PALESTINA DALAM CENGKERAMAN ISRAEL

PALESTINA DALAM CENGKERAMAN ISRAEL
Israel memang tidak menginginkan terwujudnya negara Palestina merdeka. Itu bisa kita lihat
dari tindakan yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina. Pemerintah Israel melaksanakan
berbagai kebijakan yang menindas rakyat Palestina. Israel berusaha untuk menjadi kekuatan satusatunya yang menentukan berbagai arah kebijakan dan perundang-undangan dengan mengklaim bahwa
dirinya telah berhasil menjadi pelindung hukum yang berimbang dan menjadi penjaga hak-hak asasi
warga Palestina di wilayah-wilayah pendudukan.
Penilaian positif sekutu dan sahabat Israel yang selalu mendapatkan kritik pedas dari
organisasi-organisasi hak-hak asasi manusia, organisasi-organisasi yang bersimpati terhadap bangsa
Palestina, tidak dapat dibuktikan setelah dunia menyaksikan bagaimana tentara Israel menghadapi
gerakan perlawanan Intifada yang mulai muncul pada bulan Desember 1987. Memang betul, ini bukan
pertama kalinya mereka melakukan penangkapan massal, pembunuhan, penyiksaan dan sanksi massal,
tetapi yang berbeda adalah semakin intensnya tindakan-tindakan ini dan semakin luas ruang lingkup
serta macamnya.
Dan ketika pemerintahan Israel terdesak atas beberapa kejadian yang tidak mungkin mereka
bantah, mereka mulai mengganti slogan-slogan untuk membenarkan tindakan-tindakan mereka dengan
“pentingnya memberantas terorisme internasional dan lokal.” Sejak itulah pemerintah Israel
mengajukan alasan tindakan-tindakan brutalnya dalam menghadapi Intifada dengan alasan ‘keamanan’
atau Tindakan Preventif. Keamanan dijadikan alasan terakhir penggunaan peluru-peluru tajam dalam
menghadapi lemparan batu. Polisi rahasia Israel dengan leluasanya membunuh, mematahkan tulang,
menghancurkan rumah dan menandainya dengan warna merah, mengasingkan serta memukul hingga
tewas bahkan diizinkan untuk memberikan kesaksian palsu di persidangan.

Disamping operasi terang-terangan ini, terdapat operasi yang dilakukan secara rahasia. Shin
Beth, dinas rahasia yang berada di luar jangkauan parlemen Israel dan kebal hukum. Semua tindakantindakan di atas dilaksanakan atas instruksi Shin Beth. Bahkan Shin Beth memiliki otoritas untuk
memberikan berbagai perizinan, bukan instansi pemerintah terkait. Pemerintah Israel meneruskan
kebijakan penerapan sistem militer ini untuk menjatuhi hukuman terhadap penduduk setempat tanpa
proses pengadilan. Tindakan ini semakin meningkat sejak bulan Agustus 1985 ketika pemerintahan
Israel menerapkan politik “tangan besi”.
Sejak dimulainya gerakan perlawanan Intifada, pemerintah Israel lebih sering memberlakukan
jam malam di wilayah-wilayah pendudukan. Selama berlangsungnya Intifada, jam malam diberlakukan
di berbagai kota dan perkampungan di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Bahkan di beberapa daerah, larangan
ini tidak hanya berlaku pada malam hari tetapi juga siang hari dan untuk waktu yang lama diiringi
dengan pemutusan aliran air dan listrik serta merebut suplai makanan yang dikirimkan oleh badanbadan yang bersimpati atau perkampungan-perkampungan yang bersebelahan, di samping
pengrusakan-pengrusakan yang dilakukan tentara Israel selama pemberlakuan jam malam.
Sejak itu pula, sanksi massal merambah aspek kehidupan ekonomi dan berbagai aksi balas
dendam lainnya. Pemerintah Israel menutup semua sekolah-sekolah, baik sekolah khusus maupun
umum termasuk sekolah yang didirikan oleh Palang Merah Internasional di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Tentara juga melakukan pemeriksaaan berbagai universitas dan merampas buku-buku serta inventaris
lainnya. Mereka juga mengawasi dengan ketat buku-buku dan jurnal-jurnal yang beredar di samping
karya-karya ilmiah. Tidak hanya penutupan administratif, tetapi tentara juga membangun penghalang di
depan universitas-universitas sehingga para mahasiswa tidak dapat masuk ke kompleks universitas
mereka.

Pada tahun-tahun pertama Intifada, 12.000 orang Palestina ditangkap dengan alasan
keamanan. Banyak diantara mereka yang kemudian ditahan. Kebijakan ini mengakibatkan
membludaknya jumlah tahanan, sehingga Jenderal Rafael Ethan, Kepala Staf Angkatan Bersenjata
Israel waktu itu, memerintahkan pembangunan penjara-penjara walaupun tidak memenuhi persyaratan
sebagai penjara biasa. Kekerasan dan tindakan-tindakan brutal yang dilakukan tentara Israel belum
pernah terjadi seperti ketika intifada meletus. Sudah ratusan warga Palestina yang meninggal akibat
ditembak, dipukul atau tercekik gas air mata. Usia korban yang meninggal dunia dari empat tahun
hingga delapan puluh empat tahun. Ribuan orang lainnya terluka akibat patah tulang atau dipukul,
terutama setelah Menteri Pertahanan waktu itu Yitzhak Rabin, mengeluarkan kebijakan baru yaitu
politik kekuatan, pemaksaan dan pemukulan.
Sulit sekali untuk mendapatkan bukti-bukti medis tindakan penyiksaan yang terjadi dalam
penjara-penjara Israel. Otopsi hanya boleh dilakukan di Rumah Sakit Israel “Abu Kabir,” dan tidak
semua bagian laporam visumnya disampaikan kepada keluarga atau pengacaranya. Tidak diizinkan
juga untuk memeriksa hasil-hasil laporan medis. Dan dalam kebanyakan kasus penyebab kematian

warga Palestina tersebut dikategorikan “tidak diketahui”. Itulah Israel.(IM)***
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2004