GAYA KEPEMIMPINAN DAN KUALITAS KEHIDUPAN KERJA TERHADAP TINGKAT TURNOVER KARYAWAN (Studi Kasus Pada PT.Ebiz Cipta Solusi)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Landasan Teori

2.1.1 Pengertian Manajemen
Manajemen berasal dari kata to manage yang artinya adalah mengatur,
adapun manajemen adalah alat untuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan.
Manajemen yang tepat akan memudahkan tujuan itu sendiri. Dimana dalam
manajemen ada suatu proses , karena manajemen terdapat beberapa tahapan untuk
mencapai

tujuan,

yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan

pengawasan. Dalam proses mencapai tujuan suatu organisasi pasti menghadapi
kendala-kendala yang ada, oleh karena itu perusahaan harus menciptakan suatu
kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan oleh organisasi

atau perusahaan.
Untuk lebih jelasnya definisi menurut para ahli adalah sebagai berikut :
Menurut Kartono (2008:168) dalam bukunya “Pemimpin dan Kepemimpinan”
menyatakan sebagai berikut : “Manajemen adalah penyelenggaraan usaha
penyusunan dan pencapaian hasil yang diinginkan dengan menggunakan upayaupaya kelompok, terdiri atas penggunaan bakat-bakat dan sumber daya manusia”
Sedangkan menurut Terry (2000:3) menyatakan sebagai berikut :
“Manajemen adalah suatu proses yang khas, terdiri dari tindakan-tindakan
perencanaan, penggorganisasian, pengarahan, dan pengendalian yang dilakukan
untuk mengarahkan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan melalui
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya.”
Sedangkan menurut Komarudin (2011:9) sebagai berikut : “Manajemen
adalah ilmu dan seni pengaturan dalam pemanfaatan sumber daya organisasi agar
tujuan tercapai dengan efektif dan efisien”.
Dari pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen adalah
suatu proses pemanfaatan sumber daya manusia yang ada yang terdiri dari
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan serta sumber daya
lain secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi.
8

9


2.1.2 Manajemen Sumber Daya Manusia
Semakin berkembangnya kegiatan manusia dalam organisasi diperlukan
suatu manajemen yang khusus dalam pemanfaatan sumber daya nya untuk bekerja
secara efektif dan efisien dalam mencapai suatu tujuan organisasi yang bisa
disebut manajemen personalia atau Manajemen Sumber Daya Manusia. Tanpa
adanya sumber daya manusia maka kegiatan perusahaan tidak akan berjalan
sebagaimana mestinya, meskipun pada zaman sekarang semua terintegrasi dengan
mesin, bahkan di beberapa negara sudah ada yang menggantikan peranan manusia
sebagai salah satu tenaga yang sangat penting di organisasi.
Namun peranan manusia tidak bisa diganti begitu saja oleh mesin, karena
manusia memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh mesin. Maka
muncul suatu ilmu mengenai manajemen sumber daya manusia yang menitik
beratkan pengkajiannya pada pengelolaan manusia sebagai sumber daya serta
berupaya mengkoordinasikan persoalan-persoalan agar dapat menjalankan peran
serta mengkoordinasikan secara baik.
Untuk lebih jelasnya definisi menurut para ahli adalah sebagai berikut :
Menurut Rivai (2008:1) dalam buku “Kepemimpinan dan Perilaku
Organisasi” menyatakan bahwa : “Manajemen sumeber daya manusia adalah
salah satu bidang dari manajemen umum yang meliputi segi-segi perencanaan”

Sedangkan menurut Marwansyah (2010:3) sebagai berikut : “Manajemen
sumber daya manusia dapat diartikan sebagai pendayagunaan sumber daya
manusia dalam organisasi, yang dilakukan melalui fungsi-fungsi perencanaan
sumber

daya

manusia,

perencananaan

pengembangan

karir,

pemberian

kompensasi dan kesejahteraan, dan hubungan industrial.”
Sedangkan menurut Gary Dessler (2010:4) menyatakan : “manajemen
sumber daya manusia sebagai kebijakan dan latihan untuk memenuhi kebutuhan

karyawan atau aspek-aspek yang terdapat dalam sumber daya manusia seperti
posisi manajemen, pengadaan karyawan atau rekrutmen, penyaringan, pelatihan,
kompensasi, dan penilaian prestasi kerja karyawan.
Dari beberapa definsi diatas dapat disimpulkan bahwa Manajemen Sumber
Daya Manusia adalah sebagai pendayagunaan manusia dalam organisasi, yang

10

dilakukan

melalui

fungsi-fungsi

perencanaan

sumber

daya


manusia,

perencananaan pengembangan karir, pemberian kompensasi dan kesejahteraan,
dan hubungan industrial

2.1.2.1 Fungsi-fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut Gary Dessler (2010:4) mengklasifikasikan ruang lingkup
Manajemen Sumber Daya Manusia menjadi dua fungsi pokok yaitu sebagai
berikut :
1. Fungsi Manajerial
a. Perencanaan
Menetapkan terlebih dahulu tujuan yang ingin dicapai oleh
perusahaan dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Untuk
seorang manajer personalia perencanaan berarti menetapkan terlebih
dahulu program personalia yang akan membantu tujuan perusahaan.
b. Pengorganisasian
Mengadakan pembagian tugas atau struktur hubungan antara
pekerjaan pengelompokan tenaga kerja sehingga tercapai suatu
organisasi yang dapat digerakan sebagai suatu kesatuan dalam
rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

c. Pengarahan
Setelah perencanaan dan penggorganisasian telah ditetapkan, maka
fungsi ini adalah sebagai pelaksanaanya seperti menunjukan dan
memberitahukan kesalahan karyawan, melatih memikirkan suatu
permasalahan, hadiah atau sanksi kepada karyawan sesuai dengan
prestasi kerja yang mereka raih.
d. pengendalian
Tindakan atau aktivitas yang dilakukan manajer untuk melakukan
pengamatan, penelitian, serta penilaian dari pelaksanaan seluruh
kegiatan organisasi yang sedang atau telah berjalan untuk mencapai
tujuan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

11

2. Fungsi Operasional
a. Pengadaan
Merupakan usaha untuk menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan
menurut jumlah dan mutu atau keahlian tertentu dengan cara mencari
asal sumber tenaga kerja yang dibutuhkan, melaksanakan proses
seleksi


dan

memanfaatkan

tenaga

kerja

yang

dibutuhkan,

melaksanakan proses seleksi dan memanfaatkan tenaga kerja atas
prinsip penyesuaian antara kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja.
b. Pengembangan
Merupakan proses peningkatan kemampuan dan keterampilan, baik
kemampuan manajerial maupun kemampuan teknis operasional,
sebab penarikan, seleksi, dan penempatan karyawan dijalankan
dengan baik belum


tentu menjamin bahwa mereka dapat

menjalankan pekerjaanya di tempat yang baru dengan sebaik
mungkin. Untuk itu diperlukan pengembangan karyawan baru
dengan sebaik mungkin dengan tujuan untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuannya.
c. Kompensasi
Kompensasi

ini

diartikan

dengan

pemberian

imbalan


atau

penghargaan yang adil dan layak dari piihak perusahaan terhadap
para karyawannya atas prestasi yang telah diberikan oleh karyawan.
Kompensasi ini dapat berupa upah, gaji, insentif, tunjangantunjangan, sarana-sarana lain yang dapat memberikan kepuasan pada
karyawan.
d. Integrasi
Yaitu usaha mempengaruhi para karyawan sedemikian rupa sehingga
segala tindakan-tindakan mereka dapat diarahkan pada tujuan
menguntungkan perusahaan, pekerjaan dan rekan sekerja.
e. Pemeliharaan
Fungsi

ini

mempermasalahkan

bagaimana

memelihara


para

karyawan sehingga nyaman dan mampu bekerja dengan baik di

12

perusahaan. Pemeliharaan karyawan yang baik akan memberikan hal
yang baik, salah satunya adalah tingkat perputaran tenaga kerja yang
rendah. Hal ini yang perlu diperhatikan perusahaan kondisi fisik dan
sikap karyawan.
f. Pemutusan
Merupakan kegiatan perusahaan untuk mengembalikan tenaga kerja
kedalam

masyarakat

setelah

membaktikan


tenaganya

dalam

perusahaan diantaranya dengan : pemensiunan, pemberhentian
sementara, pemberhentian dengan hormat, pemecatan penggantian
tenaga kerja. Biasanya pemutusan hubungan kerja ini terjadi karena
lanjut usia atau sudah melampaui batas kerja yang diizinkan oleh
perusahaan, perusahaan sudah tidak memerlukan karyawan itu lagi,
perusahaan sudah tidak puas dengan prestasi kerja, atau karyawan
mengajukan permohonan pengunduran diri dari perusahaan.

2.1.3 Pengertian Kepemimpinan dan Gaya Kepemimpinan
Dalam suatu organisasi, kepemimpinan merupakan suatu faktor yang
penting

dalam

mencapai

tujuan

organisasi

atau

perusahaan,

dengan

kepemimpinan yang baik, proses manajemen akan berjalan dengan lancar dan
karyawan bersemangat dalam melaksanakan tugasnya. Definisi kepemimpinan
menurut para ahli adalah sebagai berikut :
Menurut

Kartono

(2008:57)

dalam

bukunya

“Pemimpin

dan

Kepemimpinan” menyatakan sebagai berikut :“Kepemimpinan adalah kegiatan
mempengaruhi orang-orang agar mereka mau bekerja sama untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.”
Sedangkan menurut Supardo (2006:1) menyatakan sebagai berikut
“Kepemimpinan

adalah

suatu

proses

yang

kompleks

dimana

:

seorang

mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu misi, tugas, atau suatu sasaran,
dan mengarahkan organisasi dengan cara yang membuatnya lebih kohesif dan
masuk akal.

13

Sedangkan menurut Greenberg dan Baron dalam Nawawi (2006:28)
menyatakan bahwa :“Kepemimpinan adalah suatu proses dimana seorang
pemimpin mempengaruhi anggotanya untuk mencapai tujuan kelompok atau
organisasinya”
Dari beberapa definisi-defnisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan

adalah

kemampuan

yang

dimiliki

oleh

seorang

untuk

mempengaruhi individu-individu maupun yang ada dalam kelompok untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.1.3.1 Syarat-syarat Kepemimpinan
Menurut

Kartono

(2008:36)

Kosepsi

mengenai

persyaratan

kepemimpinan itu harus selalu dikatikan dengan tiga hal penting, yaitu :
a.

Kekuasaan ialah kekuatan, otoritas dan legalitas yang memberikan
wewenang kepada pemimpin guna mempengaruhi dan menggerakkan
bawahan untuk berbuat sesuatu.

b.

Kewibawaan ialah kelebihan, keunggulan, keutamaan sehingga orang
mampu mengatur orang lain, sehingga orang tersebut patuh pada
pemimpin dan bersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.

c.

Kemampuan ialah segala daya, kesanggupan, kekuatan dan kecakapan
atau keterampilan teknis maupun sosial, yang dianggap melebihi dari
kemampuan anggota biasa.

Kartono (2008:37) menuliskan kemampuan kepemimpinan dan syarat
yang harus dimiliki, adalah :
1.

Kemandirian, bershasrat memajukan diri sendiri.

2.

Besar rasa ingin tahu, dan cepat tertarik pada manusia dan bendabenda.

3.

Multi terampil atau memiliki kepandaian beraneka ragam.

4.

Memiliki rasa humor, antusiasme tinggi, suka berkawan.

5.

Perfeksionis, selalu ingin mendapatkan yang sempurna.

6.

Mudah menyesuaikan diri adaptasinya tinggi.

7.

Sabar namun ulet, serta tidak “mendek” berhenti.

14

8.

Waspada, peka, jujur, optimis, berani, gigih, ulet, realistis.

9.

Komunikatif, serta pandai berbicara atau berpidato.

10. Berjiwa wiraswasta.
11. Sehat jasmaninya dinamis, sanggup dan suka menerima tugas berat,
serta berani mengambil resiko.
12. Tajam firasatnya dan adil pertimbangannya.
13. Berpengatahuan luas dan haus akan ilmu pengetahuannya.
14. Memiliki motivasi yang tinggi dan menyadari target atau tujuan
hidupnya yang ingin dicapai, dibimbing oleh idelaisme yang tinggi.
15. Punya imajinasi yang tinggi, daya kombinasi, dan daya inovasi.
Dari uraian di atas dapat disumpulkan bahwa pemimpin yang ideal adalah
pemimpin yang berpengetahuan luas, adil, jujur, optimis, gigih, ulet, bijaksana,
mampu memotivasi diri sendiri, memiliki hubungan baik dengan bawahan,
dimana semua ini dapat dari pengembangan kepribadiannya sehingga seorang
pemimpin memiliki nilai tambah tersendiri dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya sebagai seorang pemimpin.

2.1.3.2 Gaya-gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard (2004:114) adalah
sebagai berikut : “Gaya kepemimpinan terdiri dari kombinasi perilaku tugas dan
perilaku hubungan. Perilaku tugas dimaksudkan sebagai kadar upaya pemimpin
mengorganisasikan dan menetapkan peranan anggota kelompok (pengikut) ;
menjelaskan aktivitas setiap anggota serta kapan, dimana, dan bagaimana cara
menyelesaikannnya ; dicirikan dengan upaya menetapkan pola organisasi, saluran
komunikasi dan cara penyelesaian pekerjaan secara rinci dengan para anggota
kelompok mereka (pengikut) dengan membuka lebar saluran komunikasi dan
menyediakan dukungan dukungan sosio-emosional, psiokologis, dan pemudahan
perilaku.”
Sedangkan menurut Daniel Goleman (2006:63) sebagai berikut : “gaya
kepemimpinan adalah suatu norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada

15

saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia
lihat”.
Kebanyakan orang menganggap gaya kepemimpinan merupakan tipe
kepemimpinan. Hal ini antara lain dinyatakan oleh Siagian (2002) sebagai berikut
: “gaya kepemimpinan seseorang adalah identik dengan tipe kepemimpinan orang
yang bersangkutan.” Artinya, untuk kepentingan pembahasan, istilah tipe dan
gaya kepemimpinan dipandang sebagai sinonim. Secara relatif ada tiga mcam
gaya kepemimpinan yang berbeda, yaitu otokratis, demokratis dan laissez-faire,
yang semuanya mempunyai kelemahan-kelemahan dan kelebihan.
Ada tiga macam gaya kepemimpinan yang berbeda, yaitu otokratis,
demokratis, laissez-faire. Kebanyakan manajer menggunakan ketiganya pada
suatu waktu, tetapi gaya yang paling sering digunakan sebagai pemimpin yang
otokratis, demokratis, atau laissez-faire. Menurut White dan Lippit dalam
Reksohadiprodjo

dan

Handoko

(2003:298)

mengemukakan

tiga

tipe

kepemimpinan, antara lain :
1.

Gaya Kepemimpinan Otokratis
Dalam gaya otokratis, pengambilan keputusan adalah hak prerogatif
dari pemimpin. Semuanya langsung dilakukan dan ditentukan oleh
pemimpin itu sendiri, tanpa masukan dari siapapun.
a.

Semua penentuan kebijaksanaan dilakukan oleh pemimpin.

b.

Teknik-teknik dan langkah-langkah diatur oleh atasan setiap
waktu, sehingga langkah-langkah yang akan datang selalu tidak
pasti untuk tingkat yang luas.

c.

Pemimpin biasanya mendikte tugas kerja bagian dan kerja
bersama setiap anggota.

d.

Pemimpin cenderung menjadi pribadi dalam pujian dan
kecamannya terhadap kerja setiap anggota, mengambil jarak
dari partisipasi kelompok aktif kecuali bila menunjukan
keahliannya.

16

2.

Gaya Kepemimpinan Demokratis
Gaya demokratis mengarah ke pengembangan kepercayaan dan
loyalitas para bawahan kepada pimpinan, karena pemimpin membawa
mereka ke dalam pertimbangan penuh, menggunakan keterampilan
dan pengetahuan mereka dan mengambil masukan mereka, sebelum
tiba pada suatu keputusan. gaya demokratis bekerja dengan sangat
baik dimana pemimpin baru saja bergabung dalam organisasi.
a.

Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan
keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan dari kelompok.

b.

Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk
tujuan kelompok dibuat dan bila dibutuhkan petunjuk teknis,
pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang
dapat dipilih.

c.

Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih
dan pembagaian tugas ditentukan oleh kelompok

d.

Pemimpin yang obyektif atau “fack-mainded” dalam pujian dan
kecamannya dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok
biasa dalam jiwa dan semangat tanpa melakukan banyak
pekerjaan.

3.

Gaya Kepemimpinan Laissez-faire
Dalam hal ini, para bawahan diberikan kebebasan mutlak oleh
pemimpin untuk menentukan tujuan mereka sendiri dan cara-cara
untuk mencapainnya. Gaya ini sedikit didasarkan pada prinsip
interfensi. Hal ini dapat menjadi sukses besar jika bawahan
berpengalaman dan terampil, namun bisa menjadi boomerang jika
mereka tidak dapat percaya.
a.

Kebebasan penuh bagi keputusan kelompok atau individu,
dengan partisipasi dari pemimpin.

b.

Bahan-bahan yang bermacam-macam disediakan oleh pemimpin
yang membuat orang selalu siap bila akan memberikan

17

informasi pada saat ditanya. Dia tidak mengambil bagian dalam
diskusi kerja.’
c.

Sama sekali tidak ada pertisipasi dari pemimpin dalam
penentuan tugas. Penerapan gaya kepemimpinan laissez-faire
dapat mendatangkan keuntungan antara lain para anggota atau
bawahan akan dapat mengembangkan kemampuan dirinya.
Tetapi kepemimpinan jenis ini membawa kerugian bagi
organisasi antara lain berupa kekacauan setiap karyawan bekerja
menurut selera masing-masing.

Dalam situasi tenang dan dalam mengahadapi masalah-masalah yang
memerlukan pemikiran bersama antara pimpinan dan bawahan, dengan sendirinya
akan dipergunakan tipe kepemimpinan demokrasi. Sebaliknya dalam situasi
darurat dimana diperlukan langkah-langkah yang cepat dengan sendirinya akan
menuntut dilaksanakannya kepemimpinan otokrasi. Jadi kadang-kadang suatu saat
pemimpin memberikan pengarahan atau perintah yang kokoh. Tetapi pada saat
yang lain memberikan saran. Oleh karena itu

tidak ada tipe atau gaya

kepemimpinan yang lebih baik, semua tergantung pada situasi dan lingkungannya.

2.1.3.3 Beberapa Teori Kepemimpinan
Menurut

Marwansyah

dan

Mukaram

(2002:172)

perilaku

kepemimpinan dikelompokan kedalam 2 dimensi , yaitu sebagai berikut :
1.

Struktur (initiating Structure)
Struktur diartikan sebagai derajat yang menunjukan sejauh mana
pemimpin mengorganisasikan dan menata pekerjaannya dan pekerjan
bawahan mereka. Para pemimpin dengan gaya ini cenderung
mengarahkan pekerjaan kelompok melalui kegiatan perncanaan
pemberian tugas-tugas, penjadwalan, menetapkan standar kerja yang
jelas, mengecam pekerjaan yang buruk, meminta bawahannya untuk
mengikuti prosedur standar, dan sebagainya.

18

2.

Perhatian
Perhatian dapat diartikan sebagai derajat yang menunjukan sejauh
mana pemimpin membrikan perhatian terhadap bawahnnya yang
bertindak dengan cara yang bersahabat dan membantu. Para pemimpin
dengan gaya ini cenderung memiliki hubungan dengan bawahan yang
dicirikan oleh sikap saling percaya dan saling menghormati terhadap
yang berhubungan kaitan masalah karyawan diperusahaan dalam
keadaan menjalankan tugasnya didalam perusahaan.

Walaupun penekanan utama dalam studi kepemimpinan dari universitas
ohio ini adalah pada perilaku yang diamati, namun demikian staf peneliti
mengembangkan pula kuesioner pendapat pimpinan atau Leader Opinion
Questionare (LOQ) dalam mengumpulkan data mengenai persepsi diri dari
pemimpin-pemimpin tentang gaya kepemimpinan. Jika LBDQ

diisi oleh

bawahan, pengawas, atau kolega, sedangkan LOQ diisi oleh pemimpin sendiri.
Didalan perilaku pemimpin, tim universitas Ohio ini menemukan bahwa
kedua perilaku struktur dan perilaku perhatian tersebut sangat berbeda dan
terpisah satu sama lain. Nilai yang tinggi pada satu dimensi tidaklah mesti diikuti
rendahnya nilai dimensi lain perilaku yang dirancang pada sumbu yang terpisah.
Empat segi yang dikembangkan untuk menunjukan bermacam kombinasi dari
struktur (perilaku tugas) dengan memperhatikan (perilaku hubungan) seperti yang
tergambar dibawah ini sebagai berikut :

Rendah

Perhatian

Tinggi

19

\

Struktur Rendah
Dan
Perhatian Tinggi
(K3)

Struktur Tinggi
Dan
Perhatian Tinggi
(K2)

Struktur Rendah
Dan
Perhatian Rendah
(K4)

Struktur Tinggi
Dan
Perhatian Rendah
(K1)

Rendah

Perhatian

Tinggi

Gambar 2.1
Gambar segi empat kepemimpinan dari universitas ohio
Sumber : Miftah Thoha (2003:282)

Kedua dimensi tersebut terpisah dan berbeda satu sama lain. Seseorang
yang mendapatkan nilai tertinggi pada suatu dimensi yang lainnya juga tinggi.
Pendekatan terhadap salah satu dimensi tidak harus berarti melemahkan dimensi
yang lainnya. Dengan demikian tingkah laku seorang pemimpin dapat dikatakan
sebagai suatu kombinasi dari kedua dimensi tersebut membentuk empat tingkah
laku gaya kepemimpinan sebagai berikut :
1.

Gaya kepemimpinan struktur tinggi dan perhatian rendah (K1), yaitu
pencapaian target kerja tinggi dan hubungan personal rendah.

2.

Gaya kepemimpinan struktur tinggi dan perhatian tinggi (k2), yaitu
pencapaian target kerja tinggi dan hubungan personal tinggi.

3.

Gaya kepemimpinan struktur rendah dan pehatian tinggi (k3), yaitu
pencapaian target kerja rendah dan hubungan personal tinggi.

4.

Gaya kepemimpinan struktur rendah dan perhatian rendah (k4), yaitu
pencapaian target kerja rendah dan hubungan personal rendah.

20

2.1.4 Pengertian Kualitas Kehidupan Kerja
Kualitas kehidupan kerja atau yang dikenal dengan istilah Quality Of
Worklife (QWL) dijelaskan oleh Siagian (2007) sebagai upaya yang sistematik
dalam kehidupan organisasional melalui cara dimana para karyawan diberi
kesempatan untuk turut berperan menentukan cara mereka bekerja dan
sumbangan yang mereka berikan kepada organisasi dalam rangka pencapaian
tujuan dan berbagai sasarannya.
Menurut Mangkuprawira (2009), kualitas kehidupan kerja merupakan
tingkat kepuasan, motivasi, keterlibatan dan pengalaman komitmen perseorangan
mengenai kehidupan mereka dalam bekerja.
Menurut Cascio (2003), quality of work life merupakan salah satu tujuan
penting dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pegawai. Cascio (2003)
mengatakan bahwa quality of work life dapat didefinisikan sebagai persepsi
karyawan tentang kesejahteraan mental dan fisiknya ketika bekerja. Ada dua
pandangan mengenai maksud dari quality of work life. Pertama, quality of work
life adalah sejumlah keadaan dan praktek dari organisasi (contoh: pengayaan
penyelia yang demokratis, keterlibatan pekerja, dan kondisi kerja yang aman).
Sementara yang kedua, quality of work life adalah persepsi karyawan bahwa
mereka ingin rasa aman, mereka merasa puas, dan mendapatkan kesempatan
untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia.
Dari definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka
kualitas kehidupan kerja dapat didefinisikan sebagai persepsi karyawan
terhadap lingkungan organisasi tempat mereka bekerja, dimana organisasi
berupaya untuk memberikan kesesuaian antara karyawan, teknologi, pekerjaan
dan lingkungan dengan cara mengembangkan lingkungan kerja yang nyaman
serta kondusif, sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan
mereka.

21

2.1.4.1 Komponen Kualitas Kehidupan Kerja (Quality of Work Life)
Cascio (2003) menguraikan sembilan komponen Quality of work life yang
terdiri dari keterlibatan karyawan, pengembangan karir, penyelesaian masalah,
komunikasi, fasilitas yang tersedia, rasa aman terhadap pekerjaan, keselamatan
lingkungan kerja, kompensasi yang seimbang, dan rasa bangga terhadap institusi.
Adapun komponen tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 2.2

Teori Cascio Mengenai Quality of Work Life (2003)

Menurut Cascio (2003), usaha perusahaan untuk memperbaiki quality of
work life adalah usaha untuk memperbaiki komponen berikut ini :
1. Keterlibatan karyawan (Employee participation), contohnya dengan
membentuk tim peningkatan kualitas, membentuk tim keterlibatan
karyawan, dan mengadakan pertemuan partisipasi karyawan.
2. Pengembangan karir (Career development), contohnya dengan
mengadakan pendidikan dan pelatihan, evaluasi kinerja dan promosi.
Manfaat pengembangan karir adalah :
a. Mengembangkan prestasi karyawan

22

b. Mencegah terjadinya karyawan yang minta berhenti untuk pindah
kerja dengan cara meningkatkan loyalitas karyawan.
c. Sebagai

wahana

untuk

memotivasi

karyawan

agar

dapat

mengembangkan bakat dan kemampuannya.
d. Mengurangi subjektivitas dalam promosi.
e. Memberikan kepastian hari depan.
f. Sebagai usaha untuk mendukung organisasi memperoleh tenaga
yang cakap dan terampil dalam melaksanakan tugas.
3. Penyelesaian masalah (Conflict resolution), contohnya manajemen
membuka

jalur

formal

untuk

menyampaikan

keluhan

atau

permasalahan.
4. Komunikasi (Communication), komunikasi secara terbuka baik
melalui manajemen langsung maupun melalui serikat pekerja,
pertemuan

grup.

Bentuk

komunikasi

organisasi

secara

umum dibedakan menjadi dua yaitu komunikasi formal dan non
formal.

Bentuk komunikasi

formal

adalah

bentuk hubungan

komunikasi yang diciptakan secara terencana, melalui jalur-jalur
formal dalam organisasi, yang melekat pada saluran-saluran yang
ditetapkan sebagaimana telah ditunjukkan melalui struktur. Bentuk
khas dari komunikasi ini adalah berupa komunikasi yang ada di luar
struktur, biasanya melalui saluran-saluran non formal yang munculnya
bersifat insidental, menurut kebutuhan atau kepentingan interpersonal
yang baik, atau atas dasar kesamaan kepentingan.
5. Fasilitas yang didapat (Wellness), contohnya jaminan kesehatan,
program rekreasi, program konseling. Konseling adalah setiap
aktivitas di tempat kerja di mana seorang individu memanfaatkan
serangkaian keterampilan dan teknik untuk membantu individu
lainnya memikul tanggung jawab dan mengelola pembuatan keputusan
mereka apakah hal ini terkait dengan pekerjaan atau pribadi,
khususnya yang berkaitan dengan pengembangan diri. Aktivitas
konseling sebagai bagian dari kehidupan untuk bekerja secara normal.

23

6. Rasa aman terhadap pekerjaan (Job security), contohnya program
pensiun dan status karyawan tetap.
7. Keselamatan lingkungan kerja (Save environment), contohnya
perusahaan membentuk komite keselamatan, tim gawat darurat, dan
program

keselamatan.

Menurut

Hariandja

(2002),

secara

umum kewajiban perusahaan dalam meningkatkan keselamatan kerja
terdiri dari :
a. Memelihara tempat kerja yang aman dan sehat bagi pekerja
b. Mematuhi semua standar dan syarat kerja
c. Mencatat semua peristiwa kecelakaan yang terjadi yang berkaitan
dengan keselamatan kerja.
8. Kompensasi yang seimbang (Equitable compensation), contohnya
perusahaan memberikan gaji dan keuntungan yang kompetitif.
Menurut Hasibuan (2000) besarnya kompensasi mencerminkan
status, pengakuan, dan tingkat pemenuhan kebutuhan yang dinikmati
oleh karyawan bersama keluarganya. Tujuan pemberian kompensasi
adalah:
a. Ikatan kerja sama antara karyawan dan pemberi kerja.
b. Kepuasan kerja dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan.
c. Sebagai motivator.
d. Program kompensasi atas prinsip adil dan layak serta eksternal
konsistensi yang kompetitif maka stabilitas karyawan lebih terjamin
karena turnover relatif kecil.
e. Disiplin karyawan akan lebih baik.
f. Karyawan dapat dihindarkan dari pengaruh serikat buruh dan lebih
berkonsentrasi pada pekerjaannya..
9. Rasa bangga terhadap institusi (Pride), contohnya perusahaan
memperkuat identitas dan citra perusahaan, meningkatkan partisipasi
masyarakat, dan lebih peduli terhadap lingkungan.

24

2.1.4.2 Faktor - Faktor Kualitas Kehidupan Kerja (Quality of Work Life)
Menurut Siagian (2004), konsep Quality Of Worklife (QWL) terdiri dari
delapan (8) faktor penting yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk
meningkatkan mutu hidup kekaryaan yaitu:
1. Imbalan yang adil dan memadai
Yang dimaksud dengan imbalan adil dan memadai adalah bahwa
imbalan yang diberikan oleh organisasi kepada karyawannya harus
memungkinkan penerimaannya memuaskan berbagai kebutuhannya
sesuai dengan standar hidup karyawan dan sesuai pula dengan standar
pengupahan dan penggajian yang berlaku di pasaran kerja. Artinya,
imbalan yang diterima oleh karyawan harus sepadan dengan imbalan
yang diterima orang lain yang melakukan pekerjaan sejenis.
2. Kondisi dan lingkungan pekerjaan yang aman dan nyaman
Kondisi dan lingkungan pekerjaan yang aman dan nyaman dimana
pekerja dan lingkungan kerja yang menjamin bahwa para pekerja
terlindungi dari bahaya kecelakaan. Segi penting dari kondisi
demikian ialah jam kerja yang memperhitungkan bahwa daya tahan
manusia ada batasnya. Karena itulah ada ketentuan mengenai jumlah
jam kerja setiap hari, ketentuan istirahat, dan ketentuan cuti.
3. Kesempatan

untuk

menggunakan

dan

mengembangkan

kemampuan
Kesempatan untuk menggunakan dan mengembangkan kemampuan
artinya pekerjaan harus diselesaikan memungkinkan penggunaan
aneka ragam keterampilan, terdapat otonomi, pengendalian atau
pengawasan yang tidak ketat karena manajemen memandang bahwa
bawahannya terdiri dari orang-orang yang sudah matang, tersedia
informasi yang relevan dan kesempatan menetapkan rencana kerja
sendiri, termasuk jadwal, mutu, dan cara pemecahan masalah.

25

4. Kesempatan untuk berkembang dan keamanan berkarya di masa
depan
Quality Of Worklife (QWL) mengandung pengertian bahwa kekaryaan
seseorang, terdapat kemungkinan berkembang dalam kemampuan
kerja yang tersedia kesempatan menggunakan keterampilan dan
pengetahuan baru yang dimiliki. Disamping itu dengan menyadari
bahwa perubahan pasti terjadi di masa depan, ada jaminan bahwa
pekerjaan dan penghasilan seseorang tidak akan hilang.
5. Integrasi sosial dalam lingkungan kerja
Melalui Quality Of Worklife (QWL) dalam organisasi tidak ada
tindakan atau kebijakan yang diskriminatif. Status dengan berbagai
simbolnya tidak ditonjolkan. Hirarki jabatan, kekuasaan, dan
wewenang tidak digunakan sebagai dasar untuk berperilaku, terutama
yang sifatnya manipulatif. Tersedia kesempatan meniti karier secara
teratur. Suasana keterbukaan ditumbuhkan dan dipelihara dan terdapat
iklim saling mendukung diantara karyawan.
6. Ketaatan pada berbagai ketentuan formal dan normatif
Quality Of Worklife (QWL) menjamin bahwa dalam organisasi tidak
ada pihak yang campur tangan dalam urusan pribadi seseorang. Para
karyawan diberikan kebebasan bicara dan menyatakan pendapat,
sehingga tidak dihantui ketakutan akan dikenakan sanksi oleh para
pejabat pimpinan. Semua orang dalam organisasi mendapat perlakuan
yang sama. Perbedaan pendapat, perselisihan, dan pertikaian buruh
diselesaikan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
7. Keseimbangan antara kehidupan kekaryaan dan kehidupan
pribadi
Dengan bekerja pada suatu organisasi, maka seseorang akan
menyerahkan tenaga dan waktunya kepada penggunanya. Untuk itu ia
menerima imbalan. Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan menjadi
karyawan pada suatu organisasi, sehingga tidak boleh lagi melakukan
kegiatan lain. Sebagai manusia, seseorang umumnya dituntut

26

memainkan berbagai peranan lain seperti:
a. Kepala Rumah Tangga
b. Anggota Masyarakat
c. Anggota Klub Olahraga
d. Anggota Organisasi Sosial
e. Anggota Organisasi Politik
f. Anggota organisasi keagamaan
g. Anggota organisasi profesi
Oleh karena itu harus dimungkinkan adanya keseimbangan antara
kehidupan kekaryaan dan kehidupan pribadi seseorang dalam
organisasi.
8. Relevansi sosial kehidupan kekaryaan
Relevansi sosial adalah bahwa program QWL setiap karyawan dibina
agar memiliki persepsi yang tepat tentang berbagai aspek sosial
kehidupan organisasional, seperti:
a. Tanggung jawab sosial perusahaan
b. Kewajiban menghasilkan produk bermutu tinggi dan berguna bagi
masyarakat
c. Pelestarian Lingkungan
d. Pembuangan limbah industri dan limbah domestik
e. Pemasaran yang jujur
f. Cara dan teknik menjual yang tidak menimbulkan harapan yang
berlebihan
g. Praktek Pengelolaan Sumber Daya Manusia
h. Partisipasi dalam peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat
dengan ayoman, arahan, bimbingan dan bantuan pemerintah.
Menurut Siagian (2004), ada beberapa cara untuk mengemukakan ideide pokok dalam QWL sebagai filsafat manajemen, yaitu :
1. QWL merupakan suatu program

yang komprehensif dengan

mempertimbangkan berbagai kebutuhan dan tuntutan.

27

2. QWL memperhitungkan tuntutan peraturan perundang-undangan
seperti ketentuan yang mengatur pencegahan tindakan diskriminatif,
perlakuan para pekerja dengan cara yang manusiawi dan ketentuan
tentang sistem imbalan upah minimum.
3. QWL mengakui keberadaan serikat pekerja dalam organisasi dengan
berbagai peranannya memperjuangkan kepentingan para pekerja
termasuk dalam hal upah dan gaji, keselamatan kerja dan penyelesaian
pertikaian perburuhan berdasarkan berbagai ketentuan normatif yang
berlaku di suatu negara tertentu.
4. QWL menekankan pentingnya manajemen yang manusiawi, yang
pada hakikatnya berarti penampilan gaya manajemen demokratik,
termasuk penyeliaan yang simpatik.
5. Dalam peningkatan QWL, perkayaan pekerjaan merupakan bagian
integral yang penting.
6. QWL mencakup pengertian tentang pentingnya tanggung jawab sosial
pihak manajemen dan perlakuan manajemen terhadap para karyawan
yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis.

2.1.4.3 Manfaat Kualitas Kehidupan Kerja
Organisasi yang mempraktikkan program kualitas kehidupan kerja
dengan

efektif

akan

memperoleh

beberapa

keunggulan

seperti

dikemukakan Harsono (2005: 154-155) :
a. Meningkatkan moral kerja, mengurangi stress dan turn over
b. Meningkatkan motivasi
c. Meningkatkan kebanggaan kerja
d. Meningkatkan kompetensi
e. Meningkatkan kepuasan
f. Meningkatkan komitmen
g. Meningkatkan produktivitas

yang

28

Dari beberapa keunggulan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Meningkatkan moral kerja, mengurangi stress dan turnover
Moral kerja karyawan dapat ditingkatkan, tingkat stress menurun dan
turnover dapat ditekan dengan mengembangkan program-program
seperti waktu kerja yang fleksibel, desain pekerjaan yang tepat serta
sistem benefit yang fleksibel.
2. Meningkatkan motivasi
Motivasi merupakan faktor yang cukup berperan dalam menciptakan
prestasi kerja. Praktik manajemen yang memberikan kesempatan bagi
karyawan untuk memberikan masukan kepada organisasi akan
membangun motivasi yang tinggi sehingga dapat mencapai target
pekerjaan yang efektif.
3. Meningkatkan kebanggaan kerja
Berbagai praktik pengelolaan sumber daya manusia yang memberikan
kesempatan partisipasi terhadap desain program seperti sistem benefit,
penilaian prestasi kerja, kebijakan shift kerja dan praktik lain akan
meningkatkan kebanggaan kerja.
4. Meningkatkan kompetensi
Peningkatan kompetensi karyawan secara berkesinambungan dapat
tercapai dalam organisasi yang mampu menghilangkan hambatanhambatan pengembangan karier mereka. Untuk itu diperlukan
program yang mendorong kearah tujuan tersebut.
5. Meningkatkan kepuasan
Karyawan yang merasakan kepuasan kerja akan menunjukkan sikap
perilaku positif dan mengarah kepada peningkatan kinerja.
Pengembangan praktik sumber daya yang mencerminkan kualitas
kehidupan kerja seperti; menciptakan kondisi kerja yang mendukung,
kebijakan kompensasi, desain pekerjaan, kesempatan partisipasi dan
kesempatan karier akan mendorong terciptanya kepuasan yang tinggi.

29

6. Meningkatkan komitmen
Karena karyawan merasakan kepuasan terhadap pekerjaannya, hal ini
akan menimbulkan rasa bahwa pekerjaannya itu merupakan bagian
dari hidupnya sehingga pekerjaan itu akan dilakukan dengan sebaikbaiknya karena itu juga merupakan salah satu komitmen dalam
hidupnya.
7. Meningkatkan produktivitas
Kesempatan mengembangkan diri dan partisipasi yang diberikan akan
mendorong

produktivitas

yang

lebih

tinggi.

Sehingga

dapat

dikemukakan bahwa kualitas kehidupan kerja memiliki pengaruh pada
peningkatan

kemampuan

organisasi

dalam

menarik

dan

mempertahankan karyawan yang berkualitas, dengan demikian akan
mengurangi tingkat perputaran tenaga kerja yang berdampak pada
peningkatan produktivitas.

2.1.5 Pengertian Intensi Turnover
Intensi adalah niat atau keinginan yang timbul pada individu untuk
melakukan sesuatu, sedangkan perputaran tenaga kerja adalah berhentinya
seseorang karyawan dari tempatnya bekerja secara sukarela (Novliadi 2007:30).
Menurut Bluedorn dalam Grant et al., (2001: 65) Intensi turnover tenaga kerja
adalah kecenderungan sikap atau tingkat dimana seorang karyawan memiliki
kemungkinan untuk meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri secara
sukarela dari pekerjaanya. Dengan demikian intensi turnover tenaga kerja adalah
kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya
secara sukarela menurut pilihannya sendiri.
Terdapat beberapa definisi Intensi Turnover tenaga kerja menurut para
ahli yaitu:
1. Menurut Glissmeyer, Bishop dan Fass (2008) dalam Yucel
(2012:45), Intensi turnover tenaga kerja didefinisikan sebagai sikap
yang mempengaruhi niat untuk berhenti dan benar-benar berhenti dari
organisasi.

30

2. Menurut Bockermann dan Ilmakunnas (2004) dalam Sinem dan
Baris (2011:4) mendefinisikan intensi turnover tenaga kerja sebagai
sikap perilaku seseorang untuk menarik diri dari organisasi, sedangkan
turnover dianggap sebagai pemisahan yang sebenarnya dari organisasi.
3. Menurut Abelson (1987) dalam Nayaputera (2011:52), Intensi
turnover tenaga kerja didefinisikan sebagai suatu keinginan individu
untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain.
Intensi turnover tenaga kerja merupakan keinginan atau niat karyawan
dari suatu perusahaan atau organisasi untuk keluar dari tempatnya bekerja secara
sadar dan sukarela.

2.1.5.1 Jenis-Jenis Intensi Turnover Karyawan
Menurut Heneman dan Judge (2003) dalam Andestia (2012:17),
terdapat dua jenis perputaran atau perpindahan karyawan yaitu :
1. Perputaran tenaga kerja secara sukarela, yaitu perpindahan yang
diinginkan oleh karyawan sendiri karena alasan tertentu, seperti tidak
ada kesempatan untuk promosi, pelatihan, masalah keluarga dan lainlain.
2. Perputaran tenaga kerja secara sengaja, yaitu perpindahan karyawan
karena keputusan perusahaan seperti tidak memperpanjang kontrak
karyawan karena kurang disiplin atau kinerja yang kurang baik dan
perampingan

perusahaan

yang

harus

mengurangi

jumlah

karyawannya.
Pergantian karyawan atau keluar masuknya karyawan dari organisasi
adalah suatu fenomena penting dalam kehidupan organisasi. Ada kalanya
pergantian karyawan memiliki dampak positif. Namun sebagian besar pergantian
karyawan membawa pengaruh yang kurang baik terhadap organisasi, baik dari
segi biaya maupun dari segi hilangnya waktu dan kesempatan untuk
memanfaatkan peluang.

31

2.1.5.2 Faktor yang mempengaruhi Intensi Turnover Karyawan
Mobley et al (1986) dalam Rodly (2012: 75) menyatakan bahwa banyak
faktor yang menyebabkan karyawan berpindah dari tempat kerjanya namun
faktor determinan keinginan berpindah diantaranya adalah :
1.

Kepuasan Kerja
Pada tingkat individual, kepuasan merupakan variabel psikologi yang
paling sering diteliti dalam suatu model intention to leave. Aspek
kepuasan yang ditemukan berhubungan dengan keinginan individu
untuk meninggalkan organisasi meliputi kepuasan akan upah dan
promosi, kepuasan atas supervise yang diterima, kepuasan dengan
rekan kerja dan kepuasan akan pekerjaan dan isi kerja.

2.

Komitmen organisasi
Karena hubungan kepuasan kerja dan keinginan menginggalkan
tempat kerja hanya menerangkan sebagian kecil varian maka jelas
model proses intention to leave karyawan harus menggunakan
variabel lain di luar kepuasan kerja sebagai satu-satunya variabel
penjelas. Perkembangan selanjutnya dalam studi intention to leave
memasukkan konstruk komitmen organisasional sebagai konsep yang
turut menjelaskan proses tersebut sebagai bentuk perilaku, komitmen
organisasional dapat dibedakan dari kepuasan kerja. Komitmen
mengacu pada respon emosional individu kepada keseluruhan
organisasi, sedangkan kepuasan mengarah pada respon emosional atas
aspek khusus dari pekerjaan.

Selanjutnya menurut Novliadi (2007) dalam Nayaputera (2011:40)
faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya intensi turnover tenaga kerja cukup
kompleks dan saling berkait satu sama lain. Faktor-faktor tersebut antara lain
adalah :
1. Usia
Pekerja dengan usia muda mempunyai tingkat perputaran tenaga kerja
yang lebih tinggi daripada pekerja-pekerja dengan usia yang lebih tua.
Penelitian- penelitian terdahulu menunjukan adanya hubungan yang

32

signifikan antara usia dan intensi turnover tenaga kerja dengan arah
hubungan negatif. Artinya semakin tinggi usia seseorang, semakin rendah
tingkat intensi turnover tenaga kerjanya. Hal ini mungkin disebabkan
karyawan yang usianya lebih tua enggan untuk berpindah-pindah tempat
kerja karena berbagai alasan seperti tanggung jawab keluarga, mobilitas
yang menurun, tidak mau repot pindah kerja dan memulai pekerjaan di
tempat baru, atau karena energi yang sudah berkurang, dan lebih lagi
karena senioritas yang belum tentu didapat di tempat yang baru walaupun
gaji dan fasilitas yang diterima lebih besar. Sedangkan tingkat perputaran
tenaga kerja pada tenaga kerja berusia muda cenderung lebih tinggi. Hal
ini disebabkan karena mereka masih memliki keinginan untuk mencobacoba pekerjaan serta ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besar
melalui cara tersebut. Selain itu tenaga kerja dengan usia muda lebih
mungkin memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk mendapat
pekerjaan baru dan memiliki tanggung jawab terhadap keluarga lebih
kecil, sehingga dengan demikian lebih mempermudah mobilitas pekerjaan.
2. Lama Kerja
Hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukan adanya korelasi
negatif antara masa kerja dengan perputaran tenaga kerja, yang berarti
semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan intensi turnover
tenaga kerjanya.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap dorongan untuk melakukan
perputaran tenaga kerja. Mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang
lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-pekerjaan yang
monoton dan mereka akan lebih berani keluar dan mencari pekerjaan baru
daripada mereka yang tingkat pendidikannya terbatas.
4. Keikatan Terhadap Perusahaan
Keikatan terhadap perusahaan memiliki korelasi yang negatif dan
signifikan terhadap perputaran tenaga kerja. Berarti semakin tinggi tingkat
keikatan seseorang terhadap perusahaan akan semakin kecil ia mempunyai

33

intensi

untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan, dan sebaliknya.

Seseorang yang mempunyai rasa keikatan yang kuat terhadap perusahaan
tempat ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki,
rasa aman, tujuan dan arti hidup, serta gambaran diri yang positif. Akibat
secara langsung ialah menurunnya dorongan untuk berpindah pekerjaan
dan perusahaan.
5. Kepuasan Kerja
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan, menunjukan bahwa
tingkat perputaran tenaga kerja dipengaruhi oleh kepuasan kerja seseorang.
Semakin tidak puas seseorang terhadap pekerjaannya akan semakin kuat
dorongannya untuk melakukan perputaran tenaga kerja. Ketidakpuasan
yang menjadi penyebab perputaran tenaga kerja memiliki banyak aspek.
Diantara aspek- aspek itu adalah ketidakpuasan terhadap manajemen
perusahaan, kondisi kerja, mutu pengawasan, penghargaan, gaji, promosi,
dan hubungan interpersonal.
6. Budaya Perusahaan
Budaya merupakan suatu kekuatan tak terlihat yang mempengaruhi
pemikiran, perasaan, pembicaraan maupun tindakan manusia yang bekerja
di dalam perusahaan. Budaya perusahaan mempengaruhi persepsi mereka,
menentukan dan mengharapkan bagaimana cara individu bekerja seharihari dan dapat membuat individu tersebut merasa senang dalam
menjalankan tugasnya.

2.1.5.3 Pengukuran Intensi Turnover
Menurut Abelson (1987) dalam Nayaputera (2011:39) didefinisikan
intensi perputaran tenaga kerja sebagai suatu keinginan individu untuk
meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain. Beberapa
komponen pengukuran intensi perputaran tenaga kerja sebagai berikut :

34

1.

Adanya pikiran untuk keluar..
Pada

tahap

ini

karyawan

mengevaluasi

pekerjaannya

yang

sekarang,kemudian mereka menyadari bahwa mereka puas atau tidak
puas.
2.

Keinginan untuk mencari lowongan pekerjaan lain
Berawal dari penurunan tingkat kepuasan maka pada tahap ini akan
mempengaruhi penurunan motivasi yang dicirikan antara lain: stress,
malas bekerja, kualitas rendah, komunikasi personal kurang, masa
bodoh dengan tugas pekerjaannya. Pada akhirnya akan memutuskan
untuk berfikir dan berniat keluar untuk mencari pekerjaan baru.

3.

Mengevaluasi kemungkinan untuk menemukan pekerjaan yang layak
di tempat lain.
Pada tahap ini karyawan akan membandingkan pekerjaan alternative
dengan pekerjaan sekarang serta membuat suatu keputusan untuk
tinggal atau keluar.

4.

Adanya keinginan untuk meninggalkan organisasi.
Tahap terakhir adalah tindakan untuk tinggal atau keluar dari
organisasi.

Kemudian Abelson (1987) dalam Nayaputera (2011:45), menyatakan
bahwa sebagian besar karyawan yang meninggalkan organisasi karena alasan
sukarela dapat dikategorikan atas perpindahan kerja sukarela yang dapat
dihindarkan dan perpindahan kerja sukarela yang tidak dapat dihindarkan.
Perpindahan kerja sukarela yang dapat dihindarkan dapat disebabkan karena
alasan berupa gaji, kondisi kerja, atasan atau ada organisasi lain yang di rasakan
lebih baik sedangkan perpindahan kerja sukarela yang tidak dapat dihindarkan
dapat disebabkan karena perubahan jalur karir atau faktor keluarga.

2.1.5.4 Alasan Karyawan Berhenti
Menurut Aamodt (2010) dalam Andestia (2012:18), terdapat lima alasan
karyawan meninggalkan pekerjaan mereka yaitu :

35

1.

Alasan yang tidak dapat dihindari
Misalnya karyawan yang harus pindah karena menikah dengan
karyawan disatu perusahaan, masalah kesehatan, masalah keluarga
(misalnya seseorang keluar karena harus mengurus anak-anaknya di
rumah) dan sebagainya.

2.

Kemajuan
Banyak karyawan yang meninggalkan perusahaan untuk mencari
pekerjaan dengan bayaran yang lebih baik dan untuk kemajuan
dirinya.

3.

Kebutuhan yang tidak terpenuhi
Karyawan yang kebutuhannya tidak terpenuhi akan merasa tidak puas
dan

berkeinginan

untuk

meninggalkan

perusahaan,

misalnya

seseorang karyawan yang memiliki kebutuhan sosial yang tinggi,
tetapi pekerjaannya hanya melibatkan sedikit kontrak dengan orang
lain.
4.

Melarikan diri / menghindar
Alasan umum mengapa banyak karyawan meninggalkan perusahaan
yaitu karena menghindar dari orang-orang, kondisi pekerjaan dan
beban kerja.

5.

Harapan yang tidak terpenuhi
Karyawan yang datang ke suatu perusahaan dengan harapan yang
beragam

seperti

gaji,

kondisi

pekerjaan,

kesempatan

untuk

maju/berkembang, dan budaya organisasi, ketika kenyataan berbeda
dengan

harapan

karyawan

akan

merasa

kurang

puas

dan

meninggalkan perusahaan.

2.1.5.5 Indikasi Terjadinya Intensi Turnover
Menurut Harnoto (2002) dalam Wijaya (2012:40), Intensi turnover
tenaga kerja ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan,
antara lain : absensi yang meningkat, mulai malas kerja, naiknya keberanian untuk
melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada

36

atasan, maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan
yang sangat berbeda dari biasanya. Indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan
untuk memprediksikan intensi turnover tenaga kerja dalam sebuah perusahaan,
berikut penjelasan indikasi terjadinya intensi turnover tenaga kerja:
1.

Absensi yang meningkat
Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja biasanya
ditandai dengan absensi meningkat dengan tingkat tanggung jawab
karyawan yang menurun dibandingkan sebelumnya.

2.

Mulai malas bekerja
Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja akan
lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di
tempat lainnya yang di pandang lebih mampu memenuhi semua
keinginan karyawan yang bersangkutan.

3.

Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja
Berbagai pelanggaran terrhadap tata tertib dalam lingkungan
pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan melakukan turnover.
Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam
kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran lainnya.

4.

Peningkatan protes terhadap atasan
Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih
sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan
kepada atasan. Materi protes yang di tekankan biasanya berhubungan
dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak sependapat dengan
keinginan karyawan.

5.

Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya.
Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif.
Karyawan ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas
yang di bebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat
jauh dan berbeda dari biasanya menunjukkan karyawan ini akan
melakukan turnover.

37

2.1.5.6 Dampak Intensi Turnover terhadap Organisasi
Menurut Harnoto dalam Andestia (2012:19), perputaran tenaga kerja ini
merupakan petunjuk kestabilan karyawan. Semakin tinggi perputaran tenaga
kerja, berarti semakin sering terjadi pergantian karyawan. Tentu hal ini akan
merugikan perusahaan. Sebab, apabila seorang karyawan meninggalkan
perusahaan akan membawa berbagai biaya seperti:
1.

Biaya penarikan karyawan. Menyangkut waktu dan fasilitas untuk
wawancara

dalam

proses

seleksi

karyawan,

penarikan

dan

mempelajari penggantian.
2.

Biaya latihan. Menyangkut waktu pengawas, departemen personalia
dan karyawan yang dilatih.

3.

Apa yang dikeluarkan buat karyawan lebih kecil dari yang dihasilkan
karyawan baru tersebut.

4.

Tingkat kecelakaan para karyawan baru, biasanya cenderung tinggi.

5.

Adanya produksi yang hilang selama masa pergantian karyawan.

6.

Peralatan produksi yang tidak bisa digunakan sepenuhnya.

7.

Banyak pemborosan karena adanya karyawan baru.

8.

Perlu melakukan kerja lembur, kalau tidak akan mengalami
penundaan penyerahan.

Perputaran tenaga kerja yang tinggi pada suatu bidang dalam suatu
organisasi, menunjukkan bahwa bidang yang bersangkutan perlu diperbaiki
kondisi kerjanya atau cara pembinaannya.

2.1.6 Pengaruh Model Gaya Kepemimpinan Terhadap Intensi Turnover
Gaya kepemimpinan mempunyai pengaruh terhadap Intensi Turnover,
karena salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya Turnover adalah
ketidakpuasan terhadap gaya kepemimpinan yang diterapkan. Hal ini dikuatkan
juga oleh pendapat ahli yaitu Hom dan Griffeth (1995), tentang terdapatnya
beberapa casual factor yang dipelajari dalam mengidentifikasikan keinginan
karyawan untuk pergi meninggalkan organisasi baik secara langsung maupun
tidak langsung, yaitu salah satunya adalah faktor leadership style manager,dimana

38

gaya memimpin seorang pimpinan atau manajer juga merupakan salah satu faktor
penentu Intensi Turnover. Kenyamanan karyawan dalam bekerja dapat didukung
oleh gaya kepemimpinan yang tepat, sehingga gaya kepemimpinan yang kurang
tepat dalam penerapannya akan akan mempengaruhi komitmen karyawan
terhadap organisasi.
Tugas seorang pimpinan yang utama adalah memberikan sumbangan yang
besar berupa tenaga dan pikiran agar tujuan organisasi tercapai, namun tidak
setiap orang melaksanakan gaya kepemimpinan dengan baik, karena tugas-tugas
dalam strategi kepemimpinan suatu tanggung jawab yang besar. Untuk
menciptakan suasana kerja yang baik dibutuhkan suatu tindakan yang dapat
memberikan kenyamanan kerja dan tindakan tersebut berasal dari gaya
kepemimpinan , karena itu setiap pemimpin harus mengetahui secara jelas tentang
apa yang dibutuhkan oleh karyawan dan organisasi agar mereka dapat
bekerjasama secara efektif.
Selain i