ETIKA SOSIAL JAWA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TIPE KEPEMIMPINAN DAN SIKAP POLITIK MASYARAKAT JAWA ipi19517
A. Pendahuluan
Untuk memahami tentang
etika sosial Jawa terdapat beberapa
aspek filosofis, yaitu aspek
epistemologi, kosmologi dan aksiologi. Aspek epistemologi Jawa dan “Orang Jawa” adalah pemahaman konsep tentang“Orang Jawa” dan “Etika Jawa
”. Aspek kosmologi Jawa meliputi
pandangan masyarakat Jawa
terhadap dunia dan alam sekitar.
Aspek aksiologis merupakan
pandangan moral Jawa yang meliputi nilai-nilai baik dalam sikap lahir dan sikap batin masyarakat Jawa. Ketiga
aspek tersebut merupakan satu
kesatuan yang perlu dijaga dalam
Abstract
Basically, every human wants a harmony life. It isn’t only limited to social life of Java society, but also the society in general. This writing is a literary study about moral perception that becomes the base of Java’s social ethic based on Java cosmology and its influence to Java leadership’s type. The approaching metode used in this explanation is descriptive and philosophical analysis.
Keywords: Social Ethic, Java, Cosmology, Leadership, and Politic
ETIKA SOSIAL JAWA DAN PENGARUHNYA TERHADAP
TIPE KEPEMIMPINAN DAN SIKAP POLITIK MASYARAKAT JAWA
Oleh : Fadhillah
(2)
kehidupan bermasyarakat dan bernegara agar dapat berjalan secara harmonis, selaras dan seimbang.
Dengan demikian ketiga aspek
tersebut merupakan unsur-unsur etika
sosial Jawa yang berpengaruh
terhadap tipe kepemimpinan dan sikap politik masyarakat Jawa.
Manfaat kajian ini diharapkan dapat memberikan khasanah dalam memahami unsur-unsur filosofis yang
menjadi sumber norma etis
masyarakat Jawa dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Pemahaman ini juga bermanfaat sebagai analisis kritis terhadap tipe-tipe kepemimpinan dan sikap politik masyarakat Jawa, baik dari segi positif maupun negatifnya.
B. Konsep tentang “Orang Jawa” dan “Etika Jawa”
“Orang Jawa” (masrakat
Jawa) dalam buku Etika Jawa (sebuah
analisa filsafati tentang kebijaksanaan Hidup) yang ditulis oleh Franz Magins Suseno SJ, ,terjemahan dan saduran
buku yang berjudul “Javanische
Weischeit und Ethik”, diterbitkan oleh R. Oldennbourg Verlag di Munchen 1981 hanya dipandang sebagai sebuah konstruksi teoritis ala Max Weber. Untuk memahami konsep tentang orang Jawa perlu mengetahui profile tentang masyarakat Jawa yang meliputi beberapa aspek , antara lain
aspek epistemologi, historis dan
aksiologis (Etic/ Etika). Namun fokus kajian dalam buku tersebut adalah dalam perspektif moral/etika Jawa. Oleh karena itu, aspek epistemologi
“Orang Jawa” dihubungkan dengan pandangan hidupnya tentang moral (etika Jawa); aspek geografis dan historisnya antara lain mengenai Kerajaan-Kerajaan Jawa. Sedangkan aspek etikanya antara lain dibahas dari segi Kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa (etika sosial Jawa) yang dipengaruhi oleh Pandangan Dunia Jawa (kosmologi Jawa) dan hal-hal penting yang berkaitan dengan ruang lingkup Etika Jawa.
Secara epistemologis,
menurut buku yang ditulis Franz Magnis Suseno tersebut, yang disebut dengan masyarakat Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa. Orang jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa. Pengaruh letak geografis masyarakat Jawa menghasilkan dua macam tipe kebudayaan Jawa, yaitu kebudayaan pesisir (pesisir utara) yang merupakan
hasil dari pengaruh hubungan
perdagangan, pekerjaan nelayan, dan pengaruh Islam yang lebih kuat dan
kebudayaan kejawen yang meliputi
kebudayaan daerah-daerah jawa
pedalaman. Pusat kebudayaan
kejawen antara lain dalam kota-kota
kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, dan di samping dua karesidenan Banyumas, Kedu, Madiun, Kediri, dan Malang.
Pelapisan sosial dalam
masyarakat Jawa menghasilkan dua golongan sosial: (1) wong cilik (orang kecil), terdiri dari sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota. (2)
kaum priyayi dimana termasuk kaum
(3)
Kecuali itu masih ada kelompok ketiga yang kecil tetapi tetap mempunyai prestise yang cukup tinggi, yaitu kaum ningrat (ndara). Disamping lapisan-lapisan sosial-ekonomis ini masih dibedakan dua kelompok atas dasar keagamaan, kedua-duanya secara nominal termasuk agama Islam, akan
tetapi golongan pertama dalam
kesadaran dan cara hidupnya lebih ditentukan oleh tradisi-tradisi jawa pra-Islam, sedangkan golongan kedua memahami diri sebagai orang Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam. Yang pertama dapat kita
sebut Jawa Kejawen, dalam
kepustakaan, kelompok pertama
sering disebut abangan, kelompok
yang kedua disebut santri.
Kaum priyayi tradisional
hampir seluruhnya dianggap jawa
Kejawen, walaupun mereka secara
resmi mengakui Islam. Dari kalangan mereka banyak berasal dari pengikut-pengikut paguyuban, yaitu
kelompok-kelompok yang mengusahakan
kesempurnaan hidup manusia melalui praktek asketis, meditasi dan mistik.
Kaum priyayi adalah pembawa
kebudayaan kota jawa tradisional yang mencapai tingkat yang sempurna
disekitar kraton Yogyakarta dan
Surakarta. Sampai sekarang dalam
kalangan kaum priyayi pelbagai
bentuk kesenian Jawa dikembangkan: seni tari-tarian, gamelan, wayang dan batik.
