Hubungan power distance dan perilaku seksual pranikah pada remaja

(1)

PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Lucia Dipa Saraswati 129114051

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

HALAMAN MOTO

KEEP MOVING FORWARD

YOU CAN

T CHANGE THE PAST BUT YOU CAN LEARN

FROM IT

"Remember you

re the one who can fill the world with sunshine."

"The flower that blooms in adversity is the most rare and beautiful

of all."

"You are braver than you believe, stronger than you seem, and

smarter than you think."

"Hakuna matata."

"Sometimes the right path is not the easiest one.

"Always let your conscience be your guide."

"Nothing's impossible."

“The only way to achieve the impossible is to believe it is possible.”

If you can dream it you can do it !


(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur dan rasa terima kasih yang sangat besar saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu mendampingi, memberi kesabaran, kekuatan dan menuntun saya dalam pengerjaan tugas akhir ini. Tanpa-Nya, tugas akhir ini tidak

akan mampu saya selesaikan.

Skripsi ini juga saya persembahkan kepada kedua orang tua saya, papa dan mama yang sudah dengan sabar mendengarkan setiap keluh kesah, mendukung setiap

pilihan yang saya buat, menuntun dan menunggu penyelesaian tugas akhir ini sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan dan menjadi salah satu cara mengurangi

beban papa dan mama. Terima kasih juga saya ucapkan kepada saudariku yang sudah menjadi panutan dan memberi semangat serta motivasi dalam penyelesaian

skripsi ini.

Untuk pacar saya yang sudah membantu, memotivasi, mendengarkan keluh kesah dan mendukung penyelesaian skripsi ini, saya ucapkan terima kasih yang sangat

besar atas kesabaran dan usahanya.

Teruntuk teman-teman dan saudara saudari yang sudah mendukung dan membantu terselesaiknnya skripsi ini baik membantu dalam penulisan, penghitungan, teori, dan pengisian skala, saya ucapkan terima kasih pula yang sebesar-besarnya karena tanpa bantuan teman-teman dan saudara-saudari, skripsi


(6)

(7)

vii

Hubungan Power distance dan Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja

Lucia Dipa Saraswati

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara power distance dan bentuk perilaku seksual pada remaja. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu terdapat hubungan negatif antara power distance dan perilaku seksual pada remaja. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif korelasional. Subjek dalam penelitian ini adalah 206 orang remaja dengan usia 19 sampai 24 tahun dan sedang menjalin relasi romantis. Metode yang digunakan dalam pemilihan subyek adalah metode convenience. Skala yang digunakan untuk mengukur power distance remaja adalah Personal Cultural Orientations yang sudah diadaptasi, sedangkan skala untuk mengetahui perilaku seksual dibuat dengan menggunakan metode survey. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji hipotesis korelasional spearman’s rho. Hasil penelitian ini mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara power distance dan bentuk perilaku seksual (r = - 0,106 , p = 0,128). Selain itu penelitian ini juga mengatakan bahwa hubungan antara power distance dan intensitas perilaku seksual bersifat negatif namun tidak signifikan (r = - 0,066 , p = 0,347). Kata Kunci : Power distance, Perilaku Seksual, Relasi Romantis, Remaja


(8)

viii

Correlation Between Power Distance And Pre-marital Sexual Behavior in Adolescent

Lucia Dipa Saraswati

ABSTRACT

The aim of this study is to perceive the relation between power distance and forms of sexual bahavior in adolescent. The hypothesis of this study is there is a negative relation between power distance and sexual behavior in adolescent.The method which is used to analyze the study is correlational quantitative. Certains teenagers who are undergoing their love story ,with the amount of 206 at the age of 19 to 24 are the subject of this study. The method used in subject choosing is sconvenience method. The scale which is used to measure off adolescent power distance is the adapted Personal Cultural Orientations. Whereas, the scale which is used to find out the sexual behavior is made by survey methods. The analysis used in this study is spearman rho correlational hypothesis test. The result of the study stated that there is no significant relation between power distance and forms of sexual behavior (r = - 0,106 , p = 0,128). Beside that, this study also stated that the relation between power distance and intensity of sexual behavior is negative and insignificant (r = - 0,066 , p = 0,347).


(9)

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang luar biasa saya panjatkan kepasa Tuhan Yesus Kristus yang selalu mendampingi saya dalam penegrjaan skripsi, memberi kesabaran dan ketabahan ketika saya merasa lelah selama masa pengerjaan karena adanya berbagai tantangan dan halangan. Terima kasih juga atas kekuatan yang sudah diberikan sehingga mampu mengatasi tantangan dan melalui setiap halangan yang saya hadapi serta menuntun saya dalam pengerjaan skripsi. Tanpa-Nya, saya mungkin sudah menyerah atau mungkin tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini karena banyaknya hambatan baik dari diri saya maupun banyaknya godaan dari luar. Ketika saya sudah mulai menyerah dalam pengerjaan, Engkau mengingatkan kembali akan tugas dan tanggung jawab ini sebagai salah satu cara untuk membahagiakan kedua orang tua saya serta membuktikan kepada diri sendiri dan orang tua akan kemampuan diri.

Rasa terima kasih yang sangat besar saya ucapkan kepada keluarga saya, papa, mama dan kakak dalam pengerjaan dan penyelesaian skripsi. Kata maaf saya ucapkan karena tidak mampu menyelesaikan secepat yang diinginkan keluarga namun rasa terima kasih yang besar ini saya ucapkan karena kesabaran papa, mama, dan kakak yang sudah memberi motivasi dan terus mengingatkan saya betapa banyak pelajaran positif dari berbagai hal yang saya alami selama pengerjaan skripsi ini. Kepada papa, terima kasih untuk motivasi yang diberikan dalam bentuk yang belum saya ketahui pada awalnya, kini saya memahami hal itu.


(11)

xi

Kepada mama, saya ucapkan rasa terima kasih atas kesabarannya untuk mendengarkan keluh kesah saya selama satu tahun ini untuk menyelesaikan skripsi ini, dan untuk kakak saya yang sudah menjadi teman dan pendengar serta menjadi seorang yang selalu mendorong saya untuk melihat lebih jauh bahwa pekerjaan yang saya anggap sebagai hambatan dan halangan dalam pengerjaan skripsi adalah pengalaman berharga untuk masa depan.

Saya ucapkan terima kasih Kepada jajaran jajaran dekanat, Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi, kepada Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Kepala Program Studi Faskultas Psikologi, dan Ibu Passchedona Henrietta Puji Astuti Dian Sabbati S.Psi, M.A., selaku Wakil Kepala Program Studi Fakultas Psikologi. Terima kasih kepada Dosen Pembimbing Akademik saya selama ini, Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si.

Terima kasih juga saya ucapkan untuk bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi yang telah bersabar dalam membantu saya menyelesaikan skripsi ini mulai dari memberikan pertimbangan judul yang sesuai dengan topik yang saya inginkan sampai pada akhir skripsi hingga akhirnya dapat saya selesaikan. Terima kasih atas nasehat, ketenangan dan saran dari bapak selama saya menghadapi skripsi yang penuh dengan kecemasan dan kepanikan.

Terima kasih juga saya ucapkan untuk dosen lain yang sudah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi saya Romo Dr. A. Priyono Marwan, SJ, Bapak Prof. A. Supratiknya, Bapak Agung Santoso M.A. Terima kasih atas semua ilmu dan saran yang diberikan dalam pnyelesaian skripsi saya .


(12)

xii

Rasa terima kasih yang paling besar saya ucapkan untuk I Made Bayu Gunawan yang sudah membantu saya layaknya dosen pembimbing, mendengarkan keluh kesah, memberikan saran serta membantu ketika saya kesulitan menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas waktu, tenaga dan kesabarannya terutama ketika saya mengalami kepanikan.

Terima kasih pula saya ucapkan untuk Melati Maharani, Ade Tri Ayu Sakona, Andhika Oktafaria, Stephanus Tan, Cakasana Peduk, Tahia Azira, Nabiella Piguna, Cynthia Budiarti, Rizky Anugrah, Deyla Prajna dan semua teman-teman Starbucks Empire XXI, terima kasih untuk segala bantuan, doa, dorongannya dalam menyelesaikan skripsi ini dalam jadwal kerja yang padat karena banyaknya promo namun sedikitnya partner. Terima kasih untuk MAP terutama Starbucks atas pengalaman selama 14 bulan yang sempat menghambat skripsi ini, namun pengalaman yang saya dapatkan tidak dapat terganti dan semoga apa yang saya dapatkan selama 14 bulan dapat membantu saya ke depannya dalam meraih apa yang saya inginkan. Untuk Strabuck empire XXI, terima kasih atas kenyamanan tempat yang mampu membuat saya menyelesaikan skripsi ini sampai berjam-jam .

Rasa terima kasih yang besar juga saya berikan untuk Bernadeth Bellanita Astri dan Brigitta Ajeng Hilarysa Pramesti yang sudah memberikan saran dan bantuan serta dorongan dalam jatuh bangun mnyelesaikan skripsi karena adanya berbagai halangan yang muncul. Terima kasih selalu ada dan menyiapkan diri dan telingan dalam mendengarkan berbagai keluh kesah.


(13)

xiii

Benedictus Febriyanto, yang sudah menemani dan memberikan pengalaman berharga dengan cara yang jauh dari yang saya pikirkan. Mungkin bukan cara yang menyenangkan namun terima kasih atas segala bantuan dan dorongannya beberapa bulan terahir ini sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan.

Terima kasih untuk teman-teman “kontrakan hijau”, Robert Ryan Haryogi, Videlia Dipna, Rara, Deni Priambodo, Rizza Chandra, Reinard, Galih, dan Agus Mega yang sudah membantu saya, memberikan tempat selama pengerjaan, memberikan ide dan bantuan dalam menyusun skala. Terima kasih untuk group angkatan SD Kanisius Demangan Baru, SMP Stella Duce 1, SMA Stella Duce 1, Psikologi angkatan 2012 yang sudah banyak membantu dalam mengisi skala.

Terima kasih untuk Erlin, Narisaa, Zelda, Wenita, Intan, Teteh, Bella, Gung Is, Reka, Agatha, Melan, Tiara, dan semua teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semua bantuan, dorongan dan semua hal yang sudah kalian lakukan dalam membantu saya menyelesaikan skripsi ini. Terus berjuang bagi teman-teman yang sudah lulus karena perjuangan belum selesai hanya sampai lulus saja karena pengalaman selanjutnya bisa mnejadi hal yang lebih berat dari yang kita pikirkan. Untuk teman-teman yang masih bejruang, semangat, jangan berkecil hati karena banyak yang sudah mendahului karena semua ada hal positifnya.

Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman yang jauh disana, Bimo, Niko, Mellisa, Adhi, mereka yang selalu mendukung, membantu, dna mendengarkan segala cerita dan keluh kesah selama pengerjaan skripsi. Teman-teman yang mau berbagi dan memberikan ilmunya kepada saya. Terima


(14)

xiv

kasih atas dukungannya baik secara emosional maupun fisik dengan membantu pengerjaan skala.

Akhir kata saya berharap skripsi ini dapat menjadi berguna bagi semua kalangan. Skripsi ini memang maish jauh dari sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan, namun saya sudah melakukan yang terbaik dalam penyelesaian skripsi ini. Maka, dengan segala kerendahan hati saya memohon saran dan kritik agar skripsi ini menjadi lebih sempurna di kemudian hari.

Yogyakarta, 15 Mei 2017 Peneliti


(15)

xv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAM PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

DAFTAR GAMBAR ... xxi

BAB I PENDAHULUAN ... 1


(16)

xvi

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Teoritis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Dimensi Budaya ... 10

1. Definisi Dimensi Budaya ... 10

2. Macam Dimensi Budaya ... 12

3. Karakteristik Dimensi Budaya ... 14

4. Dampak Dimensi Budaya ... 18

B. Perilaku Seksual ... 20

1. Definisi Perilaku Seksual ... 20

2. Bentuk Perilaku Seksual ... 22

3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual ... 26

C. Remaja ... 28

1. Definisi Remaja ... 28

2. Tahap Perkembangan Remaja ... 30

3. Remaja dan Perilaku Seksual ... 31

4. Remaja dan Relasi Romantis ... 33

D. Hubungan Antar Variabel ... 34


(17)

xvii

F. Hipotesis ... 40

BAB III METODE PENELITIAN ... 41

A. Jenis Penelitian ... 41

B. Identifikasi Variabel ... 41

C. Definisi Operasional ... 41

D. Subyek Penelitian ... 42

E. Prosedur Penelitian ... 43

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 44

1. Metode ... 44

2. Alat Pengumpulan Data ... 44

G. Validitas dan Reliabilitas ... 48

1. Validitas Skala ... 48

2. Reliabilitas Skala ... 51

H. Metode Analisis Data ... 52

I. Teknik Analisis Data ... 53

1. Uji Asumsi ... 53

2. Uji Hipotesis ... 54

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 56

A. Persiapan Penelitian ... 56


(18)

xviii

C. Deskripsi Subyek Penelitian ... 58

D. Deskripsi penelitian ... 60

E. Hasil Penelitian ... 61

1. Uji Normalitas ... 61

2. Uji Linearitas ... 65

3. Uji Hipotesis ... 67

4. Analisis Tambahan ... 69

F. Pembahasan ... 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Keterbatasan Penelitian ... 78

B. Kesimpulan ... 79

C. Saran ... 79

1. Bagi Orang Tua ... 79

2. Bagi Remaja ... 80

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 81


(19)

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Daftar Pernyataan Skala Power Distance ... 45

Tabel 3.2 Bobot nilai item perilaku seksual ... 47

Table 4.1 Tabel Deskripsi Rentang Usia ... 59

Tabel 4.2 Tabel Deskripsi Agama ... 59

Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Deskripsi Power Distance ... 60

Tabel 4.4 Hasil Pengukuran Deskripsi Perilaku Seksual ... 61

Tabel 4.5 Uji Normalitas Power Distance ... 63

Tabel 4.6 Uji Normalitas Perilaku Seksual ... 65

Tabel 4.7 Uji Linearitas ... 67

Tabel 4.8 Uji Hipotesis Power Distance dan Bentuk Perilaku Seksual ... 68

Tabel 4.9 Pengelompokkan Data Intensitas Perilaku Seksual ... 69

Tabel 4.10 Tabel Persebaran Intensitas Perilaku Seksual ... 70


(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Informed Consent ... 88

LAMPIRAN 2. Skala Penelitian ... 89

LAMPIRAN 3. Reliabilitas Skala ... 92

LAMPIRAN 4. Uji Normalitas ... 93

LAMPIRAN 5. Uji Linearitas Skala Power Distance dan Bentuk Perilaku Seksual ... 94

LAMPIRAN 6. Uji Korelasi Skala Power Distance dan Bentuk Perilaku Seksual ... 94


(21)

xxi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema ... 39

Gambar 4.1 Histogram Uji Normalitas Power Distance ... 62

Gambar 4.2 Histogram Uji Normalitas Perilaku Seksual ... 64


(22)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Masa remaja merupakan masa transisi seorang individu dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa remaja ini seorang individu mengalami pubertas yang ditandai dengan kematangan organ seksual dan meningkatnya hormon secara biologis sehingga mendorong remaja untuk tertarik dengan orang lain, umumnya lawan jenis, dan mendorong remaja melakukan perilaku seksual (Steinberg, 2002). Selain perubahan hormon, masa remaja identik dengan beberapa tugas perkembangan seperti pemilihan pasangan hidup. Dalam pemilihan pasangan, seorang remaja akan mengalami relasi romantis atau berkencan.

Relasi romantis atau berkencan merupakan tahap awal seorang remaja dalam pemilihan pasangan dan merupakan dampak dari pubertas serta perkembangan hormon biologis (Sullivan, 1953, dalam Steinberg, 2002). Dalam menjalin relasi romantis, seorang remaja memiliki 3 bentuk relasi romantis dan diikuti oleh usia remaja itu sendiri. Pada masa remaja awal, perilaku berkencan masih dilakukan dalam kelompok. Pada masa remaja tengah, perilaku berkencan sudah dilakukan secara pribadi namun juga terkadang masih dilakukan dalam kelompok. Pada masa remaja akhir, relasi romantis sudah berada pada tahap yang lebih serius dan berkencan sudah jarang dilakukan dalam kelompok (Connolly and McIsaac, 2009, dalam Santrock, 2011).


(23)

Dalam menjalin relasi romantis, terdapat berbagai bentuk kegiatan yang dilakukan seperti misalnya, jika remaja cenderung berkencan dalam kelompok maka mereka akan melakukan kegiatan yang dapat dilakukan bersama seperti menonton film. Begitu juga jika melihat pada perilaku berkencan yang dilakukan secara pribadi, tidak dalam kelompok. Berbagai bentuk kegiatan dapat dilakukan seperti misalnya makan malam bersama. Berbagai kegiatan yang dilakukan selama berkencan ini dianggap sebagai ungkapan dari rasa cinta yang dirasakan pada pasangan, namun kemudian hal ini juga dijadikan alasan pada perilaku seksual yang dilakukan pada remaja. Selain itu, meningkatnya perilaku seksual pada remaja juga menjadi bukti bahwa perilaku seksual sudah banyak dilakukan oleh remaja. Hurlock (2003) mengungkapkan bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bentuk ekspresi atau tingkah laku berpacaran dan rasa cinta.

Perilaku seksual itu sendiri merupakan segala bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2008). Pada masa remaja, perilaku seksual menjadi sesuatu yang mungkin karena adanya perkembangan hormon sehingga dapat mendorong ketertarikan dan keinginan seksual pada remaja. Selain itu, perilaku seksual yang dilakukan pada remaja juga dapat terjadi karena hal-hal dari luar itu sendiri. Soetjiningsih (2008) mengemukakan, perilaku seksual pranikah remaja adalah segala tingkah laku seksual yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenisnya, yang dilakukan oleh remaja sebelum mereka menikah. dorongan untuk melakukan perilaku seksual ini dapat muncul baik


(24)

dari luar maupun dari dalam diri seseorang. Adapun faktor eksternal yang dapat mempengaruhi perilaku seksual pada remaja seperti pengetahuan terkait seksual, meningkatnya libido seksual, media informasi, norma agama, orang tua, dan pergaulan yang semakin bebas (Sarwono, 2008).

Terdapat berbagai bentuk perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja, baik dari bentuk perilaku seksual yang ringan dan umum dilakukan oleh remaja itu seperti berpegangan tangan, sampai bentuk perilaku seksual yang berat dan beresiko seperti senggama (L’engle et.al. 2005, dalam Tjiptaningrum, 2009). Walau termasuk dalam kategori berat, bentuk perilaku seksual beresiko sendiri sudah banyak dilakukan oleh remaja terutama di sekitar peneliti. Remaja yang melakukan senggama dengan pasangannya memberikan beberapa alasan bahwa mereka melakukan hal tersebut sebagai bentuk ungkapan rasa cinta dan keinginan sepenuhnya dari masing-masing individu. Walau begitu, terdapat alasan yang menyatakan bahwa perilaku ini dilakukan karena terpaksa dan sebagai bentuk kepatuhan terhadap pasangannya karena mereka merasa bahwa pasangannya memiliki kuasa. Selain itu, beberapa remaja juga menyatakan bahwa ia melakukan senggama karena takut mengecewakan pasangannya atau dituduh tidak cinta jika ia tidak ingin melakukan hal tersebut. Beberapa alasan yang menggambarkan keterpaksaan karena adanya individu yang lebih memiliki kuasa menunjukkan adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja yaitu jarak kekuasaan atau strata yang ada pada remaja.


(25)

Strata yang terdapat dalam pergaulan remaja merupakan hal yang banyak ditemui di masyarakat. Adanya sosok atau individu yang memiliki kuasa cenderung lebih tinggi dapat ditemukan dalam keluarga seperti anak dan orang tua, dalam masyarakat yang lebih luas dimana adanya tokoh-tokoh agama, aparat, dan masyarakat, namun juga dapat ditemukan antar individu sendiri seperti antar laki-laki dan perempuan dimana umumnya laki-laki cenderung memiliki kuasa pada perilaku seksual yang dilakukan (Van Devanter et al, 2011). Pandangan terkait dengan kuasa yang ada di masyarakat dan penerimaan atas persebaran kekuasaan dalam masyarakat ini terdapat pada budaya khususnya pada dimensi power distance. Munculnya budaya sebagai faktor pendorong perilaku seksual remaja didukung oleh penelitian yang dilakukan Lakshmi, Gupta, and Kumar (2007) di India yang menyebutkan bahwa sosial budaya merupakan faktor yang paling utama terbentuknya perilaku seksual dibandingkan psikologis.

Power distance awalnya banyak ditemukan dalam istilah organisasi atau perusahaan, maka belum banyak penelitin sosial terkait dengan power distance. Namun saat ini power distance berkembang dan banyak diteliti dengan dikaitkan pada perilaku-perilaku sosial. Power distance merupakan suatu dimensi budaya yang berarti sejauh mana anggota yang kurang kuat dari masyarakat menerima dan berharap bahwa kekuasaan didistribusikan tidak merata (Hofstede, 2011). Dimensi ini merupakan dimensi yang mencerminkan sejauh mana kelompok dari orang yang dianggap memiliki daya dan kekuatan kecil dalam suatu budaya dalam suatu masyarakat


(26)

menerima distribusi kekuasaan yang tidak adil dan tidak setara sebagai sesuatu yang normal (Rinuastuti, et al, 2014). Masyarakat yang memiliki tingkat power distance lebih tinggi akan menghargai status dan hierarki dalam masyarakat sedangkan masyarakat yang memiliki tingkat power distance rendah kurang menghargai status atau hirarki dalam masyarakat (Tsujimura 1987, dalam Richardson & Smith, 2007). Keadaan ini bisa memberi dampak pada cara masyarakat bersikap dan berperilaku terhadap orang-orang di sekitarnya. Masyarakat yang tinggal pada budaya yang memiliki power distance yang tinggi memiliki berbagai cara untuk menghormati dan menghargai mereka yang berada pada status yang lebih tinggi, sedangkan mereka yang memiliki status lebih tinggi cenderung dapat berlaku semaunya tanpa memikirkan status ataupun keadaan yang dialami orang tersebut.

Hasil penelitian di beberapa negara yang terdapat dalam itim internasional menyatakan adanya perbedaan tingkat power distance pada beberapa negara terutama negara dengan budaya timur dan barat. Dalam penelitian tersebut dapat dilihat bahwa Indonesia memiliki tingkat power distance sebesar 78 dan Amerika sebesar 40 angka. Hasil tersbeut menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki angka power distance cenderung tinggi sedangkan Amerika memiliki power ditsance yang cenderung rendah. Hal ini berarti Indonesia memiliki masyarakat yang cenderung menerima distribusi kekuasaan dan menghargai mereka yang berada pada kekuasaan yang lebih tinggi. Berbeda dengan


(27)

Indonesia, Amerika memiliki angka power distance yang rendah cenderung memiliki masyarakat yang kurang menerima adanya distribusi kekuasaan sehingga tingkat penghargaan masyarakat Amerika pada orang-orang mereka yang memiliki status lebih tinggi cenderung kurang.

Kedua jenis power distance memberikan dampak pada sikap dan perilaku seseorang. Dampak power distance yang cenderung tinggi pada sikap individu seperti misalnya, masyarakat yang memiliki power distance tinggi cenderung kaku dan kurang terbuka pada hal di sekitarnya. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki power distance rendah cenderung fleksibel dan terbuka (Santili dan Miller, 2011). Masyarakat dengan power distance tinggi cenderung lebih taat dengan norma masyarakat karena norma budaya yang masih kuat dan kurang mau menerima hal-hal baru dari luar. Sebaliknya, masyarakat dengan power distance rendah cenderung memiliki norma budaya yang lebih longgar sehingga masayrakatnya lebih menerima budaya dari luar yang masuk. Selain itu dampak power distance terhadap perilaku juga dapat dilihat dalam sebuah keluarga dan kehidupan sehari-hari dimana setiap individunya tidak dapat mengekspresikan emosinya secara bebas (Smith & Bond 1993, dalam Ubilos, 2000). Berbeda dengan mereka yang memiliki power distance yang cenderung rendah, maka individu akan lebih mudah mengekspresikan emosi karena ekspresi emosi merupakan memberi dampak pada rendahnya perbedaan yang ada (Basabe et al., 1999, dalam Ubilos, 2000).


(28)

Perbedan perilaku dari kedua jenis power distance juga terlihat dari cara berkomunikasi antar tingkat hirarki. Masyarakat dengan power distance rendah memiliki bentuk komunikasi yang cenderung sama antara individu. Mereka tidak membedakan bentuk komunikasi yang digunakan karena menganggap semua individu berada pada status yang sama. Berbeda dengan masyarakat dengan power distance tinggi berkomunikasi dengan memperlihatkan status kekuatan yang ia miliki. Individu dengan status kekuasaan yang lebih cenderung menonjolkan dirinya dan mereka yang memiliki kekuatan. (Santili & Miller, 2011)

Jenis power distance tinggi dan rendah juga memberikan dampak pada beberapa perilaku khusus seperti misalnya perilaku seksual. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ubilos (2000) terkait dengan budaya dan perilaku seksual, power distance, sebagai bagian dari dimensi budaya, memberikan pengaruh pada perilaku seksual yang dilakukan pada subjek penelitian tersebut lebih khususnya terkait dengan intensitas perilaku seksual. Selain itu, penelitian yang dilakukan Lakshmi, Gupta, and Kumar (2007) di India terkait dengan budaya dan perilaku seksual menunjukkan 6 dari 257 subjek sudah melakukan senggama dan 34 dari 257 subjek sudah melakukan kontak fisik lainnya. Rendahnya perilaku seksual pada remaja di India dipengaruhi oleh ketaatan pada norma masyarakat yang menjadis alah satu karakteristik tingginya power distance pada individu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa power distance memberikan pengaruh pada bentuk perilaku seksual yang dilakukan terutama pada remaja.


(29)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di beberapa negara tersebut dapat disimpulkan bahwa power distance memberikan dampak pada perilaku seksual dimana masyarakat dengan power distance tinggi memiliki bentuk dan intensitas perilaku seksual yang rendah. Sebaliknya, mereka yang memiliki power distance rendah cenderung memiliki bentuk dan intensitas perilaku seksual tinggi walaupun hubungan keduanya cenderung lemah karena masih kurangnya penelitian terkait power distance dan perilaku seksual. Penelitian ini juga belum pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia khususnya pada remaja.

Belum adanya penelitian terkait power distance dan perilaku seksual remaja di Indonesia membuat peneliti ingin melihat hubungan kedua variabel tersebut pada remaja khususnya di Indonesia. Keinginan ini juga diperkuat dengan adanya alasan dari beberapa remaja di sekitar peneliti yang menyatakan bahwa mereka terpaksa melakukan perilaku seksual dengan pasangan karena takut mengecewakan dan takut dituduh tidak mencintai pasangan dimana. Kedua alasan tersebut merupakan gambaran keterpaksaan dalam melakukan perilaku seksual serta menunjukkan jarak kekuasaan atau strata yang ada pada remaja, sehingga peneliti melakukan penelitian dengan topik dimensi budaya dan perilaku seksual dengan judul hubungan power distance dan perilaku seksual pranikah pada remaja di Indonesia.


(30)

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan negatif antara power distance dan perilaku seksual pada remaja?

C. Tujuan Penelitian

1. Melihat ada tidaknya hubungan negatif antara power distance dan perilaku seksual pada remaja .

2. Menjelaskan hubungan antara power distance dan perilaku seksual pada remaja.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Mengembangkan ilmu psikologi khususnya remaja, budaya, dan perilaku seksual untuk mengurangi angka perilaku seksual pranikah pada remaja serta resikonya.

b. Menambah informasi terkait budaya dan perilaku seksual pranikah pada remaja.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dhrapakan dapat membeirkan gambaran yang sebernarnya terkait hubungan power distance dan perilaku seksual pada remaja di Indonesia khususnya pada remaja akhir

b. Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait dalam memberikan pengetahuan serta mengawasi perilaku pada khususnya perilaku seksual seperti keluarga, sekolah dan lembaga-lembaga lain.


(31)

10 BAB II

LANDASAN TEORI A. Dimensi Budaya

1. Definisi Dimensi Budaya

Budaya berasal dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal yang dikaitkan dengan akal, budi dan pikiran manusia. Budaya merupakan cara ataupun gaya hidup suatu kelompok masyarakat yang diputuskan secara bersama-sama. Hal ini terdiri dari pola dan cara berpikir, merasakan dan bersikap yang menjadi ciri khas tersendiri dari suatu masyarakat (Harris, dalam Birukou et al., 2009). Selain itu, Valentini (2005) menyatakan bahwa budaya adalah tempat keyakinan, pengetahuan, makna, hirarki, agama, waktu, peran, pandangan dunia, benda fisik dan harta yang diperoleh dan dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat.

Dalam KBBI, dimensi merupakan segi ilmu yang dapat dijadikan tinjauan ilmiah. Beradasarkan kedua hal ini, dimensi budaya dapat dikatakan sebagai segi ilmu yang dapat dijadikan tinjauan ilmiah terkait dengan suatu sistem dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang ada di pikiran anggota masyarakat. Dimensi budaya berlaku secara global dan tercermin dalam setiap aspek kehidupan serta memberikan penagruh pada perilaku masyarakat di daerah tersebut (Rinuastuti, 2014)


(32)

Hofstede (1991, dalam Rinuastuti 2014) melihat budaya sebagai suatu pemrograman kolektif pikiran yang membedakan anggota satu kelompok atau kategori orang dari orang lain. Dalam budaya tersebut, Hofstede membaginya menjadi enam dimensi budaya nasional. Keenam dimensi tersebut didasarkan pada penelitian yang luas dilakukan oleh Profesor Geert Hofstede, Gert Jan Hofstede, Michael Minkov beserta tim peneliti.

Banyak orang melihat bahwa budaya berasal dari luar dan bukan hal yang berasal dari dalam diri individu sehingga hal ini mempengaruhi cara berpikir, merasa dan berperilaku pada seseorang (Berry et al., 1992; Segall et al., 1990, dalam Matsumoto, 2001). Anggapan dan pandangan tersebut berbeda dengan pernyataan bahwa psikolog atau orang yang mempelajari psikologi lebih melihat bahwa budaya berasal dari dalam diri individu (Fiske et, al. 1998 dalam Matsumoto, 2001). Budaya merupakan suatu hal yang mendasar dan dimiliki secara alami oleh individu serta menentukan bagaiaman seorang individu berfikir, berperilaku, merasa, dan berinteraksi dengan realita. (Shweder, 1991). Individu melakukan segala hal berdasarkan budaya yang dimiliki secara degeneratif dan kreatif (Bandura, 1997; Harre ́ , 1999; Kim, 1999, dalam Matsumoto, 2001).


(33)

2. Macam Dimensi Budaya

Hofstede memiliki 5 dimensi budaya berdasar pada penelitian besar yang dilakukan sebelumnya (Hofstede, 2001). Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Michael Minkov (2007) dengan menggunakan data yang didapatkan dari World Value Survey memungkinkan adanya perhitungan baru dari lima, dimensi menjadi enam dimensi (Hofstede 2011). Adapun keenam dimensi tersebut adalah:

a. Power distance

Dimensi ini terkait dengan perbedaan solusi pada masalah mendasar terkait dengan ketidaksetaraan manusia (Hofstede, 2011). Dimensi ini merupakan suatu dimensi budaya yang mencerminkan sejauh mana kelompok orang-orang yang lemah (memiliki daya yang lebih kecil) dalam suatu budaya untuk menerima ketidakadilan dan ketidaksetaraan dalam distribusi kekuasaan sebagai situasi yang normal (Rinuastuti, et al, 2014). Distribusi kekuasaan dalam masyarakat memang tidak sama, namun beberapa daerah memiliki kesenjangan distribusi kekuasaan yang cukup tinggi. (Hofstede, 2011)

b. Uncertainty Aviodance

Dimensi ini terkait dengan tingkat stres pada masyarakat dalam menghadapi masa depan yang tidak diketahui (Hofstede, 2011). Dimensi ini mencerminkan sejauh mana seseorang yang tinggal dan suatu tempat atau budaya tertentu merasa terancam oleh


(34)

situasi yang tidak pasti, dalam arti tidak jelas dan tidak dapat diprediksi (Rinuastuti, et al, 2014).

c. Individualism vs Collectivism

Dimensi ini mencerminkan sejauh mana individu mementingkan kepentingan sendiri dibandingkan kepentingan keluarga dan kepentingan sosial lainnya, atau sejauh mana seseorang dalam suatu negara lebih memilih untuk bertindak terkait dengan dirinya sendiri dan bukan sebagai anggota dari kelompok masyarakat dalam negara tersebut. (Rinuastuti, et al, 2014).

d. Masculinity vs Femininity

Masculinity dan feminity merupakan dimensi yang terkait dengan pembagian peran emosional antara perempuan dan laki-laki (Hofstede, 2011).

e. Long Term vs Short Term Orientation,

Dimensi ini melihat pada sejauh mana budaya memiliki sudut pandang pragmatis jangka panjang atau orientasi sejarah jangka pendek. (Rinuastuti, et al, 2014).

f. Indulgence vs Restraint,

Dimensi ini terkait dengan kontrol pada keinginan mendasar yang ada pada manusia terkait dengan menikmati hidup seperti pemuasan keinginan. (Hofstede, 2011)


(35)

Berdasarkan dimensi budaya tersebut, terdapat enam dimensi budaya yaitu power distance, uncertainty acoidance, collectivism vs individualism, masculinity vs feminity, long Term vs Short Term Orientation, indulgence vs restraint. Dari keenam dimensi budaya tersebut, dimensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dimensi power distance karena sesuai dengan keadaan remaja di sekitar peneliti terkait dengan alasan remaja dalam melakukan perilaku seksual yang cenderung menunjukkan adanya kekuatan dari satu pihak.

Power distance sebagai bagian dari budaya juga merupakan suatu hal yang berasal dari dalam diri dan bukan dari luar. Power distance, sebagai bagian dari budaya budaya, dapat menentukan cara seseorang dalam berpikir, merasakan, berperilaku serta berpikir realisistis (Matsumoto, 2001). Keadaan ini membuat power distance mampu diperoleh dengan menggunakan analisis diri. Hal ini menjadi salah satu alasan penggunaan power distance dalam penelitian ini.

3. Karakteristik Dimensi Budaya a. Power Distance

Power distance terbagi atas 2 jenis yaitu power distance tinggi dan power distance rendah (Bialas, 2009). Terdapat beberapa karakteristik pada power distance tinggi dan rendah, budaya yang


(36)

memiliki power distance yang tinggi memiliki beberapa karakteristik yaitu lebih menolerir ketidaksamaan atau ketidaksetaraan, anggota sebuah masyarakat setuju bahwa kekuasaan memang tidak seharusnya dibagikan secara sama atau rata. Mereka yang berada pada posisi atas atau tinggi pada suatu kekuasaan memiliki hal istimewa dan dianggap benar, (Mead, 2003, dalam Bialas 2009). Di sisi lain, budaya yang memiliki power distance yang rendah cenderung memiliki karakteristik seperti lebih tidak toleran pada ketidaksetaraan, hal istimewa merupakan suatu hal atau posisi yang kurang bisa diterima oleh masyarakat, kemerdekaan dianggap lebih penting dan utama dibandingkan kesesuaian atau kepatuhan (Mead, 2003, dalam Bialas 2009).

Selain itu, power distance juga mempengaruhi bagaimana seseorang mengungkapkan emosi. Mereka yang memiliki power distance yang cenderung tinggi cenderung kurang mampu mengungkapkan dan mengekspresikan emosi karena akan dianggap kurang menghormati (Basabe et al., 1993, dalam Ubilos 2012). Kurangnya kemampuan mereka dalam menunjukkan emosi yang dirasakan membuat mereka cenderung kaku dan kurang terbuka (Santili & Miller, 2011). Hal ini ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan Richarson & Smith (2007) terkait dengan pemilihan media komunikasi yang menyatakan bahwa Jepang, yang memiliki power distance tinggi, memiliki cara yang khusus dalam mengekspresikan


(37)

emosi yang dirasakan terhadap individu lain dengan status lebih tinggi. Di sisi lain, individu yang memiliki power distance rendah cenderung lebih mudah mengungkapkan dan mengekspresikan emosi yang dirasakan (Basabe et al, 1993, dalam Ubilos 2012). Kemudahan dalam menujukkan emosi yang dirasakan membuat individu pada power distance yang rendah menjadi lebih fleksibel dan terbuka (Santili & Miller, 2011).

b. Individualism vs Collectivism

Mereka yang memiliki budaya invidualism cenderung mengutamakan kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan bersama (Rinuastuti, et al, 2014). Selain itu, mereka yang tinggal dalam budaya ini cenderung menghargai konflik terbuka dan logika linier. Dalam budaya ini, persaingan daripada kerjasama didorong, inisiatif individu dan prestasi ditekankan, dan pengambilan keputusan individu dihargai (Samovar dan Porter, 2004). Pada budaya ini, individu fokus pada prestasi mereka sendiri dan tujuan pribadi bukan pada kelompok. Mereka terlihat inovatif, memiliki waktu pribadi yang bernilai dan bebas, sedangkan pada budaya yang cenderung kolektivis, individunya cenderung lebih suka loyalitas dan keberhasilan kelompok pada keuntungan masing-masing (Kagitcibasi, 1997 dalam Tarhini 2013)


(38)

c. Uncertainty Avoidance

Individu yang memiliki uncertainty avoidance yang lemah cenderung memiliki tingkat stres dan kecemasan yang rendah, memiliki kontrol diri yang baik, lebih toleransi dengan ide orang orang lain, serta memiliki kesehatan diri yang baik. Di sisi lain, mereka yang memiliki uncertainty avoidance yang kuat cenderung memiliki tingkat stres dan kecemasan yang tinggi, kesehatan diri yang rendah, lebih emosional, lebih membutuhkan kejelasan dan struktur dalam kehidupannya (Hofstede, 2011).

d. Masculine vs feminine

Individu yang condong pada dimensi maskulin cenderung emosional, mengutamakan pekerjaan, memiliki anggapan bahwa laki-laki lebih cenderung melihat realita dan perempuan perasaan, penentu dalam keluarga. Sedangkan feminity cenderung pemerhati, simpati, memiliki anggapan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus melihat realita dan perasaan (Hofstede, 2011).

e. Long term orientation vs short term orientation

Mereka yang memiliki short-term orientation cenderung peribadi yang stabil, memiliki anggapan bahwa ada acuan akan sesuatu yang baik dan buruk, sedangkan mereka yang memiliki long-term orientation cenderung pribadi yang mudah beradaptasi dengan perubahan, memiliki anggapan bahwa sesuatu yang baik dan buruk


(39)

disesuaikan dengan keadaan atau realita (Handayani Rinuastuti, et al, 2014).

f. Indulgence vs Restraint,

Indulgence lebih mengarah pada kesenangan dan pemuasan atas keinginan individu yang relatif bebas dan cenderung bersenang-senang, sedangkan restraint lebih mengarah pada pembatasan atas keinginan individu yang di kontrol melalui norma-norma yang ketat (Hofstede, 2011).

Berdasarkan teori di atas, dapat dikatakan bahwa setiap dimensi memiliki kerateristiknya masing-masing. dalam penelitian ini peneliti menggunakan power distance sebagai variabel penelitian dengan alasan kesesuaian dengan realita yang dihadapi peneliti sehingga dalam penelitian ini karakteristik yang digunakan adalah karakteristik dari power distance.

4. Dampak Dimensi Budaya

Dimensi budaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah dimensi power distance. Dalam kehidupan sosial, power distance memberikan dampak yang sangat berarti pada beberapa aspek kehidupan yaitu :

a. Sikap

Jepang merupakan salah satu negara yang dianggap memiliki power distance yang tinggi, namun dari peneltian yang dilakukan


(40)

oleh Richardson dasn Smith (2007), power distance index yang dicapai oleh Jepang berada di bawah rata-rata. Jepang merupakan negara yang menjunjung tinggi norma dan hirarki dalam kehidupan sosial. Masyarakat Jepang sangat mengharga adanya hirarki sosial dan norma yang berlaku di masyarakat. Mereka percaya dan memiliki berbagai cara untuk menunjukkan rasa hormatnya pada individu yanng memiliki tingkatan atau status yang lebih tinggi. Di sisi lain, Amerika lebih menerima persamaan dalam bersikap dengan masyarakat sekitar dan kurang memandang adanya hirarki (Page dan Wiseman, 1993, dalam Richardson and Smith, 2007)

Selain itu, power distance pada seseorang juga mempengaruhi individu dalam bersikap. Mereka yang memiliki power distance yang tinggi memiliki sikap yang tertutup dan kaku. Hal ini banyak terjadi pada individu yang memiliki tingkat lebih rendah terhadap individu dengan tingkatan yang lebih tinggi (Santili & Miller, 2011).

b. Perilaku

Perilaku seseorang merupakan suatu perbuatan atau wujud dari sikap yang dimilikinya. Penelitian Ricahardson dan Smith (2007) terkait dengan pemilihan media komunikasi, menjelaskan dalam penelitiannya bahwa masyarakat Jepang memiliki sikap menghargai serta menghormati individu dengan status yang lebih


(41)

tinggi adapun perilaku ini dapat dilihat di bidang pendidikan seperti misalnya dalam menunjukkan rasa hormat pada gurunya, para murid di Jepang memiliki ekspresi dan kata-kata khusus terhadap mereka yang dianggap lebih “tinggi” yaitu guru dengan cara mempehatikan dan bertanya apabila ada penjelasan yang kurang dapat ditangkap. Di sisi lain, maysrakat di Amerika dapat memberikan respon dalam bentuk verbal maupun non verbal secara langsung kepada guru. Hal ini menunjukkan adanya kebebasan dalam mengungkapkan emosi. (Page and Wiseman, 1993, dalam Richardson and Smith, 2007)

Ekspresi dan kata-kata khusus yang ditunjukkan merupakan contoh perilaku seseorang dari sikap kaku dan tertutup yang dimiliki pada individu yang memiliki power distance yang cenderung tinggi. Sebaliknya, individu yang lebih terbuka dan mampu menunjukkan emosi yang dirasakan merupakan perwujudan dari sikap terbuka dan fleksibel pada individu dengan power distance yang cenderung tinggi. (Santili and Miller, 2011)

B. Perilaku Seksual

1. Definisi Perilaku Seksual

Perilaku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Skinner (2001, dalam Notoatmodjo, 2007), mengatakan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang pada suatu


(42)

stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “ S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon. Bentuk reaksi atau respon terhadap suatu rangsangan juga berbeda-beda. Bicard & David (2012) mengatakan bahwa perilaku adalah sesuatu yang dilakukan seseorang yang dapat diamati, diukur dan berulang-ulang.

Kata “seks” berasal dari bahasa latin yang berarti “membagi” dan menandai atau menunjukkan suatu kategori dari laki-laki dan perempuan (Rathus, Nevid, & Fichnes-Rathus, 2008). Salah satu cara memperhalus kata seks, sering digunakan istilah seksualitas. Seksualitas adalah pengalaman dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, dorongan, kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, peran dan hubungan yang dijalankan (Rathus, Nevid, & Fichnes-Rathus, 2008). Seksual menurut WHO berarti suatu aspek inti manusia sepanjang hidupnya dan meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi. seseorang karena adanya rangsangan yang terkait dengan jenis kelamin.

Sarwono (2008) mengatakan bahwa perilaku seksual merupakan segala bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenis maupun dengan individu yang sesama jenis. Bentuk perilaku seksual pun dapat terlihat dari bentuk perilaku seksual yang termasuk dalam kategori ringan sampai kategori berat dan objeknya dapat berupa


(43)

orang lain, khayalan maupun dirinya sendiri. Perilaku seksual menurut Notoatmodjo (2007) adalah tindakan yang dilakukan oleh remaja berhubungan dengan dorongan seksual yang datang baik dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya. Perilaku seksual pada remaja terjadi sebagai dorongan yang datang dari tekanan-tekanan sosial terutama dari minat dan keingintahuan remaja tentang seksual tersebut (Hurlock, 2003).

Dari beberapa definisi perilaku seksual yang diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan individu terkait dengan seks atau jenis kelamin karena adanya tekanan atau dorongan baik dari dalam maupun luar diri individu.

2. Bentuk Perilaku Seksual

Terdapat berbagai bentuk perilaku seksual yang dapat

dikategorikan dalam berbagai bentuk. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil teori terkait berbagai bentuk perilaku seksual dari L’engle et.al., lalu mengkategorikan bentuk perilaku seksual berdasarkan bentuk perilaku seksual yang dilakukan sendiri dan bentuk perilaku seksual yang dilakukan dengan orang lain. Bentuk-bentuk perilaku seksual yang tergolong dilakukan sendiri yaitu :

a. Menaksir / tertarik

Menurut KBBI, menaksir atau tertarik dapat diartikan sebagai terpikat atau menaruh hati kepada seseorang.


(44)

b. Mengkhayal

Purnawan (2004) mengatakan bahwa berkayal atau berfantasi seksual merupakan perilaku membayangkan dan mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotisme. Fantasi seksual ini biasanya didapatkan individu dari media atau objek yang dapat meningkatkan dorongan seksual. c. Onani dan masturbasi

Onani dan masturbasi dalah perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual. (Purnawan, 2004).

Sedangkan untuk perilaku yang tergolong dilakukan dengan orang lain yaitu :

d. Pergi Berkencan

Berkencan menurut KBBI dapat diartikan sebagai pergi bersama ke suatu tempat dengan waktu yang sudah ditentukan. Hal ini umumnya sudah ditentukan oleh kedua belah pihak.

e. Berpegangan tangan

Berpegangan tangan meliputi menggenggam dan menggandeng. Aktivitas ini tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang kuat namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas yang lain (Purnawan, 2004). Rathus, Nevid, dan Fichner-Rathus (2008) menyebutkan bahwa berpgangan tangan dan


(45)

berpelukan merupakan bentuk perilaku seksual yang sering dilakukan remaja.

f. Berciuman ringan (kening, pipi)

Berciuman ringan atau disebut juga ciuman kering biasanya dilakukan pada bagian tertentu yang tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual seperti pipi, kening dan tangan.

g. Saling memeluk

Perilaku ini dapat menimbulkan perasaan aman, nyaman dan tenang dan dapat menimbulkan rangsangan seksual jika menyentuh bagian yang sensitif (Purnawan, 2004). Berpelukan atau saling memeluk meliputi memeluk dan merangkul.

h. Berciuman bibir/mulut dan lidah

Berciuman yang termasuk dalam kategori berat terdiri atas beberapa jenis ciuman. Sarwono (2008) menyebutkan adanya kissing dan necking sebagai beberapa bentuk perilaku seksual. Kissing merupakan berciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan. Ciuman seperti pada bibir umumnya disertai dengan rabaan pada beberapa bagian sensitif yang dapat meningkatkan rangsangan seksual. Adapun ciuman dapat dilakukan dengan bibir tertutup seperti pada umunya. Menurut Rathus, Nevid, dan Fichner-Rathus (2008) berciuman (kissing) dapat menjadi isyarat kasih sayang tanpa makna erotik terhadap pasangan, keluarga, ataupun teman dekat. Ciuman pada bibir dapat berupa ciuman dengan


(46)

memasukkan lidah ke dalam mulut pasangan atau deep kissing ataupun hanya sekedar menempelkan bibir pada bibir pasangan atau simple kissing (Rathus, Nevid, & Fichner- Rathus, 2008). Namun dapat juga dilakukan dengan mulut dan bibir terbuka, menggunakan lidah atau biasa disebut french kiss. Adapula necking yaitu berciuman di sekitar leher ke bawah. Necking merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan ciuman disekitar leher dan pelukan yang lebih mendalam.

i. Meraba dan mencium bagian sensitif

Sarwono (2011) mengatakan bahwa meraba merupakan aktivitas seksual dimana salah satu dari pasangan atau keduanya meraba bagian payudara atau alat kelamin sebagai alat untuk mendapatkan kepuasan tanpa bersenggama.

j. Menempelkan alat kelamin

Merupakan perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dan organ kelamin. Perilaku ini merupakan langkah yang lebih mendalam dari necking. Jenis perilaku ini termasuk merasakan dan mengusap-usap kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian.

k. Oral seks

Merupakan aktivitas seksual dengan cara memasukan alat kelamin ke dalam mulut lawan jenis.


(47)

l. Intercourse (senggama)

Merupakan aktivitas seksual dengan memasukan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita. (Purnawan, 2004). Sarwono (2011) mengatakan bahwa intercourse adalah bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita yang ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk mendapatkan kepuasan seksual.

Berdasarkan teori di atas dapat dikatakan bahwa perilaku seksual tergolong menjadi dua yaitu perilaku seksual yang dilakukan sendiri dan perilaku seksual yang dilakukan dengan orang lain. Bentuk perilaku seksual yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk perilaku seksual yang dilakukan dengan orang lain sebagai wujud interaksi.

3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual

Menurut Sarwono (2011) faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seksual pada remaja adalah:

a. Pengetahuan

Reproduksi pada masa remaja semakin matang dan berkembang. Pada masa ini sebaiknya remaja mendapat pengarahan dari tua terkait kesehatan reproduksi, namun kurangnya pengarahan dari orang tua dan sekitar terkait akibat dari perilaku seksual membuat mereka sulit mengendalikan dorongan dari dalam dan luar


(48)

diri dan melakukan perilaku seksual secara bebas tanpa mengetahu akibatnya

b. Meningkatnya Libido Seksual

Dengan munculnya pubertas dan kemangan secara biologis pada diri seorang remaja, maka motivasi dan energy seksual juga meningkat. Hal ini penting untuk mengisi peran sosial remaja dalam masyarakat.

c. Media Informasi

Berkembangnya media informasi dengan adanya kecanggihan teknologi dan internet membuat rangsangan seksual meningkat. Remaja cenderung ingin coba-coba dan meniru apa yang sudah dilihatnya terutama terkait hal-hal baru khususnya terkait seksual yang belum diketahuinya secara lengkap.

d. Norma Agama

Norma yang ada pada agama tetap melarang adanya hubungan seksual sebelum menikah. Pada masyarakat yang sifatnya modern, larangan tersebut meningkat menjadi berciuman dan masturbasi untuk menghindarkan remaja dari kecenderungan melanggar norma tersebut.

e. Orang Tua

Sikap orang tua yang masih menabukan seks terhadap anak-anak cenderung menciptakan jarak antara anak-anak dan orang tua. Hal ini


(49)

membuat remaja menjadi kurang terbuka dan pengetahuan remaja terhadap seksualitas menjadi berkurang.

f. Pergaulan Semakin Bebas

Faktor ini banyak terjadi di beberapa kota besar dimana terdapat kebebasan pergaulan antar jenis kelamin. Jika pergaulan ini tidak dipantau dengan baik oleh orang tua, maka kemungkinan perilaku seksual yang terjadi akan semakin tinggi terutama di kota-kota besar atau di daerah dengan pergaulan yang semkain bebas.

Selain itu, terdapat faktor lain yang dapat membentuk perilaku seksual pada remaja yaitu budaya. Dikatakan dalam beberapa penelitian bahwa budaya memberikan pengaruh pada perilaku seksual seperti misanya penelitian Ounjit (2014) yang mengungkapkan hasil bahwa terdapat berbagai bentuk perilaku seksual yang dilakukan pada remaja di Thailand dikarenakan budaya setempat yang sudah mulai memudar dan munculnya budaya baru.

C. Remaja

1. Definisi Remaja

Dalam masa perkembangan setiap indivudu melewati masa remaja. Masa remaja sering pula disebut adolesensi (bahasa latin adolescere = adultus ; menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa) (Gunarsa, 2003). Menurut Papalia, Olds, Fieldman (2009), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa


(50)

kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Menurut Gunarsa (2003) remaja juga diartikan sebagai manusia yang masih di dalam perkembangannya menuju kedewasaan baik jasmani maupun psikisnya.

Adapun dalam masa perkembangannya, terdapat berbagai hal dari diri individu yang ikut berkembang. Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2009), masa remaja merupakan masa transisi perkembangan dari kanak-kanak menuju dewasa yang mengandung perubahan besar secara fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan. Dari beberapa pendapat mengenai remaja dan rentang usianya, dapat dikatakan masa remaja merupakan transisi seseorang dari masa kanak-kanak menuju dewasa serta mengalami perkembangan baik secara fisik, kognitif, psikososial, otonomi, harga diri, dan keintiman. Hal ini diperkuat dengan oleh pernyataan transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990).

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa remaja adalah masa transisi individu dari anak-anak menuju dewasa dengan berbagai perubahan baik secara fisik, kognitif, psikososial, otonomi, harga diri, dan keintiman.


(51)

2. Tahap Perkembangan Remaja

Secara global masa remaja berlangsung antara usia 12-21 tahun, namun beberapa ahli memiliki persepsi yang berbeda terkait rentang usia remaja. Menurut Papalia Fieldman (2014), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi dua yaitu remaja awal pada rentang usia 13 hingga 16 atau 17 tahun dan remaja akhir pada rentang usia 16 atau 17 tahun hingga 20 tahun. Gunarsa (2006) mengemukakan pendapatnya tentang batas-batas usia anak, remaja dan dewasa bertitik tolak pada batas usia remaja yang menyatakan bahwa remaja merupakan masa transisi antara masa anak -anak dan masa dewasa yakni antara 12-21 tahun. Monks (2002) berpendapat bahwa secara global masa remaja berlangsung antara 12-21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun merupakan masa remaja awal, 15-18 tahun merupakan masa remaja pertengahan, dan 18- 21 tahun merupakan masa remaja akhir.

Sedikit berbeda dengan beberapa ahli sebelumnya, WHO membagi masa remaja menjadi dua yaitu masa remaja awal pada usia 10-14 tahun dan remaja akhir apda usia 15-20 tahun. Di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 15-24 tahun (Sarwono, 2008). Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa masa remaja berada pada usia 12 sampai 24


(52)

tahun dan terdiri atas tiga tahap yaitu remaja awal, remaja madya, dan remaja akhir.

Dalam penelitian ini peneliti menggunaka remaja dengan rentang usia 19 sampai 24 tahun atau remaja akhir dengan pertimbangan kematangan psikologis dan cara berpikir remaja ketika mengisi kuesioner terutama kuesioner terkait perilaku seksual karena pernyataan yang diberikan cukup terbuka.

3. Remaja dan Perilaku Seksual

Masa remaja merupakan masa transisi seorang individu yang diikuti dengan adanya perubahan dan perkembangan baik secara fisik maupun emosionl. Salah satu perkembangan dan perubahan individu ditandai dengan adanya pubertas yaitu masa dimana organ reproduksi pada manusia sudah matang yang ditandai dengan adanya menstruasi pada perempuan dan mimpi basah pada laki. Pubertas terjadi pada individu saat masuk pada tahap masa remaja awal. Berkembangnya individu secara biologis bukan hanya dari organ seksual saja namun juga hormon-hormon di dalam tubuh yang memungkinkan munculnya dorongan seksual yang masih asing bagi remaja (McClintock and Herd, 1996, dalam Steinberg, 2002). Di masa remaja ini, konsentrasi hormon-hormon tertentu dapat berkembang dramatis (Roa., et al, 2010, dalam Santrock 2003)


(53)

Santrock (2011) berpendapat bahwa masa remaja adalah masa eksplorasi dan eksperimen seksual, masa fantasi dan realitas seksual, masa mengintegrasikan seksualitas ke dalam identitas seseorang. Remaja memiliki rasa ingin tahu dan seksualitas yang hampir tidak dipuaskan. Mereka memikirkan segala sesuatunya terkait dengan seksual, baik terkait dirinya maupun dengan orang lain. Pada keadaan seperti ini, orang tua dibutuhkan untuk memberikan pengertian terkait perilaku seksual. Di Indonesia, kurangnya pendampingan dari orang tua disebabkan karena orang tua merasa tabu membicarakan masalah seksual dengan anaknya dan hubungan orang tua anak menjadi jauh sehingga anak berpaling ke sumber-sumber lain yang tidak akurat khususnya teman (Sarwono, 2011).

Mayoritas remaja dapat mengembangkan identitas seksual yang matang, meskipun sebagian besar di antara mereka mengalami masa yang rentan dan membingungkan (Santrock, 2011). Dalam perkembangannya, remaja perlu menguasai perasaan seksual dan membentuk rasa identitas seksual merupakan proses yang bersifat multiaspek dan panjang (Diamond dan Savin-Williams, 2009, dalam Santrock, 2011). Pengembangan identitas seksual ini mencakup pengelolaan peran seksual, mengembangkan bentuk intimasi yang baru serta keterampilan untuk mengolah tingkah laku seksual agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan. Mengembangkan identitas seksual bukan hanya pada perilakunya saja, tetapi juga dalam beberapa faktor lain yaitu


(54)

faktor fisik, sosial, budaya, dan beberapa lingkungan masyarakat yang memberi batasan pada perilaku seksual (Santrock, 2011)

Seorang remaja dikatakan sudah memiliki identitas seksual jika ia mampu melihat diri sendiri sebagai wujud seksualitas, mengenali orientasi sesual dirinya, datang dan berdamai dengan gejolak seksual, dan membentuk kedekatan yang romantis atau seksual (Papalia and Fieldman, 2014). Dalam menemukan identitas seksualnya, seorang remaja memerlukan seorang yang dapat dijadikan tempat bertanya dan tempat untuk mendapatkan informasi serta pengarahan sehingga tidak melebihi batas norma dalam masyarakat.

4. Remaja dan Relasi Romantis

Hubungan romantis merupakan bagian pusat pada hampir semua dunia sosial pada masa remaja (Papalia and Feldman, 2014). Relasi romantis yang terjadi pada remaja merupakan bagian dari tugas perkembangan yaitu pemilihan pasangan. Hal ini terjadi sebagai dampak dari pubertas dan perkembangan biologis lain pada masa remaja. Sullivan (1953, dalam Steinberg, 2002) mengatakan bahwa relasi romantis yang terjadi pada remaja umumnya terjadi pada mereka yang berada pada kelompok berlawanan jenis kelamin.

Relasi romantis yang terjadi pada remaja dapat dibagi menjadi beberapa tahapan (Connolly and McIsaac, 2009, dalam Santrock, 2011). Pada tahap awal remaja mulai memasuki afiliasi dan atraksi romantis.


(55)

Tahap ini umumnya terjadi pada remaja awal dan masih dipicu oleh pubertas awal sehingga remaja masih berkencan dalam cara berkelompok. Tahap kedua adalah tahap dimana remaja mengeksplorasi romantis yang banyak terjadi pada masa remaja tengah. Pada fase ini, remaja cenderung sudah melakukan kencan biasa yang umumnya hanya bertahan beberapa bulan tetapi juga terkadang masih melakukan kencan dengan cara berkelompok. Pada fase ini sahabat juga masih sering berperan sebagai fasilitator dari sebuah relasi. Pada tahap akhir remaja cenderung mengkonsolidasi ketertarikan romantis antar dua orang dengan ciri ikatan emosi yang makin kuat seperti pada orang dewasa.

Pacaran dan relasi romantis memang sudah menjadi tugas utama pada seorang remaja. Walau begitu, hal ini tidak dapat dilepaskan dari sosial budaya yang ada di sekitar remaja karena konteks budaya memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pola berpacaran remaja (Crissey, 2009, dalam Santrock 2011). Beberapa hal yang dapat mempengaruhi pola berpacaran pada remaja yaitu nilai-nilai, keyakinan agama atau kepercayaan dan tradisi yang sering kali menentukan usia yang tepat untuk berpacraan, besarnya kebebasan dalam berpacaran, dan peran pria dan wanita saat berkencan.

D. Hubungan Antar Variabel

Dalam suatu kehidupan masyarakat, terdapat suatu hal yang terdiri dari berbagai nilai, asumsi, pemahaman dan tujuan yang didapatkan dri satu


(56)

generasi ke generasi lain. Hal ini diturunkan atau dipaksakan dari generasi saat ini dan ditransfer ke generasi selnajutnya secara berturut-turut dna disebut sebagai budaya (Deresky, 2003, dalam Ogunleye, 2015)

Budaya yang ada pada masyarakat berfungsi sebagai penyimpan kepercayaan, keyakinan, pemahaman, pengalaman, pandangan pada dunia, agama, hirarki dan berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia (Valentini, 2005). Banyaknya hal yang tersimpan dalam budaya dan tujuannya sebagai pegangan hidup, menjadikan budaya itu sendiri sebagai pembentuk sikap dan perilaku individu dalam sebauh masyarakat sehingga budaya dapat dikatakan bahwa perilaku seorang individu mencerminkan budaya yang ada di masyarakat ia tinggal (Rutter and Schwartz, 2000, dalam Ogunleye, 2015)

Teori budaya sendiri mengatakan bahwa budaya dapat berubah dan berkembang karena adanya perubahan dari dalam budaya sebagai bentuk perkembangan jaman atau dari luar budaya sebagai bentuk adaptasi budaya terhadap lingkungan sekitar yang mulai berubah. Perubahan yang terjadi berdampak pada munculnya berbagai teori terkait budaya seperti teori dimensi budaya milik Hofstede yang terdiri atas enam dimensi budaya (Hofstede, 2011). Keenam dimensi tersebut memiliki dampak yang berbeda pada individu karena setiap dimensi memilii karakteristik yang berbeda.

Dari keenam dimensi yang dikemukakan Hofstede, salah satu dimensi yang belum banyak dilihat dampaknya terhadap kehidupan bermasyarakat adalah dimensi power distance. Power distance adalah suatu dimensi yang


(57)

melihat sejauh mana masyarakat dalam suatu kebudayaan menerima adanya distribusi kekuasaan yang tidak merata. Dimensi power distance merupakan hal baru dalam penelitian social karena blebih bnayak digunakan dalam penelitian di bidang industri dan organsasi. Walau begitu, terdapat penelitian yang sudah menggunakan dimensi budaya dalam penelitian sosial yaitu penelitian yang dilakukan Ubilos (2002) terkait dimensi budaya dan perilaku seksual khususnya intensitas perilaku seksual. Penelitian tersebut tidak hanya menggunakan satu jenis dimensi budaya saja namun juga dimensi budaya lainnya seperti masculin dan feminime, individual dan collectivism, masculinity dan femininity, long term dan short term orientation, serta berbagai aspek lain dalam budaya seperti misalnya agama atau kepercayaan.

Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh Hofstede dan beberapa peneliti lain, power distance dapat dikategorikan menjadi dua yaitu power distance tinggi dan power distance rendah. Power distance rendah umumnya dimiliki oleh negara-negara dengan nilai budaya setempat yang cenderung longgar seperti negara barat seperti Amerika, Inggris, Australia sedangkan power distance tinggi umumnya dimiliki oleh negara-negara dengan nilai budaya setempat yang masih cenderung kuat seperti misalnya negara-negara di timur yaitu India, Cina, Jepang. Perbedaan kategori power distance di setiap tempat dapat membentuk sikap dan perilaku masyarakat di tempat tersebut terutama terkait dengan perilaku dengan orang lain. Seperti misalnya perilaku seksual.


(58)

Perilaku seksual sendiri merupakan perilaku yang berhubungan dengan fungsi reproduksi atau perilaku yang merangsang sensasi dalam reseptor yang terletak di sekitar organ reproduksi dan daerah erogen (Kartono dan Gulo,1987). Bentuk perilaku seksual yang muncul pada individu dapat difaktori oleh jenis power distance yang ia miliki. Sebuah penelitian yang dilakukan Ubilos (2000) terkait dengan power distance sebagai dimensi budaya dan perilaku seksual menyatakan bahwa individu yang tinggal pada budaya dengan power distance yang rendah memiliki perilaku seksual yang cenderung tinggi, begitu sebaliknya dimana individu yanng tinggal pada budaya dengan power distance yang tinggi memiliki perilaku seksual yang cenderung rendah.

Perbedaan sikap dan perilaku seksual berdasarkan jenis power distance terjadi karena karakteristik yang berbeda dari setiap jenis power distance tersebut. Individu dengan power distance yang rendah akan cenderung terbuka pada hal-hal baru di sekitarnya, lebih mengutamakan kebersamaan, tidak terlalu mementingkan hirarki serta lebih mudah mengungkapkan emosi yang dirasakan. Individu dengan power distance cenderung rendah umumnya tinggal pada budaya dengan norma masyarakat , khususnya norma terkait perilaku seksual, yang cenderung longgar. Masyarakat dengan power distance rendah juga lebih terbuka pada hal-hal disekitarnya sehingga perilaku yang dilakukan cenderung bebas dan tidak berpedoman pada budaya setempat terutama terkait dengan perilaku seksual.


(59)

Keterbukaan terhadap hal-hal baru, longgarnya peraturan di masyarakat, lebih mudah mengemukakan emosi dan keinginan yang dirasakan serta hierarki dalam masyarakat yang cenderung dikesampingkan membuat seseorang lebih mudah melakukan berbagai hal yang sesuai dengan keinginan mereka. Salah satu kelonggaran norma yang terdapat pada budaya power distance rendah yaitu norma seksual dimana pandangan terhadap perilaku seksual pranikah dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Keadaan ini membuat perilaku seksual pranikah pada remaja dengan power distance rendah cenderung tinggi.

Di sisi lain, individu dengan power distance tinggi akan cenderung kaku terutama terkait perubahan yang ada di sekitarnya, mengutamakan hirarki yang ada pada masyarakat dan kurang mampu mengungkapkan emosi yang dirasakan. Individu dengan power distance cenderung tinggi tinggal pada budaya masyarakat yang ketat dan kuat serta masih menjunjung norma masyarakat. Perilaku yang dilakukan pada masyarakat dengan power distance tinggi juga berpedoman pada norma yang ada pada masyarakat dimana salah satu norma yang cukup ketat adalah norma seksual. Hal ini membuat perilaku pada masyarakat dengan power distance tinggi akan cenderung normatif terutama perilaku terkait seksual yang cenderung membatasi perilaku seksual dan perilaku yang dapat mendorong perilaku seksual dalam bentuk apapun seperti memperlihatkan bagian tubuh tertentu (Ounjit, 2014).

Ketatnya norma dan kuatnya hierarki yang ada di masyarakat membuat mereka yang tinggal dengan budaya power distance yang tinggi


(60)

cenderung berperilaku kaku dan normatif serta mnegikuti norma yang ada di masyarakat. Hal ini juga diperkuat adanya sangsi yang tegas ketika mereka melanggar norma yang berlaku. Perilaku yang kaku dan normatif umumnya terlihat pada perilaku seksual dimana masyarakat dengan power distance tinggi cenderung memiliki bentuk perilaku seksual pranikah yang cenderung rendah.

E. Skema Gambar 2.1

POWER DISTANCE

POWER DISTANCE TINGGI POWER DISTANCE RENDAH

SIKAP DAN PERILAKU:  Kaku

 Tertutup pada sekitar  Mengutamakan hirarki  Kurang mampu

mengekspresikan emosi dan keinginan

 Menjunjung tinggi norma masyarakat

SIKAP DAN PERILAKU :  Fleksibel

 Terbuka pada sekitar

 Mengutamakan kebersamaan dan kesepakatan

 Mampu mengekspresikan emosi dan keinginan

 Cenderung terpengaruh budaya lain

Kecenderungan bentuk perilaku seksual dan intensitas perilaku seksual

rendah

Kecenderungan bentuk perilaku seksual dan intensitas perilaku seksual


(61)

F. Hipotesis

Berdasarkan penjabaran diatas, peneliti menarik hipotesis yaitu :

Terdapat hubungan negatif antara power distance dan bentuk serta intensitas perilaku seksual pranikah pada remaja di Indonesia


(62)

41 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif yaitu suatu metode yang menggunakan data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian korelasional yaitu metode statistik yang sifatnya menanyakan atau melihat hubungan antara dua variabel (Sugiyono, 2013). Metode kuantitatif korelasional dalam penelitian ini digunakan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara power distance dan perilaku seksual yang terjadi pada remaja di Indonesia.

B. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas : Power distance

2. Variabel tergantung : Bentuk dan Intensitas Perilaku seksual

C. Definisi Operasional 1. Variabel bebas

Power distance adalah tindakan yang dilakukan individu dimana tindakan tersebut menggambarkan kecenderungan tinggi rendahnya ketergantungan pada individu, bentuk komunikasi yang dilakukan, serta tinggi rendahnya kecenderungan individu untuk mengatur individu lain dan patuh terhadap individu lain untuk mengurangi silang pendapat.


(63)

2. Variabel tergantung

Perilaku Seksual adalah tindakan yang dilakukan individu terkait dengan seks atau jenis kelamin yang dilakukan dengan orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung melalui media online.

D. Subyek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang berada pada usia 19 sampai 24 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, sedang menjalin relasi romantis dan belum menikah. Penelitian ini menggunakan remaja sebagai subjek dalam penelitian karena masa remaja merupakan masa transisi perkembangan dari kanak-kanak menuju dewasa yang mengandung perubahan besar secara fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan (Papalia, Olds, dan Feldman, 2009). Adapaun remaja dalam penelitian ini adalah remaja kahir dengan pertimbangan kematangan cara berpikir dalam mengisi angket perilaku seksual yang cenderung vulgar. engetahuan yang memadahi terkait perilaku seksual. Selain itu, peneliti memilih karakteristik remaja yang memiliki relasi romantis karena dalam menjalin relasi romantis seorang remaja kerap melakukan aktivitas seksual sebagai salah satu bentuk ekspresi dari perasaan yang ia miliki terhadap pasangannya yaitu rasa cinta (Hurlock, 2003).

Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probabilitas sampling dengan teknik convenience. Non probabilitas sampling adalah metode dimana setiap unsur dalam populasi tidak memiliki


(64)

kesempatan atau peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel bahkan kemungkinan anggota tertentu untuk terpilih tidak diketahui Teknik convenience adalah teknik yang digunakan dalam pemilihan subjek penelitian dimana peneliti memiliki kemudahan dalam menjangkau subjek. Penarikan sampel dilakukan pada siapa saja yang dianggap sesuai dengan kriteria sumber data (Riadi, 2016)

E. Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan angket yang diberikan kepada subyek yang sudah ditentukan kriterianya yaitu remaja yang berada dalam rentang usia 19 - 24 tahun atau yang sedang berada pada bangku kuliah di Kota Yogyakarta dan bersedia untuk mengisi angket. Peneliti menggunakan survey online sebagai salah satu cara memperoleh data secara lebih mudah dan luas. Peneliti mengunggah angket penelitian ke dalam situs survey online yang kemudian diunggah dan disebarkan melalui beberapa media sosial seperti path, facebook, line, whatsapp, dan instagram.

Melalui media online, subyek dapat mengisi kuesioner melalui smartphone atau PC kapan saja dan dimana saja sesuai dengan keadaan dirinya yang dirasa aman sehingga subyek tidak merasa malu atau takut mengisi angket tersebut. Selain itu, peneliti berharap subjek akan merasa aman terkait dengan identitasnya sehingga dapat mengisi angket lebih jujur sesuai keadaan diri.


(65)

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data 1. Metode

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode skala. Skala adalah alat ukur psikologis dalam bentuk pernyataan-pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menangkap respon seseorang terhadap konsep yang diukur sehingga dapat diberi penilaian atau skor dan dapat diinterpretasikan (Azwar, 1999). Peneliti kemudian menyebarkan skala melalui online dan juga angket kepada subyek yang sudah ditentutkan kriterianya.

2. Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis skala untuk mengukur orientasi power distance dan skala untuk melihat bentuk dan intensitas perilaku seksual, yaitu :

a. Skala Power distance

Skala power distance yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari penelitian Piyush Sharma (2009) terkait dengan orientasi budaya pada individu yang kemudian diadaptasi oleh peneliti di Indonesia dan diterjemahkan ke dalama bahasa Indonesia. Skala ini dibuat untuk melihat cara pandang dan prinsip seseorang terkait power distance yang terdiri atas 8 pernyataan yaitu


(66)

Tabel 3.1

Daftar Pernyataan Skala Power Distance

NO PERNYATAAN

1 Saya mudah menyesuaikan keinginan saya dengan keinginan orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari saya

2 Status sosial seseorang mencerminkan kedudukannya dalam masyarakat

3 Sulit bagi saya untuk menolak permintaan orang yang lebih tua 4 Setiap orang perlu tahu secara tepat kedudukannya dalam

masyarakat

5 Saya cenderung mengikuti aturan tanpa mempertanyakannya 6 Saya merasa sulit bergaul dengan orang yang memiliki status

sosial yang berbeda dari saya

7 Saya merasa sulit untuk berbeda pendapat dengan orang-orang yang memiliki wewenang atau kekuasaan

8 Bagi saya, perlakuan tidak setara pada orang atau sekelompok orang adalah hal yang wajar

Skala ini menggunakan model penskalaan likert yaitu metode pengumpulan data dimana setiap item disusun atau dibuat untuk mengukur atribut psikologis tertentu. Pada skala likert, subjek diminta untuk menyatakan kesetujuan-ketidaksetujuannya dalam sebuah kontinum yang terdiri atas beberapa respon. Pada skala ini terdapat 7


(67)

pilihan jawaban yaitu sangat tidak setuju, tidak setuju, agak tidak setuju, netral, agak setuju, setuju, sangat setuju. Skor setiap jawaban yang diberikan oleh subyek yaitu; Skor 1 untuk sangat tidak setuju, skor 2 untuk agak tidak setuju, skor 3 untuk tidak setuju, skor 4 untuk netral, skor 5 untuk setuju, skor 6 untuk agak setuju, skor 7 untuk sangat setuju.

b. Skala Bentuk dan Intensitas Perilaku Seksual

Skala ini dibuat untuk melihat berbagai macam bentuk perilaku seksual yang dilakukan individu khususnya remaja saat ini. Skala ini dibuat dengan melakukan survey kepada 114 mahasiswa terkait berbagai bentuk perilaku seksual yang mungkin dilakukan pada remaja. Hasil survey tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan bentuk perilaku seksual yang sama. Setelah semua bentuk perilaku seksual dikelompokkan, peneliti dan beberapa remaja serta dosen pembimbingan menentukan bentuk perilaku seksual yang sesuai dengan tujuan penelitian ini. Beberapa perilaku seksual sudah dipilih, kemudian beberapa bentuk perilaku seksual kemudian dikembangkan dengan melihat kembali teori yang ada hingga terdapat 35 item skala bentuk perilaku seksual.

Setelah didapat 35 bentuk perilaku seksual, peneliti mencari bobot item dengan memberikan skala tersebut kepada 90 orang mahasiswa untuk memberi penilaian 1 sampai 11 dengan nilai 1 yaitu


(68)

perilaku seksual yang dianggap ringan dan 11 yaitu perilaku seksual yang dianggap berat. Setelah meminta penilaian terkait bentuk perilaku seksual, data tersebut kemudian diolah dengan menggunakan spss untuk mendapatkan nilai median dari setiap bentuk perilaku seksual. Bobot item didapatkan dari nilai median tersebut.

Tabel 3.2

Bobot nilai item perilaku seksual

No Bobot No Bobot No Bobot No Bobot 1 6 11 3 21 3 31 10 2 7 12 2 22 3 32 9 3 7 13 3 23 3 33 10 4 7 14 2 24 3 34 10 5 9 15 3 25 2 35 11 6 5 16 6 26 5

7 1 17 6 27 6 8 2 18 8 28 8 9 1 19 10 29 8 10 4 20 6 30 7

Skala perilaku seksual menggunakan jenis penskalaan stimulus. Dengan metode ini kuantifikasi titik letak stimulus pada kontinum akan menjadi nilai skala bagi stimulus tersebut (Azwar, 1999). Skala ini terdiri dari 5 pilihan jawaban yaitu tidak pernah,


(69)

jarang, kadang-kadang, sering, sangat sering. Terdapat 2 jenis pemberian skor pada skala perilaku seksual. Untuk melihat bobot perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja, peneliti menggunakan penskalaan berdasar stimulus dimana nilai 0 diberikan pada jawaban tidak pernah dan nilai sesuai bobot item pada jawaban jarang, kadang-kadang, sering, sangat sering yang merupakan bentuk jawaban ya atau pernah. Untuk melihat intensitas perilaku seksual yang dilakukan, peneliti memberikan nilai 1 pada pilihan jawaban tidak pernah, 2 pada pilihan jawaban jarang, 3 pada pilihan jawaban kadang-kadang, 4 pada pilihan jawaban sering dan 5 pada pilihan jawaban sangat sering.

G. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas Skala

Suatu skala dikatakan valid apabila instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Terdapat beberapa jenis validitas yaitu content validity, cinstruct validity, consurrent validitiy, dan predictive validity.

a. Skala power distance

Skala ini telah melalui uji validitas yaitu validitas isi. Validitas isi menunjukkan sejauh mana seperangkat item (soal) mengukur apa yang hendak diukur. Sejauh mana item dalam suatu alat ukut menggambarkan apa yang hendak diukur Periantalo (2015). Dalam validitas isi dibutuhkan analisis isi untuk melihat dan meneliti


(1)

12 Main mata

13 Membicarakan hal seputar seks 14 Memegang bahu

15 Memegang pinggang 16 Memegang pantat

17 Memegang paha seseorang

18 Memegang dada / payudara seseorang 19 Memegang kelamin seseorang

20 Cuddling (merengkuh; memeluk lebih dalam; memeluk dengan perasaan mendalam )

21 Mencium bagian rambut 22 Mencium/dicium kening 23 Mencium hidung

24 Mencium pipi 25 Mencium tangan 26 Mencium leher 27 Berciuman bibir

28 French kiss (berciuman dengan bibir terbuka serta dengan menggunakan lidah )

29 Necking (berciuman di sekitar leher ke bawah dengan perasaan mendalam) 30 Tidur bersama

31 Petting ( menempelkan/ menggesekkan alat kelamin )

32 Hand job / fingering (memberi rangsangan seksual pada alat kelamin seseorang dengan menggunakan tangan atau jari)

33 Oral sex (memberi rangsangan seksual dengan mulut pada alat kelamin)


(2)

34 Melakukan hubungan seksual

35 Anal Sex (masuknya organ kelamin laki-laki pada anus)

Lampiran 3 Reliabilitas Skala

A. Uji Reliabilitas Skala Power Distance Correlations

TEST1 TEST2

TEST1 Pearson Correlation 1 .777**

Sig. (2-tailed)

.000

N 53 53

TEST2 Pearson Correlation .777** 1

Sig. (2-tailed) .000

N 53 53

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

B. Uji Reliabilitas Skala Perilaku Seksual Correlations

totaltes totalretes

totaltes Pearson Correlation 1 ,927**

Sig. (2-tailed)

,000

N 25 25

totalretes Pearson Correlation ,927** 1 Sig. (2-tailed)

,000

N 25 25


(3)

Lampiran 4 Uji Normalitas Skala

A. Uji Normalitas Skala Power Distance Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. item power

distance .069 206 .017 .991 206 .234

a. Lilliefors Significance Correction

B. Uji Normalitas Skala Bentuk Perilaku Seksual Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. item bentuk

perilaku seksual .164 206 .000 .906 206 .000


(4)

Uji Linearitas Skala Power Distance dan Bentuk Perilaku Seksual

ANOVA Table Sum of

Squares df Mean Square F Sig. item bentuk

perilaku seksual * item power distance

Between Groups

(Combined) 61167.162 29 2109.212 .790 .769 Linearity 2387.770 1 2387.770 .895 .346 Deviation

from Linearity 58779.392 28 2099.264 .787 .770 Within Groups

469753.387 176 2669.053 Total

530920.549 205

Lampiran 6

Uji Korelasi Skala Power Distance dan Bentuk Perilaku Seksual

Correlations

item power distance

item bentuk perilaku

seksual Spearman's rho item power

distance

Correlation Coefficient 1.000 -.106

Sig. (2-tailed) . .128

N 206 206

item bentuk perilaku seksual

Correlation Coefficient -.106 1.000

Sig. (2-tailed) .128 .


(5)

Lampiran 7 Uji Analisis Tambahan

A. Uji Linearitas Power Distance dan Intensitas Perilaku Seksual ANOVA Table

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig. intensitas

perilaku seksual* item power

distance

Between Groups

(Combined) 18711.386 29 645.220 .866 .666 Linearity 790.765 1 790.765 1.062 .304 Deviation

from Linearity 17920.621 28 640.022 .859 .672 Within Groups

131093.080 176 744.847 Total

149804.466 205

B. Uji Korelasi Skala Power Distance dan Intensitas Perilaku Seksual Correlations item power distance Intensitas perilaku seksual Spearman's rho item power

distance

Correlation Coefficient 1.000 -.066

Sig. (2-tailed) . .347

N 206 206

intensitas perilaku seksual

Correlation Coefficient -.066 1.000

Sig. (2-tailed) .347 .


(6)