Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat

21

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Penggunaan Lahan
Istilah penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup

lahan (land cover). Perbedaannya, istilah penggunaan lahan biasanya meliputi
segala jenis kenampakan dan sudah dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam
memanfaatkan lahan, sedangkan penutup lahan mencakup segala jenis
kenampakan yang ada di permukaan bumi yang ada pada lahan tertentu. Kedua
istilah ini seringkali digunakan secara rancu.
Istilah lain tentang penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur tangan
(intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya
baik material maupun spritual (Vink, 1975). Sedangkan menurut Suparmoko
(1995) penggunaan lahan secara umum tergantung pada kemampuan lahan dan
pada lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada
kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat

yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng,
permukaan tanah, kemapuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi.
Penggunaan lahan juga tergantung pada lokasi, khususnya untuk daerah-daerah
permukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi.
Menurut Barlowe (1986) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan
lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor
institusi (kelembagaan). Faktor fisik biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik

22

seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan
kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan
pasar dan transportasi. Faktor institusi dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan
politik, keadaan sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan.
Suatu unit penggunaan lahan mewakili tidak lebih dari suatu mental
construct yang didisain untuk memudahkan inventarisasi dan aktivitas pemetaan
(Malingreau dan Rosalia, 1981). Identifikasi, pemantauan dan evaluasi
penggunaan lahan perlu selalu dilakukan pada setiap periode tertentu, karena ia
dapat menjadi dasar untuk penelitian yang mendalam mengenai perilaku manusia
dalam memanfaatkan lahan. Dengan demikian, penggunaan lahan menjadi bagian

yang penting dalam usaha melakukan perencanaan dan pertimbangan dalam
merumuskan kebijakan keruangan di suatu wilayah. Prinsip kebijakan terhadap
lahan perkotaan bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan lahan dan
pengadaan lahan untuk menampung berbagai aktivitas perkotaan. Dalam
hubungannya dengan optimalisasi penggunaan lahan, kebijakan penggunaan lahan
diartikan sebagai serangkaian kegiatan tindakan yang sitematis dan terorganisir
dalam penyediaan lahan, serta tepat pada waktunya, untuk peruntukan
pemanfaatan dan tujuan lainnya sesuai dengan kepentingan masyarakat
(Suryantoro, 2002).
Penggunaan lahan dapat dikelompokan menjadi beberapa bagian,
menurut (I Made Sandy, 1990), yaitu :
a.

Kelas I yaitu lahan untuk perumahan;

b.

Kelas II yaitu lahan untuk perusahaan;

c.


Kelas III yaitu lahan untuk jasa;

23

d.

Kelas IV yaitu lahan untuk industri;

e.

Kelas V yaitu lahan kosong yang diperuntukan;

f.

Kelas VI yaitu lahan kosong yang tidak diperuntukan.
Menurut Jamulya dan Sunarto (1991), bahwa “penggunaan lahan

dikelompokan ke dalam 2 (dua) golongan besar, penggunaan lahan pertanian dan
penggunaan lahan bukan pertanian”, yaitu : Penggunaan lahan pertanian

dibedakan dalam garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas
penyediaan air atau komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat
di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal penggunaan lahan seperti
tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan
lindung, padang alang-alang dan sebagainya. Penggunaan lahan bukan pertanian
dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota dan desa (permukiman), industri,
rekreasi, pertambangan dan sebagainya.

2.2

Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan

lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan
berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu
berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda
(Wahyunto et al., 2001). Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan
pembangunan tidak dapat dihindari, dimana perubahan tersebut terjadi karena dua
hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin
meningkat jumlahnya dan dua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu

kehidupan yang lebih baik.

24

Para ahli berpendapat bahwa perubahan penggunaan lahan lebih
disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Menurut McNeil et al.,
(1998) faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik,
ekonomi, demografi dan budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang
dilakukan oleh pengambil keputusan yang mempengaruhi terhadap pola
perubahan penggunaan lahan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 yang
menjelaskan skenario perubahan penggunaan lahan.
Selanjutnya

pertumbuhan

ekonomi,

pertumbuhan

pendapatan


dan

konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Sebagai
contoh, meningkatnya kebutuhan akan ruang tempat hidup, transportasi dan
tempat rekreasi akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan.
Teknologi juga berperan dalam menggeser fungsi lahan. Grubler (1998)
mengatakan ada tiga hal bagaimana teknologi mempengaruhi pola penggunaan
lahan. Pertama, perubahan teknologi telah membawa perubahan dalam bidang
pertanian melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian dan produktivitas
tenaga kerja. Kedua, perubahan teknologi transportasi meningkatkan efisiensi
tenaga kerja, memberikan peluang dalam meningkatkan urbanisasi daerah
perkotaan. Ketiga, teknologi transportasi dapat meningkatkan aksesibilitas suatu
daerah.