Pelapisan sosial tersebut
menjadi dasar analisis landasan etika sosial Jawa yang dipengaruhi oleh kosmologi Jawa. Sikap individu dalam masyarakat Jawa tidak lepas dari kedudukan (peran dan fungsinya)
dalam masyarakat. Dengan demikian nilai etis bagi masyarakat jawa cenderung bersifat relatif (tidak permanen) bagi golongan satu dengan golongan lainnya.
C. Pandangan Dunia (Kosmologi ) Jawa Sebagai Sumber Etika Jawa.
Kosmologi Jawa nampak
dalam pandangan dunia masyarakat
Jawa yang meliputi keseluruhan
semua keyakinan deskriptif tentang realitas sejauh merupakan suatu
kesatuan dari padanya manusia
memberi struktur yang bermakna kepada alam pengalamannya. Suatu pandangan dunia merupakan orientasi /kerangka acuan bagi manusia untuk dapat mengerti masing-masing unsur pengalamannya. Hal yang khas dalam pandangan dunia Jawa ialah bahwa realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan bahwa realitas dilihat sebagai suatu kesatuan menyeluruh. Dengan kata lain dunia dipandang sebagai sebuah sistem realitas yang unsur-unsurnya saling berpengaruh. Bidang-bidang realitas yang dalam alam pikiran Barat dibedakan dengan tajam, yaitu dunia, masyarakat, dan alam adikodrati bagi orang Jawa bukanlah tiga bidang yang relatif berdiri sendiri dan masing-masing mempunyai hukumnya sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan dari pengalaman. Pada hakekatnya orang Jawa tidak membedakan antara sikap-sikap religius dan bukan religius, dan interaksi-interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam,
(4)
sebagaimana juga sikap terhadap alam sekaligus mempunyai relevansi
sosial. Dengan demikian aspek
kosmologis merupakan landasan
aksiologis Etika Jawa.
Nilai pragmatis pandangan dunia bagi orang Jawa adalah untuk
mencapai suatu keadaan psikis
tertentu, yaitu ketenangan,
ketentraman, dan keseimbangan
batin. Oleh karena itu, maka
pandangan dunia dan kelakuan dalam
dunia tidak dapat dipisahkan
seluruhnya. Bagi orang Jawa suatu
pandangan dunia dapat diterima
semakin semua unsur-unsurnya
mewujudkan satu kesatuan
pengalaman yang harmonis, semakin unsur-unsur itu cocok satu sama lain (sreg), dan kecocokan itu merupakan
suatu kategori psikologis yang
menyatakan diri tanpa adanya
ketegangan dan gangguan batin.
Pandangan dunia Jawa
bukanlah suatu pandangan dunia dengan ciri-ciri dan batas-batas yang pasti melainkan suatu penghayatan yang terungkap dalam pelabagai lapisan masyarakat dalam
wujud-wujud dan dengan nada yang
berbeda-beda. Clifford Geertz secara provokatif menyebut pandangan dunia Jawa sebagai agama Jawa yang kemudian diterangkan sebagai agama abangan, agama santri, dan agama priyayi, menurut lapisan-lapisan dalam masyarakat dibedakan atas empat titik berat dalam Pandangan Dunia Jawa.
Lingkaran Pertama, bersifat
ekstrovert: intinya adalah sikap yang terbuka terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan numinous
antara alam, masyarakat dan alam
adikodrati yang keramat, yang
dilaksanakan dalam ritus, tanpa
refleksi eksplisit terhadap dimensi batin sendiri; wujud ini lebih kuat di desa dan dalam lapisan masyarakat yang tidak bersastra, selanjutnya
sering disebut agama abangan.
Lingkaran Kedua, memuat
penghayatan kekuasaan politik
sebagai ungkapan alam numinous,
suatu segi yang oleh Clifford di kesampingkan, barangkali karena segi ini dalam lingkungan yang diselidikinya di Jawa Timur sudah tidak memainkan
peranan lagi; Lingkaran ketiga
berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai jalan persatuan dengan yang numinous. Disini
unsur-unsur dari lingkungan pertama
diterjemahkan kedalam dimensi
pengalaman kebatinan sendiri dan
sebaliknya alam lahir
distrukturalisasikan dengan bertolak dari dimensi batin. Lingkaran keempat, adalah penentuan semua lingkaran pengalaman yang illahi, oleh takdir.
Walaupun tujuan resmi
terakhir usaha-usaha mistik Jawa adalah pencapaian kesatuan hamba dengan Tuhan, namun tekanan tidak
terletak pada pengalaman
transendensi itu sendiri. Demikian juga pengalaman kesatuan dengan yang ilahi mempunyai nilai pragmatis yang
di dalamnya keakuan individual
membulatkan usahanya untuk
mengontrol segala segi eksistensinya. Tujuan terakhir usaha mistik Jawa bukanlah teori tentang keakuan yang Ilahi, bukan pula penyerahan terhadap yang Ilahi sebagai sikap religius, melainkan pembulatan antara teori
(5)
dan iman itu menyatakan diri dalam rasa, dalam perasaan realitas. Rasa adalah tolok ukur pragmatis terhadap arti segala usaha mistik Jawa.
D. Aspek Aksiologi Etika Sosial Jawa
Magnis Suseno dalam
pembahasan utama buku Etika Jawa
menyebutkan adanya dua kaidah
yang paling menentukan pola
pergaulan dalam masyarakat jawa,
yaitu: Menghindari konflik dan
hormat kepada orang lain sesuai dengan derajat/kedudukannya. Kaidah pertama mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan konflik, kaidah ini
sering disebut dengan prinsip
kerukunan. Kaidah kedua menuntut, agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukan sikap hormat terhadap orang lain,
sesuai dengan derajat dan
kedudukannya, dan ini sering disebut
dengan prinsip hormat. Kedua
prinsip ini merupakan kerangka
normatif yang menentukan
bentuk-bentuk konkret semua interaksi.
