Tingkat Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Reguler dalam Menjaga IDWG Normal di RSUP H. Adam Malik Medan September-Oktober 2014
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Gagal Ginjal
2.2.1. Gambaran umum
Gagal ginjal adalah sebuah kondisi ketika ginjal gagal dalam proses
pembuangan produk akhir metabolisme dari darah dan dalam hal pengaturan
cairan, elektrolit, dan keseimbangan pH cairan ekstraseluler. Gagal ginjal dapat
terjadi secara akut dan kronik. Gagal ginjal akut adalah gagal ginjal dengan onset
yang secara tiba-tiba dan umumnya bersifat reversibel jika cepat didiagnosis dan
ditata laksana dengan baik. Sebaliknya, gagal ginjal kronik adalah hasil akhir dari
kerusakan ginjal yang tidak dapat diperbaiki lagi (Zhejiang University, 2013).
2.2.2
Patofisiologi
Penyebab umum gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut (Harrison,
2002):
Tabel 2.1. Penyebab Umum Gagal Ginjal Kronik (Harrison, 2002)
Penyebab Umum Gagal Ginjal Kronik
Diabetik nefropati
Hipertensi nefrosklerosis
Glomerulonefritis
Penyakit renovaskular (iskemik nefropati)
Penyakit ginjal polikistik
Refluks nefropati dan penyakit ginjal kongenital lainnya
Interstisial nefritis, termasuk analgesik nefropati
Nefropati yang berhubungan dengan HIV
Kegagalan transplantasi allograft
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai
oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
7
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Hal-hal yang berperan terhadap
terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia (IPD, 2009).
Terdapat 5 tingkatan penyakit ginjal kronik yang dibuat berdasarkan
perkiraan GFR (Glomerular Filtration Rate). Tingkatan penyakit ginjal
berdasarkan Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) adalah sebagai
berikut (The Renal Association, 2013).
Tahap
Tabel 2.2. Tingkatan Penyakit Ginjal (The Renal Association, 2013)
LFG*
Deskripsi
Tata laksana
1
90+
Fungsi ginjal normal tetapi terdapat temuan Observasi,
kontrol
urin atau struktur abnormal atau sifat genetik tekanan darah
yang cenderung mengarah ke penyakit ginjal
2
60-89
Penurunan fungsi ginjal ringan
Observasi,
kontrol
tekanan darah dan
faktor risiko
3A
45-59
3B
30-44
Penurunan fungsi ginjal moderat
Observasi,
kontrol
tekanan darah dan
faktor risiko
4
15-29
Penurunan fungsi ginjal berat
Perencanaan
untuk
gagal ginjal tahap
akhir
5
3,5 g/ dl), hipoalbuminemia,
hiperkolesterolemia, dan edema cenderung mengarah ke sindrom nefrotik
(Harrison, 2002). Urinalisis dapat menunjukkan sel darah putih mononuklear
(leukosit) dan kadang-kadang ditemukan broad waxy casts, tetapi biasanya
urinalisis merupakan metode yang tidak spesifik dan tidak aktif (William et
al., 2004).
b.
Darah
Beberapa abnormalitas pada serum elektrolit dan metabolisme mineral
muncul ketika LFG jatuh di bawah 30 ml/ menit. Hiperkalemia tidak selalu
nampak kecuali jika LFG di bawah 5 ml/ menit (William et al., 2004).
Hiperkalemia dan asidosis metabolik menonjol pada pasien-pasien dengan
penyakit ginjal interstisial (Harrison, 2002). Banyak faktor-faktor yang
mencetuskan peningkatan serum fosfat dan penurunan serum kalsium.
Hiperfosfatemia meningkat sebagai konsekuensi dari penurunan klirens
prosfat oleh ginjal. Ditambah, aktivitas vitamin D menurun karena penurunan
konversi vitamin D2 menjadi bentuk aktif vitamin D3 di ginjal. Perubahanperubahan ini dapat menyebabkan hiperparatiroid sekunder dengan perubahan
skeletal seperti osteomalasia dan kista fibrosa osteitis. Asam urat sering
meningkat yang dapat menyebabkan kalkuli atau gout selama uremia kronis
(William et al., 2004).
c.
