KTI - Model Konstruktivisme Pada Pembelajaran Matematika Di SD

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembaharuan dalam strategi, metode, dan pendekatan dalam

proses belajar mengajar seyogianya terus dilakukan guna mendapatkan

strategi, metode, dan pendekatan yang efektif. Ini dimaksudkan untuk

lebih memberikan bobot serta makna yang dalam agar peserta didik dapat

mencapai tujuan pembelajaran serta berdampak pada perubahan tingkah

laku baik menyangkut unsur kognitif, afektif maupun psikomotor. Dalam

UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pasal 35 ayat (1) diungkapkan

bahwa: “Standar Nasional Pendidikan terdiri atas standar isi, proses

kompetensi lulusan, tenaga kependidikan yang seyogianya ditingkatkan

secara berencana dan berkala”.

Ditinjau dari hakekat pendidikan secara umum, pendidikan menurut

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional diungkapkan bahwa :

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan akhlak

mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa dan negara”.

Pendidikan tidak hanya terbatas pada menstranfer ilmu

pengetahuan dan teknologi melainkan juga menanamkan nilai-nilai baru


(2)

yaitu moral, etika, dan spiritual yang dituntut untuk mengimbangi

perkembangan iptek pada diri peserta didik.

Dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional diungkapkan bahwa tujuan yang hendak dicapai

dalam pendidikan nasional adalah sumber daya manusia yang memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, dan negara. Lebih jelas lagi pada pasal 3 Undang-undang RI

No. 20 Tahun 2003 diungkapkan bahwa :

“Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Berdasarkan uraian di atas, pendidikan mengemban tugas dan

tanggung jawab untuk mewujudkan masyarakat yang berkualitas,

terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subjek yang makin

berperan menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri

dan professional pada bidangnya masing-masing.

Berangkat dari uraian di atas, maka disusunlah sebuah makalah

yang mencoba mengkaji penerapan model konstruktivisme dalam

pembelajaran matematika di sekolah dasar dengan judul “penerapan

model konstruktivisme pada pembelajaran matematika di sekolah dasar”.


(3)

B. Masalah

Adapun masalah yang hendak dikaji dalam makalah ini adalah

sebagai berikut:

1.

Bagaimana konsep pendekatan konstruktivisme pada

pembelajaran matematika di sekolah dasar?

2.

Bagaimana penerapan pendekatan konstruktivisme pada

pembelajaran matematika di sekolah dasar?

C. Prosedur Pemecahan Masalah

Untuk mengatasi permasalahan yang timbul digunakan prosedur

pemecahan masalah dengan studi literatur berupa menelaah dan

mengkaji berdasarkan literature dan referensi yang berupa buku, karya

ilmiah, dan hasil penelitian.

D. Sistematika Penulisan

Dalam makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan; berisi tentang lata belakang masalah, masalah,

prosedur pemecahan masalah, dan sistematika uraian. Bab II Isi; berisi

tentang materi yang dibahas. Bab III Kesimpulan dan saran.


(4)

BAB II

MODEL KONSTRUKTIVISME PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR

A. Model Konstruktivisme

Ada beberapan pendapat mengenai pengertian model konstruktivisme yang diberikan oleh para ahli, diantaranya adalah :

Model konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik ini hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri. Dan pada akhir proses belajar, pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Bell, 1993;24, Driver & Leach, 1993:104 (Karli, 2004:2).

Suparno, (2006: 85), mengemukakan bahwa konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang secara ringkas menjelaskan bahwa pengetahuan itu merupakan konstruksi seseorang. Orang membentuk pengetahuannya lewat interaksi dengan lingkungannya. Sebagai filsafat pengetahuan, konstruktivisme membatasi diri pada bagaimana pengetahuan itu dibentuk dan bagaimana pengetahuan itu dianggap benar. Pengetahuan dibentuk oleh pengamat dari abstraksi terhadap pengalamannya baik fisik maupun mental. Pengetahuan dibentuk itu dibenarkan bila pengetahuan itu dapat digunakan untuk menghadapi persoalan yang sejenis.

Sedangkan menurut Piaget, 1971 (Paul Suparno, 2006:30), konstruktivisme adalah suatu teori pengetahuan yang pada dasarnya adalah teori adaptasi pikiran ke dalam suatu realitas, seperti organisme beradaptasi ke dalam lingkungannya. Menurut Piaget ada empat tahapan proses seseorang mencapai pengertian diantaranya: a). Skema/skemata, b). Asimilasi, c). Akomodasi, dan d). equilibration

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah merupakan proses perubahan konsep. Dalam proses tersebut peserta didik setiap kali membangun konsep baru melalui asimilasi dan akomodasi skema mereka. Oleh sebab itu, belajar merupakan proses yang terus-menerus, tidak berkesudahan (kontinu).


