Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dinamika Eksistensi Lesbian Proses Penerimaan Diri, Pemenuhan HAM, dan Eksistensi Diri T2 092012001 BAB IV

BAB Empat

DINAM I KA EKSI STENSI DIRI DI DALAM
KOM UNI TAS

Pengantar
Proses penerimaan diri yang dilalui oleh seorang lesbian yang
tergambar dari bab III diatas dapat menjadi sebuah dasar bagaimana
seorang lesbian membangun eksistensi diri di dalam sebuah komunitas.
Penerimaan diri seorang lesbian dalam penelitian ini juga tidak terlepas
dari bagaimana komunitas berperan dalam mendorong individu lesbian
untuk membangun eksistensi dirinya. Pola relasi yang terbangun di
dalam komunitas menjadi
sebuah proses penting dalam
mendeskonstruksi nilai-nilai dominasi yang menghambat proses
seorang lesbian. Termasuk nilai agama, budaya, sosial dan nilai lain
yang dipahami sebagai sebuah landasan berpikir yang tidak universal.
Bahwasanya lesbian adalah manusia yang sama dengan heteroseksual.
Komunitas memberikan begitu banyak proses belajar bersama
pada setiap anggota kelompok, baik kelompok heteroseksual maupun
lesbian. Nilai yang dibangun di dalam komunitas, seperti yang

disampaikan oleh seorang pengurus, bahwa “ nilai humanislah yang
dibawa dalam setiap proses dan relasi dengan komunitas, membangun
rasa solidaritas antar individu juga menjadi kunci penting dalam proses
penerimaan diri. Hal yang terpenting lainnya adalah bagaimana
membangun rasa saling percaya antara sesama anggota kelompok dan
pengurus. Dengan hal-hal tersebutlah maka tidak akan ada
dehumanisasi antara setiap kelompok, baik lesbian maupun
heteroseksual. Dari point-point penting itulah akan terjadi proses
membangun sehingga akan muncul perasaan saling memahami antar
85

personal individu. Begitu banyak cara yang dapat dilakukan untuk
membangun nilai dan makna antara individu maupun kelompok
lesbian dan heteroseksual. Sehingga proses eksistensi diri di dalam
komunitas akan bertahap terbangun.
Pada lembaga Effort penulis melihat bahwa kesatuan dan
kebersamaan dibangun dengan dasar humanis. Tidak ada eksklusifitas
yang ditunjukkan, karena yang ada adalah berbaurnya antara
kelompok I (heteroseksual) dengan kelompok II (lesbian). M elihat dan
memahami segala aktivitas yang dilakukan bersama kelompok, yang

nampak adalah bagaimana masing-masing personal dalam komunitas
menjadi support bagi setiap individu lesbian berproses dalam
penerimaan diri. Bahwa proses penerimaan diri ini tidak lepas dari
campur tangan pengurus Effort dan anggota kelompok baik yang
heteroseksual maupun lesbian lainnya. Pengurus mencoba
memahamkan diawal kepada kelompok heteroseksual bahwa lesbian
adalah bagian dari kehidupan yang memiliki proses dan pilihan atas
kehidupan masing-masing. Bahwa yang sama dari setiap orang adalah
menjalani kehidupannya dengan dinamika yang berbeda dan setiap
orang membutuhkan orang lain untuk terus berkembang dan
menjalani kehidupannya dengan baik.
Effort mencoba membangun budaya bahwa setiap manusia
memiliki dinamika masing-masing, dan menerima orang lain adalah
bagian dari proses menghargai kehidupan yang luas ini. Penilaian
bukanlah sebuah modal dasar yang penting dikomunitas, karena nilai
hanyalah sebuah bangunan pemikiran yang belum tentu benar. Yang
terpenting adalah proses bersama untuk menuju pada proses belajar
dan memaknai kehidupan ini lebih baik. Yang selalu dikembangkan
dalam komunitas adalah nilai-nilai humanis, selalu melihat anggota
komunitas sebagai apa adanya manusia secara utuh, bukan pada sisi

nilai material yang nampak di permukaan.
Jika kita melihat bagaimana kelompok lain, yang sebagian besar
anggotanya adalah lesbian, dan kemudian kurang mengembangkan
pemahaman, kesadaran diri yang kemudian berdampak pada sikap
86

eksklusif, hal ini kemungkinan besar akan membuat seorang lesbian
kurang mampu beradaptasi dengan komunitas lain termasuk komunitas
yang heteroseksual. Jika ingin dipahami sama, maka yang harus terus
dilakukan adalah proses berdialog dengan heteroseksual untuk
menunjukkan bahwa tidak ada yang begitu dominan dan berbeda dari
heteroseksual dan lesbian. Ketika tidak saling memahami, baik proses
lesbian memahami heteroseksual ataupun sebaliknya, maka setiap diri
tidak akan mampu mencapai eksistensinya didalam komunitas yang
ada di sekitarnya. Proses belajarlah yang menjadi satu hal penting
untuk saling memahami, dan menghargai setiap dinamika dalam
eksistensi masing-masing orang.
Bahwa eksistensi diri didalam komunitas itu memiliki proses
masing-masing. Tidak ada yang bisa disamakan, bentuk, cara bahkan
rumusan lainnya. Hanya saja memahami apa yang menjadi kebutuhan

masing-masing individu dalam komunitas adalah prasyarat awal yang
selalu komunitas coba untuk lakukan. Dengan demikian, support bagi
masing-masing anggota mengalir secara natural dan individu lesbian
akan merasa diterima, sehingga ada kepercayaan dalam dirinya di
komunitas. Baik untuk berkembang dalam batin ataupun intelektual
dan mampu menjadi individu yang dapat mencapai proses eksistensi
diri, di komunitas dan di lingkungan sekitar.

