Karakterisasi Simplisia dan Isolasi Minyak Atsiri dari Daun Salam Koja (Murraya koenigii L. Spreng) Segar dan Kering serta Analisis Komponennya Secara GC-MS

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Salam koja (Murraya koenigii) merupakan tanaman yang berasal dari keluarga jeruk jerukan (Rutaceae), daunnya sering digunakan sebagai rempah -rempah masakan khas India dan Srilanka. Di Indonesia daun salam koja dikenal sebagai rempah masakan khas Sumatera terutama Aceh (Anonima, 2013; Anonimb, 2013).

Salam koja ditemukan pertama kali di wilayah Uttar Pradesh, India dan sekarang tersebar luas disemua bagian India. Tanaman ini kemudian juga dibudidayakan di Srilanka, China, Australia, benua Pasifik dan juga didistribusikan ke negara-negara Asia Selatan (Dikui, 2009).

2.1.1 Morfologi tumbuhan

Salam koja merupakan tumbuhan perdu atau pohon kecil dengan tinggi + 0,8 - 4 meter dan diameter batang maksimal + 40 cm. Daunnya berbentuk menyirip, berukuran lebih kecil dan berwarna hijau tua mengkilap. Bunganya putih kecil, berkelompok dan memiliki bau yang harum dengan buah berbentuk bulir berwarna ungu atau kehitaman (Anonimb, 2013; Anonimc, 1995).

2.1.2 Sistematika tumbuhan

Menurut Sihotang (2013) dan LIPI (2013) sistematika tumbuhan salam koja adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae


(2)

Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Rutales

Familia : Rutaceae Genus : Murraya

Spesies : Murraya koenigii (L.) Spreng 2.1.3 Nama lain

Kari, temuru, garupillai (Anonima, 2013; Anonimc,1995). 2.1.4 Nama asing

Curry (English) (Anonimb, 2013). 2.1.5 Kandungan kimia

Daun salam koja mengandung 0,12% minyak atsiri. Kandungan minyak atsiri yang utama pada daun kari yaitu caryophyllen dan α-humulen. Selain itu, komponen lain yang terkandung dalam minyak atsiri daun salam koja adalah linalool, β-selinen, β-elemen, cubenol, phytol, α-selinen, β-terpineol, α-kopaen, aromadendrene, naphthalene, δ-cadinen, dan sphatulenol (Nagappan, et al., 2012).

2.2 Minyak Atsiri

Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak ini disebut juga minyak menguap (volatile oil), minyak eteris (ethereal oil), dan minyak esensial (essential oil) karena pada suhu biasa (suhu kamar) mudah menguap di udara terbuka. Istilah esensial dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya. Minyak atsiri dalam keadaan segar dan murni umumnya tidak berwarna, namun pada penyimpanan lama warnanya berubah


(3)

menjadi lebih gelap karena oksidasi. Untuk mencegahnya, minyak atsiri harus terlindung dari pengaruh cahaya, diisi penuh, ditutup rapat serta disimpan di tempat yang kering dan gelap (Gunawan dan Mulyani, 2004).

Kegunaan minyak atsiri sangat luas dan spesifik, khususnya dalam berbagai bidang industri. Contohnya, dalam industri kosmetik (sabun, pasta gigi, sampo); dalam industri makanan digunakan sebagai bahan penyedap dan penambah cita rasa; dalam industri parfum sebagai pewangi; dalam industri farmasi atau obat-obatan (antinyeri, antiinfeksi, pembunuh bakteri, dan antikanker) (Lutony dan Rahmayati, 1994).

2.2.1 Keberadaan minyak atsiri pada tumbuhan

Minyak atsiri dalam tumbuhan terdapat dalam berbagai jaringan, seperti di dalam rambut kelenjar (pada suku Labiatae), di dalam sel - sel parenkim (pada suku Zingiberaceae dan Piperaceae), di dalam rongga - rongga skizogen dan lisigen (pada suku Myrtaceae, Pinaceae dan Rutaceae), di dalam saluran minyak (pada suku Umbelliferae) dan terkandung di dalam semua jaringan (pada suku Coniferae) (Gunawan dan Mulyani, 2004).

2.2.2 Komposisi kimia minyak atsiri

Pada umumnya, perbedaan komposisi minyak atsiri disebabkan perbedaan jenis tanaman penghasil, kondisi iklim, tanah tempat tumbuh, umur panen, metode ekstraksi yang digunakan dan cara penyimpanan minyak (Ketaren, 1985).

Minyak atsiri sebagian besar terdiri dari senyawa terpena, yaitu senyawa yang strukturnya terdiri dari satuan - satuan isoprene. Satuan isoprene ini saling bergabung membentuk rantai yang lebih panjang dengan cara menggandeng kepala ke ekor (Ketaren, 1985).