Pemeriksaan X-Ray
Universitas Sumatera Utara
12
Pasien dengan penurunan fungsi ginjal tidak harus secara rutin melakukan
pemeriksaan dengan kontras. USG berguna untuk mengetahui ukuran ginjal
dan ketebalan korteks serta untuk melokalisasi jaringan untuk biopsi ginjal
secara perkutan (William et al., 2004).
d.
Biopsi Renal
Biopsi renal tidak terlalu banyak menunjukkan temuan kecuali fibrosis
interstisial non spesifik dan glomerulosklerosis (William et al., 2004). Biopsi
renal lebih dipercaya untuk menentukan tingkat kronisitas (Harrison, 2002).
2.2.4
Penatalaksanaan
Tata laksana dilakukan secara konservatif ketika pasien sudah tidak
mampu lagi melakukan kegiatan sehari-harinya. Tata laksana konservatif meliputi
pembatasan asupan kalium, fosfor, dan pertahankan keseimbangan natrium. Berat
badan pasien harus dimonitor secara berkala. Bikarbonat dapat berguna pada
pasien dengan asidemia moderat. Anemia ditata laksana dengan eritropoietin
rekombinan. Pencegahan terjadinya uremik osteodistrofi dan hiperparatiroid
sekunder dengan mempertahankan jumlah kalsium dan fosfor (William et al.,
2004). Penatalaksanaan anemia dengan eritropoietin rekombinan, 2000-6000 unit
subkutan satu sampai dua kali per minggu dapat meningkatkan konsentrasi Hb
pasien menuju normal pada kebanyakkan pasien (Harrison, 2002).
Strategi untuk memperlambat progresi dari penyakit ginjal lebih
difokuskan pada kontrol tekanan darah secara optimum dan kontrol proteinuria
sampai < 500 mg/ hari. Tekanan darah yang menjadi target pada pasien penyakit
ginjal kronik adalah < 130/ 80 mmHg dan 1 g/ hari). Proteinuria menjadi penanda progresi dari
penyakit ginjal dan skrining rutin proteinuria diindikasikan untuk pasien yang
berisiko menderita penyakit ginjal kronik. Kontrol proteinuria dapan menunda
progresi penyakit ginjal kronik menjadi penyakit ginjal tahap akhir serta
menurunkan risiko kardiovaskular. Target proteinuria adalah < 500 mg/ hari (Lisa
M. Antes & Joel A. Gordon, 2007).
Universitas Sumatera Utara
13
2.2
Hemodialisis
Hemodialisis
merupakan
terapi
pengganti
ginjal
yang
bertujuan
mengeliminasi sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan
elektrolit antara kompartemen darah dengan kompartemen dialisat melalui
membran semipermeabel (Gatot, 2003). Hemodialisis adalah cara terpilih pada
pasien yang mempunyai laju katabolisme tinggi dan secara hemodinamik stabil
(Stein, 2011 dalam Hardianti, 2014). Hemodialisis untuk pasien penyakit ginjal
tahap akhir dapat dilakukan dengan short daily (≥5 hari per minggu, 160 atau < 115 mmol/ l)
k. Hipertermia.
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.
B.
Indikasi hemodialisis kronik
Hemodialisis baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal-hal
berikut (Daurgirdas et al., 2007 dalam Kandarini, 2013):
a. LFG < 15 ml/ menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; letargi, anoreksia, mual, dan muntah
Universitas Sumatera Utara
19
c. Adanya malnutrisi atau hilang massa otot
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
Hemodialisis diindikasikan pada keadaan gagal ginjal akut, gagal ginjal
kronik, intoksikasi obat dan zat kimia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
berat, serta sindrom hepatorenal (Hudakk, 2010 dalam Siregar, 2014).
2.2.3
Prinsip dan cara kerja hemodialisis
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah
dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian
masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis,
darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di
dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas
et al., 2007 dalam Kandarini, 2013)
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu
larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini
dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel
(dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis.
Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan ultrafiltrasi (UF). Difusi
adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak,
ultrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute
berukuran kecil yang larut dalam air akan ikut berpindah secara bebas bersama
molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh
mekanisme hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure)
atau mekanisme osmotik akibat perbedaan konsenstrasi larutan (Daurgirdas et al.,
2007 dalam Kandarini, 2013).
