Prosiding Inovasi Teknologi Ramah Lingkungan 2013

POTENSI DAN KENDALA PENGEMBANGAN USAHA TANI PADI
PROVINSI KEPRI
Dahono1, Yayu Zurriyati dan Kedi Suradisastra2
Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau
Forum Komunikasi Profesor Riset

ABSTRAK
Kebutuhan beras di Provinsi Kepulauan Riau kurang lebih sebanyak 245.302 ton sementara
luaslahansawahtahun 2013adalahsekitar1.508 ha, yang tersebar di Kab. Bintan, Karimun, Lingga, Natuna,
Anambas dan kota Tanjung Pinang. Kebutuhan benih terutama padi untuk Provinsi kepulauan Riau cukup tinggi
yaitu kurang lebih 33 ton, dan selama ini benih padi tersebut didatangkan dari Provinsi Riau, Kalimantan Barat,
Jambi, Sumatera Barat, Jawa dan menggunakan benih sendiri yang kualitasnya sangat rendah dan mengalami
regregasi (kembali ke sifat tetua). Untuk lebih efisien dalam budidaya padi diperlukan peran kelembagaan
perbenihan baik B B I , B B U m a u pu n penangkar di daerah sentra produksi padi. Melalui kegiatan identifikasi
dan karakterisasi lembaga perbenihan padi di Kepulauan Riau diharapkan dapat membantu memberikan
informasi mengenai kondisi dan karakterisasi kelembagaan perbenihan yang ada terutama BBI, BBU dan
penangkar benih lokal. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan kendala dalam berusahatani padi di
Provinsi Kepulauan Riau dan melakukan pemetaan terhadap keberadaan BBI, BBU, penangkar
benihmeliputikondisi sarana dan prasarana, SDM maupun kapasitas produksi dari masing-masing lembaga.
Sedangkan keluaran yang yang diharapkan berupa tersedianya data dan informasi mengenai luas lahan dan
kapasitas produksi, sarana dan prasarana pendukung serta produksi benih padi BBI, BBUdanpenangkar benih.

Kegiatan dilakukan degan metode survey secara langsung ke lokasi BBI, BBU, penangkar benih padi. Survey
tersebut diarahkan ke identifikasi dan karakterisasi lembaga perbenihan tersebut baik dari segi sarana dan
prasarana yang dimiliki maupun kapasitas produksi benih yang mampu disediakan oleh masing-masing lembaga
dimaksud. Untuk mengidentifikasi penangkar benih padi dilakukan interview/wawancara secara langsung pada
para petani. Data yang dikumpulkan mencakup data potensi dan skala produksi lembaga produsen benih serta
kontinuitas produksinya, juga dilakukan pemetaan terhadap keberadaan lembaga perbenihan tersebut.Data yang
terkumpul selanjutnya dianalisis secara diskriptif. Hasil kegiatan yang didapatkan, bahwaDi Provinsi Kepulauan
Riau tercatat 394 pulau berpenghuni sedangkan 1.401 lainnya belum berpenghuni, Dari 394 Pulau tersebut
hanya 5 pulau sentra produksi padi diantaranya adalah pulau Bintan, Karmun, Natuna, Anambas dan pulau
Lingga. Dari segi perbenihan padi di Provinsi kepulauan Riau ini masih didatangkan dari provinsi lain. Hasil
survey lapangan dapat diinformasikan bahwa Indutri perbenihan di Provinsi Kepulauan Riau masih lemah.Belum
terbentuk UPTD Balai Pengawasan dan Setifikasi benih, Balai Benih yang ada di Provinsi Kepulauan Riau belum
ada menghasilkan benih padi bermutu, Wilayah sentra produksi padi tersebar dalam jumlah yang relatif sedikit di
pulau-pulau, Produktivitas rata-rata di Provinsi Kepulauan Riau masih rendah (1,4-5,6 t/ha). untuk mempercepat
penyebarluasan Varietas unggul baru di perlukan kegiatan display varietas unggul yang adaftif, demonstrasi
varetas unggul baru, demonstrasi farm, penyebaran bahan-bahan informasi tentang Varietas unggul baru, untuk
pengembangan industri perbenihan harus dilakukan disentra-sentra produksi padi melalui pembentukan
penangkar lokal, mengingat jarak tempuh antara pulau membutuhkan waktu dan biaya yang sangat tinggi, untuk
menjaga kualitas benih diperlukan pembinaan secara intensif oleh tim pendamping agar benih yang dihasilkan
memenuhi persyaratan sertifikasi benih. Untuk mempercepat ketersediaan benih, kegiatan penumbuhan