Eksistensi Diri di Komunitas dalam Literatur
Eksistensi itu haruslah bercorak dinamis. Yang bereksistensi
selalu dalam proses memenuhi eksistensinya atau eksistensi
menunjukkan suatu proses menjadi secara dinamis (M argaretha, 2006
17). Kedinamisan eksistensi diri seorang lesbian di dalam komunitas,
merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari proses
penerimaan dan eksistensi diri. Ada dua hal yang mungkin terjadi
dalam diri seorang lesbian, proses penerimaan dan eksitensi diri
terbangun ketika menemukan sebuah komunitas yang mendukung
untuk pencapaian proses tersebut. Dan yang kedua adalah seorang
87


lesbian mampu menerima dan mencapai eksistensi dirinya, dengan
proses dialog diri sebelum bertemu atau bergabung dengan komunitas.
Sama halnya dengan proses penerimaan diri dan eksistensi diri,
proses eksistensi diri lesbian di komunitas juga merupakan sebuah
proses yang terus berkembang. Eksistensi diri di dalam komunitas
bukanlah sebuah proses yang singkat, seseorang mungkin saja bisa
membutuhkan waktu bertahun-tahun atau lebih dari itu untuk benarbenar memahami dirinya sehingga mampu mengaktualisasikan dirinya
di komunitas. Proses eksistensi ini tidak dapat berjalan dengan
sendirinya, melainkan membutuhkan suasana yang membangun antara
diri, anggota dan komunitas itu sendiri.
Proses benar-benar menjadi Aku adalah sebuah proses yang
harus disadari oleh seorang lesbian. M enganalisis dan mengkritisi
berbagai bentuk opresi yang dihadirkan untuk lesbian adalah salah satu
hal penting, dengan hal tersebut akan memeunculkan sebuah tindakan
kesadaran yang memposisikan dirinya dari “Aku” konstruksi
masyarakat menjadi Aku yang benar-benar ada. Proses bersama dengan
komunitas untuk terus belajar bersama tanpa dehumanisasi menjadi
sebuah awal seorang lesbian mampu menjadi Aku atau dirinya sendiri.
M emahamkan pada tiap individu yang belum memahami benar dirinya
adalah sebuah proses awal yang dilakukan oleh koumunitas untuk

mendorong setiap individu mencapai eksistensi dirinya. Capacity
building yang terus dibangun, kesadaran kritis dan analisis sosial yang
terus dikembangkan pada setiap individu akan membantu individu
lesbian memahami bahwa eksitensi dirinya dan apa yang ada di dirinya
adalah haknya. M emahami pilihannya, haknya, pembentukan diri,
serta memahami bahwa diri sendirilah yang menentukan pilihan atas
kehidupannya bukan hal yang mudah. Begitu kuat dominasi dan
konstruksi yang berkembang dimasyarakat mengenai lesbian menjadi
satu benteng yang membutuhkan waktu untuk melewatinya.
Pemahaman kata “seksualitas” menjadi urutan penting untuk
memahami varian gender. Seksualitas adalah sebuah eksistensi yang
didalamnya lengkap dengan urusan emosi, cinta, aktualisasi, ekspresi,
88

prespektif dan orientasi atas tubuh. M engapa menjadi penting
memahami kata seksualitas? Seksualitas banyak dipahami sebatas
sexual activity dan tentu saja pemahaman ini telah mereduksi makna
yang begitu luas dan utuh tentang eksistensi manusia (W idiawati,
2013:3). Apa yang ada di dalam Aku adalah hakku, dan Aku hanya
membutuhkan apa yang ada di dalam Aku untuk sampai pada

eksistensi diriku. Lesbian bukanlah selalu harus dititik beratkan pada
aktivitas seksual saja, melainkan ketika lesbian bisa dipahami
keberadaannya sebagai Aku, lesbian juga memiliki proses dalam
dirinya untuk benar-benar menjadi manusia yang utuh. Ber-ada untuk
menjadi Aku yang diinginkannya, bukan diinginkan orang lain.
“Hak” harus diberikan sebagai prioritas “kebaikan”. Dengan
perkataan lain, keseluruhan sistem atas hak individu dibenarkan,
karena hak ini menghasilkn bingkai kerja, yang merupakan dasar bagi
kita untuk memilih apa yang terbaik bagi kita masing-masing, selama
kita tidak merampas hak orang lain (Tong, 1998:16).

M engugkap Eksistensi Diri di Komunitas
M endeskripsikan bagaimana proses eksistensi diri lesbian
didalam komunitas, penulis menggunkan studi kasus Kris dan Roh
dalam setiap kegiatannya bersama dengan lembaga Effort. Proses
pencapaian eksistensi di dalam komunitas haruslah upaya dari
keduanya, yaitu individu dan komunitas. Dimana individu harus terus
membangun dirinya dan kepercayaan penuh pada diri, terbuka untuk
berproses bersama dengan komunitas, dan begitu juga sebaliknya. Yang
menjadi amatan dalam pembahasan ini adalah Kris anggota kelompok 2

lesbian dan Roh anggota kelompok 1 heteroseksual, serta lembaga
Effort sebagai lembaga dimana Kris dan Roh berproses bersama
komunitas. Bagaimana ideologi yang dibangun, pola dialog,
komunikasi, membangun ruang yang humanis, membangun capacity
building hingga pada proses membangun kesadaran kritis bagi Kris dan
Roh merupakan unit analisis dalam pembahasan ini. Dengan hal-hal
89

tersebut, maka akan dapat terlihat bagaimana proses yang dilalui Kris
dan Roh dalam pencapaian eksistensi diri di komunitas.
Setiap kegiatan yang dilakukan bersama dengan komunitas,
baik FGD reguler, pelatihan, informal meeting, diskusi publik dan
yang lain adalah sebuah proses yang dilakukan bersama untuk terus
membangun kelompok baik lesbian maupun heteroseksual. Kesadaran
untuk terus belajar berproses dan memahami diri, hak serta pentingnya
merefleksikan setiap apa yang telah dilalui menjadi penting dalam
proses eksistensi diri di komunitas. Proses refleksi yang kemudian
menghadirkan sebuah temuan, akan menjadi sumber belajar dan
perkembangan diri didalam komunitas. Bahwa diri haruslah
memahami dirinya sendiri, dan komunitas memberikan ruang untuk