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis, keadaan
semacam itu disebut rukun. Rukun
berarti berada dalam keadaan
selaras, tenang dan tentram, tanpa
pertentangan dan perselisihan,
bersatu dalam maksud untuk saling membantu. Kata rukun juga menunjuk pada cara bertindak, berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau
antara pribadi-pribadi sehingga
hubungan sosial tetap kelihatan
selaras dan baik.
Ada dua tuntunan kerukunan, pertama, dalam pandangan jawa
masalahnya bukan penciptaan
keadaan keselarasan sosial,
melainkan lebih untuk tidak
mengganggu keselarasan yang
diandaikan sudah ada. Dalam
perspektif Jawa ketenangan dan
keselarasan sosial merupakan
keadaan normal yang akan terdapat
dengan sendirinya selama tidak
digangggu, seperti juga permukaan laut dengan sendirinya halus kalau tidak diganggu oleh angin atau badan-badan yang menentang arus. Kedua,
prinsip kerukunan pertama-tama
tidak menyangkut suatu sikap batin
atau keadaan jiwa, melainkan
penjagaan keselarasan dalam
pergaulan. Ungkapan Jawa untuk keadaan tenang dan tentram dalam
masyarakat demikian adalah “tata
tentrem tata raharja”. Dengan kata lain
etika Jawa lebih berorientasi pada etika sosial.
Berlaku rukun bagi Orang jawa biasanya nampak dalam sikap mawas diri, hati-hati dalam
situasi-situasi dimana
kepentingan-kepentingan yang berlawanan saling berhadapan. Misalnya dalam soal permintaan atau tawaran itu tak boleh langsung ditolak, biasanya jawaban yang tepat adalah suatu inggih yang sopan dan tidak pernah langsung kata
mboten. Sikap hati-hati ini terkadang menimbulkan kesan tidak tegas dalam kepribadian Jawa dan menampakkan sifat pura-pura (ethok-ethok).
(6)
Sifat keutamaan dalam perspektif etika sosial Jawa antara
lain meliputi: kemampuan untuk
mengatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung (tidak berlaku kasar , tidak suka dengan hal-hal yang bersifat demonstratif dan spontan). Selain itu dalam interaksi antar
individu yang bersifat pribadi,
diutamakan penjajagan emosional
melalui sikap ethok-ethok (pura-pura). Dalam interaksi sosial diperlukan tata krama pergaulan yang tidak suka mencampuri urusan orang lain.
Orang Jawa dalam
kehidupannya mempunyai etika yang tidak hanya merupakan aturan-aturan saja, akan tetapi harus dijalankan dalam tingkah laku sehari-hari. Bagi mereka yang tepenting bukanlah kebenaran dan prinsip pribadi yag ditonjolkan akan tetapi seseorang harus bertingkahlaku sesuai dengan realitas. Inti kisah Dewa Ruci adalah
kebijaksanaan mistik Jawa yang
dihadapi (tempat keberadaannya).
Poin-poin etika orang jawa tersebut diantaranya sebagai berikut:
1. Sikap batin yang tepat, antara lain meliputi prinsip hidup :
slamet, yaitu ketentraman batin yang tenang, karena tak ada gangguan perasaan. Untuk mencapai sikap batin yang tepat, seseorang sebelumnya harus mampu menjadi hakekat dirinya yaitu hakekat akan dirinya sebagai
ciptaan Tuhan dan diri yang
bergantung pada Yang Ilahi, sehingga
dalam menyelesaikan dan
menghadapai kehidupan yang
dialaminya, maka seseorang harus
eling lan waspada, bahwasanya
hendaknya seseorang tidak
melupakan asalnya yaitu sebagai ciptaan Tuhan dan oleh karena itu ia harus senantiasa bersikap mawas diri
(waspada). Jika seseorang
bergantung pada Tuhan, ia harus
mengikuti bimbingan Tuhan dan
percaya kepada-Nya (mituhu).
Seorang Jawa yang memiliki kematangan moral, maka senantiasa ia akan memiliki sikap dan budi luhur
(yaitu watak-watak utama orang jawa),
diantaranya:1). sabar yaitu
mempunyai napas panjang dalam kesadaran bahwa pada waktunya nasib yang baik pun akan tiba. 2).
Nrimo dan ikhlas. Ikhlas adalah
bersedia untuk melepaskan
individualitas sendiri dan
mencocokkan diri kedalam
keselarasan agung alam semesta sebagaimana yang sudah ditentukan.
Sikap nrimo dan ikhlas merupakan
sikap positif, yaitu sebagai tanda
penyerahan kekuasaan, yaitu
kemampuan untuk melepaskan
sesuatu secara ikhlas dari pada membiarkan sesuatu direbut begitu saja secara pasif. Jadi ketika orang Jawa diam ia bukan kalah dan menyerah akan tetapi ia ikhlas terhadap apa yang telah lepas. 3).
Jujur (temen), dimana kejujuran ini
tumbuh didalam keberanian dan
ketentraman hatinya, 4). Prasaja
(bersedia untuk menganggap diri lebih rendah dari pada orang lain (andhap
asor), seseorang harus tahu akan
batasan-batasannya dalam situasi
keseluruhan dalam lingkungan
(7)
Sikap-sikap budi luhur ini erupakan lawan dari sikap-sikap negatif yang dibenci
orang jawa, seperti: 1). Dahwen/
open: sikap suka mencampuri urusan
orang lain, 2). drengki (budi yang rendah), 3). keirian (srei), 4). suka
main intrik (jail), dan kekasaran
(methakil).