penangkar dapat diprioritaskan, Dalam jangka pendek kepala Dinas Provinsi dapat menunjuk petugas teknis
lapangan sebagai pengawas benih, menyarankan ke pemda provinsi dan kabupaten/kota untuk
mengoperasionalkan fasilitas yang sudah ada di BBI, BBU (sarana dan prasarana dan sumberdaya manusia)
sehingga dapat menghasilkan benih sumber.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Provinsi Kepulauan Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia hasil pemekaran dari
Provinsi Riau sejak tahun 2002.Saat ini jumlah penduduk di provinsi ini sekitar 1. 765.000 jiwa.
Penduduk tersebut tersebar di kabupaten/kota, sekitar 56,63 persen terkonsentrasi di Kota Batam
atau sejumlah 992.425 jiwa, Kabupaten Karimun 223.397 jiwa (12,66%), Kota Tanjungpinang
196.910 jiwa (11,16%), Kabupaten Bintan 149.554 jiwa (8,47%), Kabupaten Lingga 90.641 jiwa
(5,14%), Kabupaten Natuna 72.521 jiwa (4,11%), dan Kabupaten Kepulauan Anambas sejumlah
39.318 jiwa (2,23%) (BPS Kepulauan Riau, 2012). Dengan jumlah penduduk sedemikian diprediksi
kebutuhan beras di Provinsi Kepulauan Riau kurang lebih sebanyak 245.302 ton.

Luas lahan sawah diprovinsi Kepulauan Riau tahun 2013 adalah sekitar1.508 ha, yang
tersebar di Kab. Bintan 163 ha, Kab. Karimun 350 ha, Kab. Lingga 30 ha, Kab. Natuna 714 ha, Kab.
Anambas 247 ha dan kota Tanjung Pinang seluas +4 ha, sementara lahan bukan sawah sekitar
535.810 ha yang menyebar pada 5 Kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau. Lahan bukan sawah

tersebut terdiridaritegal/kebun, ladang, perkebunan, hutan rakyat dan pekarangan.
Salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk
pertanian adalah varietas unggul yang dirakit sesuai untuk tujuan tersebut. Kontribusi varietas unggul
terhadap peningkatan produksi padi telah terbukti nyata melalui keberhasilan pencapaian
swasembada beras pada tahun 1984. Potensi varietas unggul dalam meningkatkan produksi dan
mutu dapat dilihat dari karakter varietas unggul seperti daya hasil tinggi, ketahanan terhadap hama
dan penyakit utama, umur genjah, kandungan khusus tertentu (pulen, pera, kadar protein tinggi, dan
lain-lain). Peran benih untuk budidaya suatu tanaman sangat menentukan tingginya tingkat mutu dan
produksi suatu tanaman baik tanaman pangan maupun hortikultura dan perkebunan. Kebutuhan
benih terutama padi untuk Provinsi kepulauan Riau cukup tinggi yaitu kurang lebih 33 ton, dan
selama ini benih padi tersebut didatangkan dari Provinsi Riau, Kalimantan Barat, Jambi, Sumatera
Barat, Jawa dan menggunakan benih sendiri yang kualitasnya sangat rendah dan mengalami
regregasi (kembali ke sifat tetua). Untuk lebih efisien dalam budidaya padi diperlukan peran
kelembagaan perbenihan baik B BI , BB U ma up u n penangkardi daerah sentra produksi padi.
Keberadaan kelembagaan tersebut menjadi sangat strategis dalam
upaya membantu pemenuhan
kebutuhan unggul padi khususnya dalam mendukungprogram Peningkatan Produksi Beras Nasional
(P2BN) di Kepulauan Riau.Melaluikegiatanidentifikasi dan karakterisasi lembaga perbenihan padi di
Kepulauan Riau diharapkandapatmembantu memberikan informasi mengenai kondisi dan
karakterisasi kelembagaan perbenihan yang ada terutama BBI, BBU dan penangkar benih lokal

