Keterlibatan Indonesia di UNIFIL dan Kom
Keterlibatan Indonesia di UNIFIL dan Komitmen Indonesia melalui Peta Jalan 4,000 Pasukan Pemeliharaan Perdamaian 2015-2019
Rany Purnama Hadi, S.IP Universitas Airlangga [email protected]
Abstract
UNIFIL is the recent peacekeeping operations that become one of the main peacekeeping missions conducted by Indonesia. Garuda contingents serving in UNIFIL might be considered as the longest and the largest peacekeeping service that was ever performed by Indonesia military forces. Indonesia Government started to deploy its peacekeeping personnel to UNIFIL in September 2006 under the command of Garuda Contingents XIIA, as a response to UN’s request for military personnel and equipment, to help secure the ceasefire and provide humanitarian supplies. Since then, Indonesia keeps improving the consignment of Indonesian peacekeepers in UNIFIL. In 2015, the number of Indonesian contingents in UNIFIL has reached 1,290 troops which are the largest personnel group in Lebanon. Until today, Indonesia contingents have been serving in Lebanon for about 10 years long. Every year, the government always tried to evolve its contribution by adding more personnel and equipments in UNIFIL. And under the recent President of Joko Widodo, Indonesian government has an ambition to improve Indonesia role in maintaining international peace and security through Roadmap Vision of 4,000 Peacekeepers 2015-2019. This Roadmap visions has proved Indonesian vigor commitment to actively participate in world peace mission and as its national interest to reach the top-ten of UN contributors of peacekeeping operations.
Keywords: UNIFIL, Indonesian Peacekeeper, Peacekeeping Operations. Garuda Contingents, International Peace and Security.
I. Pendahuluan
Pada tahun 1948, Dewan Keamanan PBB memberikan otorisasi untuk penurunan pasukan militer PBB ke kawasan Timur Tengah, sebagai bentuk respon terhadap konflik yang terjadi antara pihak Israel dan Mesir. Penurunan pasukan militer tersebut dilandasi oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB 50 1948 kemudian dikenal dengan United Nations Truce Supervision
Organization atau UNTSO. 1 Operasi perdamaian tersebutlah yang selanjutnya menjadi awal
1 Data diperoleh dari United Nations Peacekeeping, 2015. Peacekeeping Opreations: History of peacekeeping. [Online] Available at: http://www.un.org/en/peacekeeping/operations/history.shtml diakses pada 12 November 2015.
mula operasi pemeliharaan perdamaian atau peacekeeping operation yang dilakukan oleh PBB. Pada awal mulanya, operasi perdamaian yang dilakukan oleh PBB hanya terbatas pada penjagaan proses gencatan senjata dan pengawasan terhadap perjanjian damai yang dilakukan antar negara-negara yang bertikai pada masa Perang Dingin. Tujuan dari operasi pemeliharaan perdamaian ini adalah untuk membantu mengatasi konflik melalui sebuah aktivitas militer tak-
bersenjata dengan pengawasan dari pasukan militer PBB. 2 Secara garis besar, operasi perdamaian ini dapat dikatakan sebagai operasi militer yang melibatkan pasukan-pasukan dengan
persenjataan minimal, sebagai pengawas proses penyelesaian konflik atau pelaksanaan perjanjian damai antara negara-negara yang bertikai.
Selama ini, operasi pemeliharaan perdamaian dapat dikatakan tidak tercantum secara eksplisit dalam piagam PBB. Menurut Dag Hammarskjöld, Mantan Sekretaris-Jendral kedua PBB yang juga merupakan pencetus dari pembentukan pasukan pemeliharaan perdamaian, aturan dan hukum mengenai pasukan perdamaian tercantum dalam Chapter Six and Half dalam
Piagam PBB. 3 Penjelasan mengenai penentuan hukum terkait pasukan perdamaian dalam “Bab 6 setengah” tersebut dikarenakan, regulasi hukum yang mengatur operasi pasukan perdamaian
merupakan perpotongan antara Bab VI Piagam PBB mengenai negosiasi dan mediasi sebagai metode tradisional penyelesaian konflik yang juga menjadi salah satu karakter dari operasi pemeliharaan perdamaian PBB, dan Bab VII mengenai penggunaan senjata atau kekerasan untuk mengelola perdamaian dan keamanan.
Secara definisi, Perserikatan Bangsa Bangsa menjabarkan yang dimaksud dengan pemeliharaan perdamaian dapat dikategorisasikan sebagai sebuah intrumen yang unik dan dinamis, dimana tujuan dari aktivitas tersebut adalah untuk mendampingi negara yang bertikai dalam mencapai perdamaian yang berkelanjutan. Sedangkan dalam UN Civil Affairs Handbook dijelaskan bahwa pengertian pemeliharaan perdamaian dapat dilihat secara tradisional dan pada
masa setelah Perang Dingin. 4 Secara tradisional, operasi pemeliharaan perdamaian merupakan sebuah proses dimana penggunaan senjata secara minimal dilakukan oleh pasukan militer dan
2 UNDPO, 2004. The Challenges of Peacekeeping in the 21st Century. Parliamentary Hearing. New York: United
Nations United Nations Department of Peacekeeping Operations. 3 Obijaku, IO, 2011. International Peacekeeping Operation: A Breach of International Law on Sovereignty of States?
Nnamdi Azikiwe University Journal of Internaitonal Law and Jurisprudence, 2, pp.269‐79. 4 United Nations Department of Peacekeeping Operations and Department of Field Support, 2012. Civil Affaiirs
Handbook. Handbook. New York: United Nations.
dilaksanaan di antara dua negara yang sedang terlibat konflik, dimana pada saat itu gencatan senjata atau perjanjian damai sudah terbentuk. Tujuan dari operasi perdamaian secara tradisional masih terbatas pada pemeliharan gencatan senjata dan penstabilan kondisi di area konflik. Pemahaman ini selanjutnya mengalami pergeseran pasca Perang Dingin dimana akibat adanya perubahan pada dimensi konflik yang terjadi yang tidak hanya konflik antar negara melainkan juga konflik sipil, maka dimensi operasi pemeliharaan perdamaian juga berubah menjadi lebih luas dan kompleks. Operasi pemeliharaan perdamaian yang dilakukan oleh PBB tidak lagi hanya dalam bentuk pengawasan militer atas gencatan senjata, tetapi juga menjadi lebih multidimensional termasuk mengawasi proses politik, perlindungan terhadap warga sipil, mendampingi proses pelucutan senjata, reintegrasi dan demobilisasi mantan kombatan, membantu pemilihan pemerintahan, mendukung penegakan hak asasmi manusia, serta membantu pengembalian kestabilan legislatif dan hukum di negara yang dilanda konflik. Dengan demikian, operasi pemeliharaan perdamaian kemudian menjadi salah satu alat bagi PBB untuk menciptakan perdamaian dan menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia di negara-negara konflik di dunia.