Dalam menjalani hemodialisis, jumlah cairan yang dapat dikonsumsi harus
dibatasi karena ginjal tidak dapat bekerja dengan baik. Cairan yang berlebihan
pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisis akan menumpuk di dalam darah,
jaringan, dan paru-paru. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan bernapas,
Universitas Sumatera Utara
20
hipertensi, dan penyakit arteri koroner yang merupakan suatu kondisi ketika darah
ke jantung dibatasi. Jumlah cairan yang dapat dikonsumsi tergantung ukuran dan
berat badan pasien. Rata-rata pasien hemodialisis dianjurkan untuk mengonsumsi
1000-1500 ml cairan per hari (NHS, 2011).
Ginjal juga harus mengatur jumlah mineral dalam tubuh seperti natrium,
kalium, dan fosfor. Mineral-mineral ini dibuang selama hemodialisis, sehingga
asupan mineral tersebut harus dibatasi ataupun dihindiari.
2.2.4
Komplikasi Hemodialisis
Komplikasi hemodialisis diuraikan sebagai berikut (Harrison, 2002):
Tabel 2.3. Komplikasi hemodialisis (Harrison, 2002)
Komplikasi hemodialsis
Hipotensi
Penyakit vaskular dipercepat
Penurunan cepat residual fungsi ginjal
Access thrombosis
Access or catheter sepsis
Amiloidosis yang berhubungan dengan dialisis
Malnutrisi protein dan kalori
Perdarahan
Dispnea/ hipoksemiaa
Leukopeniaa
a
khususnya pada pasien yang pertama kali menggunakan dialiser selulosa
konvensional yang dimodifikasi
Sedangkan komplikasi akut yang biasanya didapatkan setelah hemodialisis
adalah (Mukerji, 2011):
1.
Hypotension (25-55%)
2.
Cramps (5-20%)
3.
Nausea and vomiting (5-15%)
4.
Headache (5%)
5.
Chest pain (2-5%)
6.
Back pain (2-5%)
Universitas Sumatera Utara
21
2.3
7.
Itching (5%)
8.
Fever and chills ( 6%
adalah penambahan berat.
2.3.1
Pengukuran IDWG
IDWG merupakan indikator kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan.
IDWG diukur berdasarkan dry weight (berat badan kering) pasien dan juga dari
pengukuran kondisi klinis pasien. IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah
tidak lebih dari 1,0-1,5 kg (Lewis, Stabler, & Welch, 2000 dalam Welas Riyanto,
2011) atau tidak lebih dari 3% dari berat kering (Smeltzer & Bare, 2001 dalam
Welas Riyanto, 2011). Berat badan kering adalah berat badan tanpa kelebihan
cairan yang terbentuk setelah tindakan hemodialisis atau berat terendah yang
aman dicapai setelah dilakukan dialisis (Kallenbach, 2005 dalam Shoumah, 2013).
Cara yang efektif dan sering terabaikan dalam mengontrol dan mempertahankan
normotensi pada pasien-pasien hemodialisis yang hipertensi adalah dengan
mencapai dan mempertahankan berat badan kering (Clin J Am Soc Nephrology,
2010 dalam Kandarini, 2013).
Berat badan pasien ditimbang secara rutin sebelum dan sesudah
hemodialisis. IDWG diukur dengan cara menghitung berat badan pasien setelah
Universitas Sumatera Utara
22
(post) HD pada periode hemodialisis pertama (pengukuran I). Periode
hemodialisis
kedua,
berat
badan
pasien
ditimbang
lagi
sebelum
(pre) HD (pengukuran II), selanjutnya menghitung selisih antara pengukuran II
dikurangi pengukuran I dibagi pengukuran II dikalikan 100%. Misalnya BB
pasien post HD ke-1 adalah 54 kg, BB pasien pre HD ke-2 adalah 58 kg,
presentase IDWG (58-54) : 58 x 100% = 6,8% (Istanti, 2009 dalam Shoumah,
2013).
Peningkatan
berat
badan
yang
banyak
menunjukkan
terjadinya
penumpukkan cairan. Setiap peningkatan berat badan 1 kg berarti terjadi
penambahan 1 liter air yang tertahan di dalam tubuh (Gomez, Maite, Rosa,
Patrocinio, & Rafael, 2003 dalam Welas Riyanto, 2011).
2.3.2 Komplikasi IDWG
Peningkatan berat badan pasien-pasien yang menjalani hemodialisis
mengundang banyak komplikasi. Sebanyak 60-80% pasien meninggal akibat
kelebihan intake cairan dan makanan pada periode interdialitik (Istanti, 2009
dalam Shoumah, 2013). Selain itu juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi
seperti: hipertensi yang semakin berat, gangguan fungsi fisik, sesak nafas, edema
pulmonal yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan
hemodialisis, meningkatnya risiko dilatasi, hipertropi ventrikuler dan gagal
jantung (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Shoumah, 2013).