Bagi orang Jawa budi luhur sangat penting, karena dengan budi luhur seseorang dapat menentukan bagaimana ia harus bersikap tepat pada tempat yang tepat. Prinsip Jawa
adalah bagaimana sesuatu itu
dilakukan atau dikatakan itulah yang
menentukan, seperti ungkapan “ngono
yo ngono nanging mbok ojo ngono”.
Orang yang berbudi luhur tidak hanya bersikap baik terhadap orang baik tetapi juga terhadap orang buruk. Sikap baik terhadap semua orang
merupakan cermin kepribadian
seseorang yang memanusiakan
manusia, meskipun manusia tak luput dari kekurangan dan sifat buruk (tidak
terpuji), namun tetap sebagai
manusia.
Sikap hidup terhadap orang lain dlam filsafat Jawa terdapat dalam pepatah agar kita harus “nguwongke”
(memanusiakan manusia). Sikap
“nguwongke” (memanusiakan
manusia) adalah sikap yang
memandang manusia sebagai
makhluk yang berpribadi, bukan
sebagai benda mati. Manusia punya
perasaan dan pikiran, sehingga
keberadaannya dalam kehidupan
harus dihargai sebagai makhluk hidup
yang berpribadi sesuai dengan
fungsi/perannya. Dalam perspektif ini,
maka eksistensi manusia dalam
pandangan masyarakat Jawa adalah
bagaimana peranan dan
kepribadiannya diakui oleh orang lain.
Hal ini menjadi dasar yang
menentukan hakekat hidup seseorang. Dengan kata lain, walaupun manusia
sama-sama memiliki kepribadian
(pikiran dan perasaan), namun
sebaliknya jika peranannya bagi orang lain tidak diakui, bahkan dikucilkan
atau di-personanongrata-kan karena
dianggap telah cacat secara moral sosial /budaya, maka secara esensi,
manusia tersebut tak dianggap
sebagaimana manusia yang wajar pada umumnya.
2. Tindakan yang Tepat.
Dengan memiliki sikap batin yang tepat, maka seseorang secara tiadak langsung akan memiliki sikap
terhadap dunianya secara tepat.
Prinsip orang jawa adalah, bahwa manusia tidak boleh terlarut dalam
nafsu-nafsu dunia yang jika
terpengaruh maka akan mengikatnya, sehingga ia dapat melaksanakan
pemenuhan tugasnya untuk
memelihara masyarakat. Sikap
pemenuhan tugas ini tercermin dalam
sikap rame ing gawe yaitu manusia
hendaknya memenuhi
kewajiban-kewajibannya dalam dunia. Sikap
rame ing gawe ini memiliki hubungan
erat dengan sikap sepi ing pamrih, Hal ini dikarenakan dalam pandangan orang jawa dunia yang chaos ini akan stabil jika individu dalam masyarakat melepaskan pamrihnya. Jadi sikap ini juga bermakna sikap aktif untuk melepaskan pamrih demi keselarasan
(8)
sosial. Setiap individu hendaknya
memenuhi kewajibannya pada
tempatnya masing-masing.
3. Tempat yang tepat.
Orang Jawa memandang
penting bahwa seseorang harus pada posisi atau tempat yang tepat, kosmos adalah suatu keseluruhan teratur dimana setiap unsur mempunyai tempatnya yang tepat dan selama unsur-unsur tersebut berada pada
tempatnya maka akan tercipta
ketenangan dan dunia akan aman. Secara aksiologis etika Jawa bersifat relatif, tergantung pada tempat. Apa
yang harus dilakukan individu
ditentukan dan harus sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat dan bukan kehendak pribadi yang harus dilaksanakan akan tetapi tuntuan dari tempat keberadaannya yang harus menjadi sikapnya.
4. Pengertian yang tepat
Jika seseorang masih
mengikuti nafsu dan pamrih berarti ia belum mengerti tempat/ posisinya dalam kosmos. Seseorang dikatakan belum memiliki pengertian yang tepat, maksudnya adalah belum membuka diri dalam rasa. Segala sesuatu harus dirasakan. Jadi orang Jawa harus
memiliki rasa yang halus yang
terwujud dalam sikap menjaga
perasaan orang lain, melalui tutur bahasa krama, tarian, seni, batik, dll. Semakin halus seseorang, maka akan semakin mendalam pengertiannya dan makin luhur sikap moralnya, semakin
indah penampakannya dalam
masyarakat. Inti kematangan
seseorang dalam pandangan Jawa adalah ada pada rasa, jika dapat memiliki rasa yang tepat, maka akan
memunculkan sikap yang tepat
terhadap kosmos.
5. Etika Wayang
Wayang, terutama wayang kulit Purwa, adalah ungkapan filsafat Jawa yang membawa pesan moral dalam cerita tentang tokoh, dengan identifikasi diri terhadap pribadi-pribadi tokoh wayang yang berbagai macam nasibnya, yang kesemuanya memiliki permasalahan untuk dipertanyakan. Tokoh-tokoh seperti Salya, kesatria yang melalui istrinya, Setyawati, harus
membunuh mertuanya karena
raksasa; Wibisana yang membela kebenaran dengan memihak kepada musuh atau Kumbakarna yang tetap
mempertahankan nasionalismenya;
Karna yang berhutang budi kepada Duryudana hingga harus memerangi adik-adiknya sendiri atau Sanjaya,
kesatria yang berprinsip harus
memihak Pandawa yang benar,
termasuk para pandawa yang tidak terbebas dari kesalahan-kesalahan. Etika wayang mengajarkan bahwa etika Jawa bukanlah etika dalam prinsip-prinsip mutlak, ia tergantung
pada kemungkinan takdirnya. “nrima
ing pandum” merupakan kesimpulan
tentang sikap hidup masyarakat jawa dalam memahami dan menerima nasib. Sikap hidup seperti ini pada hakekatnya sama dengan makna
keterlemparan manusia sebagai
faktisitas manusia dalam
(9)
E. Pengaruh Pandangan Kosmologi Jawa Terhadap Sikap Dan Tradisi
Politik Kemasyarakat Jawa.
