ANTO LANGGENG PRAYOGO-FST

(1)

Skripsi

Dilaksanakan sebagai Salah Satu Tugas Akademik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh:

Anto Langgeng Prayogo

1110022000007

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakuitas Adab dari F{umaniora untuk lv{emenuhi Persl'aratan I\,{emperoieh Gelar Sarj ana Human icra (S.Hum)

Oleh:

Antc Langgeng Prayogo

(1 1 10822000007)

Pernbimbing I Pembirnbing II

Dr. H. L{.Muslih Idris.I-e.}'fA

I'IIF: 19520903 t 986031001 NIP: 195907211997 &31081

PROGR.{NI STUDI SEJAR,{I{ DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HI.II{AT\IORA

L]-N-I VERS ITA S IS LA il{ NE GERI SYARIF }IIDAYATULLAH

JAICARTA

1136 H./2015 M.


(3)

PALESTINA PADA

I'IAsA I]\rrIFA]I{A

teiah diujil<an dalam sidang

t]runaqasvali Faktrltas Acjab dan FIun-ianiora Universitas Islam Negeri Svarif I{idavatullah Jakarta pada 13 N4aret 2015. Skripsi ini telah diterirna sebagai salah s31u s,\'arat mer:tperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada program studi Sejarah dan Kebudavaan Islam.

Jakarta. 13 Maret2015 Sidang h{unaqas3,ah

Sekretaris N4erangkap Anggota

NiP: 19690724 19970:^

|

A01

Anugota

Penguii II

Arvaiia Rahraa. Ir4A

}.JIP: I 971A621 20Ci i2 2 0C1

Pembimbing Pembirrbins I

Ketua Anguota

H. Nurhasan- l\4A

t9750117 200501 2 AA7

PengLrjil

bdul Haki NIP: 19590203 1989903 I 003

Pembimbi

Dr.

H

\flA,luslih Idri


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi

ini

merupakan hasil karya asli dari saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana jenjang Strata Satu

(Sl)

di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarla.

2. Sumber yang saya gunakan dalam ketentuan yang berlaku

di

UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian

hari terbukti bahwa karya

ini

bukan hasil karya

asli

atau merupakan hasil jiplakan karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta,5 Maret 2015


(5)

i

Bismillahirrahmanirrahim.

Tidak ada untaian kata yang pantas penulis ucapkan untuk pertama kalinya selain rasa syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat pada setiap hamba-Nya berupa kecerdasan, seperti memudahkan penulis dalam membuat skripsi ini. Dengan anugerah tersebut mudah-mudahan dapat menjadi manfaat bagi kehidupan di dunia maupun akhirat. Dan tidak ketinggalan pula sholawat serta salam penulis limpahkan kepada kekasih-Nya, Nabi Muhammad Shalallahu

‘Alaihi Wassalam, seorang Revolusioner yang telah menenggelamkan era

kejahiliyahan menuju tatanan kehidupan penuh kemuliaan dalam bendera Islam. Dalam membuat sebuah karya skripsi, penulis membutuhkan waktu dan

suasana sebagai usaha untuk mencari inspirasi serta mood guna mengerjakan

skripsi ini dengan baik. Alunan musik dari salah satu band favorit L’arc~en~Ciel

dipilih sebagai partner dalam menemani setiap dentuman ketikan serta sebagai

langkah meningkatkan mood penulis. Walaupun demikian, pastinya dalam proses

pembuatan skripsi terdapat suatu kendala berupa kemalasan yang terkadang menghantui diri penulis, namun pada akhirnya, sikap malas tersebut dapat penulis atasi. Akan tetapi hal tersebut dapat dilakukan apabila kita mempunyai kemauan serta niat yang kuat, dan diimbangi dengan usaha nyata. Sehingga atas adanya

sikap tersebut terciptalah target penulis, one day one page. Mengingat hal itu, kini

tidak terasa usaha yang dijalankan selama beberapa bulan tersebut telah menghasilkan sebuah karya yang patut penulis banggakan, seakan waktu dan tenaga yang telah digunakan tidak terbuang sia-sia.

Selain itu penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada mereka yang telah membantu, membimbing dan menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini:

1. Bapak Prof. Dr. Oman Faturahman M.Hum, selaku Dekan Fakultas Adab


(6)

ii

Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah menyetujui dan menerima judul skripsi ini sebagai tugas akhir penulis.

3. Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekertaris Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, yang selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.

4. Bapak Dr. H. M. Muslih Idris, Lc, M.A dan Bapak H. Nurhasan, M.A,

selaku dosen pembimbing yang telah menyempatkan waktu luangnya untuk siap direpotkan serta dengan sabarnya memberikan arahan dan masukan kepada penulis dalam membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

5. Ibu Awalia Rahma, M.A, selaku ibunda penulis selama di kampus yang

telah memberikan nasehat, motivasi, dan masukan atas segala kegalauan serta kegundahan penulis pada masa pencaharian judul skripsi.

6. Bapak Dr. Saidun Derani, M.A, selaku Dosen Pembimbing Akademik

yang dengan penuh perhatiannya telah membantu penulis dalam merumuskan proposal skripsi, sehingga penulis mampu melanjutkan tulisan ini pada tahap berikutnya.

7. Bapak dan Ibu Dosen yang selalu memberikan bimbingan dan pelajaran

selama penulis mengikuti perkuliahan.

8. Seluruh Staff Fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan

pelayanannya dengan baik dan tidak mempersulit penulis dalam usaha mengumpulkan setiap syarat-syarat yang diperlukan.

9. Para karyawan/karyawati Perpustakaan Utama, khususnya Amcore yang

telah menyediakan fasilitas mendownload jurnal-jurnal online, sehingga

semakin mempermudah penulis mendapatkan bahan-bahan untuk skripsi ini.

10.Kedua orang tua penulis, Ayahanda tersayang Bapak Sriyoto dan Ibunda

tercinta Ibu Lainah, yang secara tidak langsung telah membantu proses penyeselaian skripsi ini. Penulis yakin Ayah dan Ibu pasti selalu

menyempatkan memberikan do’anya pada penulis, yang dengan do’a itu


(7)

iii

saat ini, terima kasih untuk semuanya. Semoga penulis yang sedang mengenyam pendidikan ini bisa bermanfaat dan juga dapat mewujudkan cita-citanya sehingga dapat melihat senyum bahagia dari kedua bibir Ayah dan Ibu.

11.Nenek tercinta, Mbah Sidem yang selalu memberikan masakan-masakan

yang terbaik dan tanpa lelah rela bangun setiap sepertiga malam untuk memulai aktivitas, sehingga hal tersebut menambah motivasi serta rasa semangat penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini.

12.Teman-teman, Endi, Nana, Hanafi, Hanifah, Agung, Iwan, Ela, Irna, Okta,

Lidya, Dian, dalam membantu menterjemahkan sebahagian teks yang penulis tidak terlalu mamahaminya, serta kepada teman-teman satu perjuangan SKI 2010 yang secara tidak langsung memberikan motivasi dan semangat ketika penulis melihat kalian juga bekerja keras dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Tidak ketinggalan pula penulis berterimakasih kepada teman-teman KKN Ceria 2013 (Desa Pabuaran - Bogor) yang telah memberikan pengalaman serta cerita menarik selama kita mengemban tugas sosial, dan kepada teman-teman LDK Syahid (An-najm) yang hampir setiap harinya kita bertemu di PU untuk mengerjakan skripsi bersama.

Semoga semua pihak yang membantu dan menyelesaikan Skripsi ini akan selalu diberi pertolongan, meskipun penulis belum mampu membalas segala jasa mereka, mudah-mudahan Allah swt selalu memberikan pintu berkah untuk mereka, salut untuk mereka semua.

Jakarta, 5 Maret 2015


(8)

iv

Dalam sejarah perlawanan bangsa Palestina, perjuangan seperti perang fisik ataupun diplomasi, telah marak diketahui publik global. Akan tetapi, tidak banyak yang mengetahui tentang eksistensi mural sebagai media perlawanan Palestina. Mural secara tersirat ataupun tersurat mempunyai makna di dalamnya, sehingga mural dimanfaatkan kelompok pemuda untuk memobilisasi perjuangan rakyat Palestina melawan cengkraman Israel. Penulis sebagai mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam dengan konsentrasi Timur Tengah khususnya mengenai Palestina, sangat tertarik terhadap pembahasan ini, dikarenakan dari berbagai sumber tertulis belum ada yang menyinggung secara jauh tentang keberadaan fenomena mural pada masa Intifadha. Jadi, studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana fenomena perjuangan Intifadha melalui media mural. Penulis menggunakan pendekatan antropologis dan teori terpaan media, di mana pandangan seseorang diterpa secara terus menerus oleh isi pesan yang secara tidak langsung akan menarik perhatian mereka. Melalui pendekatan serta teori tersebut penulis menemukan bahwa mural memiliki peranan yang signifikan sebagai bahasa protes dan perlawanan sebuah bangsa ketika dalam keadaan tertekan. Di Palestina keberadaan mural telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan, karena mural selalu hadir dalam mewarnai setiap langkah perjuangan bangsa Palestina.


(9)

v

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan... 5

1. Identifikasi Masalah ... 5

2. Pembatasan Masalah ... 5

3. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metode Peneltian ... 7

F. Tinjauan Pustaka ... 9

G. Landasan Teori ... 13

H. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II POLITIK MURAL ... 16

A. Sejarah Mural ... 16

B. Mural di Beberapa Negara ... 19

1. Mural di Jerman ... 20

2. Mural di Amerika Serikat ... 23

3. Mural di Irlandia Utara ... 25

4. Mural di Palestina ... 31

BAB III BENTUK BARU RESISTENSI PALESTINA ... 34

A. Palestina ... 34

B. Konflik Palestina – Israel ... 35

C. Perlawanan Non Kekerasan Palestina ... 38

D. Bentuk Non Kekerasan Palestina 1967-1987 ... 40

E. Intifadha ... 44

BAB IV DINAMIKA POLITIK MURAL SEBAGAI MEDIA RESISTENSI RAKYAT PALESTINA PADA MASA INTIFADHA ... 47

A. Munculnya Politik Mural di Palestina ... 47

B. Mural Intifadha ... 53


(10)

vi

C. Makna dari Simbol Teks dan Gambar ... 68

1. Teks Dinding ... 69

2. Gambar Dinding ... 71

D. Tema-tema Mural Intifadha ... 73

1. Tahanan Palestina ... 74

2. Kesyahidan ... 75

3. Nakba Day ... 76

E. Dampak Mural ... 78

1. Bagi Rakyat Palestina ... 79

2. Sikap dan Respon Tentara Israel ... 80

BAB V PENUTUP ... 84

A. Kesimpulan ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(11)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membahas mengenai media khususnya di era modern seperti sekarang ini, hampir dipastikan pikiran seseorang akan tertuju pada bentuk media seperti; internet, televisi, radio, dan surat kabar. Hal itu dikarenakan bahwa media-media tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan umat manusia, baik dalam urusan berkomunikasi atau sekedar mendapatkan informasi. Namun, bentuk media tidak hanya sebatas pada media cetak dan elektronik semata, tetapi juga melalui sebuah

karya seni, dalam hal ini mural.1 Mural merupakan lukisan besar yang terpajang

pada dinding ruang publik.2 Pada era modern, mural sangat dikenal dengan

konten-konten berbau pesan kritik sosial dan politik terhadap pemerintahan di suatu wilayah tertentu. Pada hakikatnya mural terbentuk melalui tangan para pemuda yang dinilai anarkis oleh sebagian masyarakat umum, oleh sebab itu maka tidak jarang mural disebut sebagai polusi pemandangan. Namun, perlu dicatat bahwa sesungguhnya aksi mencoret-coret dinding di sebagian wilayah dunia yang sedang mengalami konflik, merupakan tindakan kritis. Sehingga dalam lanskap tersebut, mural tidak hanya sebatas penghias mata (baca: visual),

1

Mural merupakan salah satu karya visual dengan bermodelkan penuh warna, motif, dan komposisinya terdapat pada ruang publik. Lihat Mikke Susanto, Diksi Rupa, (Yogyakarta: Kanisius, 2002, h.77).