2.4
Kepatuhan pasien GGK dengan Hemodialisis
Kepatuhan (adherence) secara umum didefinisikan sebagai tingkatan
perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan, mengikuti diet, dan
melaksanakan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi pelayanan
kesehatan (WHO, 2003 dalam Husna, 2014).
2.4.1
Faktor-faktor yang memengaruhi Kepatuhan pasien Hemodialisis
Dalam
menjalani
hemodialisis,
terdapat
berbagai
faktor
yang
memengaruhi ketidakpatuhan pasien untuk melaksanakan gaya hidup sesuai
dengan rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan. Faktor-faktor tersebut
Universitas Sumatera Utara
23
menurut Model Perilaku Green (1980, Notoatmojo, 2007 dalam Husna, 2014) dan
Model Kepatuhan Kamerrer, 2007 adalah:
a.
Faktor Pasien (Predisposing factors)
Faktor pasien meliputi karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, ras, status
perkawinan, pendidikan), lamanya sakit, tingkat pengetahuan, status bekerja,
sikap, keyakinan, nilai-nilai, persepsi, motivasi, harapan pasien, kebiasaan
merokok.
b.
Faktor Sistem Pelayanan Kesehatan (Enabling factors)
Faktor pelayanan kesehatan meliputi: fasilitas unit hemodialisis, kemudahan
mencapai
pelayanan
kesehatan
termasuk
didalamnya
biaya,
jarak,
ketersediaan transportasi, waktu pelayanan, dan keterampilan petugas.
c.
Faktor Petugas/ provider (Reinforcing factors)
Faktor provider meliputi: keberadaan tenaga perawat terlatih, ahli diet,
kualitas komunikasi, dan dukungan keluarga.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien Gagal Ginjal
Kronik dengan hemodialisis seperti dikemukakan di atas akan diuraikan sebagian
sebagai berikut (Husna, 2014):
a.
Usia
Usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau maturitas, yang berarti
bahwa semakin meningkat usia seseorang, semakin meningkat pula
kedewasaan atau kematangannya baik secara teknis, psikologis, maupun
spiritual, serta akan semakin meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam
mengambil keputusan, berpikir rasional, mengendalikan emosi, toleran dan
semakin terbuka terhadap pandangan orang lain termasuk pula keputusannya
untuk mengikuti program-program terapi yang berdampak pada kesehatannya
(Siagian, 2001 dalam Syamsiah, 2011).
b.
Pendidikan
Pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan dan kualitas pribadi seseorang, dimana semakin tinggi tingkat
pendidikan akan semakin besar kemampuannya untuk memanfaatkan
pengetahuan dan keterampilannya (Siagian, 2001 dalam Syamsiah, 2011).
Universitas Sumatera Utara
24
c.
Lamanya hemodialisis
Periode sakit dapat memengaruhi kepatuhan. Beberapa penyakit yang
tergolong penyakit kronik, banyak mengalami masalah kepatuhan. Pengaruh
sakit yang lama, belum lagi perubahan pola hidup yang kompleks serta
komplikasi-komplikasi yang sering muncul sebagai dampak sakit yang lama
memengaruhi bukan hanya pada fisik pasien, namun juga emosional,
psikologis, dan sosial. Pada pasien hemodialisis didapatkan hasil riset yang
menunjukkan perbedaan kepatuhan pada pasien yang sakit kurang dari 1
tahun dengan yang lebih dari 1 tahun. Semakin lama sakit yang diderita,
maka risiko penurunan tingkat kepatuhan semakin tinggi (Kamerrer, 2007
dalam Syamsiah, 2011).
d.
Kebiasaan merokok
Merokok merupakan masalah kesehatan yang utama di banyak negara yang
berkembang (termasuk Indonesia). Rokok mengandung lebih dari 400 jenis
bahan kimia yang diantaranya bersifat karsinogenik atau memengaruhi sistem
vaskular.
e.
Status ekonomi
Individu yang status sosial ekonominya berkecukupan akan mampu
menyediakan segala fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sebaliknya, individiu yang status sosial ekonominya rendah akan
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sunaryo, 2004
dalam Husna, 2014).