Selanjutnya, tidak hanya pada aspek definisi dan mandat dalam pelaksanaan operasi pemeliharaan perdamaian, dalam aspek militer juga terdapat perubahan pada pasukan perdamaian PBB. Jika pada awalnya pasukan perdamaian PBB merupakan pasukan militer dengan persenjataan minimal atau lightly armed, di tahun 1956 PBB mulai menurunkan pasukan militer dengan persenjataan lengkap atau heavy armed pada operasi pemeliharaan perdamaian
yang dilakukan di Terusan Suez di bawah komando UN Emergency Force I atau UNEF I. 5 Sejak saat itu, PBB terus meningkatkan misi pemeliharaan perdamaian untuk membantu mengatasi
konflik di berbagai belahan dunia, seperti di Republik Dominika, West New Guinea, Yaman, dan Siprus. Meski demikian, peningkatan pada karakter pasukan perdamaian menjadi heavy armed ini tidak serta merta memberikan otoritas bagi tentara militer untuk melakukan serangan atau terlibat dalam konflik bersenjata yang terjadi di daerah konflik. Senjata yang mereka miliki hanya digunakan sebagai pertahanan diri pada serangan pemberontak atau digunakan untuk melindungi masyarakat sipil dari ancaman bersenjata, dan bukan secara langsung terlibat dalam konflik.
5 Data diperoleh dari UN Peacekeeping, 2016. Post Cold War Surge. [Online] Available at: http://www.un.org/en/peacekeeping/operations/surge.shtml yang diakses pada 25 March 2016.
Perkembangan dalam dimensi operasional pemeliharaan perdamaian PBB ini, kemudian juga diikuti dengan reformasi yang terjadi dalam struktur lembaga yang melaksanakan operasi misi pemeliharaan perdamaian PBB atau United Nations Peacekeeping Operations (UNPKO). Pasukan UNPKO yang selama ini hanya didominasi oleh peran pasukan militer, kini turut melibatkan peranan non-militer dalam organisasinya. Dewan Keamanan PBB menambahkan staf sipil tambahan dalam UNPKO seperti staf administrasi, ahli ekonomi, polisi, ahli hukum, de- miners, pengawas pemilu, pengawas HAM, ahli urusan sipil dan pemerintahan, sukarelawan kemanusiaan, dan ahli komunikasi dan informasi sebagai personel pendukung dalam anggota
pasukan pemeliharaan perdamaian disamping pasukan militer sebagai personel utama. 6 PBB juga menambah jumlah pasukan yang turun ke lapangan dari 11.000 personel menjadi 75.000
personel pada kurun waktu sejak 1989 hingga 1994. Di pertengahan tahun 1990an, pasukan pemeliharaan PBB mendapatkan kritikan dari
masyarakat internasional akibat kegagalan yang mereka alami pada tiga area konflik yakni di Srebrenica (bekas Yugoslavia), Rwanda, dan Somalia, dimana PBB dianggap tidak mampu untuk mempertahankan perjanjian damai antar negara yang berkonflik sehingga menimbulkan
banyak sekali kasus pelanggaran HAM dan korban jiwa di wilayah-wilayah tersebut. 7 Akibat dari kegagalan operasi militer tersebut, PBB terpaksa harus mengurangi dan membatasi misi
perdamaian yang mereka lakukan, disamping melakukan pembenahan terhadap kapabilitas militer mereka, untuk menghindari kesalahan yang sama pada misi perdamaian di masa mendatang. Kemudian memasuki tahun 2000, seiring dengan semakin meningkatnya intersitas konflik dan krisis yang berkepanjangan pada beberapa negara maupun kawasan di dunia, telah kembali memunculkan permintaan untuk penurunan pasukan pemeliharaan perdamaian dalam menjaga stabilitas keamanan. Di tahun tersebut, PBB melakukan sebuah panel diskusi terkait operasi pemeliharaan perdamaian, yang menghasilkan sebuah keputusan bernama the Brahimi Report. Berdasarkan keputusan tersebut Dewan Keamanan PBB melakukan reformasi personel militer mereka sebagai upaya untuk meningkatkan kapabilitas pasukan sehingga dapat secara efektif menjaga dan melaksanakan operasi perdamaian. Brahimi Report menuntut adanya pembaharuan komitmen politik negara-negara anggota PBB yang ikut serta dalam misi
6 7 Ibid.
UN Peacekeeping, 2016. Post Cold War Surge. [Online] Available at: http://www.un.org/en/peacekeeping/operations/surge.shtml [Accessed 25 March 2016].
pemeliharaan perdamaian, adanya perubahan institusional yang signifikan, serta penambahan dana militer untuk melaksanakan operasi pemeliharaan perdamaian.
Mengikuti hasil keputusan yang dihasilkan pada panel tersebut, Sektetariat PBB dan negara-negara anggota selanjutnya membentuk reformasi kebijakan dan strategi pemeliharaan perdamaian melalui beberapa kebijakan seperti Capstone Doctrine di tahun 2008 yang menjadi panduan dan prinsip dasar untuk pelaksanaan operasi pemeliharaan perdamaian di lapangan, Peace Operations tahun 2010 yang berisi reformasi strategi dalam Department of Peacekeeping Operations (DPKO), World Summit tahun 2005 sebagai dasar pembentukan Komisi Pembangunan Perdamaian/ Peacebuilding, serta High-level Panel on Threats, Challenges and Change yang mengatur kerangka collective security. Adanya reformasi telah ini menempatkan pasukan perdamaian ke dalam aktivitas yang lebih kompleks, dimana PBB dituntut untuk menurunkan pasukan yang lebih besar dan lebih mahal, membentuk dan menyusun transisi strategi untuk melakukan operasi dimana stabilitas sudah tercapai, serta tuntutan untuk mampu menyiapkan masyarakat lokal sebaik mungkin untuk menjamin terciptanya perdamaian yang
stabil dan berkelanjutan. 8 Tidak hanya itu, PBB juga melakukan perubahan pada lembaga yang mengelola pelaksanaan misi pemeliharaan perdamaian atau yang lebih dikenal dengan
Department of Peacekeeping Operations (DPKO), dengan membaginya menjadi dua lembaga sejajar melalui pendirian Department of Field Support (DFS) yang mendukung DPKO dalam pelaksanaan operasi pemeliharaan perdamaian. PBB juga membentuk peraturan dan strategi terkait implementasi dan penurunan pasukan, serta strategi dalam hal pemberian pendampingan bagi para korban kekerasan seksual dan eksploitasi yang umumnya terjadi sebagai dampak dari peperangan.
Hingga saat ini, operasi pemeliharaan perdamaian telah menjadi sebuah misi perdamaian PBB yang paling kompleks dan terus mengalami perubahan baik secara struktural maupun dalam hal mandat kebijakan. Meskipun di era pasca tahun 2000an terdapat penurunan dalam jumlah pasukan perdamaian secara global, akan tetapi pada beberapa area operasi kebutuhan akan pasukan perdamaian masih cukup tinggi. Salah satu area operasi misi pemeliharaan perdamaian yang masih menjadi prioritas utama dari PBB adalah kawasan Lebanon, yaitu wilayah dimana pasukan perdamaian PBB yang bergerak dibawah United Nations Interim Force in Lebanon atau
8 Data diperoleh dari http://www.un.org/en/peacekeeping/operations/reform.shtml diakses pada 26 March 2016.
UNIFIL terus melakukan pengawasan terhadap penarikan pasukan Israel dari wilayah Lebanon Selatan, serta membantu pemerintah Lebanon untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di wilayah tersebut. Hingga kini, Lebanon merupakan daerah operasi yang masih rawan konflik dan membutuhkan peranan UNIFIL untuk membantu proses perdamaian di kawasan tersebut. Dan dalam hal ini, keterlibatan Indonesia sebagai negara penyumbang pasukan perdamaian terbesar di UNIFIL sangat berpengaruh dalam menciptakan kestabilan kawasan.
II. Indonesia dan Pasukan Pemeliharaan Perdamaian
Partisipasi Indonesia\dalam misi perdamaian PBB merupakan sebuah perjalan yang panjang dalam sejarah militer Indonesia. Indonesia pertama kali menurunkan pasukan perdamiannya yang lebih dikenal dengan pasukan Kontingen Garuda atau Konga, pada tahun 1957 untuk membantu penyelesaian konflik antara Mesir dan Israel di terusan Suez bersama UNEF I. Pada saat itu, Pemerintah Indonesia mengirimkan satu batalyon pasukan infanteri yang berjumlah 400 personel yang tergabung dalam pasukan Konga-I, yang terdiri dari satu kelompok komando, satu pleton dengan senjata merian dan senapan mesin, dan tiga kelompok bersenjata . Bagi Indonesia, terlibat dalam misi perdamaian internasional merupakan salah satu tujuan dari kebijakan luar negeri Republik Indonesia sebagaimana tertera dalam konstitusi yaitu dalam alenia ke-empat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “… dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi, dan keadilan sosial …”, serta tertera dalam
Undang-undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Nasional 9 dimana disebutkan bahwa kewajiban dari pasukan Tentara Nasional Republik Indonesia (TNI) adalah untuk menjalankan
prinsip-prinsip pertahanan nasional termasuk secara aktif terlibat dalam menjaga perdamaian regional dan internasional. Setelah bergabung dalam UNEF I, Indonesia kemudian aktif untuk berkontribusi dalam beberapa misi perdamaian PBB diantaranya ONUC (Kongo) Tahun 1961- 1963, UNEF (Timur Tengah) tahun 1973-1979, UNTAG (Namibia) tahun 1989, dan UNIMOG
(Iraq) tahun 1988-1990. 10
9 Hutabarat, L.F., 2014. Indonesian Participation in the UN Peacekeeping as an Instrument of Foreign Policy: Challenges
10 and Opportunities. Global and Strategis, (Th 8, No.2).hl.186‐189 Handayani, Y., 2014. Pengiriman Pasukan Pemeliharaan Perdamaian Indonesia di Dunia Internasional.
RechtsVinding Online, hl.2.
Kontribusi Indonesia dalam pasukan pemeliharaan perdamaian PBB sempat terhambat pada era pemerintahan Presiden Soeharto di awal tahun 1990an. 11 Pada era itu, pemerintah
Indonesia mengurangi pengiriman pasukan militer ke dalam misi-misi perdamaian PBB dikarenakan pemerintahan Presiden Soeharto lebih memfokuskan peranan pasukan militer nasional untuk menjaga keamanan dalam negeri Indonesia. Meskipun tetap aktif dalam beberapa misi perdamaian seperti di Kamboja tahun 1992, Somalia tahun 1993, Bosnia-Herzegovina tahun 1993 dan 1995, Tajikistan tahun 1998, serta di berbagai wilayah konflik lainnya, akan tetapi intensitas penurunan pasukan yang dilakukan tidak dalam jumlah yang besar. Kamboja menjadi misi terakhir Indonesia yang melibatkan jumlah personel militer yang cukup besar yakni hampir sekitar 2000 personel. Setelah itu, jumlah pasukan perdamaian yang diturunkan oleh pemerintah Indonesia dapat dikatakan menjadi cukup terbatas. Kondisi ini kemudian berlanjut hingga tahun 2004.
Di tahun 2004, di bawah kepeminpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga mantan komandan pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia di Bosnia tahun 1995-1996, Indonesia kembali aktif terlibat dalam misi pemeliharaan perdamaian. Meski masih dalam intensitas personel yang kecil, Inonedia mulai kembali berpartisipasi dalam misi perdamaian di Kongo dengan mengirimkan 188 personel militer yang terdiri dari unit teknis dan divisi
kesehatan. 12 Di tahun 2004, Indonesia menduduki peringkat ke-42 dari 201 negara anggota PBB dalam hal kontribusi dalam pasukan pemeliharaan perdamaian. Sejak saat itu, Indonesia terus
menerus aktif menurunkan pasukan militernya dalam misi pemeliharaan perdamaian PBB. hingga kemudian di tahun 2015, Indonesia berhasil menempati peringkat ke-12 negara di dunia, dan merupakan pasukan perdamaian terbesar di ASEAN, yang paling banyak menurunkan pasukan PBB dengan jumlah pasukan sebanyak 2,840 personel yang terdiri dari pasukan militer,
polisi, dan personel sipil, yang tersebar di 10 dari 16 misi perdamaian PBB. 13
11 Wiharta, S., 2016. Providing For Peacekeeping: Peacekeeping Contributor Profile Indonesia. [Online] Available at: http://providingforpeacekeeping.org/2016/02/05/peacekeeping ‐contributor‐profile‐indonesia [Accessed 25
February 2016]. 12
13 Hutabarat, L.F. 2014. Hl.187. Data ini diambil berdasarkan survey pada bulan November 2015, diperoleh dari Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia, 2015. Kebijakan : Indonesia and the United Nations Peacekeeping Operations. [Online] Available at: http://www.kemlu.go.id/en/kebijakan/isu ‐khusus/Pages/Indonesia‐and‐the‐United‐Nations‐ Peacekeeping ‐Operations.aspx [Accessed 1 July 2016].
Kontribusi Indonesia dalam pasukan pemeliharaan perdamaian PBB ini semakin didukung dengan didirikannya Pusat Pelatihan yang bernama Indonesian Peace and Security Centre (IPSC) di Sentul, Bogor pada tahun 2011 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pembangunan pusat pelatihan pasukan perdamaian ini didasarkan pada pengalaman yang dialami oleh SBY ketika menjadi bagian dari pasukan perdamaian di Bosnia, dimana menurut SBY diantara 38 negara yang berkontribusi pada operasi tersebut, pasukan Indonesia yang terdiri dari 650 personel, rupanya memiliki skill atau kemampuan yang kurang dibandingkan dengan pasukan militer dari negara lain, karena terkendala kemampuan bahasa inggris, kurangnya pengetahuan terkait misi perdamaian, serta kendala-kendala teknis lainnya seperti keahlian
menyetir dan penggunaan teknologi. 14 Kelemahan yang dimiliki oleh pasukan militer indonesia inilah yang kemudian menjadi alasan Presiden SBY untuk mendirikan pusat pelatihan di
Indonesia guna meningkatkan kapabilitas dan kemampuan pasukan perdamaian Indonesia. Di pusat pelatihan tersebut, para tentara yang terpilih akan menjalani Pre Deployment Training (PDT) selama satu bulan, sebelum diberangkatkan ke area misi pemeliharaan perdamaian.
Selain mendirikan pusat pelatihan, Presiden SBY juga membentuk Tim Koordinasi Misi Pemeliharaan Perdamaian atau TKMPP berdasarkan pada Peraturan Presiden No.85 Tahun 2011, dimana tim tersebut terdiri dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan sebagai pengamat, Menteri Luar Negeri Sebagai Kepala, dan beberapa staf anggota yang berasal dari beberapa kementerian dan lembaga terkait seperti Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, Menteri Perencaan Pembangunan Nasional, Sekretaris Kabinet,
Komandan TNI, Kaporli, dan anggota Badan Intelegensi Negara. 15 TKMPP memiliki tugas untuk membentuk dan merencanakan kebijakan dan koordinasi yang diperlukan bagi akstivitas
yang dilakukan oleh pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia. Adapun beberapa hal yang dilakukan oleh TKMPP diantaranya 1) mengkoordinasi perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penghentian patisipasi indonesia di misi perdamaian, 2) menyiapkan pnelitian yang komprehensif dan rekomendasi kebijakan yang berhubungan dengan partisipasi Indonesia di
14 Diambil berdasarkan hasil interview yang dipublikasikan oleh Berita online Tempo, yang diperoleh dari https://www.tempo.co/read/news/2011/12/19/078372506/alasan ‐sby‐membangun‐pusat‐perdamaian edisi 19
November 2019 , 15 diakses pada 1 Juli 2016 Website Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. 2015. Available at:
http://www.kemlu.go.id/en/kebijakan/isu ‐khusus/Pages/Indonesia‐and‐the‐United‐Nations‐Peacekeeping‐ Operations.aspx [Accessed 1 July 2016].
pasukan perdamaian, 3) menyiapkan dan memformulasikan posisi dan strategi dalam negosiasi,
4) mengawasi dan mengevaluasi partisipasi indonesia dalam misi perdamaian. Dengan adanya pusat pelatihan dan tim koordinasi yang dibentuk pada tahun 2011
tersebut, pemerintah mengharapkan kontribusi Indonesia dalam misi perdamaian dapat menjadi semakin efektif dan maksimal. Oleh karenanya, pemerintah saat ini memiliki ambisi untuk semakin aktif dalam pasukan perdamaian internasional. Kontribusi Indonesia dalam upaya perdamaian merupakan bentuk komitmen pemerintah Indonesia untuk berperan aktif dalam menjaga keamanan dan perdamaian dunia berdasarkan politik luar negeri yang bebas aktif. Kemudian, dalam konteks internasional, hal ini juga menjadi indikator nyata bagi peran Indonesia dalam menjaga keamanan dan perdamaian internasional serta sebagai usaha untuk meningkatkan profesionalitas individu dan lembaga serta institusi di Indonesia yang terlibat dalam pasukan pemeliharaan perdamaian PBB. Salah satu misi perdamaian PBB yang menjadi perhatian Indonesia yang paling besar adalah misi perdamaian di Lebanon atau UNIFIL Sebagai negara yang berkontribusi paling banyak di UNIFIL, Indonesia memiliki peranan yang cukup signifikan dalam upaya perdamaian yang ada di Lebanon.
III. UNIFIL dan Kontribusi Indonesia
Penurunan pasukan perdamaian PBB di Lebanon dimulai pada tahun 1978 dibawah Resolusi Dewan Keamanan 425 dan 426. Menyikapi peningkatan tensi konflik yang muncul di perbatasan Israel-Lebanon di awal tahun 1970an, DK PBB membentuk United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL) untuk menangani invasi Israel di Lebanon selatan yang menjadi daerah konfrontasi militer antara pemerintah Israel dan Palestina di wilayah tersebut. Penurunan pasukan UNIFIL ke Lebanon memiliki tiga tujuan utama. Pertama, adalah mengawasi penarikan mundur pasukan Israel dari Lebanon selatan. Kedua adalah membantu mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional akibat adanya konflik militer antara Palestina dan Israel. Dan yang ketiga adalah memberikan bantuan kepada pemerintah Lebanon dalam mengembalikan
efektifitas kekuasan di kawasan. 16 Oleh karenanya, sebagai upaya untuk menjamin terciptanya
16 Data diperoleh dari website resmi UNIFIL, 2016. UN Mission. [Online] Available at: http://unifil.unmissions.org/Default.aspx?tabid=11559 [Accessed 1 July 2016].
keamanan di kawasan tersebut, maka pasukan perdamaian PBB ditempatkan di wilayah Israel untuk memaksimalkan proses pengawasan.
Selama tiga tahun pertama penempatan UNIFIL di perbatasan Israel-Lebanon, atau biasa disebut dengan the Blue Line tugas dari pasukan perdamaian PBB terbatas pada penyediaan perlindungan dan asistensi kemanusiaan kepada penduduk lokal. Hal ini dikarenakan, meskipun Israel telah menarik mundur pasukan dari wilayah Lebanon, akan tetapi kontrol Israel melalui Israel Defence Forces dan Lebanese de facto forces masih besar di kawasan tersebut. Oleh karenanya, Dewan Keamanan PBB berusaha untuk tetap melakukan pengawasan sekaligus menjaga negosiasi kepada pemerintah Israel untuk segera meninggalkan wilayah Lebanon. Selanjutnya, pada Juli tahun 2000, pihak Israel mulai menarik mundur pasukan militer mereka. Menyusul penarikan mundur tersebut, pada tahun 2004 DK PBB memperbaharui mandat terkait operasi UNIFIL melalui Resolusi 1559.
Wilayah Lebanon bukanlah wilayah yang dengan mudah dapat tercipta perdamaian. Meski kawasan tersebut telah dijaga dan diawasi oleh pasukan perdamaian, akan tetapi konflik- konflik minor masing sering terjadi di area Blue Line yang tak jarang menimbulkan korban dari pihak observer militer PBB. Pada tahun 2006, konflik kembali memuncak seiring dengan dilanggarnya gencatan senjata oleh kelompok Hezbollah dengan meluncurkan roket ke wilayah teritori Israel dan menyerang dan menahan beberapa pasukan patroli Israel. Perselisihan antara kelompok Hezbollah dan Israel yang semakin meningkat menyebabkan Dewan Keamanan PBB kembali membuat resolusi 1701 (2006), yang bertujuan untuk menghentikan serangan yang dilakukan pihak-pihak yang berkonflik.
Dengan dibentuknya resolusi tersebut, DK PBB melakukan penambahan personel pasukan perdamaian dari 2000 personel menjadi 15.000 personel militer. 17 Berdasarkan mandat
baru yang dikeluarkan oleh PBB, ada beberapa hal yang menjadi tugas dari UNIFIL. Yaitu memonitor penghentian perselisihan antara Israel dan kelompok Hezbollah, memberikan dampingan dan dukungan terhadap pasukan Lebanese Armed Forces (LAF) di wilayah selatan Lebanon mengikuti penarikan mundur pasukan Israel dari kawasan tersebut, mengkordinasikan aktivitas operasi dengan pemerintah Lebanon dan Israel. Memperpanjang asistensi kemanusiaan
17 UNIFIL, 2016. UNIFIL Background. [Online] Available at: http://www.un.org/en/peacekeeping/mission/unifil/background/shtml [Accessed 27 March 2016].
terhadap masyarakat sipil dan membantu pengembalian displaced person, memberikan asistensi kepada LAF dalam proses pembersihan pasukan militer dari wilayah yang telah ditentukan oleh pemerintah Lebanon dan UNIFIL, serta membantu pemerintah Lebanon dalam mengamankan perbatasan serta pintu masuk untuk mencegah masuknya pihak-pihak yang tidak diinginkan.
