T2 752015011 BAB III

BAB III
MORITARI: POLA HIDUP MASYARAKAT WOTAY TETAP BERTAHAN DI

TENGAH ARUS PERUBAHAN

3.1. Pengantar.
Bab ini membahas empat topik utama yang diangkat oleh penulis yaitu profil makro
masyarakat Wotay, moritari: cermin hidup masyarakat Wotay, moritari: perjumpaan dengan
Injil, serta perubahan sosial masyarakat Wotay. Pokok-pokok tersebut diangkat guna
menelusuri dan menemukan unsur-unsur penting moritari dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat setempat. Di samping itu, pokok-pokok pembahasan di atas mengarah pada
eksistensi moritari yang tetap bertahan di tengah arus perubahan masyarakat Wotay.

3.2. Profil Makro Masyarakat Wotay.
Sebelum mengkaji lebih dalam sistem moritari yang tumbuh dan berkembang di
kalangan masyarakat Wotay, penting untuk memperkenalkan profil makro masyarakat Wotay
sebagai pemangku moritari. Pemaparan ini bermanfaat bagi para pembaca untuk mengetahui
realitas hidup masyarakat setempat sebelum melihat lebih jauh unsur-unsur penting yang
terkandung dalam budaya yang dianut masyarakat dimaksud. Terkait dengan profil makro
masyarakat Wotay penulis memaparkan tentang asal mula terbentuknya masyarakat Wotay,
letak geografis Desa Wotay, sistem pemerintahan, mata pencaharian penduduk, sistem

kekerabatan, dan sistem kepercayaan masyarakat Wotay.

3.2.1. Asal Mula Terbentuknya Masyarakat Wotay
Tentang asal-usul masyarakat TNS yang mana masyarakat Wotay terintegrasi di
dalamnya, ada pendapat yang menyebutkan bahwa masyarakat TNS berasal dari Pulau

Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Mereka merupakan para pengungsi dari
Pulau Banda yang mengungsi ke Pulau Teon, Nila, dan Serua akibat serbuan Belanda pada
tahun 1621. Para pengungsi ini lalu mendirikan kampung-kampung di TNS dan bermukim di
sana.1 Karena kurangnya informasi dan bukti ilmiah, salah satu cara yang ditempuh oleh
penulis untuk mengetahui asal mula masyarakat Wotay adalah melalui penelusuran atas
tradisi lisan dan tulisan masyarakat setempat seperti yang tergambar dalam kisah leluhur
marga Karesina sebagai tuan tanah di Wotay sekaligus pemimpin soa Fotayten’na maupun
dalam kisah leluhur marga Purmiasa sebagai pemimpin soa Sereral”na. Penjelasan tentang
asal usul kedua soa tersebut telah dikemukakan oleh penulis pada bagian pendahuluan.2
Berdasarkan cerita rakyat setempat diketahui bahwa terbentuknya masyarakat Wotay
tidak lain karena keinginan dari para leluhur untuk saling menolong dan melindungi dalam
realitas hidup yang sulit di masa itu. Sumber tradisi lisan masyarakat setempat menyebutkan
bahwa pada zaman para leluhur terdapat sebuah negeri (desa) bernama Rumday yang suka
berperang dan membinasakan satu sama lain. Sebagai bentuk perlindungan diri, para leluhur

dari kedua soa/matarumah (kelompok orang yang terdiri dari beberapa marga) mengikat janji
untuk saling menolong apabila salah satu pihak mengalami bahaya. Terdorong atas keinginan
tersebut, leluhur dari kedua soa besar yang ada di Wotay ini bersepakat untuk membangun
kehidupan bersama dan membentuk kampung-kampung. Dimulai dari realitas inilah cikal
bakal lahirnya budaya moritari.3
Desa Wotay merupakan satu dari sejumlah desa dalam wilayah kecamatan TNS yang
memiliki keunikan. Dikatakan unik, sebab jika menyoroti asal mula terbentuknya Desa
Wotay, maka harus disoroti dari dimensi tempat dan waktu yang berbeda yaitu ketika

1

Materi kuliah kebudayaan Maluku oleh A.Relmasira pada Fakultas Teologi Kristen, Universitas Kristen
Indonesia Maluku (UKIM) Ambon, pada Rabu, 1 Juni, 2011.
2
Lih.hlm 5.
3
Keterangan ini bersumber dari profil marga Purmiasa tahun 1880-an yang dibuat oleh generasi
marga Purmiasa sebagai pimpinan soa/ ataru ah Sereral’ a, dan sejarah marga Karesina yang dibuat tahun
2013 oleh tetua marga Karesina yang merupakan pimpinan soa/ ataru ah Fotayte ’ a.


37

masyarakat Wotay masih tinggal dalam wilayah asalnya di Pulau Nila, dan ketika masyarakat
setempat telah berpindah ke Pulau Seram, Kecamatan TNS sekarang.
Desa Wotay mula-mula dikenal dengan nama Letwori Rei’syara yang berarti negeri
yang menarik; mengumpulkan dan menghidupkan. Atau dengan kata lain Letwori Rei’syara
berarti negeri yang menarik; mengumpulkan dan menghidupkan masyarakatnya berdasarkan
kehendak Tuhan pencipta langit dan bumi ( Upler’Lapna manyapi). Filosofi dibalik nama
Desa Wotay didasari atas ikatan persekutuan leluhur masyarakat setempat yang hidup saling
tolong-menolong satu dengan yang lain (moritari). Leluhur masyarakat Wotay bersepakat
membangun kehidupan bersama di sebuah tempat yang bernama osi (sebutan untuk kampung
dalam bahasa Wotay). Seiring dengan berbagai petualangan para leluhur masyarakat Wotay,
nama Desa Wotay yang konon berasal dari nama salah satu desa di Timor-Timur; Sinvotay,
kemudian dipakai sebagai nama pemukiman mereka di Pulau Nila, yang hingga sekarang
dikenal dengan nama Desa Wotay.4
Terbentuknya Desa Wotay di Kecamatan TNS, Pulau Seram turut dipengaruhi oleh
kondisi alam Pulau Nila. Pada tahun 1968 terjadi bencana alam berupa tanda-tanda letusan
gunung api Lawarkawra di Pulau Nila yang menyebabkan masyarakat setempat harus
meninggalkan pulau TNS menuju lokasi yang lebih aman. Dalam rangka penyelamatan, pada
bulan Februari tahun 1978 sebuah rombongan yang terdiri atas Tim Penanggulangan Bencana

Alam (TPBA) Provinsi Maluku, unsur sipil dan militer (TNI-Angkatan Laut) mendatangi
wilayah tiga pulau ini dengan maksud menggerakkan masyarakat untuk berpindah. Tindakan
ini merupakan langkah evakuasi guna menyelamatkan para penduduk dari dampak letusan
gunung berapi. Setelah tercapai kesepakatan antara TPBA dengan seluruh jajaran

4

Berdasarkan sumber tertulis dari profil marga Karesina yang dibuat oleh tetua marga Karesina pada
tahun 2013. Disesuaikan dengan hasil wawancara dengan O. Karesina, kepala soa Fotayte ’ a, pada Jumat, 15
April 2016.