(5)

Yang sangat penting dalam pembelajaran kontrukstivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran peserta didiklah yang harus mendapatkan tekanan. Mereka yang harus aktif mengembangkan pengetahuannya, bukan guru ataupun orang lain.

Konflik kognitif tersebut terjadi saat interaksi antara konsepsi awal yang telah dimiliki peserta didik dengan fenomena baru yang dapat diintegrasikan begitu saja, sehingga diperlukan perubahan/modifikasi struktur kognitif (skemata) untuk mencapai keseimbangan. Peristiwa ini akan terjadi secara berkelanjutan selama peserta didik menerima pengetahuan baru

Perolehan pengetahuan peserta didik diawali dengan diadopsinya hal baru sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Kemudian hal baru tersebut dibandingkan dengan konsepsi awal yang telah dimilikinya sebelumnya. Jika hal baru tersebut tidak sesuai dengan konsepsi awal peserta didik, maka akan terjadi konflik kognitif yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam struktur kognisinya. Melalui proses akomodasi dalam kegiatan pembelajaran, peserta didik dapat memodifikasi struktur kognisinya menuju keseimbangan sehingga terjadi asimilasi. Namun tidak menutup kemungkinan peserta didik mengalami “jalan buntu” (tidak mengerti) karena ketidakmampuan berakomodasi. Pada kondisi ini diperlukan alternatif strategis lain untuk mengatasinya.

Berdasarkan pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model konstruktivisme dalam proses pembelajaran adalah suatu proses belajar mengajar dimana peserta didik sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang telah dimilikinya. Pendidik lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran. Penekanan tentang belajar dan mengajar lebih berfokus pada suksesnya peserta


(6)

didik mengorganisasi pengalaman mereka, bukan ketepatan peserta didik dalam melakukan replikasi atas apa yang dilakukan pendidik.

Secara rinci dapat dikemukakan bahwa dalam kegiatan belajar mengajar yang mengacu pada model konstruktivisme seorang pendidik harus memperhatikan hal sebagai berikut:

a. Mengakui adanya konsepsi awal yang dimiliki peserta didik melalui pengalaman sebelumnya.

b. Menekankan pada kemampuan minds-on dan hands-on.

c. Mengakui bahwa dalam proses pembelajaran terjadi perubahan konseptual.

d. Mengakui bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif. e. Mengutamakan terjadinya interaksi sosial.

Implikasi model pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran meliputi 4 tahapan yaitu: (1) Apersepsi, (2) Eksplorasi, (3) Diskusi dan penjelasan konsep, (4) Pengembangan dan aplikasi

Tahap-tahap pembelajaran tersebut dapat dilihat pada diagram di bawah ini:

Diagram

Alur Model Pembelajaran Akon

Mengungkapkan konsepsi awal

Membangkitkan motivasi

Eksplorasi

Diskusi dan penjelasan konsep


(7)

Tahap pertama, peserta didik didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu pendidik memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan problematik tentang fenomena yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Peserta didik diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan, mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep itu.

Tahap kedua, peserta didik diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterprestasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang pendidik. Kemudian secara berkelompok didiskusikan dengan kelompok lain. Secara keseluruhan, tahap ini akan memenuhi rasa keingintahuan peserta didik tentang fenomena alam di sekelilingnya.

Tahap ketiga, saat peserta didik memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan pendidik, maka peserta didik membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari. Hal ini menjadikan peserta didik tidak ragu-ragu lagi tentang konsepsinya.

Tahap keempat, pendidik berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan atau pemunculan dan pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu dilingkungannya.

B. Model Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika

Pembelajaran matematika berdasarkan pandangan konstruktivisme mengarahkan peserta didik untuk membangun pemahaman, sehingga peserta


(8)

didik dapat membangun pengetahuan sendiri berdasarkan pengealaman yang sudah dimiliki, dan dapat mengembangkan matematika berdasarkan pada skemata yang terbentuk pada peserta didik terus-menerus mengalami perubahan menuju pada proses kebenaran sesuai dengan kebenaran yang dimiliki oleh ilmuwan, sehingga skema yang dimiliki dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah yang dihadapinya.

Model pembelajaran konstruktivisme berpandangan bahwa belajar merupakan proses aktif peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya, dimana peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Proses konstruksi ini dilakukan secara pribadi atau sosial.

Dua aliran pemikiran tentang kostruktivisme yang dipergunakan yaitu konstruktivisme Piaget dan konstruktivisme Vigotsky. Konstruktivisme Piaget memandang bahwa pembelajaran berlangsung dalam situasi kolaborasi yang difasilitasi oleh konflik kognitif secara kontinu diantara bentuk-bentuk berpikir antagonis. Konstruktivisme Vigotsky memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antara individu dan selanjutnya keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh individu. Proses penyesuaian itu ekuivalen dengan pengkonstruksian intraindividual.