Sejak pembentukan Resolusi 1701 Tahun 2006, mandate yang dikeluarkan oleh PBB terkait operasi perdamaian UNIFIL terus mengalami perkembangan dan pembaharuan mandate. Terhitung hingga 2015, DK PBB telah mengeluarkan sembilan resolusi untuk memperkuat dan memperpanjang operasi perdamaian guna terus membantu menjaga perdamaian di Lebanon (UN Security Council, 2015). Dalam menjaga perdamaian di Lebanon, PBB juga bekerja sama dengan pasukan militer dari negara-negara lain. Terdapat 10,410 personel berseragam, 279 international civilian, dan 590 staf sipil lokal yang bergabung dalam pasukan perdamaian PBB. Operasi perdamaian ini juga melibatkan lebih dari 30 negara yang mengirimkan personel militernya, tak terkecuali Indonesia. Pada saat ini, Indonesia masih menduduki peringkat ke 12 dari 122 negara yang paling banyak mengirimkan pasukan perdamaian. Lima negara yang
menduduki peringkat teratas adalah Bangladesh, Ethiopia, Indoa, Pakistan, dan Rwanda. 18 Oleh karena itu, pemerintah Indonesia memiliki ambisi untuk dapat masuk kedalam 10 besar negara
pengirim pasukan perdamaian dengan membentuk Roadmap Vision 4,000 peacekeepers 2015- 2019, dimana strategi yang dilakukan adalah menambah jumlah pasukan perdamaian indonesia yang diturunkan dalam misi-misi pemeliharaan perdamaian PBB, salah satunya di Lebanon/UNIFIL. Lebanon merupakan area misi perdamaian PBB yang menjadi salah satu lokasi paling menjanjikan bagi Indonesia untuk menambah pasukan perdamaiannya dikarenakan masih diperlukakannya pasukan perdamaian di wilayah tersebut.
Pasukan perdamaian Indonesia pertama kali bergabung dengan UNIFIL di tahun 2006 dan masih berkontribusi aktif hingga sekarang. Kontingen Garuda (Konga) yang dikirimkan untuk misi pemeliharaan perdamaian ke Lebanon pada awal keberangkatannya adalah Konga XXIII-A atau biasa disebut dengan INDOBATT, yang terdari dari 850 personel Satuan Tugas Batalyon Mekanik (Satgas Yonis). Tujaun dari pasukan Konga XXIII-A/UNIFIL adalah untuk membantu pasukan perdamain PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan di Lebanon.
18 Media Indonesia News, 2015. Pasukan Perdamaian di Tengah Konflik Global. [Online] Available at: http://www.mediaindonesia.com/index.php/news/read/7904/pasukan ‐perdamaian‐di‐tengah‐konflik‐ global/2015 ‐10‐06 [Accessed 29 Juni 2016].
Kebijakan pemerintah Republik Indonesia untuk mengirimkan Kontingen Garuda ke Lebanon ini dibuat berdasarkan Keputusan Presiden RI No.15 Tahun 2006. Dalam Surat Keputusan Presiden tersebut diatur mengenai perihal pembentukan pasukan konga, perumusan kebijakan dan strategi, serta pendanaan yang berkaitan dengan keberangkatan, pelaksanaan operasi yang dilakukan oleh
kontingen garuda di Lebanon. 19 Surat Kepres inilah yang kemudian menjadi dasar atau landasan hukum yang mengatur tentang kontingen garuda di Lebanon. Pasukan konga tersebut pada
umumnya akan melaksanakan tugas mereka di Lebanon untuk kurun waktu satu hingga dua periode masa tugas atau selama enam bulan hingga satu tahun bergantung permintaan dari DK PBB.
Sejak pengiriman Konga XXIII-A pada tahun 2006, terhitung sudah lebih dari 15 kontingen garuda yang pernah dikirimkan ke Lebanon hingga tahun 2015. Setelah masa tugas Konga XXIII-A/UNIFIL habis di tahun 2007, TNI kembali memberangkatkan pasukan Konga XXIII-B/UNIFIL untuk periode 2007-2008 yang terdiri dari 850 personel Satgas Yonif Mekanis, Konga XXIII-C/UNIFIL tahun 2008-2009, Konga XXIII-D/UNIFIL tahun 2009-2010 yang terdiri dari 1000 personel, dan Konga XXIII-E/UNIFIL untuk periode tahun 2010-2011. Pada periode ini kontingen garuda yang diwakili oleh Konga XXIII-E/UNIFIL mampu memperoleh penghargaan, tidak hanya medali Dag Hammarskjold PBB yang memang diberikan bagi pasukan pemeliharaan PBB, tetapi juga memperoleh Brevet Kehormatan pertama bagi pasukan
perdamian Indonesia. 20 Pemberian Brevet ini kemudian menjadi bukti keberhasilan pasukan kontingen garuda Indonesia dalam melaksanakan tugas sebagai petugas pemeliharaan
perdamaian internasional, serta sebagai pemicu pemerintah untuk semakin meningkatkan kinerja dan kapasitas pasukan perdamaian Indonesia.
Tidak hanya pasukan militer TNI yang dikirimkan dalam misi pemeliharaan perdamaian PBB, pemerintah Republik Indonesia juga mengirimkan pasukan tambahan berupa prajurit polisi militer dalam misi ke Lebanon di tahun 2008. Pengiriman prajurit polisi ini dilakukan sebagai bentuk respon terhadap perubahan mandat DK PBB yang ada dalam Fragmentary Order (Frago) No.10-10-08 yang dibentuk pada tanggal 30 Oktober 2008, dimana berdasarkan mandat tersebut, negara anggota diharuskan untuk menambahkan personel sipil disamping personel militer dalam 19
Berdasarakan Kepres RI NO.15 Tahun 2006 yang diperoleh dari website resmi Kementerian Pertahanan Republik Indonesia
20 . https://www.kemhan.go.id diakses pada 25 June 2016. Data diperoleh dari website TNI http://www.tni.mil.id/news.php?q=opn&cid=INT&id=53 diakses pada 29 Juni
pasukan pemeliharaan perdamaian untuk menangani konflik yang semakin kompleks dan rumit. 21 Berdasarkan mandat tersebut, Indonesia kemudian mengirim pasukan Konga
XXV/UNIFIL untuk periode 2008/2009 dan 2009/2010 ke Lebanon Selatan, yang terdiri dari 75 prajurit Polisi Militer TNI (Satgas POM TNI) yang bergerak dibawah komand Force Commander of UNIFIL (FC Assessts). Pada tahun terakhir masa tugasnya, satgas POM TNI dipimpin oleh Letkol CPW Dwi Prasetyo Wiranto.