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Gagal Ginjal
2.2.1. Gambaran umum
Gagal ginjal adalah sebuah kondisi ketika ginjal gagal dalam proses
pembuangan produk akhir metabolisme dari darah dan dalam hal pengaturan
cairan, elektrolit, dan keseimbangan pH cairan ekstraseluler. Gagal ginjal dapat
terjadi secara akut dan kronik. Gagal ginjal akut adalah gagal ginjal dengan onset
yang secara tiba-tiba dan umumnya bersifat reversibel jika cepat didiagnosis dan
ditata laksana dengan baik. Sebaliknya, gagal ginjal kronik adalah hasil akhir dari
kerusakan ginjal yang tidak dapat diperbaiki lagi (Zhejiang University, 2013).
2.2.2
Patofisiologi
Penyebab umum gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut (Harrison,
2002):
Tabel 2.1. Penyebab Umum Gagal Ginjal Kronik (Harrison, 2002)
Penyebab Umum Gagal Ginjal Kronik
Diabetik nefropati
Hipertensi nefrosklerosis
Glomerulonefritis
Penyakit renovaskular (iskemik nefropati)
Penyakit ginjal polikistik
Refluks nefropati dan penyakit ginjal kongenital lainnya
Interstisial nefritis, termasuk analgesik nefropati
Nefropati yang berhubungan dengan HIV
Kegagalan transplantasi allograft
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai
oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
7
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Hal-hal yang berperan terhadap
terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia (IPD, 2009).
Terdapat 5 tingkatan penyakit ginjal kronik yang dibuat berdasarkan
perkiraan GFR (Glomerular Filtration Rate). Tingkatan penyakit ginjal
berdasarkan Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) adalah sebagai
berikut (The Renal Association, 2013).
Tahap
Tabel 2.2. Tingkatan Penyakit Ginjal (The Renal Association, 2013)
LFG*
Deskripsi
Tata laksana
1
90+
Fungsi ginjal normal tetapi terdapat temuan Observasi,
kontrol
urin atau struktur abnormal atau sifat genetik tekanan darah
yang cenderung mengarah ke penyakit ginjal
2
60-89
Penurunan fungsi ginjal ringan
Observasi,
kontrol
tekanan darah dan
faktor risiko
3A
45-59
3B
30-44
Penurunan fungsi ginjal moderat
Observasi,
kontrol
tekanan darah dan
faktor risiko
4
15-29
Penurunan fungsi ginjal berat
Perencanaan
untuk
gagal ginjal tahap
akhir
5
3,5 g/ dl), hipoalbuminemia,
hiperkolesterolemia, dan edema cenderung mengarah ke sindrom nefrotik
(Harrison, 2002). Urinalisis dapat menunjukkan sel darah putih mononuklear
(leukosit) dan kadang-kadang ditemukan broad waxy casts, tetapi biasanya
urinalisis merupakan metode yang tidak spesifik dan tidak aktif (William et
al., 2004).
b.
Darah
Beberapa abnormalitas pada serum elektrolit dan metabolisme mineral
muncul ketika LFG jatuh di bawah 30 ml/ menit. Hiperkalemia tidak selalu
nampak kecuali jika LFG di bawah 5 ml/ menit (William et al., 2004).
Hiperkalemia dan asidosis metabolik menonjol pada pasien-pasien dengan
penyakit ginjal interstisial (Harrison, 2002). Banyak faktor-faktor yang
mencetuskan peningkatan serum fosfat dan penurunan serum kalsium.
Hiperfosfatemia meningkat sebagai konsekuensi dari penurunan klirens
prosfat oleh ginjal. Ditambah, aktivitas vitamin D menurun karena penurunan
konversi vitamin D2 menjadi bentuk aktif vitamin D3 di ginjal. Perubahanperubahan ini dapat menyebabkan hiperparatiroid sekunder dengan perubahan
skeletal seperti osteomalasia dan kista fibrosa osteitis. Asam urat sering
meningkat yang dapat menyebabkan kalkuli atau gout selama uremia kronis
(William et al., 2004).
c.
Pemeriksaan X-Ray
Universitas Sumatera Utara
12
Pasien dengan penurunan fungsi ginjal tidak harus secara rutin melakukan
pemeriksaan dengan kontras. USG berguna untuk mengetahui ukuran ginjal
dan ketebalan korteks serta untuk melokalisasi jaringan untuk biopsi ginjal
secara perkutan (William et al., 2004).
d.