(4)

Minyak atsiri biasanya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia yang terbentuk dari unsur Karbon (C), Hidrogen (H) dan Oksigen (O). Komponen kimia minyak atsiri pada umumnya dibagi menjadi dua golongan yaitu:

a. Golongan Hidrokarbon (Terpen)

Persenyawaan yang termasuk golongan ini terbentuk dari unsur Karbon (C) dan Hidrogen (H). Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam minyak atsiri sebagian besar terdiri dari monoterpen (2 unit isopren) dan sesquiterpen (3 unit isopren) yang titik didihnya berbeda, titik didih monoterpen sebesar 140oC - 180oC dan sesquiterpen > 200oC (Harborne, 1987; Ketaren, 1985).

b. Golongan Hidrokarbon Teroksigenasi (Terpenoid)

Komponen kimia dari golongan persenyawaan ini terbentuk dari unsur Karbon(C), Hidrogen (H) dan Oksigen (O). Persenyawaan yang termasuk dalam golongan ini adalah persenyawaan alkohol, aldehid, keton, ester, eter dan peroksid. Ikatan karbon yang terdapat dalam molekulnya dapat terdiri dari ikatan tunggal, ikatan rangkap dua dan ikatan rangkap tiga. Golongan hidrokarbon teroksigenasi merupakan senyawa yang penting dalam minyak atsiri karena umumnya mempunyai aroma yang lebih wangi (Ketaren, 1985).

Berdasarkan biosintesis, maka komponen-komponen minyak atsiri dapat dibagi sebagai berikut :

1. Turunan terpenoid yang terbentuk melalui jalur asam asetat mevalonat

2. Turunan fenil propanoid yang merupakan senyawaa aromatik, terbentuk melalui jalur biosintesis asam sikamat (Gunawan dan Mulyani, 2004).


(5)

2.3 Sifat Fisikokimia Minyak Atsiri 2.3.1 Sifat fisika minyak atsiri

Minyak atsiri mempunyai konstituen kimia yang berbeda, tetapi dari segi fisikanya banyak yang sama. Minyak atsiri yang baru diektraksi umumnya tidak berwarna atau berwarna kekuningan. Sifat - sifat fisika minyak atsiri, yaitu: 1) mempunyai indeks bias yang tinggi, 2) bersifat optis aktif dan 3) mempunyai sudut putar optik (optical rotation) yang spesifik. Parameter yang dapat digunakan untuk tetapan fisika minyak atsitri antara lain:

a. Berat jenis

Nilai berat jenis (densitas) minyak atsiri merupakan perbandingan antara berat minyak dengan berat air pada volume air yang sama dengan volume minyak. Berat jenis sering dihubungkan dengan berat komponen yang terkandung didalamnya. Semakin besar berat komponen terkandung dalam minyak, semakin besar pula nilai densitasnya. Berat jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu dan kemurnian minyak atsiri (Armando, 2009).

b. Indeks bias

Indeks bias suatu zat adalah perbandingan kecepatan cahaya dalam udara dan kecepatan cahaya dalam zat tersebut. Refraktometer adalah alat yang cepat dan tepat untuk menetapkan nilai indeks bias. Refraktometer Abbe dengan kisaran 1,3 - 1,7 digunakan untuk analisis minyak atsiri dan ketepatan alat ini cukup untuk keperluan praktis. Pembacaan dapat dilakukan tanpa menggunakan table konversi, minyak yang digunakan 1 - 2 tetes. Indeks bias berguna untuk identifikasi suatu zat dan deteksi ketidakmurnian (Guenther, 1947).


(6)

c. Putaran optik

Setiap jenis minyak atsiri mempunyai kemampuan memutar bidang polarisasi cahaya ke arah kiri atau kanan. Besarnya pemutaran bidang polarisasi ditentukan oleh jenis minyak atsiri, suhu dan panjang gelombang cahaya yang digunakan. Sifat optis aktif suatu minyak ditentukan dengan polarimeter, dan nilainya dinyatakan dalam derajat rotasi (Guenther, 1947).

2.3.2 Sifat kimia minyak atsiri

Perubahan sifat kimia minyak atsiri merupakan ciri dari adanya kerusakan minyak. Perubahan dapat terjadi selama penyimpanan dan biasanya disebabkan oleh terjadinya oksidasi, hidrolisis dan resinifikasi, karena peristiwa tersebut maka minyak atsiri akan berubah warna menjadi lebih gelap dan lebih kental. Proses - proses tersebut diaktifkan oleh panas, oksigen, lembab, dan sinar matahari. Oleh karena itu minyak atsiri sebaiknya disimpan dalam wadah yang benar - benar kering dan bebas dari cahaya agar proses – proses tersebut dapat diperlambat (Koensoemardiyah, 2010).