dimana pada akhirnya dapat menjawab masalah kelangkaan benih bermutu yang terjadi selama ini di
Kepulauan Riau baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Disamping itu program ini diharapkan
dapat mendukung percepatan penyebaran dan pengembangan varietas-varietar unggul baru
didaerah, juga dimaksudkan agar konsep pergiliran varietas dapat dilaksanakan.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan kendala daam berusahatani padi di
Provinsi Kepulauan Riau dan melakukan pemetaan terhadap keberadaan BBI, BBU, penangkar
benihmeliputikondisi sarana dan prasarana, SDM maupun kapasitas produksi dari masing-masing
lembaga. Sedangkan keluaran yang yang diharapkan berupa tersedianya data dan informasi
mengenai luas lahan dan kapasitas produksi, sarana dan prasarana pendukung serta produksi benih
padi BBI, BBU dan penangkar benih.

PROSEDUR KERJA
Kegiatan ini dilakukan dengan metode survey secara langsung ke lokasi BBI, BBU, penangkar
benih padi, dengan tujuan melakukan identifikasi dan karakterisasi lembaga perbenihan tersebut baik
dari segi sarana dan prasarana yang dimiliki maupun kapasitas produksi benih yang mampu
disediakan oleh masing-masing lembaga dimaksud. Untuk mengidentifikasi BBI dan BBU dilakukan
secara komprehensif melalui studi pustaka dan survey lapangan, sedangkan untuk mengidentifikasi
penangkar benih padi dilakukan interview/wawancara secara langsung pada para petani. Data yang
dikumpulkan mencakup data potensi dan skala produksi lembaga produsen benih serta kontinuitas
produksinya. Bersamaan dengan kegiatan pengumpulan data tersebut, juga dilakukan pemetaan

terhadap keberadaan lembaga perbenihan tersebut.
Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara diskriptif untuk mendapatkan informasi
mengenai kondisi eksisting kelembagaan perbenihan serta permasalahan yang dihadapinya dalam
memproduksi benih unggul padi untuk kemudian dianalisis dan dipetakan kondisi eksistingnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Provinsi Kepri
Provinsi Kepulauan Riau terletak antara 0o29’ Lintang Selatan dan 04o40’ Lintang Utara serta
antara 103o22’ Bujur Timursampai dengan 109o4’ Bujur Timur. Sejak tahun 2008, Provinsi Kepulauan
Riau terbagi menjadi 5 Kabupaten dan 2 Kota, yaitu Kabupaten Karimun, Kabupaten Bintan,
Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga, Kabupaten Kepulauan Anambas serta Kota Batam dan Kota
Tanjungpinang. Provinsi Kepulauan Riau merupakan salah satu provinsi bahari di Republik Indonesia.
Provinsi Kepulauan Riau dikelilingi laut dan daratannya terdiri dari banyak gugusan pulau.

Berdasarkanhasil identifikasi Bakosurtanal, tercatat 394 pulau berpenghuni sedangkan 1.401 lainnya
belum berpenghuni (BPS, 2011). Gugusan pulau besar dan kecil tersebar di seluruh wilayah provinsi,
Lingga tercatat memiliki jumlah pulau terbanyak yaitu531 pulau dimana 85,69 % pulau belum dihuni
dan sisanya sebanyak 14,31 % pulau telah dihuni. Sementara hanya 9 pulau di KotaTanjungpinang
dengan 22,22 % pulau sudah berpenghuni dan sisanya sebanyak 77,78 % belum dihuni, sementara
pulau lain seperti Bintan, Natuna, Anambas, Karimun dan Batam hanya masing-masing 29,08, 19,92,

20,00, 12,44 dan 35,85 % yang sudah dihuni (Tabel 1). Beberapa pulau di Provinsi Kepulauan Riau
berukuran relatifbesar. Pulau Bintan adalah salah satu diantaranya dimana terdapat kedudukan
Ibukota
Provinsi, Tanjungpinang. Selainitu ada juga Pulau Batam yang merupakan Pusat
Pengembangan Industri dan Perdagangan, dengan Pulau Rempang dan Galang (Barelang) sebagai
kawasan perluasan wilayah industri Batam. Selanjutnya adalah Pulau Karimun dan Pulau Kundur yang
menjadi pusat perekonomian hampir sebagian besar masyarakat Kabupaten Karimun. Lalu ada juga
Pulau Lingga di Kabupaten Lingga. Kemudian Pulau Natuna serta gugusan Kepulauan Anambas.
Luas wilayah Provinsi Kepulauan Riau adalah 251.810,71 Km 2. Namun sebagai daerah
kepulauan, luas lautan yang dimilikiProvinsi Kepulauan Riau sekitar 95,79 persen atau seluas
241.215,30 Km2. Sedangkan sisanya sebesar 4,21 persen atauseluas 10.595,41 Km 2 adalah daratan
(Kepri dalam Angka, 2012). Kabupaten Karimun memiliki daratan terbesar dengan persentase sebesar
27,12persen dari luas daratan Provinsi Kepulauan Riau atau seluas 2.873,20 Km 2, diikuti Lingga 19,99
persen (2.117,72 Km2) dan Bintan sebesar 18,36 persen (1.946,13 Km 2). Kota Batam dan Kota
Tanjungpinang hanya memiliki persentaseluas masing-masing sebesar 7,27 persen (770,27 Km 2) dan
2,26 persen (239,20 Km2), namun merupakan sentra kegiatanhampir seluruh perekonomian di
Kepulauan Riau. Bahkan Batam merupakan pusat perindustrian berskala international.Selanjutnya
adalah Kabupaten Natuna yang luasnya 19,43 persen (2.058,45 Km 2) dan Kabupaten Kepulauan
Anambas dengan luas sekitar 5,57 persen (590,14 Km 2).


Aksesibilitas
Ibu kota Provinsi Kepulauan Riau terdapat di Kota Tanjung Pinang. Kota Tanjung Pinang
tersebut dapat dijangkau dari Ibu Kota Negara (Jakarta) melalui transportasi udara dan Laut.
Transportasi antar pulau di Provinsi ini dapat ditempuh melalui jalur laut. Jarak tempuh terjauh dari
ibu kota provinsi di Kepulauan Riau ini adalah Kabupaten Natuna (440,00 mil) dan Kabupaten
Kepulauan Anambas (194,00 mil) diikuti oleh kabupaten Karimun, Lingga, Batam dan Bintan. Masingmasing 75,50; 60; 44 dan 20 mil. Transportasi antar kabupupaten Natuna dengan anambas dapat
ditempuh melalui pesawat udara dan kapal laut. Sementara antara ibukota Provinsi dengan
Kabupaten lainnya seperti Karimun, Lingga dan Batam hanya dapat ditempuh melalui kapal laut.
Kabupaten Bintan dan Tanjung Pinang dapat ditempuh melalui darat.
Iklim di Provinsi Kepulauan Riau sangat dipengaruhi oleh kondisi angin sehingga secara
umum membuat wilayah iniberiklim laut tropis basah. Terdapat musim kemarau dan musim hujan
yang diselingi oleh musim pancaroba, dengan suhurata-rata terendah yang tercatat di Stasiun
Tanjungpinang sebesar 26,8 0C dan suhu ratarata tertinggi tercatat di StasiunTarempa sebesar
30,90C. Kelembaban udara rata-rata di Kepulauan Riau antara 76 persen sampai 85,2 persen. Sebagai
daerah kepulauan, curah hujan yang terjadi sepanjang tahun 2011 di provinsi ini cukup
beragam.Kisaran curah hujan dalam setahun tertinggi tercatat di stasiun Tanjungpinang sebesar
3.283,4 mm dan stasiun Batammencatat kisaran 2.052,8 mm. Sedangkan jumlah hari hujan banyak
terjadi di Tanjungpinang sebanyak 226 hari dan stasiun Tarempa mencatat jumlah hari hujan
terendah yaitu 170 hari sepanjang tahun 2011.