Sikap hidup terhadap orang
lain masyarakat Jawa bercorak
kosmologi eksistensialis. Secara
ontologis, eksistensialisme lebih
menekankan hakekat realitas yang bersifat “temporer” (mewaktu) dengan
memahami makna “Ada” dan
“Berada”-nya manusia. Sedangkan secara aksiologis, eksistensialisme
Heidegger mengungkap nilai
kepribadian manusia /nilai moral
manusia dalam kaca mata sosial budaya sebagai “keterlemparan” atas ada dan beradanya manusia.
Sikap politik kepemimpinan
Jawa juga bercorak kosmologi
eksistensialis sebagaimana
pandangan Heidegger dalam Being
and Time tentang konsep
kemewaktuan, meskipun berbeda secara ontologis dalam memandang hubungan antara manusia dengan benda-benda sekitarnya. Heidegger
lebih menempatkan eksistensi
manusia lebih tinggi di tengah-tengah ada-nya benda dan alam sekitar.
Sedangkan kosmologi Jawa
menempatkannya dalam hubungan yang selaras dan seimbang. Namun
dari segi konsep kemewaktuan,
terdapat persamaan pandangan
tentang masa lalu.
Masyarakat Jawa memandang
masa lalu, termasuk terhadap
musuh/penjajah, pemimpin yang
berkhianat, maupun orang
lain/anggota keluarga yang telah berbuat salah, yaitu dalam sikap
“mudah memaafkan” ( dengan
pepatah “ sing uwis-uwis” ) = yang sudah-sudah, maksudnya : yang lalu biarlah berlalu, yang penting masa kini
dan masa yang akan datang.
Pengaruh positif sikap ini mengandung nilai moral masyarakat yang selalu berlapang dada terhadap kesalahan orang lain untuk selalu memaafkan kesalahan orang lain, sehingga tak perlu ada dendam. Dalam bidang politik sikap tersebut berpengaruh negatif, karena berhubungan dengan
“budaya patuh” kepada pemimpin.
Dalam konteks dan konsep
kemewaktuan, sikap mudah
memaafkan dapat melanggengkan
kekuasaan pemimpin yang
dhalim/berkhianat, begitu juga sikap terhadap musuh. 1) Walaupun di sisi lain bangsa Indonesia harus belajar dari sejarah masa lalu demi masa depan. Kenyataannya hal tersebut sering dilupakan, sehingga tidak ada/ lemah dalam kontrol sosial terhadap dinamika politik. Hal ini pula yang menjadi salah satu penyebab bagi kolonialisme mampu bertahan lama
menanamkan kekuasaannya pada
masyarakat Jawa. Di bawah ini sebuah kutipan yang menjelaskan
tentang pengaruh “budaya patuh “
masyarakat Jawa, sebagai corak kepemimpinan Jawa, yaitu sebagai berikut:
1
) Komunitas Kembang Merak (Agus Rois dkk), 2009, Jawa , Setelah Tafsir Kebudayaan), hlm. 47.
(10)
“ Indonesia tidak pernah berpeluang mengembangkan
tradisi pemerintahan yang
bertanggungjawab. Ia gamang
dengan pelaksanaan
kekuasaan berdasarkan politik yang sejati. Ia hanya diajar melihat pemerintahan sebagai pengandal kekuasaan belaka dan penindas oposisi” 2 ) Prinsip budaya patuh dalam
masyarakat terhadap pemimpin
dilandasi oleh pandangan kosmologi
metafisik, yaitu “keselarasan”/
keharmonisan (harmoni dengan alam). Jika ditinjau secara kritis budaya patuh yang membabi buta dapat berdampak buruk bagi kehidupan politik, sebab prinsip ini dalam konteks politik cenderung melahirkan “status quo”
dalam kepemimpinan, sehingga
menghambat kemajuan dan
perkembangan. Namun dalam hal tertentu ada kalanya terdapat sikap
yang berlawanan dengan sikap
memaafkan dalam hubungan sosial
yang menimbulkan permusuhan
seumur hidup, yaitu terkandung dalam
ungkapan: “dadi banyu ora nyiduk,
dadi godong orang nyuwek” (jadi air
tidak akan mengambil, jadi daun tidak akan nyobek), maksudnya tidak akan
bertegur sapa dan menganggap
keberadaan orang yang dibenci
seumur hidup, karena dendam atas kesalahan yang tak dimaafkan. Sikap tersebut dikenal dalam masyarakat Jawa yang disebut : jothakan. Sikap ini terkadang masih mewarnai dalam
2
) Ibid , hlm.47. ( Pengarang mengambil dari “ Menjadi Indonesia”, Parakitri T. Simbolon).
sikap politik pemimpin Jawa yang mengangap lawan politik sekaligus sebagai musuh hidup.
E. Kesimpulan
Dari uraian dalam
pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan, bahwa prinsip/ kaidah moral antara orang Jawa dipengaruhi oleh pandangan kosmologi mereka. Orang Jawa lebih menjaga agar tidak
terjadi konflik, meskipun harus
berpura-pura dan menyimpan
perasaan tidak enak, agar
ketentraman dalam hubungan sosial tetap terjaga. Jika ditinjau secara kritis terdapat segi positif, maupun negatif dalam aspek aksiologis etika Jawa
bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Segi positif yang menonjol adalah terciptanya stabilitas politik
pemerintah dengan tipe
kepemimpinan Jawa yang dilandasi
oleh prinsip harmoni, namun
berdampak negatif terhadap kontrol masyarakat atas kelemahan seorang pemimpin.