Model pembelajaran konstruktivisme yang dikembangkan dalam penelitian ini berpijak pada kedua aliran tersebut, yaitu aliran konstruktivisme personal dan sosial. Cobb (Suparno, 2006:47) menyatakan bahwa konstruktivisme personal lebih menekankan pada keaktifan secara individual dan konstruktivisme sosiokultural lebih menekankan pentingnya lingkungan sosial kultural, sehingga dalam pendidikan matematika disarankan bahwa konstruktivisme personal dikombinasikan dengan perspektif sosiokultural. Dua


(9)

aliran ini saling melengkapi, yaitu belajar matematika harus dilihat sebagai suatu pembentukan individual yang aktif dan proses inkulturasi dalam praktek masyarakat yang lebih luas. (Rahayu, 2006:35)

Guru yang konstruktivis diharapkan mampu dan mengerti proses belajar yang baik, dan perlu membiarkan peserta didiknya untuk menemukan sendiri cara yang paling sesuai dan menyenangkan dalam memecahkan persoalan, hal ini penting agar peserta didik memperoleh hasil yang maksimal. Karena melalui interaksi itu pengetahuan baru diharapkan dapat berkonsiliasi dengan pengetahuan sebelumnya. Proses rekonsiliasi ini mungkin melibatkan penolakan terhadap beberapa konsep peserta didik yang sudah dimiiliki. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke peserta didik, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Bettencourt, 1989 (Suparno, 2006:65).

Strategi yang digunakan dalam mengajar menurut Driver dan Oldham (Suparno, 2006:69) adalah sebagai berikut:

1. Orientasi. Peserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari pokok bahasan, dan peserta didik diberi kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap apa yang akan dipelajari dalam proses pembelajaran.

2. Elicitasi. Peserta didik dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain. Dalam artian peserta didik diberikan kesempatan untuk


(10)

mendiskusikan apa yang telah diobservasikan, baik berupa tulisan, gambar ataupun poster.

3. Restruktukturisasi ide. Dalam hal ini ada tiga hal yaitu:

a. Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman lewat diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide orang lain, seseorang dapat terangsang untuk merekonstruksi gagasannya kalau tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok

b. Membangun ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-teman. c. Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau

dimungkinkan, ada baiknya bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan suatu percobaan atau persoalan yang baru.

4. Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh peserta didik perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi, supaya dapat membantu pengetahuan peserta didik yang lebih lengkap dan lebih rinci dengan segala pengecualiannya.

5. Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, seseorang perlu merivisi gagasannya entah dengan menambahkan suatu keterangan ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap.


(11)

Dalam pembelajaran model konstruktivisme guru berperan sebagai moderator dan fasilitator yang membantu agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal maka perlu disusun dan direncanakan beberapa kegiatan yang dituangkan ke dalam rencana pembelajaran dengan menggunakan satuan pelajaran dan dilengkapi dengan lembar kegiatan peserta didik

Langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut: a. Kegiatan awal

Guru mengadakan apersepsi untuk menggali pengetahuan sebagai prasyarat yang harus dimiliki peserta didik dan membangkitkan motivasi belajar peserta didik dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat problematik dan guru tidak langsung memberikan jawaban benar atau menyalahkan jawaban peserta didik apabila jawabannya kurang tepat.

b. Kegiatan inti

Guru membimbing peserta didik untuk mengkonstruksi ide-idenya secara dengan bantuan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) tentang materi bilangan pecahan. Pada tahap ini peserta didik diberi kesempatan menemukan gagasan-gagasan tentang bilangan dengan operasi penjumlahan dan perkalian dengan cara membaca bahan kajian/buku, dengan diskusi kelas, mencoba-coba sampai menemukan jawabannya. Kemudian masing-masing menuliskan jawaban tersebut di papan tulis dan dijelaskan dihadapan teman-teman dan gurunya, peserta didik lainnnya memberi tanggapan dari


(12)

penjelasan tersebut berupa pertanyaan atau menambahkan ide-idenya yang sesuai.

Dengan bimbingan guru, siswa dibantu untuk membuat kesimpulan dan hasil kesimpulannya dituliskan di papan tulis. Sebelumnya peserta didik diberi kesempatan untuk bertanya apabila ada yang belum dipahami dengan kata lain dilakukan diskusi secara klasikal.

c. Penerapan dan aplikasi konsep

Untuk tahap penerapan dan aplikasi, guru memantapkan materi yang baru diperoleh dengan cara memberikan soal-soal latihan dan soal-soal cerita yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari tentang bilangan pecahan. Latihan tersebut dikerjakan melalui diskusi kelas, kemudian dibahas bersama guru, dan guru memberikan nilainya. d. Kegiatan akhir

Pada kegiatan ini peserta didik membuat rangkuman/menulis hal-hal yang dianggap penting. Guru memberikan tugas pekerjaan rumah yang dikerjakan secara individual, dikumpulkan dan dinilai oleh guru, untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman peserta didik.