Potensi Lahan Pertanian
Usahatani tanaman pangan merupakan salah satu sub sektor yang belum memberikan andil
terhadap PDRB Provinsi Kepulauan Riau, hal ini mungkin disebabkan Kepulauan Riau hanya memiliki
4 % Daratan dan 96 % Lautan. Walau hanya 4 % daratan Pemerintah Daerah Kepulauan Riau
selalu mencanangkan untuk tetap mengembangkan pertanian, agar di Kepulauan Riau ini tidak lagi
mengimpor pangan dari provinsi dan negara lain. Menurut Dinas Pertanian, kehutanan dan
peternakan, 2011, bahwa Semua kabupaten/kota berpotensi untuk pengembangan pertanian,
tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, Kabupaten tersebut antara lain Bintan, Natuna,
Anambas, Lingga, Tanjung Pinang, Batam dan Karimun. Untuk Tanaman Padi Pemerintah Daerah
Kepulauan Riaupada tahun 2013 telah memiliki lahan seluas: 1.508 ha, yang tersebar di Kab. Bintan
163 ha, Kab. Karimun 350 ha, Kab. Lingga 30 ha, Kab. Natuna 714 ha, Kab. Anambas 247 ha dan

kota Tanjung Pinang seluas +4 ha (Tabel 1). Sementara luas lahan bukan sawah di Provinsi
Kepulauan Riau adalah 522.405 ha, lahan bukan pertanian adalah 535.810 ha. Total luas lahan di
Provinsi Kepulauan Riau adalah 1.059.723 ha.
Tabel 1. Luas Lahan Sawah dan Bukan Sawah di Provinsi Kepulauan Riau (ha).

Kabupaten/Kota
1.
2.

3.
4.
5.
6.
7.

1
Karimun
Bintan
Natuna
Lingga
Kab. Anambas
Batam
Tanjungpinang

LahanSawah

LahanBukanSawah

2

350
163
714
30
247
0
4
1.508

3
55.328
93.077
169.548
152.785
20.434
22.203
9.030
522.405

LahanBukanPertanian

4
231.644
101.373
35.464
58.957
38.452
55.004
14.916
535.810

Jumlah
5
287.322
194.613
205.726
211.772
59.133
77.207
23.950
1.059.723

Sumber: Dinas Pertanian,Kehutanan dan Peternakan 2013.

Permasalahan Ketersediaan Benih
Untuk mengatasi persoalan pengembangan usaha tani tanaman pangan ketersediaan benih
unggul merupakan factor utama dalam pengembangan dan peningkatan kualitas komoditas tersebut.
Benih unggul sebagai bahan pertanaman merupakan modal awal bagi penyediaan pangan, namun
demikian kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan benih unggul masih sangat minim
sebagai akibat belum dikenalnya secara baik manfaat benih unggul oleh petani serta system
perbenihan yang belum dapat menciptakan jejaring perbenihan yang efisien sampai ketingkat petani.
Petani di Provinsi kepulauan Riau bila melakukan penanaman padi semua benih/bibit menggunkan
benih sendiri yang tidak menggunakan benih yang baik dan sedikit didatangkan dari Pulau Jawa,
Sumatera dan Kalimantan. Bibit atau benih yang didatangkan dari provinsi dan negara lain
membutuhkan waktu pengiriman lebih lama sehingga daya kecambah benih tersebut menjadi turun,
Kendala yang dihadapi lainnya adalah tidak adanya Balai sertifikasi benih (BPSB), Balai Proteksi
Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) serta Balai Benih Induk (BBI) dan Balai Benih Utama
(BBU) yang menangani penangkaran padi di Provinsi ini. Pengadaan benih unggul banyak
mengalami permasalahan karena waktu penyediaan yang berkaitan dengan musim tanam, kualitas
benih yang tidak terjamin serta harga yang cukup mahal, ketersediaan benih bermutu juga sangat
terbatas.
Melalui LPTP mencoba memperkenalkan bebeberapa varietas unggul Baru keluaran Badan
Litbang Pertanian melalui display varietas, uji adaptasi, dan beberapa kegiatan diseminasi lainnya
yang sangat terbatas dibeberapa sentra produksi padi di Provinsi Kepulauan Riau.
Dari Hasil Laporan sementara petani padi sawah terutama di kab. Natuna telah mengenal
beberapa varietas padi sawah yaitu Inpari 3, 6,10 dan 13, Kabupaten Bintan Inpari 3, 4, 10 dan 13
dan Kabupaten Karimun Inpara 3, inpari 4, 9 dan 10, namun belum berkembang karena tidak
tersediannya benih yang berpotensi.

Karakteristik Petani padi sawah di Kepulauan Riau
Karakteristik petani untuk menjadi calon penangkar benih diidentifikasikan melaui pendidikan,
umur dan jumlah lahan garapan. Hasil karakterisasi petani untuk menjadi calon penangkar benih di
Kabupaten Bintan dan Kabupaten Karimun dapat dilihat pada Tabel 2. Secara umum kisaran umur
petani di Kabupaten Bintan tergolong pada kategori usia produktif, sehingga secara fisik akan sangat
membantu dalam melakaanakan aktivitas dalam berusahatani padi. Sementara Usia calon penangkar
benih di Kabupaten Karium mulai berkurang karena rata-rata usia di Kabupaten Karimun antara 40-64
tahun. Pendidikan formal yang ditempuh sebagian besar petani di Kabupaten Bintan tamat SD (66,66
%), tidak tamat SD (27,7 %), 0 % yang berpedidikan SLTP dan SLTA, namun hanya 5,55 % yang
berpendidikan S1, tingkat pendidikan di Kabupaten Karimun adalah tidak tamat SD 36,36 %, Tamat
SD 54,54 dan tamat SLTP 9,09 %, 0 % SLTA dan Sarjana. Menurut Rahmiwati et, al (2011) kondisi
pendidikan formal yang relatif rendah akan mempengaruhi pola pikir dalam pengambilan keputusan
dalam mengadopsi suatu teknologi.

Tabel 2. Karakteristik petani di Kabupaten Bintan dan Karimun.

Karakteristik Petani
Umur (thn)
Pendidikan formal
Tidak tamat SD (%)
Tamat SD (%)
SLTP (%)
SLTA (%)
Sarjana (%)
Pengalaman berusahatani
0-5 thn (%)
5-10 thn (%)
>10 thn (%)
Luas garapan
0,5 ha (%)
1 ha (%)
2 ha (%)

Bintan

Karimun

48-49

40-64

27,7
66,66
0
0
5,55

36,36
54,54
9,09
0
0

55
27,77
16,67

80
15
5

16,66
66,66
16,66

72,72
27,28
0

Pengalaman berusahatani di Kabupaten Bintan dan Karimun terbanyak selama 0-5 tahun
yaitu sebanyak 55 % dan 80 %, 5-10 tahun 27 dan 15 %, sedangkan lebih dari 10 tahun hanya
16,66 dan 5 %. Luas garapan di Kabupaten Bintan lebih banyak dibanding luas garapan di Kabupaten
Karimun, Rata-rata luas garapan di Kabupaten Bintan adalah seluas 1 ha, sementara di Kabupaten
Karimun hanya seluas 0,5 % per petani. Sugandi dan Astuti (2011), Setyono et, al, (2011)
menyatakan bahwa presepsi petani hanya dipengaruhi secara nyata oleh pengalaman berusaha tani,
luas lahan dan intensitas lahan, sementara umur, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan tidak
nyata mempengaruhi presepsi petani.

Potensi pengembangan benih
Untuk pengembangan benih padi di Provinsi Kepulauan Riau terdapat 1 BBI dan 1 BBK yang
terletak di Kabupaten Bintan, 1 BBI dan 1 BBU di Kabupaten Natuna. 1 BBI di Kabupaten Karimun.
BBI di Kabupaten Bintan memiliki adalah 1 buah kantor, 1 buah laboratorium dan kebun seluas 50 ha.
Fasilitas yang lain berupa mini traktor, hand traktor dan alat-alat lainnya yang mendukung kegiatan
BBI tersebut, namun sumberdaya untuk mengelola hanya 3 orang sehingga BBI tersebut belum
operasional secara optimal. Komoditas yang diusahakan berupa tanaman hortikulutra, perkebunan
dan kehutanan, namun sampai saat ini lahan tersebut hanya sebagian yang baru dimanfaatkan.
Balai Benih Kabupaten (BBK) yang terletak di Kabupaten Bintan memiliki 1 buah kantor yang
digabung dengan laboratorium, 2 buah gudang, 1 buah ruang pertemuan, 3 buah green house,
traktor dll. Memiliki lahan seluas 4 ha. Komoditas yang dikembangkan buah-buahan, tanaman hias.
Balai Benih Induk (BBI) di kabupaten Natuna terletak di Kecamatan Bunguran Timur, mimiliki
Bangunan Gedung Kantor dan fasilitas lainnya berupa traktor, dan lahan seluas 2,5 ha. BBI di
Kabupaten Natuna sampai saat ini belum memiliki aktifitas sebagaimana BBI sebagai penghasil benih
atau bibit. Pemda Kabupaten Natuna sudah memiliki program kerja dan akan memfungsikan BBI ini
menjadi BBI penghasil bibit/benih komoditas hortikultura dan tanaman pangan. Balai Benih Utama
(BBU) di Kabupaten Natuna didirikan sejak tahun 2009, mimiliki Bangunan Gedung Kantor dan fasilitas
lainnya berupa traktor, Luas Lahan 9 ha. Komoditas yang akan Dikembangkan hortikultura dan
tanaman pangan saat ini hanya sebagian saja yang baru dimanfaatkan.
Kabupaten Karimun memiliki 1 (satu) unit BBI yang terletak di Pulau Kundur. BBI ini dibentuk
pada tahun 2007 yang dikepalai oleh seorang Kepala BBI yang secara langsung berada dibawah
koordinasi Kepala Distanhut Kabupaten Karimun. Kepala BBI dibantu oleh beberapa orang staf,
hingga saat ini terdapat 11 (sebelas) orang staf termasuk pegawai honor. BBI ini belum berfungsi
secara optimal karena berbagai keterbatasan. Fasilitas yang tersedia berupa satu unit bangunan
kantor, satu unit green house), satu unit gudang dan lahan kebun seluas ±4 ha. Saat ini aktivitas
BBI baru dimanfaatkan untuk kebun entres karet sebanyak ±3.000 batang, namun pengelolaannya
secara baik untuk memenuhi kebutuhan bibit karet belum juga maksimal

Penumbuhan industri Perbenihan
Dengan belum berfungsinya BBI dan BBU di Provinsi Kepulauan Riau maka upaya
menumbuhkan industri perbenihan adalaah melakukan rekayasa model kelembagaan usaha
perbenihan padi yang ditawarkan untuk dilakukan melalui kelompok-kelompok penangkar yang
didukung oleh lembaga instansi terkait (Gambar 1).
Institusi Pendamping
-

-

Penyandang Dana
-Pemda
-Swasta

BB Padi
Dinas terkait
LPTP, BPSB

Kelompok Petani/Penangkardi
sentra-sentra produksi padi
-

Kelompok
Gapoktan

Pemasaran,
Pendistribusian

Gambar 1. Model Kelembagaan usaha perbenihan di Provinsi Kepulauan Riau.