38

pemerintahan desa beserta seluruh perangkat pelayan jemaat GPM Wotay, diadakanlah
ibadah pemindahan pada 25 Februari 1978.5
Pada tanggal 8 Maret 1978 masyarakat Wotay dan seluruh masyarakat TNS mendiami
barak-barak penampungan di Desa Makariki, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku
Tengah sambil menunggu selesainya pembangunan perumahan penduduk di Kecamatan
TNS, Pulau Seram. Selang beberapa waktu, masyarakat Wotay akhirnya menempati
pemukiman baru yang dikenal dengan wilayah Kecamatan TNS sekarang.6

Dalam pergaulan hidup masyarakat Wotay pascaevakuasi ke Pulau Seram, terjadilah
kontak dengan masyarakat lain karena adanya ikatan dinas maupun perkawinan campur.
Bahkan pada tahun 1999-2002 ketika terjadi konflik sosial di Maluku, mulailah berdatangan
para pengungsi dari berbagai daerah konflik di Maluku ke Desa Wotay. Para pengungsi
tersebut diterima dengan baik serta hidup menyatu dengan masyarakat Wotay dalam waktu
yang cukup lama. Seiring meredanya konflik sosial dan proses relokasi para pengungsi
korban konflik ke daerah asalnya, sebagian dari mereka memutuskan untuk menetap di Desa
Wotay dan menjadi bagian dari masyarakat setempat. Berdasarkan data kependudukan
Negeri Wotay tahun 2015, jumlah kepala keluarga di Desa Wotay adalah sebanyak 156
kepala keluarga dengan keanekaragaman penduduknya. Jumlah penduduk Desa Wotay yang
heterogen terdiri dari penduduk asli Wotay, penduduk yang melakukan perkawinan campur,
penduduk korban konflik Maluku tahun 1999-2002, dan penduduk pendatang karena ikatan
dinas dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

5
6

Pemerintah Negeri Wotay, Sejarah Negeri dan Data Kependudukan Negeri Wotay Tahun 2015.
Pemerintah Negeri Wotay, Sejarah Negeri dan Data Kependudukan Negeri Wotay Tahun 2015.


39

Tabel 3.2.1.Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin.
No.

Kategori Penduduk

Jenis Kelamin
Perempuan (P) Laki-laki (L)
1.
Penduduk asli Wotay
269
309
2.
Penduduk yang menikah dengan orang 17
15
luar komunitas masyarakat Wotay
3.
Pengungsi konflik Maluku 1999-2002
43

36
4.
Pendatang karena 4.1. PNS
3
5
ikatan dinas
4.2.Wiraswasta
1
Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
332 jiwa
366 jiwa
Total Penduduk Wotay Tahun 2015
698 Jiwa (P+L)
Sumber: Data Negeri Wotay Tahun 2015.

3.2.2. Letak Geografis.
Secara umum masyarakat TNS terbagi atas 17 desa yang mendiami tiga pulau kecil
yang berada dalam gugusan Pulau Babar, Kecamatan Babar Timur, Kabupaten Maluku Barat
Daya yakni Pulau Teon, Nila, dan Serua. Karena kepentingan penginjilan dan pembentukan
Klasis atau wilayah pelayanan jemaat Kristiani sehingga ketiga pulau tersebut dikategorikan

ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah.7 Desa-desa
yang terintegrasi dalam ketiga pulau membentuk Kecamatan TNS hingga saat ini. Pulau Teon
terdiri dari 5 desa yaitu Watludan, Isu, Yafila, Layeni, dan Mesa. Pulau Nila terdiri dari
delapan desa yaitu Ameth, Kokroman, Kuralele, Usliapan, Nakupia, Bumei, Sifluru, dan
Wotay. Sedangkan pulau Serua terdiri dari empat desa yaitu Waru, Jerili, Lesluru, dan Trana.
Nama desa-desa di atas merupakan nama desa-desa asal dari masing-masing pulau yang tetap
dipertahankan oleh pemerintah dan masyarakat setempat pascaperpindahan ke Pulau Seram.8
Topografi Pulau Teon, Nila, dan Serua adalah berbatu-batu dan memiliki gunung api
vulkanik yang masih aktif. Perkampungan masyarakat biasanya dibangun pada ketinggian
sekitar 50 meter sampai 300 meter dari permukaan laut. Jalan menuju perkampungan
7

“hariva Alaidrus, Kebudayaa Teo -Nila-“erua Ha pir Pu ah , Antaranews.com, Selasa, 22 April
2014, http://www.antaranews.com/berita/430415/kebudayaan-teon-nila-serua-hampir-punah (diakses pada
Rabu, 24 Agustus 2016, pkl 08:12 WIB).
8
Pemerintah Negeri Wotay, Sejarah Negeri dan Data Kependudukan Negeri Wotay Tahun 2015.

40


masyarakat cukup sulit. Oleh karena itu, atas kerja keras para leluhur dibuatlah jalan setapak
yang terdiri atas batuan yang disusun. Kondisi seperti ini disebabkan pada zaman dahulu
banyak bajak laut (dalam istilah setempat disebut kadatua) yang merampok desa-desa pesisir
pantai sehingga pemilihan pemukiman seperti itu merupakan strategi perlindungan
masyarakat setempat.9
Desa Wotay adalah salah satu desa yang terdapat di sebelah selatan Pulau Nila,
bersebelahan dengan Desa Sifluru dan Desa Bumei. Letak geografis Desa Wotay yang berada
di Kecamatan TNS, Pulau Seram adalah sebagai berikut; sebelah utara berbatasan dengan
Desa Sifluru, sebelah selatan dengan Desa Isu, sebelah barat dengan sungai Tone (Desa
Mesa), dan sebelah timur dengan Desa Layeni. Relasi masyarakat Wotay dengan masyarakat
desa-desa tetangga pada umumnya terjalin dengan baik. 10

3.2.3. Sistem Pemerintahan
Masyarakat Wotay menganut sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja
negeri (sama dengan kepala desa di Jawa), dan dibantu oleh suatu dewan desa (saniri negeri).
Menurut Soekandar Wiraatmadja, sistem pemerintahan jenis ini banyak ditemukan di seluruh
pedesaan di Indonesia termasuk di Maluku, khususnya desa-desa di pulau Ambon dan
sekitarnya.11 Dewan saniri negeri terdiri dari kepala-kepala soa/matarumah dan para utusan
dari masing-masing soa/matarumah. Kekuasaan mereka dikuatkan dengan tanda-tanda
pimpinan seperti pusaka-pusaka. Dewan saniri ini diawasi oleh berbagai badan atau pranatapranata lain, misalnya dewan orang-orang tua, tokoh-tokoh pemimpin tambahan yang

mempunyai kekuasaan legislatif, maupun hak protes dari warga desa. Dewan saniri negeri

9

Pemerintah Negeri Wotay, Sejarah Negeri dan Data Kependudukan Negeri Wotay Tahun 2015.
Pemerintah Negeri Wotay, Sejarah Negeri dan Data Kependudukan Negeri Wotay Tahun 2015
11
Soekandar Wiraatmadja, Pokok-pokok Sosiologi Pedesaan (Jakarta: Cv.Yasaguna, 1996). 90-91.
10