2

Secara teknis mural memang terlihat berbeda dengan graffiti yang hanya berfokus pada aksara kata atau kalimat tertentu. Namun, secara garis besar mural dan graffiti sama-sama menggunakan medium dinding, sehingga menjadikan keduanya masih dalam lingkaran kesatuan seni jalanan. Dalam kasus di Palestina kemunculan mural hampir selalu dibarengi dengan kehadiran graffiti di sisinya sebagai penguatan arti yang disampaikan lukisan dinding tersebut. Jadi, dengan demikian hadirnya mural di Palestina tidak dapat dipisahkan dari graffiti. Lihat Julie Peteet. “The Writing on the Walls: the Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, no. 2, (1996), h. 147.


(12)

tetapi juga penuh unsur pesan di dalamnya, sebagai langkah untuk memobilisasi massa. Alasannya, karena mural yang terbentuk di wilayah berkonflik lebih efektif daripada wilayah dengan status damai, hal tersebut dikarenakan audiens merasa ikut terjebak di dalamnya. Dengan demikian, sangat tidak aneh apabila para pelaku pembuat mural selalu berhadapan dengan aksi pemukulan serta penangkapan oleh aparat penegak hukum.

Dalam sejarahnya mural telah memainkan peranannya di berbagai belahan negara atau wilayah yang sedang mengalami konflik seperti di Amerika Serikat,

Irlandia Utara, dan Tembok Berlin Jerman.3 Namun yang lebih menariknya,

penampakkan mural ternyata juga terlihat pada wilayah yang selama ini dianggap kaku seperti Timur Tengah, dan Palestina telah menjadi bangsa yang membantah anggapan tersebut.

Di Palestina, kehadiran mural diakibatkan karena efek gerakan Intifadha

yang muncul pada tahun 1987. Intifadha berasal dari bahasa Arab (nafadha) yang

berarti kebangkitan, mengguncang, dan revolusi.4 Istilah ini digunakan untuk

3

Tembok Berlin menjadi batas pemisah antara Jerman Barat dan Jerman Timur selama masa Perang Dingin (1961). Segala perbedaan antar kedua wilayah tersebut menjadi tampat yang sempurna bagi setiap orang untuk mengekspresikan pendapat mereka, khususnya tentang keinginan dan penolakan yang dituangkan melalui dinding-dinding tersebut. Sehingga Tembok Berlin bagian barat memiliki karya seni yang sepenuhnya menutupi dinding, sementara pada sisi Berlin bagian Timur dijaga untuk selalu bersih dari warna-warni cat mural, karena masyarakat tidak diizinkan untuk melukis apapun oleh pemerintah di sana. Namun setelah runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989, sekelompok seniman internasional diundang untuk membuat mural pada sisi bagian Timur Tembok sebagai reaksi mereka atas runtuhnya Tembok tersebut. Akhirnya, mural-mural di Tembok Berlin menjadi populer dikalangan seniman dari seluruh dunia dan objek menarik bagi para wisatawan. Sebagian konteks lukisan mural tersebut adalah refleksi historis, untuk mengingatkan mereka tentang peristiwa yang pernah dialami Jerman. Lihat Miglena

Ivanova, “Graffiti and the Symbolic Dismantling of the Berlin Wall”, (Anthropology of Culture, Vol. 02/2013, h. 157).

4

Dr Fathi Ibrahim Shaqaqi, Sekjen pertama Gerakan Jihad Islam Palestina mengatakan,

“Dalam sejarah revolusi dan perjuangan, kata intifada memiliki latar belakang yang panjang. Akan tetapi dari sisi makna, intifada berarti kebangkitan menggantikan masa kevakuman. Intifada adalah tahap pendahulu bagi sebuah revolusi. Misalnya, di Iran, terjadi kebangkitan di madrasah Feiziyah Qom. Kebangkitan itu kita namakan intifada, sebab gerakan itu pada tahun 1979 membuahkan


(13)

menggambarkan pemberontakan rakyat Palestina melawan pemerintahan pendudukan Israel. Namun bangsa Barat memandang Intifadha sebagai suatu

pemberontakan dengan kekerasan.5 Sedangkan menurut dunia Arab, Intifadha

adalah bentuk sah dari sebuah pemberontakan dan menjadi salah satu cara untuk mencapai kemerdekaan sehingga terlepas dari penindasan Israel.

Gerakan Intifadha dikenal dengan kecepatan dan kekuatan yang muncul

secara tiba-tiba.6 Padahal saat dekade 1980-an, rakyat Palestina tidak memiliki

sarana dan fasilitas apapun untuk memperjuangkan kebebasan negeri mereka melawan tentara Israel. Namun, keterbatasan akses tersebut tidak menyurutkan langkah rakyat Palestina dalam bertindak, dan faktanya secara serentak rakyat Palestina berani bangkit untuk melawan walaupun hanya bermodalkan batu sebagai senjata pembelaan diri.

Berbicara mengenai konteks Intifadha, memang tidak dapat dipisahkan antara Intifadha dengan batu, karena batu dalam Intifadha merupakan perangkat revolusioner. Dewasa ini, telah menjadi rahasia umum bahwa gambaran seorang remaja sedang melempar batu mendominasi presentasi publik terhadap Intifadha. Akan tetapi kali ini, batu dapat berfungsi lebih dari sekedar senjata pertahanan, dengan menjadikannya sebagai senjata cetak, dalam hal ini dinding. Dengan

dominasi sebuah batu dan dinding, maka lanskap yang diciptakan telah tersedia,

kemenangan revolusi. Apa yang terjadi saat ini di Palestina tak lain adalah tahap bagi sebuah revolusi. Kita tak pernah membayangkan gerakan kebangkitan ini akan berjalan secara luas dan universal seperti ini. Kita namakan gerakan ini dengan nama intifada. Karena itu, kami di Gerakan Jihad Islam menyebut kebangkitan ini sebagai intifada dan revolusi.” Sumber:

http://beritapalestina.com/sejarah-intifada-palestina-kami-lawan-zionis/, (akses 2/2/15).

5

Robert A. Pape, James K. Feldman. Cutting the Fuse: The Explosion of Global Suicide Terrorism and How to Stop It, (Universityof Chicago Press, 2010), h. 219.

6

Orang Palestina menyebut Intifadha seperti seekor kalajengking yang muncul secara tiba-tiba di tangan anda dan secara reflex anda akan menggoyang-goyangkannya dengan agresif. Lihat Gary M. Burge, Palestina milik siapa?, (Surabaya: BPK Gunung Mulia, 2003, h. 56)


(14)

yaitu sejata yang mudah diakses; berawal dari mengajak berkomunikasi, menjadi menyerang, dan sekaligus bertahan (baca: mural).

Selama masa-masa Intifadha, mural telah mewarnai setiap perjuangan rakyat Palestina, mereka hadir untuk memobilisasi masyarakat agar ikut terlibat ke dalam aksi solidaritas menentang pendudukan Israel. Dalam setiap harinya mural selalu muncul bahkan konten mereka selalu berubah-ubah dalam setiap waktunya, baik pagi, sore, dan malam hari, sesuai dengan kondisi tertentu. Sehingga tidak mengherankan jika lanskap budaya yang paling mencolok mata dari terjadinya aksi Intifadha pada tahun 1987 adalah banyaknya penampakkan

mural di setiap dinding Palestina.7

Namun sayangnya, dari berbagai literatur yang membahas mengenai masalah Palestina, sedikit sekali yang mangkaji lebih jauh mengenai keberadaan fenomena mural. Padahal faktanya, mural telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Intifadha, sebagai media mobilisasi massa terkait keterbatasan akses. Dengan latar belakang ini, penulis sangat tertarik membahas lebih jauh tentang eksistensi mural di Palestina. Dengan sumber-sumber tertulis yang penulis dapatkan, penulis menelaah bahwa keberadaan mural di setiap wilayah yang sedang berkonflik merupakan bentuk dari identitas: seni, nasionalisme, perlawanan, kebanggaan, harga diri, dan semangat. Dan secara tidak langsung, mural seperti halnya sebuah cerita tentang suatu rakyat yang hidup dengan penuh tekanan, namun berusaha melawan dengan kelemahan mereka.

7

Julie Peteet. “The Writing on the Walls: the Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, no. 2, (1996), h. 139.


(15)

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dengan melihat latar belakang di atas, ada sejumlah masalah yang dapat diidentifikasi antara lain:

1. Media-media perlawanan;

2. Terciptanya mural;

3. Seni mural menjadi sarana politik;

4. Pandangan masyarakat terhadap mural;

5. Afiliansi pembuat mural kepada faksi-faksi politik;

6. Perkembangan politik mural;

7. Peran fungsi yang dibawakan;

8. Dampak keberadaan mural.

2. Pembatasan Masalah

Dari beberapa identifikasi masalah di atas, maka penulis batasi tulisan sesuai dengan judul studi ini di antaranya:

1. Mural sebagai media perlawanan Palestina;

2. Mural selama masa Intifadha (1987-1993 dan 2000-2005).

3. Rumusan Masalah

Rumusan pokok masalah dari studi ini adalah bagaimana fenomena keberadaan mural di Palestina bagi rakyatnya selama masa Intifadha?


(16)

1. Bagaimana perkembangan mural di Palestina pada masa Intifadha?

2. Tema besar apa saja yang selalu muncul pada pembahasan mural

selama terjadinya Intifadha?

3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari fenomena mural bagi rakyat

Palestina ataupun bagi tentara Israel?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana mestinya sebuah penelitian, penelitian ini pun memiliki tujuan untuk menjelaskan peran mural terhadap perjuangan rakyat Palestina pada masa Intifadha. Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana perkembangan mural di Palestina pada

masa Intifadha.

2. Mengetahui bagaimana peran fungsi mural di Palestina.

3. Serta mengetahui dampak yang ditimbulkan mural bagi rakyat

Palestina.

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan, dalam penelitian ini pun diharapkan memiliki manfaat. Untuk itu, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi penulis, skripsi ini diharapkan dapat diterima sebagai prasyarat

kelulusan penulis untuk mendapatkan gelar S. Hum.

2. Memberikan hasil karya penelitian sebagai bahan bacaan teman-teman

Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora khususnya, terlebih lagi kepada teman-teman Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah secara umum terkait tema yang diambil tentang mural di Palestina.