25

Modernisasi
Populasi meningkat


Kebijakan

Industrialisasi
Hutan +
Hutan -

Lahan kering +
Lahan kering -

Padang ilalang +
Padang ilalang -

Lahan tidak dimanfaatkan +
Lahan tidak dimanfaatkan -

Degradasi Lingkungan

Gambar 2.1 Skenario Perubahan Penggunaan Lahan
(dimodifikasi dari Bito dan Doi, 1999)


Menurut Adjest (2000) di negara Afrika Timur, sebanyak 70% populasi
penduduk menempati 10% wilayah yang mengalami perubahan penggunaan lahan
selama 30 tahun. Pola penggunaan lahan ini disebabkan karena pertumbuhan
penduduk, kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dan transmigrasi serta
faktor sosial ekonomi lainnya. Akibatnya, lahan basah yang sangat penting dalam
fungsi hidrologis dan ekologis semakin berkurang yang pada akhirnya
meningkatkan peningkatan erosi tanah dan kerusakan lingkungan lainnya.
Konsekuensi lainnya adalah berpengaruh terhadap ketahanan pangan yang
berimplikasi semakin banyaknya penduduk yang miskin.

26

Perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan
upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan
penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi
lingkungannya. Menurut Suratmo (1982) dampak suatu kegiatan pembangunan
dibagi menjadi dampak fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro,
pencemaran, dampak terhadap vegetasi (flora dan fauna), dampak terhadap
kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri
pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan sumberdaya

alam yang ada.
Penelitian yang membahas tentang perubahan penggunaan lahan dan
dampaknya terhadap biofisik dan sosial ekonomi telah banyak dilakukan.
Penelitian terhadap struktur ekonomi, yang dilakukan Somaji (1994) menyatakan
bahwa pada tahun 1984 wilayah industri berperan sebanyak 13,05% dan
meningkat menjadi 14,65% pada tahun 1990. Nilai ini dicapai akibat dari
kecepatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian selama kurun waktu
1981-1990 sebanyak 0,46%.
Di daerah perkotaan perubahan penggunaan lahan cenderung berubah
dalam rangka memenuhi kebutuhan sektor jasa dan komersial. Menurut
Cullingswoth (1997), perubahan penggunaan yang cepat di perkotaan dipengaruhi
oleh empat faktor, yakni : (1) adanya konsentrasi penduduk dengan segala
aktivitasnya; (2) aksesibilitas terhadap pusat kegiatan dan pusat kota; (3) jaringan
jalan dan sarana transportasi, dan; (4) orbitasi, yakni jarak yang menghubungkan
suatu wilayah dengan pusat-pusat pelayanan yang lebih tinggi.

27

2.3


Konsep Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk

penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini
(kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan
potensial). Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat
biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukanmasukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala.
Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang
berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian
lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila
dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan
konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang
produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat
ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai.

Klasifikasi kesesuaian lahan
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat
dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas dan Unit.
Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo
kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan

lahan yang tidak sesuai (N=Not Suitable).
Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Berdasarkan
tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas
kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail

28

(skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S)
dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2),
dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N)
tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala
1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai
bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N).


Kelas

S1

:

Lahan

tidak

mempunyai

faktor

pembatas

yang

berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau
faktor

pembatas

bersifat

minor

dan

tidak

akan

berpengaruh

terhadap produktivitas lahan secara nyata.


Kelas

S2

:

pembatas

Lahan

ini

akan

mempunyai

faktor

berpengaruh

pembatas,

terhadap

dan

faktor

produktivitasnya,

memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya
dapat diatasi oleh petani sendiri.


Kelas
dan

S3

:

faktor

Lahan
pembatas

produktivitasnya,

mempunyai
ini

akan

memerlukan

faktor
sangat

tambahan

pembatas

yang

berpengaruh
masukan

berat,
terhadap

yang

lebih

banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor
pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya
bantuan

atau

campur

tangan

(intervensi)

pemerintah

atau

pihak

swasta.


Kelas

N

Lahan

yang

karena

sangat berat dan/atau sulit diatasi.

mempunyai

faktor

pembatas

yang

29

Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas
kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan
karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi
faktor pembatas terberat, misal Subkelas S3rc, sesuai marginal dengan pembatas
kondisi perakaran (rc=rooting condition).
Unit adalah keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan, yang
didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya.
Contoh kelas S3rc1 dan S3rc2, keduanya mempunyai kelas dan subkelas yang
sama dengan faktor penghambat sama yaitu kondisi perakaran terutama faktor
kedalaman efektif tanah, yang dibedakan ke dalam unit 1 dan unit 2. Unit 1
kedalaman efektif sedang (50-75 cm), dan Unit 2 kedalaman efektif dangkal (