MODEL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA ASUSILA Model Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Asusila.

(1)

MODEL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA ASUSILA

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan Kepada Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh

Gelar Magister dalam Ilmu Hukum

Oleh

WISNU KRISTIYANTO NIM : R. 100 12 0013

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014


(2)

MODEL PERLIN KO

Naskah Publikas m

Pembim

Dr.Natangsa Sur

PERSETUJUAN

LINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA ASUSILA

kasi diajukan untuk memenuhi sebagian persyar memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum

Mengetahui

bimbing I Pembimbin

Surbakti, SH, M.Hum Jaka Susila, SH

K SEBAGAI

yaratan Guna

bing II


(3)

ABSTRACT

Wisnu Kristiyanto. R100120013. A Legal Protection Model to Children Victims of Sexual Assault Crime. Thesis. The Graduate Program in Law, Muhammadiyah University Surakarta. 2014.

Sexual assault committed against children will have negative impacts on the psychological aspect and other aspects of the children, such as inferiority complex, phobia, disturbed mental development, and eventually mental retardation. Therefore, the high number of rape cases in the society has to be paid attention from various society elements, particularly the law enforcement officers in bringing legal action against such a case and punishing the doers of rape crime with as heavy penalty as possible.

The objective of this research is to investigate: (1) the importance of legal protection for the child victims of sexual assault crime; (2) the efforts to give the legal protection for the child victims of sexual assault crime; and (3) the legal protection model which is ideal to be implemented to protect the child victims of sexual assault crime in the future.

This research used the analytical descriptive method with empirical juridical approach. This research was conducted in District Court of Magetan. The data of this research consisted of the primary and secondary data. The data were gathered through interview and library research. The data were then analyzed by using the interactive model analysis technique.

The results of this research are as follows: (1) the legal protection for the child victim of sexual assault crime is important to be conducted considering that the position of children is vulnerable to the occurrence of crimes, particularly sexual assault crime. Children who actually become the victim of sexual assault crime need to be protected due to: (a) their weak physical aspect; (b) their condition which is still labil (c) their milieu; (d) their need for education; and (e) the impact of technological advancement on children; (2) the efforts to give legal protection to the child victim of sexual assault crime can be made in the forms of protection by law, protection during the criminal justice process, and protection from the society; (3) the models of legal protection ideal to be implemented to protect the child victim of sexual assault crime are made through the approaches, namely: (a) penal approach which takes the form of legislation with comprehensive regulation on the criminal victim; and (b) non-penal approach which takes the forms of cultural approach and moral/education approach.


(4)

PENDAHULUAN

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Anak sebagai generasi penerus agama, bangsa dan negara harus dipersiapkan menjadi manusia yang tangguh, cerdas dan mandiri. Anak mempunyai hak yang harus dipenuhi diantaranya perlunya bimbingan dan perlindungan anak orang-orang dewasa beserta lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, keberadaan anak harus dilindungi, dihormati hak-haknya serta adanya perlakuan terhadap anak tanpa diskriminasi.

Anak-anak membutuhkan perlindungan hukum yang berbeda dari orang dewasa. Fisik dan mental anak-anak yang belum dewasa, mendasari perlu adanya perlakuan yang berbeda terhadap anak. Anak perlu mendapatkan suatu perlindungan yang telah termuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Setiap anak kelak akan memikul tanggung jawab tersebut, maka dari itu anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, sosial, berakhlak mulia. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya perlindungan dan untuk mewujudkan kesejahteraan anak, dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa dikriminatif.1

Salah satu bentuk tindak pidana kesusilaan adalah tindak pidana perkosaan, khususnya tindak pidana perkosaan dengan anak sebagai korbannya. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kriteria anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Adapun tentang tindak pidana perkosaan, termasuk perkosaan terhadap anak diatur dalam Pasal 285 KUHP. Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkosaan adalah sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya (Belanda), yaitu verkrachting, yaitu perkosaan untuk bersetubuh. Perkosaan

1 Komnas Ham. 2006. “Anak-Anak Indonesia Yang Teraniaya”. Buletin Wacana, Edisi VII,


(5)

merupakan nama kelompok berbagai jenis perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan juga termasuk perbuatan persetubuhan di luar perkawinan.2

Tindak pidana asusila pada anak, khususnya kasus pemerkosaan dengan anak sebagai korbannya di Indonesia masih sangat tinggi. Berbagai kasus asusila akhir-akhir ini sering menghiasi pemberitaan media lokal. Dengan semakin maraknya masalah tersebut, telah memasuki tahap meresahkan di lingkungan masyarakat. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan bahwa selama kurun waktu 1998 hingga 2010 terjadi 4845 kasus perkosaan di Indonesia. Bahkan pada 2010 kasus kekerasan seksual mencapai angka 3.090 kasus per tahun. Kasus asusila percabulan maupun pemerkosaan menjadi marak dengan mayoritas korbannya adalah anak-anak di bawah umur. Parahnya, ada pula kasus yang korbannya masih berusia balita (bawah lima tahun).3

Kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak di bawah umur akan berdampak pada psikologis maupun perkembangan lainnya terhadap anak tersebut. Dampak psikologis pada anak-anak akan melahirkan trauma berkepanjangan yang kemudian dapat melahirkan sikap tidak sehat, seperti minder, takut yang berlebihan, perkembangan jiwa terganggu, dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental. Keadaan tersebut kemungkinan dapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban tindak asusila tersebut. Peran aktif dari para aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan kesusilaan sangat diperlukan.