2.4 Isolasi Minyak Atsiri

Isolasi minyak atsiri dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1) penyulingan (distillation), 2) pengepresan (pressing), 3) ekstraksi dengan pelarut menguap (solvent extraction), 4) ekstraksi dengan lemak padat dan 5) ecuelle. 2.4.1 Metode penyulingan

Penyulingan adalah salah satu metode untuk memisahkan komponen -komponen suatu campuran dari dua jenis campuran atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut. Metode penyulingan minyak atsiri yang sering dilakukan antara lain:


(7)

a. Penyulingan dengan air (water distillation)

Pada metode ini, bahan tumbuhan dimasukkan dalam wadah yang berisi air, selanjutnya direbus sampai uap air dan minyaknya mengalir dan didinginkan melalui pipa dalam kondensor. Air dan minyak yang keluar dari kondensor ditampung dalam labu pemisah (Yuliani dan Satuhu, 2012).

b. Penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation)

Bahan tumbuhan yang akan disuling dengan metode penyulingan air dan uap ditempatkan dalam suatu tempat yang bagian bawah dan tengah berlubang- lubang yang ditopang diatas dasar alat penyulingan. Ketel diisi dengan air sampai permukaan air berada tidak jauh di bawah saringan, uap air akan naik bersama minyak atsiri kemudian dialirkan melalui pendingin. Hasil sulingannya adalah minyak atsiri yang belum murni (Guenther, 1947).

c. Penyulingan dengan uap (steam distillation)

Pada metode ini, wadah dan tangki air sebagai sumber uap panas (boiler) diletakkan terpisah, didalam boiler terdapat pipa yang berhubungan dengan wadah. Air dari boiler akan mendidih, lalu uapnya mengalir ke wadah yang berisi bahan tumbuhan. Uap akan menembus sel - sel tumbuhan dan membawa uap minyak atsiri yang selanjutnya akan mengalir melalui kondensor. Uap minyak atsiri akan mengembun menjadi cairan dan ditampung pada labu pemisah (Guenther, 1947; Yuliani dan Satuhu, 2012).

2.4.2 Metode pengepresan

Ekstraksi minyak atsiri dengan cara pengepresan umumnya dilakukan terhadap bahan berupa biji, buah, atau kulit buah yang memiliki kandungan minyak atsiri yang cukup tinggi. Akibat tekanan pengepresan, maka sel - sel yang


(8)

mengandung minyak atsiri akan pecah dan minyak atsiri akan mengalir ke permukaan bahan (Ketaren, 1985).

2.4.3 Ekstraksi dengan pelarut menguap

Prinsipnya adalah melarutkan minyak atsiri dalam pelarut organik yang mudah menguap. Metode ini digunakan untuk mengambil minyak bunga yang kurang stabil dan dapat dirusak oleh panas uap air. Dengan menggunakan pelarut yang mudah menguap seperti kloroform, eter, aseton, alkohol, petroleum eter. Pada ekstraksi ini, bahan pelarut dialirkan secara berkesinambungan melalui serangkaian penampan yang diisi bahan tumbuhan, sampai ekstraksi selesai. Cairan ekstrak yang mengandung bahan pelarut dan unsur - unsur tumbuhan itu disalurkan ke tabung hampa udara yang dipanaskan pada suhu sekedar untuk menguapkan pelarut. Uap pelarut dialirkan ke kondensor untuk dicairkan kembali, sedangkan unsur - unsur tumbuhan tertinggal dalam tabung hampa tersebut (Guenther, 1947).

2.4.4 Ekstraksi dengan lemak padat

Proses ini umumnya digunakan untuk mengekstraksi bunga - bungaan, untuk mendapatkan mutu dan rendeman minyak atsiri yang tinggi. Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

a. Ekstraksi dengan lemak tanpa pemanasan (Enfleurage)

Cara ini menggunakan media lemak padat. Metode ini digunakan karena diketahui beberapa jenis bunga yang telah dipetik, enzimnya masih menunjukkan kegiatan dalam menghasilkan minyak atsiri sampai beberapa hari/minggu, seperti bunga melati, sehingga perlu perlakuan yang tidak merusak enzim tersebut secara langsung. Caranya dengan menaburkan bunga


(9)

diatas media lilin dan dieramkan sampai beberapa hari/minggu, selanjutnya lemak padat dikerok (dikenal dengan pomade) dan diekstraksi menggunakan etanol (Gunawan dan Mulyani, 2004).

b. Ekstraksi dengan lemak panas (Maceration)

Cara ini dilakukan terhadap bahan tumbuhan yang bila dilakukan penyulingan atau enfleurasi akan menghasilkan minyak atsiri dengan rendeman yang rendah. Pada cara ini absorbsi minyak atsiri oleh lemak dalam keadaan panas pada suhu 80oC selama 1,5 jam. Selesai pemanasan, campuran disaring panas-panas, jika perlu kelebihan lemak pada ampas disiram dengan air panas. Kemudian dilakukan penyulingan untuk memperoleh minyak atsiri (Ketaren, 1985).

