Peran Teknologi Informasi dalam Transfor

Peran Teknologi Informasi
dalam Transformasi Perguruan Tinggi:
Mitos atau Realitas?

oleh:

Fathul Wahid, Ph.D.
Dosen Jurusan Teknik Informatika,
Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia

Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71
Universitas Islam Indonesia
27 Rajab 1435 H | 26 Mei 2014 M

Peran Teknologi Informasi
dalam Transformasi Perguruan Tinggi:
Mitos atau Realitas?

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Yang saya hormati














Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Bupati dan Walikota di Daerah Istimewa Yogyakarta
Koordinator Kopertis Wilayah V dan Kopertais Wilayah III
Ketua dan Anggota Pembina Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam
Indonesia
Ketua dan Anggota Pengawas Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam
Indonesia
Ketua dan Anggota Pengurus Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam

Indonesia
Ketua dan Anggota Presidium Universitas Islam Indonesia
Senat Universitas Islam Indonesia
Para Pjs. Dekan, Pjs. Wakil Dekan, Ketua dan Sekretaris Program
Pascarsarjana, Ketua dan Sekretaris Jurusan di Universitas Islam Indonesia
Para Dosen dan Tenaga Kependidikan Universitas Islam Indonesia
Ketua dan Pengurus Lembaga Kemahasiswaan di Universitas Islam
Indonesia
Para undangan dan hadirin

Sebagai insan beriman, marilah kita panjatkan syukur kepada
Allah, Sang Kholiq, Maha Kreatif. Meskipun semua civitas
academica bekerja keras, tanpa rahmat dan kemurahan Allah, saya
yakin, Universitas Islam Indonesia (UII) tidak akan maju dan
berkembang seperti yang kita lihat sekarang ini. Sudah
seharusnyalah, kita meningkatkan rasa syukur kita.

Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia |

1


Fathul Wahid

Semoga sholawat dan keselamatan senantiasa mengiringi Nabi
Muhammad SAW, Sang Pembebas, Sang Liberator. Nabi telah
membebaskan manusia dari perilaku hewani dan pola pikir sempit
yang membatasinya dalam mengembangkan potensi kemanusiaan.
Hadirin yang saya hormati
Dalam kajian sistem informasi (SI), bidang yang saya geluti,
hubungan antara teknologi informasi dan transformasi atau
perubahan organisasi menjadi salah satu fokus penting diskusi
(Markus & Robey, 1988). Keampuhan teknologi informasi (TI)
dalam transformasi organisasi seringkali diterima begitu saja (taken
for granted), tanpa pertanyaan dan telaah kritis lebih lanjut. TI
dianggap sebagai obat mujarab untuk banyak masalah organisasi.
Tidak jarang ketika masalah yang seharusnya terpecahkan masih
muncul, kita dengar komentar, “Kan sudah ada sistem
informasinya?”, yang mengandaikan bahwa perubahan terjadi
dengan serta-merta setelah sebuah sistem dibuat dan dipasang.
Ilustrasi ini memunculkan pertanyaan yang mengusik. Apakah

kehadiran TI untuk memecahkan beragam masalah organisasi,
sebuah kenyataan yang terjadi ataukah hanya mitos untuk
‘ngayem-ayemi’ dan menghentikan kita mencari jawaban
sebenarnya atas masalah yang ada? Bagaimana dengan konteks
perguruan tinggi?
Pidato singkat ini, yang berjudul “Peran Teknologi Informasi
dalam Transformasi Perguruan Tinggi: Mitos atau Realitas?”,
diharapkan dapat memberikan tilikan (insight) untuk menjawab
pertanyaan di atas.
Sebelum memaparkan lebih lanjut, saya ingin mengajak hadirin
kembali merenungkan kembali misi dan karakteristik unik
perguruan tinggi (PT). Mengapa ini perlu? Konon, di dunia
perikanan, salah satu hal terakhir yang diketahui ikan adalah air,
2 | Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia

Peran TI dalam Transformasi Perguruan Tinggi: Mitos atau Realitas?

tempat mereka lahir dan hidup. Bisa jadi, kita yang hidup dan
banyak menghabiskan waktu di lingkungan PT mengidap ‘sindrom’
serupa. Kita mungkin lupa mengenal dan memaknai dengan serius

tempat kita merentangkan ladang ibadah1.
Hadirin yang saya hormati
Misi Perguruan Tinggi
PT mempunyai misi yang sangat mulia dalam mendorong kemajuan
dan pembentukan peradaban sebuah bangsa. PT diharapkan
menjadi ‘pabrik’ pengetahuan melalui aktivitas penelitian yang
berkualitas (knowledge creation)2, yang kemudian disebar-luaskan
melalui proses pendidikan3 dan publikasi (knowledge dissemination),
dan diaplikasikan dengan beragam program pengabdian kepada
masyarakat (knowledge application)4. Di Indonesia, ketiga misi ini
dilabeli dengan Tri Darma. Di UII, satu darma lagi, dakwah
Islamiyah5, ditambahkan dan dinamai Catur Darma6.

1

Hadist Nabi berikut mungkin dapat mengingatkan kita tentang hal ini. “Kun
aliman, au muta’alliman, au mustami’an, au muhibban, wa la takun khomisan,
fatahlik!” yang artinya “Jadilah kamu pengajar, atau pembelajar, atau pendengar,
atau pecinta, dan jangan jadi yang (golongan yang) kelima, maka kamu akan
binasa.” Lihat juga nilai dasar UII dalam Statuta UII.