Sampai saat ini di Indonesia, tindak pidana asusila terutama kasus perkosaan dilaporkan menempati peringkat nomor dua setelah pembunuhan. Tingginya kasus perkosaan di Indonesia menunjukkan bahwa masih belum terjaminnya perlindungan terhadap perempuan dari segala bentuk kekerasan seksual dan perkosaan. Pada tataran hukum, banyak terjadi praktik-praktik hukum yang tidak menguntungkan bagi korban kasus perkosaan. Apabila melihat dalam

2 Wirjono Prodjodikoro. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Refika Aditama. Hal. 123

3

Komitmen Lawan Pemerkosaan”. http://www.radarambon.co/readopini-20121118225838. Diakses pada tanggal 4 Oktober 2013, jam 10.35


(6)

Pasal 285 KUHP disebutkan ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana pemerkosaan adalah selama-lamanya dua belas tahun penjara. Sementara pada prakteknya, sangat jarang hakim yang menjatuhkan vonis hukuman maksimal pada para pelaku.4

Sebagai contoh adalah perkara persetubuhan yang mana pelaku maupun korbannya adalah anak antara lain pernah diputus oleh Pengadilan Negeri Magetan dalam putusan Nomor: 330/ PID. Sus/2012/PN.Mgt. Dalam perkara ini, tindakan persetubuhan dilakukan oleh para terdakwa terhadap seorang anak perempuan berusia 12 (dua belas) tahun. Dalam perkara tersebut Pengadilan Negeri Magetan memberikan hukuman pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar, diganti dengan kurungan penjara selama 3 (tiga) bulan. Hakim Pengadilan Negeri Magetan mendasarkan putusannya pada Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.5

Berdasarkan putusan tersebut, maka dalam penegakan hukumnya Undang-Undang Perlindungan Anak yang menjadi acuan dasar di dalam pengenaan sanksi atau hukuman kepada pelaku tindak pidana asusila terhadap anak di bawah umur. Meskipun demikian, masih juga terjadi tindak pidana asusila ini bahkan terjadi peningkatan kejadian dari tahun ke tahun.

Korban perkosaan akan mengalami trauma fisik terlebih psikis yang akan berlangsung sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, dengan tingginya angka kasus pemerkosaan di masyarakat harus menjadi perhatian lebih dari berbagai elemen masyarakat khususnya aparat penegak hukum dalam menindak dan menghukum pelaku kejahatan perkosaan seberat-beratnya. Di samping itu, perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana asusila baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian yang juga perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum

4 Ibid.


(7)

pidana dan kebijakan sosial, baik oleh pemerintah, aparat penegak hukum maupun oleh lembaga-lembaga sosial yang ada.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka perumusan masalahnya adalah: 1) Mengapa perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana asusila penting untuk dilakukan? 2) Bagaimanakah upaya dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana asusila? 3) Bagaimanakah model perlindungan hukum yang ideal terhadap anak sebagai korban tindak pidana asusila di masa yang akan datang?

Dengan demikian, berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian adalah: 1) Untuk menjelaskan pentinganya dilakukan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana asusila. 2) Untuk menjelaskan upaya dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana asusila. 3) Untuk menjelaskan model perlindungan hukum yang ideal terhadap anak sebagai korban tindak pidana asusila di masa yang akan datang.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Sementara itu, penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Magetan dengan pertimbangan pada tempat tersebut hampir setiap bulan disidangkan kasus tindak pidana asusila dengan anak sebagai korbannya. Sumber data yang digunakan adalah data primer yaitu wawancara dengan polisi, jaksa dan hakim serta data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan cara penelusuran dan studi kepustakaan berupa buku-buku, jurnal, maupun peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Data yang diperoleh dalam penelitian ini, menggunakan teknik pengumpulan data wawancara dan studi kepustakaan. Keseluruhan data yang telah diidentifikasi dan dikumpulkan baik, data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif dengan model interaktif kemudian dideskripsikan dengan pendekatan yuridis empiris.


(8)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Asusila

Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti bahwa hukum sangat mungkin digunakan sebagai alat oleh pelopor perubah (agent of change). Agent of change atau pelopor perubahan adalah seorang atau kelompok orang yang memimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan dalam menjalankan hal itu langsung terkait dengan tekanan-tekanan untuk melakukan perubahan. Setiap perubahan sosial yang dikehendaki atau yang direncanakan, selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Oleh karena itu, cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem-sistem yang direncanakan dan diatur lebih dahulu dinamakan social engineering atau social

planning.6

Pada dasarnya manusia senantiasa menginginkan ketertiban dan keteraturan, itulah sebabnya dikehendaki adanya peraturan-peraturan hukumyang dapat dijadikan patokan/pedoman dalam kehidupan bersama sehingga masing-masing anggota masyarakat akan tahu hak dan kewajibannya, tahu mana yang patut dilakukan serta tahu perbuatan-perbuatan mana yang harus ditinggalkan. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta ketertiban dan keteraturan itu.7

Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya. Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita. Dengan demikian, perlindungan hukum tersebut akan melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah negara kesatuan

6 Soerjono Soekanto (dalam Suteki). 2013. Desain Hukum di Ruang Sosial. Yogyakarta: Thafa

Media. Hal. 114

7

Rusli Muhammad. 2013. Lembaga Pengadilan Indonesia Beserta Putusan Kontroversial. Yogyakarta: UII Press. Hal. 17


(9)

yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama.

Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum merupakan ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum yaitu hak itu diletakkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki title/identitas atas barang yang menjadi sasaran dari hak. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan. Ini bisa disebut sebagai isi dari Hak. Commision atau omission menyangkut sesusatu yang bisa disebut sebagai objek dari hak. Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.8

Sementara itu, menurut George Whitecross Paton, ada 4 (empat) unsur yang mutlak terpenuhi dalam setiap hak hukum, yaitu:9

a. The holder of the rights (hak yang melekat);

b. The act of for bearanceto which the rights relates (pelaksanaan kewajiban

yang berkaitan dengan hak);

c. The object of the rights (obyek dari hak);

d. The person bound by the duty. Every rigths, therefore, is a relationship between two or more legal persons can be found by duties or be the holders of legal rights. Rights and duties are correlatives, that is we cannot have a right without corresponding duty or a duty without a corresponding right

(setiap orang memiliki kewajiban. Setiap hak sealu berhubungan dengan dua atau lebih subyek hukum melalui kewajiban-kewajiban atau hak hukum yang melekat. Antara hak dan kewajiban saling berkaitan, oleh karena itu, kita tidak dapat menyertakan suatu hak tanpa kewajiban atau suatu kewajiban tanpa menyertakan hak).