2.4.5. Ecuelle

Metode ini digunakan untuk mengisolasi minyak atsiri yang terdapat pada buah - buahan seperti jeruk dengan cara menembus lapisan epidermis sampai ke dalam jaringan yang mengandung minyak atsiri. Metode mengeluarkan minyak jeruk dengan menusuk kelenjar minyak dan menggelindingkan buah pada wadah yang memiliki tonjolan tajam yang berjejer. Tonjolan tersebut cukup panjang untuk menembus epidermis. Tetes minyak yang jatuh pada wadah kemudian dikumpulkan (Tyler et al., 1977).

2.5 Analisis Komponen Minyak Atsiri dengan GC-MS

Analisis dan karakterisasi komponen minyak atsiri merupakan masalah yang cukup rumit, ditambah dengan sifatnya yang mudah menguap pada suhu kamar sehingga perlu diseleksi metode yang akan diterapkan untuk menganalisis


(10)

minyak atsiri. Sejak ditemukannya kromatografi gas (GC), kendala dalam analisis komponen minyak atsiri ini mulai dapat diatasi walaupun terbatas hanya pada analisis kualitatif dan penentuan kuantitatif komponen penyusun minyak atsiri saja. Pada penggunaan GC, efek penguapan dapat dihindari bahkan dihilangkan sama sekali. Perkembangan teknologi instrumentasi yang sangat pesat akhirnya dapat melahirkan suatu alat yang merupakan gabungan dua sistem dengan prinsip dasar yang berbeda satu sama lain tetapi dapat saling menguntungkan dan saling melengkapi, yaitu gabungan antara kromatografi gas dan spektrometri massa (GC-MS). Pada alat GC-MS, kedua alat dihubungkan dengan suatu interfase. Kromatografi gas disini berfungsi sebagai alat pemisah berbagai komponen campuran dalam sampel sedangkan spektrometer massa berfungsi untuk mendeteksi masing-masing molekul komponen yang telah dipisahkan pada kromatografi gas (Agusta, 2000).

2.5.1 Kromatografi gas

Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang mana solut - solut yang mudah menguap dan stabil terhadap panas bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio distribusinya. Pada umumnya solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus antara solut dan fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor. Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya kisaran 50ºC - 350ºC) bertujuan untuk menjamin bahwa solute akan menguap dan karenanya akan cepat terelusi (Gandjar dan Rohman, 2007).


(11)

Komponen campuran dapat diidentifikasi dengan menggunakan waktu tambat (waktu retensi) yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu tambat ialah waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom yang diukur mulai saat penyuntikan sampel sampai saat elusi terjadi (dihasilkan puncak) (Gritter, dkk., 1985). Bagian utama dari kromatografi gas adalah gas pembawa, sistem injeksi, kolom, fase diam, suhu dan detektor.

2.5.1.1 Gas pembawa

Pemilihan gas pembawa tergantung pada detektor yang dipakai. Syarat gas pembawa antara lain inert, murni dan dapat disimpan dalam tangki tekanan tinggi. Gas pembawa yang sering dipakai adalah Helium (He), Argon (Ar), Nitrogen (N2), Hidrogen (H2) dan Karbon dioksida (CO2). Helium merupakan tipe gas pembawa yang sering digunakan karena memberikan efisiensi kromatografi yang lebih baik (mengurangi pelebaran pita) (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.5.1.2 Sistem injeksi

Cuplikan dimasukkan ke dalam ruang suntik melalui gerbang suntik (injection port), biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau karet pemisah (rubber septum). Ruang suntik harus dipanaskan tersendiri, terpisah dari kolom dan biasanya pada suhu 10 - 15ºC lebih tinggi dari suhu kolom. Jadi seluruh cuplikan diuapkan segera setelah disuntikkan dan dibawa ke kolom (Gritter, dkk., 1985).

2.5.1.3 Kolom

Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena didalamnya terdapat fase diam (Gandjar dan Rohman, 2007). Kolom dapat dibuat dari tembaga, baja nirkarat (stainless steel), aluminium dan kaca yang berbentuk


(12)

lurus, lengkung, melingkar. Ada dua macam kolom, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler (Agusta, 2000; McNair dan Bonelli, 1988).

Kolom kemas terdiri dari fase cair (sekurang-kurangnya pada suhu kromatografi) yang tersebar pada permukaan penyangga yang lembab (inert) yang terdapat dalam tabung yang relatif besar (diameter dalam 1 - 3 mm). Jenis kolom ini terbuat dari gelas atau logam yang tahan karat atau dari tembaga dan aluminium. Efisiensi kolom akan meningkat dengan semakin bertambah halusnya partikel fase diam. Semakin kecil diameter partikel fase diam, maka efisiensinya akan meningkat. Ukuran partikel fase diam biasanya berkisar antara 60-80 mesh (Gandjar dan Rohman, 2007).