(17)

3. Skripsi ini penulis harapkan dapat meneruskan penelitian untuk studi S2 tentang mural di Palestina.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode historis, yaitu sebuah metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-peristiwa masa lampau yang bertumpu pada empat langkah di antaranya,

heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.8

Ada pun sistematika yang dilakukan dalam metode historis, di antaranya sebagai berikut:

1. Heuristik

Heuristik merupakan tahap pertama, yakni kegiatan pengumpulan data atau sumber. Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data-data sebagai bahan

penulisan dengan melakukan penelitian kepustakaan (Library Research), merujuk

pada sumber-sumber yang berhubungan dengan tema skripsi penulis, dapat berbentuk buku, jurnal, buletin, koran, foto, dan sebagainya. Dalam upaya mendapatkan bahan-bahan tersebut, penulis mengunjungi beberapa perpustakaan, seperti; Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan UI Depok, Perpusnas (Perpustakaan Nasional).

Selain melakukan penelitian kepustakaan, penulis juga melakukan search online

dengan mengunjungi American Corner di Perpustakaan Utama UIN Jakarta guna mendapatkan jurnal-jurnal online. Penulis juga mengunjungi beberapa situs pemberitaan online dari media lokal maupun internasional seperti, Kompas.com,

8

Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, cet II, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 54.


(18)

Republika.com, Al-Jazeera.com, The Guardian.com, Al-Monitor.com dan CNN.com.

2. Kritik Sumber

Kritik sumber merupakan tahap yang kedua setelah melakukan pengumpulan data. Dalam tahap ini penulis menganalisis dan mengkiritisi sumber yang didapat serta melakukan perbandingan terhadap sumber-sumber yang didapat agar mendapatkan sumber-sumber yang valid dan relevan dengan tema yang dikaji penulis.

3. Interpretasi

Setelah sumber-sumber yang didapat dianalisis dan dikritisi, tahapan selanjutnya yang dilakukan ialah penulis mencoba menafsirkan terhadap sumber yang telah dikritisi dan melihat serta menafsirkan fakta-fakta yang didapat oleh penulis, sehingga mendapatkan pemecahan atas permasalahannya.

4. Historiografi

Terakhir penulis menuliskan pemikiran dari penelitian serta memaparkan hasil dari penelitian sejarah secara sistematik yang telah diatur dalam pedoman skripsi, sehingga penelitian ini bukan hanya baik dari segi isi tetapi juga baik

dalam metode penulisannya. Tahapan terakhir ini disebut dengan historiografi.9

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan antropologi. Antropologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan tata cara kehidupan serta proses perjalanan manusia itu sendiri. Sartono Kartodirdjo

9


(19)

mengatakan, pendekatan antropologi mengungkapkan nilai-nilai, status dan gaya

hidup, sistem kepercayaan dan pola hidup yang mendasari perilaku seseorang.10

Antopologi dan sejarah pada hakikatnya memiliki objek kajian yang sama, ialah manusia dan pelbagai dimensi kehidupannya. Kedua disiplin ilmu tersebut dapat dikatakan hampir tumpang tindih, sehingga seorang antropolog terkemuka,

Evans-Pritchard, menyatakan bahwa ”antropologi adalah sejarah”.11 Dalam hal ini, pendekatan antropologi digunakan penulis pada studi ini adalah untuk melihat bagaimana sikap dan perilaku masyarakat Palestina terhadap fenomena keberadaan mural di wilayahnya.

F. Tinjauan Pustaka

Dari hasi penelusuran penulis, penulis menemukan beberapa skripsi dari Mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membahas Palestina. Beberapa skripsi tersebut menjadi tinjauan pustaka dalam penulisan ini di antaranya:

1. Skripsi yang berjudul Konflik Arab-Israel: Pengusiran Etnis Palestina dan

Diaspora Etnis Palestina, ditulis oleh Rian Yuliana (2011). Dalam skripsi tersebut ia menjelaskan tentang konflik Arab-Israel yang berujung pada terdiasporanya penduduk Palestina ke berbagai wilayah. Dimulai setelah Perang Dunia I usai, dan turki merupakan pihak yang kalah, sedangkan Zionis menjalin hubungannya dengan Inggris yang menggantikan posisi Turki sebagai penguasa Palestina. Inggris mendukung Zionisme dengan

10

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 4.

11

Takako Yoshikawa, Evans Pritchard's humanism and the development of anthropology, (Durham: Durham University), h. 41.


(20)

maksud agar kekuasaan mereka di Timur Tengah tetap terjamin. Hal tersebut ditambah dengan keluarnya surat dari Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour, kepada para tokoh Zionis tentang kesediaan Inggris mendukung Zionis, sehingga kaum zionis mendapatkan angin segar, dan orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia mulai bermigrasi ke Palestina. Atas kejadian ini Palestina dibagi menjadi dua bagian, yaitu 55 persen untuk orang-orang Israel dan 45 persen untuk orang Palestina. Dan akibatnya orang-orang Palestina dengan terpaksa pergi dari wilayahnya menuju kamp-kamp pengungsian yang tersebar di berbagai wilayah bahkan di beberapa negara tetangga seperti Yordania, Suriah, dan Libanon,

2. Skripsi yang berjudul, Pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Konflik

Palestina Israel, dibuat oleh Johan Wahyudi (2011). Skripsi ini menjelaskan bahwa konfli Palestina-Israel telah mengundang banyak perhatian tokoh intelektual muslim dunia, termasuk Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam pandangan Gus Dur, dari konflik ini harus ada kerelaan dari kedua belah pihak untuk hidup berdampingan sebagai dua negara yang berbeda. Walaupun sebagian kaum muslim menganggap perdamaian merupakan sebuah hal yang tabu, namun dibantah dengan tegas olehnya, karena upaya menerima perdamaian adalah langkah kongkret untuk menyelesaikan masalah tersebut.

3. Sedangkan skripsi berikutnya berjudul, Kebijakan Politik Palestina pada

masa Presiden Yaseer Arafat (1994-2004) yang ditulis oleh Ashabul Kahfi Saparudin (2014), skripsi tersebut menjelaskan tentang beberapa


(21)

kebijakan-kebijakan pemerintahan Yaseer Arafat dalam usahanya

memerdekakan Palestina secara de jure. Yaseer Arafat merupakan tokoh

sekaligus pemimpin yang sangat berpengaruh dan kontroversial. Disebut kontroversial karena perjuangan yang ia lakukan melalui proses kebijakan-kebijakan perundingan, padahal kala itu perlawanan fisik seolah menjadi satu-satunya jalan bagi kemerdekaan bangsa Palestina.

4. Selanjutnya skripsi yang berjudul, Gerakan Intifada dan Dampaknya

terhadap Perjuangan Palestina, ditulis oleh Gustin Aryani (2010). Skripsi ini menuliskan tentang hadirnya Intifadha merupakan sebuah periode kebangkitan rakyat Palestina untuk melawan rezim zionis Israel. Terjadinya Intifada ini menyusul dari semakin kerasnya aksi terror yang dilakukan Israel. Di samping itu rakyat palestina juga telah berputus harapan atas bantuan dari pemerintahan Barat dan organisasi-organisasi intern Palestina yang pada hakikatnya tidak dapat membebaskan Palestina dari cengkraman Israel. Dampak dari Intifada adalah melahirkan sebagian gerakan-gerakan yang berjuang melalui senjata seperti Hamas ataupun Brigade al-Qassam, sebagai langkah untuk mengusir keberadaan Israel dari tanah Palestina.

5. Penulis juga menemukan satu skripsi yang membahas mengenai Palestina

namun ditulis oleh Mahasiswa jurusan Ilmu Politik, Ubaidallah dengan

judul, Pengaruh Gerakan Jihad Izzudin Al Qassam terhadap Perjuangan Rakyat

Palestina Sebelum dan Sesudah Berdirinya Negara Israel. Dalam skripsi ini, Izzuddin al-Qassam merupakan seorang ulama yang identik dengan jihadnya. Seluruh kehidupannya difokuskan pada pembebasan umat Islam dari belenggu penjajahan, baik dari tanah kelahirannya atau Palestina. Kedatangan Izzuddin ke


(22)

Palestina adalah untuk berjihad di medan perang. Perjuangannya ia tuangkan dalam sebuah organisasi, yang kemudian hari dinamakan organisasi jihad. Motif kedatangannya hanya untuk berjihad memerangi Inggris dan mengusir kaum Yahudi. Dalam organisasi ini Izzuddin al-Qassam menuangkan idenya, baik dari sistem perekrutan, pengkaderan, program organisasi, dan lainnya. Titik perjuangannya adalah berjihad dengan mengangkat senjata. Perjuangan Izzudin telah memberikan motivasi sekaligus tamparan bagi rakyat Palestina yang seharusnya perjuangan tersebut dilakukan oleh mereka. Akibatnya, ide dan aktivitas Izzuddin memberikan dampak yang signifikan terhadap perjuangan rakyat Palestina, baik sebelum atau sesudah berdirinya Israel.

Dari beberapa judul yang telah diuraikan di atas, secara keseluruhan pembahasan mereka mengenai Palestina. Akan tetapi, dari semua uraian tersebut sama sekali tidak ada yang menyinggung masalah mural di Palestina pada masa Intifadha. Penulis hanya menemukan sebuah skripsi dari Gustin Aryani yang

merupakan mahasiswa SKI, dengan judul Gerakan Intifada dan Dampaknya

terhadap Perjuangan Palestina. Namun, walaupun tema yang dibawakan sama-sama membahas Intifadha, tetapi pada bagian ini perbedaan penulis dengan skripsi tersebut adalah pada aspek kajian, yaitu mengenai fenomena mural pada masa Intifadha, sehingga hal ini menjadi pembeda antara skripsi penulis dengan pembahasan skripsi sebelumnya.


(23)

G. Landasan Teori

Pada penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan teori Media

Exposure (Terpaan Media).12 Terpaan media diartikan sebagai suatu kondisi di mana orang diterpa oleh isi media atau bagaimana isi media menerpa audiens. Kelompok pergerakan Palestina percaya bahwa target (audiens) perlu

mendapatkan bombarder exposure agar pesan perjuangan dapat

mempengaruhinya. Pesan bertubi-tubi yang datang melalui lukisan mural sangat penting karena memiliki potensi untuk mendapatkan perhatian dari audiens. Hal tersebut dikarenakan manusia tidak dapat terlepas dari sifat alaminya dalam melihat. Perilaku ini menurut Blumler dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:

1. Surveillace, yaitu kebutuhan individu untuk mengetahui lingkungannya.

2. Curiosity, yaitu kebutuhan individu untuk mengetahui peristiwa-peristiwa menonjol di lingkungannya.

3. Diversion, yaitu kebutuhan individu untuk lari dari perasaan tertekan, tidak aman, atau untuk melepaskan ketegangan jiwa.

4. Personal identity, yaitu kebutuhan individu untuk mengenal dirinya

dan mengetahui posisi keberadaannya di masyarakat.13

Sissors dan Bumba mendefinisikan bahwa terpaan media lebih dari sekedar mengakses media. Terpaan media tidak hanya menyangkut apakah seseorang secara fisik cukup dekat dengan kehadiran media massa, tetapi apakah

12

Joseph Straubhaar, Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, (Cengage Learning, 2011), h. 134.

13

J. G. Blumler, & E. Katz. The Uses of Mass Communications: Current Perspectives on Gratifications Research, (Beverly Hills: Sage, 1974), h. 19-20.


(24)

seseorang itu benar-benar terbuka terhadap pesan-pesan media tersebut (baca: terpengaruh). Terpaan media merupakan kegiatan mendengarkan, melihat, dan membaca pesan media massa atau mempunyai pengalaman dan perhatian terhadap

pesan tersebut yang dapat terjadi pada individu atau kelompok.14

Pada penelitian ini, pesan politik perjuangan Palestina menggunakan sebuah seni mural sebagai bahan medianya. Media tersebut tidak hanya berisi tulisan atau gambar tanpa makna, akan tetapi mereka mengandung unsur pengalaman rakyat Palestina sendiri sehingga dengan hanya melihat dan membaca, para audiens Palestina mengerti apa yang disampaikan pada layar dinding. Hal tersebut juga ditambah dengan adanya terpaan dari mural yang membuat mereka tidak dapat terlepas dari daya tarik yang dimunculkan dari lukisan atau gambar tersebut.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini akan terdiri atas lima Bab pembahasan dengan rincian:

Bab I (pertama), membahas tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pendekatan dan metode penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori serta sistematika penulisan.

Bab II (kedua), membahas tentang sejarah mural serta keberadaannya

dibeberapa negara.

14

Jack Sissors dan Lincoln Bumba. Advertising Media Planning, (Indiana: Contemporary Pubishing Company, 1995), h. 69.


(25)

Bab III (ketiga), membahas tentang bentuk perlawanan nonfisik Rakyat Palestina.

Bab IV (keempat), membahas tentang dinamika politik mural sebagai

media resistensi rakyat palestina pada masa intifadha.

Bab V (kelima), berisi kesimpulan, tentang segala pertanyaan yang


(26)

16

POLITIK MURAL

A. Sejarah Mural

Mural1 menurut Susanto, merupakan lukisan besar yang berguna untuk

mendukung ruang arsitektur, jika didefinisikan lebih lanjut maka mural tidak dapat

dilepaskan dari tata ruang bangunan dalam hal ini dinding.2 Dinding dipandang tidak

hanya sebagai pembatas ruang pada sebuah bangunan rumah dan gedung, namun dapat juga sebagai medium guna memperindah ruangan.

Mural termasuk salah satu bentuk dari seni visual. Mural bukan seni yang berdiri tanpa adanya makna, melainkan ia berdiri dengan ribuan pesan yang terkandung di dalamnya. Mural merupakan seni visual tertua yang pernah hidup di dunia, dan diperkirakan telah ada jauh sebelum peradaban modern lahir yaitu sekitar 30.000 tahun SM. Sejak ditemukannya sejumlah gambar prasejarah pada dinding gua di Lascaux, selatan Perancis. Gambaran tersebut melukiskan aksi-aksi berburu dan aktivitas religius, sehingga acapkali hal ini disebut sebagai bentuk awal dari seni

mural.3 Pada zaman tersebut mural digunakan sebagai sarana mistik maupun spiritual

untuk membangkitkan semangat berburu. Mural dilukiskan dengan cara mengukir,

1

Mural berasal dari bahasa latin Murus yang berarti dinding. Dalam KBBI online Mural berarti lukisan pada dinding. Sumber : http://kbbi.web.id/mural (akses: 20/9/14)

2

Mikke Susanto. Diksi Rupa, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 76

3

P. G. Bahn, The Cambridge Illustrated History of Prehistoric Art, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), h. 33


(27)

menatah, dan melukis menggunakan cat air yang terbuat dari sari buah limun, dan biasanya berbentuk manusia atau hewan.

Seiring perkembangan zaman dan peradaban manusia, mural mengalami transformasi dari sebuah media ritual menjadi salah satu kaya seni pelengkap elemen ruang seperti; dinding, langit-langit, dan permukaan datar lainnya. Seni pelengkap

elemen ini digadang-gadang telah muncul pada Loggia4 di kota Pompeii, yaitu suatu

ruang terbuka yang berada di dalam badan ruang bangunan.

Pada masa kerajaan Romawi, mural menjadi salah satu identitas keindahan dari segi arsitektur bangunan. Selain sebagai identitas, mural juga melambangkan semangat spiritualitas kaum Katolik Roma. Mural yang bersifat spiritual

menghidupkan imajinasi dari adanya kehidupan setelah kematian.5

Seni mural mulai berkembang sebagai seni modern yang bersifat sosial politik di tahun 1920-an di Mexico, saat itu pelopornya adalah Diego Rivera, Jose Clemente

Orozco dan David Alfaro6. Namun, Cikal bakal mural politik yang dibuat pada

4

Loggia merupakan ruang atau gedung dengan sisi terbuka yang membentang di sepanjang bagian depan atau di samping bangunan. (sumber: http://artikata.com/arti-109045-loggia.html, akses 20/9/14).

5

Mario Sironi. Manifesto of Mural Painting. Art in Theory 1900-1990: Anthology of Changing Ideas. Eds Charles Harrison and Paul Wood. (Oxford: Blackwell Publishing, 2007), h.107.

6

Diego Rivera yang lahir pada tahun 1886 ini adalah salah satu tokoh pemimpin gerakan mural di Mexico tahun 1920-an. Ia seorang anggota Partai Komunis di Mexico. Karya mural politiknya sangat terkenal di Mexico. Sasaran yang biasa dituju dari karyanya tersebut adalah semacam penguasa, gereja, dan kapitalisme.

Jose Clemente Orozco lahir pada tahun 1883, lebih muda tiga tahun dari Diego Rivera. Ia seorang pelukis dari Mexico yang terkenal berani dalam membuat karyanya. Ia juga dikenal sebagai muralis yang kompleks, tema yang lebih disukai adalah tentang penderitaan manusia tetapi kurang realistik dan lebih tertarik dengan apa yang dibuat oleh Diego Rivera.

David Alfaro Squeiros lahir dengan nama baptis José de Jesús Alfaro Siqueiros pada 29 Desember 1896. Merupakan tokoh muralis paling muda di antara Rivera dan Jose. Ia seorang pelukis realis sosial Mexico yang karyanya lebih dikenal dengan mural besar pada ruangan terbuka. Dan ia


(28)

dinding terbuka muncul ketika Pablo Picasso telah menyelesaikan lukisan yang

berjudul Guernica7 dengan menggunakan media berupa sebidang kanvas yang

besarnya menyerupai dinding, dan di dalam lukisan tersebut, bercerita tentang perang

sipil di Spanyol.8 Namun, lukisan yang menyuarakan tentang kritik sosial dan politik

ini dibawakan dengan gambar yang humoris, sehingga kesan yang tergambarkan bersifat sindiran ataupun ejekan. Hal ini dilakukan sebagai cara untuk menghindari

bentrokan dengan otoritas setempat.9

Lukisan tersebut menjadi titik awal cikal bakal munculnya mural politik. Sejak saat itulah beberapa negara yang sedang mengalami konflik menggunakan media mural sebagai bentuk penyampaian sebuah pesan yang mengandung kritik ataupun sebagai alat propaganda kepada audiens yang menyaksikannya. Beberapa negara yang menggunakan mural sebagai media untuk menyampaikan pesan kritik ataupun propaganda politik, seperti; tembok Berlin di Jerman, Amerika Serikat, Indonesia, Irlandia Utara, dan Palestina.

juga merupakan anggota dari Stalinis dan Partai Komunis di Mexico. Lihat Folgarait Leonard, Mural Painting and Social Revolution in Mexico, 1920-1940: Art of the New Order. (Cambridge University Press, 1998), h. 7-18.

Mereka bertiga adalah tokoh pendiri Mexican Muralism.

7

Guernica adalah lukisan karya Pablo Picasso yang diciptakan untuk menanggapi pemboman di Guernica, nama sebuah desa di wilayah Basque, Spanyol Utara, oleh pesawat tempur Jerman dan Italia atas perintah pasukan Nasionalis Spanyol, selama perang saudara Spanyol pada tahun 1937.

8

Rudolf Arnheim. The Genesis of a Painting: Picasso's Guernica, (London: University of California Press, 1973), h. 43.

9

Bruce Campbell. Mexican Murals in Times of Crisis, (Tucson, Ariz : The University of Arizona Press, 2003), h. 54. Lihat lampiran 2.2.


(29)

B. Politik Mural di Beberapa Negara

Seperti yang telah penulis katakan di atas bahwa mural merupakan salah satu genre dari seni visual. Seni selalu dihubungkan dengan estetika pada setiap kajiannya. Di dalam estetika ini, seni sering mencangkup nilai elok, molek, cantik, anggun, bagus, lembut, utuh, seimbang, padu, hening, terang, hampa, suram, dinamik, kokoh, hidup, gerak, dan tragis. Pada intinya nilai estetika ini ingin mengisyaratkan bahwa di dalam seni tersebut terdapat sebuah persentuhan selera, pemahaman, dan kepekaan untuk membedakan serta mengapresiasikan makna dari suatu karya manusia yang

mengakibatkan tumbuhnya perasaan-perasaan bagi para audiens yang melihatnya.10

Seni dalam hal ini mural, telah banyak digunakan sepanjang sejarah hidup manusia sebagai media untuk mengekspresikan keadaan sosial, keyakinan, maupun yang berhubungan dengan politik dan pemberontakan. Semua ekspresi tersebut sengaja ditunjukkan untuk tampil di hadapan publik. Mural yang dibuat sebagai bentuk kritik atau perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, dinilai lebih efektif sebagai media komunikasi dua arah yakni, visual-verbal terhadap masyarakat. Alasannya karena media semacam ini lebih terlihat menarik untuk disaksikan ketimbang dengan membacanya pada sebuah artikel koran yang mungkin bagi sebagian orang menjenuhkan.

Di era modern seperti sekarang, mural dapat kita ibaratkan sebagai sebuah status pada jejaring sosial yang berguna untuk menuliskan segala macam ekspresi hati

10

Budi Susanto. Politik dan Postkolonialitas di Indonesia. (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 323


(30)

dan perasaan yang bersifat resistensi, penghentian blokade atau perang, pemenuhan hak, rasisme, dan lain-lain yang bersifat pengaduan terhadap fenomena ketidakadilan. Beberapa negara yang menggunakan mural sebagai media resistensi rakyat antara lain:

1. Mural di Jerman

Tembok Berlin di Jerman adalah salah satu tembok di dunia yang banyak menyimpan sejarah. Inilah bukti dari kebebasan terhadap dinding pembatas. Tidak hanya menyimpan sejarah, namun tembok ini juga menjadi sarana kreativitas

masyarakat. Tidak heran jika tembok ini dijuluki East Side Gallery. Hal ini karena

berbagai mural warna-warni dan graffiti yang menggambarkan kehidupan politik, ketegangan, serta pengorbanan manusia di masa lalu menyelimuti setiap sudut dinding.

Tembok Berlin menjadi dikenal sebagai dinding mural, gambar dan lukisan di tembok Berlin muncul di sisi barat pada periode antara tahun 1960-an dan 1980-an. Beberapa gambar mural cenderung berisikan tentang cinta ataupun penghinaan. Tembok Berlin terbuat dari dinding beton yang pada dasarnya didirikan pada tahun

1961 oleh Republik Demokratik Jerman (GDR)11 yang memisahkan Berlin Barat dan

11

Jerman Timur atau secara resminya German Democratic Republic (GDR). Republik Demokratik Jerman didirikan di zona Soviet, sementara Republik Federal (Jerman Barat) didirikan di zona Barat. Kata Timur sering digambarkan sebagai negara satelit Uni Soviet, sejak otoritas pendudukan Soviet dimulai. Setelah pengalihan tanggung jawab administratif kepada para pemimpin komunis Jerman pada tahun 1948, setahun kemudian GDR mulai berfungsi sebagai sebuah negara yaitu pada tanggal 7 Oktober 1949. Lihat David Childs. The Fall of the GDR, (London: Longman, 2001), h. 9.


(31)

Berlin Timur serta daerah Jerman Timur lainnya sehingga membuat Berlin Barat

terlihat seperti enklave.12 Dinding pemisah tersebut menjadikannya simbol dari

Perang Dingin. Tembok pembatas ini juga dibarengi dengan pendirian menara penjaga yang dibangun sepanjang tembok, terdapat pula sebuah daerah terlarang yang diisi dengan ranjau anti kendaraan. Jerman Timur beralasan bahwa tembok ini dibangun untuk melindungi para warganya dari elemen-elemen fasis yang dapat memicu gerakan-gerakan besar, sehingga mereka dapat membentuk pemerintahan komunis di Jerman Timur. Meski begitu, dalam praktiknya ternyata tembok ini digunakan untuk mencegah semakin besarnya pelarian penduduk Berlin Timur ke

wilayah Berlin Barat, yang berada dalam wilayah Jerman Barat.13

Pemerintah kota Jerman Barat pada kesempatannya acapkali mengatakan bahwa Tembok Berlin adalah Tembok Memalukan, sebutan tersebut dicetuskan oleh Walikota Willy Brandt untuk mengutuk keberadaan tembok ini karena membatasi

kebebasan bergerak.14 Gerakan protes dari para mahasiswa di akhir tahun 1960-an

menjadikan awal dari peran dinding tersebut sebagai media protes sosial. Pada awalnya permukaan dinding tersebut masih tidak rata, sehingga pada saat itu bagi sebagian orang yang ingin mencoba menulis di Tembok Berlin tidak dapat berbuat banyak, melainkan hanya dapat membuat sebuah tulisan atau gambar yang sangat

12

Menurut KBBI oneline enklave adalah negara atau bagian negara yang dikelilingi oleh wilayah dari suatu negara lain. (sumber: http://kbbi.web.id/enklave ,akses: 22/9/14).

13

David Childs. The Fall of the GDR, (London: Longman, 2001), h. 44.

14

Mary Beth Stein. “The Politics of Humor: The Berlin Wall in Jokes and Graffiti”, Western Folklore, Vol. 48, No. 2 (April, 1989), h. 97.


(32)

sederhana.15 Renovasi yang dilakukan oleh pemerintah GDR di pertengahan tahun 1970-an, sehingga mengubah sisi permukaan tembok tersebut benar-benar terlihat halus ibarat sebuah kanvas yang memudahkan seseorang untuk membuat semacam goresan, khususnya permukaan tembok bagian Barat. Dan pada saat yang sama,

goresan tersebut menjadi simbol akan jendela kebebasan Barat dan monumen

kesaksian memalukan dari dekadensi Barat.16

Kreutzberg, merupakan wilayah yang paling dekat dengan tembok dan terkenal akan muralnya. Pada periode kemunduran perang dingin, wilayah tersebut secara bertahap ditinggal pergi oleh penduduk aslinya. Akibatnya, wilayah tersebut dihuni oleh seniman tunawisma, punk, dan massa anarkis sebagai gantinya. Mereka biasa membuat mural di tembok tersebut dan meninggalkan pesan pribadi berupa

slogan-slogan politik dan gambar.17

Pada tahun 1970-an dan 1980-an terdapat beberapa kompetisi untuk proyek-proyek seni lukis yang terorganisir. Banyak karya seni yang diusulkan pada kompetisi tersebut, dengan mempopulerkan gambar simbolis perlawanan terhadap dinding seperti; tangga, lubang, ritsleting, dan bahkan figur manusia yang sedang

melompati tembok.18 Meskipun kompetisi ini dilakukan oleh para seniman

profesional, namun aksi ini tidak mempunyai tujuan sebagai bentuk penghias tembok

15

Kuzdas Heinz. Berliner Mauer Kunst: Berlin Wall Art, (Berlin: Elefanten Press, 1999), h. 10.

16

Ladd Brian. The Ghosts of Berlin: Confronting German History in the Urban Landscape, (Chicago: the University of Chicago Press, 1997), h. 27.

17

Ladd Brian. The Ghosts of Berlin: Confronting German History in the Urban Landscape, h, 41.

18

Greverus Maria, “Poetics with Politics. Towards an Anthropology of the Own”, Anthropological Journal of European Cultures, vol. 8, The Politics of Anthropology, (2000), h. 128.


(33)

melainkan sebagai bentuk kritik dan protes terhadap keberadaan tembok yang membatasi hak keberadaan rakyat untuk berpindah tempat. Mural tersebut seakan memberikan saran dan cara bagi seseorang yang ingin melewati dinding, yaitu

dengan cara melompatinya, menggali lubang, atau bahkan terbang di atasnya.19

Kini tembok sepanjang 1,3 kilometer tersebut menjadi saksi bisu atas sejarah kebebasan bangsa Jerman di masa lalu. Tidak hanya sebagai saksi dari sebuah sejarah, Tembok Berlin pun kini telah menjadi objek wisata yang banyak dikunjung oleh para wisatawan mancanegara.

2. Mural di Amerika Serikat

Mural modern mulai dikenal di Amerika Serikat sebagai sebuah budaya seni visual ketika orang pertama kali melihat bahwa seseorang sedang menulis kata

“TAKI 183”20 di setiap

subway stop di New York sekitar tahun 1970.21 Namun sebelumnya, sekitar akhir tahun 1960-an mural sudah diperkenalkan di Amerika Serikat. Mural pada saat itu digunakan sebagai bentuk ekspresi jiwa aktivis politik, dan juga sebagai penanda wilayah oleh beberapa kelompok seperti Savage Skulls, La Familia, dan Savage Nomans.

19

Baker Frederick, The Berlin Wall P. Ganster & D. E. Lorey (eds.) Borders and Border Politics in a Globalizing World, (Oxford: SR Books, 2005), h. 34.

20

Taki 183 adalah salah satu penulis grafiti paling berpengaruh dalam sejarah. “Tag”-nya adalah sebuah singkatan dari kata Demetraki, yang berasal dari bahasa Yunani yaitu Demetrius, dan nomor 183 berasal dari alamatnya , Jalan 183 di Washington Heights. Lihat Joel Siegal, “When TAKI Ruled Magik Kingdom”, (Daily News, April 9, 1989).

21


(34)

Pada akhir tahun 1960-an telah terjadi kerusuhan tragis terhadap kaum kulit hitam. Akibatnya, terjadilah penjarahan di pemukiman orang-orang kulit hitam Amerika Serikat. Pada saat itu dinding pemisah antara kulit putih dan kulit hitam begitu terasa. Hak-hak sipil sulit diterima oleh penduduk minoritas Amerika Serikat khususnya warga kulit hitam, karena itu sebagian dari mereka berinisiatif untuk melakukan perlawanan demi merebut kembali hak-hak mereka. Lima puluh tokoh blues, jazz, dunia teater, politikus, agamawan, sastrawan, dan olahragawan, umumnya dipilih untuk menjadi karakter dari beberapa kelompok seniman fotografer dan pelukis.

William Walker dan OBAC Association22 menjadi salah satunya, dengan

menjadikan sebuah bangunan menjadi dinding aspirasi masyarakat kulit hitam untuk menyatakan kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah. Bangunan tersebut diberi nama Wall of Respect, yang bertujuan untuk mendefinisikan kembali dan memberitahukan beberapa kejadian ketidakadilan yang dialami orang kulit hitam di Amerika Serikat.

Ketegangan politik dan sosial yang berjalan tinggi di pemukiman orang-orang kulit hitam, menjadikan Wall of Respect menjadi tren positif masyarakat sebagai sebuah media baru. Dengan segera dinding tersebut menunjukkan korelasi langsung dengan perjuangan hak-hak sipil. Wall of Respect juga menjadi obyek wisata yang

22

William Walker lahir di Birmingham, Alabama pada tahun 1927 Meskipun lahir di Selatan, ia dibesarkan di Chicago. William Walker adalah muralis terkenal di Chicago. Dia adalah salah satu pendiri Organisasi for Black American Culture (OBAC) dan salah satu pemimpin dalam proyek Wall Of Respect. Dia juga salah satu pendiri penting dari gerakan mural di Chicago pada 1960-an. Lihat


(35)

dikunjungi oleh ratusan orang yang penasaran untuk berbagi pandangan mereka dengan para seniman. Dinding tersebut didukung dan dilindungi langsung oleh geng di lingkungan setempat. Dinding menjadi tempat yang netral, simbol kebanggaan menjadi hitam, tempat pertemuan di mana orang mengajarkan anak-anaknya sejarah

kulit hitam Amerika Serikat.23

Selain Wall of Respect, di tahun 1969 juga terdapat kasus yang sama. Yaitu sebuah bangunan tua yang disulap menjadi dinding aspirasi, dikenal dengan nama Wall of Truth. Gambar dari mural di Wall of Truth memperihatkan kondisi

masyarakat tentang kelaparan, kemiskinan, kekerasan xenophobia24, perjuangan, dan

solidaritas etnis.25

3. Mural di Irlandia Utara

Mural telah menjadi simbol Irlandia Utara, yang menggambarkan perpecahan politik dan agama dari dulu hingga sekarang. Irlandia Utara merupakan salah satu bagian dari Britania Raya. Konflik Irlandia Utara memiliki latar belakang yang sangat panjang secara historis. Etnis Kelt yang mendiami kepulauan Britania termasuk pulau Irlandia, saat itu dikuasai oleh kekaisaran Romawi kemudian bangsa Romawi mewariskan peradaban dan kebudayaannya kepada orang-orang Kelt di

23

Laetitia Espanol. The Chicago Mural Group, Art society, (Boston: Editions L’Harmattan, 2006), h, 55.

24

Xenofobia adalah perasaan ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing. Beberapa definisi menyatakan xenofobia terbentuk dari keirasionalan dan ketidak masuk akalan. Berasal dari bahasa Yunani xenos, artinya orang asing, dan phobos, artinya ketakutan. Lihat Guido Bolaffi. Dictionary of race, ethnicity and culture, (London: SAGE Publications, 2003). h. 332.

25

Mary Lackritz Gray. A Guide to Chicago's Murals, (Chicago: University Of Chicago Press, 2001), h. 25. Lihat lampiran 2.3.


(36)

kepulauan Britania, termasuk agama Katolik Roma. Pada abad ke-5 kekaisaran Romawi runtuh dan menyebabkan mereka pergi meninggalkan kepulauan Britania, setelah itu kemudian bangsa Anglo menginvasi kepulauan Britania. Itulah awal terjadinya permusuhan yang berujung pada konflik etnis, antara Kelt dan Anglo. Kepulauan Britania yang telah diwarisi oleh peradaban dan kebudaan Romawi,

akhirnya secara perlahan tersingkirkan oleh kebudayaan Anglo.26

Etnis Kelt yang tersebar di kepulauan Britania secara perlahan menjadi terpusat di wilayah pulau Irlandia. Dari cikal bakal itulah maka etnis Kelt lahir menjadi orang-orang Irish, sementara etnis Anglo menjadi cikal bakal lahirnya orang-orang English.

Pada tahun 1592 kerajaan Inggris memutuskan untuk keluar dari struktur Gereja Katolik Roma dan kemudian membuat Gereja Nasional. Namun, orang-orang Irlandia tidak lantas mengikuti hal tersebut karena orang-orang Kelt masih banyak terpengaruh oleh kebudayaan Romawi. Maka ketika terjadinya penutupan gereja-gereja Katolik Roma akibat kebijakan kerajaan Inggris, orang-orang Katolik Roma yang berada di Irlandia menjadi tidak simpatik terhadap Inggris, hal tersebut berujung pada tindakan diskriminasi terhadap orang-orang Irlandia. Oleh sebab itu orang-orang Irlandia menjadikan agama Katolik Roma mereka sebagai bentuk dan sikap anti Inggris. Berawal dari alasan ini, maka lahirnya konflik yang bersifat

26

Keogh Dermot. Northern Ireland and the Politics of Reconciliation, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), h. 55.


(37)

sentimen agama atau sektarianisme,27 ditambah lagi pada tahun 1690 William of

Orange (Protestan) memenangkan pertempuran terhadap James II (Katolik)28,

membuat kebencian mereka semakin kuat.

Hingga abad ke-19 kerajaan Inggris tetap memegang kekuasaan dan orang-orang Katolik terus mengalami diskriminasi. Maka pada pertengahan abad ke-19 muncul benih-benih nasionalisme pada masyarakat Irlandia di mana nilai kebanggaan kebangsaan masa lalu dikobarkan untuk bersatu melawan dominasi Inggris. Pada tahun 1921 Inggris memutuskan untuk menyetujui didirikannya Irish Free State (Negara Irlandia Merdeka), akan tetapi Inggris tetap berkuasa atas sebagian pulau Irlandia dengan tetap menguasai Ulster (wilayah Irlandia bagian utara) dengan dalih untuk melindungi hak rakyat yang tetap menginginkan berada di bawah kekuasaan Inggris, karena wilayah tersebut merupakan tempat bermukimnya orang-orang keturunan Inggris. Hal tersebut membuat peluang konflik menjadi semakin besar, konflik antara orang-orang Nasionalis Irlandia yang menginginkan pulau Irlandia merdeka secara penuh dan membebaskan Ulster dari Inggris, dengan

orang-orang Ulster yang bersikeras ingin tetap bergabung bersama Inggris.29

27

Richard Jenkins. Rethinking Ethnicity: Arguments and Explorations, (London: SAGE Publications, 1997) h. 120

28

Kemenangan Pangeran William menyebabkan James II melepaskan tanggung jawab dan melarikan diri ke Perancis pada akhir tahun. Hal tersebut memberikan efek mendalam bagi orang Irlandia. Penduduk asli Irlandia pada abad kemudian menjadi sasaran sistem hukum yang kejam. Sistem hukum tersebut mengakibatkan terjadinya pemblokiran kemajuan politik, ekonomi mereka dan membuat kaum tani tetap dalam kemiskinan. Lihat Richard Jenkins, Rethinking Ethnicity: Arguments and Explorations, (London: SAGE Publications, 1997) h. 141

29

Alasannya terjadinya perbedaan dua kubu tersebut karena mereka menganggap dirinya berbeda secara budaya, etnis dan kepercayaan dengan orang-orang asli Irlandia, bahkan secara agama pun mereka mayoritas menganut Protestan. Lihat Richard Jenkins, Rethinking Ethnicity: Arguments and Explorations, h. 149.


(38)

Puncaknya, pada tahun 1966 terjadilah konflik di Irlandia Utara. Konflik tersebut dipicu karena orang-orang Katolik yang tinggal di Irlandia Utara diperlakukan secara diskriminatif, baik sosial, politik, dan ekonomi, oleh orang-orang pemerintahan (Protestan). Irlandia Utara merupakan wilayah yang mayoritasnya penganut paham Protestan dan orang-orang yang loyal terhadap Inggris (Unionis), sementara orang-orang Katolik yang menginginkan Irlandia Utara

bebas dari Inggris (Nasionalis) menjadi minoritas di wilayah ini.30

Konflik sengit antara orang-orang Protestan dan Katolik di Irlandia Utara

dikenal dengan nama The Troubles. Konflik yang berlangsung beberapa dekade

tersebut memunculkan gambar-gambar dan slogan-slogan yang dibuat pada

dinding-dinding kota dan daerah pemukiman.31

Kemunculan lukisan-lukisan dinding di Irlandia berawal setelah seratus tahun pertempuran Boyne, ketika sebuah organisasi dibentuk untuk merayakan kemenangan Pangeran William. Beberapa pawai digunakan sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa Pangeran William yang mereka anggap sebagai sosok manusia taat, mulia dan abadi, karena ia telah memberikan agama Protestan di Irlandia. Kebebasan, agama, dan hukum adalah saksi keberhasilan Pangeran William yang menjadikan kebanggaan orang-orang Protestan di Irlandia. Biasanya pawai dilakukan oleh semua golongan Protestan di Irlandia, pawai tersebut berisi barisan marching band dan spanduk. Spanduk dilukis dengan sangat cermat oleh para

30

Gordon Gillespie, Historical Dictionary of the Northern Ireland Conflict, (Amerika Serikat: scarecrow press), h. 250

31


(39)

seniman. Lukisan tersebut menunjukkan pemandangan kekuasaan kekaisaran Inggris, cerita dari Alkitab, dan lainnya. Tapi gambar yang paling dominan adalah sosok Raja Billy yang sedang menyeberangi Boyne dengan penuh kasih sayang di

atas kudanya.32

Pada awal abad ke-20 gambar-gambar tersebut mulai dipindahkan ke gable

dinding, di mana semua orang dapat melihat gambar tersebut setiap waktu bukan hanya sekali dalam setahun pada saat hari perayaan. Beberapa tema lain juga dibuat, seperti pertempuran Somme atau tenggelamnya kapal Titanic yang digambar di Belfast. Tetapi gambar dari sosok Raja Billy tetap menjadi yang utama. Setiap wilayah yang dihuni oleh kalangan Protestan selalu bersaing untuk menggambar

sosok Raja Billy dan Boyne.33

Sebelum terjadi partisi pada tahun 1921, mereka menaruh perhatian khusus terhadap penduduk Unionis di Irlandia Utara yang sedang melakukan perayaan sebagai bentuk solidaritas, setelah negara Irlandia Utara terbentuk dari pertumpahan darah dan dibangun di atas diskriminasi. Mural telah menjelma menjadi sesuatu yang sangat penting bagi masyarakat Unionis.

Tetapi di Irlandia Utara pada kuartal terakhir abad ke-20 merupakan tempat yang sangat berbeda dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Diskriminasi yang terus dilakukan terhadap orang-orang Katolik, membuat para kaum Nasionalis (Katolik)

32

Bill Rolston. The War of The Walls: Political Murals in Northern Ireland. (Belfast: University of Ulster, 2003), h. 39.

33


(40)

melakukan aksi demonstrasi tentang hak-hak sipil. Namun, beberapa aktifis kampanye hak-hak sipil dipukuli di jalanan, dan beberapa tentara Inggris juga turunkan sebagai bentuk dari legitimasi negara runtuh. Administrator Inggris menuntut politisi dan birokrat lokal bertindak adil dan inklusif, organisasi militer yang loyal terhadap Inggris seperti Ulster Defence Association (UDA) dan Ulster Volunteer Force (UVF) membantai penduduk Katolik dan Irish Republican Army

(IRA).34 Akibat dari kejadian itu aktivis pro-Irlandia menyatakan sikap perang

terhadap institusi Inggris di Irlandia. Mural yang pada awalnya berisikan gambar Raja Billy untuk beberapa waktu digantikan dengan gambar hiasan bendera,

mahkota, Alkitab, dan simbol mati lainnya.35

Setelah IRA mengambil alih Irlandia Utara pada akhir tahun 1970-an, lukisan mural dari pro-Irlandia (Nasionalis) mulai bermunculan. Mural tersebut muncul untuk memperjuangkan suara politik yang lebih besar dan menyerukan bersatunya kembali Republik Irlandia. Mural-mural yang dibuat oleh kaum Nasionalis lebih bersifat perlawanan dan lebih mempunyai variasi genre yang beragam seperti, aksi mogok makan dan lukisan para tokoh tahanan sebagai korban sistem pemerintahan Inggris. Namun selain berisikan masalah internal, kaum Nasionalis juga membuat mural yang bertemakan internasional. Tema tersebut berisikan dukungan dan rasa simpatik mereka terhadap penderitaan berbagai kelompok global yang sedang mengalami penindasan. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk solidaritas mereka

34

Bill Rolston. The War of The Walls : Political Murals in Northern Ireland, h, 41

35


(41)

terhadap negara atau kelompok yang juga sedang mengalami konflik.36 Mural internasional berkaitan dengan peristiwa di Afrika Selatan, Nikaragua, dan Palestina, serta lukisan mural dengan ikon tokoh global terkenal seperti Che Guevara, Nelson

Mandela, Martin Luther King, dan Malcolm X.37

Berbagai tema menunjukkan bahwa mural produksi kaum Nasionalis merupakan karya dari masyarakat pro-Irlandia yang meliputi kelompok-kelompok komunitas, aktifis politik dan aktifis militer. Tidak seperti mural Unionis yang hanya diperintahkan oleh kelompok sipil bersenjata yang mendominasi daerah setempat. Selain itu, mural produksi kaum Nasionalis juga banyak berisikan opini publik dari para muralis.

Sejak saat itulah mural kaum Nasionalis Irlandia Utara telah berkembang menjadi simbol keyakinan, bahwa waktu berada di pihak mereka. Meskipun merupakan pendatang baru dalam proses pembuatan mural, namun mural mereka lebih memiliki visi dan keyakinan akan terjadinya sebuah perubahan yang tidak dapat dihindarkan, sehingga menampilkan sikap kepercayaan diri dan kegembiraan yang terlihat jelas.

4. Mural di Palestina

Beberapa kasus di negara-negara tersebut merupakan contoh bagaimana seni mural memainkan peran lebih dari sekedar pengantar pesan singkat yang sederhana.

36

Bill Roston. “The Brothers on The Walls : International Solidarity and Irish Political Mural”, Jurnal of Black Studies, vol 39, no.3, (Northern Ireland : University of Ulster, 2009), h. 451

37

Bill Roston. The Brothers on The Walls : International Solidarity and Irish Political Mural, h. 458.


(42)

Mural menunjukkan tampilan aspek budaya dan sejarah dengan cara komunikasi dua arah antara gambar dengan audiens. Di Palestina sendiri, selama Intifadha pertama mural telah mengubah dinding-dinding jalan dan bangunan menjadi monumen kesaksian atas pergolakan yang terjadi selama masa pendudukan Israel.

Perlawanan Israel terhadap perjuangan nasionalisme Palestina telah muncul sejak 1967 silam. Di wilayah pendudukan, mereka membuat kebijakan untuk tidak mentolerir tanda-tanda visual nasionalisme Palestina. Salah satu metode efektif yang

digunakan rakyat Palestina selama intifada adalah dengan menggunakan dinding.38

Ini merupakan cara untuk mengedarkan informasi dan melambangkan perlawanan. Israel mencoba menekan tindakan seperti ini, mereka memerintahkan warga Palestina agar tidak melukis dinding dengan tema nasionalistik. Dunia pers melihat insiden tentara Israel ini dinilai menarik, rakyat Palestina akan berada di bawah todongan

senjata Israel untuk mengecat ulang dinding yang telah dilukis.39 Ini merupakan

gambaran bahwa sebuah pemerintahan yang demokratis akan merasa terancam oleh gambar visual yang diekspresikan melalui mural.

Kepemimpinan Palestina percaya akan keefektifan dari seni jalanan tersebut, selanjutnya gerakan bawah tanah memberikan perintah kepada anggotanya untuk menggerakkan para pemuda Palestina melakukan kampanye lukisan bendera Palestina pada setiap dinding pada bangunan-bangunan di wilayah pendudukan yang secara simbolis hal ini menandakan sebagai wilayah Palestina.

38

Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2. May, 1996) h. 139.

39

Abdul Jawad Saleh. Israel’s Policy of De-Institutionalization. (London: Jerusalem Center for Development Studies, 1987), h. 89.


(43)

Selang beberapa waktu ketika perlawanan graffiti mulai popular di kalangan rakyat Palestina, mereka selanjutnya mengembangkan dinding menjadi seperti sistem media massa. Pembahasan isu serta dengungan peringatan, mewarnai bentuk perlawanan nonfisik ini dan keberadaan mereka pun dapat membuat Israel merasa terusik. Akibatnya, Israel berusaha menutupi layar dinding tersebut. namun secepat

mereka menutupinya, secepat itu pula mural baru kembali muncul.40

Menjelang masa intifadha pertama berakhir, dinding selain sebagai bentuk perlawanan nasional dan media massa, juga sebagai media pembaca konflik kepemimpinan internal Palestina. suatu organisasi Islam seperti Hamas dan organisasi nasionalis seperti PLO atau Fatah, saling serang menyerang masalah ideologi serta kepemimpinan Palestina. Mereka menggunakan dinding sebagai sumber sirkulasi informasi kepada khalayak luas. Terlepas dari hal itu, dalam menilai seni jalanan selama Intifadha, adanya respon Israel telah membuktikan keefektifan perlawanan non-fisik tersebut. Namun, strategi non-fisik bukan menjadi hal baru bagi rakyat Palestina. Pada periode sebelum Intifadha dimulai, perlawanan non-fisik telah turut mewarnai perjuangan Palestina untuk melengserkan pendudukan Israel.

40

Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2. May, 1996) h. 140.


(44)

34

BENTUK BARU RESISTENSI PALESTINA

A. Palestina

Palestina (Arab: Filastin) merupakan wilayah yang terletak di kawasan Asia Barat, di antara laut Mediterania dan laut Yordan. Palestina di dalam ajaran Yahudi

disebut dengan istilah “Tanah yang dijanjikan” atau ada juga yang menyebutnya

“Tanah suci”, karena Palestina merupakan tempat dari tiga agama besar di dunia

yaitu: Islam, Kristen dan Yahudi. Secara historis wilayah ini juga dikenal dengan

nama-nama seperti; Kanaan, Suriah Selatan dan Kerajaan Yerusalem.1 Palestina juga

terletak di daerah yang amat strategis yaitu antara Mesir, Suriah dan Jazirah Arab. Karena lokasinya terletak di pertengahan negara-negara Arab, Palestina membentuk kombinasi geografis yang natural dan humanistik bagi medan terestrial yang luas.

Tanah Palestina mempunyai keistimewaan dibanding dengan daerah lain, karena Palestina merupakan bagian dari tempat bercokolnya semua agama samawi, tempat di mana peradaban kuno muncul, menjadi jembatan aktivitas komersial dan tempat penyusupan ekspedisi militer di sepanjang era bersejarah yang berbeda. Lokasi strategis yang dinikmati Palestina memungkinkannya untuk menjadi faktor

penghubung antara berbagai benua : Asia, Afrika dan Eropa.2 Palestina juga menjadi

tempat yang dijadikan pintu masuk bagi perjalanan ke negara-negara tetangga. Ia

1

Simon S. Montefiore. Jerusalem: The Biography. (New York: Alfred A. Knopf, 2011), h. 33.

2

Kemal H. Karpat. Studies on Ottoman Social and Political History: Selected Articles and Essays. (Boston: Brill, 2002), h. 313.


(45)

menjadi jembatan penghubung bagi manusia sejak dahulu, sebagaimana ia juga menikmati lokasi sentral yang memikat sebagian orang untuk bermukim dan hidup dalam kemakmuran.

Namun dibalik letaknya yang strategis, bukan rahasia umum lagi bahwa dari dahulu hingga kini wilayah Palestina selalu menjadi perebutan. Palestina telah dikuasai oleh berbagai bangsa, yaitu : Mesir Kuno, bangsa Kanaan, Bani Israil, Assyiria, Babilonia, Farsi, Yunani Kuno, Romawi, Romawi Timur, Kekhalifahan Arab Sunni, Kekhalifahan Fatimiyah Syi’ah, Salibi, Ayyubiyah, Mamluk, Turki Utsmani, Britania (Inggris Raya) dan yang terkini Pendudukan tanah Palestina oleh bangsa Israel, yang menyatakan berhak atas tanah Palestina.

B. Konflik Palestina – Israel

Konflik antara orang Arab Palestina – Israel merupakan sebuah fenomena

modern yang muncul sejak akhir abad ke-19 Masehi. Meskipun kedua kelompok memiliki kepercayaan yang berbeda (Palestina: Muslim, Kristen, dan Druze),

perbedaan agama bukanlah penyebab perselisihan.3 Sebab konflik dimulai dengan

alasan kepemilikan hak atas tanah, sehingga terjadilah perebutan terhadap tanah tersebut.

Konflik berawal ketika gerakan Zionisme atau nasionalisme Yahudi yang dipopulerkan oleh seorang jurnalis berkebangsaan Austria bernama Theodore Herzl,

3


(46)

mulai marak di Eropa sebelum tahun 1920-an.4 Gerakan ini menyebabkan terjadinya perpindahan masyarakat Yahudi dari Eropa ke kawasan Timur Tengah. Sementara pada saat itu, kawasan Timur Tengah termasuk wilayah Israel atau Palestina (pada saat ini) masih berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani. Eksistensi kekuasaan Turki Utsmani di kawasan Timur Tengah berakhir setelah mengalami kekalahan pada Perang Dunia I. Kekalahan tersebut tidak hanya disebabkan oleh Inggris atau Perancis, melainkan juga oleh bangsa Arab sendiri. Bangsa Arab yang berada di bawah kekuasaannya (baca: Turki Utsmani) melakukan pemberontakan kepada pemerintahannya sendiri. Hal tersebut dilakukan dengan dalih janji Inggris, bahwa Inggris akan membantu mereka untuk membentuk sebuah pemerintahan Arab yang independen apabila mereka mau melawan pemerintahan Turki Utsmani. Janji Inggris kepada bangsa Arab ini tertuang dalam korespondensi antara Sir Mac Mahon (pejabat Inggris di Kairo) dengan Sharif Hussein (tokoh bangsa Arab) yang dikenal dengan

Hussein-Mac Mahon Correspondence.5

Akan tetapi, janji Inggris terhadap bangsa Arab tersebut tidak segera diwujudkan. Inggris bersama dengan Perancis justru membuat perjanjian bilateral yang membagi eks-wilayah pemerintahan Turki Utsmani untuk negara-negara Eropa.

Perjanjian ini dikenal dengan sebutan Sykes-picot Agreement. Dalam perjanjian

tersebut, Inggris mendapatkan Yordania, Irak, dan sebagian wilayah Haifa, sedangkan Perancis mendapatkan wilayah Turki, Irak bagian utara, Suriah dan Lebanon.

4

R. Garaudy, The Case of Israel: a Study of Political Zionism, (London: Shorauk, 1983), h. 4

5

Howard Morley Sachar. The Course of Modern Jewish History – The Classic History of the Jewish People, From the Eighteenth Century to the Present Day. (New York City: Dell Publishing, 1977), h. 370.


(47)

Sementara itu, negara-negara Eropa lain dibebaskan untuk memilih wilayah yang

ingin dikuasainya.6 Dalam Sykes-picot Agreement, wilayah Palestina belum

diserahkan kepada negara manapun, sehingga Palestina menjadi sebuah wilayah internasional yang dikelola bersama oleh negara-negara pemenang perang.

Terdapatnya Sykes-picot Agreement membuat bangsa Arab tidak mendapatkan

eks-wilayah kekuasaan Turki Utsmani dan tidak mungkin dapat membentuk pemerintahan Arab yang independen. Namun di saat bersamaan, Inggris justru

berjanji mendukung pendirian negara Yahudi di Palestina.7 Dukungan Inggris

tersebut tertuang dalam dokumen Balfour Declaration yang menjadi landasan bagi

gerakan Zionisme untuk membentuk sebuah negara Yahudi di Palestina. Terdapatnya janji-janji Inggris, baik kepada pihak Arab ataupun Yahudi telah membuat kedua bangsa ini merasa berhak atas wilayah Palestina dan merasa mendapat dukungan dari

Inggris.8 Hal ini yang kemudian melatarbelakangi terjadinya konflik panjang antara

Arab – Yahudi hingga merubahnya menjadi konflik Palestina – Israel seperti

sekarang ini.

Selama konflik antara Palestina-Israel, lanskap perlawanan mereka khususnya Palestina lebih sering terlihat melalui jalur fisik yang dilakukan oleh faksi-faksi politiknya serta perlawanan non fisik yang dilakukan oleh Otoritas Palestina melalui negosiasi-negosiasi perdamaiannya. Namun terlepas dari hal itu, peran rakyat sipil

6

David Fromkin. A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of the Modern Middle East, (New York: Owl, 1989), h. 283.

7

Sahar Huneidi. A Broken Trust: Sir Herbert Samuel, Zionism and the Palestinians, (London: I.B. Tauris, 2001), h. 261.

8

David Fromkin. A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of the Modern Middle East, h. 290.


(48)

Palestina tidak dapat dipisahkan dari perjuangan bangsa tersebut. Mereka tidak berjuang menggunakan senjata, akan tetapi dengan keterbatasannya, rakyat Palestina melakukan aksi-aksi pembangkangan sipil yang cukup merugikan pihak Israel. Aksi

tersebut dikenal dunia dengan istilah Nonviolent Resistance.

C. Perlawanan Non Kekerasan Palestina

Nonviolent Resistance atau sebagaimana Mahatma Gandhi kerap sebut dengan perlawanan tanpa tindak kekerasan, adalah praktik untuk mencapai tujuan tertentu melalui protes simbolik, pembangkangan sipil, menolak bekerjasama baik sektor ekonomi maupun politik, atau metode lain tanpa menggunakan kekerasan. Pada dasarnya istilah ini acapkali diidentikkan dengan perlawanan sipil, namun hal itu merupakan sebuah kekeliruan. Masing-masing istilah (perlawanan non kekerasan

dan perlawanan sipil) memiliki karakter serta konotasi berbeda.9

Aksi non kekerasan bukan berarti menunjukkan sikap lemah atau pasif. Pada dekade abad lalu, di beberapa negara, gerakan rakyat telah menggunakan metode-metode non kekerasan yang berhasil menggulingkan rezim penindas, menggagalkan kudeta militer dan membela Hak Asasi Manusia. Dari tahun 1966 sampai 1999, perlawanan sipil tanpa kekerasan memainkan peran penting pada sebuah transisi dalam otoritarianisme. Terakhir, perlawanan tanpa kekerasan telah menyebabkan

Revolusi Rose di Georgia dan Revolusi Orange di Ukraina,10 termasuk perlawanan

9

Scott Bennett. Radical Pacifism: The War Resisters League and Gandhian Nonviolence in America, 1915-1963, (Syracuse : Syracuse University Press, 2003), h. 6

10

Judith Hand, A Future Without War: The Strategy of a Warfare Transition, (San Diego, CA: Questpath Publishing, 2006), h. 22


(49)

mahasiswa Indonesia saat menumbangkan Orde Baru menuju Orde Reformasi. Banyak gerakan yang mengadopsi metode non-kekerasan sebagai cara yang efektif untuk mencapai tujuan sosial dan politik. Mereka menggunakan taktik perlawanan

non kekerasan seperti: perang informasi, pawai, demonstrasi, leafleting, komunitas

pendidikan guna meningkatkan kesadaran, menolak membayar pajak, aksi boikot,

general strike, protes melalui musik dan protes melalui seni.11 Aksi non-kekerasan berbeda dari pasifisme, karena mereka berpotensi menjadi proaktif dan intervensi.

Pada kasus di Palestina, kisah perlawanan mereka dengan bentuk fisik telah sangat dikenal, sementara hal yang sama pentingnya juga terjadi pada perlawanan non-fisik Palestina yang hampir tak terhitung jumlahnya. Perlawanan non-fisik dimulai semenjak periode mandat, ketika Inggris melakukan kontrol kolonial atas

Palestina yang dikenal dengan General Strike pada tahun 1936. General strike

dipanggil untuk memprotes kebijakan kolonial Inggris yang mengesampingkan masyarakat lokal dari proses pemerintahan. Aksi pemogokkan tersebut berlangsung selama enam bulan, sehingga menjadikan aksi pemogokkan umum terpanjang dalam sejarah modern. Untuk mempertahankan aksi pemogokkan selama berbulan-bulan, diperlukan sebuah kerjasama yang besar dan sistem perencanaan yang baik pada tingkat lokal. Hal ini juga melibatkan pembentukkan lembaga alternatif oleh Palestina

untuk menyediakan kebutuhan ekonomi.12 Pemogokkan serta tindakan yang

menyertainya, akhirnya menemui dilema yang kemudian dihadapi oleh banyak

11

Jamal Dajani. Deporting Gandhi from Palestine. The World Post, 06/16/2010. (Sumber:

http://www.huffingtonpost.com/jamal-dajani/deporting-gandhi-from-pal_b_540270.html, akses,7/2/14)

12

Michael Bröning, The Politics of Change in Palestine. State-Building and Non-Violent Resistance. (London: Pluto Press, 2011), h. 43.


(50)

gerakan perlawanan non-kekerasan Palestina. Mereka ditindas secara brutal oleh pemerintah Inggris dan banyak dari para pemimpin pemogokkan itu akhirnya tewas, dipenjara, atau diasingkan. Akan tetapi, represi ini tidak mencegah pengalaman serta inspirasi dari general strike dan tindakan-tindakan lain terhadap pembangkangan sipil

untuk menjadi model perlawanan bagi generasi masa depan aktifis Palestina.13

Satu generasi melihat upaya ini berguna untuk membangun bentuk-bentuk baru perlawanan terhadap tindak penindasan, dan generasi berikutnya harus menggunakan memori sejarah yang telah disediakan dalam perjuangan sebelumnya untuk memulai kembali serta menciptakan strategi baru perlawanan Palestina.

D. Bentuk Non Kekerasan Palestina 1967-1987

Selama perang 1967, Israel telah menduduki Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur, bersama dengan dataran tinggi Golan, Jalur Gaza, dan semenanjung Sinai. Namun, perdebatan terjadi di dalam masyarakat Israel sendiri. Mereka memperdebatkan bagaimana cara mengontrol wilayah yang baru saja ditaklukkan. Karena bagi beberapa orang Israel, situasi ini merupakan keuntungan permanen dan sebagai bagian dari keinginan mereka untuk mengontrol sejarah Palestina dan menciptakan Israel Raya. Hal ini menyebabkan periode pendudukan di Palestina mengalami pergeseran, militer Israel, dan pemerintahan sipil.

Lebih dari 1.400 aturan dan perintah militer, bersamaan dengan peraturan darurat British yang tersisa dari periode mandat dan hukum Turki Utsmani, menjadi

13

Michael Bröning, The Politics of Change in Palestine. State-Building and Non-Violent Resistance, h. 50.


(51)

dasar pemerintahan militer atas rakyat Palestina yang tinggal di Gaza dan Tepi Barat. Akibatnya, kekerasan dan penindasan merupakan bagian yang konsisten dari pengalaman tersebut. Pemerintah militer Israel telah menangkap dan menahan lebih

dari setengah rakyat Palestina di wilayah pendudukan.14 Sekitar tahun 1967 – 1987

telah lebih dari 2.000 warga Palestina dideportasi dari wilayah pendudukan, lebih dari 1.560 rumah warga Palestina dihancurkan, dan segala bentuk kebebasan pendidikan dan kebudayaan yang erat dibatasi: sekolah secara rutin ditutup, dan lebih dari 1.600

buku dilarang oleh pemerintah Israel di wilayah Pendudukan.15

Dalam menghadapi keadaan umum dari represi tersebut, tindakan sederhana dari kehidupan sehari-hari seperti, bekerja, pergi ke sekolah, serta merawat seorang

keluarga (akses rumah sakit ditutup oleh militer Israel, mereka tidak diizinkan beroperasi),

menjadi tindakan pembangkangan sipil. Istilah sumuod (kesabaran atau keteguhan)

merupakan kata yang sering didengungkan pada perjuangan sehari-hari untuk bertahan hidup dalam menghadapi pendudukan. Namun bagaimana pun, rakyat

Palestina terus mencari outlet kreatif sebagai bentuk resistensi terhadap tindak

kekerasan pendudukan.16

14

Menurut pakar hukum Lisa Hajjar pada tahun 1967-1987 jumlah penduduk Palestina yang tinggal di wilayah Gaza dan Tepi Barat sekitar 1,5 juta jiwa. Dalam artikel, Joel Beinin dan Lisa Hajjar, Palestine, Israel and the Arab Conflict A Primer. (The Middle East Research and Information Project, 2014), h. 2.

15

Periode tersebut muncul bersamaan dengan kebijakan pemukiman, agresif dilakukan pemerintah Israel. pada tahun 1967 hingga 1987, sekitar 135 pemukiman dengan total 175.000 pemukim, dibangun di Tepi Barat, bersamaan dengan 12 pemukiman dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000 pemukim di Jalur Gaza. Disamping itu, kehadiran militer secara besar-besaran diperlukan untuk membuat pemukiman ini menjadi legal. Para pemukim sendiri mewakili paramiliter besar di wilayah pendudukan. Lihat, Joel Beinin dan Lisa Hajjar, Palestine, Israel and the Arab Conflict A Primer, h. 7.

16


(1)

Lampiran 4.6

1. Tahanan Palestina

Pada gambar ini mural memperlihatkan daftar nama warga Palestina yang ditahan oleh pihak Israel. Sedangkan pada lanskap selanjutnya mural melukiskan gambaran dengan beberapa tahanan yang sedang menanti datangnya kebebasan mereka dan satu orang tahanan terlihat dengan wajah penuh harapan. Sementara di sisi luar penjara terlihat gelombang massa Palestina yang berupaya merusak tembok sel penjara, seakan mendesak, “Kebebasan untuk semua tahanan”. Pada saat mural menceritakan rusaknya tembok atau terbukanya pintu penjara, hal itu mengilustrasikan bahwa sebuah kebebasan dapat menjadi kenyataan. Dalam banyak kasus burung merpati digambarkan sebagai simbol kebebasan.17

17

Sumber gambar, Bill Roston, Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza, (London: Institute of Race relation), h. 58.


(2)

Pada gambar kedua ini, mural mengilustrasikan seorang pejuang Palestina sedang menyeret seorang tentara Israel yang menjadi tawanan, seolah-olah mengatakan, “Kami hanya dapat membebaskan tahanan dengan menangkap tentara Israel”. Sementara seorang tahanan Palestina melalui jeruji penjara yang sedikit terbuka, terlihat sedang berteriak gembira menyambut kedatangannya.18

18

Sumber gambar, Bill Roston, Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza, (London: Institute of Race relation), h. 55.


(3)

Lampiran 4.7

Kesyahidan

Daftar para korban yang tewas dalam aksi perlawanan rakyat Palestina.19

19

Sumber Foto: http://www.thedailybeast.com/articles/2012/12/18/the-first-intifada-in-retrospect.html, (akses: 2/2/15).


(4)

Mural untuk mengenang empat pejuang yang telah gugur memorialisasi mural muncul dengan sosok seorang pria berseragam yang sedang memegang sejata laras panjang, di jalan Omar al-Mokhtar, Gaza. Terdapat teks yang bertuliskan, “Ini adalah peringatan para syuhada laut, para putra Gerakan Pembebasan Nasional Palestina, Fatah, Brigade al-Aqsha. Dirgahayu hari jadi kesyahidan yang pertama para raksasa laut”.20

20

Bill Roston. Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza. London: Institute of Race relation , 2014, h. 58.


(5)

Lampiran 4.8

Peristiwa Nakba Day

Mural ini sedang menceritakan tentang kisah para pengungsi. Sebuah rombongan pengungsi dipimpin oleh satu orang pria yang memegang kunci berjalan meninggalkan tenda (kamp pengungsian), secara bersamaan hal tersebut melambangkan keadaan pengungsi yang telah kehilangan rumah. Di lanskap selanjutnya terdapat gambar sebuah kunci beserta angka dengan teks yang menyertainya, “Kami akan kembali”, hal ini menunjukkan bahwa pengasingan akan segera berakhir pada waktunya. Dan sebuah angka menjelaskan tentang kurun waktu mereka terusir sejak peristiwa Nakba terjadi.21

21

Bill Roston. Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza. London: Institute of Race relation , 2014, h. 60.


(6)

Agen Israel

Tanpa atribut lengkap, tentara Israel menyamar sebagai waga sipil Palestina dan menangkap beberapa warga yang diduga terlibat ke dalam aksi “pembangkangan

sipil”.22

22

Sumber foto: https://desertpeace.wordpress.com/2013/02/21/a-profile-of-israeli, (akses: 2/2/15).