41

bertugas menyuarakan berbagai aspirasi dari kelompok masing-masing soa, termasuk dalam
penentuan raja negeri (mata rumah parintah) dan berbagai musyawarah negeri.12
Terdapat dua soa/matarumah dalam sistem pemerintahan adat masyarakat Wotay
yang juga dikenal dalam bahasa setempat dengan istilah mutu13yaitu mutu Fotayten’na dan
mutu Sereral’na. Keberadaan mutu memainkan peran besar dalam kehidupan masyarakat
Wotay. Tujuan pembentukan mutu adalah untuk ketertiban hidup masyarakat. Dengan kata
lain mutu berfungsi mengatur hidup kekeluargaan masyarakat Wotay. Mutu dipimpin oleh
seorang kepala soa/matarumah yang ditentukan berdasarkan garis keturunan. Marga-marga

yang terdapat di Wotay kemudian terintegrasi dalam soa-soa tersebut berdasarkan garis
keturunan atau ketentuan adat. Dalam perkembangannya, marga-marga pendatang juga
terintegrasi dalam kedua soa di atas sebagai wujud penerimaan masyarakat Wotay terhadap
orang-orang pendatang. Dalam sistem pemerintahan adat masyarakat Wotay, jabatan-jabatan
kepala adat (kepala soa/matarumah dan raja negeri) merupakan suatu jabatan istimewa.
Hanya marga-marga tertentu saja yang memiliki hak istimewa sebagai pemegang jabatan
kepala soa/matarumah. Dalam soa Fotayten’na yang berhak menjabat kepala soa/matarumah
sekaligus pemimpin mutu adalah marga Karesina. Sedangkan untuk soa Sereral’na yang
berhak menduduki jabatan kepala soa/matarumah sekaligus pemimpin mutu adalah marga
Purmiasa. Tidak hanya jabatan kepala soa/matarumah, tetapi juga jabatan raja Negeri Wotay
ditentukan berdasarkan garis keturunan dari leluhur asli masyarakat setempat. Walaupun
sekarang raja harus dipilih secara demokratis oleh rakyat, tetapi dalam kenyataannya masih
ada juga yang mendapat jabatannya karena garis keturunan. Dengan demikian jabatan raja
memang masih sering merupakan suatu jabatan adat.14

12

Pemerintah Negeri Wotay, Sejarah Negeri dan Data Kependudukan Negeri Wotay Tahun 2015.
Istilah mutu berasal dari bahasa Wotay artinya kelompok orang-orang yang masuk dalam
soa/matarumah.
14
Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney (Tokoh Adat NegeriWotay), O. Karesina (Kepala
Soa/matarumah Fotaytenna), dan L. Remiasa (mantan Raja Negeri Wotay), masing-masing pada Sabtu 9 April
2016, Jumat, 15 April 2016, dan Selasa, 19 April 2016.
13

42

Seiring dengan makin berkembangnya zaman, pola pemerintahan desa juga
mengalami perkembangan. Pemerintahan yang dimaksud disini ialah organisasi atau lembaga
pemberi pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan sumber sejarah negeri dan data
kependudukan masyarakat Wotay tahun 2015, secara umum pemerintahan Desa Wotay
mengenal adanya Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden
(KEPRES), Peraturan Daerah (PERDA), Keputusan Pimpinan Daerah, Peraturan Negeri
(PERNEG), dan Keputusan Kepala Pemerintah Negeri sebagai aturan-aturan yang memberi
gerak berjalannya organisasi atau lembaga dimaksud. Adapun lembaga-lembaga dan
organisasi masyarakat Wotay terdiri atas tujuh orang anggota badan perwakilan negeri
(saniri), perangkat pemerintahan negeri, lembaga pemberdayaan masyarakat negeri, lembaga

pemberdayaan perempuan yaitu dasa wisma dan organisasi pembinaan kesejahteraan
keluarga (PKK), lembaga pemuda dan olahraga, pengurus rukun tetangga, pengurus pos
pelayanan terpadu (POSYANDU), pengurus kelompok lanjut usia (LANSIA), lembaga
keagamaan, lembaga adat, kelompok tani solid, kelompok simpan pinjam perempuan,
pengurus muhabet,15serta kelompok pelajar dan mahasiswa.16

3.2.4. Mata Pencaharian Penduduk.
Mata pencaharian masyarakat Wotay sebelum pindah ke Pulau Seram adalah nelayan
dan pekebun. Sistem mata pencaharian masyarakat setempat diatur dalam pembagian kerja
yang didasari budaya moritari. Jika mempertimbangkan kondisi masyarakat Wotay di tempat
asal yang terisolasi, maka sangat sulit untuk mengembangkan mata pencaharian masyarakat
setempat guna membangun ekonomi yang lebih layak. Hal ini dapat dimengerti sebab pola

15

Organisasi muhabet ialah organisasi masyarakat yang mengurus segala keperluan yang
berhubungan dengan kematian. Anggota-anggotanya ialah para kerabat dan warga desa setempat.
16
Pemerintah Negeri Wotay, Sejarah Negeri dan Data Kependudukan Negeri Wotay Tahun 2015.

43

perekonomian masyarakat sulit dijangkau oleh pasar, sehingga umumnya masyarakat hanya
menekuni mata pencahariannya untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarga.17
Dalam perkembangan ketika sarana-sarana transportasi mulai tersedia, beberapa hasil
alam berupa cengkih, pala, kopra, serta hasil-hasil laut dapat dipasarkan ke daerah lain.
Setelah berpindah ke wilayah yang baru, mata pencaharian masyarakat Wotay mengalami
keberagaman. Lahan yang tersedia selain banyak ditanami pohon kelapa dan kakao, juga
ditanami tanaman-tanaman palawija seperti umbi-umbian, kacang-kacangan, pisang, jeruk,
dan bermacam sayuran untuk keperluan konsumsi rumah tangga maupun untuk dipasarkan.
Merujuk pada data kependudukan Negeri Wotay tahun 2015, ditemukan adanya
keragaman jenis mata pencaharian masyarakat Wotay saat ini yang ditunjukan oleh tabel
berikut:
Tabel. 3.2.4. Mata Pencaharian Penduduk
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Jenis Mata Pencaharian Jumlah
Petani
182 orang
Wirausaha
6 orang
Pedagang
4 orang
PNS
17 orang
Buruh bangunan
2 orang
Wiraswasta
1 orang
Pensiunan
2 orang
Sumber: Data Negeri Wotay Tahun 2015.

3.2.5. Sistem Kepercayaan
Sebagian besar masyarakat Wotay menganut agama Kristen Protestan. Wilayah
pelayanannya disebut Jemaat Pniel-Wotay yang berada di bawah naungan Sinode Gereja
Protestan Maluku (GPM). Di samping itu, terdapat penganut Kristen Katolik, dan aliran
denominasi Kristen. Sebelum masuknya agama Kristen dalam kehidupan religius masyarakat
Wotay, masyarakat setempat menganut agama lokal . Masyarakat setempat percaya terhadap

17

Pemerintah Negeri Wotay, Sejarah Negeri dan Data Kependudukan Negeri Wotay Tahun 2015.

44

keberadaan Uplera sebagai sosok penguasa alam semesta dan manusia. Sebutan Uplera
berasal dari bahasa setempat upu yang berarti bapak, dan lera yang berarti matahari. Secara
etimologis Uplera berarti bapak matahari (dewa matahari).18 Dalam upaya mengembangkan
teologi kontekstual, saat ini sebutan Uplera digunakan untuk menyebut nama Tuhan,
Pencipta Langit dan Bumi.
Masyarakat Wotay baru menerima agama Kristen pada tahun 1896. Masuknya agama
Kristen dalam kehidupan masyarakat ini awalnya tidak berjalan mulus. Terdapat penolakan
dari masyarakat setempat terhadap agama Kristen yang pada waktu itu hendak disebarkan
oleh seorang penginjil. Demikian juga dengan salah satu desa tetangga yaitu Desa Sifluru
yang menolak keberadaan penginjil tersebut.19
Sejarah terbentuknya Jemaat Wotay tidak terlepas dari perjalanan Jemaat BumeiSifluru. Sekitar tahun 1894 seorang pekabar Injil bernama Tuan Pelupessy datang ke Pulau
Nila dengan menggunakan perahu dan merapat di pantai Wesolta, nama sebuah pantai di
Desa Wotay. Pada kunjungan itu, ia tidak mendapat respon yang baik dari masyarakat Wotay
karena terdapat luka-luka di mulutnya. Tuan Pelupessy diusir dari Wotay, namun ia tetap
melanjutkan misinya ke Negeri Bumei, salah satu desa yang bertetangga dengan Desa Wotay.
Kehadiran Tuan Pelupessy mendapat sambutan yang baik dari masyarakat Bumei.Seiring
berjalannya waktu masyarakat Wotay dan Sifluru yang tadinya menolak kehadiran Tuan
Pelupessy, bersedia menerima Injil di wilayah tersebut. 20
Mengingat letak ketiga desa ini bertetangga, dibentuklah Jemaat Bumei, Sifluru, dan
Wotay. Anggota jemaat dari ketiga desa dibaptis oleh penginjil Oktulseja pada tahun 1896.
Tahun 1945 Jemaat Wotay resmi menjadi jemaat mandiri, terpisah dari jemaat BumeiSifluru. Pemisahan ini turut ditopang oleh usaha para pelayan asal Wotay, yaitu Penatua
18