Kolom kapiler berbeda dengan kolom kemas, dalam hal adanya rongga pada bagian dalam kolom yang menyerupai pipa (tube) dengan ukuran 0,02 - 0,2 mm. Kolom kapiler kini lebih banyak digunakan untuk menganalisis komponen minyak atsiri. Hal ini disebabkan oleh keunggulan kolom tersebut yang memberikan hasil analisis dengan daya pisah yang tinggi dan sekaligus memiliki sensitivitas yang tinggi. Keuntungan kolom kapiler adalah jumlah sampel yang dibutuhkan sedikit dan pemisahan lebih sempurna (Agusta, 2000; Gandjar dan Rohman, 2007).

2.5.1.4 Fase diam

Fase diam dibedakan berdasarkan kepolarannya, yaitu nonpolar, sedikit polar, semipolar, polar dan sangat polar. Berdasarkan kepolaran minyak atsiri yang nonpolar sampai sedikit polar, maka untuk keperluan analisis sebaiknya digunakan kolom fase diam yang bersifat sedikit polar, misalnya SE-52 dan SE-54 (Agusta, 2000).


(13)

2.5.1.5 Suhu a. Suhu injektor

Suhu pada injektor harus cukup panas untuk menguapkan cuplikan sedemikian cepat, tetapi sebaliknya suhu harus cukup rendah untuk mencegah peruraian atau penataan ulang akibat panas (Gandjar dan Rohman, 2007). b. Suhu kolom

Pemisahan dapat dilakukan pada suhu tetap (isotermal) atau pada suhu yang berubah secara terkendali (suhu diprogram, temperature programming). GC isotermal paling banyak dilakukan pada analisis rutin atau jika kita mengetahui agak banyak mengenai sifat sampel yang akan dipisahkan. Pilihan awal yang baik adalah suhu beberapa derajat dibawah titik didih komponen utama sampel. Pada GC suhu diprogram, suhu dinaikkan mulai dari suhu tertentu sampai suhu tertentu lainnya dengan laju yang diketahui dan terkendali pada waktu tertentu (Gritter, dkk., 1985).

c. Suhu detektor

Detektor harus cukup panas sehingga cuplikan/fase diam tidak mengembun dan juga untuk mencegah pengembunan air atau hasil samping yang terbentuk pada proses pengionan (McNair dan Bonelli, 1988).

2.5.1.6 Detektor

Detektor yang populer yaitu detektor hantar-termal (thermal conductivity

detector) dan detektor pengion nyala (flame ionization detector) (McNair dan

Bonelli,1988).

a. Detektor hantar-termal (Thermal Conductivity Detector, TCD)


(14)

dialiri arus listrik yang tetap. Gas pembawa mengalir terus menerus melewati kawat pijar yang panas itu dan suhu dibuat dengan laju tetap. Bila molekul cuplikan yang bercampur dengan gas pembawa melewati kawat pijar meningkat, terjadi perubahan tahanan yang diukur dengan jembatan Wheatstone dan sinyalnya ditangkap oleh perekam dan tampak sebagai suatu puncak. Prinsip kerjanya didasarkan pada kemampuan suatu gas menghantar panas dari kawat pijar dan merupakan fungsi bobot molekul gas tersebut (McNair dan Bonelli,1988).

b. Detektor pengion nyala (Flame Ionization Detector, FID)

Hidrogen dan udara digunakan untuk menghasilkan nyala. Suatu elektroda pengumpul yang bertegangan arus searah ditempatkan diatas nyala dan mengukur hantaran nyala. Dengan hidrogen murni, hantaran sangat rendah, tetapi ketika senyawa organik dibakar, hantaran naik dan arus yang mengalir dapat diperkuat ke perekam (McNair dan Bonelli,1988).

2.5.2 Spektrometri massa (MS)

Spektrometri massa (MS) ialah molekul senyawa organik (sampel) ditembak dengan elektron berenergi tinggi dan salah satu elektron valensinya akan lepas. Hasilnya adalah suatu radikal ion (suatu spesi dengan satu elektron tak berpasangan) dan ion bermuatan +1. Spektrum massa merupakan grafik antara limpahan relatif ion lawan perbandingan massa dan muatan (m/z, m/e). Suatu spektrometer massa bekerja dengan membangkitkan molekul-molekul bermuatan atau fragmen-fragmen molekul baik dalam keadaan sangat hampa atau segera sebelum sampel memasuki ruang sangat hampa (Watson, 2005; Supratman, 2010). Molekul senyawa organik pada spektrometer massa, ditembak dengan berkas elektron dan menghasilkan ion bermuatan positif yang mempunyai energi


(15)

yang tinggi karena lepasnya elektron dari molekul yang dapat pecah menjadi ion yang lebih kecil (Sastrohamidjojo, 2004).