2
Dalam bahasa agama Islam, tujuan utama penelitian adalah menyingkap ‘ayat
kauniyah’ yang tersebar di muka bumi, untuk melengkapi ‘ayat qauliyah’ yang
sudah termaktub dalam teks suci Al-Quran.
3
Tiga prinsip dalam pendidikan Islam: (1) tarbiyah (to grow, increase), (2) ta'dib
(to be refined, disciplined, cultured), dan (3) ta'lim (to know, be informed, perceive,
discern) relevan untuk didiskusikan lebih lanjut (Halstead, 2004).
4
Frasa “ilmu amaliah dan amal ilmiah” dalam misi UII relevan untuk konteks ini.
5
Pelaksanaan darma ini harus sangat hati-hati supaya tidak terjebak dalam
formalisme dan simbolisme keberagamaan yang sangat mungkin mengurangi
keikhlasan dan mendangkalkan arti dakwah.
6
Karena nama ‘Catur Darma’ bersifat sakral, ada baiknya dipertimbangkan
untuk mengganti nama sumbangan yang harus dibayar ketika mahasiswa
diterima ke UII. Di lapangan, ketika mahasiswa ditanya, “Apa itu Catur
Darma?”, jawaban mereka cenderung seragam, “Sumbangan masuk UII”.
Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia| 3


Fathul Wahid

Meski tidak selalu mudah dilakukan, misi tersebut juga bukan
sesuatu yang mustahil dicapai. Dalam praktik, apa yang kita
idealkan mewujud dalam konteks PT tidak selamanya terjadi.
Sebelum diskusi lebih lanjut, mengenal PT dengan lebih baik dan
dengan pikiran terbuka perlu dilakukan. Pemahaman yang
membumi penting dilakukan untuk dapat merumuskan beragam
strategi kontekstual untuk mencapai misi mulia. Berikut ada dua
karakteristik PT yang perlu kita renungkan: anarki yang
terorganisasi (organized anarchy) (Cohen et al., 1972) dan sistem
yang longgar (a loosely coupled system) (Weick, 1976).
Hadirin yang saya hormati
Keunikan Perguruan Tinggi
Tilikan yang ditawarkan oleh Cohen et al. (1972), 42 tahun silam
nampaknya masih relevan kita tengok kembali. Mereka menyebut
PT sebagai anarki yang terorganisasi (organized anarchy). Terdapat
tiga karakteristik yang menyertainya. Pertama, pilihan atau
preferensi yang problematik (problematic preferences). Pilihan aktor

yang terlibat di dalam organisasi seringkali tidak konsisten dan
tidak jelas (ill-defined). Yang muncul lebih sebagai kumpulan ide
yang longgar, dan bukan struktur yang koheren. Kita lebih mudah
melihat pilihan berdasar tindakan yang dilakukan, daripada
bertindak seperti pilihan yang sudah dibuat. Kedua, teknologi yang
tidak jelas (unclear technology). Organisasi mengambil beragam
keputusan dan menciptakan proses-proses baru, tetapi seringkali
tidak dipahami sepenuhnya oleh para anggota organisasi. Tidak
jarang, operasi dilakukan dengan prinsip ‘coba-coba’ (trial and
error), pengalaman masa lalu, dan pertimbangan pragmatis. Ketiga,
partisipasi yang cair (fluid participation). Aktor yang terlibat dalam
organisasi mendedikasikan waktu dan energi yang berbeda-beda
untuk ranah yang beragam, intensitas keterlibatannya bervariasi
antar satu waktu dengan waktu lainnya. Akibatnya, batasan
organisasi tidak jelas dan keputusan yang diambil dapat berubah
tiba-tiba. Singkatnya, PT adalah sebuah organisasi yang dalam
4 | Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia

Peran TI dalam Transformasi Perguruan Tinggi: Mitos atau Realitas?


sudut pandang operasional “tidak mengetahui” apa yang sedang
dilakukan. Mahasiswa menginginkan belajar dengan gaya dan ritme
mereka sendiri, dosen mengajar dengan materi dan metode yang
diminati (seperti seniman), dan tenaga kependidikan menginginkan
bekerja dengan ukurannya masing-masing.
Selanjutnya, tilikan yang ditawarkan oleh Weick (1976) 38 tahun
lalu, nampaknya masih relevan kita gunakan untuk memahami
konteks PT dengan lebih baik. Dia menyebut PT sebagai sistem
yang longgar (a loosely coupled system), hubungan antarelemen di
dalamnya sangat renggang. Di dalam sistem yang longgar, elemenelemennya saling mempengaruhi “secara tiba-tiba (daripada kontinu),
kadang-kadang (daripada konstan), dapat diabaikan (daripada
signifikan), tidak langsung (daripada langsung), dan memerlukan waktu
(daripada seketika)” (Weick, 1982, h. 380)—dikutip dalam Orton
dan Weick (1990)7. Hubungan yang longgar ini mewujud dalam
banyak tingkat, mulai dari individu, sub-organisasi, aktivitas,
intensi, dan tindakan (Orton & Weick, 1990). Karenanya, dalam
sistem seperti ini, terbentuk struktur otoritas yang menyebar dan
fragmentasi internal ((Lockwood, 1985)—dikutip oleh (Pollock &
Cornford, 2004)).
Hubungan yang longgar tidak selalu jelek, dan dalam banyak kasus

justru diharapkan. Hal ini dapat meningkatkan kepuasan anggota
organisasi dan adaptabilitas organisasi atau kelincahan dalam
merespon perubahan lingkungan (Orton & Weick, 1990).
Dalam konteks seperti ini, anggota organisasi belajar dan berubah
dengan cara imitasi. Hal ini tidak akan berjalan dengan baik bila
rasa saling percaya belum tumbuh. Karenanya, civitas academica
7

