Bank Syariah di Indonesia Impian Hari In

Bank Syariah : Impian Hari Ini Kenyataan Esok Hari
Oleh : Hatta Syamsuddin ( Juli, 2006)

Pendahuluan : Kuncup yang mulai merekah
Ibaratnya bunga, industri perbankan syariah di Indonesia adalah kuncup yang mulai merekah.
Hampir semua mata melirik, mengamati perkembangannya dari waktu ke waktu. Berbagai seminar,
kajian, dan diskusi diadakan untuk memperdalam sekaligus mensosialisasikan kajian perbankan
syariah. Tidak hanya dari kalangan praktisi, ulama, dan akademisi, bahkan jurnalis media pun seolah
berlomba untuk menampilkan berita-berita perkembangan terkini pada sektor tersebut.
Pembukaan kantor cabang baru, launching produk-produk baru, pengesahan fatwa terkini dari
Dewan Syariah Nasional (DSN), hingga tulisan-tulisan otokritik dari kalangan intern praktisi,
mendapatkan porsi penyajian yang signifikan di beberapa media . Belum lagi paparan tentang sukses
dan prospektifnya industri perbankan syariah, hingga ada yang menyebutnya over exposed, terlalu
sering diulang-ulang dan kurang kreatif dalam mengomunikasikan perbankan syariah.
Apapun kata orang, sebagai sebuah kuncup, perbankan syariah memang masih membutuhkan
rentang waktu yang cukup lama untuk merekah. Merekah dalam arti, membuktikan keunggulan
sistem bagi hasil ( profit and loss sharing ) bank syariah atas sistem bunga ribawi bank konvensional.
Tulisan ini diharapkan dapat memberi gambaran, akan banyaknya peluang sekaligus hambatan, serta
hal-hal yang perlu dibenahi, untuk mencapai masa keemasan perbankan syariah di negri kita
tercinta.
Sejarah dan Perkembangan

Jika dibandingkan dengan munculnya upaya awal penerapan sistem profit and loss sharing di
Pakistan pada akhir tahun 50-an dan Malaysia pada pertengahan 40-an , ditambah lagi jika
dibandingkan dengan keberadaan bank konvensional di tanah air yang sudah berusia puluhan tahun,
maka 13 tahun usia perbankan syariah di Indonesia benar-benar masih belia. Terlebih lagi, pada
enam tahun pertama sejak beroperasinya pada 1 Mei 1992, hanya Bank Muamalat Indonesia (BMI)
yang menjadi single fighter dalam kancah industri perbankan syariah di Indonesia. Sementara UU No
7 tahun 1992 tentang Perbankan yang berlaku pada waktu itu, juga tidak sepenuhnya menyebutkan
tentang sistem bagi hasil, tetapi hanya memungkinkan bank umum untuk menjalankan operasional
bisnis dengan sistem tersebut.
Fase perkembangan perbankan syariah selanjutnya justru dimulai paska krisis ekonomi tahun
1997/1998. Bergugurannya bank-bank konvensional ribawi, yang disebabkan oleh momok
menakutkan negative spread membuat banyak kalangan mulai melirik sistem bagi hasil. Sejarah
kelam perbankan konvensional di negri ini waktu itu mencatat setidaknya 63 bank telah ditutup, 14
bank di-take over, dan 9 bank lagi harus direkapitalisasi dengan biaya ratusan trilyun rupiah.
Mungkin ini adalah sebagian dari bukti isyarat Al-Quran yang menyatakan secara implisit -dengan
ilustrasi- bahwa sistem riba hanyalah akan menghasilkan sebuah kondisi perekonomian yang
gonjang-ganjing, alias tidak stabil (QS 2 : 275 ) .
Page | 1
Kajian Utama Majalah El-Nilein PPI Sudan Juli 2006


Terhitung sejak diberlakukannya UU No 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, yang mengatur adanya Dual Banking system, (konvensional dan syariah) maka
dimulailah masa booming pertumbuhan perbankan syariah. Jika pada pertengahan tahun 1999,
hanya ada 1 (satu) bank umum syariah dan 78 BPRS, maka pada awal 2005 telah mencapai sejumlah
3 bank umum syariah, 16 Unit Usaha Syariah Bank Konvensional, 355 KC/KCP, serta 88 BPRS, dengan
jumlah total jaringan mencapai 443 kantor . Selain itu, pertumbuhan aset perbankan syariah
meningkat pesat dari sekitar Rp 800 miliar pada akhir tahun 1999 menjadi sebesar Rp 14 trilyun pada
akhir tahun 2004, dengan pertumbuhan rata-rata 70 % pertahun .
Bagaimanapun, meningkatnya angka-angka indikator perbankan syariah dari tahun ke tahun yang
menandakan periode fast growing, adalah sebuah prestasi tersendiri. Meskipun, jika kita
konversikan ke skala nasional saat ini, maka peran perbankan syariah dalam industri perbankan
asio al isa di ila g ya is tak te de ga . Me gapa ? Ka e a de ga total aset i dust i pe a ka
nasional saat ini yang mencapai Rp 1000 trilyun lebih, berarti industri perbankan syariah hanya
e a ai sekitar 1,1 % nya saja.
Kecilnya angka partisipasi perbankan syariah dalam industri perbankan nasional, sungguh bisa
dimaklumi. Faktor yang paling utama tentu saja adalah usia yang prematur, sehingga penyebaran
jaringan perbankan syariah juga cukup terbatas, jika dibanding dengan jaringan bank konvensional
yang telah mencapai 160 bank umum, 2000 lebih BPR, dan ditunjang dengan puluhan ribu kantor
yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Sungguhpun demikian, para praktisi perbankan syariah
masih bisa cukup optimis. Tercatat angka pertumbuhan yang meningkat dari tahun ke tahun. Sebut

saja dari volume usaha perbankan syariah yang tumbuh mencapai 68,6 %, sedangkan perbankan
nasional rata-rata mencapai 4,74 %. Dari sisi pertumbuhan kredit perbankan nasional hanya sebesar
18,6 %, sementara pertumbuhan pembiayaan (financing) perbankan syariah justru mencapai 72,11
%. Begitupula yang terjadi pada pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK), perbankan syariah mencatat
a gka 9,3 %, se e ta a pe a ka asio al ha ya , % . Prestasi yang lain, perbankan syariah
juga telah menjalankan fungsi intermediasi dengan baik, terbukti dengan munculnya angka rasio
pembiayaan dan dan pihak ketiga ( financing to deposit ratio /FDR ) yang mencapai 104 % dengan
rata-rata lebih dari 90 % dalam tiga tahun terakhir.
Realita kondisi perbankan syariah yang prospektif bukan berarti tanpa kendala. Justru sebaliknya,
sekian waktu beroperasi telah banyak membuktikan beberapa permasalahan dan kendala yang
melingkupi kinerja perbankan syariah. Tahun 2006 ini diharapkan akan menjadi fase baru bagi
perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Apalagi setelah terbitnya Fatwa MUI tentang
haramnya bunga bank (akhir 2004), kemudian juga rencana pengesahan UU Perbankan Syariah oleh
DPR pada tahun ini, maka bisa dipastikan, hari-hari mendatang dunia perbankan syariah di Indonesia
akan semakin dipenuhi oleh impian-impian yang produktif dan menjanjikan.
Bank Syariah, Pemerintah, BI & DPR ; Peluang & Kendala
Dalam upaya pengembangan perbankan syariah, pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia (BI) telah
melakukan berbagai langkah nyata. Empat hal diantaranya ; Pertama, membentuk Komite Pengarah,
Komite Ahli, dan Komite Kerja Pengembangan Perbankan Syariah. Kedua, melakukan inventarisasi
perangkat ketentuan yang ada, serta menyusun ketentuan yang lebih lengkap dan dibutuhkan.

Page | 2
Kajian Utama Majalah El-Nilein PPI Sudan Juli 2006

Setidaknya, hingga akhir 2004 telah ada 17 regulasi tentang perbankan syariah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia . Ketiga, membantu pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pelatihan SDM, melalui
pelatihan, workshop, dan seminar-seminar. Serta Keempat, melaksanakan kegiatan sosialisasi
perbankan syariah, diantaranya dengan penyusunan buku panduan dan sillaturrahmi dengan para
ulama, bankir, dan usahawan muslim di daerah-daerah .
Bentuk perhatian BI terhadap perbankan syariah dari waktu ke waktu juga terus meningkat, jika dulu
urusan perbankan syariah hanya ditangani oleh sebuah tim, maka kini telah ada sebuah Direktorat
khusus yang mengurusi masalah tersebut . Meskipun demikian, masih ada beberapa kebijakan BI
terhadap perbankan syariah yang dianggap sebagai sebuah bentuk kesenjangan dalam perlakuan.
Misalnya yang terkini, usulan dari kalangan perbankan syariah agar di Bank Indonesia (BI) memiliki
deputi khusus syariah, masih dianggap belum perlu oleh Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah. Hal
lainnya, berkaitan dengan rencana konsolidasi dan penguatan industri perbankan di Indonesia, yang
tampaknya belum mencakup perbankan syariah. Isu merger dan akuisi baru menyentuh bank BUMN
dan bank swasta. Kemudian, masalah regulasi BI yang dianggap sebagian kalangan praktisi
e ga akti ika pe a ka sya iah dala usaha pe ge a ga ja i ga ya.
Sebenarnya, sebagian masalah-masalah tersebut bisa dimaklumi, mengingat perbankan syariah jika
diukur dengan skala industri perbankan nasional memang masih teramat kecil. Namun sebaliknya,

pemerintah juga perlu belajar dari sejarah krisis ekonomi 1998, dimana pemerintah melalui BLBI (
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) – yang pada akhirnya adalah uang rakyat – mengucurkan
setidaknya Rp 300 trilyun (versi pemerintah) atau Rp 500-600 trilyun (versi pengamat) untuk
menutupi kebutuhan likuiditas bank-bank konvensional. Pelajaran terbaru di akhir tahun 2004,
pemerintah harus mengeluarkan setidaknya 300 miliar dalam kasus beku operasi Bank Global pada
13 Desember 2004, mengingat aset bank tersebut hanya Rp 745 miliar, sementara dana penjaminan
nasabah mencapai hampir Rp 1 trilyun . Dengan semua pelajaran ini, apakah belum saatnya bagi
pemerintah untuk lebih intensif mengembangkan perbankan syariah melalui semua aspeknya
dibanding bank konvensional ?
Selain Bank Indonesia (BI), unsur pemerintah yang lainnya, seperti jajaran kabinet, juga mulai terlihat
melirik potensi industri perbankan syariah. Meski saat ini memang baru tercatat tiga mentri, masingmasing : Meneg BUMN Sugiharto, Mentri Pertanian Anton Apriyanto, dan Menpera Yusuf Asyari
yang dengan tegas menyatakan siap bermitra dengan perbankan syariah dalam menjalankan proyekproyeknya. Langkah riil yang cukup menggembirakan adalah ditempatkannya praktisi ekonomi
syariah, Iwan Pontjowinoto sebagai direktur utama PT. Jamsostek, meski sebelumnya sempat
ditentang oleh kalangan serikat pekerja . Peluang rintisan yang telah terbuka ini, semestinya bisa
terus dikembangkan pada departemen-departemen lainnya untuk bermitra dengan industri
perbankan syariah. Di negara lain, pembangunan infrastruktur semacam bandara, jalan, dan
bangunan-bangunan pemerintah yang melibatkan bank syariah, bukan hal yang baru .Bahkan di
negri jiran kita, Malaysia, setiap proyek pembangunan dijatahkan 30 persen investasinya dibiayai
dengan pola syariah .
Hal lain yang ditunggu-tunggu kalangan perbankan syariah dari pemerintah saat ini, antara lain :

Pertama, pemerintah mempunyai bank syariah sendiri, dengan mengkonversi bank BUMN menjadi
syariah , dan kedua, pemerintah berani dan tidak ragu-ragu lagi dalam menerbitkan obligasi negara
dengan prinsip syariah . Adapun dari kalangan DPR, khususnya mereka yang terlibat dalam Komisi XI,
Page | 3
Kajian Utama Majalah El-Nilein PPI Sudan Juli 2006

kalangan praktisi perbankan syariah sedang menunggu-nunggu pembahasan dan pengesahan RUU
Perbankan Syariah yang terpisah dari perbankan konvensional. Komisi XI DPR sendiri menegaskan,
kehadiran UU Perbankan Syariah sudah mendesak sebab pertumbuhan industri ini cukup tinggi.
Namun permasalahan apakah undang-undang tersebut akan dibahas terpisah atau disisipkan dalam
revisi UU Perbankan, nampaknya masih belum terjawab.
Bank Syariah, Ulama, Nasabah dan Masyarakat Umum : Peluang & Kendala
Kehadiran industri perbankan syariah di Indonesia, diakui atau tidak, murni lahir dari rahim para
ulama. Kerisauan, gagasan dan inisiatif para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia
(MUI) menjadi benih awal tumbuhnya bank syariah. Wacana awal pendirian BMI – bank syariah
pertama di Indonesia- sendiri berasal dari lokakarya yang diselenggarakan MUI pada 18-20 Agustus
99 te ta g Bu ga Ba k da Pe a ka . “ela jut ya, a a a ini dipertegas lagi dalam Munas VI
MUI pada 22-25 Agustus 1990 yang mengamanatkan untuk memulai langkah mendirikan bank Islam
.
Suatu hal yang patut disyukuri pada masa-masa berikutnya, adalah peran ulama pakar syariah yang

demikian aktif mendukung sosialisasi produk-produk perbankan syariah di kalangan masyarakat.
Selain sosialisasi, para ulama juga ikut terjun langsung bergabung dalam DSN ( Dewan Syariah
Nasional ) dan DPS ( Dewan Pengawas Syariah) untuk menjaga dan mengawasi operasional bank
sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan syariah.
Peluang cukup besar yang dimiliki industri perbankan syariah saat ini adalah kecintaan dan
kepedulian para ulama dengan bank syariah. Puncak dari kecintaan dan kepedulian ini adalah
dengan keluarnya fatwa MUI pada 16 Desember 2004 tentang keharaman bunga bank. Berbagai
macam fenomena yang muncul paska fatwa tersebut antara lain ; pertama, berbagai macam reaksi
yang muncul dari ulama-ulama yang berlainan persepsi , dan kedua, tidak terbuktinya kekhawatiran
akan terjadinya rush besar- esa a da i a k ko e sio al ke sya iah, ataupu ketiga, se pat ya
perbankan syariah mengalami over likuiditas sehingga penitipan dana di Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia (SWBI) mencapai peningkatan yang signifikan periode Januari hingga April 2004 . Terlepas
dari semua itu, bagaimanapun, fatwa tersebut – yang oleh sebagian praktisi dinilai agak terlambat –
akan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan bagi perkembangan industri perbankan syariah di
Indonesia pada masa-masa selanjutnya.
Sebaliknya, kendala yang dimungkinkan muncul adalah pada saat pihak praktisi sendiri mulai
meninggalkan prinsip-prinsip kepatuhan syariah baik dalam operasional kerja dan transaksi, maupun
perilaku sehari-hari. Pada saat itu, para ulama akan menarik kepercayaan dan dukungannya
terhadap bank syariah, dan pada saat yang sama, masyarakat umum akan berpikir dua kali untuk
berinteraksi dengan bank syariah. Wall iyyaadzh billah.


Kendala klasik lain yang selalu ada, adalah masalah regenerasi dan kaderisasi ulama yang
mempunyai kompetensi dalam bidang perbankan islam. Minimnya jumlah ulama pakar perbankan
syariah saat ini bisa dilihat dengan adanya beberapa fenomena tumpang tindihnya amanah di DPS
dan DSN saat ini . Tidak ada solusi lain masalah ini kecuali menggalakkan spirit pembelajaran
eko o i isla atau fi h ua alah di e agai ida g atau je is pe didika , da i ulai po dok
Page | 4
Kajian Utama Majalah El-Nilein PPI Sudan Juli 2006

pesantren sampai perguruan tinggi, tentu saja dengan pengetahuan aplikasi operasional perbankan
syariah secara lebih komprehensif.
Sementara itu, masyarakat umum yang merupakan pasaran potensial perbankan syariah juga tidak
lepas dari kendala. Peluang industri perbankan syariah di negeri dengan populasi muslim terbesar di
dunia saat ini memang tidak diragukan lagi. Hasil penelitian Karim Bussiness Consulting menyatakan,
potensi pasar loyalis syariah sekitar Rp 10 trilyun, pasar loyalis konvensional berkisar Rp 200-an
trilyun, sementara potensi pasar mengambang (floating market) diperkirakan mencapai Rp 720
trilyun . Pasar loyalis syariah lambat laun akan bergabung sebagai investor pada industri perbankan
syariah. Hal ini bergantung pada sosialisasi produk dan keluasan jaringan perbankan syariah. Namun
angka Rp 10 trilyun yang dimiliki pasar loyalis syariah tentu belum cukup untuk mengembangkan
industri perbankan syariah secara kompetitif.

Pada potensi pasar mengambang yang rasional, seseorang akan menanamkan investasinya setelah
memperbandingkan besarnya benefit atau return antara bank syariah dan konvensional. Pasar
dengan ciri profit oriented ini cenderung untuk tidak setia dalam berinvestasi. Maka yang selayaknya
dilakukan oleh perbankan syariah dalam menghadapi tipe pasaran mengambang, ada dua hal :
pertama, terus menjaga tingkat kompetitif return bagi hasil bank syariah dengan tingkat bunga bank
konvensional, dengan peningkatan rasio pembiayaan dan dana pihak ketiga ( financing to deposit
ratio/FDR) dan minimalisasi pembiayaan tidak lancar ( Non performing financing /NPF). Kedua,
secara aktif bersama para ulama secara khusus dan intensif menggalakkan kegiatan dakwah,
sehingga dengan sendirinya pasar mengambang akan bergabung dalam pasar loyalis syariah. Sesuai
dengan karakter dakwah, maka langkah kedua ini tentu saja bercirikan progam jangka panjang.
Karena itu, setiap praktisi perba ka sya iah, pada saat ya g sa a dia adalah seo a g da i.
Sebagai tambahan, angka indikator pembiayaan tidak lancar ( NPF) pada akhir tahun 2004 adalah
sebesar 2,8 %. Ini berarti kendala yang muncul dari sisi kemampuan dan kredibilitas nasabah
peminjam dalam memenuhi komitmennya pada bank syariah, masih terbilang relatif kecil.
Sungguhpun demikian, fatwa DSN-MUI terbaru tentang potongan utang (discount) pembiayaan
murabahah, penjadwalan ulang ( rescheduling) pembiayaan murabahah, dan pembuatan akad baru
(reconditioning) pembiayaan murobahah, bisa dipandang sebagai langkah yang cukup preventif
sekaligus solutif untuk menekan angka NPF .
Masalah klasik yang ada pada masyarakat umum kaitannya dengan perbankan syariah adalah
kurangnya sosialisasi dan pemahaman yang cukup tentang produk-produk perbankan syariah.

Mu gki agak ekst i jika sa pai dikataka
a k sya iah ada pada suatu le ah, da
asya akat
e ada pada le ah ya g lai atau u gki dii a atka
agai katak dala te pu u g .Na u jika
kita melihat kembali masyarakat kita secara lebih objektif dan dalam skala yang lebih luas,
perumpamaan-perumpamaan di atas bisa jadi benar.
Bank Syariah dan SDI internal : Permasalahan inti
Perkembangan pesat industri perbankan syariah ternyata tidak diikuti dengan peningkatan kualitas
Sumber Daya Insani (SDI) bank syariah. Kelemahan pada aspek internal ini telah diakui dan disadari
oleh kalangan praktisi, namun yang paling intens menyuarakan hal ini adalah kalangan pengamat
perbankan syariah. Satu hal yang selalu mendapat perhatian adalah dampak negatif SDM perbankan
ko e sio al dala pe gelolaa pe a ka sya iah . “e e a ya i i le ih tepat jika dise ut spi it
Page | 5
Kajian Utama Majalah El-Nilein PPI Sudan Juli 2006

konvensionalnya. Karena meski berlatar belakang perbankan konvensional, jika mereka segera
berbenah diri dengan mempelajari segala sesuatu mengenai nilai-nilai islam, bank syariah, serta
berupaya keras untuk mengaplikasikannya, maka dampak negatif tersebut bisa dicegah.
Akses egatif ya g dise a ka spi it ko e sio al pada “DI pe a ka sya iah isa e aki at pada

dua hal besar ; Pertama, dari sisi etika dan kepribadian SDI itu sendiri. Mereka yang mempunyai
paradigma konvensional, tentu kurang memperhatikan masalah penjagaan nilai-nilai islam seharihari. Kasus yang terjadi, ada bank syariah yang tidak mewajibkan karyawan wanitanya (muslimah)
untuk berbusana muslimah yang menutup aurat. Begitu pula ada seorang pimpinan bank syariah
yang dengan tega memarahi anak buahnya di depan orang banyak, hal ini tentu saja bertentangan
dengan akhlak islam . Kasus lain yang mungkin muncul adalah gaya hidup mewah para bankir
syariah.
Sementara dampak negatif yang kedua, adalah pelanggaran kepatuhan syariah dalam kebijakan
operasional dan transaksi-transaksi yang dilakukan bank syariah. Bentuknya bisa berupa
penghitungan marjin atau mark up murabahah yang cenderung menjadikan tingkat suku bunga bank
konvensional sebagai benchmark . Bahkan ada pula SDI bank syariah yang dalam mensosialisasikan
produk mudharabah pada masyarakat, langsung mengatakan bahwa margin atau return- nya
ekuivalen dengan 10 %, tanpa menyebut asal-usul dan mekanisme kerjanya .Pada tahapan yang
kronis, akan muncul fenomena negatif dalam kinerja bank syariah, misalnya ; manipulasi informasi
pada DPS, hadiah dalam rangka pencairan pembiayaan, merubah akad secara sepihak, atau bahkan
memberikan pelayanan yang rendah mutunya . Semua dampak ini tentu akan merusak reputasi
perbankan syariah pada kalangan awam. Hasil penelitian BI sendiri pernah menunjukkan bahwa 15%
espo de
e ilai a k sya iah tidak ada eda ya de ga
a k ko e sio al, ha ya eda
u gkus ya.
Memang, menkonversikan moral atau spirit konvensional menjadi spirit syariah tidak secepat
mengkonversi bank konvensional menjadi bank syariah. Hal ini tentu membutuhkan waktu yang
lama dan pergulatan batin. . Pada jangka 5 sampai 10 tahun ke depan, para mahasiswa yang kini
tengah berkutat dengan perkuliahan perbankan syariah, baik di dalam maupun di luar negri ,
diharapkan siap all out untuk mengusung dan menghidupkan spirit syariah dalam dunia perbankan
syariah nantinya.
Beberapa Permasalahan Lain
Selain permasalahan SDI internal di atas, di akhir tulisan ini penulis ingin menyoroti keberadaan dua
fenomena unik yang sesungguhnya bisa disebut peluang bagi pengembangan perbankan syariah,
namun pada saat yang sama juga bisa menjadi hambatan.
Fenomena unik yang pertama adalah ; mulai maraknya bank-bank asing konvensional yang
membuka Unit Usaha Syariah (UUS) di Indonesia. Tercatat Hongkong Shanghai Banking Corporations
(HSBC) berpusat di London, adalah pemain asing pertama yang membuka UUS di Indonesia pada
Oktober 2003 . Langkah HSBC ini kemudian siap diikuti oleh Citibank dan Standard Chartered yang
sudah mendatangi BI sebagai langkah permulaan . Sebenarnya ini bukan hal yang baru, di luar sana
raksasa-raksasa perbankan barat telah lama menggarap pasar syariah . Total aset perbankan syariah
dunia yang mencapai kisaran 200-500 milliar dolar AS, ditambah dengan angka pertumbuhan sekitar
10-15% per tahun cukup membuat mereka tertarik untuk ikut terjun langsung dalam bisnis ini.
Page | 6
Kajian Utama Majalah El-Nilein PPI Sudan Juli 2006

Banyak pakar perbankan syariah melihat kehadiran bank asing dalam perbankan syariah bukan
sebagai masalah, namun justru menguntungkan perbankan syariah di Indonesia. Tak pelak pakar dan
pengamat ekonomi syariah, M. Syafii Antonio, menyatakan bahwa kehadiran bank asing dalam
pasaran syariah bukan sebuah ancaman, serta tidak akan mempengaruhi perkembangan bank
syariah lokal . Pengamat yang lain seperti Direktur Karim Bussines Consulting (KBC), Adiwarman
Karim dan Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Arief Mufti juga sepakat bahwa masuknya
bank asing akan ikut mendorong pertumbuhan sektor riil sebagaimana telah berlangsung pada pola
pembiayaan syariah .
Lalu mengapa unik ? Benar, bahwa dalam aturan fiqh muamalah memang tidak ada larangan bagi
kalangan asing –yang notabene non muslim- untuk menjadi nasabah, pemilik saham atau bahkan
pengelola bank syariah .Akan tetapi, dalam hal masuknya bank asing dalam industri perbankan
syariah nasional, ada dua harga psikologis bertentangan yang harus sama-sama dibayar.
Pada satu sisi hal itu dapat mendukung sosialisasi dan image perbankan syariah, sekaligus
membuktikan bahwa sistem keuangan islam (islamic financial system) adalah produk yang layak jual
dan mempunyai benefit. Namun pada sisi yang lain, adalah sebuah ironi ditengah bangkitnya
perbankan syariah di indonesia, setelah melalui kerja keras pengembangan dan sosialisasi para
perintisnya bertahun-tahun, tiba-tiba saja muncul pemain-pe ai asi g u tuk ikut e a e
e ih
ya g ulai tu uh itu. Pe ai asi g ya g e a -benar profit oriented, tanpa ada unsur ideologis
untuk melaksanakan sistem islam, sebagai manifesto ketundukan pada aturan-aturan Allah di muka
bumi ini. Lalu apa yang terjadi jika kemudian pemain asing tersebut yang didukung dengan modal
yang kuat serta jaringan yang luas, tampil menjadi pemenang ? Menyingkirkan bank-bank syariah
lokal yang masih terseok-seok dengan kendala SDI internal yang lemah ?. Sungguh ini bukan wacana
i fe io , aka tetapi se uah isya at a al ah a pepe a ga sesu gguh ya a ta a a k asi g
dengan bank syariah lokal, adalah dalam kompetisi menarik dana Rp 720 trilyun dari pasar
mengambang (floating market), bukan pasaran loyalis syariah ! Memang tidak berlebihan saat Kelvin
Mi a da, fu d Ma age da i Asia Asset Ma age e t di Kualalu pu , e yataka “e ua pe ai
dari industri perbankan, pasti menginginkan sepotong kue yang manis dari populasi muslim terbesar
di dunia i i !
Kemudian fenomena kedua yang tidak kalah unik adalah ; dominasi pembiayaan murobahah
(deffered payment sale) dalam perbankan syariah atas pembiayaan (financing) lainnya. Laporan
perkembangan Perbankan Syariah tahun 2004 yang dikeluarkan BI menunjukkan portfolio
pembiayaan murobahah mencapai sekitar 66,3 %. Sementara pada saat yang sama, pembiayaan
mudharabah dan musyarokah hanya berkisar pada angka 17,4 % . Kondisi seperti ini sebenarnya
bukan hanya ada di Indonesia saja, bahkan bank-bank Islam papan atas dunia, seperti Bahrain
Islamic Bank, Faisal Islamic Bank, Dubai Islamic Bank, Bank Islam Malaysia, dan Kuwait Finance
House, juga memiliki kecenderungan menjadikan skema murobahah sebagai skema pembiayaan
yang utama .
Popularitas murobahah yang menjadi pembiayaan utama bank syariah saat ini disebabkan banyak
hal antara lain ; Pertama, dari sisi bank syariah ; investasi jangka pendek yang cukup memudahkan,
benefit yang berasal dari mark up bisa ditentukan dan dipastikan ; serta menjauhi ketidakpastian
Page | 7
Kajian Utama Majalah El-Nilein PPI Sudan Juli 2006

dan minimalisasi resiko yang ada pada sistem bagi hasil. Kedua, dari sisi nasabah ; murabahah tidak
memungkinkan bank- a k sya i ah u tuk e a pu i a aje e is is. Lai e ita ya de ga
pembiayaan mudharabah (Trust financing) yang terkadang pihak bank memaksakan untuk
menempatkan satu wakilnya pada jajaran manajemen perusahaan, untuk melakukan pengawasan
internal.
Tak pelak, dominasi murobahah ini menuai kritikan yang cukup signifikan dari para pengamat
perbankan syariah. Sisi yang pertama menuai kritik adalah ; dominasi murobahah itu sendiri , yang
dikatakan menjauhi esensi ruh perbankan syariah, karena sistem bagi hasil (dalam musyarokah dan
mudhoroba), merupakan keunggulan sekaligus pembeda antara bank syariah dengan bank
konvensional . Efek lanjutannya, dengan minimnya pembiayaan mudhorobah dan musyarokah,
dapat mengakibatkan pengembangan sektor riil juga terhambat . Sisi yang kedua yang dikritisi
adalah ; penentuan margin murobahah dengan menggunakan benchmark perbankan konvensional,
bahkan kadang di atasnya, yang dinilai bisa merusak reputasi perbankan syariah . Sehingga kalangan
a a ada ya g e ilai ah a a k sya i ah e ga il keu tu ga le ih esa di a di gka
dengan bank konvensional .
Sebenarnya, kalangan praktisi juga tidak salah ketika menjalankan prinsip kehati-hatian dalam
mengeluarkan pembiayaan mudhorobah yang cukup beresiko, karena dana adalah amanat dari
investor. Sementara pada saat yang sama, para nasabah yang telah sukses juga tidak salah jika lebih
memilih akad murabahah, karena dipandang lebih efisien dan tidak mengikat.
Penutup : Impian hari ini, kenyataan esok hari
Betatapun rumitnya permasalahan dan kendala yang dihadapi, kalangan praktisi perbankan syariah
tetap optimis dengan masa depan industri perbankan syariah di negri ini. Bahkan BI
memproyeksikan pada tahun 2011 aset perbankan syariah diperkirakan mencapai 171,35 Trilyun (
9,10 % dari total industri perbankan nasional). Sementara Presdir Kareem Bussines Consulting ( KBC)
Adiwarman Karim, berani memproyeksikan lebih dari itu. Ia memperkirakan aset perbankan syariah
di Indonesia pada 2011 akan berada ada kisaran 300-360 trilyun ( 16,7 % dari pangsa pasar indutri
perbankan nasional) . Pada saat itulah, diperkirakan peran industri perbankan syariah dalam menata
perekonomian nasional, akan terasa lebih signifikan.
Akhirnya, genderang jihad perbankan Islam di negri ini telah ditabuh. Target dan proyeksi telah
ditentukan. Peluang dan tantangan sama-sama telah disadari. Tidak ada hari-hari setelah ini kecuali
harus dipenuhi optimalisasi usaha dan pembenahan aspek internal-eksternal. Meminjam istilah
Imam Hasan Al-Bana ; Impian hari ini, harus menjadi kenyataan di esok hari. Sehingga, pada saat
pertolongan Allah telah terlihat, maka tidak ada lagi selain tasbih dan istighfar.( QS 110 :3 ). Wallahu
a la
issho a .
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia
adalah Maha Penerima taubat.
i Artikel, diterbitkan dalam Rubrik Kajian Utama Majalah El-Nilein, Media Komunikasi Persatuan
Pelajar Indonesia (PPI) Sudan, bulan Juli 2006
ii Alumnus S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Internasional Afrika, Khartoum Sudan
Page | 8
Kajian Utama Majalah El-Nilein PPI Sudan Juli 2006