Biopsi Renal
Biopsi renal tidak terlalu banyak menunjukkan temuan kecuali fibrosis
interstisial non spesifik dan glomerulosklerosis (William et al., 2004). Biopsi
renal lebih dipercaya untuk menentukan tingkat kronisitas (Harrison, 2002).
2.2.4
Penatalaksanaan
Tata laksana dilakukan secara konservatif ketika pasien sudah tidak
mampu lagi melakukan kegiatan sehari-harinya. Tata laksana konservatif meliputi
pembatasan asupan kalium, fosfor, dan pertahankan keseimbangan natrium. Berat
badan pasien harus dimonitor secara berkala. Bikarbonat dapat berguna pada
pasien dengan asidemia moderat. Anemia ditata laksana dengan eritropoietin
rekombinan. Pencegahan terjadinya uremik osteodistrofi dan hiperparatiroid
sekunder dengan mempertahankan jumlah kalsium dan fosfor (William et al.,
2004). Penatalaksanaan anemia dengan eritropoietin rekombinan, 2000-6000 unit
subkutan satu sampai dua kali per minggu dapat meningkatkan konsentrasi Hb
pasien menuju normal pada kebanyakkan pasien (Harrison, 2002).
Strategi untuk memperlambat progresi dari penyakit ginjal lebih
difokuskan pada kontrol tekanan darah secara optimum dan kontrol proteinuria
sampai < 500 mg/ hari. Tekanan darah yang menjadi target pada pasien penyakit
ginjal kronik adalah < 130/ 80 mmHg dan 1 g/ hari). Proteinuria menjadi penanda progresi dari
penyakit ginjal dan skrining rutin proteinuria diindikasikan untuk pasien yang
berisiko menderita penyakit ginjal kronik. Kontrol proteinuria dapan menunda
progresi penyakit ginjal kronik menjadi penyakit ginjal tahap akhir serta
menurunkan risiko kardiovaskular. Target proteinuria adalah < 500 mg/ hari (Lisa
M. Antes & Joel A. Gordon, 2007).
Universitas Sumatera Utara
13
2.2
Hemodialisis
Hemodialisis
merupakan
terapi
pengganti
ginjal
yang
bertujuan
mengeliminasi sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan
elektrolit antara kompartemen darah dengan kompartemen dialisat melalui
membran semipermeabel (Gatot, 2003). Hemodialisis adalah cara terpilih pada
pasien yang mempunyai laju katabolisme tinggi dan secara hemodinamik stabil
(Stein, 2011 dalam Hardianti, 2014). Hemodialisis untuk pasien penyakit ginjal
tahap akhir dapat dilakukan dengan short daily (≥5 hari per minggu, 160 atau < 115 mmol/ l)
k. Hipertermia.
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.
B.
Indikasi hemodialisis kronik
Hemodialisis baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal-hal
berikut (Daurgirdas et al., 2007 dalam Kandarini, 2013):
a. LFG < 15 ml/ menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; letargi, anoreksia, mual, dan muntah
Universitas Sumatera Utara
19
c. Adanya malnutrisi atau hilang massa otot
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
Hemodialisis diindikasikan pada keadaan gagal ginjal akut, gagal ginjal
kronik, intoksikasi obat dan zat kimia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
berat, serta sindrom hepatorenal (Hudakk, 2010 dalam Siregar, 2014).
2.2.3
Prinsip dan cara kerja hemodialisis
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah
dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian
masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis,
darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di
dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas
et al., 2007 dalam Kandarini, 2013)
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu
larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini
dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel
(dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis.
Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan ultrafiltrasi (UF). Difusi
adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak,
ultrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute
berukuran kecil yang larut dalam air akan ikut berpindah secara bebas bersama
molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh
mekanisme hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure)
atau mekanisme osmotik akibat perbedaan konsenstrasi larutan (Daurgirdas et al.,
2007 dalam Kandarini, 2013).