Demikianlah garis besar etika Jawa yang menjadi prinsip dan pandangan hidup masyarakat Jawa yang mempengaruhi sikap mereka
dalam pergaulan sehari-hari dan
pengaruhnya terhadap tipe
kepemimpinan Jawa. Pemahaman
tentang hal tersebut sangat penting dalam rangka menjaga hubungan yang harmonis dalam pergaulan dan kepemimpinan.
(11)
Daftar Pustaka :
Agus Rois dkk.(2009), Jawa , (Setelah Tafsir Kebudayaan), Komunitas Kembang Merak , Yogyakarta.
Budi Hardiman (2003), Heidegger dan
Mistik Keseharian (Suatu Pengantar
Menuju Sein und Zeit).
Hadiwijono (2005), Sari Sejarah
Filsafat Barat 2. Kanisius, Yogyakarta.
Magins Suseno SJ. Franz (2003).,
Etika Jawa (sebuah analisa falsafi
tentang kebijaksanaan Hidup),
terjemahan dan saduran buku yang berjudul “Javanische Weischeit und Ethik, terbitan R. Oldennbourg Verlag, Munchen 1981.
Magins Suseno SJ. Franz (2005),
Etika Dasar, cetakan ke 17, Kanisius, Yogyakarta.
Soetrisno (2004), “Wayang Sebagai
Ungkapan Filsafat Jawa”, Adita
(1)
Sifat keutamaan dalam perspektif etika sosial Jawa antara lain meliputi: kemampuan untuk mengatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung (tidak berlaku kasar , tidak suka dengan hal-hal yang bersifat demonstratif dan spontan). Selain itu dalam interaksi antar individu yang bersifat pribadi, diutamakan penjajagan emosional melalui sikap ethok-ethok (pura-pura). Dalam interaksi sosial diperlukan tata krama pergaulan yang tidak suka mencampuri urusan orang lain.
Orang Jawa dalam kehidupannya mempunyai etika yang tidak hanya merupakan aturan-aturan saja, akan tetapi harus dijalankan dalam tingkah laku sehari-hari. Bagi mereka yang tepenting bukanlah kebenaran dan prinsip pribadi yag ditonjolkan akan tetapi seseorang harus bertingkahlaku sesuai dengan realitas. Inti kisah Dewa Ruci adalah kebijaksanaan mistik Jawa yang dihadapi (tempat keberadaannya). Poin-poin etika orang jawa tersebut diantaranya sebagai berikut:
1. Sikap batin yang tepat, antara lain meliputi prinsip hidup : slamet, yaitu ketentraman batin yang tenang, karena tak ada gangguan perasaan. Untuk mencapai sikap batin yang tepat, seseorang sebelumnya harus mampu menjadi hakekat dirinya yaitu hakekat akan dirinya sebagai ciptaan Tuhan dan diri yang bergantung pada Yang Ilahi, sehingga dalam menyelesaikan dan menghadapai kehidupan yang dialaminya, maka seseorang harus
eling lan waspada, bahwasanya hendaknya seseorang tidak melupakan asalnya yaitu sebagai ciptaan Tuhan dan oleh karena itu ia harus senantiasa bersikap mawas diri (waspada). Jika seseorang bergantung pada Tuhan, ia harus mengikuti bimbingan Tuhan dan percaya kepada-Nya (mituhu).
Seorang Jawa yang memiliki kematangan moral, maka senantiasa ia akan memiliki sikap dan budi luhur (yaitu watak-watak utama orang jawa), diantaranya:1). sabar yaitu mempunyai napas panjang dalam kesadaran bahwa pada waktunya nasib yang baik pun akan tiba. 2). Nrimo dan ikhlas. Ikhlas adalah bersedia untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri kedalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana yang sudah ditentukan. Sikap nrimo dan ikhlas merupakan sikap positif, yaitu sebagai tanda penyerahan kekuasaan, yaitu kemampuan untuk melepaskan sesuatu secara ikhlas dari pada membiarkan sesuatu direbut begitu saja secara pasif. Jadi ketika orang Jawa diam ia bukan kalah dan menyerah akan tetapi ia ikhlas terhadap apa yang telah lepas. 3). Jujur (temen), dimana kejujuran ini tumbuh didalam keberanian dan ketentraman hatinya, 4). Prasaja (bersedia untuk menganggap diri lebih rendah dari pada orang lain (andhap asor), seseorang harus tahu akan batasan-batasannya dalam situasi keseluruhan dalam lingkungan keberadaannya (tepa seliro).
(2)
Sikap-sikap budi luhur ini erupakan lawan dari sikap-sikap negatif yang dibenci orang jawa, seperti: 1). Dahwen/ open: sikap suka mencampuri urusan orang lain, 2). drengki (budi yang rendah), 3). keirian (srei), 4). suka main intrik (jail), dan kekasaran (methakil).
Bagi orang Jawa budi luhur sangat penting, karena dengan budi luhur seseorang dapat menentukan bagaimana ia harus bersikap tepat pada tempat yang tepat. Prinsip Jawa adalah bagaimana sesuatu itu dilakukan atau dikatakan itulah yang menentukan, seperti ungkapan “ngono yo ngono nanging mbok ojo ngono”. Orang yang berbudi luhur tidak hanya bersikap baik terhadap orang baik tetapi juga terhadap orang buruk. Sikap baik terhadap semua orang merupakan cermin kepribadian seseorang yang memanusiakan manusia, meskipun manusia tak luput dari kekurangan dan sifat buruk (tidak terpuji), namun tetap sebagai manusia.
Sikap hidup terhadap orang lain dlam filsafat Jawa terdapat dalam pepatah agar kita harus “nguwongke” (memanusiakan manusia). Sikap “nguwongke” (memanusiakan manusia) adalah sikap yang memandang manusia sebagai makhluk yang berpribadi, bukan sebagai benda mati. Manusia punya perasaan dan pikiran, sehingga keberadaannya dalam kehidupan harus dihargai sebagai makhluk hidup yang berpribadi sesuai dengan fungsi/perannya. Dalam perspektif ini,
maka eksistensi manusia dalam pandangan masyarakat Jawa adalah bagaimana peranan dan kepribadiannya diakui oleh orang lain. Hal ini menjadi dasar yang menentukan hakekat hidup seseorang. Dengan kata lain, walaupun manusia sama-sama memiliki kepribadian (pikiran dan perasaan), namun sebaliknya jika peranannya bagi orang lain tidak diakui, bahkan dikucilkan atau di-personanongrata-kan karena dianggap telah cacat secara moral sosial /budaya, maka secara esensi, manusia tersebut tak dianggap sebagaimana manusia yang wajar pada umumnya.
2. Tindakan yang Tepat.
Dengan memiliki sikap batin yang tepat, maka seseorang secara tiadak langsung akan memiliki sikap terhadap dunianya secara tepat. Prinsip orang jawa adalah, bahwa manusia tidak boleh terlarut dalam nafsu-nafsu dunia yang jika terpengaruh maka akan mengikatnya, sehingga ia dapat melaksanakan pemenuhan tugasnya untuk memelihara masyarakat. Sikap pemenuhan tugas ini tercermin dalam sikap rame ing gawe yaitu manusia hendaknya memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam dunia. Sikap rame ing gawe ini memiliki hubungan erat dengan sikap sepi ing pamrih, Hal ini dikarenakan dalam pandangan orang jawa dunia yang chaos ini akan stabil jika individu dalam masyarakat melepaskan pamrihnya. Jadi sikap ini juga bermakna sikap aktif untuk melepaskan pamrih demi keselarasan
(3)
sosial. Setiap individu hendaknya memenuhi kewajibannya pada tempatnya masing-masing.
3. Tempat yang tepat.
Orang Jawa memandang penting bahwa seseorang harus pada posisi atau tempat yang tepat, kosmos adalah suatu keseluruhan teratur dimana setiap unsur mempunyai tempatnya yang tepat dan selama unsur-unsur tersebut berada pada tempatnya maka akan tercipta ketenangan dan dunia akan aman. Secara aksiologis etika Jawa bersifat relatif, tergantung pada tempat. Apa yang harus dilakukan individu ditentukan dan harus sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat dan bukan kehendak pribadi yang harus dilaksanakan akan tetapi tuntuan dari tempat keberadaannya yang harus menjadi sikapnya.
4. Pengertian yang tepat
Jika seseorang masih mengikuti nafsu dan pamrih berarti ia belum mengerti tempat/ posisinya dalam kosmos. Seseorang dikatakan belum memiliki pengertian yang tepat, maksudnya adalah belum membuka diri dalam rasa. Segala sesuatu harus dirasakan. Jadi orang Jawa harus memiliki rasa yang halus yang terwujud dalam sikap menjaga perasaan orang lain, melalui tutur bahasa krama, tarian, seni, batik, dll. Semakin halus seseorang, maka akan semakin mendalam pengertiannya dan makin luhur sikap moralnya, semakin indah penampakannya dalam
masyarakat. Inti kematangan seseorang dalam pandangan Jawa adalah ada pada rasa, jika dapat memiliki rasa yang tepat, maka akan memunculkan sikap yang tepat terhadap kosmos.
5. Etika Wayang
Wayang, terutama wayang kulit Purwa, adalah ungkapan filsafat Jawa yang membawa pesan moral dalam cerita tentang tokoh, dengan identifikasi diri terhadap pribadi-pribadi tokoh wayang yang berbagai macam nasibnya, yang kesemuanya memiliki permasalahan untuk dipertanyakan. Tokoh-tokoh seperti Salya, kesatria yang melalui istrinya, Setyawati, harus membunuh mertuanya karena raksasa; Wibisana yang membela kebenaran dengan memihak kepada musuh atau Kumbakarna yang tetap mempertahankan nasionalismenya; Karna yang berhutang budi kepada Duryudana hingga harus memerangi adik-adiknya sendiri atau Sanjaya, kesatria yang berprinsip harus memihak Pandawa yang benar, termasuk para pandawa yang tidak terbebas dari kesalahan-kesalahan. Etika wayang mengajarkan bahwa etika Jawa bukanlah etika dalam prinsip-prinsip mutlak, ia tergantung pada kemungkinan takdirnya. “nrima ing pandum” merupakan kesimpulan tentang sikap hidup masyarakat jawa dalam memahami dan menerima nasib. Sikap hidup seperti ini pada hakekatnya sama dengan makna keterlemparan manusia sebagai faktisitas manusia dalam eksistensialisme Heidegger.
(4)
E. Pengaruh Pandangan Kosmologi Jawa Terhadap Sikap Dan Tradisi
Politik Kemasyarakat Jawa.
Sikap hidup terhadap orang lain masyarakat Jawa bercorak kosmologi eksistensialis. Secara ontologis, eksistensialisme lebih menekankan hakekat realitas yang bersifat “temporer” (mewaktu) dengan memahami makna “Ada” dan “Berada”-nya manusia. Sedangkan secara aksiologis, eksistensialisme Heidegger mengungkap nilai kepribadian manusia /nilai moral manusia dalam kaca mata sosial budaya sebagai “keterlemparan” atas ada dan beradanya manusia.
