhawatirkan bahwa
jika berbagai pendapat kurang mendapat kesempatan untuk dikemukakan,
pimpinan negara akan kurang tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi
masyarakat dan cenderung untuk melayani kepentingan beberapa kelompok saja.

Universitas Sumatera Utara