ANALISIS KRITIS TERHADAP PENEGAKAN HUKUM

ANALISIS KRITIS TERHADAP PENEGAKAN HUKUM PASAL 273
UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS
DAN ANGKUTAN JALAN
Tesis ini membahas masalah Penegakan Hukum Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Dari hasil penelitian menggunakan metode
penelitian okumokumive dan Sosiologis, diperoleh kesimpulan bahwa : 1. Penegakan okum
Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, masih belum dapat dilaksanakan secara
efektif, karena : a. Ketidakjelasan pengaturan makna �penyelenggara jalan� apakah secara
kelembagaan ataukah Pejabat yang berkewenangan dalam pengaturan, pembinaan,
pembangunan, pengawasan, pemeliharaan, dan penilikan jalan). b. Menemukan alat bukti bahwa
�penyelenggara jalan� tidak dengan segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak, atau tidak
memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak dan belum diperbaiki. c. Menentukan sebab
yang paling kuat (langsung) menimbulkan akibat korban luka ringan dan/atau kerusakan
kendaraan dan/atau barang, mengakibatkan luka berat, dan mengakibatkan orang lain meninggal
dunia. 2. Upaya yang dapat dilakukan oleh penyidik Polri dalam menerapkan Pasal 273 UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009 adalah dengan meningkatkan pengetahuan ilmu okum,
keterampilan penyidikan, integritas, dan moralitas sebagai penyidik Polri. Selanjutnya
direkomendasikan agar makna penyelenggara jalan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004
Tentang Jalan berikut Peraturan Pelaksanaannya perlu diperjelas, yaitu cukup sebatas Pejabat
Yang Berkewenangan melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, pengawasan,
pemeliharaan, dan penilikan jalan baik untuk jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan

kota, jalan tol, maupun jalan khusus.

Penafsiran terhadap maksud penyelenggara jalan dalam Pasal 273 UU No.22
tahun 2009
oleh : Denden Imadudin Soleh,.S.H.
I. Latarbelakang
Ada berita yang menarik di harian Pikiran Rakyat terbitan tanggal 13 April 2010, yaitu tentang
berita yang berjudul ”Jalan pun harus ber-SNI” berita tersebut berisi tentang aksi dari Forum
Club Motor Bandung (FCMB) yang mendesak Pemerintah Kota Bandung untuk segera
memperbaiki jalan yang rusak di Kota Bandung, karena menurut mereka kerusakan jalan dinilai
turut andil sebagai penyebab kecelakaan lalu lintas.salah seorang Ketua FCMB berujar bahwa
“kalau helm ada yang SNI,jalan juga harus SNI”.
Di dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan memang
disebutkan di Pasal 203 ayat (1) bahwa,
“Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan”
dan di Pasal 24 ayat (1),
Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.
Dan di ayat (2)-nya,
Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk
mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.
bahkan di Pasal 273 yang memuat ketentuan Pidana ini menyebutkan bahwa, untuk
Penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak dapat di
berikan sanksi pidana apabila, Pertama, menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan
Kendaraan dan/atau barang, dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp
12 juta. Kedua, mengakibatkan luka berat, dipidana penjara paling lama 1tahun atau denda
paling banyak Rp 24 juta. Ketiga, mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana penjara
paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 120 juta. Dan Keempat, tidak memberi tanda
atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki dipidana penjara paling lama 6 bulan
atau denda paling banyak Rp 1,5 juta.
Sementara itu pakar hukum pidana Unpad, Yesmil Anwar mengatakan, dalam UU Lalu lintas
yang baru diatur mengenai ketentuan pidana. Namun, di dalam UU tersebut hanya disebutkan
sebagai penyelenggara jalan, tetapi tidak secara langsung disebutkan lembaganya. Jadi, menurut
Yesmil, masih sumir mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan jalan itu .
Ketidakpastian hal tersebut bisa berdampak pada penerapan pasal 273 tersebut oleh penegak
hukum, sehingga Pasal 273 ini tidak bisa dilaksanakan dilapangan pada prakteknya, atau bahkan
penegak hukum harus menunggu Peraturan Pemerintah yang mengatur secara lebih rinci tentang
masalah penyelenggara jalan tersebut. Tetapi di dalam Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya”.
Dengan dasar hukum tersebut, maka hakim dapat menggunakan metode penafsiran atau metode
penemuan hukum yang ada, Sehingga Undang-Undang No.22 tahun 2009 ini bisa diterapkan
tanpa harus menunggu Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaannya. Dari latar belakang masalah
di atas, maka penulis membuat makalah berjudul ” Analisis terhadap penerapan Pasal 273 UU
No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan”