Dalam menjalani hemodialisis, jumlah cairan yang dapat dikonsumsi harus
dibatasi karena ginjal tidak dapat bekerja dengan baik. Cairan yang berlebihan
pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisis akan menumpuk di dalam darah,
jaringan, dan paru-paru. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan bernapas,
Universitas Sumatera Utara
20
hipertensi, dan penyakit arteri koroner yang merupakan suatu kondisi ketika darah
ke jantung dibatasi. Jumlah cairan yang dapat dikonsumsi tergantung ukuran dan
berat badan pasien. Rata-rata pasien hemodialisis dianjurkan untuk mengonsumsi
1000-1500 ml cairan per hari (NHS, 2011).
Ginjal juga harus mengatur jumlah mineral dalam tubuh seperti natrium,
kalium, dan fosfor. Mineral-mineral ini dibuang selama hemodialisis, sehingga
asupan mineral tersebut harus dibatasi ataupun dihindiari.
2.2.4
Komplikasi Hemodialisis
Komplikasi hemodialisis diuraikan sebagai berikut (Harrison, 2002):
Tabel 2.3. Komplikasi hemodialisis (Harrison, 2002)
Komplikasi hemodialsis
Hipotensi
Penyakit vaskular dipercepat
Penurunan cepat residual fungsi ginjal
Access thrombosis
Access or catheter sepsis
Amiloidosis yang berhubungan dengan dialisis
Malnutrisi protein dan kalori
Perdarahan
Dispnea/ hipoksemiaa
Leukopeniaa
a
khususnya pada pasien yang pertama kali menggunakan dialiser selulosa
konvensional yang dimodifikasi
Sedangkan komplikasi akut yang biasanya didapatkan setelah hemodialisis
adalah (Mukerji, 2011):
1.
Hypotension (25-55%)
2.
Cramps (5-20%)
3.
Nausea and vomiting (5-15%)
4.
Headache (5%)
5.
Chest pain (2-5%)
6.
Back pain (2-5%)
Universitas Sumatera Utara
21
2.3
7.
Itching (5%)
8.
Fever and chills ( 6%
adalah penambahan berat.
2.3.1
Pengukuran IDWG
IDWG merupakan indikator kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan.
IDWG diukur berdasarkan dry weight (berat badan kering) pasien dan juga dari
pengukuran kondisi klinis pasien. IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah
tidak lebih dari 1,0-1,5 kg (Lewis, Stabler, & Welch, 2000 dalam Welas Riyanto,
2011) atau tidak lebih dari 3% dari berat kering (Smeltzer & Bare, 2001 dalam
Welas Riyanto, 2011). Berat badan kering adalah berat badan tanpa kelebihan
cairan yang terbentuk setelah tindakan hemodialisis atau berat terendah yang
aman dicapai setelah dilakukan dialisis (Kallenbach, 2005 dalam Shoumah, 2013).
Cara yang efektif dan sering terabaikan dalam mengontrol dan mempertahankan
normotensi pada pasien-pasien hemodialisis yang hipertensi adalah dengan
mencapai dan mempertahankan berat badan kering (Clin J Am Soc Nephrology,
2010 dalam Kandarini, 2013).
Berat badan pasien ditimbang secara rutin sebelum dan sesudah
hemodialisis. IDWG diukur dengan cara menghitung berat badan pasien setelah
Universitas Sumatera Utara
22
(post) HD pada periode hemodialisis pertama (pengukuran I). Periode
hemodialisis
kedua,
berat
badan
pasien
ditimbang
lagi
sebelum
(pre) HD (pengukuran II), selanjutnya menghitung selisih antara pengukuran II
dikurangi pengukuran I dibagi pengukuran II dikalikan 100%. Misalnya BB
pasien post HD ke-1 adalah 54 kg, BB pasien pre HD ke-2 adalah 58 kg,
presentase IDWG (58-54) : 58 x 100% = 6,8% (Istanti, 2009 dalam Shoumah,
2013).
Peningkatan
berat
badan
yang
banyak
menunjukkan
terjadinya
penumpukkan cairan. Setiap peningkatan berat badan 1 kg berarti terjadi
penambahan 1 liter air yang tertahan di dalam tubuh (Gomez, Maite, Rosa,
Patrocinio, & Rafael, 2003 dalam Welas Riyanto, 2011).
2.3.2 Komplikasi IDWG
Peningkatan berat badan pasien-pasien yang menjalani hemodialisis
mengundang banyak komplikasi. Sebanyak 60-80% pasien meninggal akibat
kelebihan intake cairan dan makanan pada periode interdialitik (Istanti, 2009
dalam Shoumah, 2013). Selain itu juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi
seperti: hipertensi yang semakin berat, gangguan fungsi fisik, sesak nafas, edema
pulmonal yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan
hemodialisis, meningkatnya risiko dilatasi, hipertropi ventrikuler dan gagal
jantung (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Shoumah, 2013).