Prinsip kesamaan hak antara anak dan orang dewasa dilatar belakangi oleh unsur internal dan ekternal yang melekat pada diri anak tersebut, yaitu: unsur internal pada diri anak, meliputi: (a) bahwa anak tersebut merupakan

8

Satjipto Raharjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal. 53-54

9

George Whitecross Paton. Tt. A Text Book of Jurisprudence. Jakarta: Pustaka Tinta Mas. Hal. 115


(10)

subjek hukum sama seperti orang dewasa, artinya sebagai seorang manusia, anak juga digolongkan sebagai human rights yang terikat dengan ketentuan perundang-undangan; (b) Persamaan hak dan kewajiban anak. Maksudnya adalah seorang anak juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukumnya. Hukum meletakkan anak dalam reposisi sebagai perantara hukum untuk dapat memperoleh hak atau melakukan kewajiban-kewajiban; dan atau untuk dapat disejajarkan dengan kedudukan orang dewasa; atau disebut sebagai subjek hukum yang normal. Selanjutnya, unsur eksternal pada diri anak, meliputi: (a) Prinsip persamaan kedudukan dalam hukum (equaliy before the law), memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untk berbuat peristiwa hukum; yang ditentukan oleh ketentuan peraturan hukum sendiri. Atau ketentuan hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan; (b) Hak-hak privilege yang diberikan negara atau pemerintah yang timbul dari UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya.10

Undang-undang mewajibkan pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat dan anak yang dikategorikan salah satunya adalah anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan. Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, pejualan, dan perdagangan anak dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Undang-undang melarang setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan anak tersebut.11

10

Maulana Hassan Wadong. 2000. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Gramedia Indonesia. Hal. 4-5


(11)

Seorang anak mendapatkan perlindungan hukum sejak masih di dalam kandungan. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989 dan diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1990, Bagian 1 Pasal 1, yang dimaksud anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat 1, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Perlindungan anak merupakan segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi supaya setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial sebagai perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Hal ini dilakukan supaya ada kepastian hukum dalam melindungi hak-hak anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.12

Salah satu bentuk perlindungan terhadap anak adalah perlindungan kepada anak yang menjadi korban kejahatan. Seorang anak yang menjadi korban kejahatan mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan kemampuan yang berkaitan dengan usia. Hak dan kewajiban diatur dalam peraturan perundang-undangan merupakan salah satu bentuk perlindungan yang diberikan oleh undang-undang sebagai berikut:13

a. Hak korban

Hak-hak anak yang menjadi korban perbuatan kriminal adalah:

12 Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama. Hal. 34

13 Arif Gosita. 2007. Masalah Korban Kejahatan, Edisi Keempat. Depok: Badan Penerbit FHUI.


(12)

1) Mendapat bantuan fisik (pertolongan pertama kesehatan, pakaian, naungan, dan sebagainya).

2) Mendapat bantuan penyelesaian permasalahan (melapor, nasihat hukum, dan pembelaan).

3) Mendapatkan kembali hak miliknya. 4) Mendapat pembinaan dan rehabilitasi.

5) Menolak menjadi saksi, bila hal ini akan membahayakan dirinya.

6) Memperoleh perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor atau menjadi saksi.

7) Memperoleh ganti kerugian (restitusi, kompensasi) dari pihak pelaku (sesuai dengan kemampuan) atau pihak lain yang bersangkutan demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan.

8) Menolak ganti kerugian demi kepentingan bersama. 9) Menggunakan upaya hukum.

b. Kewajiban korban

Kewajiban-kewajiban korban adalah:

1) Tidak sendiri membuat korban dengan mengadakan pembalasan (main hakim sendiri).

2) Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah perbuatan korban lebih banyak lagi.

3) Mencegah kehancuran si pembuat korban baik oleh diri sendiri maupun orang lain.

4) Ikut serta membina pembuat korban.

5) Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi.

6) Tidak menuntut ganti kerugian yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban.

7) Memberi kesempatan kepada pembuat korban untuk memberi ganti kerugian pada pihak korban sesuai dengan kemampuannya (mencicil bertahap/imbalan jasa).

8) Menjadi saksi jika tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan keamanan untuk dirinya.

Tindak asusila yang terjadi merupakan suatu masalah yang memerlukan perhatian khusus bagi pemerintah, oleh karena berkaitan dengan moralitas para generasi bangsa. Belakangan ini banyak terjadi kasus kejahatan pelecehan seksual terhadap anak, dimana pelakunya adalah anak-anak dan kebanyakan adalah yang dikenal oleh korban. Aktivitas seksual yang menyimpang sangat memprihatinkan karena telah mengarah pada tindakan kriminal yang secara hukum pidana telah menyalahi ketentuan undang-undang. Pelecehan seksual yang terjadi pada anak-anak bukanlah suatu kasus baru dalam masyarakat, kebanyakan pelaku kejahatan seksual itu adalah orang dewasa meski tidak


(13)

sedikit pelakunya adalah anak-anak usia remaja sampai menjelang dewasa. Oleh karena itu, semua perbuatan yang melanggar hukum harus diproses secara hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Apalagi jika kasus tersebut merupakan kasus tindak pidana kesusilaan yang melibatkan anak sebagai korbannya.14

Anak-anak sangat rentan menjadi korban tindak pidana asusila. Oleh karena itu, anak perlu dilindungi oleh hukum. Anak yang menjadi korban tindak pidana asusila perlu dilindungi, karena:

a. Anak memiliki fisik yang lemah

Pada hakikatnya anak belum mampu melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik maupun sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Untuk itu hak-haknya harus dilindungi. Hal ini sebagaimana pendapat Arif Gosita yang menyebutkan bahwa anak wajib dilindungi supaya anak-anak tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta maupun pemerintah) baik secara langsung maupun secara tidak langsung.15

b. Anak memiliki kondisi yang masih labil

Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya, karena banyak pihak yang memperngaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak, karena anak memiliki kondisi yang masih labil. Mental anak yang masih mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan disekitarnya, sehingga apabila lingkungan tempat anak berada tersebut buruk, maka anak akan dapat menjadi korban tindak pidana.

c. Anak memiliki lingkungan pergaulan

Lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap diri anak, terutama dalam lingkungan pergaulannya. Dalam situasi sosial yang

14

Kartini Kartono. 1992. Patologi Sosial II (Kenakalan Remaja). Jakarta: Rajawali. Hal. 8


(14)

menjadi semakin longgar, anak-anak kemudian menegaskan eksistensi dirinya dengan membaur dalam lingkungan pergaulan tanpa mempedulikan apakah berada dalam lingkungan pergaulan yang baik atau tidak. Anak-anak kemudian mencari dan masuk pada suatu keluarga baru dengan subkultur yang baru di luar dari lingkungan keluarga.

d. Anak memerlukan pendidikan

Selain pendidikan dari keluarga, sekolah merupakan tempat bagi pembinaan jiwa anak-anak. Dengan demikian, sekolah ikut bertanggung jawab terhadap pendidikan anak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan tingkah laku (karakter).

e. Pengaruh kemajuan teknologi informasi pada anak

Media massa mengalami kemajuan yang begitu cepat. Hal ini sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi massa. Penyebaran informasi yang awalnya hanya dimonopoli oleh media cetak, kini sudah bertambah dengan hadirnya media elektronik seperti televisi dan radio. Bahkan, sekarang sudah ditemukan media yang baru dikenal dengan nama media internet. Informasi yang disajikan di dalam internet mulai dari dunia pendidikan, bisnis, hiburan dan yang lainnya. Informasi ini disajikan atau diupload ke internet begitu saja tanpa dilakukan penyaringan terlebih dahulu, sehingga semua kalangan dapat mengambil informasi yang tersedia di internet, termasuk dalam mengakses situs pornografi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa posisi anak rentan terhadap terjadinya tindak pidana, terutama sebagai korban tindak pidana asusila. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana asusila penting untuk dilakukan. Perlunya perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan tidak lepas dari akibat yang dialami korban setelah perkosaan yang dialaminya. Korban tidak saja mengalami penderitaan secara fisik tetapi juga penderitaan secara psikis.

2. Upaya Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Asusila

Upaya perlindungan terhadap korban tindak pidana asusila bukan semata-mata merupakan tugas dari aparat penegak hukum, tetapi juga


(15)

merupakan kewajiban masyarakat untuk membantu memulihkan kondisi korban perkosaan dalam kehidupan bermasyarakat. Upaya perlindungan kepada anak sebagai korban dapat dilakukan dalam bentuk sebagai berikut: a. Perlindungan Oleh Hukum

Secara umum, adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan yang salah satu tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan. Hal ini berarti, hukum bertujuan untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan sebelum kejahatan itu terjadi. Bentuk perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana asusila dapat dilihat dari beberapa peraturan undangan. Adapun peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:

No. Undang-Undang Bentuk Perlindungan

1 Amandemen Perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik

Indonesia 1945

a.Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2) UUD RI 1945 menjamin perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

b.Pasal 34 UUD RI 1945: fakir miskin dan anak terlantar akan terjamin dan terlindungi di dalam kehidupannya. 2 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 14a, b, dan c ayat (1) berkaitan dengan penjatuhkan pidana oleh hakim dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. 3 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 berkaitan dengan hak korban untuk mengajukan tuntutan ganti rugi.

4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

a.Pasal 11 ayat (1): usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan, pencegahan dan rehabilitasi.

b.Pasal 11 ayat (3): usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat dilaksanakan baik di dalam maupun di luar panti.

c.Pasal 11 ayat (4): Pemerintah mengadakan pengarahan, bimbingan, bantuan dan pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat.


(16)

5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 66:

a. setiap anak berhak untuk tidak dianiaya, disiksa atau dihukum secara tidak manusiawi;

b. Setiap anak berhak untuk tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; c. Setiap anak berhak untuk tidak

dirampas kebebasannya secara melawan hukum;

d. Setiap anak berhak untuk tidak ditangkap, ditahan atau dipenjara secara melawan hukum atau jika sebagai upaya terakhir;

e. Setiap anak berhak untuk diperlakukan secara manusiawi dalam proses peradilan pidana;

f. Setiap anak berhak untuk hak atas bantuan hukum, untuk membela diri dan memperoleh keadilan di Pengadilan Anak yang bebas dan tidak memihak. 6 Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Pasal 64 ayat (3) tentang segala upaya yang diberikan pemerintah dalam melindungi anak yang menjadi korban tindak pidana:

a. upaya rehabilitasi baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. upaya perlindungan pada identitas

korban dari publik;

c. upaya memberikan jaminan keselamatan sebagai saksi korban; dan d. pemberian aksebilitas untuk

mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkaranya.

7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

a. Pasal 21: Korban berhak mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.

b. Pasal 22: Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Pasal 24: Korban berhak mendapatkan pelayanan bimbingan rohani.


(17)

13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

b. Pasal 7 ayat (1): korban dapat menuntut hak atas kompensasi dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.

c. Pasal 9 ayat (1): saksi dan korban dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut diperiksa, setelah ada izin dari hakim apabila saksi dan korban merasa terancam jiwanya.

9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

a. Pasal 89 menyebutkan anak korban dan/atau anak saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Pasal 90 ayat (1): anak korban dan saksi berhak atas upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, jaminan keselamatan baik fisik, mental maupun sosial dan kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Upaya negara untuk memberikan perlindungan dengan peraturan perundang-undangan belum maksimal. Meskipun sudah ada Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, tetapi apa yang ada di dalamnya belum dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Hal ini sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Jasmine Owens yang menyebutkan “the most

important perspective in analyzing the legislation’s effectiveness is the victim’s (perspektif yang paling penting dalam menganalisis efektivitas

undang-undang adalah dari segi korban).16

16 Jasmine Owens. 2012. “Historic In A Bad Way: How The Tribal Law And Order Act Continues

The American Tradition of Providing In Adequate Protection To American Indian and Alaska Native Rape Victim”. The Journal of Criminal Law & Criminology, Vol. 102, No. 2. USA: Northwestern University School of Law. Hal. 524


(18)

b. Perlindungan selama dalam proses peradilan pidana

Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana asusila juga dilakukan selama proses peradilan pidana sebagai berikut: 1) Perlindungan kepada korban sebelum pelaksanaan sidang pengadilan

Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban, pertama kali diberikan oleh polisi pada waktu korban melapor. Khusus untuk kekerasan terhadap perempuan, kepolisian Indonesia sudah menyiapkan unit/ruang pelayanan khusus, yaitu Unit/Ruang Perlindungan Perempuan dan Anak yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ruang Pelayanan Khusus (RPK) adalah sebuah ruang khusus yang tertutup dan nyaman di kesatuan Polri, dimana perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual dapat melaporkan kasusnya dengan aman kepada Polisi.

Selanjutnya pada tahap penuntutan, jaksa adalah partner korban dalam perkara tindak pidana asusila. Terhadap korban, jaksa tidak diperbolehkan untuk memanggil korban, kecuali jika keterangannya diperlukan maka kejaksaan akan memanggil korban dengan surat panggilan resmi. Dalam hal penuntutan, jaksa hanya dapat menjerat pelaku dengan ancaman pidana dan tidak berwenang terhadap ganti kerugian terhadap korban.

2) Perlindungan kepada korban selama dalam persidangan

Perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana asusila dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Magetan adalah sebagai berikut:

a) Pengadilan meminta keterangan anak dalam suasana kekeluargaan Anak yang menjadi saksi korban akan dapat memberikan keterangannya bila hakim ketika mengajukan pertanyaan menggunakan bahasa yang dimengerti serta dalam suasana yang santai dan tidak formil sehingga anak akan merasa nyaman dan dapat memberikan keterangan tentang kejadian yang dialaminya secara bebas tanpa merasa tertekan dalam situasi persidangan.


(19)

b) Saksi diberi kebebasan dalam memberikan keterangannya

Dalam perkara tindak pidana keterangan saksi sangat penting untuk membuat terangnya suatu peristiwa yang terjadi. Saksi korban tidak diambil sumpahnya supaya dalam memberikan keterangannya dapat menyampaikan secara bebas di depan persidangan tentang peristiwa yang dialaminya. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 171 KUHAP.

c) Sidang dilakukan secara tertutup

Semua perkara tindak pidana asusila dengan anak sebagai korbannya yang disidangkan di Pengadilan Negeri Magetan dilakukan secara tertutup. Artinya, yang boleh mengikuti jalannya persidangan hanyalah Hakim, Jaksa, Panitera, Terdakwa dan Saksi-saksi. Sidang baru dibuka untuk umum pada saat pembacaan putusan hakim saja. d) Saksi korban dapat didengar keterangannya tanpa dihadiri terdakwa

Apabila saksi korban keberatan terdakwa hadir dalam ruang sidang, maka hakim dapat memerintahkan terdakwa untuk meninggalkan ruang sidang. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya hal yang mempengaruhi jiwa anak. Hal ini karena tidak semua anak mempunyai sikap mental yang kuat ketika harus menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya dihadapan orang lain, terutama orang yang telah melakukan tindak asusila terhadap dirinya.

3) Perlindungan dari masyarakat

Masyarakat yang termasuk di dalamnya adalah keluarga korban adalah orang-orang terdekat yang dapat membantu memulihkan kondisi korban perkosaan. Dengan tidak mencibir, tidak mengungkit-ungkit peristiwa yang dialami dan tidak mengucilkan korban perkosaan, akan dapat membantu kepercayaan diri korban tumbuh kembali dan sedikit demi sedikit akan dapat melupakan kejadian buruk yang pernah dialaminya.


(20)

Upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana asusila melibatkan pemerintah melalui berbagai peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum maupun masyarakat. 3. Model Perlindungan Hukum Yang Ideal di Masa Yang Akan Datang

Korban merupakan sebuah konsepsi mengenai realitas sebagaimana juga halnya obyek peristiwa. Konstruksi sosial hukum sendiri menyatakan bahwa semua kejahatan mempunyai korban. Adanya korban adalah indikasi bahwa ketertiban sosial yang ada terganggu.17

Perlindungan terhadap korban kejahatan penting untuk dilakukan tidak hanya ditujukan pada korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of

power). Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan

penegakkan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan.

Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, karena tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal, masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja tetapi juga korban kejahatan.

Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus perkosaan. Hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya korban mengalami ancaman dari pelaku sehingga membuat korban takut dan trauma. Oleh karena itu, dari pengaduan ini, maka kasusnya dapat terbuka dan dapat dilakukan proses pemeriksaan sehingga korban akan memperoleh keadilan atas apa yang menimpa dirinya.

17 Mulyana W. Kusuma. 1981. Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup Kriminologi.


(21)

Selama ini, pengaturan perlindungan korban khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia belum menampakkan pola yang jelas. Dalam hukum positif yang berlaku saat ini, perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban. Dikatakan demikian, karena tindak pidana menurut hukum positif tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang atau melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkret, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran norma atau tertib hukum in abstracto.

Hal tersebut kemudian berakibat pada perlindungan korban tidak secara langsung. Dengan kata lain, sistem sanksi dan pertanggung jawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkrit, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Jadi, pertanggung jawaban pelaku bukanlah pertanggung jawaban terhadap kerugian atau penderitaan korban secara langsung dan konkrit, tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban pribadi atau individual. Oleh karena itu, perlindungan secara tidak langsung dalam peraturan hukum positif tersebut belum mampu memberikan perlindungan secara maksimal. Hal ini dikarenakan realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang berlaku secara pasti pun belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan.

Tindak pidana asusila bukan sekedar merupakan persoalan hukum dalam artian yuridis semata, namun juga menyangkut masalah psikososial, yaitu kondisi korban setelah mengalami kejadian pemerkosaan tersebut. Dampak dari kejadian perkosaan yang dialami oleh anak sebagai korbannya seharusnya menjadi perhatian yang serius sebagai salah satu upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak. Hal ini dikarenakan, korban tidak saja mengalami penderitaan secara fisik tetapi juga penderitaan secara psikis maupun mental.

Oleh karena itu, untuk ke depannya perlunya dilakukan suatu upaya dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak


(22)

pidana asusila. Model perlindungan hukum yang ideal terhadap anak sebagai korban tindak pidana asusila dapat dilakukan melalui pendekatan penal maupun non penal. Pendekatan penal dapat dilakukan dengan membuat suatu peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai mengenai perlindungan hukum korban kejahatan secara komprehensif, seperti: perlindungan fisik, finansial, psikis maupun medis. Peraturan perundang-undangan ini yang terpenting adalah ditujukan tidak hanya mengatur korban kejahatan yang menyita perhatian publik saja, tetapi untuk semua jenis kejahatan. Namun demikian, peraturan ini harus dibuat secara lebih terperinci untuk masing-masing jenis korban kejahatan.

Selain dengan pendekatan penal, yaitu dengan membuat peraturan perundang-undangan baru di luar peraturan perundang-undangan yang sudah ada, model perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak pidana asusila juga dapat dilakukan dengan pendekatan non penal. Pendekatan non

penal lebih bersifat preventif. Sarana non penal merupakan upaya pencegahan

kejahatan dalam lingkup yang lebih luas dan lebih efektif, karena pendekatan yang dilakukan bukan penanggulangan atau pemberantasan kejahatan yang sedang atau telah terjadi, namun berupaya untuk mencegah terjadinya kejahatan dengan cara menghapuskan sebab-sebab maupun kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan. Adapun pendekatan non penal yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan budaya/kultural dan pendekatan moral/edukatif.

a. Pendekatan budaya (cultural)

Pendekatan budaya ini dapat dilakukan dari sisi keluarga dan juga lingkungan masyarakat. Lingkungan keluarga dan masyarakat merupakan lingkungan terdekat dari korban tindak pidana asusila. Dukungan yang diberikan dari lingkungan terdekat ini dapat membantu pemulihan psikis korban sehingga korban tetap dapat beraktivitas dan menjalani kehidupannya seperti biasanya.


(23)

b. Pendekatan moral/edukatif

Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum kepada seorang anak, Pengajar/Guru di dalam UU Perlindungan Anak termasuk bagian dari masyarakat yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada anak. Pengawasan di dalam proses belajar mengajar harus dilakukan dan peduli atas perubahan yang terjadi pada anak didiknya.

Oleh karena itu, pendekatan moral/edukatif sangatlah dibutuhkan dalam mencegah terjadinya tindak pidana asusila. Pendidikan seks bagi anak usia remaja penting untuk dilakukan di sekolah-sekolah, misalnya dengan menyisipkan materi tentang pendidikan seks dalam salah satu mata pelajaran. Hal ini sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh T. Todorova, N. Mechkarska, T. Taneva yang menyebutkan:18

“that programmes and activities for awareness of and real upholding

of the rights of women are necessary, as well as programmes for adequate measures toward preventing violence. The populace needs to be educated about the issues of personal psychological health and the consequences of violence. It is high time everyone realised that personal psychological health should be a national priority”.

(Kegiatan dan program untuk kesadaran dan penegakan nyata tentang hak-hak perempuan sangat diperlukan serta langkah-langkah yang memadai untuk mencegah kekerasan. Rakyat harus dididik tentang isu-isu kesehatan psikologis pribadi dan konsekuensi dari kekerasan. Sudah saatnya semua orang menyadari bahwa kesehatan psikologis pribadi harus menjadi prioritas nasional).

Pendekatan penal maupun non penal dapat digunakan sebagai model perlindungan hukum yang ideal bagi anak sebagai korban tindak pidana asusila. Pendekatan penal (hukum pidana) yang dapat dilakukan dengan membuat Undang-Undang baru yang bersifat rigid yang mengatur secara teknis dan detail tentang korban kejahatan secara komprehensif. Selain dengan pendekatan penal, juga dilakukan dengan pendekatan non penal, yaitu dengan pendekatan budaya/cultur dan pendekatan moral/edukatif.

18 T.Todorova, N. Mechkarska, dan T. Taneva. 2013. “Violence Over Women In Bulgaria”. Trakia


(24)

PENUTUP

Pertama, perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana

asusila penting untuk dilakukan mengingat posisi anak rentan terhadap terjadinya tindak pidana, terutama sebagai korban tindak pidana asusila. Anak yang menjadi korban tindak pidana asusila perlu dilindungi, karena: (1) anak memiliki fisik yang lemah; (2) anak memiliki kondisi yang masih labil; (3) anak memiliki lingkungan pergaulan; (4) anak memerlukan pendidikan dan (5) pengaruh kemajuan teknologi informasi pada anak. Kedua, upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana asusila dapat dilakukan dalam bentuk: perlindungan oleh hukum, perlindungan selama dalam proses peradilan pidana dan perlindungan dari masyarakat. Ketiga, model perlindungan hukum yang ideal untuk melindungi anak sebagai korban tindak pidana asusila adalah melalui pendekatan penal (hukum pidana) yaitu dengan membuat peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang korban kejahatan secara komprehensif maupun melalui putusan hakim. Selain pendekatan penal juga dengan pendekatan non penal yang berbasis pada state responsibility. Pendekatan non penal yang dapat dilakukan adalah melalui pendekatan budaya/kultural dan pendekatan moral/pendidikan.

Sementara itu, berdasarkan kesimpulan sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat disarankan kepada pemerintah yaitu: Pertama, perlu adanya model perlindungan hukum yang ideal untuk melindungi anak sebagai korban tindak pidana asusila, yaitu dengan cara membuat peraturan perundang-undangan yang bersifat rigid secara teknis dan detail tentang korban kejahatan secara komprehensif. Kedua, menyediakan layanan-layanan pemulihan korban serta membantu proses-proses reintegrasi korban perkosaan dengan lingkungannya dan masyarakat. Ketiga, melakukan promosi dan edukasi kepada masyarakat bahwa perkosaan adalah tindak kejahatan kemanusiaan dan pelakunya harus mempertanggungjawabkan tindakannya dan mendorong masyarakat untuk tidak menyalahkan korban.

Selanjutnya, saran kepada kepolisian yaitu: Pertama, dalam melakukan pemeriksaan hukum kepada korban harus dalam situasi yang aman dan nyaman


(25)

dengan menghindari sikap dan perilaku yang membuat korban tertekan. Kedua, sebaiknya dalam melakukan pemeriksaan kepada korban tindak pidana asusila dilakukan oleh polisi wanita (Polwan) sehingga korban dapat menceritakan kronologis kejadian sesuai dengan kejadian dan tanpa merasa takut.

Saran untuk kejaksaan, yaitu: Pertama, penuntut umum sebagai partner dari korban, sebaiknya tidak memanggil korban tindak pidana asusila kecuali memang keterangannya sangat dibutuhkan dan apabila memang diperlukan, pemanggilannya pun juga harus dengan pemanggilan khusus dan resmi. Kedua, melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian untuk memberikan perlindungan kepada korban selama dalam menjalani proses peradilan pidana.

Adapun saran untuk pengadilan adalah: Pertama, hakim sebaiknya tidak hanya menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku, tetapi juga memutus ganti rugi yang didapat oleh korban. Ganti rugi yang diberikan kepada korban tidak hanya untuk mengganti kerugian yang dialami tetapi juga untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Kedua, lembaga pengadilan harus melengkapi sarana dan prasarana persidangan yang dapat mengakomodasi kebutuhan perlindungan korban, seperti menyediakan ruangan terpisah bagi saksi korban dengan terdakwa.


(26)

DAFTAR PUSTAKA

Gultom, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Gosita, Arif. 2007. Masalah Korban Kejahatan, Edisi Keempat. Depok: Badan Penerbit FHUI.

Kartono, Kartini. 1992. Patologi Sosial II (Kenakalan Remaja). Jakarta: Rajawali.

Kusuma, Mulyana W. 1981. Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup

Kriminologi. Bandung: Alumni.

Komnas Ham. 2006. “Anak-Anak Indonesia Yang Teraniaya”. Buletin Wacana, Edisi VII, Tahun IV, 1-30 November 2006.

Muhammad, Rusli. 2013. Lembaga Pengadilan Indonesia Beserta Putusan

Kontroversial. Yogyakarta: UII Press.

Paton, George Whitecross. Tt. A Text Book of Jurisprudence. Jakarta: Pustaka Tinta Mas.

Prinst, Darwan. 2003. Hukum Anak Indonesia. Bandung; Citra Aditya Bakti.

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Satjipto Raharjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Suteki. 2013. Desain Hukum di Ruang Sosial. Yogyakarta: Thafa Media.

Owens, Jasmine. 2012. “Historic In A Bad Way: How The Tribal Law And Order Act Continues The American Tradition of Providing In Adequate Protection To American Indian and Alaska Native Rape Victim”. The

Journal of Criminal Law & Criminology, Vol. 102, No. 2. USA:

Northwestern University School of Law.

Todorova, T., N. Mechkarska, dan T. Taneva. 2013. “Violence Over Women In Bulgaria”. Trakia Journal of Sciences, No 3, pp 253-257. Bulgaria: Trakia University.

Wadong, Maulana Hassan. 2000. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan

Anak. Jakarta: Gramedia Indonesia.

“Komitmen Lawan Pemerkosaan”. http://www.radarambon.co/readopini-20121118225838. Diakses pada tanggal 4 Oktober 2013, jam 10.35.


(1)

Selama ini, pengaturan perlindungan korban khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia belum menampakkan pola yang jelas. Dalam hukum positif yang berlaku saat ini, perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban. Dikatakan demikian, karena tindak pidana menurut hukum positif tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang atau melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkret, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran norma atau tertib hukum in abstracto.

Hal tersebut kemudian berakibat pada perlindungan korban tidak secara langsung. Dengan kata lain, sistem sanksi dan pertanggung jawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkrit, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Jadi, pertanggung jawaban pelaku bukanlah pertanggung jawaban terhadap kerugian atau penderitaan korban secara langsung dan konkrit, tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban pribadi atau individual. Oleh karena itu, perlindungan secara tidak langsung dalam peraturan hukum positif tersebut belum mampu memberikan perlindungan secara maksimal. Hal ini dikarenakan realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang berlaku secara pasti pun belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan.

Tindak pidana asusila bukan sekedar merupakan persoalan hukum dalam artian yuridis semata, namun juga menyangkut masalah psikososial, yaitu kondisi korban setelah mengalami kejadian pemerkosaan tersebut. Dampak dari kejadian perkosaan yang dialami oleh anak sebagai korbannya seharusnya menjadi perhatian yang serius sebagai salah satu upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak. Hal ini dikarenakan, korban tidak saja mengalami penderitaan secara fisik tetapi juga penderitaan secara psikis maupun mental.

Oleh karena itu, untuk ke depannya perlunya dilakukan suatu upaya dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak


(2)

pidana asusila. Model perlindungan hukum yang ideal terhadap anak sebagai korban tindak pidana asusila dapat dilakukan melalui pendekatan penal maupun non penal. Pendekatan penal dapat dilakukan dengan membuat suatu peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai mengenai perlindungan hukum korban kejahatan secara komprehensif, seperti: perlindungan fisik, finansial, psikis maupun medis. Peraturan perundang-undangan ini yang terpenting adalah ditujukan tidak hanya mengatur korban kejahatan yang menyita perhatian publik saja, tetapi untuk semua jenis kejahatan. Namun demikian, peraturan ini harus dibuat secara lebih terperinci untuk masing-masing jenis korban kejahatan.

Selain dengan pendekatan penal, yaitu dengan membuat peraturan perundang-undangan baru di luar peraturan perundang-undangan yang sudah ada, model perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak pidana asusila juga dapat dilakukan dengan pendekatan non penal. Pendekatan non

penal lebih bersifat preventif. Sarana non penal merupakan upaya pencegahan

kejahatan dalam lingkup yang lebih luas dan lebih efektif, karena pendekatan yang dilakukan bukan penanggulangan atau pemberantasan kejahatan yang sedang atau telah terjadi, namun berupaya untuk mencegah terjadinya kejahatan dengan cara menghapuskan sebab-sebab maupun kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan. Adapun pendekatan non penal yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan budaya/kultural dan pendekatan moral/edukatif.

a. Pendekatan budaya (cultural)

Pendekatan budaya ini dapat dilakukan dari sisi keluarga dan juga lingkungan masyarakat. Lingkungan keluarga dan masyarakat merupakan lingkungan terdekat dari korban tindak pidana asusila. Dukungan yang diberikan dari lingkungan terdekat ini dapat membantu pemulihan psikis korban sehingga korban tetap dapat beraktivitas dan menjalani kehidupannya seperti biasanya.


(3)

b. Pendekatan moral/edukatif

Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum kepada seorang anak, Pengajar/Guru di dalam UU Perlindungan Anak termasuk bagian dari masyarakat yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada anak. Pengawasan di dalam proses belajar mengajar harus dilakukan dan peduli atas perubahan yang terjadi pada anak didiknya.

Oleh karena itu, pendekatan moral/edukatif sangatlah dibutuhkan dalam mencegah terjadinya tindak pidana asusila. Pendidikan seks bagi anak usia remaja penting untuk dilakukan di sekolah-sekolah, misalnya dengan menyisipkan materi tentang pendidikan seks dalam salah satu mata pelajaran. Hal ini sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh T. Todorova, N. Mechkarska, T. Tanevayang menyebutkan:18

“that programmes and activities for awareness of and real upholding

of the rights of women are necessary, as well as programmes for adequate measures toward preventing violence. The populace needs to be educated about the issues of personal psychological health and the consequences of violence. It is high time everyone realised that personal psychological health should be a national priority”.

(Kegiatan dan program untuk kesadaran dan penegakan nyata tentang hak-hak perempuan sangat diperlukan serta langkah-langkah yang memadai untuk mencegah kekerasan. Rakyat harus dididik tentang isu-isu kesehatan psikologis pribadi dan konsekuensi dari kekerasan. Sudah saatnya semua orang menyadari bahwa kesehatan psikologis pribadi harus menjadi prioritas nasional).

Pendekatan penal maupun non penal dapat digunakan sebagai model perlindungan hukum yang ideal bagi anak sebagai korban tindak pidana asusila. Pendekatan penal (hukum pidana) yang dapat dilakukan dengan membuat Undang-Undang baru yang bersifat rigid yang mengatur secara teknis dan detail tentang korban kejahatan secara komprehensif. Selain dengan pendekatan penal, juga dilakukan dengan pendekatan non penal, yaitu dengan pendekatan budaya/cultur dan pendekatan moral/edukatif.

18 T.Todorova, N. Mechkarska, dan T. Taneva. 2013. “Violence Over Women In Bulgaria”. Trakia


(4)

PENUTUP

Pertama, perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana

asusila penting untuk dilakukan mengingat posisi anak rentan terhadap terjadinya tindak pidana, terutama sebagai korban tindak pidana asusila. Anak yang menjadi korban tindak pidana asusila perlu dilindungi, karena: (1) anak memiliki fisik yang lemah; (2) anak memiliki kondisi yang masih labil; (3) anak memiliki lingkungan pergaulan; (4) anak memerlukan pendidikan dan (5) pengaruh kemajuan teknologi informasi pada anak. Kedua, upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana asusila dapat dilakukan dalam bentuk: perlindungan oleh hukum, perlindungan selama dalam proses peradilan pidana dan perlindungan dari masyarakat. Ketiga, model perlindungan hukum yang ideal untuk melindungi anak sebagai korban tindak pidana asusila adalah melalui pendekatan penal (hukum pidana) yaitu dengan membuat peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang korban kejahatan secara komprehensif maupun melalui putusan hakim. Selain pendekatan penal juga dengan pendekatan non penal yang berbasis pada state responsibility. Pendekatan non penal yang dapat dilakukan adalah melalui pendekatan budaya/kultural dan pendekatan moral/pendidikan.

Sementara itu, berdasarkan kesimpulan sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat disarankan kepada pemerintah yaitu: Pertama, perlu adanya model perlindungan hukum yang ideal untuk melindungi anak sebagai korban tindak pidana asusila, yaitu dengan cara membuat peraturan perundang-undangan yang bersifat rigid secara teknis dan detail tentang korban kejahatan secara komprehensif. Kedua, menyediakan layanan-layanan pemulihan korban serta membantu proses-proses reintegrasi korban perkosaan dengan lingkungannya dan masyarakat. Ketiga, melakukan promosi dan edukasi kepada masyarakat bahwa perkosaan adalah tindak kejahatan kemanusiaan dan pelakunya harus mempertanggungjawabkan tindakannya dan mendorong masyarakat untuk tidak menyalahkan korban.

Selanjutnya, saran kepada kepolisian yaitu: Pertama, dalam melakukan pemeriksaan hukum kepada korban harus dalam situasi yang aman dan nyaman


(5)

dengan menghindari sikap dan perilaku yang membuat korban tertekan. Kedua, sebaiknya dalam melakukan pemeriksaan kepada korban tindak pidana asusila dilakukan oleh polisi wanita (Polwan) sehingga korban dapat menceritakan kronologis kejadian sesuai dengan kejadian dan tanpa merasa takut.

Saran untuk kejaksaan, yaitu: Pertama, penuntut umum sebagai partner dari korban, sebaiknya tidak memanggil korban tindak pidana asusila kecuali memang keterangannya sangat dibutuhkan dan apabila memang diperlukan, pemanggilannya pun juga harus dengan pemanggilan khusus dan resmi. Kedua, melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian untuk memberikan perlindungan kepada korban selama dalam menjalani proses peradilan pidana.

Adapun saran untuk pengadilan adalah: Pertama, hakim sebaiknya tidak hanya menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku, tetapi juga memutus ganti rugi yang didapat oleh korban. Ganti rugi yang diberikan kepada korban tidak hanya untuk mengganti kerugian yang dialami tetapi juga untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Kedua, lembaga pengadilan harus melengkapi sarana dan prasarana persidangan yang dapat mengakomodasi kebutuhan perlindungan korban, seperti menyediakan ruangan terpisah bagi saksi korban dengan terdakwa.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Gultom, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Gosita, Arif. 2007. Masalah Korban Kejahatan, Edisi Keempat. Depok: Badan Penerbit FHUI.

Kartono, Kartini. 1992. Patologi Sosial II (Kenakalan Remaja). Jakarta: Rajawali.

Kusuma, Mulyana W. 1981. Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup

Kriminologi. Bandung: Alumni.

Komnas Ham. 2006. “Anak-Anak Indonesia Yang Teraniaya”. Buletin Wacana, Edisi VII, Tahun IV, 1-30 November 2006.

Muhammad, Rusli. 2013. Lembaga Pengadilan Indonesia Beserta Putusan

Kontroversial. Yogyakarta: UII Press.

Paton, George Whitecross. Tt. A Text Book of Jurisprudence. Jakarta: Pustaka Tinta Mas.

Prinst, Darwan. 2003. Hukum Anak Indonesia. Bandung; Citra Aditya Bakti.

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Satjipto Raharjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Suteki. 2013. Desain Hukum di Ruang Sosial. Yogyakarta: Thafa Media.

Owens, Jasmine. 2012. “Historic In A Bad Way: How The Tribal Law And Order Act Continues The American Tradition of Providing In Adequate Protection To American Indian and Alaska Native Rape Victim”. The

Journal of Criminal Law & Criminology, Vol. 102, No. 2. USA:

Northwestern University School of Law.

Todorova, T., N. Mechkarska, dan T. Taneva. 2013. “Violence Over Women In Bulgaria”. Trakia Journal of Sciences, No 3, pp 253-257. Bulgaria: Trakia University.

Wadong, Maulana Hassan. 2000. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan

Anak. Jakarta: Gramedia Indonesia.

“Komitmen Lawan Pemerkosaan”. http://www.radarambon.co/readopini-20121118225838. Diakses pada tanggal 4 Oktober 2013, jam 10.35.