II.Perumusan Masalah
Siapakah yang dimaksud penyelenggara jalan pada Pasal 273 UU No.22 Tahun 2009 tentang
Lalu lintas dan Angkutan Jalan ?
III.Pembahasan
Menurut Simons sebagaimana disitir Ateng Syafrudin bahwa kepercayaan atau yang diperintah
terhadap peraturan perundang-undangan itu hanya dapat dipertahankan, bilamana peraturan
perundang-undangan itu memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. Selain
daripada adil, suatu peraturan perundang-undangan harus pula memenuhi persyaratanpersyaratan teknis, tepat, cocok untuk mencapai maksud dan tujuannya tanpa menghamburkan
energi (tenaga) yang tidak perlu .
Di dalam Pasal 5 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan disebutkan bahwa,
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan
Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Selain Undang-Undang tersebut di atas, para ahli juga mengemukan pendapatnya tentang asasasas pembentukan peraturan perundang-undangan, di antaranya yaitu I.C. van der Vlies dan
A.Hamid.S.Attamimi. Didalam bukunya yang berjudul ”Het wetsbegrip en beginselen van
behoorlijke regelgeving” I.C.van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan
negara yang baik ke dalam asas-asas yang formal dan materiil.
Asas-asas yang formal meliputi :
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4. Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
5. Asas konsensus (het beginsel van consensus).

Asas-asas yang materiil meliputi :
1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminology
en duidelijke systematiek);

2. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
4. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele
rechtsbedeling).
A.Hamid.S.Attamimi juga membagi menjadi dua asas,yaitu asas formal dan asas materiil.Untuk
Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Asas-asas formal meliputi :
a. Asas tujuan yang jelas;
b. Asas perlunya pengaturan;
c. Asas organ atau lembaga yang tepat;
d. Asas materi muatan yang tepat;
e. Asas dapat dilaksanakan;
f. Asas dapat dikenali.
2. Asas-asas materiil meliputi :
a. Asas sesuai dengan cita hukum dan norma fundamental negara;

b. Asas sesuai dengan hukum dasar negara;
c. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum; dan
d. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Dari tulisan di atas menunjukan bahwa dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan
yang baik harus berdasarkan pada asas-asas pembentukan perundangan. Lalu bagaimana
Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, khususnya dengan isi
Pasal 273, yaitu :
(1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang
rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang
dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00
(dua belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain
meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
(4) Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum
diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
Didalam pasal tersebut dikemukakan tentang tanggungjawab pidana penyelenggara jalan, akan
tetapi rumusan pasal tersebut tidak menjelaskan siapa penyelenggara jalan tersebut, pasal
tersebut bila kita analisis menggunakan asas-asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan
yang baik dalam Pasal 5 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, maka isi pasal tersebut tidak memenuhi Asas Kejelasan rumusan, sehingga
sebagian kalangan berpendapat bahwa pasal tersebut belum bisa digunakan sebelum pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut tentang penyelenggara jalan
tersebut, akan tetapi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya di latar belakang bahwa di

dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan
bahwa,
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya”
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa interpretasi undang-undang dapat dilakukan oleh
hakim/pengadilan dan penegak hukum lainnya (advokat, penasehat hukum, pihak yang
berperkara sendiri+warga negara) dan jaksa penuntut umum dalam urusan pidana . menurut
Mochtar Kusumaatmadja ada 7 macam cara penafsiran/ Interpretasi yang bisa dilakukan, yaitu :
1. Interpretasi bahasa atau tata bahasa