Materi kuliah kebudayaan Maluku oleh A. Relmasira pada Fakultas Teologi Kristen, Universitas
Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon pada Rabu, 1 Juni, 2011, disesuaikan hasil wawancara dengan Th.
Lewaney, Tokoh Adat Negeri Wotay pada Sabtu, 9 April 2016.
19
Rencana Strategis Pelayanan Jemaat GPM Wotay tahun 2016-2020.
20
Rencana Strategis Pelayanan Jemaat GPM Wotay tahun 2016-2020.

45

Natanel Purmiasa dan Syamas David Lunmisay. Tanggal 10 Juli 1896 akhirnya ditetapkan
sebagai hari masuknya Injil ke Desa Wotay yang diperingati setiap tahunnya. 21

3.2.6. Sistem Kekerabatan.
Masyarakat Wotay menganut sistem kekerabatan patrilineal yang diiringi dengan pola
menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga batih
adalah soa/matarumah sebagai suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal.
Matarumah penting dalam mengatur perkawinan masyarakat secara eksogami yaitu

seseorang harus menikah dengan orang luar dari klennya. Di samping itu, berlaku juga sistem
kekerabatan matrilineal yang diiringi pola menetap matrilokal. Kondisi ini biasanya terjadi
apabila pihak laki-laki tidak dapat membayar tuntutan harta kawin dari pihak perempuan.
Ketika kedua pasangan menikah anak pertama dari pasangan tersebut harus diserahkan
kepada orang tua atau keluarga pihak perempuan sebagai bentuk pelunasan harta kawin.
Anak pertama sebagai bentuk pelunasan harta kawin oleh masyarakat setempat dikenal
dengan sebutan anak harta.22
Ikatan persaudaraan yang terbentuk antar sesama anggota masyarakat Wotay maupun
antar masyarakat Wotay dengan masyarakat lainnya dikenal dalam empat istilah yaitu oi,
pela, panamali, dan inanyolta. Oi adalah ikatan persaudaraan yang terbentuk karena pihak-

pihak terkait telah lama saling mengenal satu dengan lainnya. Pela adalah ikatan
persaudaraan antara marga-marga yang menjadi bagian dari komunitas adat TNS. Ikatan pela
berdasar atas perjanjian para leluhur masyarakat setempat. Sedangkan panamali adalah ikatan
persaudaraan yang dibentuk karena adanya perkawinan, baik yang terjadi antar sesama
anggota masyarakat Wotay, maupun antar anggota masyarakat Wotay dengan masyarakat

21
22

Rencana Strategis Pelayanan Jemaat GPM Wotay Tahun 2016-2020.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney, Tokoh Adat Negeri Wotay pada Sabtu, 9 April

2016.

46

lain. Ikatan persaudaraan berupa oi, pela, dan panamali terangkum dalam satu istilah umum
masyarakat Wotay; inanyolta yang artinya saudara-bersaudara.23

3.3. Moritari: Cermin Hidup Masyarakat Wotay.
Bagian ini membahas pengertian moritari, munculnya moritari, bentuk-bentuk
moritari, dinamika pelaksanaan moritari, serta nilai-nilai penting moritari.

3.3.1. Pengertian Moritari.
Secara etimologis istilah moritari berasal dari bahasa asli TNS yang terdiri dari kata
mori artinya hidup atau kehidupan, dan tari yang berarti cara atau daya upaya. Secara umum
moritari diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan daya upaya atau cara

hidup yang rukun dalam bingkai persekutuan dan kekeluargaan. Dalam pergaulan masyarakat
TNS secara umum moritari memiliki padanan dengan kata solilakta. Istilah solilakta berasal
dari kata soli yang berarti sikap atau perilaku, dan lakta yang berarti langkah. Jadi Solilakta
adalah sikap/perilaku/langkah hidup seseorang. Kedua istilah di atas saling berkaitan satu
dengan lainnya. Jika moritari adalah suatu konsep pola hidup bersama dalam masyarakat,
maka solilakta merupakan bentuk konkrit dari pola hidup tersebut.24
Merujuk pada padanan kata moritari-solilakta dapat disebutkan bahwa moritarisolilakta pada hakikatnya merupakan pendidikan moral yang mengatur, mengontrol, dan

membentuk watak dan karakter setiap anak atau generasi TNS, temasuk di dalamnya
komunitas masyarakat Wotay. Budaya ini menjadi sifat dasar dari setiap anggota masyarakat
23

Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney (Tokoh Adat Negeri Wotay), O. Karesina (Kepala
Soa/matarumah Fotaytenna), dan L. Remiasa (mantan Raja Negeri Wotay), masing-masing pada Sabtu 9 April
2016, Jumat, 15 April 2016, dan Selasa, 19 April 2016.
24
Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney (Tokoh Adat Negeri Wotay), O. Karesina (Kepala
Soa/matarumah Fotaytenna), L. Remiasa (mantan Raja Negeri Wotay), A. Purmiasa (mantan Sekretaris Desa
Wotay sekaligus anggota Saniri Negeri), H. Purmiasa (Tokoh Pemuda Negeri Wotay sekaligus anggota Saniri
Negeri), A. Liptiay (mantan Ketua Organisasi Kepemudaan Jemaat GPM Wotay), dan O. Tuknuru (Tokoh
Pemuda Negeri Wotay) masing-masing pada Sabtu 9 April 2016, Jumat, 15 April 2016, Selasa, 19 April 2016,
Minggu, 17 April 2016, dan Rabu, 20 April 2016.

47

TNS yang membedakan komunitas ini dengan komunitas lainnya. Dengan kata lain moritarisolilakta adalah ciri khas masyarakat TNS.25 Masyarakat Wotay sebagai bagian integral dari

komunitas penghuni Pulau Nila lebih mengenal budaya ini dengan sebutan moritari saja,
sebab menurut pemahaman mereka di dalam istilah moritari telah tercermin konsep hidup
persekutuan dan kekeluargaan sekaligus perwujudan dari konsep hidup tersebut. Di samping
itu, penggunaan istilah moritari-solilakta lebih dikenal oleh komunitas masyarakat penghuni
Pulau Serua.26
Untuk menyatakan bahwa hidup bermasyarakat tidak individual, masyarakat setempat
sering memakai beberapa kata dalam bahasa TNS untuk memperjelas arti kata tersebut,
misalnya penggunaan istilah ora (saya), nora (dia), dan mora (kami). Sehingga muncul
pernyataan seperti ora mi (saya bersama kalian), nora mi (dia bersama kalian), dan mora mi
(kami bersama kalian). Jika kata-kata ini ditempatkan di depan kata tari (cara/daya upaya),
maka bunyinya seperti berikut; or tari (saya ada bersama dia), nor tari (dia ada bersama kita),
mor tari (kami ada bersama dia).27

3.3.2. Munculnya Moritari.
Munculnya moritari dapat ditelusuri melalui sejarah dan mitos yang mengisahkan
tentang kehidupan nenek-moyang masyarakat Wotay di zaman dahulu. Dari penelusuran
tersebut diketahui bahwa sejak dahulu kala leluhur masyarakat Wotay telah meletakkan dasar
bagi pola hidup kekeluargaan dan persekutuan yang terkandung dalam moritari.