menjadi teman dan support dalam proses itu.
Proses lain yang ada di dalam eksistensi diri di komunitas
adalah bagaimana ruang dialog, saling membebasakan, dan juga
membangun antara individu harus tetap menjadi point penting. Karena
di Effort menjalankan setiap kegiatannya bersama-sama yaitu dengan
kelompok lesban dan heterosesksual, sehingga proses memahamkan
keberagaman itu menjadi penting. Bahwa hidup adalah luas, beragam,
setiap orang memiliki hak dan pilihannya, sehingga proses yang harus
tetap dibangun adalah saling menghargai, tanpa memberikan penilaian.
M enyadari bahwa setiap individu baik lesbian maupun heteroseskaul
bergabung dengan Effort adalah untuk belajar dan memahami banyak
hal, akan menjadikan proses yang bergulir antara individu menjadi
sangat unik.
Pembahasan dalam Bab Empat ini berfokus pada bagaimana
seorang lesbian membangun eksistensi diri di komunitas, proses yang
dinamis. Proses yang dilakukan tidak hanya membangun dan
berinteraksi dengan anggota kelompok baik lesbian maupun
heteroseksual dan Effort, namun juga dialog dan refleksi atas begitu
banyak hal dalam kehidupan. Sehingga proses-proses yang terus
dijalani bersama tersebut dapat menjadi sebuah gambaran bagaimana

eksistensi diri dibangun dan dipahami utuh oleh anggota kelompok
90

dan Effort. Proses yang saling terkait, karena tanpa adanya anggota
kelompok dan lembaga Effort serta komunitas lain, eksistensi diri
seorang lesbian di dalam komunitas akan lebih sulit untuk dibangun.
Pada bab ini penulis akan membagi ke dalam tiga pembahasan.
Pertama (1) deskripsi lembaga Effort, kedua (2) gambaran kegiatan
Effort bersama kelompok lesbian dan heteroseksual, dan yang ketiga
(3) adalah gambaran kegiatan kelompok 1 heteroseksual dan 2 lesbian.

M enggenal Effort
Deskripsi Lembaga Effort

Effort adalah sebuah lembaga yang memiliki kecintaan dan
penghargaan yang tinggi terhadap manusia, tidak menawarkan
sedikitpun domestikasi terhadap segala hal diberbagai lini kehidupan.
Setiap orang berhak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan,
kebebasan berpikir, berpendapat, berkumpul dan berserikat, beragama,
menikah dan tidak menikah, membentuk keluarga, lingkungan yang

sehat dan aman, jaminan sosial, pekerjaan, perwujudan hak ekonomi,
sosial dan budaya. Effort juga mempunyai Visi untuk terwujudnya
masyarakat yang demokratis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
humanis, egaliter, pluralis, gender justice, sosial justice dan
environmentalist sebagai perwujudan dari tatanan kehidupan yang
sarat dengan makna spiritualitas. Selain itu Effort juga memiliki misi
untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dengan
mempertajam spiritualitas, affeksi serta kognisi. M eningkatkan dan
mendorong berbagai institusi yang ada untuk berperan dalam proses
transformasi sosial. M engembangkan pol research participatoris.
M engadakan media informasi (cetak, elektronik). Selain visi misi
lembaga, pengurus di Effort juga memiliki visi misi tersendiri, yaitu
membangun manusia secara utuh. Dan yang terpenting adalah
mengabdi pada kemanusiaan. Salah satu pengurus menyatakan bahwa
“Kita punya idelaisme, bahwa apa yang kita lakukan yang terpenting
adalah untuk masyarakat”.
91

Gambaran umum kegiatan yang dilakukan dengan kelompok
adalah seperti halnya FGD bulanan, yang diadakan bisa satu bulan
sekali atau dua kali dalam satu bulan. Kemudian juga informal meeting
dengan teman-teman komunitas. Selain itu ada kegiatan pelatihan yang
diadakan satu tahun sekali bersama teman-teman kelompok, dan ada
juga kampanye untuk beberapa hal. Tujuan dari setiap kegiatan yang
dilakukan oleh Effort bersama dengan komunitas adalah untuk
menambah capacity building, mempertanjam analisis sosial, mengasah
kesadaran kritis, melatih menjadi fasilitator dan juga menjadi CO
untuk diri dan lingkungannya.
Bagaimana Effort terbentuk juga karena pengurus berpikir
tentang beberapa hal diatas, diawal Effort didirikan oleh 3 pendiri
ditahun 2007, kemudian di notaris tercantum pengurus Effort yaitu,
Ina Irawati, Helmy W idyawati dan Sih Handayani. “Bagaimana Effort
terbentuk intinya yaitu diwaktu kami ketiga pendiri ini melakukan
refleksi atas gerakan, prosesnya sangat panjang, kita mencoba
mengkritisi gerakan sosisl dan NGO, auto kritiknya adalah begitu
banyak program yang sudah dilalui namun tidak ada perubahan yang
mendasar pada gerakan sosial. Kemudian dari situ dirumuskan untuk
membuat sesuatu yang berbeda. Karena yang kita ketahui dan rasakan
dalam proses bersama yang sangat panjang auto kritik di sebuah LSM
itu susah dan sangat kurang sadar akan pentingnya refleksi, melebur
tanpa jarak itu juga susah. M akanya kita mencoba untuk membangun
sebuah lembaga yang harus selalu mengahdirkan refleksi, melebur
tanpa jarak, dan yang terpenting adalah humanis” tambah seorang
pengurus.
Dalam proses pendekatan dan mengenal anggotapun masingmasing perjalannya. Seorang pengurus menyampaikan bahwa “Diawal
yang kita lakukan adalah mendekati dan kemudian membangun
kepercayaan dan memegang key person disuatu wilayah atau tempat
kerja, dari situlah akhirnya key person itu akan berproses dengan
Effort, kemudian key person itu akan menjadi CO dilingkungan tempat
tinggalnya, atau dilingkungan tempat dia bekerja. Pendekatan dengan
92

key person, tidak serta merta diawal mendekati dengan isu-isu
tertentu, tetapi memahami persoalan personal dulu, karena isu yang
akan kita bawa dalam setiap kegiatan juga terkadang sesuai kebutuhan
teman-teman. Kita mencoba hadir secara apa adanya, kita gak pernah
usung bendera Effort, selalu hadir dalam urusan kemanusiaan
mengusung kemanusiaan. Karena orang Effort sadar bahwa Effort
hanya kendaraan, yang diusung adalah nilai-nilainya bukan
kendaraannya”.
Pendekatan dan membangun kepercayaan dari anggota
kelompok bukkan merupakan hal yang mudah. Setiap personal
berbeda, disetiap pertempuan dengan seorang teman di kelompok
diawali dengan mencoba mendengarkan, kemudian mencoba
mengambil inti dari obrolan, sehingga didapatkan kunci untuk
membangun kepercayaan. Dengan keluwesan, sifat-sifat yang humoris,
menyampaikan obrolan dengan bahasa mereka, dan yang pokok disini
adalah masuk kesemua kalangan. Pendekatan diawal memiliki kunci di
komunikasi yang baik dan melebur, tanpa jarak, karena dengan tanpa
jarak setiap orang akan merasa diterima dan tidak berpikir bahwa
dirinya di nilai. Para pengurus selalu mencoba untuk tidak menjadikan
teman-teman yang akan bergabung di komunitas sebagai obyek atas
sesuatu hal. Satu pengurus menambahi bahwa, “kawan-kawan adalah
subyek manusia yang sama-sama harus belajar. Komunitas adalah
subyek bukan obyek sasaran program. Keunggulan yang terpenting,
dan yang harus tetap dibangun adalah kesediaan untuk mendengar”.
Ada dua penyebutan kelompok yang mengikuti kegiatan d
Effort, yang pertama adalah kelompok 1 (heteroseksual) dan kelompok
2 (lesbian). Kelompok 1 atau kelompok heteroseksual sangat beragam,
mereka memiliki pilihan atas dirinya masing-masing. M enikah atau
tidak menikah dan memutusan untuk tidak memiliki anak tetapi
menikah. Kelompok ini sebagian besar bekerja sebagai buruh dan ada
juga mantan buruh, berusia sekitar 30 sampai 45 tahun. M emiliki
tempat asal yang beragam di luar kota Ungaran maupun di Ungaran itu
sendiri. Tingkat pendidikan yang beragam pula, yaitu lulusan SD
93

sampai dengan SM A. Sedangkan untuk kelompok 2 hampir semua
adalah buruh dan berusia antara 20 samapi 35 tahun. Ada yang
memiliki pasangan dan ada pula yang tidak berpasangan. Hampir
semua anggota kelompok 2 berasal dari luar kota Ungaran dan
memiliki pendidikan SM P sampai dengan SMA.
Di dalam setiap proses bersama dengan kelompok 1 maupun 2,
pengurus Effort memiliki problematika tersendiri dalam menghadapi
teman-teman. Dalam obrolan seorang pengurus menceritakan bahwa
“Gejala dan setiap problematika diteman-teman adalah realitas
kehidupan yang sesungguhnya, karena itu kita saling membangun
bersama-sama. Persoalan ekonomi, pendidikan anak, konflik dalam
relasi perkawinan, pasangan, dan konflik dikeluarga bagi masingmasing, kesehatan, ketidakadilan baik dalam keluarga maupun
masyarakat itu aadalahh realitas . problematika yang muncul lainya
adalah terkadang muncul rasa capek melihat psikologis kawan-kawan
yang naik turun, kita punya masalah banyak, dan itu yang membuat
capek. Terkadang juga sedikit lelah mengelola banyak hal, kadangkadang, tapi lalu kita menyadari inilah hidup bersama, kembali
menguatkan dan melihat visi dan misi bersama. Kelelahan itu selalu
kita dialogkan dengan komunitas, sehingga akan tetap tumbuh rasa
saling membangun”.
Dalam proses membangun kelompok, Effort memiliki
program-progam bersama dengan semua anggota kelompok. Beberapa
program yang dijalankan seperti advokasi kesehatan, pendidikan
aktivitas gerakan sosial, institusional enpowerment, popular education
dan media informasi. Dengan gambaran program tersebut akan dapat
dijelaskan bagaimana kegiatan FGD dilakukan dengan tema multi isu.
Hal ini dilakuakan untuk memperdalam seluruh diskusi multi isu
sampai diakar, tidak hanya parsial karena semua isu itu saling terkait.
Sekalipun pengurus Effort memberi materi, tetapi terkadang tema juga
akan bergulir sesuai kebutuhan teman-teman kelompok. Seorang
pengurus menambahkan “Terkadang perlu juga menjawab persoalan
atau kebutuhan kawan-kawan gitu. Kadang-kadang sih begitu. Yang
94

terpenting adalah FGD dua arah, dialogis, dan menerapkan pola
pendidikan kritis”.
Selain beberapa program dan kegiatan yang dilakukan oleh
Effort bersama dengan kelompok diatas, Effort juga mencoba
membangun dan menguatan ideology di komunitas. Yang dilakukan
adalah mencoba memahami utuh setiap kehidupan yang dijalani
teman-teman kelompok. Dengan hal tersebut maka pengurus
kemudian akan melihat dimana hal yang paling penting dibangun
dikelompok. Ada kekompleksan dan problematika pada masing-masing
peronal dikelompok. Selain itu memahami kondisi psikologis adalah
hal utama yang penting untuk dipahami, karena komunitas adlah
seorang manusia yang tentunya memiliki dinamika dalam hidupya.
Kemudian pengutan ideologi, penguatan nilai-nilai akan berproses dan
semakin menguat ketika kondisi teman-teman telah dipahami.

Gambaran Kegiatan Effort Bersama Dengan Kelompok

Keberadaan sebuah lembaga yang mengusung dan
memperjuangkan isu Hak Asasi M anusia ( Effort ) mempunyai peranan
penting dalam proses setiap individu lesbian dan heteroseksual di
dalam komunitas yang dibangun. Kegiatan diskusi reguler bulanan (
FGD), pelatihan dan kegiatan informal privat dengan kelompok
heterosesksual maupun kelompok lesbian, adalah bagian dari proses
untuk membangun setiap individu terutama bagaimana setiap orang
bisa menerima diri apa adanya. Tidak hanya berhenti pada penerimaan
diri sendiri, tetapi bagaimana setiap individu juga mampu menerima
individu lain tentu dengan segala perbedaan yang ada.
Sebagian besar kelompok 1/heteroseksual dan kelompok
2/lesbian, bergabung dengan Effort pada tahun 2009. Tak terhitung
berapa kali proses FGD, pelatihan dan diskusi lain sebagai proses
belajar bersama tim Effort dan kedua komunitas tersebut yang
memberikan pemahaman tidak hanya terkait dengan masalah
heteroseksual dan lesbian. Artinya, bukan hanya masalah privat
95

oreintasi seksual yang menjadi topik pembahasan dalam kegiatan
bersama Effort, tetapi pembahasan dan diskusi selalu membongkar
berbagai isu, seperti ekonomi, lingkungan, politik, budaya, agama,
kesehatan dan lain sebagainya. Proses belajar bersama menjadi sangat
holistik. Desain program belajar ini dilandasi oleh pemahaman bahwa
kehidupan ini begitu luas dan saling terkait. M aka, proses penerimaan
diripun sebenarnya sangat mungkin dikaitkan dengan berbagai hal
dalam realitas kehidupan masing-masing individu.
FGD bulan M ei tahun 2014 lalu, disepakati bersama untuk
saling berefleksi oleh teman-teman Effort dan kedua kelompok
tersebut. Seluruh kelompok 1 dan 2 menyampaikan beberapa hal yang
didapat selama berproses bersam dengan Effort. Teman-teman
kelompok 1 maupun kelompok 2 merasa bahwa setiap individu dari
kedua kelompok tersebut bisa diterima apa adanya, apapun pilihan
orientasi seksual mereka, pekerjaan, aktivitas, pendidikan, dan latar
belakangnya. Pemahaman yang mendalam yang dibangun dalam
kelompok ini membuat seluruh kelompok sangat dekat, saling
memahami. Hal lain yang begitu terlihat dalam komunitas ini adalah,
tidak adanya penilaian yang bersifat fisik dan material. Nilai-nilai
kemanusiaan adalah hal yang selalu dikedepankan oleh mereka.
Berbagai kegiatan telah menjadi fondasi tumbuhnya kedekatan
di antara mereka. M aka bagi meraka (kelompok), Effort adalah rumah
kedua bagi semua orang yang ada dalam kedua kelompok tersebut.
Apapun kondisi dan situasi yang mereka hadapi , mereka akan
bermuara kembali pada komunitas yang di bangun bersama tim Effort.
Pengalaman masing-masing individu dalam menjalani proses
kehidupannya menjadi media belajar bersama untuk
menggali
kehidupan yang lebih luas. Tidak ada batasan bagi siapapun untuk
mengekspresikan dirinya. Effort memberikan ruang untuk berekspresi
dan berdialog bagi semua pihak. Nilai kesetaraanpun menjadi hal
utama yang dibangun di kelompok. M embangun ruang dialog dan
menjadikan semua pihak adalah subyek adalah bagian dari metode
belajar di komunitas (kelompok). Penghargaan dan pemahaman satu
96

sama lain, terbangun seiring dengan proses yang mereka jalani sampai
saat ini.
Tidak ada pemisah atau ruang pembatas untuk berekspresi bagi
semua sama, baik heteroseksual maupun lesbian. Berbaurnya 2
kelompok tersebut, membuat perbedaan orientasi seksual tidaklah
berbeda. Yang ada hanyalah kesamaan bahwa mereka semua adalah
manusia yang berproses dan belajar bersama, untuk memahami diri
sendiri, menghargai orang lain, dan berupa melakuakn hal positif bagi
orang lain. Suasana kekeluargaan dan kedekatan yang dibangun oleh
Effort dan komunitasnya menghasilkan rasa percaya diri pada setiap
individu, kepercayaan antara individu, dan rasa untuk bertanggung
jawab pada diri dan lingkungan sekitar. Proses belajar bersama juga
mampu membangkitkan rasa keingintahuan dan terus belajar pada
setiap individu. Proses panjang bersama Effort, membuat seluruh
individu di dalam komunitas menjadi agen perubahan bagi lingkungan
terdekatnya. Hasil dari proses belajar yang didadaptkan bersama Effort,
menjadi modal awal bagi setiap individu baik untuk dirinya sendiri
ataupun bagi orang lain disekitar mereka.

Dinamika Eksistensi Diri di dalam Komunitas
Proses penerimaan diri hingga sampai titik eksistensi yang
dimiliki oleh Kris tidak terlepas dari bagaimana proses Kris bersama
dengan komunitas. Penerimaan diri yang dimiliki oleh Kris adalah satu
modal utama yang dia miliki untuk berproses bersama dengan
kelompok 1 dan kelompok 2 di lembaga effort. Pada bagian ini akan
dibahas bagaimana eksistensi diri seorang lesbian di dalam komunitas,
bagaimana proses interaksi dengan kelompok 1 (heteroseksual) dan
kelompok 2 (lesbian) serta bagaimana membangun diri dengan apa
adanya dirinya. M embangun eksistensi diri didalam komunitas
memerlukan begitu banyak kesadaran akan diri dan lingkungan
dikomunitas. Bahwa setiap aktivitas, kegiatan, proses belajar dan
mengembangkan diri sebagai bagian dari komunitas adalah salah satu
hal yang dapat terlihat pada diri dalam eksistensinya di komunitas.
97

Tahapan demi tahapan yang dilalui menghadirkan sebuah
perjalanan panjang seorang lesbian membangun eksitensi dirinya
dikomunitas. Seperti tergambar diatas, bahwa eksistendi diri seorang
lesbian tidak hanya persoalan pribadi yang terus diupayakan dan
mengalami perkembangan. Kehadiran komunitas juga menjadi satu
pendorong yang dapat membantu seorang lesbian membangun
eksistensi dirinya sendiri, dan eksistensinya dikomunitas. Proses awal
pada uraian ini akan menggambarkan dan menjelaskan bagaimana awal
mula seorang lesbian memulai proses bersama dengan komunitas.
“Awalnya aku kenal beberapa teman pengurus Effort di tahun
2002. W aktu itu salah satu pengurus Effort masih kerja di
pabrik yang sama denganku. Saat Effort mulai dibentuk tahun
2007 aku ikut kegiatannya, tetapi masih sangat jarang. Aku
mulai rutin ikut kegiatan di Effort kira-kira tahun 2009.
Awalnya aku diundang untuk mengikuti pelatihan HIV/AIDS.
Dari pelatihan itu aku aktif mengikuti kegiatan di Effort sampai
sekarang ini. Setelah beberapa tahun aku mengikuti kegiatan
reguler dan pelatihan di Effort aku memiliki banyak harapan
untuk diriku sendiri. Aku berharap bahwa aku mampu
memahami diriku, menerima diriku apa adanya, aku berusaha
untuk terus belajar banyak tentang kehidupan ini. Selain itu
dengan kegiatan bersama Effort aku belajar untuk berkembang
menjadi seorang Co (Community Organizer) yang tentunya
membuatku belajar sedikit demi sedikit menghilangkan rasa
tidak percaya diriku. Selain itu aku berharap dengan apa yang
aku dapat dari proses belajar bersama dengan Effort, aku
menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi lingkungan
disekitarku. Di Effort setiap orang sangat dekat, kita seperti
keluarga. Kita tidak saling menilai yang ada adalah rasa saling
menghargai dan berbagi untuk terus belajar.
Dengan mengikuti setiap kegiatan di Effort aku merasa bahwa
pola pikirku dulu dengan sekarang berbeda. Banyak yang
berubah, aku lebih menghargai diriku, dengan hal itu ketika
aku bertemu dengan teman lain di komunitas Effort aku tidak
lagi malu, karena semua sama, proses belajar bersama
menjadikan kita saling berbagi, menyampaikan pendapat
masing-masing tanpa ada rasa takut dinilai salah atau benar,
karena kita sama-sama belajar. Dengan begitu aku belajar
memahami banyak hal, karena proses kehidupan teman-teman
yang lain baik heteroseksual maupun lesbian adalah referensi
untuk belajar.

98

Begitu banyak dialog yang aku jalani dengan teman-teman di
Effort membuatku belajar banyak tidak hanya belajar menerima
diri, tapi aku menyadari bahwa seharusnya diriku terus
berkembang dan terus belajar. Kini aku mulai belajar prose
membangun relasi yang tidak saling mengikat atau merugikan.
Dengan terus belajar bersama teman-teman aku memahami
dengan baik untuk membangun relasi yang lebih baik nantinya.
Sekarang aku juga coba menerapkan apa yang aku dapat di
Effort dari hasil diskusi dan kegiatan pelatihan untuk berbagi
dengan lingkungan sekitar dan tempat ku bekerja. Misalnya
saja ketika teman kerja yang sama bagian denganku curhat atau
bertanya beberapa hal padaku, aku akan mencoba membantu
mereka, satu hari ada yang tanya padaku tentang penyakit
menular seks (PMS) dan HIV/AIDS, kemudian kesehatan aku
coba jelaskan sesuai yang aku ketahui. Jika ada hal yang aku
kurang ttau dan belum mengerti aku akan datang ke Effort
untuk bertanya dan mengcopy materi yang ada dan kemudian
aku akan berikan pada ibu-ibu teman sekerjaku dan aku akan
ngobrol dengan mereka. Dulu aku merasa sedih, ketika kakakku
mengolok-olokku karena aku suka dengan sesama perempuan.
Tapi ketika aku belajar di effort akhirnya aku belajar banyak
hal, termasuk kenapa kakaku bersikap begitu terhadapkku.
Setelah sekian lama aku bersama dengan teman-teman di Effort,
banyak hal yang aku dapat. Kegiatan bersama kelompok 1,
kelompok 2 dan pengurus membuatku semakin menyadari
bahwa setiap orang siapapun itu memiliki kelebihan atas
dirinya, memiliki nilai atas diri, dan tentunya juga memiliki
makna atas apa yang dijalaninya. Aku merasa sangat diterima
disini, bahkan diterima apa adanya, banyak hal yang aku dapat
dan aku belajar banyak hal tentang kehidupan ini bersama
dengan kelompok 1 (heteroseksual), maupun kelomok 2
(lesbian)”.

Proses yang dilalui Kris dalam kegiatan bersama dengan
komunitas menunjukkan gambaran bagaimana eksistensi diri seorang
lesbian dikomunitas terbangun. Bergabung dengan komunitas sejak
tahun 2007 menjadikan Kris lebih menghargai dan terus belajar banyak
hal. Bahwa yang didapatkan dikomunitas bukanlah sebuah proses
untuk diri sendiri, melainkan mencoba berbagi dengan lingkungan
sekitanya. M embangun rasa saling mengahargai menjadi modal utama
dalam relasi didalam komunitas. Kesadaran akan diri, bertambahnya
penggetahuan, rasa saling menghargai, pendidikan kritis yang terus
dikembangkan dalam diri adalah hal-hal yang terus menjadi proses
99

yang terus harus dikembangkan bagi diri seorang Kris. Penerimaan diri
seorang lesbian di komunitas bukanlah hal yang sulit. Budaya tidak
saling menilai menjadi dasar terbukanya setiap proses bagi siapapun
untuk terus berkembang. Eksistensi diri di komunitas kini dapat
dipahami tidak hanya bagaimana seorang lesbian menunjukkan diri
sebagai bagian dari komunitas. Namun lebih dari itu eksistensi diri
seorang lesbian juga dapat dilihat dari bagaimana membangun rasa
saling percaya dan interaksi yang baik, tidak hanya dengan kelompok
lesbian, tetapi juga dengan kelompok heteroseksual.
Untuk memahami bagaimana eksistensi diri di dalam
komunitas, penulis juga akan memaparkan bagaimana seorang
heteroseksual juga berproses dalam komunitas. setiap proses dan
dinamika yang dihadapi oleh Roh dalam perjalannya bersama
komunitas juga akan memeperlihatkan bagaimana setiap manusia
memiliki proses masing-masing untuk tetap memiliki pilihan atas
kempok mana yang mampu membuat dirinya merasa diterima.
“Sekitar tahun 2000an aku kenal dengan beberapa teman
Effort, tetapi dulu kita masih diskusi di lembaga namanya
Yasanti. Jadi dulu banyak buruh yang ikut kegiatan dan diskusi
di Yasanti. Disitulah aku pertama meneganal pribadi sebagian
teman-teman Effort. Lalu pertama kali aku mengenal pengurus
Effort dari seorang teman pabrik. Dulu ada satu teman dipabrik
dan kita kerja dibagian yang sama namanya Lia, dia yang
awalnya mengenalkanku pada pengurus Effort. Lia sering
diskusi dengan teman-teman Effort. Tapi waktu itu Effort
belum terbentuk, hanya saja teman-teman sering berkumpul
dan mendiskusikan banyak hal termasuk dengan Lia. Dia selalu
menceritakan apa yang dia dapat dari diskusi dan kegiatan
bersama teman-teman Effort pada ku dan beberapa teman lain
dipabrik.
Tahun 2004 Lia di PHK dari pabrik, kemudian tidak begitu
lama tiba-tiba Lia bilang padaku kalau dia mau kerja di
Surabaya. Dan dia juga bilang, kalau dia akan merasa bersalah
jika dia tidak mengenalkanku dengan teman-teman Effort. Lia
berharap aku dan beberapa teman dipabrik tidak hanya
mendengarkan cerita tentang diskusi Lia dan teman-teman di
effort saja, tetapi benar-benar bertemu dengan teman-teman di
Effort.

100

Mulai tahun 2007 aku aktif mengikuti diskusi, pelatihan dan
kegiatan bersama Effort sampai saat ini. Aku masih ingin
belajar bersama dengan teman-teman, karena disinilah aku
mendapat pengetahuan dan pengalaman yang banyak dari
teman-teman. Selain itu aku juga mendapat keluarga, Effort
merupakan support bagi ku, banyak hal yang dapat menjadi
sumber belajar, termasuk belajar menghargai orang lain, aku
menemukan sebuah keluarga yang saling menghargai,
membebaskan dan saling membangun disini.
Berkegiatan bersama dengan Effort memberi banyak masukan
untukku, selain membangun diri menjadi lebih baik, ya tentu
saja memperkuat pola pikir dan prinsip hidupku. Effort
memeberikan banyak hal yang menjadi support bagi kawankawan, pola pikirku tentang banyak hal semakin menguat
ketika aku mulai berdialog dan berkegiatan bersama dengan
teman-teman effort. Kegiatan yang dilakukan dengan
kelompok 2 (lesbian) berjalan dengan baik, karena disini kita
memiliki tujuan yang sama untuk belajar bersama tanpa
melihat orientasi seksual dan latar belakang seseorang. Justu
dengan hal tersebut kita belajar saling memahami dan
menghargai sebagai manusia”.

Dari penggalan wawancara dengan Roh diatas, kita juga dapat
melihat bagaimana proses bersama dengan komunitas dan anggota
kelompok lainnya menjadi sebuah support bagi seorang Roh. Proses
yang sama yang dialami oleh Roh di dalam komunitas, terbentuknya
rasa saling menghargai dan membangun satu dengan yang lainnya
adalah sebuah nilai yang dibangun bersama.

Pengembangan Diri M elalui Lembaga
Potensi seorang lesbian yang tumbuh hingga proses aktualisasi
diri/eksistensi diri, sangat mungkin mereka capai. Namun tentu saja
dibutuhkan pemahaman dari pihak eksternal tentang potensi yang ada
pada diri seorang lesbian. Hal inilah yang juga menjadi pendukung bagi
berkembangnya eksistensi diri seorang lesbian baik untuk dirinya,
komunitas dan masyarakat yang lebih luas. (http://belajarpsikologi.
com/teori-hierarki-kebutuhan-maslow/).

101

Lembaga Effort menjadi bagian penting dalam pembentukan
aktualisasi diri seseorang di komunitasnya. Penulis mencoba
menggambarkan beberapa hal yang telah lembaga Effort lakukan
bersama teman-teman kelompok heterosesksual maupun lesbian
dalam kurun waktu yang relatif panjang. Beberapa hal yang sudah
dilakukan Effort adalah sebagai berikut :

1. Effort mengembangkan seluruh komunitas ( kelompok ) untuk
menyadari batin dan pikran mereka dengan M editasi M engenal
Diri ( M M D ). Dalam MM D tidak ada proses menghilangkan reaksi
dan gejolak batin apapun terhadap berbagai hal yang muncul.
Dengan begitu, kelompok terbiasa untuk menyadari apapun yang
muncul sebagai sebuah bentuk pikiran baik secara secara internal
maupun eksternal. Proses ini membantu setiap orang untuk
memahami berbagai hal secara proporsiaonal.
2. Berbagai budaya yang berkembang di masyarakat dan dilegitimasi
oleh Negara, memiliki konsekuensi yang seringkali “ memasung “
proses kreatifitas kelompok heteroseksual dan lesbian. Budaya yang
diyakini oleh mayoritas orang sebenarnya
justru sering
bertentangan dengan batin individu baik di kelompok heteroseksual
ataupun kelompok lesbian. Untuk membongkar berbagai hal ini,
Effort mengembangkan pola belajar pendidikan kritis. Dengan
begitu, seluruh kelompok terbiasa berpikir kritis, analitis yang
tentu saja teraplikasi dalam bertindak atau melakukan berbagai hal
baik dalam kelompok ataupun yang bersifat personal.
3. Kesadaran yang terus dikembangkan oleh Effort, berperan penting
untuk membantu setiap individu di komunitas untuk memahami
diri sendiri, bahkan juga memahami orang lain. menemukan
panggilan didalam hidup. Seperti misalnya, menguatkan potensi
masing-masing personal dan membantu menganalis, menguatkan
pilihan apa yang dianggap cocok untuk proses kehidupan setiap
inividu. Proses ini memberi kesadaran yang tinggi atas kehidupan
yang begitu luas dan setiap individu memiliki nilai dalam hidupnya
sebagai seorang manusia. Setelah mampu memahami dan menolong
102

diri sendiri, proses berlanjut secara otomatis memasuki wilayah
yang lebih luas yaitu wilayah eksternal dari diri sendiri. Di sinilah
kemudian masing-masing
berperan bagi orang lain untuk
mengembangkan kesadaran atas diri baik di lingkungan keluarga
ataupun lingkungan masyarakat lainnya. Hal ini banyak dimaknai
dan dipahami oleh semua kelompok sebagai panggilan hidup.

4. M engembangkan kesadaran bahwa setiap manusia yang lahir di
muka bumi ini adalah indivu yang berharga dengan segala suka cita
yang harus dilampaui dalam kehidupannya. Namun segala hal yang
menjadi bagian dari hidup baik suka maupun derita dikembangkan
sebagai sebuah media belajar dalam komunitas. M etode ini
membantu setiap orang untuk menyadari bahwa setiap orang punya
nilai yang sama dan sangat berharga.
5. M engembangkan proses penerimaan atas diri dan pemahamanakan
kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing orang dan
mendorong setiap individu untuk mampu berekspresi karena
betapapun, ekspresi adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia.
6. Hal lain yang selalu teman-teman Effort lakukan adalah,
menembangkan proses untuk saling menghargai dan memahami
berbagai potensi alam dan segala keindahannya. Untuk itu,
kehidupan manusia tidaklah terpisah dari seluruh keberadaan alam
dan seluruh isinya. Dan setiap orang, siapapun itu, apapun latar
belakangnya, pekerjaanya, pilihan atas hidupnya, mereka memiliki
nilai dan makna bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Bahwa seluruh
kehidupan bermakna spiritual. Oleh karenanya setiap orang harus
memahami dirinya dan selanjutnya akan memahami fungsi dirinya
bagi orang lain.
7. M embantu setiap orang untuk mampu mengontrol diri agar tidak
dikuasai oleh potensi arogansi yang menjadi kecenderungan
manusia. Dengan begitu, kualitas diri akan terus berkembang dan
terjaga untuk mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

103

8. Kita harus mengajarkan orang untuk mengatasi masalah sepele dan
bergulat dengan masalah serius dalam kehidupan. Ini termasuk
masalah ketidakadilan, rasa sakit, penderitaan, dan kematian.
9. M engembangkan proses-proses terbangunnya tingkat solidaritas
yang tinggi atas berbagai perbedaan.

Dengan begitu, setiap orang akan mampu menghadirkan
eksistensi dirinya dengan arif dan bijak. Tidakkah kita memahami
bahwa pandangan umum di dalam masyarakat yang selalu berpikir
bahwa lesbian hanyalah mengacu pada perilaku seksual saja, namun
dengan pemaparan diatas, kita dapat melihat bahwa aktivitas seksual
merupakan kebutuhan dasar manusia dan tentunya kebutuhan dasar
ini jauh dari nilai tertinggi manusia. Setiap orang memiliki makna dan
nilai atas hidunya. Nilai bukanlah rasa untuk terus menerus mencapai
sebuah kepuasan, namun setiap orang pasti memiliki nilai atas dirinya
dan berfungsi bagi diri dan lingkungan sekitarnya.
Eksistensi diri dapat ditunjukkan ketika titik aktualisasi diri
tercapai. Nilai spiritual selalu ingin diwujudkan oleh setiap orang
untuk menerjemahkan hakikat manusia sebagaimana mestinya. Untuk
mencapai pada makna tertinggi atas diri, dibutuhkan proses yang
panjang, dan setiap manusia pasti melalui tahapan dan proses untuk
mencapai titik tertinggi tersebut. Dan jauh lebih penting, seluruh
proses panjang itu harus bertumpu pada nilai-nilai kemuanisaan.
Seluruh proses itupun menjadi bagian dari memanusiakan manusia.

104