2. interpretasi sejarah
3. Interpretasi sistematis
4. interpretasi sosiologis
5. interpretasi teleologis
6. tafsir otentik
7. keleluasaan interpretasi oleh hakim : kebalikan dari interpretasi otentik
Sedangkan C.S.T.Kansil menyebutkan bahwa ada 10 macam cara penafsiran, yaitu :
1. Penafsiran Tata Bahasa : Cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang,
dengan beredoman pada arti perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat
kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang dengan menggunakan arti perkataan menurut
tata bahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari.
2. Penafsiran Sahih (autentik, resmi) : Penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu
sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang.
3. Penafsiran Historis : penafsiran berdasarkan sejarah terjadinya undang-undang tersebut, atau
maksud pembentuk undang-undang pada waktu itu.
4. Penafsiran Sistematis (dogmatis) : Penafsiran menilik dari susunan yang berhubungan dengan
bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu, maupun dengan undang-undang yang
lain.
5. Penafsiran Nasional : Penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.
6. Penafsiran Teleologis (Sosiologis) : Penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undngundnag ini.

7. Penafsiran Ekstensif : Memeberi tafsirn dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu
sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukannya.
8. Penafsiran Restriktif : Penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam
peraturan itu.
9. Penafsiran analogis : Memberi tafsiran pada sesuatu peraturn hukum dengan memberi ibarat
(kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang
sebenarnya tidak dapat dimasukan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
10. Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran) : Suatu cara menafsirkan undang-undang
yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur
dalam suatu pasal undang-undang.
Dari berbagai macam cara penafsiran di atas penulis berpendapat bahwa cara penafsiran
otentik,sahih, atau resmi dan sistematik harus di dahulukan dibanding dengan cara penafsiran
yang lainnya, karena penafsiran otentik,sahih, atau resmi dan Penafsiran sistematik
penafsirannya akan lebih kuat secara hukum karena berdasarkan isi peraturan perundang-

undangan juga. Lalu bagaimana dengan isi Pasal 273 Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang
Lalu lintas dan Angkutan Jalan, Siapakah yang dimaksud penyelenggara jalan tersebut ?.
Pertama bila kita menggunakan metode penafsiran otentik atau resmi, ternyata di dalam UndangUndang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan tersebut tidak dijelaskan
definisi atau siapa penyelenggara jalan tersebut. Lalu selanjutnya bila kita menggunakan metode
penafsiran sistematis, maka kita bisa temukan definisi penyelenggara jalan tersebut di pada

Undang-Undang No. 38 tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 1 huruf 14 UU tersebut mendefinisikan
Penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya
Kemudian dari pasal tersebut di atas yang harus kita ketahui selanjutnya yaitu masalah
kewenangannya. Untuk masalah kewenangannya bisa kita lihat pada,
Pasal 13
(1) Penguasaan atas jalan ada pada negara.
(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada
Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan.
Pasal 14
(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan secara
umum dan penyelenggaraan jalan nasional.
(2) Wewenang penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan.
Pasal 15
(1) Wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan
provinsi.
(2) Wewenang penyelenggaraan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan provinsi.

(3) Dalam hal pemerintah provinsi belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah provinsi dapat menyerahkan wewenang
tersebut kepada Pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelenggaraan jalan provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam peraturan pemerintah.
Pasal 16
(1) Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan
jalan kabupaten dan jalan desa.
(2) Wewenang pemerintah kota dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan
kota.
(3) Wewenang penyelenggaraan jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan.
(4) Dalam hal pemerintah kabupaten/kota belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah kabupaten/kota dapat

menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah provinsi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelengaraan jalan kabupaten sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wewenang penyelengaraan jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dan penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam peraturan
pemerintah.
Pasal 45
(1) Wewenang penyelenggaraan jalan tol berada pada Pemerintah.
(2) Wewenang penyelenggaraan jalan tol meliputi pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan
pengawasan jalan tol.
(3) Sebagian wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh BPJT.
(4) BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh Menteri, berada di bawah, dan
bertanggung jawab kepada Menteri.
(5) Keanggotaan BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur Pemerintah, unsur
pemangku kepentingan, dan unsur masyarakat.
Dengan menggunakan metode penafsiran sistematis dan dilihat dari isi pasal-pasal di atas maka
bisa kita ketahui siapakah yang di maksud dengan “Penyelenggara Jalan” dalam Pasal 273
Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, yaitu :
1. Untuk jalan nasional sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah
Pemerintah Pusat.
2. Untuk jalan propinsi sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah
Pemerintah Propinsi
3. Untuk jalan kota sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah
Pemerintah Kota.
4. Untuk jalan kabupaten dan jalan desa sesuai dengan kewenangannya, maka yang
bertanggungjawab adalah Pemerintah Kabupaten.
5. Untuk jalan tol sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah
Pemerintah Pusat.

IV. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dengan menggunakan menggunakan metode penafsiran sistematis dapat
disimpulkan bahwa penyelenggara jalan yang dimaksud dalam Pasal 273 Undang-Undang No.22
tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, yaitu :
1. Untuk jalan nasional sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah
Pemerintah Pusat.
2. Untuk jalan propinsi sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah
Pemerintah Propinsi
3. Untuk jalan kota sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah
Pemerintah Kota.
4. Untuk jalan kabupaten dan jalan desa sesuai dengan kewenangannya, maka yang
bertanggungjawab adalah Pemerintah Kabupaten.

5. Untuk jalan tol sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah
Pemerintah Pusat.

alam. Pagi ini saya melihat foto di halaman depan sebuah koran besar nasional yang
menunjukkan seorang pengendara sepeda motor sedang berusaha mengeluarkan motornya dari
dalam lubang di pinggir jalan di daerah Serpong, Tangerang Selatan.
Belum lama ini juga saya melihat seorang pejalan kaki tertabrak oleh sebuah mobil saat pejalan
kaki ini berjalan di jalan raya. Saat ditanya, pejalan kaki ini mengaku terpaksa berjalan di jalan
raya karena trotoar yang rusak, bahkan di beberapa titik ada galian yang menutupi trotoar.
Ada juga beberapa cerita serupa yang pada intinya menunjukan sebuah kecelakaan yang,
menurut saya, terjadi karena pengelola jalan (dalam hal ini pemerintah) lalai dalam menjalankan
tugasnya. "Membiarkan" pengendara motor atau pejalan kaki tadi mengalami kecelakaan.
Terkait dengan hal tersebut, apakah pengendara motor atau pejalan kaki tersebut dapat menuntut
pengelola jalan alias pemerintah atas kecelakaan yang menimpa dirinya yang sepertinya
disebabkan lalainya pengelola jalan atau pemerintah dalam menjalankan tugasnya? Jika bisa,
bagaimana prosedurnya?

Terganjal Kata Penyelenggara
Kasus Pejabat Pemkot yang Dipidana karena Lakalantas
SAMARINDA | Minggu, 09 Juni 2013 | dibaca: 436 kali

SAMARINDA – Polresta Samarinda tampaknya harus bekerja keras merampungkan
penyidikan perkara kecelakaan lalu lintas (lakalantas), yang melibatkan pejabat
Pemkot Samarinda sebagai tersangka. Kasi Tindak Pidana Umum (Pidum) Kejari
Samarinda Tommy Adiyaksa Putra membenarkan, berkas perkara tersebut pernah
diserahkan
penyidik
ke
kejaksaan.
Namun, pihaknya mengembalikan berkas tersebut karena pada sangkaan penyidik
terdapat pasal ambigu. Hal tersebut terkait penerapan UU Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Pasal 273 ayat 1 sampai 4. Pada ayat
1 dijelaskan, setiap penyelenggara jalan yang tidak dengan segera dan patut
memperbaiki jalan rusak hingga mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat 1, akan dipidana dengan penjara maksimal 6 bulan
atau
denda
paling
banyak
Rp
12
juta.
“Nah, kata penyelenggara itu belum jelas arahnya ke mana. Siapa yang dimaksu

Kategori JalanPenyelenggaraan jalan adalah pihak yang melakukan
peraturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan sesuai dengan
kewenangannya.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

ANALISIS ISI LIRIK LAGU-LAGU BIP DALAM ALBUM TURUN DARI LANGIT

22 212 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26