Jika terjemahan dalam bahasa Indonesia ini membingungkan karena
kemampuan abstraksinya yang terbatas, berikut adalah versi asli dalam bahasa
Inggris: “suddenly (rather than continuously), occasionally (rather than constantly),
negligibly (rather than significantly), indirectly (rather than directly), and eventually
(rather than immediately)” (Weick, 1982, p. 380).
Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia| 5

Fathul Wahid

harus dilihat sebagai manusia dan bukan mesin produksi. Tanpa
mengabaikan prosedur rasional yang disepakati (hubungan
mekanistik), hubungan informal (organik)8 antar anggota organisasi

menjadi sangat penting. Semangat kebersamaan, kolegialitas, atau
silaturahmi antarelemen mutlak diperlukan sebagai perekat.
Terlepas dari diskusi dan debat yang dapat dimunculkan dari
tilikan-tilikan di atas, karakteristik unik tersebut di atas, tentu
perlu diperhatikan dalam manajemen PT. Karakteristik tersebut
mengirim pesan bahwa ketidak-teraturan (messiness) organisasi,
seperti sistem yang longgar, dalam tingkat tertentu perlu
diakomodasi (Abrahamson & Freedman, 2013), terutama ketika
keteraturan ‘berbiaya’ sangat mahal, tidak hanya dari sisi finansial,
tetapi lebih-lebih juga dari sisi non-finansial, seperti kenyamanan
bekerja yang tergadai, ruang kreativitas yang terpangkas, dan
adaptabilitas yang terbatasi.
Metafor yang paling tepat untuk menggambarkan sistem yang
longgar ini adalah seperti memimpin pelayaran dengan kapal layar
yang memanfaatkan kekuatan angin dan ombak, dan bukan seperti
memimpin kapal mesin. Angin dan ombak ibarat kekuatan dari
elemen-elemen PT yang harus disinergikan untuk mencapai tujuan.
Kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang kuat menjadi
syarat mutlak, bukan untuk menyeragamkan tetapi untuk
memimpin orkestrasi dari simfoni. Sebagai metafor, semua anggota
organisasi sangat mungkin tidak mampu memainkan instrumen
musik yang sama, dan seperti konduktor, tugas pemimpinlah untuk
membuat mereka berada dalam tangga nada yang sama. Tanpa ini,
PT dapat oleng dan tiba-tiba terdampar di sebuah situasi yang tidak
diinginkan oleh semua.

8

Diskusi menarik dan lebih detail tentang sistem mekanistik dan organik dapat
ditemukan dalam Morgan (1996). Lebih lanjut, diskusi pelengkap yang
mengenalkan sistem koloni dapat ditemukan di Porra (1999).

6 | Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia

Peran TI dalam Transformasi Perguruan Tinggi: Mitos atau Realitas?

Perspektif tersebut relevan diaplikasikan dalam manajemen TI.
Bagaimana kita memposisikan TI, akan dipengaruhi dan
mempengaruhi oleh konteks PT. Beragam mazhab dapat ditemukan
dalam literatur untuk mengkonseptualisasi hubungan antara TI dan
konteks sosial tempat implementasinya.
Hadirin yang saya hormati
Mazhab Konseptualisasi Awal
Mazhab pertama adalah technological determinism yang mempercayai
bahwa TI mempunyai dampak spesifik dan menyebabkan
perubahan organisasi secara deterministik (Gallivan & Srite, 2005).
Menurut mazhab ini, tindakan tidak dilihat sebagai hasil dari
pilihan sadar dan terencana, tetapi merupakan dampak dari
tekanan eksternal di luar kendali aktor organisasi (Markus &
Robey, 1988). Mazhab ini telah ditolak oleh sebagian besar
cendekiawan (scholars) sistem informasi9 karena terlalu simplistis
(Gallivan & Srite, 2005).
Mazhab kedua adalah organizational imperative yang mengasumsikan
adanya pilihan tidak terbatas atas TI dan kendali atas konsekuensi
dari penggunaan TI (Gallivan & Srite, 2005; Markus & Robey,
1988). TI dianggap sebagai kakas (tool) yang dapat digunakan
untuk mencapai perubahan dalam praktik organisasi yang
diinginkan oleh manajer (Markus, 1983). Mazhab ini mempunyai
masalah karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa adopsi TI
tidak dapat sepenuhnya dikendalikan. Mazhab ini pun sekarang
ditolak oleh banyak cendekiawan sistem informasi karena terlalu
simplistis karena tidak memungkinkan pengguna TI untuk
berinisiatif (memainkan keagenannya), menafikan peluang-peluang
yang muncul di lapangan, dan menolak kemungkinkan bahwa TI
9

Sistem informasi di sini adalah sebuah disiplin yang, secara singkat, mempelajari
TI dalam sebuah konteks (organisasi dan sosial) (Lee, 2010; Walsham, 2012),
dan bukan disempitkan sebagai aplikasi komputer untuk mengolah informasi.
Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia| 7