Spektrum massa hasil analisis sistem spektroskopi massa merupakan gambaran mengenai jenis dan jumlah fragmen molekul yang terbentuk dari suatu komponen kimia (masing - masing puncak pada kromatogram). Setiap fragmen yang terbentuk dari pemecahan suatu komponen kimia memiliki berat molekul yang berbeda dan ditampilkan dalam bentuk diagram dua dimensi, m/z (m/e, massa/muatan) pada sumbu X dan intensitas pada sumbu Y yang disebut spektrum massa. Pola pemecahan (fragmentasi) molekul yang terbentuk untuk setiap komponen kimia sangat spesifik sehingga dapat dijadikan sebagai patokan untuk menentukan struktur molekul suatu komponen kimia. Selanjutnya, spektrum massa komponen kimia yang diperoleh dari hasil analisis diidentifikasi dengan cara dibandingkan dengan spektrum massa yang terdapat dalam suatu bank data (Agusta, 2000).

Keuntungan utama spektrometri massa sebagai metode analisis yaitu metode ini lebih sensitif dan spesifik untuk identifikasi senyawa yang tidak diketahui atau untuk menetapkan keberadaan senyawa tertentu. Hal ini disebabkan adanya pola fragmentasi yang khas sehingga dapat memberikan informasi mengenai bobot molekul dan rumus molekul. Puncak ion molekul penting dikenali karena memberikan bobot molekul senyawa yang diperiksa. Puncak paling kuat (tertinggi) pada spektrum, disebut puncak dasar (base peak), dinyatakan dengan nilai 100% dan kekuatan puncak lain, termasuk puncak ion molekulnya dinyatakan sebagai persentase puncak dasar tersebut (Silverstein, 1984).


(1)

minyak atsiri. Sejak ditemukannya kromatografi gas (GC), kendala dalam analisis komponen minyak atsiri ini mulai dapat diatasi walaupun terbatas hanya pada analisis kualitatif dan penentuan kuantitatif komponen penyusun minyak atsiri saja. Pada penggunaan GC, efek penguapan dapat dihindari bahkan dihilangkan sama sekali. Perkembangan teknologi instrumentasi yang sangat pesat akhirnya dapat melahirkan suatu alat yang merupakan gabungan dua sistem dengan prinsip dasar yang berbeda satu sama lain tetapi dapat saling menguntungkan dan saling melengkapi, yaitu gabungan antara kromatografi gas dan spektrometri massa (GC-MS). Pada alat GC-MS, kedua alat dihubungkan dengan suatu interfase. Kromatografi gas disini berfungsi sebagai alat pemisah berbagai komponen campuran dalam sampel sedangkan spektrometer massa berfungsi untuk mendeteksi masing-masing molekul komponen yang telah dipisahkan pada kromatografi gas (Agusta, 2000).

2.5.1 Kromatografi gas

Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang mana solut - solut yang mudah menguap dan stabil terhadap panas bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio distribusinya. Pada umumnya solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus antara solut dan fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor. Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya kisaran 50ºC - 350ºC) bertujuan untuk menjamin bahwa solute akan menguap dan karenanya akan cepat terelusi (Gandjar dan Rohman, 2007).


(2)

Komponen campuran dapat diidentifikasi dengan menggunakan waktu tambat (waktu retensi) yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu tambat ialah waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom yang diukur mulai saat penyuntikan sampel sampai saat elusi terjadi (dihasilkan puncak) (Gritter, dkk., 1985). Bagian utama dari kromatografi gas adalah gas pembawa, sistem injeksi, kolom, fase diam, suhu dan detektor.

2.5.1.1 Gas pembawa

Pemilihan gas pembawa tergantung pada detektor yang dipakai. Syarat gas pembawa antara lain inert, murni dan dapat disimpan dalam tangki tekanan tinggi. Gas pembawa yang sering dipakai adalah Helium (He), Argon (Ar), Nitrogen (N2), Hidrogen (H2) dan Karbon dioksida (CO2). Helium merupakan tipe gas pembawa yang sering digunakan karena memberikan efisiensi kromatografi yang lebih baik (mengurangi pelebaran pita) (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.5.1.2 Sistem injeksi

Cuplikan dimasukkan ke dalam ruang suntik melalui gerbang suntik (injection port), biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau karet pemisah (rubber septum). Ruang suntik harus dipanaskan tersendiri, terpisah dari kolom dan biasanya pada suhu 10 - 15ºC lebih tinggi dari suhu kolom. Jadi seluruh cuplikan diuapkan segera setelah disuntikkan dan dibawa ke kolom (Gritter, dkk., 1985).