Contoh Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme

Berikut ini adalah contoh pembelajaran pengurangan dasar bilangan seperti 13–7. Alternatif rancangan proses pembelajaran ini dapat saja disempurnakan dan disesuaikan dengan kondisi daerah dan keadaan siswa dikelas Bapak dan Ibu Guru. Langkah-langkah proses pembelajarannya adalah sebagai berikut:


(13)

1. Pada tahap Pendahuluan, Guru mengajukan masalah seperti berikut di papan tulis, di transparansi, ataupun di kertas peraga.

2. Guru bertanya kepada para siswa, berapa kelereng yang dimiliki Anto pada awalnya? Jawaban yang diinginkan adalah 12. Guru lalu menggambar di papan tulis, 12 buah kelereng seperti gambar di bawah ini dengan menekankan bahwa 12 bernilai 1 puluhan dan 2 satuan atau 12 = 10 + 2.

Gambar 2.1 Penjumlahan

3. Guru meminta siswanya bekerja dalam kelompok dengan menggunakan benda-benda konkret yang dimilikinya untuk menggambarkan 12 kelereng yang dimiliki Anto.

4. Guru bertanya kepada siswa, berapa butir kelereng yang diberikan kepada adiknya dan berapa sisa kelereng yang dimiliki Anto sekarang? Biarkan siswa bekerja sendiri-sendiri atau bekerja di kelompoknya untuk menjawab soal tersebut.

5. Ada dua kemungkinan jawaban siswa atau kelompok siswa, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Pada waktu diskusi kelompok, Bapak atau Ibu Guru sebaiknya menawarkan alternatif kedua ini kepada beberapa kelompok.

Gambar 2.2 Penjumlahan

Anto memiliki 12 kelereng.

9 kelereng diberikan kepada adiknya.

Berapa kelereng yang dimiliki Anto

sekarang?

12 = 10 + 2


(14)

6. Guru memberi kesempatan kepada siswa atau kelompok untuk melaporkan cara mereka mendapatkan hasilnya. Diskusikan juga, yang mana dari dua cara tersebut yang lebih mudah digunakan.

7. Guru memberi soal tambahan seperti 13–9 dan 12–8. Para siswa masih boleh menggunakan benda-benda konkret. Bagi siswa yang masih menggunakan alternatif pertama, sarankan untuk mencoba alternatif kedua dalam proses menjawab dua soal di atas.

8. Guru memberi soal tambahan seperti 14–9 dan 13–8. Bagi siswa atau kelompok siswa yang sudah dapat menyelesaikan soal ini tanpa menggunakan benda konkret dapat mengerjakan soal-soal yang ada di buku.

Belajar Arti Konstruktivisme dari Contoh di Atas

Dari contoh proses pembelajaran pengurangan di atas dapat dikemukakan beberapa hal berikut:

1. Peran guru sebagai fasilitator dalam membantu siswanya dapat dengan mudah melakukan operasi pengurangan dasar bilangan. Dengan cara seperti ini, pengetahuan diharapkan dapat dengan mudah terkonstruksi atau terbangun di dalam pikiran siswanya.

2. Dengan alternatif rancangan pembelajaran seperti itu, para siswa sendirilah yang harus membangun pengetahuan bahwa 12 – 9 = 2 + 1, 13 – 9 = 3 + 1, 12 – 8 = 2 +2, 14 – 9 = 4 + 1, dan seterusnya.

3. Para siswa juga dibimbing gurunya untuk secara demokratis menentukan pilihan-pilihan, dan secara dini belajar untuk menghargai pendapat teman lainnya meskipun berbeda dengan pendapatnya sendiri.

4. Dengan alternatif rancangan pembelajaran seperti itu, ketika para siswa diminta menentukan hasil dari 15 – 8 misalnya, di dalam pikiran siswa akan muncul gambaran (sebagai hasil pengalaman belajar di kelasnya), kelereng


(15)

sejumlah 1 puluhan dan 5 satuan yang jika diambil 8 akan menghasilkan 5 + 2 = 7.

5. Pengalaman belajar yang dirancamg ini tidak akan berhasil jika siswa tidak atau kurang terampil menentukan hasil 10 – 9 = 1, 10 – 8 = 2, 10 – 7 = 3 dan seterusnya. Hal ini menunjukkan benarnya pendapat Ausubel, penggagas belajar bermakna (meaningful learning) yang menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Orton (1987:34): If I had to reduce all of educational psychology to just one principle, I would say this: The most important single factor influencing learning is what the learner already knows. Ascertain this and teach him accordingly.” Jelaslah bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran.

6. Proses pembelajaran ini sesungguhnya didasarkan pada suatu keyakinan dari para penganut konstruktivisme yang menyatakan bahwa suatu pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari otak seorang guru dengan begitu saja ke dalam otak siswa. Siswa sendirilah, yang dengan bantuan guru, akan dapat menemukan kembali pengetahuan yang sudah ditemukan para ahli matematika.

7. Dengan fasilitasi dari para guru matematika sebagaimana dinyatakan para pakar pendidikan matematika, prosedur pengurangan dasar bilangan seperti 12–9 maupun 13–8 ditemukan kembali (guided re-invention) si pembelajar seperti ketika para siswa menemukan kembali rumus, konsep, ataupun prinsip seperti yang ditemukan para matematikawan.

Implikasinya pada Pembelajaran


(16)

mengorganisasikan pengalaman barunya berdasar pada kerangka kognitif yang sudah ada di dalam pikirannya, sebagaimana dinyatakan Bodner (1986:873): “… knowledge is constructed as the learner strives to organize his or her experience in terms of preexisting mental structures”. Dengan demikian, belajar matematika merupakan proses memperoleh pengetahuan yang diciptakan atau dilakukan oleh siswa sendiri melalui transformasi pengalaman individu siswa. Di samping itu, pentingnya kemampuan memecahkan masalah, terutama di saat para siswa sudah bekerja atau di saat mempelajari materi lain, akan menuntut adanya perubahan proses pembelajaran di kelas-kelas, termasuk di Sekolah dasar di seluruh Indonesia.

Berdasar penjelasan dan contoh di atas, implikasi konstruktivisme pada pembelajaran di antaranya adalah:

1. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak mesti diikuti dengan hasil yang bagus pada siswanya. Setiap siswa SD harus mengkonstruksi (membangun) pengetahuan matematika di dalam benaknya masing-masing berdasar pada kerangka kognitif yang sudah ada di dalam benaknya. Karenanya, hanya dengan usaha keras para siswa sendirilah para siswa akan betul-betul memahami Matematika. Setiap guru

2. matematika SD tentunya sudah mengalami bahwa meskipun suatu materi telah dibahas dengan sejelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswanya yang belum ataupun tidak mengerti materi yang diajarkannya. Hal ini telah menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada siswanya dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali.

3. Tugas setiap guru adalah memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan matematika dibangun atau dikonstruksi para siswa sendiri dan bukan


(17)

ditanamkan oleh para guru. Para siswa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru ke dalam kerangka kognitifnya. Karenanya, pembelajaran matematika akan menjadi lebih efektif bila guru membantu siswa menemukan dan memecahkan masalah dengan menerapkan pembelajaran bermakna.

4. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan dan yang dibuat para siswa untuk mendukung model-model itu. Karenanya, para guru harus mau bertanya dan mau mengamati pekerjaan siswanya. Setiap kesalahan siswa harus menjadi umpan balik dalam proses penyempurnaan rancangan proses pembelajaran berikutnya. 5. Pada konstruktivisme, siswa perlu mengkonstruksi pemahaman mereka

sendiri untuk masing-masing konsep matematika sehingga peranan guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan matematika pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-kontruksi mental yang diperlukan.

C. Dasar Pelaksanaan Model Pembelajaran Konstruktivisme

Fokus tujuan pendidikan di Indonesia adalah terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu menghadapi tantangan hidup dalam dunia yang makin kompetitif serta dapat memilih dan mengolah informasi untuk digunakan dalam mengambil keputusan, sekaligus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi di lingkungan sekitarnya.

Dari hasil observasi di lapangan diperoleh gambaran bahwa proses pembelajaran belum secara optimal mempertimbangkan karakteristik anak serta tujuan pendidikan dasar seperti yang tersirat dalam kurikulum pendidikan daasar


(18)

2004. proses pembelajaran di kelas masih dominan menggunakan metoda ceramah dan tanya jawab sehingga kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berinteraksi langsung kepada benda-benda konkrit ataupun model artifisial. Seorang guru perlu memperhatikan konsepsi awal peserta didik sebelum pelajaran. Jika tidak demikian seorang pendidik tidak akan berhasil menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada peserta didik, melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi peserta didik yang sudah ada dan mungkin salah. Salah satu caranya adalah dengan merancang pembelajaran yang dapat membentuk peserta didik membangun sendiri pengetahuannya, sedangkan peranan pendidik sebagai motivator dan fasilitator.

Siswa TK, SD, SMP rata-rata berusia antara 5-15 tahun. Secara psikolog masih memerlukan bimbingan, dukungan dan pengakuan sehingga seorang pendidik yang berhasil adalah pendidik yang “power-for” terhadap peserta didik daripada pendidik yang “power-off”. Bell, 1993 (Margaretha & Karli, 2004:6). Pendidik yang “power-off” digambarkan sebagai pendidik yang selalu “di atas” peserta didik sehingga tidak memandang peserta didik sebagai individu yang mempunyai potensi. Sedangkan pendidik yang “power-for” digambarkan sebagai pendidik yang memperhatikan peningkatan proses belajar peserta didik dan selalu berusaha menyediakan kegiatan-kegiatan yang relevan, membimbing, mengarahkan serta memotivasi guna mencapai tujuan pembelajaran. Dalam upaya meningkatkan iklim pembelajaran di sekolah untuk memperoleh hasil yang maksimal maka penerapan model pembelajaran techer-centered yang menekankan konsep-konsep pembelajaran dapat ditransfer dari pendidik ke


(19)

peserta didik, beralih menuju model pembelajaran studen-centered yang menekankan bahwa dalam pembelajaran, peserta didik sendirilah yang akan membangun pengetahuannya.

Ausubel mengatakan bahwa faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar peserta didik adalah apa yang telah diketahui peserta didik atau konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif peserta didik. Selain itu pakar John Dewey mengatakan bahwa “learning by doing” artinya pengalaman seseorang diperoleh melalui bekerja yang merupakan hasil belajar yang tidak mudah dilupakan. “I see I forget; I hear Iremember; I do I understand”.

D. Keuntungan, Kelemahan Model Pembelajaran Konstruktivisme dan cara mengatasinya

Model pembelajaran konstruktivisme ini akan memberikan keuntungan kepada peserta didik yaitu dapat membiasakan belajar mandiri dalam memecahkan masalah, menciptakan kreativitas untuk belajar sehingga tercipta suasana kelas yang lebih nyaman dan kreatif, terjalinnya kerja sama sesama peserta didik, dan peserta didik terlibat langsung dalam melakukan kegiatan, dan dapat menciptakan pembelajaran menjadi lebih bermakna karena timbulnya kebanggaan peserta didik menemukan sendiri konsep yang sedang dipelajari dan peserta didik akan bangga dengan hasil temuannya, serta melatih peserta didik berpikir kritis dan kreatif. Sedangkan kelemahannya adalah peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuannya, tidak jarang bahwa hasil konstruksi peserta didik tidak cocok dengan hasil konstruksi para ahli matematika, hal ini dapat mengakibatkan salah pengertian (miskonsepsi) atau konsep alternatif.


(20)

Model pembelajaran kkonstruktivisme menekankan agar peserta didik membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap peserta didik memerlukan penanganan yang berbeda-beda, apalagi bila guru berhadapan dengan kurikulum yang sudah baku, yang menuntut agar materi harus terselesaikan. Sedangkan dalam pengertian konstruktivisme penekanannya pada pengertian dan pembangunan sistem berpikir peserta didik. Sistem berpikir inilah yang nantinya harus dikembangkan sendiri dalam hidup mereka.

Model pembelajaran konstruktivisme menuntut guru harus berpikiran luas dan mendalam serta peka terhadap gagasan-gagasan yang berbeda dari peserta didik. Guru yang hanya berorientasi pada penyampaian materi agak sulit menerima pendapat dari peserta didik, sehingga dapat terjadi peserta didik pandai dan kreatif dengan bermacam-macam gagasan dianggap sebagai penghambat. Guru yang demikian membatasi peserta didik berpikir dan mengembangkan kreativitasnya.

Cara mengatasi kelemahan model pembelajaran ini adalah sebaiknya guru dalam merencanakan program pembelajaran harus matang dengan memperhatikan kemampuan berpikir peserta didik secara individu, dan kesiapan materi prasyarat yang harus dikuasai peserta didik. (Rahayu, 2006:40).


(21)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Pembelajaran adalah merupakan proses perubahan konsep. Dalam proses tersebut peserta didik setiap kali membangun konsep baru melalui asimilasi dan akomodasi skema mereka. Oleh sebab itu, belajar merupakan proses yang terus-menerus, tidak berkesudahan (kontinyu).

2. Model konstruktivisme dalam proses pembelajaran adalah suatu proses belajar mengajar dimana peserta didik sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang telah dimilikinya. Pendidik lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran. Penekanan tentang belajar dan mengajar lebih berfokus pada suksesnya peserta didik mengorganisasi pengalaman mereka, bukan ketepatan peserta didik dalam melakukan replikasi atas apa yang dilakukan pendidik.

3. Implikasi model pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran meliputi 4 tahapan yaitu: (1) Apersepsi, (2) Eksplorasi, (3) Diskusi dan penjelasan konsep, (4) Pengembangan dan aplikasi

4. Pembelajaran matematika berdasarkan pandangan konstruktivisme mengarahkan peserta didik untuk membangun pemahaman, sehingga peserta didik dapat membangun pengetahuan sendiri berdasarkan pengealaman yang sudah dimiliki, dan dapat mengembangkan matematika berdasarkan pada skemata yang terbentuk pada peserta didik


(22)

terus-menerus mengalami perubahan menuju pada proses kebenaran sesuai dengan kebenaran yang dimiliki oleh ilmuwan, sehingga skema yang dimiliki dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah yang dihadapinya. 5. Dalam pembelajaran model konstruktivisme guru berperan sebagai

moderator dan fasilitator yang membantu agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal maka perlu disusun dan direncanakan beberapa kegiatan yang dituangkan ke dalam rencana pembelajaran dengan menggunakan satuan pelajaran dan dilengkapi dengan lembar kegiatan peserta didik

B. Saran

Berdasarkan hasil kajian, berikut diajukan beberapa saran diantaranya: 1. Model konstruktivisme dapat dijadikan salah satu alternatif pilihan

pembelajaran matematika di sekolah dalam meningkatkan hasil belajar siswa sehingga siswa menjadi lebih aktif dan guru berperan sebagai fasilitator dan motivator.

2. Meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dan meningkatkan kompetensi serta profesionalisme adalah suatu tuntutan yang tidak bisa dihindari oleh semua kalangan pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan penerapan multi metode, strategi, pendekatan, dan penerapan media alat bantu pembelajaran.


(23)

DAFTAR PUSTAKA

Bird, John. (2004). Matematika Dasar Teori-teori dan Aplikasi Praktis. Jakarta: PT. Erlangga.

Dimyati. (1992/1993). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. Depdikbud.

Gulo. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Karli, H. (2004). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Model-model Pembelajaran. Bandung: CV. Bina Media Informasi.

Sujana, N. (1989). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Sinar baru Algesindo.

Negoro. (2003). Encyklopedia Matematika. Jakarta. PT. Ghalia Indonesia. Nasution, S. (1982). Didaktki Azas-azas Mengajar. Bandung: CV. Jemmars. Rustiyah. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. PT. Rineka Cipta.

Ruseffendi, E.T. (1990). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini. Seri ke-6. Bandung: PT. Tarsito.

_________. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika. Bandung: PT. Tarsito.

_________. (1992). Pendidikan Matematika 3. Jakarta: Depdikbud

Slamento. (1995). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta. PT. Rineka Cipta.

Suparno, p. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jakarta. Kanisius Usman, U. (2006). Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung:


(1)

2004. proses pembelajaran di kelas masih dominan menggunakan metoda ceramah dan tanya jawab sehingga kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berinteraksi langsung kepada benda-benda konkrit ataupun model artifisial. Seorang guru perlu memperhatikan konsepsi awal peserta didik sebelum pelajaran. Jika tidak demikian seorang pendidik tidak akan berhasil menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada peserta didik, melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi peserta didik yang sudah ada dan mungkin salah. Salah satu caranya adalah dengan merancang pembelajaran yang dapat membentuk peserta didik membangun sendiri pengetahuannya, sedangkan peranan pendidik sebagai motivator dan fasilitator.

Siswa TK, SD, SMP rata-rata berusia antara 5-15 tahun. Secara psikolog masih memerlukan bimbingan, dukungan dan pengakuan sehingga seorang pendidik yang berhasil adalah pendidik yang “power-for” terhadap peserta didik daripada pendidik yang “power-off”. Bell, 1993 (Margaretha & Karli, 2004:6). Pendidik yang “power-off” digambarkan sebagai pendidik yang selalu “di atas” peserta didik sehingga tidak memandang peserta didik sebagai individu yang mempunyai potensi. Sedangkan pendidik yang “power-for” digambarkan sebagai pendidik yang memperhatikan peningkatan proses belajar peserta didik dan selalu berusaha menyediakan kegiatan-kegiatan yang relevan, membimbing, mengarahkan serta memotivasi guna mencapai tujuan pembelajaran. Dalam upaya meningkatkan iklim pembelajaran di sekolah untuk memperoleh hasil yang maksimal maka penerapan model pembelajaran techer-centered yang menekankan konsep-konsep pembelajaran dapat ditransfer dari pendidik ke


(2)

peserta didik, beralih menuju model pembelajaran studen-centered yang menekankan bahwa dalam pembelajaran, peserta didik sendirilah yang akan membangun pengetahuannya.

Ausubel mengatakan bahwa faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar peserta didik adalah apa yang telah diketahui peserta didik atau konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif peserta didik. Selain itu pakar John Dewey mengatakan bahwa “learning by doing” artinya pengalaman seseorang diperoleh melalui bekerja yang merupakan hasil belajar yang tidak mudah dilupakan. “I see I forget; I hear Iremember; I do I understand”.

D. Keuntungan, Kelemahan Model Pembelajaran Konstruktivisme dan cara mengatasinya

Model pembelajaran konstruktivisme ini akan memberikan keuntungan kepada peserta didik yaitu dapat membiasakan belajar mandiri dalam memecahkan masalah, menciptakan kreativitas untuk belajar sehingga tercipta suasana kelas yang lebih nyaman dan kreatif, terjalinnya kerja sama sesama peserta didik, dan peserta didik terlibat langsung dalam melakukan kegiatan, dan dapat menciptakan pembelajaran menjadi lebih bermakna karena timbulnya kebanggaan peserta didik menemukan sendiri konsep yang sedang dipelajari dan peserta didik akan bangga dengan hasil temuannya, serta melatih peserta


(3)

Model pembelajaran kkonstruktivisme menekankan agar peserta didik membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap peserta didik memerlukan penanganan yang berbeda-beda, apalagi bila guru berhadapan dengan kurikulum yang sudah baku, yang menuntut agar materi harus terselesaikan. Sedangkan dalam pengertian konstruktivisme penekanannya pada pengertian dan pembangunan sistem berpikir peserta didik. Sistem berpikir inilah yang nantinya harus dikembangkan sendiri dalam hidup mereka.

Model pembelajaran konstruktivisme menuntut guru harus berpikiran luas dan mendalam serta peka terhadap gagasan-gagasan yang berbeda dari peserta didik. Guru yang hanya berorientasi pada penyampaian materi agak sulit menerima pendapat dari peserta didik, sehingga dapat terjadi peserta didik pandai dan kreatif dengan bermacam-macam gagasan dianggap sebagai penghambat. Guru yang demikian membatasi peserta didik berpikir dan mengembangkan kreativitasnya.

Cara mengatasi kelemahan model pembelajaran ini adalah sebaiknya guru dalam merencanakan program pembelajaran harus matang dengan memperhatikan kemampuan berpikir peserta didik secara individu, dan kesiapan materi prasyarat yang harus dikuasai peserta didik. (Rahayu, 2006:40).


(4)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Pembelajaran adalah merupakan proses perubahan konsep. Dalam proses tersebut peserta didik setiap kali membangun konsep baru melalui asimilasi dan akomodasi skema mereka. Oleh sebab itu, belajar merupakan proses yang terus-menerus, tidak berkesudahan (kontinyu).

2. Model konstruktivisme dalam proses pembelajaran adalah suatu proses belajar mengajar dimana peserta didik sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang telah dimilikinya. Pendidik lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran. Penekanan tentang belajar dan mengajar lebih berfokus pada suksesnya peserta didik mengorganisasi pengalaman mereka, bukan ketepatan peserta didik dalam melakukan replikasi atas apa yang dilakukan pendidik.

3. Implikasi model pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran meliputi 4 tahapan yaitu: (1) Apersepsi, (2) Eksplorasi, (3) Diskusi dan penjelasan konsep, (4) Pengembangan dan aplikasi


(5)

menerus mengalami perubahan menuju pada proses kebenaran sesuai dengan kebenaran yang dimiliki oleh ilmuwan, sehingga skema yang dimiliki dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah yang dihadapinya. 5. Dalam pembelajaran model konstruktivisme guru berperan sebagai

moderator dan fasilitator yang membantu agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal maka perlu disusun dan direncanakan beberapa kegiatan yang dituangkan ke dalam rencana pembelajaran dengan menggunakan satuan pelajaran dan dilengkapi dengan lembar kegiatan peserta didik

B. Saran

Berdasarkan hasil kajian, berikut diajukan beberapa saran diantaranya: 1. Model konstruktivisme dapat dijadikan salah satu alternatif pilihan

pembelajaran matematika di sekolah dalam meningkatkan hasil belajar siswa sehingga siswa menjadi lebih aktif dan guru berperan sebagai fasilitator dan motivator.

2. Meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dan meningkatkan kompetensi serta profesionalisme adalah suatu tuntutan yang tidak bisa dihindari oleh semua kalangan pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan penerapan multi metode, strategi, pendekatan, dan penerapan media alat bantu pembelajaran.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Bird, John. (2004). Matematika Dasar Teori-teori dan Aplikasi Praktis. Jakarta: PT. Erlangga.

Dimyati. (1992/1993). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. Depdikbud.

Gulo. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Karli, H. (2004). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Model-model Pembelajaran. Bandung: CV. Bina Media Informasi.

Sujana, N. (1989). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Sinar baru Algesindo.

Negoro. (2003). Encyklopedia Matematika. Jakarta. PT. Ghalia Indonesia. Nasution, S. (1982). Didaktki Azas-azas Mengajar. Bandung: CV. Jemmars.

Rustiyah. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. PT. Rineka Cipta.

Ruseffendi, E.T. (1990). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini. Seri ke-6. Bandung: PT. Tarsito.

_________. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika. Bandung: PT. Tarsito.

_________. (1992). Pendidikan Matematika 3. Jakarta: Depdikbud

Slamento. (1995). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta. PT. Rineka Cipta.

Suparno, p. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jakarta. Kanisius Usman, U. (2006). Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung: