Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dinamika Eksistensi Lesbian Proses Penerimaan Diri, Pemenuhan HAM, dan Eksistensi Diri T2 092012001 BAB VI

BAB Enam

REFLEKSI , DI NAM IKA DAN PERGERAKAN

Pada bab ini, penulis ingin membangun kerangka untuk lebih
menjelaskan bagaimana proses penerimaan diri dan eksistensi diri
terbangun. Baik eksistensi diri pribadi, eksistensi diri di komunitas dan
eksistensi diri di masyarakat. Kemudian menjelaskan bagaimana
seorang lesbian membangun eksistensi diri di kounitas dan masyarakat.
Dengan dialektika yang utuh pada seorang lesbian dan lingkungannya
akan tergambar pada kerangka dibawah ini

115

Seperti yang tergambar pada pembahasan diatas, bahwa
penerimaan diri, eksistensi diri, eksistensi diri di komunitas dan
eksistensi diri di masyarakat adalah sebuah rangkaian yang tidak dapat
terpisahkan satu sama lain. Proses menuju eksistensi diri di masyarakat
membutuhkan proses panjang, bukan hanya eksistensi diri saja,
melainkan proses kesadaran dan keputusan kritis yang menghasilkan
sebuah analisis sosial dan refleksi untuk membantu menempatkan diri

pada lingkungan sosial. Proses yang tidak sederhana, karena
mendeskonstruksi nilai dimasyarakat yang berkembang mengenai
lesbian adalah sebuah hal yang membutuhkan usaha yang cukup keras.
M engingat pemahaman dan penilaian yang ada di masyarakat
mengenai lesbian yang tidak normal, menyimpang, salah dan dosa
sudah menjadi sebuah budaya turunan.
Pembahasan pada bab Tiga mengenai penerimaan dan
eksistensi diri seorang lesbian, membutuhkan kesadaran pada diri
untuk mengetahui benar modal yang telah dimilikinya. Banyak hal
yang ada dan melatar belakangi diri, seperti keluarga, agama, budaya,
pendidikan, pengetahuan, pribadi, jejaring, ekonomi, sosial dan hal
lain. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam diri untuk berkesadaran
atas diri, sehingga diri mampu memulai proses dalam kehidupannya.
M odal yang dimiliki tersebut akan menghadirkan kesadaran subyektif
seorang diri. Atau bahkan bisa juga menimbulkan situasi-situasi
problematik di dalam diri. Dua hal yang mungkin terjadi didalam diri
ketika mulai berpikir atas modal yang dimiliki seorang diri. Persosalan
tersebut sangat terkait dengan orientasi seksual lesbian, atau untuk
heteroseksual yang memutuskan tidak menikah tetap akan ada
persoalan di dalam diri maupun di lingkungannya. Persoalan tersebut

adalah seperti persoalan di dalam diri, pergolakan batin, persoalan
dalam keluarga, persoalan dalam relasi berpasangan, dan bisa juga
persoalan dalam komunitasnya.
Kesadaran subyektif yang ada pada diri seorang lesbian dan
heteroseksual yang memutuskan tidak menikah serta situasi
problematik yang ada dalam kehidupan atas pilihan mereka, ketika
116

diolah dengan sangat baik dengan penuh kesadaran akan menghasilkan
keputusan kritis dalam diri. Proses kesadadaran dan keputusan kritis
tersebut akan menjadi sebuah dasar bagi proses pencapaian eksistensi
diri. Namun ada dua hal yang tergambar berbeda, proses dari kesadaran
dan keputusan kritis dapat mendorong pencapaian eksistensi diri, tanpa
diri mampu menerima dan memahami dirinya secara utuh. Atau
kesadaran serta keputusan kritis tersebut membawa pada proses
penerimaan diri dan kemudian menuju pada proses pencapaian
eksistensi diri. Satu hal yang terpenting dalam rangkaian proses
penerimaan dan eksitensi diri adalah refleksi. Refleksi mengajak
individu untuk berkesadaran, sehingga mampu berkembang lebih baik
dan memperkuat modal diri untuk proses selanjutnya.

Pada proses penerimaan dan eksistensi diri, seorang mampu
melampaui tahapan dalam kehidupannya dengan kemampuan refleksi
diri sendiri. Namun ada juga individu yang membutuhkan bantuan dari
komunitas atau orang lain untuk mencapai penerimaan dan eksistensi
diri. Dalam proses ini, refleksi juga dibutuhan tidak hanya oleh
individu, tetapi juga komunitas. M emahami dan melebur tanpa batas
yang dilakukan komunitas untuk kelompok 1 heteroseksual maupun
kelompok 2 lesbian, menjadi sebuah gambaran bahwa proses saling
menghargai, menerima apa adanya dan saling membangun adalah
sebuah modal utama terbangunnya kepercayaan dan dorongan untuk
penerimaan dan eksistensi diri. Effort selalu mendorong bahwa setiap
manusia memiliki modal atau potensi di dalam dirinya untuk terus
berkembang dan menjadi manusia yang utuh, dan berkesadaran serta
bertindak atas dasar humanis.
Effort memahami seriap individu di dalam kelompok baik
heteroseksual maupun lesbian adalah individu yang memiliki potensi.
Setiap dari mereka memiliki keunikan masing-masing, proses dan
dinamika kehidupan masing-masing. Namun dalam kehidupan dan
dinamikanya setiap individu membutuhkan penguatan diri untuk
dapat melampaui problematika didalam diri dan lingkungan sekitarnya.

Dengan berbagai kegiatan di Effort seperti FGD reguler, pelatihan,
117

seminar, diskusi publik, informal meeting dan beberapa hal yang lain
dikembangkan untuk capacity building kelompok, akan membawa
kelompok pada pendidikan kritis, menyadari dan mengambil
keputusan secara kritis. Analisis sosial yang dikembangan dalam setiap
kegiatan Effort bersama dengan kelompok juga sangat membantu
kelompok dalam proses pencapaian kesadaran dan keputusan kritis.
M enjadikan setiap proses dalam kehidupan individu di
kelompok sebagai proses belajar bersama adalah salah satu bagian dari
membangun kepercayaan pada setiap diri baik kelompok heteroseksual
maupun lesbian. Tidak adanya penilaian, saling menghargai,
memotifasi, saling mengevaluasi, membangun kepercayaan dan
kedekatan akan sangat membantu setiap individu dalam proses
eksistensi diri di komunitas. Proses bersama untuk saling belajar,
bahwa setiap orang mampu menjadi dirinya, menjadi sumber belajar
bagi yang lain akan membantu menguatakan diri masing-masing.
Bahwa semua manusia adalah sama, apa yang ada di dalam diri
haruslah disadarai sebagai potensi untuk berkembang lebih baik.

Setiap proses yang dilakukan oleh Effort bersama dengan
dengan teman-teman di kelompok 1 maupun 2 juga memiliki sebuah
tujuan. Selain capacity building, analisis sosial, pendidikan kritis dan
menerima diri sendiri apa adanya serta kegiatan lain membantu setiap
individu mampu berstrategi dan beradaptasi serta masuk dalam
lingkungan sekitarnya. Proses menjadi Community organizer adalah
bangunan bagi anggota kelompok untuk berproses dalam
mentransformasikan apa yang di dapat dari Effort ke lingkungan yang
ada disekitarnya. Kegiatan bersama Effort dengan multi isu akan
membantu anggota kelompok memahami banyak hal, sehingga ketika
masuk dalam lingkungan, inividu akan mampu beradaptsi karena bekal
mereka sangat beragam. M ulai dari isu ekonomi, agama, budaya,
politik, lingkungan, sosial, kesehatan, dan lain sebagainya.
Satu hal penting bagi kelompok adalah proses belajar menjadi
seorang fasilitator. Dengan proses dan kemampuan sebagai fasilitator
akan banyak membantu dalam proses berinteraksi dengan lingkungan.
118

Dimana proses menjadi fasilitator membutuhkan kesadaran, paradigma
kritis, analisis sosial, dan kemampuan untuk mengkomunikasikan

dengan baik apa yang menjadi pesan dalam isu yang diangkat. Sehingga
proses tersebut sangat membantu anggota kelompok untuk mengatasi
atau membagi informasi dengan lingkungan sekitar tempat kerja,
keluarga, lingkungan sosial dan tempat lainnya. Rangkaian proses
tersebut akan membantu proses eksistensi diri di masyarakat.
Kemampuan dan potensi yang ada di dalam diri, serta keinginan untuk
terus belajar bersama komunitas akan terangkai dengan baik ketika
berada di lingkungan sekitarnya.

Implikasi Teori

Pada dasarnya merumuskan nilai dari eksistensi lebih sulit
dari pada ketika kita mendefinisikan eksistensi dalam bentuk kata-kata.
Filsafat eksistensi adalah proses pencarian yang akan terus berlangsung,
tidak akan pernah berhenti karena proses pencarian atas kebenaran
terus berkembang. Sebagaimana dan apapun maknanya, proses
pencarian harus tetap dilakukan untuk mencari dan menetapkan
wujud dari apa itu eksistensi manusia. M embicarakan nilai atau makna
dari sebuah pencarian akan proses kehidupan seseorang tidak pernah
akan berhenti. Tulisan ini adalah bagian kecil dari sebuah proses

perjalanan kehidupan seorang diri, dan pasti akan selalu mengalami
perkembangan dan dinamika sesuai dengan peradabannya.
Ada yang mengatakan bahwa eksistensialisme merupakan
usaha untuk menjadikan masalah menjadi konkret karena adanya
manusia dan dunia. Sedemikian rupa usaha itu sehingga tidak ada
masalah bagi manusia yang tidak dapat dipecahkan, jika tidak dalam
rangka pengertian manusia akan dirinya, maka eksistensialisme
berbicara tentang keberadaannya (M arzuki:2002:28). Fakta yang terjadi
sekarang ini adalah realitas yang konkrit, di mana setiap orang
memiliki prosesnya untuk mencoba mengerti dan memahami
keberadaanya di dunia ini, ditempat mereka berada, ditengah
kehidupan sesama dengan problematikanya masing-masing.
119

Bisa dikatakan bahwa penggambaran atau penjelasan yang
mungkin bisa dilekatkan dalam filsatat eksistensialisme yang mendasari
pemikiran penulis dalam menggambarkaan tentang proses pencapaian
seseorang di sini adalah berawal dari problematika yang ada pada
dirinya sendiri, yaitu tentang kebebasan dirinya dan menyadari keAda-annya. Bahwa diri sendiri yang akan menentukan pilihan dan
hidupnya, walaupun terkadang membutuhkan orang lain untuk proses

membangkitkan kesadaran dirinya.
Jika kita melihat bahwa banyak sekali konsep dan frame yang
dapat digunakan untuk mengkaji fenomena lesbian tidak hanya dengan
feminis radikal saja. Untuk mengetahui bagaimana dasar pemikiran
dalam proses penerimaan diri seorang lesbian, dan gambaran situasi
yang berkembang saat ini mengenai hak asasi lesbian dan proses
panjang eksistensi dirinya, akan kita coba untuk mengaitkannya
dengan teori feminis eksistensialis, feminis radikal dan liberal. Banyak
hal yang dapat kita lihat dalam fenomena lesbian. Dimana banyak nilai
yang harus di lihat, tidak hanya nilai material semata. Nilai yang ada
pada diri lesbian juga merupakan satu hal yang penting untuk
memahami bahwa lesbian juga adalah subyek bukan obyek atau yang
lain. Frame dan konsep yang dipakai juga dapat digunakan untuk
melihat bagaimana pergerakan yang terjadi pada perkembangan lesbian
dalam proses pencapaian eksistensi dirinya. Bagaimana pandangan
yang muncul pada lesbian sejak dahulu dan akhirnya melahirkan
banyak pemikiran dan gerakan untuk memperjuangkan lesbian sebagai
manusia yang hakiki.
M emasuki wilayah pilihan seseseorang tentang orientasi
seksualnya, ukuran yang pasti bagi masyarakat pada umumnya adalah

heteroseksual. Hal ini menunjukkan bahwa pilihan orientasi seksual
seseorangpun selalu mengacu pada pandangan secara umum. Oleh
karena itu, heteroseksual kemudian mempertanyakan sesuatu yang
dianggap tidak semestinya berorientasi seksual
berbeda dari
heteroseksual.
Akibatnya,
lesbian
atau
homosekeksual
mempertanyakan tentang pilihannya yang harusnya dihargai oleh
120

orang lain. Lesbian juga memiliki nilai atas dirinya, dengan modal dan
potensi yang dimiliki bersama atau tanpa komunitas, lesbian memiliki
kesadaran kritis dan menerapkannya dalam kehidupan. Kesadaran dan
keputusan kritis yang dimilikinya menghadirkan bahwa dirinya adalah
subyek. Dan yang harus diketahui saat ini adalah bahwa gender tidak
hanya biner saja, laki-laki dan perempuan, melainkan kita harus
terbuka bahwa ada gender non biner, diantara laki-laki dan

perempuan. Keberagaman gender dan orientasi seksual yang ada dalam
kehidupan yang harus dihargai.
Ada banyak keunikan yang dapat kita lihat, ketika kita mau
memahami lesbian sebagai manusia seutuhnya. Bahwa setiap orang
memiliki cerita kehidupannya masing-masing, baik lesbian
(homoseksual) maupun heteroseksual. Semua berproses, berpikir,
memiliki ideologinya masing-masing dan mengambil sebuah keputusan
akan pilihannya serta memahami benar resiko atas pilihannya.
Bertanggung jawab atas segala keputusan dan pilihannya adalah
sesuatu yang pasti tidak bisa ditawar. Fakta yang ada bagi siapapun,
lesbian atau heteroseksual adalah sebuah persoalan yang penting untuk
menunjukkan wujud dirinya sebagai manusia. Tidak ada satupun
manusia yang bisa lepas dari persoalan realitas, keterwujudan. Proses
memahami dan menjalani segala faktisitasnya manusia, merupakan
sebuah upaya pencapaian kebebasan atau kedaulatan diri. Bahwa
kebebebasan adalah sebuah persoalan aktual yang akan muncul sesuai
dengan peradabannya.
Ketika kebebasan atau kedaulatan diri untuk sebuah
eksistensi terancam karena persoalan-persoalan pemahaman yang
mendasari orang lain untuk bertindak, maka yang muncul adalah

mempertanyakan kembali makna dari kebebebasan diri atau eksistensi
diri. M isalnya saja dengan banyaknya argumentasi dan pemahaman
yang masih lekat dengan budaya patriakti, maka akan terus
berkembang proses mempertanyakan diri bagi seorang perempuan
tentang status sosialnya. Berbeda atau samakah antara manusia satu
dengan yang lainnya? Tradisi agama yang menjunjung tinggi nilai
121

kesamaan yang sampai saat ini masih diperjuangkan bersama oleh
agama-agama adalah tentang keadilan sosial, demokrasi, kebebasan
perorangan dan kebebasan berpikir. Adakah itu yang dirasakan oleh
lesbian atau kaum manapun yang tertindas dan termarginalisasikan.
Namun kita tidak dapat menyalahkan sepenuhnya pola pikir
yang belum terbuka pada lesbian karena itu adalah bagian dari sebuah
upaya yang harus terus diperjuangkan untuk memahamkan masyarakat
bahwa lesbian ada, dan dirinya “ada” bukan untuk ditiadakan. Orang
dengan berbagai latar belakangnya seperti budaya, konstruksi sosial
masyarakat, sejarah, ajaran agama adalah faktor yang membentuk pola
pikirnya dalam menjalani bahkan memahami sesuatu. Pengaruhpengaruh itu tetap masih ada dalam diri mereka, hanya saja perlunya
mereka memahami bahwa peradaban kini telah berkembang, mereka
harus bersikap legowo atau menerima sebuah fakta yang ada pada
setiap peradabannya. Latar belakang tersebut sangat berperan dalam
membentuk cara pandang dan bagaimana orang tersebut merespon
serta menanggapi apapun perbedaan yang sebebarnya adalah sebuah
keniscayaan termasuk, bagaimana memandang lesbian.
Teori yang disampaikan oleh Simone de Beauvoir adalah
eksistensialis untuk perempuan, menyatakan bahwa semula kaum lakilaki menganggap dirinya sebagai the self dan perempuan sebagai the
other. Apabila keberadaan the other (objek) mengancam keberadaan
the self (subjek), maka dianggap perempuan mengancam kedudukan
laki-laki. Dalam pandangan ini, objeklah yang tau dan mengalami
ketertindasan. Keberadaan objek selalu dialienasi dari kebanyakan
subjek, padahal justru objek yang tau adanya alienasi (Beauvoir,
1989:132). Perempuan dianggap sebagai obyek, oleh karena itu
perempuan harus menunjukkan dan menyadari tentang keberadaanya
di tengah kehidupan ini. Sehingga perempuan dan laki-laki
ditempatkan sama sebagai subyek.
Ketika perempuan yang hidup pada zaman dan abad kuno
atau modern tidak pernah menyadari dirinya “ada” maka yang terjadi
adalah pelanggengan diri sebagai obyek dan tidak menyadari tentang
122

eksistensi dirinya yang ditutupi oleh berbagai mitos-mitos yang
dipercayai oleh masyarakat. Dan ketika mitos-mitos tersebut sama
sekali tidak disadari sebagai bentukan masyarakat, maka perempuan
akan terus menjadi obyek. Perempuan harus menyadari bahwa dirinya
dan laki-laki adalah sama sebagai subyek atau penentu kehidupan
mereka, atas diri mereka sendiri.
Feminis eksistensialisme melihat adanya budaya patriakri
yang terus berkembang dan semakin melekat pada diri laki-laki untuk
selalu mendominasi perempuan. Pemahaman yang selalu muncul
bahwa laki-laki dan perempuan berbeda, laki-laki memiliki kuasa dan
perempuan adalah yang dikuasi menjadi dasar bagaimana pergerakan
lesbian dan individu lesbian mencoba mendekonstruksi ulang makna
dari eksistensialisme. Ketika Simone de Beauvoir dalam
pembahasannya mengenai perempuan masih dianggap sebagai second
sex, dan lesbian disini menjadi third sex, maka hal-hal itu sangat
berpengaruh dan berbanding terbalik dengan proses penerimaan diri
seorang lesbian.
Selalu yang muncul dibanyak pembahasan adalah mengenai
hubungan seksual antar manusia yang difungsikan sebagai pemenuhan
akan kebutuhan hidup. Namun hal itu juga boleh menjadi kritik ketika
hubungan seksual haruslah disadari sebagai penipuan diri. Hanya saja
kita harus melihat bagaimana yang bisa dinggap sebagai penipuan atas
diri. Hal ini bisa dijelaskan bahwa penipuan diri adalah ketika
hubungan seksual akhirnya membuat jenis kelamin satu ingin
menguasai jenis kelamin lainnya. Bukankah dengan begini akhirnya
tubuh menjadi obyek atas dominasi? Dapat kita lihat dominasi mana
yang berkembang. Kritik yang berkembang saat ini bukan hanya
dominasi laki-laki terhadap perempuan, tetapi juga dominasi
perempuan kepada perempuan atau laki-laki pada laki-laki dan
dominasi perempuan terhadap laki-laki.
Ketika tubuh tetap dibiarkan menjadi obyek dan bukan
sebagai kedaulatan diri, maka eksistensi diri sepenuhnya diserahkan
kepada orang lain. Ini bukan berarti ditujukan pada semua hubungan
123

seksual. Namun hubungan yang melahirkan dominasi subyek kepada
obyek. Akan menjadi lain jika hubungan itu dilakukan atas
pemahaman sesama manusia yang menempatkan kedua-dunya sebagai
subyek.
Dalam proses penerimaan diri seorang lesbian membutuhkan
proses panjang. Satu hal yang tidak mudah, bahwa proses itu adalah
proses berat yang harus dijalani. M enyadari dirinya dengan apa adanya
dirinya dan berkembang dengan kemampuan dirinya adalah sebuah
wujud perlawanan untuk merebut ruang independensi diri yang tidak
nampak dalam pemahaman tentang konsep second sex maupun third
sex. Ketika lesbian dan perempuan selalu dipandang sebagai obyek dan
bukan self, harus dipahami bahwa hal ini menghambat proses
penerimaan diri seorang lesbian. Dari pandangan mengenai perempuan
sebagai obyek menjadi dasar bagi perempuan dan lesbian untuk terus
bergerak, berproses dan bergumul dengan berbagai realitas untuk
mencari makna kehidupannya sebagai yang “ada”.
Dengan adanya pelanggengan budaya patriarki, bahwa lakilaki memiliki kuasa atas perempuan, ataupun dominasi maskulin yang
memiliki kuasa atas feminine yang lemah seperti inilah yang akhirnya
meniadakan eksistensi diri seseorang. Ketika lembaga agama, dan
Negara berparadigma kuasa atas orientasi seksual seseorang termasuk
lesbian, maka eksistensi dan nilai dirinya akan terus ditekan bahkan
ditiadakan.
Feminis eksistensialis dan feminis radikal adalah frame dasar
untuk melihat upaya-upaya yang selama ini terus dilakukan oleh kaum
marginal dan kaum tertindas. Ketertindasan atas kuasa dan dominasi
konstruksi yang berkembang dimasyarakat tentang lesbian. Feminis
radikal juga menjadi dasar bagi perjuangan gerakan lesbian maupun
individu lesbian untuk menyuarakan bahwa orientasi seksual dan
pilihan hidup merupakan hak asasi yang harus dijunjung tinggi.
Bahwa perempuan dan lesbian juga harus mampu mandiri untuk
berpolitik terhadap orinetasi seksual, tubuh dan seksualitasnya. Ini
adalah hak asasi manusia dan haruslah tetap dihargai dan dihormati.
124

Dan Negara wajib menjamin hak siapapun warga negaranya atas
keputusan atau pilihan hidupnya.
Feminis radikal memberi sebuah frame bagi penulis untuk
melihat bagaimana hak individu lesbian tidak dapat tercapai. Karena
Negara dan banyak pihak selalu memberikan tekanan dan perlakukan
yang diskriminatif terhadap lesbian. Kedua teori feminis tersebut dapat
menjadi modal dasar untuk sebuah pemikiran dan tindakan untuk
berproses dalam upaya mencapai penerimaan diri, hak asasi manusia
dan eksistensi diri. Dan dengan feminis liberal kita dapat melihat
bagaimana perjuangan individu lesbian maupun gerakan perjuangan
lesbian bergerak demi pemenuhan atas hak lesbian. Bahkan kebijakan
dan advokasi hukum bagi kaum lesbian.
Semakin banyak tekanan, diskriminasi dan penolakan dialami
oleh kaum lesbian, maka akan semakin terbentuk banyak cara dan
strategi-strategi yang dimunculkan untuk membentuk satu kesolidan
dan perjuangan bersama untuk setara dengan heterosesksual. Sampai
tidak ada lagi diskriminasi dan penolakan dibanyak bidang seperti
pekerjaan, pendidikan, pergaulan dan interaksi sosial dengan siapapun.
Karena pada dasarnya, perempuan dan kaum lesbian mampu
menunjukkan dirinya dengan potensi dan kemampuan yang sama
dengan laki-laki dan kaum heteroseksual.
Jadi ketika laki-laki atau dominasi maskulinitas yang
terkadang diamini juga oleh perempuan, selalu menempatkan
homoseksual, lesbian dan kaum lain yang termarginalisasi sebagai
obyek atas kuasa banyak hal, maka ini adalah subordinasi yang dapat
saling mengancam antara satu dengan yang lainnya. Yang paling utama
di sini adalah faktor ontologis yang tidak secara mudah dapat bergeser
atau mengalami transformasi sesuai dengan peradabannya. Bahwa
perkembangan yang terjadi tidak dengan mudah bisa merubah relasi
antara laki-laki dan perempuan atau dominasi yang menekan
homoseksual. Budaya dan agama yang selalu meyakini bahwa lesbian
adalah tidak normal dan berdosa tidak mudah untuk dirubah. Namun
dengan itu kaum lesbian tetap berusaha memahamkan kepada
125

masyarakat bahwa lesbian adalah sama dengan heteroseksual. Bahwa
lesbian juga memiliki makna atas hidupnya, dan terus berjuang untuk
pencapaian hakikat manusia adalah sama, tidak lagi membahas lakilaki, perempuan, lesbian, homoseksual, heteroseksual atau berdefinisi
apapun, tetapi memahami bahwa semua adalah manusia dan memiliki
hak sama dalam menjalankan proses hidupnya.
Kaum perempuan dan kaum lesbian menolak untuk tetap
dianggap sebagai liyan. M anusia haruslah saling menghargai
subyektifitas antara sesama manusia. M anusia selalu berusaha untuk
menemukan dirinya dan hanya lesbian sendiri yang bisa
mendefinisikan makna dalam eksistensi dirinya bukan orang lain.
Ketika kita mau mencoba memahami bahwa eksistensi lesbian hanya
bisa didefinisikan oleh dirinya sendiri, maka pada titik itulah setiap
orang bisa melihat makna atas diri sendiri. Persoalan yang muncul
sekarang ini sangat beragam bahwa tidak hanya laki-laki yang
mendominasi
perempuan
atau
heteroseksual
mendominasi
homoseksual. Namun terkadang bisa juga perempuan mendominasi
perempuan dan homoseksual mendominasi kaum homoseks lainnya.
Seperti misalnya seorang lesbian melakukan kekerasan dan
pengekangan
pada
pasangannya.
Atau
perempuan
yang
mengsubordinatkan perempuan lainnya. Yang ada hanyalah
ketersediaan untuk saling menghargai tanpa menjadikan orang lain
sebagai obyek kekuasaan dan subordinasi.
Begitu banyak hal yang menjadi persoalan, saatnya untuk
tidak lagi melihat siapa, berjenis kelaminnya atau berorientasi seksual
apa. Yang paling penting adalah sikap saling menghargai dan
tolerasansi, agar setiap manusia bisa menerima dirinya, mendapat
haknya sebagai seorang manusia, dan tentunya dapat mewujudkan
eksistensi dirinya sebagai seorang manusia yang bermartabat.
Berbagai perjuangan yang dilakukan kaum feminis dan
pembela Hak Asasi M anusia menjadi fondasi bagi perjuangan kaum
lesbian. Hak-hak individu untuk memilih apa yang mereka yakini
untuk dilakukan, terus diperjuangkan sampai sekarang. Akhirnya
126

ketika lesbian berjuang untuk pencapaian haknya, maka mereka selalu
menyuarakan penolakan atas diskriminasi dan penindasan yang
mereka alami. Kebebasan dan kedaulatan diri selalu menjadi hal
penting karena begitu banyak yang mereka alami adalah sebuah
pengalaman yang menjadi dasar untuk proses berkembang menuju
pada kehidupan yang lebih baik.
Setiap individu memiliki hak untuk bertanya how ought I to
live dan how ought I to know what’s right and what’s wrong?. Bahwa
setiap manusia berhak untuk menentukan bagaimana dia harus hidup
dan bagaimana dia menentukan mana yang baik dan yang buruk bagi
kehidupannya sendiri. Para feminis telah mempertanyakan dengan
gigih sejak abad ke-18, apa yang disebut dengan tindakan yang benar
dan tindakan yang salah? Apa yang disebut dengan kebahagiaan? Apa
yang bermanfaat? Pertanyaan-pertanyaan feminis ini terutama
menohok pada SIAPA? Siapakah yang menentukan tindakan benar dan
salah, siapakah yang menentukan kebahagiaan, dan seterusnya
(Fadhilah Trya W ulandari).
M enjadi teramat penting untuk mendudukkan persoalan isu
gender dengan segala variannya dalam semangat humanis dan
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia tak terkecuali lesbian
(homoseksual). Berbagai uraian sebelumnya sudah banyak menjelaskan
betapa agama dan budaya sudah menciptakan dominasi tafsir untuk
meniadakan kaum homoseksual (lesbian) dan mensubordinat mahluk
hidup bernama perempuan.
Dalam wacana Islam, politik (al-Siyasah) secara sederhana
dirumuskan sebagai cara mengatur urusan-urusan kehidupan bersama
untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat
(tadbir al syu-un al ‘ammah li mashalihihim fi al al ma’asy
wasa’adatihim fi al ma’ad). Dengan begitu politik dalam arti ini
sesungguhnya adalah ruang maha luas, seluas ruang kehidupan itu
sendiri. Ia dapat muncul dalam ruang domestik maupun publik, ruang
kultural maupun struktural, personal dan komunal. Tetapi penyebutan
politik dalam pikiran banyak orang dewasa ini telah menyempit
127

menjadi istilah bagi politik praktis, politik struktural, perebutan
kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat,
bukan lagi untuk kepentingan masyarakat luas (mashalih ’ammah) dan
untuk masa depan kemanusiaan yang panjang (M uhammad, 2014).
Dalam konteks memperjuangkan Hak Asasi Lesbian
(homoseksual), penting menyertakan Teologi
Queer
yang
dikembangkan sebagai tanggapan kelompok LGBTIQ (Lesbian, Gay,
Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer) terhadap sikap agama /
gereja yang selama ini menolak mereka dan menganggap mereka sesat
dan dikutuk Tuhan. Teologi Queer tentunya harus dipahami dan
dibumikan. M ayoritas orang memahami teologi adalah sesuatu yang
sudah terbentuk sejak dahulu sekali atau bahkan turun dari langit
begitu saja. Tugas kita manusia hanyalah tinggal memberlakukannya
dalam hidup kita sehari-hari. Pandangan seperti itu keliru. Setidaknya
demikian menurut pandangan Kristen. Sebagai contoh, pada beberapa
ratus tahun pertama setelah gereja terbentuk, gereja bergumul dengan
ajarannya. Kitab-kitab perjanjian baru misalnya, banyak memuat
pergumulan itu. M isalnya bagaimana orang Kristen yang menikah
bukan dengan orang Kristen (1 Korintus 7:13), atau bagaimana sikap
orang Kristen terhadap daging yang sudah dipersembahkan kepada
“berhala“ (1 Kor, 8:1 dst), atau lagi, bagaimana seharusnya orang
Kristen menghadapi hukum Taurat? Apakah menjadi Kristen berarti
menjadi Yahudi terlebih dahulu? Kisah 15 menceritakan sidang
ekumenis pertama di Yerusalem yang berusaha bergumul dengan
pertanyaan-pertanyaan ini. (Stephen Suleeman, Dosen sekolah Tinggi
Teologi, Jakarta).
Ada 4 alur teologi Queer (Patrick Cheng, teolog Queer
terkemuka dari Amerika serikat) Empat alur tersebut adalah:
1. Bersifat apologetik yaitu bahwa kaum gay harus diterima
sebagaimana apa adanya. Pandangan ini berusaha meyakinkan
gereja bahwa sikap gereja di Barat khususnya yang anti gay keliru
karena mengabaikan kondisi-kondisi biologis, psikologis, dan

128

genetik mereka yang berorientasi seksual berbeda dari yang
heteroseksual.
2. Dipengaruhi oleh Teologi Pembebasan dari Amerika Latin yang
didasarkan pada kisah pembebasan bangsa Israel dari M esir. Poin
ini melangkah lebih jauh lagi karena para teolog ini melihat bahwa
kaum gay terkungkung dan terbelenggu oleh teologi yang
berkembang di gereja, dan karena itu mereka membutuhkan
pembebasan sama seperti yang pernah dialami bangsa Israel. Allah
yang memperkenal diri di dalam Kitab Suci Ibrani dan di dalam
Perjanjian Baru melalui Yesus, adalah Allah yang memihak kepada
kaum miskin dan tertindas. Allah tidak bersikap netral. Sama
seperti orang-orang Israel yang ditindas oleh Firaun dan para
pengerah budak, sama seperti orang-orang yang tersisihkan oleh
masyarakatnya di zaman Yesus, seperti para pemungut cukai,
penderita kusta, orang-orang miskin dan para pelacur, demikian
juga kaum LGBT dicari dan dibela Allah.
3. Teologi Queer adalah teologi relasional. Para teolog ini tidak
memusatkan perhatiannya pada masalah penerimaan atau
pembebasan kaum LGBT, melainkan mencoba mengembangkan
pemahaman tentang Allah dalam yang erotik, dalam hubungan
yang timbal nalik, dalam keterkaitan umat manusia. Allah yang
hadir dalam hubungan antar sesama, dalam hubungan manusia
dengan tubuhnya, dengan alam, dengan seks. Mereka banyak
mengangkat tema persahabatan antar manusia – baik yang bersifat
seksual maupun nonseksual.
4. Dalam teologi Queer ini adalah teologi queer itu sendiri. Tujuan
utama dari para teoritikus Queer ini adalah mendekontruksi
pemahaman-pemahaman yang esensialis tentang seksualitas dan
identitas gender yang telah dikonstruksikan secara sosial melalui
bahasa dan wacana. M ereka berpendapat bahwa seksualitas
maupun identitas gender harus dipahami sebagai titik-titik yang
mengalir dalam suatu kontium dan bukan sebagi kategori-kategori
yang tetap (Sulaeeman, 2013).
129

Kierkegard menyatakan bahwa eksistensi manusia pada
dasarnya adalah bebas. Eksistensi manusia tidak bisa direduksi dalam
berbagai penyebab yang mempengaruhi bahkan mendeterminasi
dirinya dalam memilih. Berbagai rangsangan luar boleh saja datang
menerpa dirinya, tetapi tetap saja ia “pemain utama” yang akan
menentukan apa yang akan dipilihnya. Ia sama sekali harus bebas.
Kebebasan sudah ada di dalam diri manusia serentak ketika manusia itu
ada .Jadi kebebasan bukanlah suatu tempelan atau bagian dari
kemanusiaan. Kebebasan adalah identik dengan manusia (Paulus,
M argaretha 2006:11,12).
Ketika diatas disampaikan bahwa eksistensi adalah bebas, ini
adalah persoalan aktualisasi diri. Bagaimana seseorang memaknai
hakikat dirinya sebagai manusia. Kebebasan bukanlah satu hal yang
hanya sekedar mutlak bebas tanpa mengandung nilai apapun. Setiap
sikap dan tindakan serta pilihan mengandung nilai dan makna bagi
individu itu. Bagaimana makna yang dihasilkan atas diri seorang
manusia, bagi dirinya dan orang disekitarnya. Eksistensi seorang
lesbian ini juga berhubungan dengan masalah peradaban yang
mengalami perkembangan. Pada saat kita melihat sejarah singkat
homoseksualitas dibab dua, yang terlihat bahwa kebebasan yang
dimiliki oleh lesbian terbatasi oleh banyak hal seperti agama, budaya,
politik
dan
lain
sebagainya.
Ketika
kebebasan
untuk
mengaktualisasikan diri diberbagai lingkup kehidupan termasuk
haknya sebagai seorang manusaia terbatasi, maka eksistensi dirinya
juga akan terancam. Hanya karena orientasi seksualnya berbeda
dengan yang dominan, ekspresi kedirian mereka tidak akan pernah
nampak dilingkungan yang sudah bersepakat dengan konstruksi
masyarakat. M aka yang terus terjadi sampai saat ini adalah lesbian dan
homoseksual akan mempertanyakan status sosialnya dimasyarakat, dan
Negara. Akibat dari sistem yang dibangun oleh Negara yang belum
memperhatikan dan melindungi serta menghargai lesbian dan
homoseksual sebagai bagian dari kehidupan, maka yang muncul adalah
dehumanisi.
130

Lesbian sebagai manusia yang konkrit, adalah mahkluk yang
eksistensinya mendahului esensinya. Kebebasan, keberadaan diri, atau
kedirian adalah mencakup seluruh eksistensi manusia. Tidak ada
batasan untuk kebebasan, karena kebebasan itu sendirilah yang
menentukan kebebasan, demikian disampaikan oleh Jean Paul Sartre.
Yang ingin dilihat dalam penelitian ini adalah bagaimana setiap orang
dan juga seorang lesbian memiliki kebebasan dalam memilih
kehidupannya baik diruang privat maupun publik. Pilihan ini tidak
hanya masalah orientasi seksual ataupun sebatas ketertarikan terhadap
sesama perempuan. Kebebasan disini adalah pilihan akan aktualisasi
dirinya sebagai seorang manusia yang memiliki nilai dan makna atas
proses hidupnya. M engembangkan nilai yang ada dalam dirinya,
untuk menjadi seorang manusia yang berkembang dan dapat
melakukan sesuatu bagi diri dan lingkungan sekitarnya. Serta
bertanggung jawab atas segala pilihan hidupnya dalam berbagai aspek
kehidupan.
M anusia pada dasarnya adalah mahkuk yang berpikir, memiliki
jiwa dan raga. M anusia yang berbuat dan melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang diyakini dalam hidupnya. M engambil keputusan dari
setiap kemungkinan-kemungkinan yang dia hadapi, dan jauh lebih
penting tentu saja menjadi manusia yang bertanggung jawab. Lesbian
juga adalah manusia biasa yang terus mengalami perekembangan
dalam kehidupnya. Lesbian mengerti akan kemungkinankemungkinan yang harus dia pilih berdasarkan kebebasan dan
kesadarannya sebagai seorang manusia. Hal ini juga adalah salah satu
bagian dari penerimaan diri, ketika lesbian menyadari kemungkinankemungkinan yang ada pada diri dan lingkungannya secara sadar,
maka akan muncul perkembangan dan tindakan yang sesuai dengan
apa yang mereka inginkan.Bisa dikatakan sebagai fleksibelitas diri
dalam lingkungan kehidupannya.
Proses aktualisasi atau eksistensi diri seorang manusia tidaklah
memandang orientasi seksualnya. Seorang teman di komunitas
kelompok 1 heterosesksual pun memiliki proses dalam pencapaian nilai
131

di dalam dirinya. Keputusan untuk menikah atau tidak menikah
dengan berbagai pertimbangan, juga adalah bagian dari proses
aktualissi diri. Pemahaman diri yang mendalam melahirkan pemikiran
dan tindakan serta melatar-belakangi keputusan atas pilihan menikah
atau tidak bagi beberapa komunitas di kelompok 1. Tentu penuh
dengan dinamika dan memalui proses yang panjang dengan segala
konsekuensinya.Untuk mendapatkan kenyamanan dan kebahagiaan
atas segala bentuk pilihannya, masing-masing individu di kelompok
tersebut menempatkan nilai-nilai spiritual sebagai hal yang utama
dalam menjalani proses kehidupannya.
Ketika sebagian besar pemahaman dan penilaian masyarakat
mengenai lesbian pada umumnya masih diidentikkan dengan aktivitas
seksual atau perilaku seksual saja, maka disini akan coba dilihat
bagaima eksistensi lesbian bukalah hanya sebatas masalah seksual yang
selama ini dipahami oleh kebanyakan masyarakat. Penerimaan diri
atau coming in seorang lesbian, juga akan sangat berpengaruh pada
bagaimana eksistensi dirinya dicapai. Proses panjang yang dilalui
seorang lesbian dalam proses menyadari dan menerima dirinya secara
apa adanya dengan penuh kesadaran diri, adalah modal awal dalam
memahami dan mengungkap eksistensi dirinya.
Hegemoni yang terjadi adalah berada ditangan penguasa,
dimana ketika kita melihat pandangan para penguasa atau orang-orang
yang cukup vocal dalam Negara ini sebagian besar masih menolak
homoseksual. Sehingga orang-orang yang ada di dalam kuasanya akan
mengikuti alur pandangan pengusa atas keberadaan homoseksual.
Pandangan yang domianan ini, sangat berpengaruh dalam penerimaan
diri homoseksual. Realitas dan sejarah mencatat bahwa homoseksual
ada disetiap perkembangan peradaaban. Realitas ini menjadi kabur
karena kuasa yang tidak berpihak pada homoseksual. Fakta tersebut,
menunjukkan bahwa kebijakan publik Negara, belum bisa melihat
bahwa homoseksual adalah bagian dari masyarakat yang artinya bagian
dari warga negara yang perlu mendapatkan Haknya sebagai manusia.
Dan catatan penting lainnya, perlunya perhatian dalam proses
132

pembuatan kebijakan pembangunan. Artinya, tidak lagi mengaburkan
keberadaan homoseksual. Homoseksual adalah eksistensi yang sama
eperti masyarakat heteroseksual lainnya.
Realitas yang ada saat ini menunjukkan bahwa lesbian adalah
bagian dari masyarakat masih terus mengalami penolakan dari
masyarakat itu sendiri. Hal ini melahirkan pertarungan budaya dan
nilai lama yang dianut masyarkat. Di sisi lain, pertarungan ini bisa
dimaknai sebagai wujud dari sebuah gerakan perlawanan atas
pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya.
M asyarakat yang heteronormativ selalu beranggapan bahwa
perempuan termasuk perempuan lesbian adalah seseorang yang harus
mematuhi nilai dan budaya yang di masyarakat. Nilai menekankan
bahwa perempuan dan lesbian berada diranah domestic yang
menjalankan aturan buatan manusia.
Dalam segala proses perjuangan lesbian, membebaskan diri dari
rasa tidak normal, salah dan berdosa karena ajaran agama dan
konstruksi social dari masyarakat yang menyakini bahwa
hetronormativitas adalah yang benar, merupakan salah satu hal yang
mendasar dan harus terus dijalankan sampai saat ini. Fakta dan realitas
tentang lesbian yang ada sampai saat ini adalah sebuah kebenaran,
dimana lesbian adalah bagian dari masyarakat, yang seharusnya setara
dengan heteroseksual, dan kehidupan kaum homoseksual ada dalam
setiap perkembangan peradaban.
Perubahan pandangan dan pemahaman masyarakat pada
umumnya tentang lesbian atau homoseksual memang membutuhkan
waktu yang tidak singkat. Pemahaman kepada masyarakat tentang
lesbian haruslah didapatkan oleh masyarakat, bukan hanya karena
masalah pelanggaran hak asasi manusia harus didapatkan, tetapi juga
perubahan pola piker masyarakat akan kebenaran yang mereka yakini
haruslah berubah. Karena tidak semua pandangan masyarakat
termasuk heteronormatifitas adalah yang benar dan satu-satunya nilai
di masyarakat.Ketidak adilan yang dialami oleh lesbian atau
homoseksual lainnya adalah masalah penting.Lesbian dan kaum
133

homoseksual haruslah sadar bahwa ketidak adilan tersebut haruslah
menjadi sebuah refleksi agar mereka terus berjuang untuk diri mereka
sendiri, menyadari dirinya, dan berkembang lebih baik dari waktu ke
waktu.
M embangun kesadaran atas keberadaan homoseksual secara
kritis adalah bagian penting untuk melenyapkan dehumanisasi sebagai
sebuah pengingkaran atas kemanusiaan.Pendidikan kritis bernilai
transformative merubah atau menciptakan seseuatu kearah yang lebih
baik harus terus diupayakan. “untuk membangun pendidikan yang
berperan transformatif bagi masyarakat, sangat perlu harapan yang
diakarkan pada tindakan nyata. Harapan mengubah dunia saja adalah
tidak cukup dan tindakan yang didasarkan pada harapan itu saja akan
segera menghantarakan orang pada kegagalan, pesimisme, fatalism, dan
kemandulan serta kehancuran harapan itu sendiri.” Begitu Paulo Freire
dalam sebuah tulisannya (W idiwati, 2013:19).
Aturan-aturan itu tidak mengalami transformasi yang
mengarah pada penerimaan lesbian. Pemahaman yang ada pada
masyarakat tidak mengalami perubahan yang signifikan karena rasa
ingin taunya tidaka ada. Pemahaman tentang kenyataan sekarang ini
terus berkembang, ketika masyarakat tidak mau mencoba memahami
proses perkembangan tentang bagian dari masyarakat itu sendiri, maka
mereka merasa yang berbeda itu adalah salah dan tidak baik. Tidak
hanya masyarakat saja yang belum memiliki pemahaman tentang
lesbian, bahkan Negara yang seharusnya mengerti setiap warganya pun
seakan selalu merasa bahwa orientasi seksual yang ada di Negara ini
hanyalah heteroseksual, bisa kita lihat dari tidak adanya kebijakan
yang melihat homoseksual.
Negara masih memiliki kuasa untuk ikut campur dalam pilihan
orientasi seksual warga negaranya.Disebagian besar Negara di dunia
ini, masih anti terhadap lesbian.begitu pula di Indonesia, penolakan
terhadap lesbian dengan begitu banyak alasan muncul. Seperti
misalnya larangan atas nama agama, yang menyakini bahwa
homoseksual atau lesbian dilarang oleh agama karena dosa dan
134

penyimpangan. Dan Negara meyakini itu sebagai sebuah pernyataan
dan tindakan yang tepat untuk menidakan lesbian.
Sejauh yang kita lihat pemerintah belum melindungi hak-hak
asasi homoseksual sebagai manusia yang mempunyai hak dalam
berkehidupan baik ketika berhubungan dengan orang lain, menikmati
fasilitas public dan menikmati kehidupan pribadinya. Ketika
pemerintah dan Negara masih mengacuhkan keberadaan lesbian, maka
akan semakin banyak gerakan dan ekspresi dari lesbian, maupun
kelompok lesbian untuk menunjukkan keberadaan mereka.
Seiring dengan acuhnya Negara terhadap lesbian, maka
muncullah gerakan masyarakat sipil yang mampu bertahan dan
berupaya untuk menjadi sebuah wadah dan aspirasi bagi lesbian.
Kemunculan gerakan tersebut tidak hanya dilakukan dan dijalankan
oleh seorang berorientasi lesbian saja.Banyak diantara kaum
hetteroseksual yang memahami bahwa lesbian adalah bagian dari
kehidupan ini, maka kini banyak pula heterosesksual yang ikut serta
bergabung dalam gerakan yang mengedepankan perjuangan
pemenuhan hak asasi manusia.Resistensi yang muncul pada gerakan
perjuangan lesbian maupun homoseksual yang muncul disini adaalah
kesetaraan, kebebasan dan reformasi sekksual.Begitu banayak
komunitas pendampingan lesbian yang dapat kita temui di seluruh
bagian Negara ini.
M emang tidak mudah memahamkan pada masyarakat dan
Negara mengenai keberadaan lesbian sebagai bagian dari kehidupan
ini.W acana yang berkembang tentang tidak diterimanya lesbian, masih
bertahan pada sebagian masyarakat sampai saat ini. W acana ini kian
berkembang, dimana orientasi seksual kini bukanlah bersifat privat
melainkan menjadi wacana public yang seakan diusung untuk
pembentukan moral manusia yang baik.
Dengan wacana yang berkembang tersebut, maka akan
semakin terbentuk penolakan bagi lesbian dan kaum homoseksual.
Namun dengan penolakan tersebut maka lesbian dan kaum
homoseksual lainnya akan semakin berupaya untuk menjadi seseorang
135

yang lebih baik, dapat diterima dimasyarakat. Tentunya dengan begitu
banyak proses yang panjang. Diri lesbian akan membentuk sebuah nilai
tersendiri dalam upaya untuk memaknai keberadaan mereka bagi diri,
lingkungan dan masyarakat.

Implikasi M etodologi

Rasa saling percaya karena saling memahami dan mengerti
menjadi modal awal proses penelitian dimulai. Begitu banyak cara dan
proses yang dapat diupayakan untuk mendapatkan gambaran yang
nyata tentang narasumber. Banyak persoalan yang muncul dan dialami
oleh lesbian. Nemun perjuangan dan bagitu banyak upaya terus
dilakukan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat.
Paradigma kritis menjadi dasar bagaimana penelitian ini
dilakukan lebih mendalam, tidak hanya menggambarkan apa yang ada
dilapangan, namun benar-benar memahami apa yang dirasakan oleh
narasumber. Pendekatan baru dari tokoh feminis menawarkan sebuah
metode alternatif yakni metode penelitian feminis yang akan sangat
bermanfaat untuk meningkatkan kualitas penelitian yang tidak bias
gender. Subjektivitas menempatkan subjek/objek menjadi setara dan
tidak ada kesenjangan antara peneliti dan yang diteliti. Judith Lorber
menekankan bahwa metodologi feminis lalu menjadi satu-satunya cara
untuk mengetuk masuk dan memahami kenyataan yang dialami
perempuan (termasuk lesbian), dan dengan ini kaum feminis
memberikan kontribusi unik pada ilmu sosial tentang pola keterkaitan
antar sebab dan akibat dari pernyataan-pernyataan yang belum terlihat
oleh peneliti yang tidak feminis.
Dengan metode feminis ini, penulis mencoba masuk dan
memahami benar kenyataan yang dialami lesbian. M etodologi feminis
menggunakan pendekatan empati, participatory dan in-depth
interview. Setiap apa yang disampaikan oleh narasumber lesbian yang
dianggap sebagai minoritas seksual dan sampai saat ini masih
mengalami diskriminasi adalah sangat penting dan bernilai. Dari sisi136

sisi itulah akan menunjukkan bagaimana cara mereka membangun
eksistensi. Diskriminasi dan penolakan yang lesbian alami menjadi hal
penting untuk membangun spirit bagi lesbian untuk tetap
memperjuangkan eksistensinya. Hanya yang mengalamilah yang bisa
mengkomunikasikan bagaimana kehidupan dan perjuangan lesbian.
M etode feminis menempatkan lesbian sebagai informan yang harus
merasa sangat nyaman dan percaya bahwa mereka adalah individuindividu yang sangat relevan dalam penelitian ini. Rasa percaya harus
dibangun, peneliti berusaha menjadi teman dan bukan orang asing bagi
informan. Dengan kemampuan menempatkan diri, akan menghasilkan
analisa yang mendalam dalam penelitian ini (Ardiana : 5).
Sesuai dengan perjalanan waktu, berbagai permasalahan dalam
hidup begitu dinamis. Baik masalah-masalah pribadi, masalah dalam
komunitas yang juga seringkali melibatkan faktor eksternal, menjadi
perhatian bersama bagi perjuangan penegakan Hak Asasi M anusia
secara kolektif maupun individu yang peduli pada minoritas seksual
yang dalam hal ini adalah lesbian.
Dalam penelitian sosial lebih menekankan pada pemhamanan
yang harus tetap memperhatikan apa yang dipikirkan, diinginkan atau
dirasakan oleh subyek. Setiap orang memiliki tujuan dan makna atas
diri dari setiap pikiran dan tindakan yang dilakukannya. Penulisan ini
menghadirkan bagaimana subyek berinteraksi dan menjalin hubungan
dengan diri sendiri aupun orang lain dengan penuh makna. Dan yang
dapat menggambarkan serta mendefinisikan makna diri adalah diri
sendiri.
Paradigma kritis harus terbangun untuk mendeskonstruksi ulang
setiap pemahaman yang tidak tepat. Analisis sosial dibutuhkan untuk
dapat memahami bagaimana kompleksitas fakta yang ada dilapangan.
Yang dibutuhkan adalah memahami benar permasalahan yang ada,
tidak bisa parsial atau diseserhanakan. Penelitian ini bukanlah sebuah
bentuk yang perlu dibahas, tetapi memaknai diri atas apa yang dipikir,
dirasakan dan dialami oleh narasumber. Interaksi personal menjadi
satu modal awal yang penting untuk membangun kedekatan dan
137

kepercayaan. Berpikir tidak hanya ditataran permukaan saja, namun
lebih dalam dan utuh.
Penelitian dan teori yang dipakai harus mempertimbangkan
faktisitas dari orang-orang yang terkait dengan penelitian untuk
memperoleh maknanya. Dibutuhkan kepercayaan yang terus dibangun
dan proses yang lama untuk benar-benar mendengarkan, mengamati
dan memahami. Pemahaman yang didapat adalah dari prespektif diri
subyek yang menjadi narasumber atas apa yang dirasakan, dipikirkan
dan diungkapkan. Realitas yang ada dilapangan itu sangat penting,
relaitas menunjukkan fenomena dengan fakta-faktanya. M akna dan
nilai yang terus terbangun oleh narasumber wujudnya berbeda-beda
tapi tetap harus diupayakan untuk mendapat gambaran yang nyata
tentang diri narasumber. Sesuatu yang diciptakan itu haruslah untuk
saling membangun, dan menjadi proses belajar bersama untuk
perkembangan. Hasil dari interaksi, dialog dan negosisasi yang
terbangun dari pikiran, ide dan rasa yang berbeda-beda adalah salah
satu hal penting untuk menuangkan pemahaman dan perasaan hingga
didapat pengertian, kesepakatan dan pemahaman yang utuh.

Implikasi Gerakan

Proses panjang yang dengan dinamika kehidupan yang naik
turun, mungkin inilah yang tergambar dari sebuah proses coming in
atau penerimaan diri seorang lesbian. Penerimaan diri menjadi sebuah
pondasi penting dalam pencapaian eksistensi diri. Proses memahami
nilai dan makna diri secara sadar sehingga menjadikan diri lebih
mampu mengaktualisasikan diri, dan kembali kehakikatnya sebagai
manusia.
Pembebasan diri atas dogma dan nilai yang dilabelkan pada
lesbian adalah sebuah proses berat bagi seorang lesbian. Namun
seberapa beratnya proses tersebut, akan terus dijalani sampai pada titik
dimana seorang lesbian menyadari dirinya sebagai manusia yang
memiliki hak atas kehidupannya. Nilai tertinggi dari segala aspek
138

kehidupan dalam diri seorang manusia bukan hanya nilai material saja,
melainkan nilai spiritual dan ideology dalam hidupnya.
Dengan membedah berbagai fakta dan realitas yang terjadi
pada perempuan dan lesbian, yang sudah digambarkan dalam uraian
singkat diatas, maka kita dapat melihat bagaimana diskriminasi,
subordinasi, penolakan serta tekanan
masih sangat lekat pada
perempuan dan lesbian. Hal ini bukan saja sebagai wacana yang
berkembang dari tahun ke tahun atau abad ke abad. Namun ini adalah
realitas konkrit yang ada disekitar kita, bahkan terjadi dalam diri kita,
inilah faktanya yang sesungguhnya.
Begitu banyak dinamika pergerakan dan perjuangan yang
sampai detik ini terus dilakukan oleh pemerhati Hak Asasi M anusia,
perempuan dan lesbian. Tidak hanya itu saja, banyak orang dan
kelompok yang perduli dengan nilai humanis yang menyediakan diri
untuk ikut berjuang demi terwujudnya kesetaraan dan tegaknya hak
asasi manusia.
Dua ranah yang terkait erat dengan tercapainya penerimaan
diri, perjuangan penegakan hak asasi manusia dan eksistensi lesbian
adalah peranan Negara dan juga masyarakat. Kita dapat melihat
gambaran kenyataan diatas bahwa Negara masih melakukan pembiaran
terhadap penegakan hak asasi manusia bahkan sebaliknya, Negara
justru melukai sebuah kewajiban yang mestinya dijunjung tinggi. Hal
ini tidak saja terjadi bagi kaum perempuan lesbian tetapi juga kepada
perempuan heteroseksual. M isalnya peran Negara atas proses
pendidikan yang selama ini tidak berpihak pada perempuan lesbian
(homoseksual) dan juga seorang perempuan heteroseksual. Dominasi
maskulinitas dan kuasa atas nilai heteronormativitas seakan menjadi
senjata untuk tetap melanggengkan pembiaran atas ketidakadilan ini.
Begitu banyak perjuangan baik secara individu maupun kelompok di
Negara ini, tetapi seakan tidak dapat menjadi satu jalan titik terang
untuk lesbian, homoseksualitas dan kaum lain yang mengalami
dehumanisasi. M asyarakat acuh dan seakan tak mau tahu, karena
merasa bukan
kewajiban
mereka untuk
ikut
berperan
139

memperjuangkan keadilan. Padahal, seluruh keyakinan keagamaan
yang dianut oleh hampir seluruh masyarakat, memastikan bahwa
harkat dan martabat manusia di atas segala-galanya.
Kehadiran lembaga atau kelompok yang perduli, termasuk
lembaga Effort adalah salah satu bagian terkecil pergerakan untuk
menegakkan hak asasi manusia. Pergerakan atas nama keadilan yang
menyeluruh. Begitu banyak upaya yang sudah dilakukan, seperti satu
hal penting dan mendasar yaitu membangkitkan kesadaran kritis di
masyarakat sebagai sebuah upaya mendekontruksi berbagai hal dalam
sepanjang proses kehidupan ini. M embangun kesadaran kritis akan
berujung pada bagaimana memahami makna atas diri, dan
menghasilkan sebuah nilai untuk menghargai dan menerima sesama
manusia, dengan tidak lagi terpengaruh pada nilai materialisme dan
latar belakang apapun.
Seluruh daya upaya dan perjuangan ini, tidak akan menemukan
jalan terang ketika Negara dan masyarakat pada umumnya tidak
berperan sebagai mana mestinya. Ketika sebuah kebijakan tidak
berpihak, maka advokasi kebijakan harus dilakukan. Dan setelah
kebijakan yang berpihak itu ada, catatan penting selajutnya adalah
membangkitkan kesadaran masyarakat untuk tahu, memahami dan
turut berperan aktif pada berbagai kebijakan tersebut. Jika kesadaran
ini tidak dibangun, maka seb