Selanjutnya di tahun 2008, Indonesia kembali mengirimkan pasukan tambahan bagi wilayah Lebanon Selatan melalui pengiriman pasukan Konga XXVI-A/UNIFIL sebagai satuan Force Headquarter Support Unit (FHQSU) dan INDO Force Protection Company (INDO FP Coy) yang terdiri dari 200 orang personel. Berbeda dengan formasi pasukan konga sebelumnya yakni INDOBATT yang tersebar di wilayah-wilayah kecil di Lebanon, FHQSU merupakan pasukan konga yang dikhususkan ditempakan di UNIFIL Headquarter (HQ) di Naqoura. Tugas dari satgas ini adalah untuk mendukung pelayanan dan pengamanan di UNIFIL HQ. Masa tugas dari Konga XXVI-A/UNIFIL kemudian digantikan oleh KongaXXVI-B1/UNIFIL sebagai FHQSU dan Konga XXVI-B2/UNIFIL sebagai kompi pengamanan di UNIFIL HQ pada tahun 2009-2010. Setelah masa tugas mereka berakhir, mereka digantikan Oleh Konga XXVI- C1/UNIFIL dan Konga XXVI-C2/UNIFIL. Dalam pasukan konga ini, terdapat reformasi pasukan dimana peran prajurit wanita terlibat dalam misi pemeliharaan perdamaian. Pada saat datang ke Lebanon di tahun 2010, pasukan Konga XXVI-C1 memberikan tambahan 5 prajurit wanita dalam struktur pasukan kontingen garuda., dan hingga saat ini, jumlah personel wanita
dalam satuan pasukan kontingen garuda telah bertambah menjadi 32 personel. 22 Adapun tugas dari pasukan Konga XXVI-C1 adalah sama dengan Konga XXVI-B1, sedangkan Konga XXVI-
C2 merupakan pengganti Konga XXVI-B2 dengan 7 tugas pokok seperti: 1) menjaga Main Gate, melakukan patroli, observation post, dan menjaga food platoon, 2) menyiapkan tim huru-hara (CRC) dengan kemampuan untuk mengendalikan massa, 3) Menyiapkan Tim Reaksi Cepat (QRT) yang dapat digerakkan setiap saat, 4) melaksanakan pengawalan terhadap semua asset FC UNIFIL pada saat perjalan di daerah operasi, 5) sebegai bagian dari unit pertahaan terkoordinasi di wilayah UNIFIL HQ di Naqoura, 6) memberikan bantuan perkuatan terhadap unsur-unsur
21 Ibid. 22 Hutabarat, L.F.2014.hl.187.
UNIFIL lainnya yang berada di luar Naqoura Camp, dan 7) melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan perintah FC UNIFIL.
Hingga saat ini, pemerintah Indonesia terus melakukan rotasi pasukan kontingen garuda yang ada di Lebanon. Pada periode 2013-2013, Indonesia memberangkatkan 1.169 Prajurit TNI ke Lebanon yang dipimpin oleh Konga XXIII-G/UNIFIL Satgas Yonif Mekanis yang terdiri dari
850 personel. 23 Selain itu juga turut serta 150 personel Force Protections Company (FPC) Konga XXVVI-E2, 75 personel Military Police Unit (MPU) Konga XXV-E, 50 personel Satgas
FHQSU Konga XXVI-E1, 18 personel Satgas Military Community Outreach Unit (MCOU) Konga XXX-C, 11 personel Milstaf Seceast 9 personel Satgas Level 2 Hospital XXVI-E, dan 6 personel Satgas CIMIC TNI Konga XXXI-C. Para satuan tugas ini ditempatkan di Lebanon selama 17 bulan masa tugas, dan kemudian digantikan oleh satuan kontingen garuda yang baru.
Untuk pasukan kontingen garuda yang saat ini sedang bertugas yakni untuk periode 2015-2016, adalah sebanyak dari 1.169 Prajurit yang terdiri dari 850 personel Batalyon Mekanis TNI Konga XXIII-J/Unifil dipimpin Letkol Inf Dwi Sasongko, S.E., 75 personel Military Police Unit (MPU) Konga XXV-H/Unifil dipimpin Letkol Cpm Zulkarnain SH, 150 personel Force Protection Company (FPC) Konga XXVI-H2/Unifil dipimpin Mayor Inf Catur Sutoyo, 50 personel Satgas Force Headquarter Support Unit (FHQSU) Konga XXVI-H1/Unifil dipimpin Kolonel Kav Jala Argananto, 6 personel Satgas CIMIC TNI Konga XXXI-F/Unifil dipimpin Kapten Inf Batara Alex Bulo, 18 personel Satgas Military Community Outreach Unit (MCOU) Konga XXX-F/Unifil dipimpin Mayor Inf Roni Agus Widodo, 9 personel Satgas Level 2 Hospital Konga XXIX-G/Unifil dipimpin Mayor Ckm Dr. Purbanto Budi Susetyo, SPM, dan 11
personel Milstaf Seceast Unifil dipimpin Kolonel Inf Abdul Rahman. 24 Dengan dikirimnya pasukan Konga XXIII-J/UNIFIL ini, maka Indonesia telah berkontribusi selama hampir 11 tahun
dalam misi perdamaian di Lebanon. Dan berdasarkan data yang dikeluarkan oleh UNIFIL pada 5 Arpril 2016 25 , dari 10,547 personel pasukan pemeliharaan perdamaian yang ada di Lebanon,
Indonesia merupakan negara dengan jumlah pasukan terbanyak yang mencapai 1,295 personel. Hal ini tentu saja merupakan prestasi tersendiri bagi satuan militer Republik Indonesia.
23 Diperoleh dari website Artileri.org edisi September 2012. 1.169 Prajurit TNI ke Lebanon. [Available Online at] http://www.artileri.org/2012/11/1169
24 ‐prajurit‐tni‐ke‐lebanon‐html?m=1 Dikases pada 1 Juli 2016. Diperoleh dari Media Aceh Tribun News edisi 16 Desember 2015 [ Available Online at]
http://aceh.tribunnews.com/2015/12/16/pasukan ‐perdamaian‐tni‐berangkat‐ke‐lebanon Diakses pada 1 Juli 2016 25 http://unifil.unmissions.org/Default.aspx?tabid=11559 diakses pada 1 Juli 2016
Disamping terus meningkatkan jumlah personel militer TNI yang tergabung dalam pasukan perdamaian PBB di Lebanon, pemerintah Indonesia juga meningkatkan personel unit yang dimilikinya dengan bergabung dalam UNIFIL Maritim Task Force (MTF) sejak tahun
2009. 26 Satgas Maritim TNI pertama yang dikirimkan ke Lebanon adalah Konga XXVIII- A/UNIFIL KRI Diponegoro-365, yang selanjutnya diikuti oleh Konga XXVIII-B/UNIFIL KRI
Frans Kaisiepo-368 tahun 2010, Konga XXVIII-C/UNIFIL KRI Sultan Iskandar Muda-367 tahun 2011, Konga XXVIII-D/UNIFIL KRI Sultan Hasanuddin-366 tahun 2012, Konga XXVIII- E/UNIFIL KRI Diponegoro-365 tahun 2013, Konga XXVIII-F/UNIFIL KRI Frans Kaisiepo-368 tahun 2014, dan yang sedang bertugas saat ini adalah Konga XXVIII-G/UNIFIL KRI Sultan Iskandar Muda-367 tahun 2015. Tugas dari satgas Maritim ini adalah untuk melakukan Surveilance atau pengawasan dan Maritime Interdiction Operation (MIO) di sepanjang 180 km garis pantai Lebanon, guna mencegah masuknya senjata ilegal dan bahan terkait lainnya agar tidak masuk melalui perairan Lebanon yang mana jika sampai terjadi maka hal ini akan berdampak negatif pada continuitas konflik yang masih sering terjadi. Disamping itu, marinir TNI juga melakukan pelatihan bersama dengan angkatan laut Lebanese Armed Force (LAF) untuk menjaga wilayah perairan mereka. Dari segi persenjataan, Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) dipersajatai dengan teknologi nati kapal selam, anti aircraft, serta anti kapal permukaan. Satgas yang berkerja di bawah komando Commander Task Force (CTF) ini umumnya hanya ditugaskan selama satu periode atau selama 6 bulan sebelum melakukan rotasi.