Fathul Wahid

yang digunakan dapat ‘menyimpang’ seiring berjalannya waktu
(Gallivan & Srite, 2005; Markus & Robey, 1988).
Hadirin yang saya hormati
Mazhab Ketiga
Untuk mengatasi kelemahan kedua mazhab konseptualisasi di atas,
diperkenalkan mazhab ketiga, emergent perspective, yang saat ini
diadopsi oleh sebagian besar cendekiawan sistem informasi
(Gallivan & Srite, 2005; Markus & Robey, 1988). Mazhab ini
mempercayai bahwa penggunaan dan dampak dari penggunaan TI,
muncul (emerge) dari interaksi sosial yang kompleks dan tidak dapat
diramalkan sebelumnya (Markus & Robey, 1988). Mengapa dapat
seperti ini? Dalam bahasa Pfeffer (1982), sebagaimana dikutip oleh
Markus dan Robey (1988), hal ini terjadi “karena partisipasi dalam
pengambilan keputusan organisasi selain tersegmentasi juga tidak
kontinu, karena preferensi berkembang dan berubah sejalan dengan
waktu, dan karena interpretasi atas hasil dari serangkain tindakan
seringkali problematik; perilaku tidak dapat diprediksi secara a
priori, baik berdasar intensi dari aktor individu maupun kondisi
lingkungan” (Pfeffer, 1982, h. 9).
Mazhab ini berpendapat bahwa, TI bukan material yang bebas nilai
(value free). TI tidak hanya bagian dari ansambel (ensembel) yang
besar yang melibatkan dimensi non-teknis (Orlikowski & Iacono,
2001), tetapi lebih dari itu, TI adalah sosio-material yang terjalinberpilin (Leonardi, 2011), seperti benang kusut yang sulit
dipisahkan antara dimensi material dan dimensi sosialnya. Dalam
setiap artefak TI, ada nilai-nilai atau kepentingan yang disuntikkan
(value laden) oleh desainernya, yang mungkin tidak sejalan dengan
yang diinginkan atau diyakini penggunanya. Sebagai contoh, nilainilai atau logika institutional (institutional logic) (Thornton et al.,
2005), seperti kontrol dan dominasi yang disuntikkan ke dalam
sistem enterprise resource planning (ERP), mungkin berbeda atau
bahkan berkonflik dengan nilai-nilai otonomi dan fleksibilitas yang
8 | Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia

Peran TI dalam Transformasi Perguruan Tinggi: Mitos atau Realitas?

diinginkan penggunanya (Leidner & Kayworth, 2006). Memang
nilai yang berbeda tidak selamanya bertentangan, tetapi konflik
yang terjadi karena perbedaan nilai ini perlu dikelola dengan bijak,
jika tidak ingin menjadi kontraproduktif.
Hadirin yang saya hormati
Mencari Penjelasan
Selain itu, alasan sebuah organisasi dalam mengadopsi TI tidaklah
tunggal. Hal ini dipengaruhi oleh tekanan isomofik yang
menjadikan PT cenderung seragam dalam penggunaan TI. Teori
institusional (institutional theory) memberikan inspirasi kepada kita,
bahwa tidak selamanya manusia rasional dalam mengambil
keputusan (DiMaggio & Powell, 1983). Pertama, beberapa
keputusan didasarkan pada tekanan koersif (coercive pressures) dari
otoritas lebih tinggi yang bersifat memaksa dan tidak bisa ditawar
(DiMaggio & Powell, 1983). Meskipun terpaksa, sebuah organisasi
harus mengadopsi sistem yang ada. Peraturan atau kebijakan
otoritas yang lebih tinggi bersifat membatasi (constraining)
(McKinley et al., 1995).
Kedua, tidak jarang keputusan diambil karena tekanan mimetik
(mimetic pressures) yang hanya karena ingin sama dengan organisasi
lain tanpa proses refleksi dan pembelajaran yang memadai
(DiMaggio & Powell, 1983). Banyak organisasi mengadopsi sebuah
solusi TI karena sedang banyak organisasi lain mengadopsi solusi
serupa dan karenanya menjadi tren. Ini mirip dengan proses
kloning (cloning) (McKinley et al., 1995).
Ketiga, organisasi yang lain melalui proses pembelajaran (learning)
seperti memutuskan ingin serupa dengan yang lain (DiMaggio &
Powell, 1983; McKinley et al., 1995). Tekanan normatif (normatif
pressures), seperti ingin menjadi lebih profesional, dapat menjadi
pemicunya (DiMaggio & Powell, 1983).

Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia| 9

Fathul Wahid

Saya melihat, tekanan-tekanan ini relevan untuk memotret dan
memahami hubungan antara TI dan perubahan organisasi dalam
konteks PT. Tekanan-tekanan inilah yang menjelaskan bahwa
tidak jarang penggunaan TI, dan juga inisiatif yang lain, ‘hanya’
untuk mendapatkan legitimasi atau pengakuan dari pihak lain, dan
dalam praktik tercerabut (decoupled) dari proses bisnis sehari-hari.
Di lapangan, beragam ‘pola penggunaan’ (enactment) TI dapat
ditemukan. Ini yang disebut oleh Orlikowski (2000) dengan nosi
technology-in-practice yang didefinisikan sebagai “serangkaian aturan
dan sumberdaya yang disusun (kembali) dalam keterlibatan yang
berulang antara manusia dengan teknologi yang digunakan”10
(Orlikowski, 2000, h. 407). TI yang dikembangkan pun tidak selalu
diterima dengan ‘hati lapang’ oleh semua anggota organisasi. Ada
sebagian yang merasa diuntungkan, ada yang merasa terancam atau
bahkan terintimidasi. Ini adalah gambaran kenyataan, yang
seringkali tidak sesederhana yang kita bayangkan. Pemahaman
tentang beragam pola penggunaan berikut, berguna untuk
menjelaskan mengapa sebuah solusi TI tidak selalu digunakan oleh
anggota organisasi seperti yang diinginkan oleh desainernya.
Yang pertama, pola penggunaan inertia ketika TI digunakan untuk
memperkuat atau melestarikan status quo atau kepentingan
pengambil keputusan. Anggota organisasi mungkin memilih tidak
menggunakan TI yang dikembangkan atau menggunakannya tetapi
setengah hati (Boudreau & Robey, 2005). Kedua, pola penggunaan
application, ketika aktor menggunakan TI untuk mendukung
kolaborasi, meningkatkan produktivitas personal, memecahkan
masalah bersama, dan mendukung proses Orlikowski (2000).

