Feudalisme dalam Teknologi Informasi indonesia

Wiwit Tri Rahayu - 071311233082
Feudalisme dalam Teknologi Informasi
Kemunculan teknologi informasi membawa perubahan tersendiri terhadap tatanan sosial yang
ada dalam masyarakat. Hal tersebut terkait dengan kemunculan proteksi atas hak-hak intelektual
yang mendasari lahirnya teknologi. Proteksi akan hak-hak intelektual tersebut dinilai oleh
beberapa ahli menjadi peluang yang mendorong terjadinya feudalisme, yaitu keadaan untuk
memberikan redistribusi sebagai timbal balik atas hak-hak intelektual yang telah diciptakan (hak
cipta). Drahos dan Braithwaite (2002: 169) menjelaskan bahwa proteksi terhadap hak cipta
memiliki pengaruh yang kuat terhadap industri percetakan, rekaman, gambar bergerak, dan juga
perangkat lunak. Hal tersebut disampaikan melalui pemaparan atas beberapa kasus terkait
kepemilikan ide-ide intelektual yang berhasil merubah pola distribusinya. Perlindungan hak cipta
kemudian tidak dapat disangkal berhasil menghambat penyebaran dalam industri teknologi dan
informasi karena adanya restriksi untuk melakukan pengembangan terhadap produk atas ide
yang telah diciptakan.
Kemunculan perlindungan terhadap hak cipta terjadi karena adanya ancaman yang dianggap
melahirkan persaingan yang tidak sehat. Ancaman tersebut terkait dengan keinginan industri atau
individu untuk tidak kehilangan posisi yang dominan atas ide intelektualnya. Perlindungan hak
cipta dilakukan untuk menemukan imunitas dari kompetisi dan ketidakpastian perubahan
teknologi agar persaingan tetap berjalan dengan baik. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa
perlindungan hak cipta secara tidak langsung telah membuktikan dan memperjelas adanya
ketidakseimbangan dalam teknologi informasi, terlepas dari tujuan awalnya yang berusaha untuk

melayani kesejahteraan masyarakat (Drahos dan Braithwaite, 2002: 169). Drahos dan
Braithwaite (2002: 170) kemudian meberikan contoh dari International Business Machines
(IBM) yang merasa terancam jika ide intelektual tidak dilindungi oleh copyright.
Pada permasalahan perangkat lunak, IBM pada awal kemunculannya dapat dengan langsung
mendominasi pasar. Penyebaran perangkat lunak ciptaan IBM dapat dengan cepat menyebar ke
masyarakat. Keberhasilan IBM dalam mendominasi industri komputer internasional tidak
terlepas dari strategi give away yang dilakukan terhadap perangkat lunak ciptaannya (Drahos dan
Braithwaite, 2002: 170). Namun strategi tersebut tidak bertahan lama dan membuat IBM mulai
tersaingi oleh perusahaan perangkat lunak yang lainnya. Kebijakan atas strateginya mulai
berubah karena pada sekitar tahun 1950 sampai 1960-an banyak perangkat lunak produksinya

Wiwit Tri Rahayu - 071311233082
yang tidak kompatibel untuk digunakan di perangkat lainnya. Hal ini disebabkan karena banyak
perusahaan hardware yang mencoba untuk mempelajari perangkat lunak ciptaan IBM untuk
kemudian memproduksi sendiri perangkat lunak yang sesuai dengan hardware yang diciptakan.
Hal ini menyebabkan banyak perangkat lunak IBM tidak dapat digunakan di beberapa hardware.
Keadaan ini terjadi karena perangkat lunak yang dibagikan secara gratis oleh IBM akan
mempermudah progammer untuk mempelajari coding operating system yang ada di dalamnya
kemudian merubah atau mengembangkannya untuk menyaingi IBM. Hal ini dikarenakan coding
dalam operating system berperan penting untuk menciptakan perangkat lunak yang lebih

kompatibel. Padahal sebelumnya, IBM merupakan perusahaan perangkat lunak yang sering
mempromosikan tentang kebebasan penyebaran perangkat lunak tanpa harus dipatenkan dan
berhasil menciptakan komunitas pengembang perangkat lunak yang di kemudian hari berhasil
menciptakan internet sebagai sesuatu yang given dari mereka, bukan sold (Drahos dan
Braithwaite, 2002: 170)
IBM mulai merubah kebijakan terkait produksi perangkat lunak pada tahun 1970-an, ketika
menghadapi persaingan dengan IBM-compatible hardware yang mengambil peluang dengan
lisensi paten atas produk IBM yang menganut antitrust law. Kejadian tersebut membuat IBM
mulai memberlakukan hak cipta pada perangkat lunak di tahun 1978. Pada tahun 1983, IBM
bahkan membatasi aliran informasi mengenai produksi perangkat lunak kepada perusahaan
perangkat lunak lainnya. Hal ini menjadi awal terjadnya persaingan untuk saling
menyembunyikan informasi mengenai teknologi (Drahos dan Braithwaite, 2002: 171). IBM
menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan untuk menghindari adanya perusahaan yang mencoba
mengembangkan program yang kompatibel untuk menyaingi IBM. Pada tahun 1980, IBM
bahkan menjadi pemimpin dalam menyuarakan kampanye global untuk perlindungan atas hak
cipta perangkat lunak.
Seiring dengan munculnya feudalisme dalam hak-hak intelektual, European Comission (EC)
mengeluarkan hukum hak cipta pada tahun 1989 yang dikenal dengan Software Directive. Hal ini
kemudian ditanggapi oleh perusahaan yang bergantung dengan perangkat lunak ciptaan IBM dan
Microsoft untuk membenruk lobbying organization, yaitu European Committee for Interoperable

Systems (ECIS). IBM yang masih merasa dirugikan kemudian membentuk Software Action
Group for Europe (SAGE) bersama Microsoft, Apple, dan Lotus (Drahos dan Braithwaite, 2002:

Wiwit Tri Rahayu - 071311233082
172). Keadaan ini menunjukkan bahwa IBM mulai menggunakan hak cipta sebagai strategi baru
dalam melindungi perangkat lunaknya untuk menghindari persaingan dari perusahaan lain.
Contoh feudalisme yang lainnya adalah kartelisme dan proteksionisme dalam industri gambar
bergerak (motion picture) di Amerika Serikat. Keadaan ini sudah ada sejak penemuan kamera
dan film oleh Thomas Edison, dimana paten mulai dijadikan alat untuk mengembangkan industri
tanpa kekhawatiran atas persaingan (Drahos dan Braithwaite, 2002: 174).
Penulis berasumsi bahwa pada dasarnya kemunculan teknologi yang diiringi oleh feudalisme
memberikan peluang untuk terjadinya ketidakseimbangan dalam teknologi itu sendiri. Hal ini
dikarenakan hak paten yang ditetapkan akan berusaha untuk membatasi penggunaan terhadap
teknologi, contohnya dengan pemberian harga yang mahal. Pembatasan tersebut secara jelas
hanya memberikan peluang distribusi kepada masyarakat berkemampuan khusus. Akses yang
terbatas inilah yang menjadi penghambat dan melahirkan ketidakseimbangan dalam teknologi.
Dari pembahasan Drahos dan Braithwaite, dapat disimpulkan bahwa teknologi hanya akan
melahirkan ketidakseimbangan ketika masyarakat diberikan restriksi khusus untuk mengakses,
seperti adanya hak paten. Hak paten juga dianggap sebagai salah satu penghambat dalam upaya
pengembangan teknologi.


Referensi:
Drahos, Peter, dan Braithwaite, J, 2002. “Introduction”, dalam Information Feudalism: Who
Owns the Knowledge Economy?. New York: The New Press.