Dalam meningkatkan kontribusinya untuk misi pemeliharaan perdamaian di Lebanon, pasukan kontingen garuda tidak hanya melakukan hal-hal atau aktivitas yang bernuansa militer saja. Akan tetapi, para personel konga juga melakukan beberapa kerja sosial dan pendidikan bagi
27 masyarakat lokal di Lebanon. 28 Beberapa kegiatan yang kemudian juga dilakukan oleh pasukan konga di Lebanon diantara seperti membuat mobil pintar atau smart-car yang menyediakan buku
pendidikan dan komputer berjalan bagi anak-anak dan warga lokal di Lebanon, membangun
26 Jurnal Jakarta.2015.Panglima TNI Berangkatkan 100 Prajurit Kontingen Garuda XXIII‐G/UNIFIL. [Available Online at] http://jurnaljakarta.com/berita ‐3113‐panglima‐tni‐berangkatkan‐100‐prajurit‐kontingen‐garuda‐ xxiiigunifil.html
27 diakses pada 1 Juli 2016 WiRA.2014.Visi Strategis Perdamaian Internasional Indonesia. Media Informasi Kementerian Pertahanan, volume
50, 28 no.34.hl.8. Informasi tambahan diperoleh dari kisah salah satu mantan anggota Konga di UNIFIL bernama M. Syafrudin,
yang diperoleh dari blog pribadi Lebanonk.blogspot.com. [Available Online at] http://lebanonku.blogspot.com/2012/12/catatan ‐ke‐3‐tiba‐di‐lebanon.html diakses pada 25 Mei 2016.
lapangan bola dan mengadakan pertandingan persahabatan, melakukan pelatihan P3K, kursus komputer dan pelatihan bahasa inggris. Selain itu, pasukan konga juga membantu kegiatan penduduk lokal jika diperlukan seperti membantu memanem gandum, pengobatan massal, damkal, bantuan tenaga untuk kegiatan masyarakat, dan merenovasi rumah. Tidak hanya itu, pasukan konga juga membentuk tim kecil khusus yang bernama Tim Tactical Outreach yang bertugas untuk menyampaikan pesan-pesan perdamaian kepada warga di sekitar area penugasan jika diminta oleh kepala desa setempat, khususnya ke sekolah-sekolah yang ada di Lebanon, untuk memberikan pemahaman kepada generasi muda atas pentingnya perdamaian dan juga membagikan buku serta alat tulis. Kegiatan-kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu bentuk usaha untuk membantu membangun masyarakat untuk menciptakan perdamaian serta sebagai amanat UNIFIL untuk mengenalkan hal-hal kecil yang berkaitan dengan UNIFIL, tak terkecuali pemahaman terkait Blue Barrel dan Blue Line yang merupakan daerah perbatasan antara Lebanon dan Israel.
Operasi pemeliharaan perdamaian di Lebanon, merupakan operasi perdamaian terbesar dan terlama yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia. Hingga saat ini, operasi ini masih menjadi salah satu misi perdamaian utama yang menjadi fokus dari pemerintah Indonesia. Komitmen Indonesia untuk terus terlibat dalam misi perdamaian kemudian ditunjukkan dengan dibentuknya Roadmap Vision 4,000 Peacekeepers 2015-2019 yang telah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia pada bulan Februari 2015 lalu. Pembentukan Roadmap Vision ini sekaligus menjadi bukti keseriusan Indonesia dalam meningkatkan kontribusi untuk membantu menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
IV. Kebijakan Roadmap Vision 4,000 peacekeepers 2015-2019
Pada bulan Februari 2015, pemerintah Indonesia membentuk sebuah Peta Jalan yang disusun berdasarkan peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2015, tentang Visi 4,000 Personel Pemeliharaan Perdamaian 2015-2019 (Roadmap Vision 4,000
Peacekeepers 2015-2019). 29 Peta jalan yang disusun pada tahun 2015 tersebut merupakan strategi kebijakan luar negeri Indonesia, untuk dapat terus aktif dan berkontribusi dalam operasi
29 Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2015. Roadmap Vision 4,000 Peacekeepers 2015‐2019. Jakarta: Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
pemeliharaan perdamaian Internasional. Berdasarkan peta jalan tersebut, dijelaskan tujuan dan latar belakang kebijakan pemerintah Indonesia untuk menambah jumlah pasukan pemeliharaan perdamaian hingga tahun 2019 menjadi 4,000 personel adalah sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam melaksanakan ketertiban dan mewujudkan perdamaian dunia, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Peta Jalan yang disusun oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, selaku ketua TKMPP, merupakan asuan strategis bagi pengembangan partisipasi Indonesia dalam hal pemeliharaan
perdamaian dikancah Internasional. 30 Peta jalan tersebut, sebenarnya sudah direncanakan oleh Presiden Indonesia sejak Maret 2012 dimasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Akan tetapi, dengan berbagai pertimbangan dan proses perencanaan yang memakan waktu hingga dua tahun, peta jalan tersebut baru bisa disahkan pada Februari tahun 2015. Dengan dibentuknya peta jalan ini, pemerintah Republik Indonesia berharap, bahwa dengan semakin banyaknya pasukan militer Indonesia yang aktif berkontribusi dalam misi pemeliharaan perdamaian internasional, maka akan memberikan dampak positif bagi Indonesia, serta memperkuat peran strategis Indonesia dalam forum multilateral, khususnya di PBB. Melalui pernyataan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno L.P. Marsudi, pemerintah Indonesia berkeinginan untuk dapat menempati 10 besar negara penyumbang pasukan pemeliharaan perdamaian PBB, yang mana pada tahun 2014 lalu, target ini belum dapat terpenuhi.
Ambisi pemerintah Indonesia memang tampak ditunjukkan dengan jelas dalam bagian latar belakang peta jalan tersebut. Tidak hanya berkeinginan untuk menduduki posisi 10 besar negara penyumbang pasukan di UNPKO, tetapi pemerintah Indonesia juga berharap bahwa visi yang dibawa dalam peta jalan ini, akan mampu memberikan Indonesia nilai tawar yang tinggi dalam pencalonan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan Peacebuilding Commission
(PBC) periode 2019-2020. 31 Posisi strategis yang diharapkan dapat diduduki oleh Indonesia tersebut merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk dapat
memperkuat diplomasi mereka di dalam percaturan politik internasional. Dalam peta jalan yang dibentuk pemerintah pada tahun 2015 tersebut, pemerintah
Indonesia telah merencanakan langakah-langkah strategis tiap tahun yang akan dilakukan oleh
30 Ibid.hl.3. 31 I5bid.
Indonesia selama kurun waktu lima tahun, yakni mulai Tahun 2015 hingga 2019, guna mencapai target 4,000 pasukan perdamaian Indonesia. Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan berisikan mengenai penuntasan regulasi dan landasan hukum terkait Misi Pemeliharaan Perdamaian, pembentukan program-program dan kebijakan yang mendukung pelaksanaan misi pemeliharaan perdamaian, membentuk lembaga-lembaga terkait, melakukan pelatihan dan pemaksimalan kapabilitas pasukan militer Indonesia, melakukan kerja sama dan studi banding dengan UNDPKO, serta melakukan upaya diplomasi untuk mendukung rencana strategis Indonesia dalam forum-forum internasional. Disamping itu, di dalam peta jalan yang disusun oleh pemerintah, Pemerintah Indonesia juga memetakan beberapa wilayah yang menjadi lokasi misi operasi pemeliharaan perdamaian PBB untuk membantu TKMPP mengetahui area operasi mana yang memiliki potensi bagi Indonesia untuk meningkatkan partisipasinya. Diantara 11 area operasi dimana pasukan perdamaian Indonesia terlibat disana, yakni di Lebanon (UNIFIL), Mali (MINUSMA), Kongo (MONUSCO), Sudan Selatan (UNMISS), Republik Afrika Tengah (MINUSCA), Abyei-Sudan (UNISFA), Sahata Barat (MINURSO), Darfur-Sudan (UNAMID), Liberia (UNMIL), Suriah, dan Palestina; Lebanon menjadi salah satu area operasi yang paling berpotensi bagi Indonesia untuk meningkatkan kontribusinya jika dilihat dari peluang dan tantangan yang dimiliki, dibandingkan dengan area operasi lainnya. Perbandingan peluang dan tantangan antar area operasi akan disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Daftar Peluang dan Tantangan Pasukan Pemeliharaan Perdamaian Indonesia di Area Operasi Misi Perdamaian PBB
No Area Operasi
Peluang
Tantangan
Lebanon (UNIFIL)
1. Berdasarkan data pada
1. Rotasi Maritime Task Force
bulan April 2016, personel
Indonesia yang tidak
militer yang ada di UNIFIL
menentu dapat
sekarang baru mencapai
mempengaruhi komposisi
1 10.547 personel, dengan
dan jumlah personel
kekuatan maksimum
Indonesia di UNIFIL
menurut Resolusi 1701
2. Belum adanya regulasi yang
Tahun 2006 adalah
memadai terkait anggaran
sebanyak 15.000 personel.
yang dapat digunakan
2. Potensi untuk menduduki
Indonesia untuk kegiatan
jabatan penting di UNIFIL
CIMIC
3. UNIFIL masih memerlukan 3. Adanya rencana drawdown
bantuan terkait kegitan
pasukan dan pemotongan
Civil-Military Cooperation
anggaran UNIFIL oleh PBB
(CIMIC)
Mali (MINUSMA)
1. Pasukan pemeliharaan
Penurunan pasukan tambahan di
perdamaian di Mali masih
Mali masih membutuhkan
membutuhkan banyak
pertimbangan yang matang
personel tambahan
karena situasi keamanan yang
sebanyak 2.657 personel
masih rentan dapat
militer dan 421 personel
membahayakan pasukan
militer jika dilihat dari
perdamaian sebagai target
standard maksimum
pemberontak dan teroris
pasukan yang dikeluarkan PBB melalui resolusi 2164 Tahun 2014.
2. Resolusi 2100 Tahun 2013
2 menerangkan bahwa negara-negara non-
AFISMA dan non- Franchopone diberikan kesempatan untuk dapat berkontribusi di MINUSMA yang mana peluang besar bagi Indonesia untuk dapat menurunkan pasukan di Mali.
3. Adanya permintaan resmi dari UNDPKO kepada
Indonesia untuk memberikan 120 personel Satgas Helikopter ke MINUSMA.
Kongo (MONUSCO) MONUSCO masih membuka
1. Kemungkinan untuk
peluang untuk penambahan
penambahan personel militer
pasukan military observer
tidak memungkinkan karena
sebanyak 279 tak terkecuali
jumlah yang sudah hampir
bagi Indonesia
mencapai batas maksimum
2. Perubahan mandat PBB terkait MONUSCO menghambat penurunan pasukan military observer Indonesia
Sudan Selatan Kekuatan maksimum UNMISS 1. Belum ada hubungan (UNMISS)
adalah 12.500 personel militer
diplomatik antara Indonesia
dan 1323 personel polisi.
dengan Sudan Selatan yang
Tahun 2014 menunjukkan
menghambat penurunan
bahwa UNMISS masih
pasukan perdamaian
4 membutuhkan sekitar 1985
Indonesia di Sudan
personel militer termasuk
2. Tingginya resistensi
Experts on Mission dan 387
penduduk lokal terhadap
personel polisi yang terbuka
pasukan UNMISS
bagi Indonesia untuk meraih
3. Situasi keamanan yang
masih belum stabil Republik Afrika
kesempatan itu.
1. MINUSCA merupakan misi Tengah (MINUSCA)
1. Jumlah personel militer
MINUSCA di tahun 2014
baru dengan fasilitas yang
5 adalah sebesar 7,352
belum memadai sebagai
personel dan 1,800 personel
sebuah secure compound .
polisi (dimana jumlah
Kondisi ini memberikan Kondisi ini memberikan
pertimbangan bagi Indonesia
personel militer dan 1,800
untuk menambahkan
personel polisi), sehingga
pasukan di Afrika Tengah.
indonesia masih memiliki
2. Perbedaan budaya antara
kesempatan untuk
Afrika Tengah (Francopone)
menambah personel ke
dan Indonesia sangat besar .
MINUSCA.
Dan Indonesai merupakan
2. PBB telah menyampaikan
satu-satunya negara yang
permintaan pada
berasal dari negara non-
Pemerintah Indonesia untuk
Francophone. menambah jumlah pasukan 3. Krisis keamanan di Afrika
pemeliharaan perdamaian di
Tengah yang masih tinggi
MINUSCA untuk
dan belum kondusif.
memenuhi kebutuhan Satgas Kizi, Signal Unit, Kompi Angkut Berat dan Protection Support Unit.
Abyei-Sudan
Masih diperlukannya recce visit (UNISFA)
Indonesia memiliki peluang
untuk menambah personel
ke wilayah Abyei serta kajian
militer di Abyei dikarenakan
terhadap mandate UNISFA
tahun 2014 jumlah personel
karena situasi keamanan yang
militer UNISFA di lapangan
masih rawan dan tidak dapat
masih sebanyak 3,951 personel diprediksi militer dan 24 personel polisi, dimana jumlah maksimum menurut PBB adalah 5,326 personel militer dan 50 polisi
Sahata Barat
Indonesia memiliki
Jumlah personel saat ini sudah
7 (MINURSO)
kesempatan untuk menduduki
mendekati batas maksimum
posisi penting di MINURSO
yakni sebesar 227 personel yakni sebesar 227 personel
militer dan 5 personel polisi
lalu dijabat oleh Mayor
(jumlah maksimum adalah 237
Jenderal Imam Edy Mulyono
personel militer dan 6 polisi), sehingga tidak memungkinkan bagi Indonesia untuk menambah jumlah personel di Sahara Barat
Darfur-Sudan
1. Pemerintah Indonesia (UNAMID)
Kekuatan maksimum
UNAMID berdasar Rosolusi
kesulitan memperoleh ijin