2.5.1.3 Kolom

Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena didalamnya terdapat fase diam (Gandjar dan Rohman, 2007). Kolom dapat dibuat dari tembaga, baja nirkarat (stainless steel), aluminium dan kaca yang berbentuk


(3)

lurus, lengkung, melingkar. Ada dua macam kolom, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler (Agusta, 2000; McNair dan Bonelli, 1988).

Kolom kemas terdiri dari fase cair (sekurang-kurangnya pada suhu kromatografi) yang tersebar pada permukaan penyangga yang lembab (inert) yang terdapat dalam tabung yang relatif besar (diameter dalam 1 - 3 mm). Jenis kolom ini terbuat dari gelas atau logam yang tahan karat atau dari tembaga dan aluminium. Efisiensi kolom akan meningkat dengan semakin bertambah halusnya partikel fase diam. Semakin kecil diameter partikel fase diam, maka efisiensinya akan meningkat. Ukuran partikel fase diam biasanya berkisar antara 60-80 mesh (Gandjar dan Rohman, 2007).

Kolom kapiler berbeda dengan kolom kemas, dalam hal adanya rongga pada bagian dalam kolom yang menyerupai pipa (tube) dengan ukuran 0,02 - 0,2 mm. Kolom kapiler kini lebih banyak digunakan untuk menganalisis komponen minyak atsiri. Hal ini disebabkan oleh keunggulan kolom tersebut yang memberikan hasil analisis dengan daya pisah yang tinggi dan sekaligus memiliki sensitivitas yang tinggi. Keuntungan kolom kapiler adalah jumlah sampel yang dibutuhkan sedikit dan pemisahan lebih sempurna (Agusta, 2000; Gandjar dan Rohman, 2007).

2.5.1.4 Fase diam

Fase diam dibedakan berdasarkan kepolarannya, yaitu nonpolar, sedikit polar, semipolar, polar dan sangat polar. Berdasarkan kepolaran minyak atsiri yang nonpolar sampai sedikit polar, maka untuk keperluan analisis sebaiknya digunakan kolom fase diam yang bersifat sedikit polar, misalnya SE-52 dan SE-54 (Agusta, 2000).


(4)

2.5.1.5 Suhu a. Suhu injektor

Suhu pada injektor harus cukup panas untuk menguapkan cuplikan sedemikian cepat, tetapi sebaliknya suhu harus cukup rendah untuk mencegah peruraian atau penataan ulang akibat panas (Gandjar dan Rohman, 2007). b. Suhu kolom

Pemisahan dapat dilakukan pada suhu tetap (isotermal) atau pada suhu yang berubah secara terkendali (suhu diprogram, temperature programming). GC isotermal paling banyak dilakukan pada analisis rutin atau jika kita mengetahui agak banyak mengenai sifat sampel yang akan dipisahkan. Pilihan awal yang baik adalah suhu beberapa derajat dibawah titik didih komponen utama sampel. Pada GC suhu diprogram, suhu dinaikkan mulai dari suhu tertentu sampai suhu tertentu lainnya dengan laju yang diketahui dan terkendali pada waktu tertentu (Gritter, dkk., 1985).

c. Suhu detektor

Detektor harus cukup panas sehingga cuplikan/fase diam tidak mengembun dan juga untuk mencegah pengembunan air atau hasil samping yang terbentuk pada proses pengionan (McNair dan Bonelli, 1988).

2.5.1.6 Detektor

Detektor yang populer yaitu detektor hantar-termal (thermal conductivity detector) dan detektor pengion nyala (flame ionization detector) (McNair dan Bonelli,1988).

a. Detektor hantar-termal (Thermal Conductivity Detector, TCD)


(5)

dialiri arus listrik yang tetap. Gas pembawa mengalir terus menerus melewati kawat pijar yang panas itu dan suhu dibuat dengan laju tetap. Bila molekul cuplikan yang bercampur dengan gas pembawa melewati kawat pijar meningkat, terjadi perubahan tahanan yang diukur dengan jembatan Wheatstone dan sinyalnya ditangkap oleh perekam dan tampak sebagai suatu puncak. Prinsip kerjanya didasarkan pada kemampuan suatu gas menghantar panas dari kawat pijar dan merupakan fungsi bobot molekul gas tersebut (McNair dan Bonelli,1988).

b. Detektor pengion nyala (Flame Ionization Detector, FID)

Hidrogen dan udara digunakan untuk menghasilkan nyala. Suatu elektroda pengumpul yang bertegangan arus searah ditempatkan diatas nyala dan mengukur hantaran nyala. Dengan hidrogen murni, hantaran sangat rendah, tetapi ketika senyawa organik dibakar, hantaran naik dan arus yang mengalir dapat diperkuat ke perekam (McNair dan Bonelli,1988).

2.5.2 Spektrometri massa (MS)

Spektrometri massa (MS) ialah molekul senyawa organik (sampel) ditembak dengan elektron berenergi tinggi dan salah satu elektron valensinya akan lepas. Hasilnya adalah suatu radikal ion (suatu spesi dengan satu elektron tak berpasangan) dan ion bermuatan +1. Spektrum massa merupakan grafik antara limpahan relatif ion lawan perbandingan massa dan muatan (m/z, m/e). Suatu spektrometer massa bekerja dengan membangkitkan molekul-molekul bermuatan atau fragmen-fragmen molekul baik dalam keadaan sangat hampa atau segera sebelum sampel memasuki ruang sangat hampa (Watson, 2005; Supratman, 2010). Molekul senyawa organik pada spektrometer massa, ditembak dengan berkas elektron dan menghasilkan ion bermuatan positif yang mempunyai energi


(6)

yang tinggi karena lepasnya elektron dari molekul yang dapat pecah menjadi ion yang lebih kecil (Sastrohamidjojo, 2004).

Spektrum massa hasil analisis sistem spektroskopi massa merupakan gambaran mengenai jenis dan jumlah fragmen molekul yang terbentuk dari suatu komponen kimia (masing - masing puncak pada kromatogram). Setiap fragmen yang terbentuk dari pemecahan suatu komponen kimia memiliki berat molekul yang berbeda dan ditampilkan dalam bentuk diagram dua dimensi, m/z (m/e, massa/muatan) pada sumbu X dan intensitas pada sumbu Y yang disebut spektrum massa. Pola pemecahan (fragmentasi) molekul yang terbentuk untuk setiap komponen kimia sangat spesifik sehingga dapat dijadikan sebagai patokan untuk menentukan struktur molekul suatu komponen kimia. Selanjutnya, spektrum massa komponen kimia yang diperoleh dari hasil analisis diidentifikasi dengan cara dibandingkan dengan spektrum massa yang terdapat dalam suatu bank data (Agusta, 2000).

Keuntungan utama spektrometri massa sebagai metode analisis yaitu metode ini lebih sensitif dan spesifik untuk identifikasi senyawa yang tidak diketahui atau untuk menetapkan keberadaan senyawa tertentu. Hal ini disebabkan adanya pola fragmentasi yang khas sehingga dapat memberikan informasi mengenai bobot molekul dan rumus molekul. Puncak ion molekul penting dikenali karena memberikan bobot molekul senyawa yang diperiksa. Puncak paling kuat (tertinggi) pada spektrum, disebut puncak dasar (base peak), dinyatakan dengan nilai 100% dan kekuatan puncak lain, termasuk puncak ion molekulnya dinyatakan sebagai persentase puncak dasar tersebut (Silverstein, 1984).


Dokumen yang terkait

Isolasi Dan Analisis Komponen Minyak Atsiri Dari Rimpang Temu Kunci (Boesenbergia ROTUNDA (L.) Mansf.) Segar Dan Kering Secara Gc-Ms

13 65 107

Isolasi Minyak Atsiri dari Sereh Merah (Andropogon citratus DC.) Segar dan Kering Serta Analisis Komponen Secara GC-MS

5 68 93

Karakterisasi Simplisia, Isolasi, Dan Analisis Komponen Minyak Atsiri Buah Segar Dan Kering Tumbuhan Attarasa (Litsea cubeba Pers.) Secara GC-MS

15 107 92

Karakterisasi Simplisia dan Isolasi Minyak Atsiri dari Daun Salam Koja (Murraya koenigii L. Spreng) Segar dan Kering serta Analisis Komponennya Secara GC-MS

12 85 101

Karakterisasi Simplisia Dan Isolasi Minyak Atsiri Dari Kulit Buah Jeruk Jingga (Citrus x Jambhiri Lush) Segar Dan Kering Serta Analisis Komponennya Secara GC-MS

0 29 98

Karakterisasi Simplisia dan Isolasi Minyak Atsiri dari Daun Salam Koja (Murraya koenigii L. Spreng) Segar dan Kering serta Analisis Komponennya Secara GC-MS

0 1 3

Karakterisasi Simplisia dan Isolasi Minyak Atsiri dari Daun Salam Koja (Murraya koenigii L. Spreng) Segar dan Kering serta Analisis Komponennya Secara GC-MS

0 2 19

Karakterisasi Simplisia dan Isolasi Minyak Atsiri dari Daun Salam Koja (Murraya koenigii L. Spreng) Segar dan Kering serta Analisis Komponennya Secara GC-MS

0 1 15

Karakterisasi Simplisia dan Isolasi Minyak Atsiri dari Daun Salam Koja (Murraya koenigii L. Spreng) Segar dan Kering serta Analisis Komponennya Secara GC-MS

1 1 2

Karakterisasi Simplisia dan Isolasi Minyak Atsiri dari Daun Salam Koja (Murraya koenigii L. Spreng) Segar dan Kering serta Analisis Komponennya Secara GC-MS

0 0 4