10

Jika terjemahan di atas membingungkan, berikut versi asli dalam bahasa
Inggris: “the sets of rules and resources that are (re)constituted in people’s recurrent
engagement with the technologies at hand”.

10 | Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia

Peran TI dalam Transformasi Perguruan Tinggi: Mitos atau Realitas?

Ketiga, pola penggunaan change, yang dipilih untuk
mentransformasikan status quo dengan melakukan improvisasi
dalam penggunaan teknologi (Orlikowski, 2000). Ada proses
pembelajaran dalam pola yang terakhir ini, yang oleh Boudreau dan
Robey (2005) disebut dengan pembelajaran terimprovisasi
(improvised learning). Namun, pilihan terakhir ini tidak selamanya
hadir sebagai sebuah kenyataan, karena kemerdekaan dalam
penggunaan (freedom of enactment) yang terbatasi (Merschbrock &
Wahid, 2013), seperti oleh tekanan koersif yang bersifat memaksa.
Karena beragam pola penggunaan ini dan hubungan terjalinberpilin antara TI dan konteks sosial, seperti telah disinggung di
atas, tidak jarang, adopsi TI memunculkan konsekuensi yang tidak
diinginkan (unintended consequences). Tidak semua perubahan
dapat diantisipasi di depan (anticipated changes). Banyak perubahan
yang muncul ketika proses berjalan (emergent changes). Hal ini tidak
selalu negatif (Orlikowski & Hofman, 1997). Hal ini dapat terjadi
karena dipaksa oleh lingkungan yang berubah atau munculnya
konsekuensi yang tidak diperkirakan sebelumnya (Setyono et al.,
2014).
Di atas itu semua, adopsi TI dalam konteks organisasi pasti
melibatkan manusia yang berbeda dengan skrup dalam sebuah
mesin. Manusia tidak dapat kalis dari kepentingan, motivasi, dan
perspektif yang berbeda. Karenanya, implementasi TI dalam
konteks PT dengan keunikan karakteristiknya, lebih tepat
dipandang sebagai proses politik yang melibatkan pengambilan
keputusan kolektif dan tidak hanya mengedepankan rasionalitas
ekonomi atau efisiensi (Henriksen & Mahnke, 2005). Jika ini
dilakukan, maka akan dihasilkan TI yang lebih humanis dan tidak
mekanistik.

Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia| 11

Fathul Wahid

Hadirin yang saya hormati
Catatan Penutup
Realitas adalah hasil konstruksi sosial (socially constructed) yang
melibatkan banyak aktor yang seringkali tidak steril dari
kepentingan yang berbeda, dan bahkan bertentangan. Sekali lagi,
penting bagi kita untuk memahami bahwa TI bukanlah obat
mujarab untuk semua masalah organisasi. Karenanya, jika TI
dianggap sebagai solusi, dalam mendesain, seharusnya pertanyaan
pertama yang wajib diajukan adalah: untuk kepentingan apa atau
siapa? Kesepakatan jawaban atas pertanyaan ini akan
memunculkan kesadaran kolektif (collective awareness) yang
selanjutnya menjadi perekat dan landasan (kalimatun sawa, common
denominator) bergerak.
Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan aktor-aktor yang
memperkenalkan ide-ide cemerlang (hidayah)11, menginisiasi dan
mempimpin perubahan. Penyuntikan nilai yang tepat menjadi
sangat penting di sini untuk menghindarkan dari jebakan proses
bisnis yang mekanistik dan tidak humanis. Jika tidak, keampuhan
TI hanya akan menjadi mitos, dan perubahan organisasi tidak akan
terinstitusionalisasi12, karena ide-ide tersebut tercerabut (decoupled)
dari proses bisnis sehari-hari, dan hanya menjadi alat mendapatkan
legitimasi dan terjebak pada seremoni. Dalam bahasa pesantren,
wujuduhu ka ‘adamihi, adanya tidak menggenapkan atau
mengganjilkan. Tentu ini bukan sesuatu yang kita inginkan.

11

Ide-ide cemerlang, sebagaimana hidayah, harus diusahakan dengan serius.
Ayat 69 dari Surat Al-Ankabut menginspirasi ini: “Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
12
Sebuah praktik organisasi disebut terinstitusionalisasi jika secara umum
diterima oleh anggota organisasi tanpa debat, diikuti secara luas, permanen, dan
keberadaannya tidak tergantung lagi pada aktor utama (Avgerou, 2000; Tolbert
& Zucker, 1983).

12 | Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia

Peran TI dalam Transformasi Perguruan Tinggi: Mitos atau Realitas?

Dalam konteks manajemen TI, berbekal beragam konsep dan
pengalaman di atas, saya ingin membuka diskusi bagaimana
mendesain TI yang menggerakkan dan membahagiakan, bukan TI
yang menakutkan dan keampuhannya hanya menjadi mitos, karena
tidak dibarengi dengan perubahan organisasi.
Hadirin yang saya hormati
Selama saya membacakan pidato ini, saya yakin, hadirin tidak
sepenuhnya sependapat dengan poin-poin yang disampaikan.
Karena saya ingin membuka diskusi, mendapatkan kesepakatan
bukanlah tujuan saya menulis pidato ini.
Namun demikian, saya yakin, untuk poin-poin berikut, hadirin
sepakat dengan saya.
Sudah merupakan sunnatullah bahwa sebuah kemajuan tak akan
mewujud tanpa perubahan, meskipun perubahan tidak selalu
menuju kebaikan. Perubahan mengharuskan kita hijrah dari zona
nyaman kita. Untuk itu perlu gerakan bersama. Hanya menjadi
komentator tanpa mau ‘bertangan kotor’, bukanlah pilihan bijak.
Hanya senang mengkritisi tanpa berkontribusi, juga bukan hal yang
patut. Apalagi hanya mempunyai hobi mengeluh tanpa mau
berpeluh.
Kalau sampai saat ini kita masih terlelap dalam zona nyaman kita,
tujuh ayat pertama Surat Al-Muddatstsir berikut nampaknya dapat
dijadikan inspirasi untuk bergerak ke depan. Berikut adalah artinya:
1. Hai orang yang berkemul (berselimut)!
2. Bangunlah, lalu berilah peringatan!
3. Dan Tuhanmu agungkanlah!
4. Dan pakaianmu bersihkanlah!
5. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah!
6. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh
(balasan) yang lebih banyak!
Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia| 13

Fathul Wahid

7. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah!
Akhirnya, saya mengucapkan selamat milad ke-71. Semoga Allah
selalu memudahkan UII dan segenap civitas academicanya dalam
menjalankan misi mulia yang diemban oleh PT, dengan landasan
nilai-nilai ketuhanan dan profetik yang abadi (perennial).
Wabillahit taufiq wal hidayah, warridlo wal inayah.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Referensi
Abrahamson, E., & Freedman, D. H. (2013). A Perfect Mess: The Hidden Benefits
of Disorder. New York: Little, Brown and Company.
Avgerou, C. (2000). IT and organizational change: An institutionalist
perspective. Information Technology and People, 13(4), 234-262.
Boudreau, M.-C., & Robey, D. (2005). Enacting integrated information
technology: A human agency perspective. Organization Science 16(1), 318.
Cohen, M. D., March, J. G., & Olsen, J. P. (1972). A garbage can model of
organizational choice. Administrative Science Quarterly, 17(1), 1-36.
DiMaggio, P. J., & Powell, W. W. (1983). The iron cage revisited: Institutional
isomorphism and collective rationality in organizational fields. American
Sociological Review, 48(2), 147-160.
Gallivan, M., & Srite, M. (2005). Information technology and culture:
Identifying fragmentary and holistic perspectives of culture. Information
and Organization, 15(4), 295-338.
Halstead, J. M. (2004). An Islamic concept of education. Comparative Education,
40(4), 517-529.
Henriksen, H. Z., & Mahnke, V. (2005). E-procurement adoption in the Danish
public sector. Scandinavian Journal of Information Systems, 17(2), 5-26.
Lee, A. S. (2010). Retrospect and prospect: Information systems research in the
last and next 25 years. Journal of Information Technology, 25(4), 336-348.
Leidner, D. E., & Kayworth, T. (2006). A review of culture in information
systems research: Toward a theory of information technology culture
conflict. MIS Quarterly, 30(2), 357-399.
Leonardi, P. M. (2011). When flexible routines meet flexible technologies:
Affordance, constraint, and the imbrication of human and material
agencies. MIS quarterly, 35(1), 147.

14 | Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia

Peran TI dalam Transformasi Perguruan Tinggi: Mitos atau Realitas?
Lockwood, G. (1985). Universities as organizations. Dalam G. Lockwood & J.
Davies (Eds.), Universities: The Management Challenge. Windsor: NFERNelson Publishing.
Markus, M. L. (1983). Power, politics, and MIS implementation. Communications
of the ACM, 26(6), 430-444.
Markus, M. L., & Robey, D. (1988). Information technology and organizational
change: Causal structure in theory and research. Management Science,
34(5), 583-598.
McKinley, W., Sanchez, C. M., Schick, A. G., & Higgs, A. C. (1995).
Organizational downsizing: Constraining, cloning, learning. Academy of
Management Executive, 9(3), 32-44.
Merschbrock, C., & Wahid, F. (2013). Actors’ freedom of enactment in a loosely
coupled system: The case of BIM use in construction projects. Proceedings
of the European Conference on Information Systems (ECIS) 2013, Utrecht,
The Netherlands, 6-8 June.
Morgan, G. (1996). Images of Organization. California: Sage Publication.
Orlikowski, W. J. (2000). Using technology and constituting structures: A
practice lens for studying technology in organizations. Organization
Science, 11(4), 404-428.
Orlikowski, W. J., & Hofman, J. D. (1997). An improvisational model of change
management: the case of groupware technologies. Sloan Management
Review, Winter, 11-21.
Orlikowski, W. J., & Iacono, C. S. (2001). Desperately seeking the “IT” in IT
research—A call to theorizing the IT artifact. Information Systems
Research, 12(2), 121-134.
Orton, D., & Weick, K. E. (1990). Loosely coupled systems: A
reconceptualization. Academy of Management Review, 15(2), 203-223.
Pfeffer, J. (1982). Organizations and Organization Theory. Marshfield, MA:
Pitman.
Pollock, N., & Cornford, J. (2004). ERP systems and the university as a “unique”
organisation. Information Technology & People, 17(1), 31-52.
Porra, J. (1999). Colonial systems. Information Systems Research, 10(1), 38-69.
Setyono, P., Wahid, F., & Meidawati, N. (2014). Unintended benefits of
adopting an ERP system in an Indonesian university. Dalam N. Panchaud
& E. Marclay (Eds.), SAP for Universities. Lausanne, Switzerland: EPFL
Press.
Thornton, P. H., Jones, C., & Kury, K. (2005). Institutional logics and
institutional change in organizations: Transformation in accounting,
architecture, and publishing. Research in the Sociology of Organizations, 23,
125-170.

Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia| 15

Fathul Wahid
Tolbert, P. S., & Zucker, L. G. (1983). Institutional sources of change in the
formal structure of organizations: The diffusion of civil service reform,
1880-1935. Administrative Science Quarterly, 28, 22-39.
Walsham, G. (2012). Are we making a better world with ICTs? Reflections on a
future agenda for the IS field. Journal of Information Technology, 27(2), 8793.
Weick, K. E. (1976). Educational organizations as loosely coupled systems.
Administrative Science Quarterly, 21(1), 1-19.
Weick, K. E. (1982). Management of organizational change among loosely
coupled elements. Dalam P. S. Goodman (Ed.), Change in Organizations
(pp. 375-408). San Francisco: Jossey-Bass.

16 | Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia

Peran TI dalam Transformasi Perguruan Tinggi: Mitos atau Realitas?
BIODATA

Nama:
Fathul Wahid
Tempat, tanggal lahir: Jepara, 26 Januari 1974
Pekerjaan:
Dosen Jurusan Teknik Informatika
Universitas Islam Indonesia
Status:
Menikah, dengan dua putri
E-mail:
[email protected]
Pendidikan
1. Ph.D. dari Department of Information Systems, University of Agder, Norway
(2013)
2. M.Sc. dari Department of Information Systems, University of Agder, Norway
(2003)
3. S.T. dari Jurusan Teknik Informatika, Institut Teknologi Bandung (1997)
Bidang penelitian
1. eGoverment
2. ICT for development
3. Enterprise systems
Publikasi terpilih
1. Wahid, F., & Sæbø, Ø. (2014). Understanding eParticipation Services in
Indonesian Local Government. Dalam Linawati, M. S. Mahendra, E. J.
Neuhold, A. M. Tjoa, & I. You, I. (Eds.), Information & Communication
Technology, Berlin Heidelberg: Springer, 328-337.
2. Setyono, P., Wahid, F., & Meidawati, N. (2014). Unintended Benefits of
Adopting an ERP System in an Indonesian University. Dalam N. Panchaud
& E. Marclay (Eds.), SAP for Universities. Lausanne, Switzerland: EPFL
Press.
3. Wahid, F., & Sein, M. K. (2014). Steering Institutionalization through
Institutional Work: The Case of an eProcurement System in Indonesian
Local Government. Proceedings of the 47th Hawaii International Conference on
System Sciences (HICSS) 2014, Hawaii, 6-9 Januari.
4. Wahid, F. (2013). The Antecedents and Impacts of a Green eProcurement
Infrastructure: Evidence from the Indonesian Public Sector. International
Journal of Internet Protocol Technology, 7(4), 210-218.
5. Wahid, F., & Indarti, N. (2013). Facebook, Online Social Network, and the
Rise of Nascent Entrepreneurs. Dalam Gaol, F. L., Kadry, K., Taylor, M., &
Li, P. S. (Eds.). Recent Trends in Social and Behaviour Sciences. Leiden, The
Netherlands: CRC Press.
Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia| 17

Fathul Wahid
6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

Wahid, F., Ramdhani, N., & Wiradhany, W. (2013). More Gaining and Less
Gaming? The Internet Use in Indonesia After One Decade. Dalam Gaol, F.
L., Kadry, K., Taylor, M., & Li, P. S. (Eds.). Recent Trends in Social and
Behaviour Sciences. Leiden, The Netherlands: CRC Press.
El-Gazzar, R., & Wahid, F. (2013). An Analytical Framework to Understand
the Adoption of Cloud Computing: An Institutional Theory
Perspective. Proceedings of the International Conference on Cloud Security
Management (ICCSM) 2013, Seattle, USA, 17-18 Oktober.
Wahid, F., & Prastyo, D. (2013). Politicians’ Trust in the Information
Technology Use in General Election: Evidence from Indonesia. Procedia
Technology, 11, 374–379.
Merschbrock, C., & Wahid, F. (2013). Actors’ Freedom of Enactment in a
Loosely Coupled System: The Case of BIM Use in Construction Projects.
Proceedings of the European Conference on Information Systems (ECIS) 2013,
Utrecht, The Netherlands, 6-8 Juni.
Wahid, F. (2013). A Triple-Helix Model of Sustainable Government
Information Infrastructure: Case Study of the eProcurement System in the
Indonesian Public Sector. Dalam H. Linger, J. Fisher, A. Barnden, C. Barry,
M. Lang, C. Schneider (Eds.) Building Sustainable Information Systems, Berlin
Heidelberg: Springer.
Wahid, F. (2013). Translating the Idea of the eGovernment One-Stop Shop
in Indonesia. Dalam Khabib, M., Neuhold, E. J., Tjoa, A M., Weippl, E., and
You, I (Eds). Information & Communication Technology. Berlin Heidelberg:
Springer, 1-10.
Wahid, F., & Sein, M. K. (2013). Institutional Entrepreneurs: The Driving
Force in Institutionalization of Public Systems in Developing
Countries. Transforming Government: People, Process and Policy, 7(1), 76-92.
Wahid, F. (2013). Themes of Research on eGovernment in Developing
Countries: Current Map and Future Roadmap. Proceedings of the 46th Hawaii
International Conference on System Sciences (HICSS) 2013, Hawaii, 7-10
Januari.
Wahid, F., & Furuholt, B. (2012). Understanding the Use of Mobile Phones
in the Agricultural Sector in Rural Indonesia: Using the Capability
Approach as Lens. International Journal of Information and Communication
Technology, 4(2/3/4), 165-178.
Indarti, N., & Wahid, F. (2012). University-Industry Joint-Research: How
does the Indonesian Industry Perceive It?. The Triple Helix 10th International
Conference 2012, Bandung, Indonesia, 8-10 Agustus.
Wahid, F. (2012). The Green eProcurement Infrastructure in the
Indonesian Public Sector: Its Antecedents and Impact on the Triple Bottom
Line. Proceedings of the 2012 International Conference in Green and Ubiquitous
Technology, Bandung, Indonesia, 7-8 Juli.

18 | Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia

Peran TI dalam Transformasi Perguruan Tinggi: Mitos atau Realitas?
17. Wahid, F. (2012). Institutionalization of Public Systems in Developing
Countries: A Case Study of eProcurement in Indonesian Local Government.
Proceedings of the Transforming Government Workshop 2012, Brunel
University, West London, UK, 8-9 Mei.
18. Wahid, F. (2012). The Current State of Research on eGovernment in
Developing Countries: A Literature Review. Dalam H. J. Scholl, M. Janssen,
M. A. Wimmer, C. E. Moe, L. S. Flak (Eds.). Electronic Government. Berlin
Heidelberg: Springer, 1-12.
19. Wahid, F., (2011). Is There a Bidirectional Relationship between eGovernment and Anti-Corruption Practices?: Analysis of Cross-Country
Data. Proceedings of the International Conference on Informatics for
Development 2011, Yogyakarta, Indonesia, 26 November.
20. Wahid, F., Sein, M. K., & Furuholt, B. (2011). Unlikely Actors: Religious
Organizations as Intermediaries in Indonesia. Proceedings of the 11th
International Conference on Social Implications of Computers in Developing
Countries, Kathmandu, Nepal, 22-25 Mei.
21. Wahid, F. (2011). Explaining History of e-Government Implementation in
Developing Countries: An Analytical Framework. Dalam M. Janssen et al.
(Eds.). Electronic Government. Berlin Heidelberg: Springer, 38–49.
22. Wahid, F. (2011). Explaining Failure of E-Government Implementation in
Developing Countries: A Phenomenological Perspective. Prosiding Seminar
Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2011, Yogyakarta, 17-18 Juni.
23. Wahid, F., & Setyono, P. (2010). Dealing with the Misfits in an ERP
Implementation: Experiences from a University Context in
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2010,
Yogyakarta, 19 Juni.
24. Wahid, F. (2010). Examining Adoption of e-Procurement in Public Sector
using the Perceived Characteristics of Innovating: Indonesian Perspective.
Dalam A. B. Sideridis & Ch. Z. Patrikakis (Eds.). e-Democracy, Berlin
Heidelberg: Springer, 64–75.
25. Kristiansen, S., Wahid, F., & Furuholt, B. (2008). Gaming or gaining?
Internet café use in Indonesia and Tanzania. The International Information &
Library Review, 40(2), 129–139.
26. Furuholt, B., & Wahid, F. (2008). E-government Challenges and the Role of
Political Leadership in Indonesia: the Case of Sragen. Proceedings of the 41st
Hawaii International Conference on System Sciences (HICSS) 2008, Hawaii, 710 Januari.
27. Wahid, F. (2007). Using the Technology Adoption Model to Analyze
Internet Adoption and Use among Men and Women in Indonesia. The
Electronic Journal on Information Systems in Developing Countries, 32, 1-8.

Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia| 19

Fathul Wahid
28. Kristiansen, S., Wahid, F., & Furuholt, B. (2006). Investing in Knowledge?
Information Asymmetry and Indonesian Schooling. International Information
& Library Review, 38(2), 192–204.
29. Wahid, F., Furuholt, B., & Kristiansen, S. (2006). Internet for
Development? Patterns of Use Among Internet Cafe Customers in
Indonesia. Information Development, 22(4), 278-291.
30. Kristiansen, S., Kimeme, J., Mbwambo, A., & Wahid, F. (2005). Information
Flows and Adaptation in Tanzanian Cottage Industries. Entrepreneurship and
Regional Development, 17, 365-388.
31. Furuholt, B., Kristiansen, S., & Wahid, F. (2005). The Spread of
Information in a Developing Society: A Study of Internet Cafe Users in
Indonesia. The Electronic Journal on Information Systems in Developing
Countries, 22, 1-16.
32. Kristiansen, S., Furuholt, B., & Wahid, F. (2003). Internet Cafe
Entrepreneurs: Pioneers in Information Dissemination in Indonesia. The
International Journal of Entrepreneurship and Innovation, 4(4), 251-263.
Buku
1. Wahid, F. (2012). Tentang Menjadi Dosen. Jakarta: nulisbuku.com.
2. Wahid, F., & Dirgahayu, T. (Eds.) (2012). Pembelajaran Teknologi Informasi
di Perguruan Tinggi: Perspektif dan Pengalaman. Yogyakarta: Graha Ilmu.
3. Wahid, F. (2010). Servant Leadership: Refleksi Kepala Pelayan Kampus.
Yogyakarta: Navila Idea.
4. Kusumadewi, S., Fauzijah, A., Khoiruddin, A. A., Wahid, F., Setiawan, M.
A., Rahayu, N. W., Hidayat, T., & Prayudi, Y. (2009). Informatika
Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
5. Wahid, F. (2007). Teknologi Informasi dan Pendidikan. Yogyakarta: Ardana
Media dan Rumah Produksi Informatika.
6. Wahid, F. (2004). E-Dakwah: Dakwah Melalui Internet, Yogyakarta: Gava
Media.
7. Wahid, F. (2004). Dasar-dasar Algoritma dan Pemrograman, Yogyakarta:
Penerbit Andi.
8. Wahid, F. (2003) Kamus Istilah Teknologi Informasi, Yogyakarta: Penerbit
Andi.

20 | Sidang Senat Terbuka Milad Ke-71 Universitas Islam Indonesia