2.4
Kepatuhan pasien GGK dengan Hemodialisis
Kepatuhan (adherence) secara umum didefinisikan sebagai tingkatan
perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan, mengikuti diet, dan
melaksanakan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi pelayanan
kesehatan (WHO, 2003 dalam Husna, 2014).
2.4.1
Faktor-faktor yang memengaruhi Kepatuhan pasien Hemodialisis
Dalam
menjalani
hemodialisis,
terdapat
berbagai
faktor
yang
memengaruhi ketidakpatuhan pasien untuk melaksanakan gaya hidup sesuai
dengan rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan. Faktor-faktor tersebut
Universitas Sumatera Utara
23
menurut Model Perilaku Green (1980, Notoatmojo, 2007 dalam Husna, 2014) dan
Model Kepatuhan Kamerrer, 2007 adalah:
a.
Faktor Pasien (Predisposing factors)
Faktor pasien meliputi karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, ras, status
perkawinan, pendidikan), lamanya sakit, tingkat pengetahuan, status bekerja,
sikap, keyakinan, nilai-nilai, persepsi, motivasi, harapan pasien, kebiasaan
merokok.
b.
Faktor Sistem Pelayanan Kesehatan (Enabling factors)
Faktor pelayanan kesehatan meliputi: fasilitas unit hemodialisis, kemudahan
mencapai
pelayanan
kesehatan
termasuk
didalamnya
biaya,
jarak,
ketersediaan transportasi, waktu pelayanan, dan keterampilan petugas.
c.
Faktor Petugas/ provider (Reinforcing factors)
Faktor provider meliputi: keberadaan tenaga perawat terlatih, ahli diet,
kualitas komunikasi, dan dukungan keluarga.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien Gagal Ginjal
Kronik dengan hemodialisis seperti dikemukakan di atas akan diuraikan sebagian
sebagai berikut (Husna, 2014):
a.
Usia
Usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau maturitas, yang berarti
bahwa semakin meningkat usia seseorang, semakin meningkat pula
kedewasaan atau kematangannya baik secara teknis, psikologis, maupun
spiritual, serta akan semakin meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam
mengambil keputusan, berpikir rasional, mengendalikan emosi, toleran dan
semakin terbuka terhadap pandangan orang lain termasuk pula keputusannya
untuk mengikuti program-program terapi yang berdampak pada kesehatannya
(Siagian, 2001 dalam Syamsiah, 2011).
b.
Pendidikan
Pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan dan kualitas pribadi seseorang, dimana semakin tinggi tingkat
pendidikan akan semakin besar kemampuannya untuk memanfaatkan
pengetahuan dan keterampilannya (Siagian, 2001 dalam Syamsiah, 2011).
Universitas Sumatera Utara
24
c.
Lamanya hemodialisis
Periode sakit dapat memengaruhi kepatuhan. Beberapa penyakit yang
tergolong penyakit kronik, banyak mengalami masalah kepatuhan. Pengaruh
sakit yang lama, belum lagi perubahan pola hidup yang kompleks serta
komplikasi-komplikasi yang sering muncul sebagai dampak sakit yang lama
memengaruhi bukan hanya pada fisik pasien, namun juga emosional,
psikologis, dan sosial. Pada pasien hemodialisis didapatkan hasil riset yang
menunjukkan perbedaan kepatuhan pada pasien yang sakit kurang dari 1
tahun dengan yang lebih dari 1 tahun. Semakin lama sakit yang diderita,
maka risiko penurunan tingkat kepatuhan semakin tinggi (Kamerrer, 2007
dalam Syamsiah, 2011).
d.
Kebiasaan merokok
Merokok merupakan masalah kesehatan yang utama di banyak negara yang
berkembang (termasuk Indonesia). Rokok mengandung lebih dari 400 jenis
bahan kimia yang diantaranya bersifat karsinogenik atau memengaruhi sistem
vaskular.
e.
Status ekonomi
Individu yang status sosial ekonominya berkecukupan akan mampu
menyediakan segala fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sebaliknya, individiu yang status sosial ekonominya rendah akan
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sunaryo, 2004
dalam Husna, 2014).
Universitas Sumatera Utara