Sikap politik kepemimpinan Jawa juga bercorak kosmologi eksistensialis sebagaimana pandangan Heidegger dalam Being and Time tentang konsep kemewaktuan, meskipun berbeda secara ontologis dalam memandang hubungan antara manusia dengan benda-benda sekitarnya. Heidegger lebih menempatkan eksistensi manusia lebih tinggi di tengah-tengah ada-nya benda dan alam sekitar. Sedangkan kosmologi Jawa menempatkannya dalam hubungan yang selaras dan seimbang. Namun dari segi konsep kemewaktuan, terdapat persamaan pandangan tentang masa lalu.
Masyarakat Jawa memandang masa lalu, termasuk terhadap musuh/penjajah, pemimpin yang
berkhianat, maupun orang lain/anggota keluarga yang telah berbuat salah, yaitu dalam sikap “mudah memaafkan” ( dengan pepatah “ sing uwis-uwis” ) = yang sudah-sudah, maksudnya : yang lalu biarlah berlalu, yang penting masa kini dan masa yang akan datang. Pengaruh positif sikap ini mengandung nilai moral masyarakat yang selalu berlapang dada terhadap kesalahan orang lain untuk selalu memaafkan kesalahan orang lain, sehingga tak perlu ada dendam. Dalam bidang politik sikap tersebut berpengaruh negatif, karena berhubungan dengan “budaya patuh” kepada pemimpin.
Dalam konteks dan konsep
kemewaktuan, sikap mudah
memaafkan dapat melanggengkan kekuasaan pemimpin yang dhalim/berkhianat, begitu juga sikap terhadap musuh. 1) Walaupun di sisi lain bangsa Indonesia harus belajar dari sejarah masa lalu demi masa depan. Kenyataannya hal tersebut sering dilupakan, sehingga tidak ada/ lemah dalam kontrol sosial terhadap dinamika politik. Hal ini pula yang menjadi salah satu penyebab bagi kolonialisme mampu bertahan lama menanamkan kekuasaannya pada masyarakat Jawa. Di bawah ini sebuah kutipan yang menjelaskan tentang pengaruh “budaya patuh “ masyarakat Jawa, sebagai corak kepemimpinan Jawa, yaitu sebagai berikut:
1
) Komunitas Kembang Merak (Agus Rois dkk), 2009, Jawa , Setelah Tafsir Kebudayaan), hlm. 47.
(5)
“ Indonesia tidak pernah berpeluang mengembangkan tradisi pemerintahan yang bertanggungjawab. Ia gamang dengan pelaksanaan kekuasaan berdasarkan politik yang sejati. Ia hanya diajar melihat pemerintahan sebagai pengandal kekuasaan belaka dan penindas oposisi” 2 ) Prinsip budaya patuh dalam masyarakat terhadap pemimpin dilandasi oleh pandangan kosmologi metafisik, yaitu “keselarasan”/ keharmonisan (harmoni dengan alam). Jika ditinjau secara kritis budaya patuh yang membabi buta dapat berdampak buruk bagi kehidupan politik, sebab prinsip ini dalam konteks politik cenderung melahirkan “status quo” dalam kepemimpinan, sehingga menghambat kemajuan dan perkembangan. Namun dalam hal tertentu ada kalanya terdapat sikap yang berlawanan dengan sikap memaafkan dalam hubungan sosial yang menimbulkan permusuhan seumur hidup, yaitu terkandung dalam ungkapan: “dadi banyu ora nyiduk, dadi godong orang nyuwek” (jadi air tidak akan mengambil, jadi daun tidak akan nyobek), maksudnya tidak akan bertegur sapa dan menganggap keberadaan orang yang dibenci seumur hidup, karena dendam atas kesalahan yang tak dimaafkan. Sikap tersebut dikenal dalam masyarakat Jawa yang disebut : jothakan. Sikap ini terkadang masih mewarnai dalam
2
) Ibid , hlm.47. ( Pengarang mengambil dari “ Menjadi Indonesia”, Parakitri T. Simbolon).
sikap politik pemimpin Jawa yang mengangap lawan politik sekaligus sebagai musuh hidup.
E. Kesimpulan
Dari uraian dalam pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan, bahwa prinsip/ kaidah moral antara orang Jawa dipengaruhi oleh pandangan kosmologi mereka. Orang Jawa lebih menjaga agar tidak terjadi konflik, meskipun harus berpura-pura dan menyimpan perasaan tidak enak, agar ketentraman dalam hubungan sosial tetap terjaga. Jika ditinjau secara kritis terdapat segi positif, maupun negatif dalam aspek aksiologis etika Jawa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Segi positif yang menonjol adalah terciptanya stabilitas politik pemerintah dengan tipe kepemimpinan Jawa yang dilandasi oleh prinsip harmoni, namun berdampak negatif terhadap kontrol masyarakat atas kelemahan seorang pemimpin.
Demikianlah garis besar etika Jawa yang menjadi prinsip dan pandangan hidup masyarakat Jawa yang mempengaruhi sikap mereka dalam pergaulan sehari-hari dan pengaruhnya terhadap tipe kepemimpinan Jawa. Pemahaman tentang hal tersebut sangat penting dalam rangka menjaga hubungan yang harmonis dalam pergaulan dan kepemimpinan.
(6)
Daftar Pustaka :
Agus Rois dkk.(2009), Jawa ,
(Setelah Tafsir Kebudayaan),
Komunitas Kembang Merak , Yogyakarta.
Budi Hardiman (2003), Heidegger dan Mistik Keseharian (Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit).
Hadiwijono (2005), Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius, Yogyakarta. Magins Suseno SJ. Franz (2003)., Etika Jawa (sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan Hidup), terjemahan dan saduran buku yang berjudul “Javanische Weischeit und Ethik, terbitan R. Oldennbourg Verlag, Munchen 1981.
Magins Suseno SJ. Franz (2005), Etika Dasar, cetakan ke 17, Kanisius, Yogyakarta.
Soetrisno (2004), “Wayang Sebagai Ungkapan Filsafat Jawa”, Adita Pressindoesti”, Yogyakarta.