25

Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney (Tokoh Adat Negeri Wotay), O. Karesina (Kepala
Soa/matarumah Fotaytenna), dan L. Remiasa (mantan Raja Negeri Wotay), masing-masing pada Sabtu 9 April
2016, Jumat, 15 April 2016, dan Selasa, 19 April 2016
26
Berdasarkan wawancara dengan A. Purmiasa, mantan Sekretaris Desa Wotay sekaligus anggota
Saniri Negeri Wotay, dan H. Purmiasa, Tokoh Pemuda Negeri Wotay sekaligus anggota Saniri Negeri Wotay,
pada Minggu, 17 April 2016, serta hasil wawancara dengan L. Remiasa, mantan Raja Negeri Wotay pada Selasa,
19 April 2016.
27
Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney (Tokoh Adat NegeriWotay), O. Karesina (Kepala
Soa/matarumah Fotaytenna), dan L. Remiasa (mantan Raja Negeri Wotay), masing-masing pada Sabtu 9 April
2016, Jumat, 15 April 2016, dan Selasa, 19 April 2016

48

Sebelum terbentuknya desa, nenek moyang masyarakat setempat hidup berpindahpindah tempat (nomaden). Kehidupan nomaden mengharuskan mereka untuk membangun
sebuah ikatan yang saling menjaga dan menolong, mengingat pada masa itu sering terjadi
peperangan. Dari sinilah benih-benihmoritari mulai tumbuh dan terus dipupuk oleh nenek
moyang masyarakat Wotay hingga berlanjut pada generasi masyarakat Wotay di masa kini. 28
Secara umum munculnya moritari dilatarbelakangi suatu realitas sosial yang digumuli
oleh para leluhur masyarakat TNS khususnya dalam mengusahakan kehidupan bersama.
Realitas ini terlihat dari cara mereka berekspresi dan beraktivitas. Misalnya dalam hal
mengolah lahan perkebunan, membangun rumah, mengadakan inisiasi atau syukuran,
mengalami kedukacitaan, dan berbagai aktivitas lainnya. Solidaritas yang tumbuh itu turut
dipengaruhi oleh kondisi geografis ketiga pulau. Pulau Teon-Nila-Serua adalah pulau-pulau
yang terpencil dan terisolir, dengan kondisi alam yang berbatu, dibentangi oleh gununggunung diantaranya adalah gunung api vulkanik aktif. Kondisi alam yang menantang itu
ditaklukan oleh masyarakat zaman dulu demi berlangsungnya kerja, misalnya berburu,
melaut, bercocok tanam, dan melakukan penyulingan sari kelapa untuk menghasilkan tuak
(sopi/sageru).29
Sebagian besar pekerjaan dilakukan pada waktu pagi hingga menjelang siang,
dilanjutkan dengan berkumpul di sebuah rumah (lakpona)30sambil membawa hasil-hasil
usaha mereka untuk dimakan dan diminum bersama. Selain berfungsi sebagai tempat

28

Informasi ini diperoleh dari profil marga Purmiasa tahun 1880-an yang dibuat oleh generasi marga
Purmiasa sebagai pimpinan soa/ ataru ah Sereral’ a, dan sejarah marga Karesina yang dibuat tahun 2013
oleh tetua marga Karesina yang merupakan pimpinan soa/ ataru ah Fotayte ’ a.
29
Dalam bahasa setempat proses ini disebut tipar sopi dan tipar sageru. Sopi dan Sageru merupakan
minuman tuak tradisional masyarakat Wotay yang terbuat dari sari kelapa.
30
Lakpona adalah rumah dengan ukuran 2x10-2 meter, tanpa dinding dan beratapkan daun rumbia. Di
dalamnya terdapat meja yang disesuaikan dengan ukuran panjang lakpona.

49

berkumpul untuk makan bersama, lakpona juga menjadi tempat berdiskusi tentang apa saja
yang harus dikerjakan dan terjadinya pembagian kerja di antara masyarakat.31
Sejak masuknya agama Kristen, lakpona tidak sekedar dipakai sebagai wadah
pertemuan masyarakat tetapi juga wadah persekutuan orang-orang Kristen. Biasanya pada
malam hari masyarakat setempat berkumpul di lakpona untuk beribadah yang dipimpin oleh
orang tua yang diberi tanggung jawab untuk memimpin ibadah atau disebut patusopa
(patusopa; patua= orang tua; sopa/somba= sembah). Kebiasaan-kebiasaan tersebut dilakukan
secara terus-menerus dan makin kental hingga menyentuh seluruh eksistensi hidup generasi
masyarakat TNS. Apalagi setelah terjadi perkawinan antar anggota tiga komunitas ini
sekaligus menciptakan hubungan kekerabatan serta kekeluargaan diantara mereka. Lahirlah
istilah rumah Temu (Teon), rumah Nila (Nila), dan rumah S’rua (Serua). Sebutan-sebutan ini
merujuk pada sebuah sistem kekerabatan dan kekeluargaan sekaligus menunjukan ikatan
persaudaraan yang terus terbina sekalipun masyarakat-masyarakat tersebut hidup di lokasinya
masing-masing yang dipisahkan oleh laut dan pulau. Perikehidupan masyarakat TNS pada
masa itu dikenal dalam bahasa Teon-Nila-Serua dengan nama moritari-solilakta. Dalam
konteks masyarakat Pulau Nila termasuk di dalamnya komunitas masyarakat Desa Wotay,
perikehidupan itu dikenal dengan moritari.32

3.3.3. Bentuk-bentuk Moritari.
Bentuk-bentuk moritari sangat erat dengan pergaulan sehari-hari masyarakat Wotay
dan cara mereka berekspresi. Relasi mereka dengan sesama juga selalu diwarnai oleh nuansa
persekutuan dan kekeluargaan seperti yang tampak dari hubungan pela, oi, panamali, atau

31

Berdasarkan hasil wawancara dengan A. Purmiasa, mantan Sekretaris Desa Wotay sekaligus anggota
Saniri Negeri, pada Minggu, 17 April 2016.
32
Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney (Tokoh Adat NegeriWotay), O. Karesina (Kepala
Soa/matarumah Fotaytenna), L. Remiasa (mantan Raja Negeri Wotay), A. Purmiasa (mantan Sekretaris Desa
Wotay sekaligus anggota Saniri Negeri) masing-masing pada Sabtu, 9 April 2016, Jumat, 15 April 2016, Minggu,
17 April 2016, dan Selasa, 19 April 2016.

50

inanyolta . Hal ini menandakan bahwa keberadaan masyarakat Wotay dan relasi mereka

dengan sesama pada berbagai taraf hidup selalu dilihat dalam bingkai moritari. Berdasarkan
penggalian informasi dari para narasumber, 33serta pengalaman hidup penulis sebagai bagian
dari komunitas masyarakat Wotay, berikut ini penulis akan memaparkan bentuk-bentuk
moritari yang dapat ditemukan dalam situasi sukacita maupun dukacita.

3.3.3.1. Moritari dalam Situasi Sukacita.
Moritari dalam situasi sukacita meliputi moritari dalam perkawinan adat, moritari

dalam pembangunan, moritari dalam pembukaan lahan pertanian, moritari dalam acara
syukuran, serta moritari dalam pengukuhan kepala adat dan saniri negeri.

3.3.3.1.1. Moritari dalam Perkawinan Adat.
Dalam perkawinan adat masyarakat Wotay soa/matarumah (mutu) memainkan peran
yang sangat penting. Sebelum rencana perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan
sampai ke tingkat pembicaraan dalam soa/matarumah (mutu), calon mempelai laki-laki
bersama dengan orang tua kandungnya melakukan pertemuan dengan orang tua dari calon
mempelai perempuan untuk memberitahukan niat baiknya melamar anak perempuan mereka.
Jika niat baik calon mempelai laki-laki diterima oleh keluarga perempuan, barulah berita
tentang lamaran tersebut disampaikan kedua calon mempelai kepada kepala soa masingmasing. Dalam soa perempuan, diadakanlah pertemuan guna menentukan waktu yang tepat
bagi anggota soa/matarumah (mutu) untuk mengenal secara dekat calon mempelai laki-laki
yang akan meminang salah satu anggota soa mereka. Sedangkan dari soa/matarumah (mutu)

33

Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney (Tokoh Adat Negeri Wotay), O. Karesina (Kepala
Soa/matarumah Fotaytenna), L. Remiasa (mantan Raja Negeri Wotay), A. Purmiasa (mantan Sekretaris Desa
Wotay, sekaligus anggota Saniri Negeri Wotay), H. Purmiasa (Tokoh Pemuda masyarakat Wotay sekaligus
anggota Saniri Negeri), O. Tuknuru (Tokoh Pemuda Negeri Wotay), A. Liptiay (mantan Ketua Organisasi
Kepemudaan Jemaat GPM Wotay), masing-masing pada Sabtu, 9 April 2016, Jumat, 15 April 2016, Minggu, 17
April 2016, Selasa, 19 April 2016, dan Rabu, 20 April 2016.

51

pihak laki-laki diadakan pertemuan guna membicarakan persiapan menuju proses perjumpaan
dengan anggota soa pihak perempuan.
Biasanya pihak laki-laki menyiapkan hewan/daging babi, sirih dan pinang(tampa
sirih), serta minuman tuak (sopi) untuk kepentingan tersebut. Sampai hari diadakannya

pertemuan antara kedua soa/matarumah (mutu), salah seorang anggota dari masing-masing
soa/matarumah (mutu) ditunjuk sebagai juru bicara untuk membahas perihal lamaran.

Biasanya juru bicara dari kedua soa saling berbalas pantun dengan menggunakan bahasa
setempat. Setelah semua proses pembicaraan selesai, kedua pihak makan sirih-pinang dan
minum sopi bersama sebagai bentuk saling menerima di antara mereka.
Jika perkawinan terjadi antara anggota masyarakat Wotay dengan anggota di luar
komunitas, maka soa/matarumah seberang dari soa/matarumah calon mempelai akan
mengklaim calon mempelai yang bukan berasal dari komunitas masyarakat Wotay sebagai
anggota dari soa/matarumah tersebut. Misalnya, jika seorang laki-laki yang berasal dari
soa/matarumah Sereral’na hendak memperistri seorang perempuan di luar komunitas
masyarakat Wotay, maka sang perempuan akan diklaim sebagai anggota soa/matarumah
seberang yakni soa/matarumah Fotayten’na. Hal yang sama juga berlaku bagi perempuan
asal Wotay yang akan dipersunting oleh laki-laki dari luar komunitas masyarakat Wotay.
Setelah melewati proses pembicaraan dalam soa/matarumah barulah upacara
perkawinan adat dapat dilangsungkan. Dimulai dari proses lamaran hingga berlangsungnya
pesta perkawinan adat, media-media komunikasi berupa bahasa, nyanyian adat, sirih dan
pinang (tampa siri), daging/hewan babi, serta minuman tuak (sopi) memiliki makna yang
kental dengan nuansa kekeluargaan. Menurut A.Purmiasa, makna hewan/daging babi, sirih
dan pinang (tampa sirih), serta sopi dalam perkawinan adat masyarakat Wotay adalah simbol
merekatkan tali kekerabatan dan persaudaraan. Khususnya daging babi, nantinya akan
dibagikan kepada semua kerabat sebagai bentuk solidaritas mereka dengan anggota kerabat

52

mereka yang akan menjalani rumah tangga baru.34 Pendapat tersebut juga dibenarkan oleh H.
Purmiasa yang mengemukakan bahwa media-media di atas sangat penting dalam proses
perkawinan adat masyarakat Wotay sebagai wujud penerimaan dari anggota soa/matarumah
terhadap kedua mempelai menjadi satu kesatuan keluarga. 35
Tidak hanya dalam proses lamaran, pola hidup moritari makin kental saat persiapan
menuju pesta perkawinan adat. Biasanya, menjelang hari perkawinan seluruh anggota
soa/matarumah dari kedua pihak akan mengumpulkan puli (tanggungan adat) berupa uang,

tenaga, bahan makanan serta sumbangan lainnya demi kelangsungan acara tersebut. Suasana
pesta juga diwarnai dengan nuansa kekeluargaan, di mana kedua belah pihak makan dan
minum bersama, serta bersukacita atas kebahagiaan anggota keluarga mereka.
Selama berlangsungnya pesta perkawinan adat, biasanya terjadi proses tukar menukar
atau dalam bahasa setempat disebut yetpula. Hal ini dilakukan dengan cara menukarkan
barang yang dimiliki dengan kerabat, atau dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak
mempelai perempuan dan sebaliknya. Barang yang ditukarkan juga beraneka ragam mulai
dari pakaian, perhiasan yang sedang dipakai, hewan peliharaan, hasil kebun, barang
elektronik, barang keperluan rumah tangga, bahkan lahan pertanian/tanah. Menurut O.
Karesina, melalui media yetpula masyarakat setempat dapat saling berbagi dari apa yang
mereka miliki dengan saudara-saudara mereka.36

3.3.3.1.2. Moritari dalam Pembangunan.
Moritari dalam pembangunan menyangkut dengan kegiatan pembangunan rumah

tinggal, pembangunan gedung ibadah, dan pembangunan infrastruktur desa. Dalam proses

34

Hasil wawancara dengan A.Purmiasa, mantan Sekretaris Desa Wotay sekaligus anggota Saniri
Negeri, pada Minggu, 17 April 2016.
35
Hasil wawancara dengan H. Purmiasa Tokoh Pemuda masyarakat Wotay sekaligus anggota Saniri
Negeri, pada Minggu, 17 April 2016.
36
Berdasarkan hasil wawancara dengan O. Karesina, Kepala Soa/ ataru ah Fotayte ’ a, pada Jumat,
15 April 2016.

53

pembangunan rumah tinggal, dukungan kerabat atau anggota masyarakat sangat efektif untuk
menyelesaikan pekerjaan. Biasanya seseorang yang membangun rumah tinggal akan dibantu
oleh para kerabat atau inanyolta (pela, oi, dan panamali). Kerabat maupun anggota
masyarakat lainnya berpartisipasi dalam menyumbangkan tenaga, bahan bangunan yang
diperlukan, serta kebutuhan konsumsi. Partisipasi masyarakat setempat dalam proses
pembangunan biasanya terjadi secara spontan tanpa diminta oleh pihak yang melakukan
pembangunan rumah. Mulai dari membangun dasar rumah, mengangkat dan menimbun
tanah, hingga mendirikan kerangka rumah dikerjakan secara gotong-royong. Terdapat
pembagian tugas antara golongan laki-laki dan golongan perempuan. Biasanya kaum laki-laki
lebih berperan dalam proses pendirian kerangka rumah, sedangkan kaum perempuan banyak
mengurus bagian konsumsi. Kaum perempuan akan membawa hasil masakan mereka yang
disiapkan dari rumah masing-masing (dalam istilah setempat disebut fra’u) untuk
digabungkan dengan konsumsi yang telah disediakan oleh orang yang melangsungkan
pembangunan guna mencukupi kebutuhan konsumsi bersama.
Aktivitas serupa juga berlaku dalam proses pembangunan gedung ibadah dan
infrastruktur desa, meskipun dalam pembangunan jenis ini pihak gereja dan pihak pemerintah
desa telah memberitahukan sebelumnya kepada seluruh masyarakat tentang adanya kegiatan
pembangunan. Dana yang digunakan dalam pembangunan jenis ini berasal dari desa atau
dana jemaat yang diperoleh melalui usaha bersama. Biasanya masyarakat dibagi berdasarkan
keahlian masing-masing yang terdiri dari kelompok tukang, kelompok pekerja, kelompok
dekorasi dan perlengkapan, hingga kelompok bagian konsumsi. Semua pekerjaan
pembangunan di atas dilakukan dalam semangat gotong-royong demi kelangsungan hidup
dan kemajuan masyarakat Wotay.

54

3.3.3.1.3. Moritari dalam Pembukaan Lahan Pertanian.
Berdasarkan tabel mata pencaharian masyarakat Wotay, 37diketahui bahwa sebagian
besar anggota masyarakat bekerja sebagai petani. Dalam proses pembukaan lahan pertanian
baru, masyarakat Wotay mempunyai cara pengerjaan yang unik. Cara ini dikenal dalam
bahasa setempat dengan sebutan pautu. Pautu adalah proses pembukaan lahan pertanian baru
dengan cara menebang pohon di hutan, membabat rerumputan liar dengan sabit, setelah itu
dibiarkan kering selama beberapa hari barulah dibakar dengan menggunakan daun kelapa
atau ranting dan dahan pohon kering. Biasanya beberapa orang ditempatkan pada titik-titik
tertentu untuk mengontrol menjalarnya api supaya tidak terjadi kebakaran. Lahan pertanian
yang sudah dibersihkan melalui proses pautu nantinya ditanami umbi-umbian, pisang, sayurmayur, kacang-kacangan, dan lain-lain tanpa irigasi.
Tidak berbeda dengan gotong-royong dalam prosoes pembangunan rumah tinggal,
pembukaan lahan pertanian baru juga dikerjakan secara spontan tanpa diminta oleh orang
yang memiliki kepentingan tersebut. Kerabat dan anggota masyarakat lainnya bahkan
berpartisipasi dengan menyumbangkan hal-hal yang diperlukan dalam pekerjaan. Uniknya,
jika dalam sebuah keluarga tidak terdapat anggota laki-laki untuk mengerjakan pekerjaan
kebun, maka kerabat mereka (inanyolta) baik itu pela, oi, dan panamali akan membantu
mengolah lahan pertanian mulai dari pembersihan lahan, proses penanaman, hingga panen.

3.3.3.1.4. Moritari dalam Acara Syukuran.
Acara-acara syukuran misalnya baptisan, sidi gereja, dan hari ulang tahun tidak lepas
dari warna moritari. Hal ini terlihat dari adanya partisipasi para kerabat dan anggota
masyarakat dalam sukacita saudara mereka yang melangsungkan syukuran. Biasanya

37

Lih.hlm 47.

55

masyarakat sekitar akan menyumbangkan tenaga, bahan makanan, dan lain-lain untuk
memenuhi keperluan acara.
Sementara itu, kaum laki-laki pergi berburu hewan babi di hutan, kaum muda sibuk
mendirikan tenda untuk proses syukuran (masyarakat sekitar menyebutnya dengan istilah
sabua), sedangkan kaum perempuan mempersiapkan menu konsumsi. Acara syukuran

berlangsung dalam nuansa persaudaraan di mana masyarakat setempat makan dan minum
bersama.

3.3.3.1.5. Moritari dalam Pengukuhan Kepala Adat dan Saniri Negeri.
Dalam proses musyawarah untuk menentukan jabatan kepala adat ( raja negeri dan
kepala soa ) serta dewan saniri negeri, sejarah masyarakat Wotay menjadi dasar pijak bagi
proses penentuan tersebut. Menurut para narasumber sejarah dianggap penting sebab
melaluinya masyarakat Wotay terbentuk dan mengenal identitasnya sebagai orang Wotay.
Para narasumber menegaskan bahwa bagi masyarakat Wotay sejarah adalah pedoman yang
benar untuk mengarahkan kehidupan komunitas adat agar tidak salah langkah dalam
mengambil keputusan.38
Seperti yang telah dijelaskan oleh penulis pada bagian yang membahas tentang asal
mula masyarakat Wotay, diketahui bahwa penerus jabatan kepala adat ditentukan
berdasarkan garis keturunan. Untuk jabatan raja negeri hanya boleh ditempati oleh generasi
penerus dari marga Purmiasa dan marga Karesina, sedangkan saniri negeri biasanya
merupakan perwakilan masing-masing soa yang dianggap memiliki kecakapan. Musyawarah
untuk menentukan jabatan kepala soa diikuti oleh tetua adat atau sesepuh negeri, dan
perwakilan dari masing-masing soa. Proses musyawarah berlangsung dalam bingkai
38

Berdasarkan hasil wawancara dengan L. Remiasa, mantan Raja Negeri Wotay, pada Selasa, 19 April
2016, serta hasil diskusi dengan A. Purmiasa, mantan Sekretaris Desa Wotay sekaligus anggota Saniri Negeri,
dan H. Purmiasa, Tokoh Pemuda masyarakat Wotay sekaligus anggota Saniri Negeri, pada Minggu, 17 April
2016.

56

kekeluargaan. Hal itu tercermin dari tidak adanya sikap saling membantah dan menolak
ketentuan adat sebab segala sesuatu yang ditentukan adat berdasar pada sejarah.
Setelah mencapai kata sepakat dalam menentukan calon kepala adat, selanjutnya
diadakan prosesi pelantikan atau pewarisan jabatan adat dari pimpinan yang lama kepada
pimpinan yang baru. Prosesi tersebut biasanya diakhiri dengan pesta adat. Dalam pesta
pelantikan kepala adat dan saniri negeri seluruh anggota masyarakat sama-sama bersukacita
mendendangkan nyanyian adat dan menari bersama diiringi alat musik tifa. Dalam suasana
pesta pelantikan kepala adat ini juga terjadi proses yetpula.

3.3.3.2. Moritari dalam Situasi Dukacita.
Bentuk moritari dalam situasi dukacita menyangkut dengan kematian anggota kerabat
atau anggota masyarakat Wotay. Jika seseorang mengalami kematian, maka para kerabat
akan berkumpul dan menunjukan rasa belasungkawa atas dukacita yang dialami kerabatnya.
Dalam kondisi tersebut para kerabat serta masyarakat setempat bahu-membahu mengurusi
keperluan yang berkaitan dengan proses pemakaman. Mulai dari mendirikan tenda dan
menyiapkan konsumsi untuk orang yang melayat, menyiapkan peti jenazah, hingga menggali
kubur, maupun mengumpulkan tanggungan atau puli bagi pihak yang berduka. Menurut Th.
Lewaney, jika orang yang meninggal itu tidak memiliki hak tanah karena bukan termasuk
masyarakat asli Wotay, maka masyarakat asli yang memiliki tanah akan menyumbangkan
sebagian lahan mereka untuk digunakan sebagai tempat peristirahatan terakhir. 39

3.4. Dinamika Pelaksanaan Moritari.
Pembahasan ini merujuk pada pergeseran yang terjadi saat dilangsungkannya aktivitas
hidup moritari. Dewasa ini pelaksanaan moritari dalam pesta adat, syukuran, kegiatan

39

Hasil wawancara dengan Th. Lewaney, Tokoh adat Negeri Wotay, pada Sabtu, 9 April 2016.

57

pembangunan, maupun dalam situasi kedukaan banyak mengalami pergeseran seiring dengan
keterbukaan masyarakat Wotay terhadap perkembangan zaman.
Perkawinan adat masyarakat Wotay, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
memang masih tetap dipertahankan hanya saja terdapat pergeseran terhadap makna minuman
sopi yang sering dikonsumsi pada saat berlangsungnya pesta adat. Menurut Th.Lewaney,

tradisi masyarakat Wotay masa lalu menjadikan sopi sebagai sarana mempererat ikatan
persaudaraan. Artinya sopi dikonsumsi dalam batasan yang wajar. Kondisi ini dianggap
berbeda dengan tradisi minum sopi di dalam pesta adat masa kini.40
Hal tersebut dibenarkan oleh H. Purmiasa yang menyatakan bahwa generasi
masyarakat Wotay tempo dulu mengonsumsi sopi demi kepentingan moritari. Situasi di atas
berbeda dengan generasi sekarang yang mengonsumsi sopi untuk kepentingan hura-hura.
Akibatnya sering terjadi segregasi saat berlangsungnya aktivitas moritari karena pihak-pihak
yang bertikai berada di bawah pengaruh minuman keras.41
Sedangkan dalam syukuran yang berkaitan dengan baptisan, sidi gereja, dan hari
ulang tahun terjadi pergeseran yang cukup berarti. Idealnya pelaksanaan syukuran tersebut
berlangsung secara sederhana dalam suasana tenang dan penuh ucapan syukur. Di dalamnya
hadir para kerabat dan anggota masyarakat setempat. Mereka makan bersama, setelah itu
masing-masing orang kembali ke rumah dan beristirahat. Tidak ada pesta maupun bunyi
musik yang keras sepanjang malam pelaksanaan syukuran. Kondisi ini sangat jauh berbeda
dengan acara syukuran masa kini yang banyak diwarnai dengan pesta dan hura-hura oleh
generasi muda.
Fenomena di atas memunculkan tanggapan berbagai narasumber dari latar belakang
usia dan kedudukan dalam adat. Menurut A. Purmiasa, pelaksanaan moritari di kalangan

40

Hasil wawancara dengan Th. Lewaney, Tokoh adat Negeri Wotay, pada Sabtu, 9 April, 2016.
Hasil wawancara dengan H. Purmiasa, Tokoh Pemuda masyarakat Wotay sekaligus anggota Saniri
Negeri, pada Minggu, 17 April 2016.
41

58

generasi muda sekarang ini telah mengalami pergeseran yang cukup berarti. Misalnya dalam
aktivitas moritari yang berkaitan dengan situasi sukacita, seringkali diwarnai sukacita yang
terlalu berlebihan sehingga aspek-aspek solidaritas dalam persekutuan menjadi kurang
nampak.42Yang terlihat hanya hura-hura, atau dalam bahasa narasumber lainnya, O. Karesina,
solidaritas tersebut telah dirusak oleh konsumerisme yang berlebihan. Konsumerisme yang
dimaksudkan adalah penggunaan minuman keras (sopi) secara berlebih yang mendatangkan
dampak negatif bagi masyarakat setempat.43
Sikap generasi muda yang memandang aktivitas moritari sebagai ajang hura-hura dan
pesta pora sangat berkaitan dengan cara mereka memahami dan memaknai budaya ini .
Umumnya generasi muda masyarakat Wotay yang hidup di Pulau Seram tidak lagi
mengetahui sejarah moritari. Hal tersebut mempengaruhi cara mereka menyikapi budaya
tersebut. Berdasarkan penggalian informasi terhadap salah seorang tokoh pemuda Wotay, O.
Tuknuru diketahui bahwa generasi muda masyarakat Wotay sekarang sudah kurang
memahami moritari, salah satu penyebabnya karena pengaruh perkembangan zaman.
Narasumber di atas melanjutkan bahwa berkembangnya IPTEK dan makin meluasnya
jaringan transportasi menyebabkan masyarakat Wotay telah tersentuh dengan kemajuan.
Apalagi memperhatikan letak Kecamatan TNS yang strategis sebagai jalur transit, berada di
pinggiran Ibu Kota Kabupaten Maluku Tengah (Kota Masohi), serta jalur darat utama yang
menghubungkan Pulau Seram dengan Pulau Ambon dan Ibu Kota Provinsi Maluku (Kota
Ambon) menyebabkan masyarakat setempat khususnya generasi muda telah tersentuh dengan
perkembangan. Situasi ini makin diperkeruh dengan kurangnya pewarisan dan penanaman

42

Berdasarkan hasil wawancara dengan A. Purmiasa, mantan Sekretaris Desa Wotay sekaligus anggota
Saniri Negeri, pada Minggu, 17 April, 2016.
43
Hasil wawancara dengan O. Karesina, Kepala Soa/ ataru ah Fotayte ’ a, pada Jumat, 15 April
2016.

59

nilai-nilai moritari dari orang tua kepada anak-anak dalam keluarga. Akibatnya, konsep
moritari sudah tidak lagi dimaknai oleh generasi sekarang sebagai falsafah hidup mereka.44

Bahkan narasumber lainnya menyatakan dengan tegas betapa kurangnya pemahaman
generasi muda Wotay tentang moritari. Beliau menuturkan:” dari lima puluh orang pemuda
negeri, mangkali cuma sepuluh orang saja yang paham moritari” (dari limapuluh orang

pemuda negeri, mungkin hanya sepuluh orang saja yang memahami moritari).45
Mengacu kepada berbagai tanggapan di atas, dapat diketahui bahwa minimnya
pewarisan moritari dalam lingkungan keluarga, termasuk teladan orang tua yang berkaitan
dengan sikap hidup moritari menjadi salah satu faktor terkikisnya pemahaman generasi muda
terhadap budaya ini.Pernyataan tersebut didukung oleh keterangan narasumber, E. Batlajeri
bahwa dalam keluarga masyarakat Wotay masa kini teladan orang tua sebagai bentuk
pewarisan moritari hampir tidak terlihat lagi. 46
Kurangnya pemahaman generasi muda masyarakat Wotay tentang moritari seringkali
memicu konflik pada saat dilangsungkannya bentuk-bentuk moritari. Menurut L. Remiasa,
penyebab munculnya konflik dalam aktivitas hidup moritari disebabkan oleh faktor internal
berupa emosi yang tidak terkontrol untuk mengonsumsi miras secara berlebih. Sedangkan
narasumber lainnya, H. Purmiasa menuturkan: “kadang konflik terjadi karena generasi
sekarang kurang paham soal konsep dan nilai moritari”. 47Keterangan ini telah menyatakan
akibat yang timbul dari kurangnya pemaknaan terhadap moritari yaitu merebaknya konflik.
Selain faktor-faktor di atas, penyebab dari sering terjadinya konflik dalam aktivitas moritari
dipicu adanya komunikasi yang tidak lancar, serta berbagai kepentingan pribadi yang ing