Pada Gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa yang memiliki peran penting dalam industri
perbenihan adalah: kelompok penangkar benih yang berada di sentra-sentra produksi padi sebagai
pelaku utama,hal ini dilakukan karena jarak antara sentra produksi relatif jauh sehingga bila
perbenihan dilakukan pada satu tempat di sentra produksi padi lain akan terkena beban biaya
transportasi untuk pembelian benih padi.
Untuk menumbuhkan penangkar yang tangguh maka diperlukan insitusi pendamping yang
akan memberikan pengetahuan tentang teknis pelaksanaan industri perbenihan dan legalitas benih
yang diproduksi sehingga benih yang yang dihasilkan terjamin mutunya, institusi tersebut antara lain:
Dinas Pertanian Provinsi, Kabupten/kota, BPTP, BPSB dan Balai Besar padi.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Perimbangan pertumbuhan usahatani tanaman pangan (padi) tidak sebanding dengan
kemampuan penyediaan benih produksi BBI perbenihan di Provinsi Kepulauan Riau. Balai
benih yang beroperasi di Provinsi Kepri belum mampu menghasilkan benih padi. Hal ini
berkaitan dengan belum terbentuknya UPTD Balai Pengawasan dan Setifikasi benih yang
mengawasi mutu benih yang dihasilkan balai benih setempat.
2. Upaya hal penyebaran benih kewilayah Provinsi Kepri memerlukan dukungan infrastruktur
transportasi yang memadai disertai dengan ketersediaan sarana dan fasilitas pendukung
lainnya.

Saran
1. Untuk mempercepat penyebarluasan Varietas unggul baru di perlukan kegiatan display
varietas unggul yang adaftif, demonstrasi varetas unggul baru, demonstrasi farm,
penyebaran bahan-bahan informasi tentang Varietas unggul baru.
2. untuk pengembangan industri perbenihan di Provinsi Kepulauan Riau harus dilakukan
disentra-sentra produksi padi melalui pembentukan penangkar lokal, mengingat jarak tempuh
antara pulau membutuhkan waktu dan biaya yang sangat tinggi.
3. untuk menjaga kualitas benih diperlukan pembinaan secara intensif oleh tim pendamping
seperti Dinas pertanian, LPTP, BB padi dan BPSB, BPTPH agar benih yang dihasilkan
memenuhi persyaratan sertifikasi benih.
4. Untuk mempercepat ketersediaan benih, kegiatan penumbuhan penangkar dapat
diprioritaskan.

5. Dalam jangka pendek kepala Dinas Provinsi dapat menunjuk petugas teknis lapangan sebagai
pengawas benih.
6. Menyarankan ke pemda provinsi dan kabupaten/kota untuk mengoperasionalkan fasilitas
yang sudah ada di BBI, BBU (sarana dan prasarana dan sumberdaya manusia) sehingga
dapat menghasilkan benih sumber.

DAFTAR PUSTAKA
BPS Kepulauan Riau, 2012. Kepulauan Riau dalam Angka
Distanhutnak, 2006. Rencana strategis Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Provinsi Kepulauan Riau
tahun 2010-2015. 138 hal.
Pinem R. 2008. Kebijakan perbenihan padi menunjang P2BN. Prosiding Seminar Aprisiasi Hasil Penelitian Padi
Menunjang P2BN. Buku 1. Balai Besar Penelitian Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.2008. p.1-8.
Sugandi D., U.P. Astuti, 2012. Faktor yang mempengaruhi Presepsi petani terhadap VUB padi sawah di Provinsi
Bengkulu. Dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Buku 1. Ed.
Kasdi Subagyono et all. Pp 894-990. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Badan Litbang Pertanian, 2012
Susilawati P.N., R. Wulandari, S. Kurniawati. 2012. Kajian Minat dan Pesepsi petani terhadap penangkaran benih
padi (kasus di penangkar benih binaan BPTP Banten). Dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Buku 1. Ed. Kasdi Subagyono et all. Pp 277-281. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, 2012
Yufdi, P dan Harnel. 2012. Keragaan produksi benih padi Inpari 12 dan IR 66 dengan penerapan PTT di Kupitan
Sijunjung. Dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Buku 1. Ed.
Kasdi Subagyono et all. Pp 277-281. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Badan Litbang Pertanian, 2012
Yusuf A., T. Marbun, A. Jamil, D. Harnowo. 2011. Produksi Benih Bermutu Beberapa Vareiats Unggul Padi
Tingkat Kelompok Tani dengan Penerapan PTT di Lokasi Primatani Kabupaten Madina. Dalam Prosiding
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Buku 1. Ed. Kasdi Subagyono et all. Pp 290296. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian