STUDI ANALISIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM MEMUTUS CERAI TALAK DALAM PERKARA NO.4403/PDT.G/2014/PA.SBY TENTANG BERANI KEPADA SUAMI.

STUDI ANALISIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM
MEMUTUS CERAI TALAK DALAM PERKARA
NO.4403/PDT.G/2014/
4403/PDT.G/2014/PA.SBY
SBY TENTANG BERANI KEPADA
SUAMI

SKRIPSI

OLEH
Ali Hamdan
NIM.C31212102

\

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
SURABAYA
2017


ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Studi Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim Memutus
Cerai Talak dalam Perkara No.4403/Pdt.G/2014/Pa.Sby Tentang Berani Kepada Suami”
adalah hasil penelitian yang menjawab : Bagaimana pertimbangan hakim dalam
memutus perkara cerai talak karena istri berani kepada suami dalam perkara Nomor :
4403/Pdt.G/2014/PA.Sby? Bagaimana Analisis Hukum Islam terhadap pertimbangan
hakim dalam memutus perkara cerai talak karena istri berani kepada suami dalam
perkara Nomor: 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby?
Data penelitian dihimpun dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui
pengumpulan data dengan teknik studi dokumen dan wawancara. Selanjutnya data yang
telah dihimpun dianalisis dengan metode deskriptif analitis, yakni metode dengan
menggambarkan dan memaparkan data yang telah terkumpul dengan pola pikir induktif.
Berdasarkan penelitian ini perceraian terbilang sangat banyak. Salah satunya
adalah perselisihan yang terjadi secara terus menerus yang tidak mungkin untuk
didamaikan. Dalam hal ini Perselisihan terjadi disebabkan karena istri tidak menjalankan
kewajibannya sebagaimana yang telah ditentukan kewajibanyya tersebut. antara lain,
meninggalkan rumah tanpa izin suami, tidak melayani suami sebagaimana yang
semestinya, tidak mau memasak, tidak mau melayani anak dan berani kepada suami,
dalam hal itu dapat dihukumi nusyuz. Terkait putusan 4403/Pdt.G/2014/Pa.Sby

merupakan contoh bagaimana Majelis Hakim memutus cerai. Melihat dasar
pertimbangan hukum yang dibuat oleh Majelis Hakim tidak sesuai dengan apa yang
tertera dalam Undang-undang maupun hukum Islam. Misalnya ada beberapa
pertimbangan Hakim dalam putusan tersebut yang tidak selaras dengan amar putusan
tersebut. Alasan dasar yang menjadi latar belakang diputuskannya cerai oleh majelis
hakim adalah istri berani kepada suaminya.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Hakim sudah selayaknya menyimpulkan
bahwa berani kepada suami dapat dijadikan sebagai kategori nusyuz. Bukti kuat
mengatakan bahwa berani dapat disamakan dengan nusyuz karena jelas istri tidak
menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya karena istri yang tidak menjalankan
kewajibannya dapat dihukumi nusyuz. Akan tetapi majelis hakim berpendapat lain yang
mana majelis hakim tersebut mendefinisikan bahwa arti nusyuz itu sebagai amoral. Di
dalam Kompilasi Hukum Islam nusyuz bisa dikatakan sebagai sikap tidak patuhnya istri
terhadap suami atau enggan memenuhi permintaan suami dan tidak menjalankan
kewajibannya sebagai istri.
Beberapa pertimbangan Hakim nampaknya perlu untuk diklarifikasi ulang
mengingat kompleksitas problematika dalam pernikahan sehingga dampaknya tidak
hanya dirasakan oleh salah satu pihak yang berakhir rumah tangganya, akan tetapi
berimbas pada anak-anak dan orang tuanya. Seharusnya Majelis Hakim lebih cermat dan
teliti dalam mempertimbangkan dan memutus suatu perkara karena menyangkut

kemaslahatan para pihak. Semoga perjalanan lika-liku hukum di Indonesia lebih solutif
dan memberikan keadilan bagi pencari keadilan.

v

DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM..............................................................................................

i

PERNYATAAN KEASLIAN.............................................................................

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................... iii
PENGESAHAN .................................................................................................. iv
ABSTRAK...........................................................................................................

v


KATA PENGANTAR........................................................................................

vi

PERSEMBAHAN............................................................................................... viii
MOTTO..............................................................................................................

x

DAFTAR ISI......................................................................................................

xi

DAFTAR TRANSLITERASI........................................................................... xiii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah....................................... 7

C. Rumusan Masalah............................................................... 8
D. Kajian Pustaka.................................................................... 9
E. Tujuan Penelitian............................................................... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian................................................. 11
G. Definisi Operasional........................................................... 11
H. Metode Penelitian............................................................... 12
I. Sistematika Pembahasan.................................................... 16

BAB II

PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Putusnya Perkawinan......... 18
B. Hak dan Kewajiban Suami Istri........................................... 25
C. Alasan-Alasan Perceraian..................................................... 28

xi

BAB III

PUTUSAN

PENGADILAN
AGAMA
SURABAYA
NO.
4403/PDT.G/2014/PA.
SBY
TENTANG
PERTIMBANGAN
HAKIM
MEMUTUS
CERAI
TALAK KARENA BERANI KEPADA SUAMI
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Surabaya................ 40
B. Deskripsi Perkara Dalam Putusan PA Surabaya...............

44

1. Duduk Perkara.............................................................. 44
2. Pertimbangan dan Dasar Hukum Hakim....................... 49
C. Dasar Pengambilan Keputusan oleh Hakim........................ 59

BAB IV

BERANI KEPADA SUAMI MENURUT HUKUM ISLAM
A. Analisis

Sikap

Berani

Kepada

Suami

Sebagai

Pertimbangan Hakim Memutus Cerai............................... 62
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hakim
Memutus

Cerai


Dalam

Perkara

Nomor

4403/Pdt.G/2014/Pa.Sby........................... ........................... 67
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................... 81
B. Saran..................................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BIODATA PENULIS

xii


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

1

Perkawinan juga merupakan

sunatulla>h yang umum berlaku pada semua mahluk tuhan, baik pada manusia,
hewan maupun tumbuh-tumbuhan.2 Hal itu ditegaskan dalam al-quran bahwa
Allah telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, hidup berjodohjodoh adalah naluri segala mahluk Allah Swt termasuk manusia, sebagaimana
firman-Nya dalam Surah Yasin: 36

             
Artinya: “Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan

semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (QS. Yasin. 36)3
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-Sunnah menuliskan bahwa
Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih Allah Swt sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah
1

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Tahun
1974 (Bandung: CV Nuansa Aulia, 2012), 76.
2
Sa’id bin Abdullah bin Thalib Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta:
Pustaka Amani, 2002),1.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’a>n al-kari>m dan Terjemahannya, (Bandung:
Corduba, 2012), 442.

3

1

2


masing-masing pasangan melakukan peranannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan Perkawinan.4 Allah SWT. berfirman dalam surah Arrum
21:
             
       
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”.5
Perkawinan merupakan jalan terbaik yang harus dilakukan oleh lakilaki maupun perempuan yang ingin memperoleh keturunan dengan jalan yang
diridai

oleh

Allah

Swt.

Perkawinan

dilaksanakan

dengan

tujuan

menentramkan dua hati yang berbeda yang saling memiliki rasa cinta dengan
satu ikatan suci sehingga tidak ada kemaksiatan terhadap Allah Swt dalam
bentuk apapun.
Persoalan yang berkaitan dengan Perkawinan di Indonesia telah diatur
dalam peraturan Perundang-undangan yang berlaku bagi warga Negara
Indonesia. aturan yang dimaksud adalah dalam bentuk Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam
bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Undang-undang ini
merupakan hukum materil Perkawinan, sedangkan hukum formilnya
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Sedangkan sebagai
4
5

Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid 6, (Bandung: PT. Alma’arif, 1990), 8.
Depag RI, Al-Quran Terjemahan Indonesia, (Jakarta: Al-Quranul Karim,, 1971) , 644.

3

aturan pelengkap yang menjadi pedoman bagi Hakim di lembaga Peradilan
Agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah di tetapkan
melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.6
Dilihat dari segi fungsinya, hukum Perkawinan Islam merupakan
bagian dari muamalah, karena ia mengatur hubungan antara sesama manusia.
Hukum Perkawinan dalam kepustakaan Hukum Islam disebut Fikih
munakahat yang ketentuan-ketentuan hukum Fikihnya mengatur nikah talak,
rujuk, serta persoalan hidup keluarga lainnya. Sedangkan perkataan
Perkawinan sendiri menurut ilmu Fikih, disebut dengan istilah nikah yang
mengandung dua arti, yaitu (1) menurut bahasa adalah berkumpul atau
bersetubuh (2) arti menurut hukum adalah akad atau perjanjian (suci) dengan
lafal tertentu antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup
bersama sebagai suami istri.7
Tujuan Perkawinan sendiri yaitu untuk menghalalkan hubungan suami
istri. tujuan yang lebih khusus dari adanya Perkawinan adalah memelihara
keturunan, memlihara gen manusia, untuk mendapatkan ketenangan jiwa,
serta yang paling utama adalah untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang
dianggap keji di hadapan Allah Swt yakni zina.8

6

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2009), 1.
Taufiqurrahman Syahuri, legislasi hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
media group), 68.
8
Abdul Aziz Muhammad Azzan, Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak, (Abdul Majid
Khon), (Jakarta: Amzah, 2011), 36.
7

4

Suatu Perkawinan pastinya terdapat hak-hak dan kewajiban suami
terhadap istri dalam keluarga selama akad nikah telah berlangsung dan
memenuhi syarat dan rukunnya. Perkawinan juga menimbulkan akibat hukum.
Dengan demikian, akad tersebut manimbulkan hak dan kewajiban selaku
suami dalam keluarga, yang meliputi: hak suami istri secara bersama, hak
suami atas istri, dan hak istri suami. termasuk di dalamnya adab suami
terhadap istrinya seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.9

ٍ ِ
ِ ‫ﻟَﻮُﻛْﻨ‬
َ‫ت اﻟْ َﻤ ْﺮأَةَ اَ ْن ﺗَ ْﺴ ُﺠ َﺪ ﻟَِﺰْوِﺟﻬﺎ‬
ُ ‫ﺖ آﻣًﺮ اَ َﺣ ًﺪا اَ ْن ﻳَ ْﺴ ُﺠ َﺪ ﻷ َﺣﺪﻷ ََﻣ ْﺮ‬
ُ ْ
Artinya: Andaikan aku menyuruh seseorang sujud kepada orang lain niscaya
aku perintahkan perempuan bersujud kepada suaminya.(1159)10
Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan bahwa kewajiban suami
istri secara rinci sebagai berikut.
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat.
b. Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberikan
nafkah lahir batin bagi suami serta sikap patuh dan taat dari seorang
istri.
c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak –
anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasman, rohani, maupun
kecerdasannya, serta pendidikan agamanya.
d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
e. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.11
a. Hak suami atas istri
Diantara hak suami terhadap istrinya, yang paling pokok adalah:
1. Ditaati dalam hal yang tidak maksiat
9

Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, Cetakan Ke 4 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014),
153.
10
Sunan al-Tirmidzi, No 1159, 206.
11
Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat..., 157.

5

2. Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami
3. Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan
suami
4. Tidak bermuka masam dihadapan suami
5. Tidak menunjukan keadaan yang tidak disenangi suami.12
b. Kewajiban suami terhadap istri
1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami-istri secara bersama.
2. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna bagi agama, nusa, dan
bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri
dan anak.
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf
a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana pada ayat (4) huruf a dan b .
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri
nusyuz.13
c. Kewajiaban istri terhadap suami
Diantara kewajiaban istri terhadap suami adalah sebagia berikut:
1. Taat kepada suami
2. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman
3. Mengatur rumah dengan baik
4. Menghormati keluarga suami
5. Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami.
6. Tidak mempersulit suami, dan selalu mendorong suami untuk maju.
7. Ridha dan syukur terhadap apa ynag diberikan suami.
8. Selalu berhemat dan suka menabung.
9. Selalu berhias, bersolek untuk atau dihadapan suami
10. Jangan selalu cemburu buta.
Kompilasi Hukum Islam terkait kewajiban istri terhadap suami
dijelaskan sebagai berikut:
12

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat Cetakan ke 4 (Jakarta: Prenada Media Group, 2012),
158-159.
13
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 88.

6

1. Kewajiaban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir batin kepada
suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga seharihari dengan sebaik-baiknya.
3. Istri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajibankewajiban, sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1), kecuali
dengan alasan-alasan yang sah.
4. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut
pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal untuk
kepentingan anaknya.
5. Kewajiban suami tersebut pada ayat ayat (2) diatas berlaku kembali
setelah istri tidak nusyuz
6. Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas
bukti yang sah.14
Seorang wanita mempunyai kewajiban untuk senantiasa taat kepada
suaminya, kecuali dalam hal kemaksiatan atau yang bertentangan dengan
syariat Islam, maka istri harus menolaknya. Salah satu ketaatan istri kepada
suami adalah tidak keluar rumah, kecuali dengan seizinnya.15
Jika dari hak-hak suami istri tersebut tidak berjalan dengan baik maka
akan mengakibatkan perceraian yang mana perceraian tersebut dapat
dikabulkan jika terdapat alasan yang sah. Menurut ketentuan pasal 39 tersebut
ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan. Alasan-alasan
tersebut ialah.
Dalam kitab Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 bahwa Perkawinan
dapat diputus karena:
14
15

Ibid., 163-164.
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2011), 206.

7

Dalam pasal 38 putusnya perkawinan karena:
a. Kematian
b. Perceraian
c. Atas keputusan pengadilan
Selain itu dalam pasal 39 dijelaskan bahwa:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
3. Tatacara perceraian didepan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.16
Selain dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 dalam Kompilasi
Hukum islam (KHI) juga dijelaskan tentang alasan percerain antara lain:
a. Salah satu pihak berbuat zina.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturutturut –tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alsan yang sah atau karena
hal lain diluar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah Perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau
istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.17
Berangkat dari hal tersebut, penulis ingin menganalisis kasus putusan
No 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby tentang gugatan cerai di PA Surabaya yang
dalam positanya menggunakan alasan sering terjadinya perselisihan dan
pertengkaran antara suami istri selama tiga bulan disebabkan termohon suka
ganti-ganti pacar, termohon berani kepada suami dan sering keluar rumah
16
17

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (PT. Rineka Cipta,1994), 116-117.

8

tanpa pamit suami dan suka menginap. Dalam hal ini, hakim PA Surabaya
berpedoman pada ketentuan pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan jo pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam tentang alasan
perceraian berupa perselisihan dan pertengkaran terus menerus.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Beberapa masalah telah dipaparkan dalam latar belakang maslah di
atas. oleh karena itu, dalam penelitian ini beberapa masalah di atas dapat di
identifikasi sebagai berikut:
1. Hikmah pernikahan yang tidak tercapai
2. Alasan-alasan hakim pengadilan agama Surabaya mengabulkan gugatan
cerai melalui putusan nomor: 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby
3. Akibat

dikabulkannya

permohonan

cerai

talak

nomor

4403/Pdt.G/2014/PA.Sby oleh pengadilan agama Surabaya.
4. Dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Surabaya memutus perkara
nomor 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby
5. Berani kepada suami sebagai pertimbangan hakim memutus cerai menurut
hukum Islam.
6. Alasan-alasan perceraian yang dapat mempengaruhi putusan hakim.
Untuk mempermudah dalam pembahasan, maka penelitian ini
dibatasi masalah sebagai berikut:

9

1. Pertimbangan hakim memutus perkara cerai talak karena istri berani
kepada suami dalam perkara Nomor : 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby
2. Analisis Hukum Islam terhadap pertimbangan hakim memutus perkara
cerai talak karena istri berani kepada suami dalam perkara Nomor:
4403/Pdt.G/2014/PA.Sby

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah pokok
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Apa pertimbangan hakim memutus perkara cerai talak karena istri berani
kepada suami dalam perkara Nomor : 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby
2. Bagaimana Analisis Hukum Islam terhadap pertimbangan hakim \memutus
perkara cerai talak karena istri berani kepada suami dalam perkara Nomor:
4403/Pdt.G/2014/PA.Sby

D. Kajian Pustaka
Penelitian tentang larangan nikah dengan berbagai aspek dan sudut
pandang yang berbeda-beda sudah dilakukan sebelumnya. Di antara judul
skripsi yang berkaitan dengan masalah penyebab terjadinya perceraian adalah:
1. Tatik Fitriyah dalam skripsinya yang berjudul “Penyelesaian Perceraian

Karena Alasan Syiqaq di Pengadilan Agama Wilayah Gerbang
Kertasusila” membahas tentang perceraian disebabkan syikak dengan
daerah penelitian khusus di wilayah gerbang kertasusila. Berdasarkan dari

10

penelitian di sini mayoritas penyebab perkara perceraian adalah shiqaq
dan yang diteliti adalah model penyelesaiannya18
2. M. Syaifuddin Zuhri dalam skripsinya yang berjudul “Perselisihan

Tempat Tinggal Sebagai Alasan Perceraian (Studi Terhadap Putusan di
PA Yogyakarta Tahun 2009)”. Bahwa dari suami maupun istri tidak
berkenan diajak tinggal bersama karena lebih pada faktor letak geografis
dan kultur budaya yang berbeda, istri tidak menghargai suami sebagai
seorang suami yang sah dan dalam faktor ekonomi suami yang tidak
bertanggung jawab.19
3. Abdul Malik dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap

Putusan Pengadilan Agama Gresik No. 0181/Pdt.G/2013/PA.Gs Tentang
Cerai Talak Karena Ada Pria Idaman Lain” membahas tentang istri tidak
mau ketika diajak bersetubuh dan selalu beralasan capek dan mempunyai
pria idaman lain.20
4. Muhammad Hamdan Asyrofi dalam skripsinya yang berjudul “Hak Dan

Kewajiban Suami Istri (Studi Pemikiran Sayyid Muhammad Bin Alawi
Al-Maliki dalam Kitab Adab al-Islam Fi Nizam al-Usrah)” membahas
tentang hak dan kewajiban suami yaitu untuk memberikah mahar,

18

Tatik Fitria, “Penyelesaian Perceraian Karena Alasan Syiqaq Di Pengadilan Agama Wilayah
Gerbang Kertasusila”,(Skripsi – IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2004).
19
M. Syaifuddin Zuhri, “Perselisihan Tempat Tinggal Sebagai Alasan Perceraian (Studi Terhadap
Putusan Di Pa Yogyakarta Tahun 2009)”. (Skripsi- UIN Sunan Kalijaga, 2011)
20
Abdul Malik, “Analisis Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Gresik No.
0181/Pdt.G/2013/PA.Gs Tentang Cerai Talak Karena Adanya Pria Idaman Lain”, (Skripsi – UIN
Sunan Ampel Surabaya, 2013)

11

nafkah, dan pendidikan sementara hak dan keajiban istri yaitu wajib taat
pada suami, mengatur rumah tangga.21
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang tersebut di atas maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim memutus perkara cerai talak
karena

istri

berani

kepada

suami

dalam

perkara

Nomor

:

4403/Pdt.G/2014/PA.Sby
2. Untuk memberikan pemahaman tentang hasil analisis Hukum Islam
terhadap perkara No. 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby

F. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat,
sekurang-kurangnya dalam dalam 2 (dua) hal di bawah ini :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan
memperkaya ilmu pengetahuan tentang motif berani kepada suami yang
bisa menjadi alasan perceraian.
2. Dalam tataran praktis, diharap supaya penelitian dapat dijadikan bahan
referensi atau pertimbangan bagi hakim, praktisi Hukum Islam. Hasil
penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan acuan atau literatur
bagi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum

21

UIN Sunan Ampel

Hamdan Asyrofi, “Hak Dan Kewajiban Suami Istri Studi Pemikiran Sayyid Muhammad Bin
Alawi Al-Maliki Dalam Kitab Adab al-Islam Fi Nizam al-Usrah”, (Skripsi – UIN Sunan Kalijaga,
2014).

12

Surabaya khususnya dan para pembaca pada umumnya di bidang
pernikahan atau perceraian.

G. Definisi Operasional
Skripsi ini berjudul “Studi Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim

Memutus Cerai Talak dalam Perkara No.4403/Pdt.G/2014/Pa.Sby Tentang
Berani Kepada Suami”. Adapun definisi yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah :
1. Berani kepada suami : Sikap beraninya istri kepada suami dengan
ditunjukkan melalui perbuatan nyata.
2. Cerai : Putusnya suatu perkawinan yang sah didepan hakim pengadilan
berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang.
3. Hukum Islam : Seperangkat peraturan yang bersumber dari al-Quran,
Hadis, pendapat para ulama’ Fikih

H. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah seperangkat pengetahuan tentang langkahlangkah yang sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan
dengan masalah tertentu yang diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan
selanjutnya dicari cara penyelesaiannya.22 Berdasarkan rumusan masalah dan
tujuan penelitian diatas maka pendekatan yang sangat relevan digunakan
dalam penelitian ini adalah qualitative research atau penelitian kualitatif.
22

Wardi bahtiar, Metodologi ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 2001),1.

13

Untuk

menghasilkan

penelitian

yang

baik,

kiranya

penulis

perlu

mengemukakan metode penelitian yang akan digunakan dalam ini, yang
dijabarkan sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
a. Data tentang alasan perceraian yang terdapat di dalam putusan
Pengadilan

Agama

Surabaya

dalam

perkara

No.

4403/Pdt.G/2014/PA.Sby.
b. Pertimbangan dan dasar hukum yang dipakai oleh hakim Pengadilan
Agama Surabaya dalam perkara No. 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby.
2. Sumber data
Adapun sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini
terdiri dari:
a. Sumber primer, yaitu sumber yang diperoleh penulis secara langsung,
dengan menggunakan alat pengukur atau alat pengambilan data
langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.23 Dalam
hal ini adalah berupa salinan putusan di Pengadilan Agama Surabaya
No. 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby, serta wawancara dengan Hakim yang
menangani perkara ini dan juga panitera yang terlibat didalamnya.
b. Sumber sekunder, yaitu sumber yang diperoleh dari bahan pustaka
yang telah ada atau data tersebut sudah tersedia yang berfungsi untuk
melengkapi sumber data primer. 24 Data informasi yang dimaksud
berupa dokumen tertulis seperti buku-buku, majalah, peraturan
23
24

Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, Cet. IV, 2003), 91.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta: UI-PRESS. Cet. III, 2008), 101

14

perundang-undangan, jurnal serta artikel terkait. Data sekunder yang
dimaksud sebagai berikut sebagai berikut:
-

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

-

Kompilasi Hukum Islam karangan Abdul Rahman.

-

Fiqh Munakahat karangan Abdul Rahman Ghozali.

-

Hukum

Perkawinan

Islam

di

Indonesia

karangan

Amir

Syarifuddin.\
-

Fiqih Lima Mazhab karangan Muhammad Jawad Mughniyah

-

Fikih Keluarga karangan Syaikh Hasan Ayyub.

-

Sumber-sumber lain yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data
a. Interview
Percakapan yang dilakukan oleh antara responden dan
koresponden untuk memperoleh informasi dengan pola tanya jawab
yang sudah terstruktur.

25

Dalam hal ini penulis mengadakan

wawancara dan tanya jawab dengan Hakim Pengadilan Agama
Surabaya tentang mengapa memutus cerai karena istri berani kepada
suami.
b. Studi Dokumen
Suatu kegiatan mengumpulkan dan memeriksa informasi atau
keterangan yang berhubungan dengan bahasan penelitian. 26 Penulis

25
26

Suharsimi, Prosedur Penelitian (Jakarta: PT. Adi Mahastya, 2002), 132.
Syamsuddin, Operasional Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Grafindo persada, 2007), 101

15

menggunakan studi dokumen untuk menelaah teks putusan hakim
Nomor 4403/Pdt.G/2014/PA. Sby.
4. Teknik pengolahan data
Teknik pengolahan data meliputi kegiatan sebagai berikut:27
a. Editing
Pengecekan atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan.
Teknik ini digunakan untuk memeriksa kelengkapan yang sudah
penulis

dapatkan

melalui

teks

keputusan

Nomor:

4403/Pdt.G/2014/PA. Sby. Tentang cerai talak di Pengadilan Agama
Surabaya.
b. Organizing
Penyusunan kembali data-data yang telah didapatkan dalam
penelitian yang diperlukan dalam kerangka paparan yang sudah
direncanakan dangan rumusan masalah secara sistematis. 28 Penulis
melakukan pengelompokan data yang dibutuhkan untuk analisis dan
menyusun data-data tersebut dengan sistematis untuk memudahkan
penulis menganalisis data.
5. Teknik analisis data
Teknik yang dipakai dalam analisis adalah dengan menggunakan
metode:

27

M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Gralia
Indonesia, 2002), 121.
28
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2013),
245.

16

a. Metode deskriptif analitis, yaitu teknik yang diawali dengan
menjelaskan dan menggambarkan secara sistematis semua fakta aktual
yang diketahui, kemudian dianalisis dan ditarik kesimpulan sehingga
dapat memberikan pemahaman yang konkrit tentang istri berani
kepada suami.
b. Teknik pola deduktif, yaitu pola berfikir yang diawali dengan
mengemukakan kenyataan yang bersifat khusus dari hasil riset
terhadap putusan PA Surabaya tentang berani kepada suami sebagai
alasan perceraian. Untuk selanjutnya dikemukakan teori-teori yang
bersifat umum yang berkaitan dengan perkara tersebut kemudian
ditarik sebuah kesimpulan.

I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penulisan dan pemahaman skripsi ini, maka
penulis perlu menyusun sistematika pembahasan agar penulis skripsi lebih
terarah dan menjadi suatu gambaran umum mengenai isi skripsi ini. skripsi ini
dibagi menjadi lima bab, yaitu:
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan

yang menguraikan latar

belakang masalah, rumusan masalah, identifikasi masalah, batasan masalah,
kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan peneltian, definisi operasional,
metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

17

Bab kedua, pada bab ini merupakan landasan teori. bab ini membahas
tentang putusnya Perkawinan. membahas perceraian dalam Islam meliputi
pengertian dan bentuk-bentuk putusnya perkawinan, alas an perceraian.
Bab ketiga tentang deskripsi dan penyajian data penelitian. bab ini
meliputi gambaran umum pengadilan agama Surabaya, deskripsi perkara
dalam putusan dan tentang pertimbangan dasar hukum Hakim PA Surabaya
dalam perkara Nomor: 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby.
Bab keempat tentang Analisis. Bab ini membahas tentang Analisis sikap
berani kepada suami sebagai pertimbangan Hakim memutus cerai dalam
perkara Nomor : 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby.
Bab kelima penutup. bab ini berisi kesimpulan dan saran.

18

BAB II
PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Putusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan adalah berakhirnya hubungan dan ikatan antara
suami istri. Putusnya perkawinan dalam Islam secara umum disebabkan oleh
empat hal, yakni:
1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah Swt melalui takdirnya, di
mana salah satu pasangan meninggal dunia.
2. Putusnya perkawinan karena kehendak suami dan adanya alasanalasan tertentu. Hal ini bisa disebut dengan talak.
3. Putusnya perkawinan karena kemauan dari seorang istri. Hal ini bisa
disebabkan oleh intervensi keluarga, keberatan sang istri dalam
menjalankan rumah tangga bersama suami atau alasan-alasan yang
dibenarkan oleh syarak. Cara ini biasa disebut dengan khulu’.
4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim. Sebagai pihak ketiga
yang melihat permasalahan antara istri dan suami yang membuat
suatu perkawinan tidak dapat dilanjutkan. Hal ini biasa disebut
dengan fasakh.1
Menurut Abdul Ghofur Anshori, dalam kehidupan rumah tangga
sering dijumpai (suami isteri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain
ataupun kepada keluarganya, akibat tidak terpenuhinya hak yang harus
1

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: KencanaPrenada Media
Group, 2006), 197.

1

19

diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau
karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan di
antara keduanya (suami isteri) tersebut. Tidak mustahil dari perselisihan itu
akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian).2
Pada prinsipnya, perkawinan itu dibangun untuk sebuah kebahagiaan
pasangan antara suami dan istri selama hidup berlangsung. Apabila salah satu
pihak tidak dapat melaksanakan kewajibannya masing-masing dengan baik
dan salah satu pihak tidak dapat menerimanya, dan tidak ada jalan lagi selain
bercerai, maka perceraian diperbolehkan.
Untuk memutuskan suatu hubungan perceraian harus terdapat sebabsebab yang memperbolehkannya untuk melakukan perceraian baik menurut
hukum Islam maupun menurut undang-undang. Dilarang bercerai tanpa alasan
dan tanpa sebab. Karena perkawinan merupakan suatu ikatan yang sakral dan
suci. Sebab-sebab putusnya perkawinan menurut hukum Islam antara lain:
1. Talak
Talak berasal dari kata bahsa arab “ithlaq” yang berarti
melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah Fikih berarti pelepasan
ikatan perkawinan yaitu perceraian anatara suami istri.

3

Dalam

mengemukakan arti talak secara terminologis, ulama mengemukakan
rumusan yang berbeda, namun esensinya sama, yakni melepaskan

2

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan Hukum Positif),
(Yogyakarta: UII Press, 2011), 233.
3
Baqir Al Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung: Mizan, 2002), 181.

20

hubungan

pernikahan

dengan

menggunakan

lafal

talak

dan

sejenisnya.4Sedangkan menurut istilah syarak, talak yaitu:

‫َﺣ ﱡﻞ َرﺑِﻄَِﺔ اﻟﱠﺰ َو ِاج َوا ْ ﺎَءُ اﻟْﻌﻼَ ﻗَِﺔ اَﻟﱠﺰ ْوِﺟﻴَ ِﺔ‬
Artinya: Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri
Hak menjatuhkan talak dalam Islam berada di tangan suami,
akan tetapi dalam menjatuhkan talak, suami tidak boleh sewenangwenang. Hal ini dikarenakan suami pernah melakukan janji untuk hidup
bersama dengan seorang perempuan untuk melalui masa yang lama,
akan tetapi secara tiba-tiba ingin meninggalkan dan menceraikan
perempuan tersebut tanpa adanya alasan yang jelas.
Wanita yang ditalak, menurut kesepakatan para ulama mazhab,
disyaratkan harus seorang istri. Sementara itu, mazhab Imamiyah
memberi syarat khusus bagi sahnya talak terhadap wanita yang telah
dicampuri, serta bukan wanita yang telah mengalami menopose dan
tidak pula sedang hamil, hendaknya dia dalam keadaan suci (tidak haid
dan tidak pernah dicampuri pada masa sucinya itu antara dua haid).
Kalau wanita tersebut ditalak dalam keadaan haid, nifas, atau pernah
dicampuri pada sucinya, maka talaknya tidak sah.5
Oleh sebab itu, suami tidak boleh menjatuhkan talak apabila istri
sedang dalam keadaan haid. Dalam menjatuhkan talak suami harus
menunngu istri dalam keadaan suci terlebih dahulu. Jadi talak

4
5

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam...., 105-106.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2013), 444.

21

melepaskan ikatan atau bisa juga disebut dengan mengurangi atau
melepaskan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah
ditentukan.
Menurut pasal 117 dalam Kompilasi Hukum Islam, talak adalah
ikrar suami di hadapan sidang PengadilanAgama yang menjadi salah
satu sebab putusnya perkawinan, dengancara sebagaimana dimaksud
dalam pasal 129, 130, dan 131.6
2. Fasakh
Fasakh berasal dari bahasa arab dari kata fa-sa-kha yang secara
etimologi berarti membatalkan. Bila dihubungkan kata ini dengan
perkawinan berarti membatalkan perkawinan atau merusak perkawinan.
Dalam arti terminologis ditemukan beberapa rumusan yang hampir
bersamaan maksudnya, diantaranya yang terdapat dalam KBBI,7yakni
pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan
tuntutan istri maupun suami yang dapat dibenarkan oleh Pengadilan
Agama karena pernikahan yang telah terlanjur dan menyalahi aturan
hukum sebuah pernikahan.
Fasakh dapat juga diartikan “mencabut” atau “menghapus” yang
maksudnya ialah perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal
yang dianggap berat oleh suami atau istri ataupun keduanya sehingga

6
7

Kompilasi Hukum Islam, 35.
Amir Syarifuddin, HukumPerkawinan Islam di Indonesia..., 242.

22

mereka tidak sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami-istri dalam
mencaai tujuan rumah tangga.8
Memfasakhkan nikah diperbolehkan apabila salah seorang suami
ataupun istri cacat pada badannya, keduanya boleh memilih bercerai
atau meneruskan pernikahannnya. Kecacatan itu diantaranya yaitu.
1. Karena ada balak (penyakit belang kulit)
2. Karena gila
3. Karena canggu (penyakit kusta)
4. Karena ada penyakit menular, umpamanya sipilis, TBC, dan
lain-lain
5. Tumbuhnya

daging

pada

kemaluan

perempuan

yang

menghambat maksud perkawinan (jima’)
6. ‘Unnah atau mati zakar, impoten (tidak hidup untuk jima’)
karena tidak dapat mencapai apa yang dimaksud dalam
pernikahan.

Fasakh itu boleh dilakukan apabila ada sebab-sebab syar’i yang
mungkin merugikan pihak perempuan, di antaranya:
1. Pernikahan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan
jodohnya, seperti bukan dengan orang yang merdeka, atau orang
pezina dengan orang yang masih terpelihara.
2. Suami yang tidak mau memulangkan istrinya dan tidak pula
menafkahinya, sedangkan istri tidak rela.9
8

Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 105.

23

Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak
disuruh dan tidak pula dilarang, karena hukumnya sesuai dengan
keadaan dan bentuk tertentu itu.10 Dasar hukumnya sesuai dengan hadis
Rasulullah Saw.

‫ﻋﻦ ﲨﻴﻞ ﺑﻦ زﻳﺪ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺗﺰوج إﻣﺮأة ﻣﻦ ﺑﲏ ﻏﻔﺎر ﻓﻠﻤﺎ دﺧﻞ‬
‫ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻓﻮﺿﻊ ﺛﻮﺑﻪ وﻗﻌﺪ ﻋﻠﻰ اﻓﺮاش أﺑﺼﺮ ﺑﻜﺸﺠﻬﺎ ﺑﻴﺎظ ﻓﻨﺤﺎ ز ﻋﻦ اﻟﻔﺮاش ﰒ ﻗﺎل ﺧﺬى ﻋﻠﻴﻚ ﺛﻴﺎ‬
(‫ )رواﻩ أﲪﺪ‬.‫ﺑﻚ وﱂ ﻳﺄ ﺧﺬ ﳑﺎ أﺗﺎ ﻫﺎ ﺷﻴﺌﺎ‬
Artinya: “Dari Jamil bin Zaid bin Ka’ab r.a bahwasannya rasulullah
Saw pernah menikahi seorang perempuan bani ghafar, maka tatkala ia
akan bersetubuh dan perempuan itu telah yang meletakkan kainnya,
dan ia duduk diatas pelaminan, kelihatannya putih (balak)
dilambungnya lalu ia berpaling (pergi dari pelaminan itu) seraya
berkata, ambillah kain engkau, tutupilah badan engkau, dan beliau telah
mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu”
(HR. Ahmad).11
3. Khulu’
Pengertian khulu’ menurut bahasa, kata khulu’ dibaca dhammah
huruf kha yang bertitik dan sukun lam dari kata khila’ dengan dibaca
fathah artinya naza’ (mencabut). Sedangkan menurut syarak adalah
sebagaimana yang dikemukakan As-Syarbini dan Al-Khatib adalah
pemisah antara suami istri dengan pengganti yang dimaksud (iwadh)
yang kembali ke arah suami dengan lafal talak atau khulu’.12

9

Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi’i Buku 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2007),
388-392.
10
Amir Syarifuddin, HukumPerkawinan Islam..., 244.
11
Malik, Muwattha, Malik, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1974), 298.
12
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta:
Amzah, 2011), 297.

24

Sedangkan

dalam

bukunya

Muhammad

Jawad

Mughniyah,13 khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri
untuk menebus dirinya dari ikatan suaminya. Sedangkan menurut
istilah khulu’ berarti talak yang diucapkan oleh istri dengan
mengembalikan mahar yang pernah dibayarkan oleh suaminya. Artinya,
tebusan itu dibayarkan oleh seorang istri kepada suaminya yang
dibencinya, agar suaminya itu dapat menceraikannya.
Jika seorang wanita membenci suaminya karena keburukan
akhlaknya, ketaatannya terhadap agama, atau karena kesombongan
atau karena yang lain-lain dan ia sendiri khawatir tidak dapat
menunaikan hak-hak Allah Swt, Maka diperbolehkan baginya
mengkhuluk dengan cara memberikan ganti berupa tebusan untuk
menebus dirinya dari suaminya.14 Hal itu didasarkan pada firman Allah
Swt, dalam surah al-Baqarah 229:
             
              

               
      
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa
13

Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab..., 456.
Syaikh Hassan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2011), 355.

14

25

keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya itulah hukum-hukum Allah, Maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukumhukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Qs. Al-Baqarah:
229).15
Pada dasarnya hukum khulu’ itu adalah boleh, tetapi makruh
seperti talak karena adanya pemutusan talak yang diperintahkan syarak.

Khulu’ diperbolehkan jika ada sebab yang menuntut, seperti suami
cacat fisik atau cacat sedikit pada fisik atau suami tidak dapat
melaksanakan hak istri atau wanita khawatir tidak dapat melaksanakan
kewajiban hukum-hukum Allah Swt. Jika tidak ada sebab yang
menuntut khuluk maka terlarang hukumnya sebagaimana hadis di
bawah ini:

‫اﺣﻢ ﺑﻦ ذوادﺑﻨﻌﻠﺒﺔ اﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﻟﻴﺚ ﻋﻦ اﰊ اﳋﻄّﺐ زرﻋﺔ ﻋﻦ اﰊ إدرﻳﺲ ﻋﻦ‬
ُ ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻮ ﻛﺮﻳﺐ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺰ‬
ِ
ِ
.‫ﺎت‬
ُ ‫ﺎت ُﻫ ﱠﻦ اﻟْ ُﻤﻨَﺎﻓ َﻘ‬
ُ ‫ ﻗﺎَ َل اﻟْ ُﻤ ْﺨﺘَﻠ َﻌ‬.‫م‬.‫ﺳﻮﺑﺎن ﻋ ِﻦ اﻟﻨﱯ ص‬

Artinya: “Wanita yang khuluk adalah wanita munafik. Para ulama
menghukumi makruh”.16
B. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Dengan tujuan untuk mengurangi terjadinya perselisihan yang
berkelanjutan maka perlu adanya pembagian hak dan kewajiban suami istri,
antara lain:
1.

Hak dan kewajiban suami istri menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974

15
16

Depag RI, Al-Quran Terjemahan Indonesia, ( jakarta: Sari Agung, 2002), 65.
Sunan al-Tirmidzi, no 1186, 211.

26

Pasal 30
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat
Pasal 31
1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Pasal 32
1. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami istri bersama.
Pasal 33
Suami istri wajib saling mencintai hormat-menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.17
2. Hak dan kewajiban suami istri menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI)
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat.
b. Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan
memberikan nafkah lahir batin bagi suami serta sikap patuh dan
taat dari seorang istri.
c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasman, rohani,
maupun kecerdasannya, serta pendidikan agamanya.
d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
e. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing
dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.18

17
18

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat..., 157.

27

Kewajiban suami terhadap istri
1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya,
akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang pentingpenting diputuskan oleh suami-istri secara bersama.
2. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna bagi
agama, nusa, dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan
bagi istri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4)
huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna
dari istrinya.
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap
dirinya sebagaimana pada ayat (4) huruf a dan b .
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila
istri nusyuz.19
Kewajiban istri terhadap suami dijelaskan sebagai berikut:
1. Kewajiaban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir batin
kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum
Islam.
2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga
sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
3. Istri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajibankewajiban, sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1),
kecuali dengan alasan-alasan yang sah.
4. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya
tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali
hal untuk kepentingan anaknya.
5. Kewajiban suami tersebut pada ayat ayat (2) diatas berlaku
kembali setelah istri tidak nusyuz.
6. Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus
didasarkan atas bukti yang sah.20

19
20

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 88.
Ibid., 163-164.

28

C. Alasan-Alasan Perceraian
Alasan-alasan perceraian dalam Islam dapat digolongkan pada tiga hal
berikut :
1.

Nusyuz Istri
Arti kata nusyuz ialah membangkang. Menurut Slamet Abidin
dan H. Aminuddin, nusyuz berarti durhaka. Maksudnya, seorang istri
melakukan suatu perbuatan yang menentang suami tanpa adanya alasan
yang dapat diterima oleh syarak 21 Adapun secara terminologi ialah
pembangkangan seorang wanita terhadap suaminya dalam hal-hal yang
diwajibkan oleh Allah untuk ditaatinya. Seakan-akan wanita itu merasa
tinggi, bahkan lebih tinggi daripada suaminya.22
Ahmad Warson Al-munawir dalam kamusnya memberi arti

nusyuz dengan tempat yang tinggi. Dan jika konteksnya dikaitkan
dengan hubungan suami istri maka ia mengartikan sebagai kedurhakaan,
penentangan istri terhadap suami.23
Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah: “mengetahui dan meyakini
bahwa istri itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan Allah dari
pada taat pada suami”.24
Al-Nawawi, salah seorang ulama pengikut madzhab Shafi’i,
menjelaskan

21

bahwa

nusyuz

isteri

ialah

ketika

seorang

isteri

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih MunakahatJakarta: Raja Grafindo, (Persada, 2014), 185.
Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawinan Idaman, (Jakarta: Qisthi Press, 2010), 359.
23
Achmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (yogyakarta: pustaka progresif, ed. II,
2002), 1419
24
Abu Adillah bin Muhammad al-Qurthubi, Jami’al-ahkami Qur’an, (Beirut: Dar Al-Fikr), 150.
22

29

meninggalkan suaminya tanpa seizin suami tersebut. Artinya, seorang
isteri dapat dikatakan telah berbuat nusyuz jika ia pergi meninggalkan
suaminya tanpa izin dari suaminya.25
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud nusyuz
adalah wanita keluar dari rumah suaminya tanpa ada alasan yang benar.
Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa nusyuz adalah keluarnya wanita dari ketaatan yang wajib kepada
suami.26
Dalam bahasan tentang kewajiban istri terhadap suami telah
dijelaskan beberapa hal yang harus dilakukan istri terhadap suaminya,
seperti berkata yang lemah lembut dan tidak mengeras di hadapan suami,
dan juga melaksanakan apa yang disuruh suami dan meninggalkan apa
yang dicegah oleh suaminya, selama yang demikian tidak