Prosiding Inovasi Teknologi Ramah Lingkungan 2013

ADAPTASI SISTEM INTEGRASI TERNAK SAPI DAN KELAPA SAWIT RAMAH
LINGKUNGANDI PROVINSI KEPULAUAN RIAU
Yayu Zurriyati dan Dahono
Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) Kepulauan Riau
Jl. Pelabuhan Sungai jang no.38 Tanjung pinang

ABSTRAK
Sistem integrasi ternak dan tanaman (SITT) merupakan suatu kegiatan usahatani yang menerapkan
prinsip ramah lingkungan, karena limbah yang dihasilkan dari kedua komoditi tersebut tidak menimbulkan
dampak negatif bagi lingkungan sekitarnya. Keberadaan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kepulauan Riau
memungkinkan untuk mengintegrasikan antara ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit. Untuk
mendapatkan data dan informasi tentang SITT sapi-kelapa saawit di Provinsi Kepulauan Riau, pada tahun 2012
LPTP Kepri melakukan suatu kegiatan pengkajian guna mendapatkan formulasi pakan sapi yang optimal dari
limbah tanaman kelapa sawit dan pembuatan pupuk organik berbasis limbah sawit. Pengkajian dilaksanakan di
Desa Malang Rapat, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. Ternak yang digunakan berjumlah 12 ekor
ternak sapi Bali jantan berumur sekitar 1,5-2 tahun dengan berat badan awal  150 kg. Pakan yang diuji terdiri
dari 4 perlakuan, yaitu: Introduksi 1 (P1)= rumput 30%, daun+pelepah kelapa sawit 30%, dedak padi 35% dan
kepala teri 5%; introduksi 2 (P2)= rumput 30%, daun+pelepah kelapa sawit 30%, dedak padi 25%, kepala teri
5% dan ampas tahu 10%, introduksi 3 (P3)= daun+pelepah kelapa sawit fermentasi 60%, dedak padi 25%,
kepala teri 5%, ampas tahu 5% dan lumpur sawit 5%; perlakuan kontrol (K)=sesuai kebiasaan petani. Tiap
perlakuan diujikan pada 3 ekor ternak sapi sebagai ulangan. Pembuatan kompos dari tandan kosong kelapa

sawit dibedakan dari 3 jenis aktivator yang digunakan yaitu Orgadec, Stardec dan Probion. Hasil pengomposan
dari ketiga aktivator tersebut dianalisis dan dibandingkan dengan SNI 19-7030-2004. Pengaruh antar perlakuan
pakan dan kompos dianalisis menggunakan t test.. Hasil pengkajian mendapatkan tidak terdapat perbedaan yang
nyata (P>0.05) dari perlakuan pakan terhadap pertambahan bobot badan ternak sapi maupun perlakuan
aktivator terhadap mutu kompos tandan kosong yang dihasilkan. Pemanfaatan daun dan pelepah kelapa sawit
baik dalam bentuk segar maupun fermentasi sebesar 30-60% didalam ransum ternak sapi Bali menghasilkan
pertambahan bobot badan harian (PBBH) antara 0.5-0.6 kg/ekor/hari. Pembuatan kompos dari tandan kosong
kelapa sawit menggunakan aktivator Orgadec, Stardec dan Probion, menghasilkan kompos yang memenuhi
kriteria standar SNI kompos 19-7030-2004.
Kata kunci:ramah lingkungan, limbah kelapa sawit, pakan, kompo

PENDAHULUAN
Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Riau.
Secara geografis Provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan negara tetangga yaitu Singapura,
Malaysia, dan Vietnam. Luas wilayahnya sekitar 95% merupakan lautan dan hanya 5% merupakan
wilayah daratan dari total luas wilayah 252.601 Km 2. Walaupun demikian terdapat potensi untuk
pengembangan pertanian khususnya peternakan di provinsi ini Hasil kajian analisa kebutuhan dan
ketersediaan pakan yang dilaporkan oleh Dinas Pertanian, Kehutanan & Peternakan Provinsi Kepri
2007, ketersediaan pakan ruminansia dari padang rumput saja di provinsi ini dapat menampung 25
kali lipat dari populasi ternak ruminansia.yang ada. Belum lagi dari ketersediaan sumber pakan asal

limbah pertanian dan agroindustri lainnya. Saat ini jumlah populasi sapi potong di Provinsi Kepri
adalah 17.378 ekor (BPS Kepri 2011). Masih terdapat kesenjangan antara jumlah permintaan daging
sapi yang jauh diatas penawaran. Rata-rata permintaan dan konsumsi daging sapi di provinsi ini
meningkat sekitar 9,31%/tahun yang sebagian besar disuplai dari impor karena daerah tidak dapat
memenuhi permintaan tersebut. Rendahnya produktivitas ternak sapi ditingkat petani merupakan
salah satu faktor penyebab ketidak mampuan daerah untuk memenuhi permintaan dagingsapi.
Produktivitas ternak sapi yang tinggi berhubungan dengan ketersediaan pakan yang mencukupi
secara kualitas dan kuantitas, disamping faktor manajemen pemeliharaan ternak sapi dan genetik
ternak sapi.
Peningkatan produktivitas ternak sapi dituntut guna mendukung program swasembada
daging sapi dan kerbau (PSDSK) pada tahun 2014. Pertanian terpadu antara ternak dan tanaman
dengan penerapan konsep “ramah lingkungan” yang berarti tidak menimbulkan dampak negatif bagi
lingkungan sekitarnya dalam berusahatani merupakan upaya yang dapat dilakukan guna mewujudkan
program tersebut. Limbah tanaman dapat digunakan sebagai pakan ternak dan limbah ternak dapat
digunakan sebagai pupuk tanaman.

Kelapa sawit merupakan komoditi perkebunan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Tanaman ini menyumbang 27% dari kebutuhan minyak nabati dunia yang berasal dari buah. Luas
perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kepulauan Riau tercatat sebesar 2.679 ha (BPS Kepri 2011).
Dalam pengolahan kelapa sawit hingga menjadi minyak dihasilkan limbah sebagai produk

sampingnya. Perluasan kebun kelapa sawit akan menyebabkan peningkatan produk samping dan
berpotensi mengganggu lingkungan (Diwyanto et al, 2003). Limbah perkebunan dan pabrik kelapa
sawit antara lain pelepah serta tandan kosong (tankos) kelapa sawit. Dari setiap tandan buah segar
(TBS) yang dipanen diperoleh sejumlah 1-2 pelepah. Setiap hektar kebun kelapa sawit secara teoritis
dapat menampung 143 pokok tanaman, sehingga setiap tanaman akan menghasilkan 22
pelepah/tahun Sementara dalam 1 ha kebun kelapa sawit menghasilkan tankos sebanyak 50.000 kg.
Untuk mengatasi penumpukan limbah tankos yang terus bertambah di perusahaan biasanya
dilakukan pembakaran dan abunya dimanfaatkan sebagai pupuk (LRPI, 2003). Akan tetapi dengan
terbitnya SK Mentan No. KB 550/268/ Mentan/VII/1997, tentang pelestarian lingkungan, upaya
pembakaran limbah tankos mulai ditiadakan dan dimanfaatkan sebagai mulsa pada tanaman kelapa
sawit dewasa yang sekaligus sebagai pupuk organik. Akan tetapi cara ini memerlukan biaya
transportasi, tenaga dan biaya penebaran tankos yang tinggi, serta munculnya serangan hama
kumbang yang merusak tanaman kelapa sawit. Pengolahan tankos menjadi kompos merupakan salah
satu alternatif untuk peningkatan nilai tambahnya.
Integrasi ternak sapi dengan tanaman kelapa sawit sangat sesuai diterapkan untuk wilayahwilayah yang mempunyai potensi kedua komoditi tersebut. Pelepah dan daun sawit dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi. Wan Zahari et al (2003), dalam laporannya menyebutkan
bahwa pemberian pelepah sebagai bahan baku ransum dalam jangka waktu yang panjang pada
ternak sapi akan menghasilkan kualitas karkas yang baik.
Untuk mendapatkan data dan informasi sistem integrasi ternak sapi dengan tanaman kelapa
sawit di Provinsi Kepulauan Riau, maka Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) Kepri melakukan

suatu kegiatan pengkajian. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mendapatkan formulasi pakan sapi yang
optimal dari pemanfaatan limbah tanaman kelapa sawit dan pembuatan pupuk organik berbasis
limbah sawit di Provinsi Kepulauan Riau.

METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Pengkajian
Pengkajian dilaksanakan di Desa Malang Rapat, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten
Bintan, yang merupakan salah satu daerah pengembangan ternak sapi dengan sistem integrasi
dengan perkebunan kelapa sawit. Kegiatan dilaksanakan mulai dari bulan April sampai dengan
Agustus 2011.

Metode
Dalam kegiatan ini ternak yang digunakan berjumlah 12 ekor sapi Bali jantan yang berumur
sekitar 1,5-2 tahun dengan berat badan awal  150 kg. Pemeliharaan ternak dilakukan dengan cara
kereman, dalam kandang kelompok. Kandang kelompok dilengkapi dengan sekat pemisah antar
ternak, dinding terbuka dan dilengkapi dengan bak pakan dan tempat air minum. Pakan perlakuan
yang diuji pada kegiatan ini ditampilkan pada Tabel 1. Tiap pakan perlakuan diujikan pada 3 ekor
ternak sapi sebagai ulangan.
Tabel 1. Komposisi Pakan Perlakuan pada Kegiatan Pengkajian.


Perlakuan Pakan
Kontrol
Rumput 100%

Introduksi 1
- Rumput 30%
- Daun+PelepahKelapa
sawit 30%
- Dedak padi 35%
- Kepala teri 5%

Introduksi 2
- Rumput 30%
- Daun+Pelepah Kelapa
sawit 30%
- Dedak padi 25%
- Kepala teri 5%
- Ampas tahu 10

Introduksi 3

- Daun+Pelepah
Kelapa sawit
fermentasi 60%
- Dedak padi 25%
- Kepala teri 5%
- Ampas tahu 5%
- Lumpur sawit 5 %

Teknis pembuatan pakan ternak dari limbah sawit dilakukan dengan cara mencampur semua
bahan pakan berupa pelepah dan daun kelapa sawit yang telah dicacah dengan menggunakan mesin

copper, lumpur sawit, dedak, ampas tahu, dan kepala teri sesuai komposisi dari beberapa perlakuan
yang diuji. Daun dan pelepah kelapa sawit fermentasi dibuat dengan cara menambahkan probion
sebanya 0,25% dari jumlah daun dan pelepah kelapa sawit dan difermentasi selama 4 hari.
Pembuatan pupuk organik padat menggunakan bahan baku limbah tandan kosong kelapa
sawit. Bahan lain yang ditambahkan adalahaktivator, urea dan SP36. Metode pembuatan pupuk
organik padat dilakukan dengan cara fermentasi. Tahapan kegiatan fermentasi adalah: tandan
kosong sawit dikumpulkan dan dicacah dengan ukuran kurang lebih 3-5 cm, kemudian dicampurkan
dengan aktivator, urea dan SP36 masing-masing tergantung pada takaran yang telah ditentukan oleh
produsen. Bahan-bahan tersebut selanjutnya ditumpuk ditempat yang telah disediakan (terlindung

dari hujan dan panas matahari langsung). Waktu pengomposan berlangsung selama 3 minggu.
Aktivator yang digunakan dalam pembuatan pupuk organik padat dibedakan atas 3 jenis
yaituOrgadec, Stardec dan Probion. Hasil kompos dari ketiga aktivator dibandingkan dengan standar
kualitas kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004. Data yang didapatkan dari masing-masing perlakuan
pakan untuk ternak sapi dan pengaruh aktivator terhadap kompos yang dihasilkan ditabulasikan dan
dianalisis menggunakan t test.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Aplikasi pemberian pakan berbahan pelepah dan daun kelapa sawit secara kontinyu dan
pengumpulan data pada ternak sapi dilaksanakan selama selama 8 minggu. Pemberian pakan
berbasis limbah kelapa sawit tersebut membutuhkan masa adaptasi yang relatif lama yaitu sekitar 2
minggu. Hal ini disebabkan karena petani tidak pernah mencobakan memberikan pelepah dan daun
kelapa sawit. Sehingga pada awal kegiatan ternak sapi banyak yang “mogok makan”. Kondisi ini
menyebabkan terjadi penurunan kondisi tubuh berupa pengurangan bobot badan harian. Strategi
yang dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan “mempuasakan” ternak sapi, setelah kondisi
ternak lapar, selanjutnya disuguhkan pelepah dan daun sawit.
Pelepah kelapa sawit termasuk kedalam kelompok tanaman yang memiliki serat yang tinggi,
kandunganprotein dan tingkat kecernaan yang rendah. Bahan pakan dengan kandungan protein
kurang dari 7% dilaporkan memiliki palatabilitas yang rendah pada ternak ruminansia, sehingga
pemberiannya sebagai pakan harus dikombinasikan dengan pakan sumber protein. Pada Tabel 2

disajikan analisis nutrisi pelepah dan daun kelapa sawit.
Tabel 2. Komposisi Kimiawi Daun dan Pelepah Kelapa Sawit.

Bahan

PK

LK

Selulosa

Hemiselulosa

Lignin

Silika

Daun Kelapa Sawit (%)

14.8


3.2

16.6

27.6

27.6

3.8

Pelepah Kelapa Sawit (%)

4.7

0.5

31.7

33.9


17.4

0.6

Sumber: Oshio et al (1990), Aliman dan Bejo (1995), Abu Hasan (1995) dalam Ginting (2011).
PK= protein kasar, LK= lemak kasar

Hasil pengukuran menunjukkan hasil rata-rata pertambahan bobot badan harian(PBBH)
ternak sapi bervariasi antar perlakuan. Perlakuan introduksi 2 menghasilkan PBBH tertinggi, yaitu
0,56 kg/ekor/hari sementara introduksi 1 menghasilkan PBBH terendahyaitu 0,26 kg/ekor/hari (Tabel
3). Walaupun secara statistik antar perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05). Pada perlakuan
introduksi 3, yang menggunakan pelepah dan daun sawit fermentasi sebanyak 60% dari total
ransum, memberikan tampilan PBBH yang hampir sama dengan introduksi 2. Hal ini menunjukkan
bahwa pelepah dan daun sawit yang difermentasi dapat menggantikan penggunaan rumput lapangan
sebagai hijauan pakan ternak sapi. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang didapatkan pada
pengkajian ini sedikit lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Elizabeth dan Ginting (2003), yaitu
dengan pemberian ransum 60% pelepah kelapa sawit, 18 % lumpur sawit, 18% bungkil inti sawit
dan 4 % dedak padi menghasilkan PBBH sapi Bali sebesar 0.58 kg/ekor/hari. Pada introduksi 1, PBBH
yang diperoleh lebih rendah dari perlakuan kontrol, diduga karena ternak yang dipelihara belum

begitu beradaptasi dengan pakan perlakuan berupa pelepah dan daun sawit. Hal lain yang
menyebabkan rendahnya PBB ternak sapi diduga karena kurang tepatnya rasio antara konsentrat
dengan pakan hijauan pada periode penggemukan yang singkat. Menurut Snapp & Neuman dalam
Parakkasi (1999), bahwa untuk penggemukan dalam jangka pendek rasio pemberian konsentrat
harus lebih banyak dibanding hijauan.

Tabel 3. Hasil Penimbangan Bobot Badan Sapi Jantan Selama 120 hari Kegiatan Pengkajian.

Perlakuan
-

BB awal (Kg)

Kontrol
Introduksi 1
Introduksi 2
Introduksi 3

250,7
187,3
228,3
203,7

BB 8 minggu (Kg)
260,7
204,7
262,0
236,7

PBB

PBBH

28,33
15,33
33,67
33,00

0,47
0,26
0,56
0,55

Tandan kosong kelapa sawit adalah limbah pabrik yang jumlahnya sekitar 20-23% dari
tandan buah segar yang diolah. Saat ini pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit sebagian besar
adalah sebagai mulsa. Penggunaan tandan kosong kelapa sawit sebagai pakan ternak mempunyai
faktor pembatas, karena teksturnya yang keras seperti kayu dan mengandung serat kasar yang
cukup tinggi sehingga tankos lebih berpotensi untuk dimanfaakan sebagai bahan baku pembuatan
kompos.Kompos merupakan hasil dekomposisi bahan organik dari produksi fermentasi padat
(Khusmiati, 2001) yang mengandung unsur makro dan mikro yang digunakan untuk tanaman serta
dapat memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Proses pengomposan tankos secara alami
membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu sekitar 12-18 bulan (Indriani 2003). Namun demikian
dengan bantuan mikroorganismemelalui fermentasi pengomposan dapat dilakukan dalam waktu
relatif singkat.
Keberhasilan dalam pembuatan kompos sangat dipengaruhi oleh proses yang terjadi selama
pengomposan. Proses pengomposan akan segera berlansung setelah bahan-bahan mentah dicampur.
Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap
pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah
terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan
meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan
o

meningkat hingga di atas 50- 70 C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif
pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini
terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos
dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO , uap air dan panas.
2

Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami
penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos. Selama proses pengomposan akan terjadi
penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari
volume/bobot awal bahan.
Hasil pengamatan suhu awal pengomposan tankos kelapa sawit pada pengkajian ini disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengamatan Suhu Awal Pada Pembuatan Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit.

No.
1.

2.

3.

Jenis Aktivator
Orgadec
Orgadec
Orgadec
Stardec
Stardec
Stardec
Probion
Probion
Probion

Suhu Awal
1
2
3
1
2
3
1
2
3

30
31
29
31
31
31
32
28
34

Rata-rata Suhu Awal
Pengomposan (0C)
30.0

31.0

31.3

Pada Tabel 4, terlihat bahwa rataan suhu awal pengomposan dari 3 perlakuan menunjukkan
hasil yang hampir seragam yaitu 30-31,30C. Selanjutnya selama proses pengomposan terjadi
peningkatan suhu. Pada hari ketujuh proses pengomposan terjadi peningkatan suhu kompos, kisaran
kenaikan suhu adalah 50-580C. Untuk semua perlakuan dilakukan pembalikan bahan kompos. Tujuan
dari pembalikan bahan kompos ini adalah untuk menetralkan suhu sehingga tidak melebihi suhu
maksimum pertumbuhan mikroba perombak dan untuk menjaga kelembaban agar tetap optimal.
Mikroorganisme pendegradasi bahan organik akan mati bila suhu melebihi 80oC. Pada minggu kedua

(14 hari setelah aplikasi) dan ketiga pengomposan (21 hari aplikasi), kembali dilakukan pembalikan
tumpukaan kompos.
Proses pengomposan menyebabkan juga terjadinya perubahan warna pada bahan baku
kompos. Pada awal sebelum aplikasi warna kompos tidak begitu berbeda antar perlakuan yaitu antara
coklat muda sampai menuju ke coklat. Namun demikian setelah berumur 10 hari setelah aplikasi
terjadi perubahan warna yang mengarah ke coklat tua sampai ke coklat kehitam-hitaman.
Pengamatan tekstur atau keliatan dilakukan dengan cara menarik atau memutus serat tankos
kelapa sawit secara manual dengan tangan. Pada awal aplikasi terlihat bahwa semua perlakuan
mempunyai keliatan yang sangat tinggi, namun demikian pada umur 21 hari setelah aplikasi semua
perlakuan kompos dengan aktivator berbeda menunjukkan perubahan tekstur menjadi agak rapuh.
Hal ini menandakan bahwa mikroorganisme sudah mulai mengubah bahan kompos dari molekul
besar yang stabil menjadi humus.
Pengamatan aroma kompos dilakukan dengan cara mencium kompos melalui indra
penciuman pada awal aplikasi, semua perlakuan mempunyai aroma khas tankos. Akan tetapi setelah
umur kompos mencapai 10 hari setelah aplikasi, mulai beraroma asam, pada saat ini diduga terjadi
perubahan bahan organik menjadi asam organik. Pada umur 21 hari setelah aplikasi, semua
perlakuan menjadi tidak berbau menyengat/berbau tanah.
Proses pengomposan akanmerubah kandungan bahan baku yang digunakan karena adanya
aktivitas mikroorganisme. Hasil analisis cacahan tankos sebelum dilakukan fermentasi dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5. Kandungan Unsur Hara Cacahan Tankos Sebelum Dilakukan Fermentasi.

Uraian

Kandungan cacahan tankos

PH *
C-Orgamik (%) *
N (%) *
Nisbah C/N *
P (%) **
K (%)**
Kadar Air (%) **

6.70
41.21
0.71
58.04
0.39
9.65
73.60

 * Laboratorium BPTP Riau
 ** Laboratorium BPTP Sumut

Hasil analisis kandungan hara cacahan tankos pada Tabel 5, terlihat bahwa nisbah C/N bahan
sangat tinggi yaitu 58,04. Jika nisbah C/N terlalu tinggi menyebabkan unsur tersebut tidak dapat
diserap tanaman. Menurut Indriani (2003) bahwa prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N ratio
bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (< 20). Untuk itu pemanfaatan tankos sebagai pupuk
bagi tanaman harus melalui proses pengomposan.
Proses pengomposan telah selesai, ditandai dengan bau seperti tanah, temperatur bahan
kompos stabil pada kisaran suhu seperti awal pengomposan dan terjadi perubahan warna menjadi
coklat kehitaman serta tekstur bahan yang rapuh.
Tabel 6. Kandungan Unsur Hara Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Beberapa Aktivator.

Jenis Aktivator

Parameter
pH *
N-Total (%) *
C-Organik (%) *
Nisbah C/N *
K (%) **
P (%) **
Kadar Air (%) *

Orgadec
9.94
2.24
26.82
11.08
5.70
0.43
51.5

Stardec
10.43
1.69
28.42
16.82
5.11
0.40
51.8

Probion
9.63
2.03
13.99
6.89
6.27
1.45
39.9

SNI Kompos
19-7030-2004
6.8-7.49
>0.4
9.8-32
10-20
>0.2
>0.1